//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sanghyang Kamahayanikan  (Read 3021 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Sanghyang Kamahayanikan
« on: 07 February 2014, 11:56:56 AM »
https://archive.org/details/Sanghyang-kamahayanikan
http://bhumisambhara.wordpress.com/2009/03/30/6/

Slokha yang pertama:
1. Inilah Sang Hyang Kamahayanikan yang kuajarkan kepadamu keluarga Tathagata, Putra Jina, keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu.
Sang Guru penulis teks ini mengatakan bahwa sesungguhnya yang hendak diajarkan adalah Mahayana. Ada tiga tema di dalam satu slokha ini: yang pertama motivasi mengajar, yang kedua kualifikasi pendengar ajaran, dan yang ketiga tema ajaran. Sang Hyang Kamahayanikan dalam bahasa Kawi, dalam bahasa Indonesia adalah Mahayana Suci. Teks ini dibuka dengan singkat mengacu pada tiga pengertian: yang pertama adalah motivasi sang Guru mengajarkan Mahayana. Apakah Mahayana? Mahayana adalah jalan besar atau yana besar (maha adalah agung, yana adalah jalan) artinya yang akan diajarkan ini adalah tema Dharma yang memungkinkan untuk membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri juga membawa kebahagiaan bagi orang lain. Ajaran yang memiliki karakteristik seperti itu disebut ajaran Mahayana. Bukan hanya dalam ungkapan kalimatnya saja, tetapi pemahaman yang mengikuti ungkapan kalimat itu. Setelah seseorang mendengarkan ajaran Mahayana akan membawa pengertian-pengertian berupa keinginan untuk membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan keinginan-keinginan secara langsung atau tidak langsung membawa kebahagiaan bagi makhluk lain. Ajaran yang karakteristiknya demikian adalah Mahayana, yang menjadi motivasi dari sang Guru untuk mengajarkan kepada siswanya.
Yang kedua mengenai siswa. Siswa di sini disebut Tathagata Kula dalam bahasa Sanskerta atau keluarga Tathagata dalam bahasa Indonesia. Siapakah keluarga Tathagata? Dalam sutra Mahayana dikatakan bahwa setiap Buddha memiliki Kula, bahasa Sanskerta ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia seperti yang sering kita dengar “Kula Warga”, kula artinya keluarga, warga artinya anggota. Jadi kata Kula Warga dalam bahasa Indonesia sebetulnya bersumber dari bahasa Sanskerta. Tathagata Kula adalah keluarga Tathagata. Oleh karena Tathagata memiliki kualifikasi tertentu yaitu makhluk samsara yang telah bangun, yang disebut sebagai Buddha, yang mencapai pencerahan atas daya upayanya sendiri, yang mencapai realisasi itu ketika tidak ada Pratyeka dan Sravaka, itulah seorang Tathagata. Tathagata tidak memiliki ayah dan tidak memiliki ibu karena ayah dari para Tathagata dikatakan adalah para Jina; sementara ibu dari para Tathagata adalah Prajnaparamita. Jadi ayah-ibu para Tathagata adalah predikat spiritual yang terdapat di Mahayana yang disebut sebagai Paramita. Walaupun seorang Tathagata seperti itu keadaannya, ada orang yang kemudian akan menjadi Tathagata juga, orang-orang tersebut disebut (dalam kalimat berikutnya yaitu) Putra Jina, dalam bahasa Sanskrit namanya Jinaputra. Mengapa Jinaputra? Karena ia nanti akan menjadi Jina juga. Siswa memiliki kualifikasi telah mengembangkan aspirasi untuk menjadi Buddha, untuk menjadi Jina, untuk menjadi Tathagata.
Lalu yang ketiga: Keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu. Ini mengenai kualifikasi ajaran. Jadi motivasinya Mahayana, siswanya beraspirasi Mahayana, lalu yang diajarkan adalah ajaran Mahayana yaitu keunggulan Mahayana dan keluhuran Mahayana. Bilamana melalui proses ini yaitu guru yang bermotivasi Mahayana, siswa yang bermotivasi Mahayana, lalu Dharma yang juga Mahayana; maka akan menghasilkan realisasi Mahayana.
Sang Hyang Kamahayanikan adalah semacam transkripsi dari sebuah pengajaran lisan guru di suatu tempat pada zaman dahulu di abad kesembilan, yang kemudian ditulis oleh siswa yang mendengarkannya sehingga pada bagian tertentu ada ungkapan permohonan ajaran dan ada ajaran-ajaran yang menjelaskannya.

 

Slokha yang kedua:
2. Jika berdiam di gunung, di gua, di pantai, di sebuah kuti, vihara, di pondok pertapaan, atau engkau tinggal di kuburan angker dan sebagainya, lengkapilah dengan tempat melakukan homa, rumah sunyata namanya, tempat persembahan, tempat arca, buatlah balai-balai, tirai, tempat duduk dan alas tidur, segala yang menyenangkan hatimu.
Slokha kedua ini mendeskripsikan atau merincikan tempat berdiam orang yang hendak mempraktikkan Mahayana. Uraian mengenai tempat berdiam beragam sekali, ini tentu mengacu pada kenyataan yang terjadi pada abad kesembilan, khususnya di wilayah Borobudur; bahwa para praktisi Mahayana menjalankan praktik atau ibadah Mahayananya di gunung, di gua, di tepi laut, atau di kuti yaitu bangunan kecil di tepi hutan atau tepi desa, kemudian di vihara, atau di pertapaan, atau di kuburan yaitu tempat pembuangan mayat pada zaman itu, dan sebagainya. Adapun tempat berdiam itu di sini dianjurkan oleh sang Guru agar dilengkapi dengan tempat melakukan homa atau persembahan api. Ini adalah suatu anjuran bahwa tempat yang ideal bagi seorang praktisi bukan hanya di mana ia dapat duduk atau berdiam atau tidur tetapi juga harus memenuhi beberapa ketentuan. Yang pertama harus disediakan tempat untuk melakukan ritual, rumah sunyata namanya (rumah homa disebut rumah sunyata) ini penjelasannya di dalam tema Tantra jadi tidak akan dijelaskan. Tempat persembahan, lalu juga ada altar untuk melakukan persembahan; tempat arca, artinya altar juga; lalu untuk yang bersangkutan agar dibuatkan balai-balai, tirai (maksudnya adalah untuk mencegah serangga dan nyamuk), lalu tempat duduk dan alas tidur; segala yang menyenangkan hatimu. Ini perbedaan pertapaan menurut cara Buddhis dengan non-Buddhis. Kalau pada zaman dahulu para pertapa dengan latar belakang non-Buddhis yaitu para brahmana, para resi, juga para yogi Hindu; pertapaan mereka melewati dua jenjang, yang pertama adalah Wanaprasta dan yang kedua Bhiksuka. Masa Wanaprasta diawali setelah seseorang memensiunkan dirinya dari kehidupan rumah tangga lalu berkelana ke hutan, namun demikian masih memiliki tempat kediaman. Para pertapa dengan karakter atau model ini, setelah mereka merasa dirinya sudah siap kemudian pergi ke hutan……….
bertahun-tahun sebagai pengelana di hutan, melanjutkan pada tahap berikutnya yang disebut Bhiksuka yaitu tahap hanya menunggu kematian. Pertapaan praktisi semacam ini adalah pertapaan untuk mengantarkan kematian. Jadi bertapa sampai mati, sehingga mereka tidak makan, tidak berpakaian, atau tidak menggunakan segala yang dibutuhkan untuk keselamatan fisiknya, tidak memberikan nutrisi pada fisiknya, juga tidak menghiraukan kondisi tubuh fisiknya. Ini berbeda dengan pertapaan seorang Mahayanis, karena seorang Mahayanis semua latihan dan pencapaiannya adalah untuk menolong makhluk yang lain, maka pertapaan Mahayana selalu memiliki karakter bahwa latihan yang dilakukan sedemikian rupa, setelah latihan tersebut mencapai hasil, ia dapat kembali lagi ke dunia ramai, ke tengah masyarakat, dan menggunakan pencapaiannya tersebut untuk menolong makhluk yang lain. Pertapa Buddhis adalah pertapa yang masih harus memikirkan kebaikan tubuh fisik serta mentalnya, oleh karena itu instruksi slokha kedua ini digarisbawahi pada bagian terakhir: segala yang menyenangkan hatimu. Menyenangkan hati yaitu tidak menyakiti fisik, tidak menyakiti mental, diri sendiri, tidak menyiksa batin diri sendiri, karena apa? Penjelasannya ada pada slokha yang ketiga.

 

Sekarang slokha yang ketiga:
3. Demikian pula tubuhmu juga jangan dipaksa-paksa, dengan tidak memperbolehkannya makan segala makanan yang dapat menyenangkan hatimu; apa yang enak di mulut hendaknya engkau makan, agar dekat bagimu untuk makan. Jangan lupa tata cara seorang bhakta (seorang praktisi)

 

Slokha yang keempat:
4. Demikian pula jika tubuh sakit, tidak salah bila engkau mengobatinya; sama artinya bagimu, jangan tergesa menjadi suci, sangat sulit untuk benar-benar suci. Jelasnya: rawatlah juga tubuhmu, karena kesehatan tubuhmu menjadi sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kebahagiaan menjadi sebab terjadinya keteguhan hati, keteguhan hati menjadi sebab terlaksananya samadhi, samadhi menjadi sebab tercapainya moksha (atau pembebasan). (4)

 

Slokha yang kelima:
5. Rawatlah tubuhmu dengan memakai niwasana (jubah bagian bawah), memakai katiwandha (jubah bagian atas), siwara (jubah selimut) selengkapnya, membawa waluh (yaitu patra, pada zaman dahulu para bhiksu di sekitar Borobudur menggunakan patra yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan), memegang kakakara (ini adalah tongkat bhiksu yang terbuat dari kombinasi kayu dan logam di mana bagian atasnya terdiri dari banyak cincin logam dan bila digunakan sebagai tongkat berjalan ia akan bergemerincing dan memberi tanda bagi orang atau makhluk lain yang mendengarnya bahwa ada bhiksu yang sedang melintas). Jika engkau Resi Buddha (bila instruksi ini didengar oleh resi Buddha yaitu seorang pertapa atau praktisi Buddhis tetapi bukan bhiksu), pakailah kulit kayu (pada zaman itu tidak banyak tersedia kain tetapi jenis kayu tertentu bisa digunakan sebagai penutup tubuh), memakai sampet (ikat kepala atau kain penutup kepala), memakai basma cendana (minyak cendana yang dioleskan pada tubuh untuk mengusir serangga dan memberi rasa hangat pada tubuh yang terbuka), memakai ganitri (mala) selengkapnya. (5)

 

Slokha yang keenam:
6. Bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tata cara, berdiamlah dengan memandang ujung hidung. (6)

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Sanghyang Kamahayanikan
« Reply #1 on: 07 February 2014, 11:57:11 AM »
Dari slokha ketiga sampai keenam adalah instruksi mengenai bagaimana seorang praktisi mengatur tubuhnya. Pertapaan seorang Mahayanis berbeda dengan pertapaan yang tadi saya ceritakan. Di sini bahkan dengan jelas diinstruksikan bahwa apa pun yang menyenangkan untuk dimakan agar dimakan, tidak ada pantangan-pantangan, jangan membuat pantangan-pantangan, jangan memaksa-maksa tubuh kita. Gambarannya demikian: dalam metode pertapa Hindu sebagai realitas yang juga terjadi di masyarakat pada zaman itu, ada beberapa jenis pertapaan; yang pertama adalah bertapa berkelana yaitu mereka tidak punya tempat tinggal, tidak boleh punya tempat tinggal, lalu tidak membawa alat apa pun untuk menolong kebutuhan hidupnya; hanya berkelana sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun dan seterusnya. Lalu bertapa pantang makanan dari biji-bijian, dan yang dikonsumsi adalah daun-daunan. Bentuk pantangan seperti ini juga dijalankan sebagai bentuk pertapaan. Lalu pantang makanan yang tersulut api atau yang dimasak (ini mengenai makanan) dengan mengira bahwa metode itu berguna bagi perkembangan spiritual. Pantang terhadap makanan asam, manis, asin dan sebagainya; hal itu dijalankan dari zaman dulu sampai sekarang. Beberapa komunitas Hindu di India pada waktu-waktu tertentu mereka tidak makan garam, tidak makan gula, tidak makan makanan yang berasa. Mereka berpikir bahwa bila kita mengonsumsi makanan yang tidak berasa dalam kurun waktu yang lama, pikiran kita tidak akan banyak gejolaknya. Apakah benar demikian? Kelihatannya Sang Buddha tidak memiliki anjuran seperti itu. Jadi di dalam Buddhis tidak ada pantangan-pantangan terhadap makanan. Lalu tubuh juga tidak boleh dipaksa-paksa. Contohnya, bagaimana seseorang mengembangkan meditasi, tidak boleh memaksa tubuh misalnya harus duduk dengan sebuah keharusan dari pagi sampai sore atau dengan cara yang lain. Ini terjadi di dalam paham Hindu khususnya, ketika menjalankan tapa mereka, katakanlah pantang untuk berbaring, pantang untuk mandi, pantang untuk berpakaian, pantang untuk mengambil tempat duduk dan sebagainya. Lalu pada saat menjalankan tapa ada yang mengikatkan kakinya pada pohon (tidur dalam keadaan terjungkir, kaki di atas, badannya di bawah), atau membenamkan tubuh di dalam tanah (kepala di atas permukaan tanah), atau menenggelamkan dirinya di dalam air sepanjang waktu; dan berpikir bahwa metode seperti itu dapat membawa perkembangan batin.

Ajaran Mahayana dengan jelas menyatakan bahwa untuk mengembangkan batin bahkan setiap Bodhisattva tidak perlu melakukan hal seperti itu. Tubuh jangan dipaksa-paksa dengan tidak boleh makan ini dan itu. Semua yang cocok untuk dimakan, semua yang enak dimulut hendaknya tidak dipantangkan. Namun demikian, jangan lupa tata cara seorang bhakta. Jadi walaupun dalam hal makanan tidak ada pantangan, walaupun dalam hal penggunaan tubuh tidak ada pemaksaan, tetapi tata cara hidup seorang praktisi ada kode etiknya. Makan misalnya: makan secukupnya, secukupnya dalam arti kata jelas diuraikan dalam banyak sila-sila. Dalam aspek apa yang harus dimakan tidak ada pantangan tetapi seperti apa seorang praktisi makan tentu ada ketentuannya. Dalam memaksa tubuh tidak diijinkan atau dibenarkan tetapi dalam mengelola tubuh ada ajarannya. Ketika seorang praktisi sakit dalam paham lain (Hindu dan Jhaina di India) tidak dibenarkan mengobatinya dan menganggapnya sebagai sarana untuk melebur karma buruk atau melebur dosa; tetapi dalam Buddhasasana, Sang Buddha menganjurkan agar sakit diobati, bahkan Sang Buddha sendiri pernah mengobati atau menolong bhiksu yang sedang menderita sakit parah. Memang benar karma buruk bermanifestasi dalam bentuk munculnya penyakit, tetapi penyakit atau sakit tidak salah bila diobati, menurut paham Mahayana. Sesuai dengan zamannya, pada waktu itu di masyarakat ada orang atau paham yang pantang mengobati sakit.

Jangan tergesa menjadi suci, seolah-olah kalau kuat menghadapi atau menerima sakit menganggap dirinya suci. Di sini diberi penekanan sangat sulit untuk menjadi benar-benar suci, karena suci dalam paham Buddhis bukan berarti kuat menahan rasa sakit tetapi ketika seseorang dapat menyucikan pikirannya, membersihkan pikirannya dari delapan dharma duniawi atau Asthaloka-dharma; itu adalah sumber kesucian yang sesungguhnya, bukan karena kuat menahan sakit atau karena pantangan-pantangan tertentu. Jadi jelas bahwa tubuh menurut paham Mahayana harus dirawat dengan semestinya, karena kalau tubuh sehat, pikiran menjadi cerah, menjadi jernih, lalu tidak ada masalah dengan kesehatan, dan kebahagiaan yang muncul menjadi sebab keteguhan hati. Keleluasaan, kenyamanan pikiran, menjadi sebab mudah bermeditasi, dan meditasi adalah satu-satunya jalan mencapai moksha.

Memakai busana dan membawa berbagai atribut spiritual adalah bagian dari para praktisi juga. Sebagai praktisi Mahayana kita minimal harus memiliki alat yang kita gunakan untuk beribadah Mahayana, apa itu? Yang mendasar adalah mala, buku untuk membaca liturgi atau doa-doa dan sebagainya karena tidak mungkin menghafal begitu banyak hal. Bila mengacu kepada bhiksu, itu sudah ada ketentuannya sendiri.

Tentang upashaka: bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tata cara; seseorang menjadi upashaka karena mengangkat sila Pancasila. Tata cara seorang upashaka, kalau ia adalah seorang upashaka biasa (perumah tangga) maka ia hanya berkomitmen terhadap Pancasila, tidak perlu meninggalkan rumahnya atau kehidupan duniawi dan kehidupan berkeluarga; tetapi kalau ia upashaka gomi yaitu upashaka yang selibat atau brahmacari maka ia memiliki pantangan sesuai dengan komitmen silanya. Berdiamlah dengan memandang ujung hidung, artinya pada waktu mempraktikkan di rumah (yang sudah dideskripsikan tadi) apakah di gunung, di gua, di pantai atau di mana saja; tempatnya sudah didesain dan dipersiapkan sedemikian rupa; lalu tentang makanan, sakit tubuh, busana dan sebagainya; lanjutannya adalah kalau sang Bodhisattva adalah seorang upashaka maka ia berbuat sesuai dengan tata cara dan berdiam dengan memandang ujung hidung, yaitu pada saat bermeditasi.

 

Slokha ketujuh:
7. Jangan sampai hatimu terikat pada isi kitab tarkka (kitab sastra mengenai keagamaan), wyakarana (kitab-kitab yang berupa prediksi) serta agama purana (agama adalah semua teks tentang dharma; purana adalah mitologi kuno, cerita tentang penciptaan dunia, tentang dewa-dewa, tentang sebab matahari, gunung dan sebagainya), dharma-dharma samaya kosa (segala macam instruksi tentang komitmen-komitmen, kriya tantra (tantra kriya seperti yang Anda ketahui), juga jangan terikat pada kisah-kisah cerita, baca-bacaan, nyanyi-nyanyian, tari-tarian dan sebagainya. Dosa akibat terikat adalah besar kleshanya (kalau menggemari semua hal yang disebut tadi akan membuat kleshanya sangat tebal), kuwalahan engkau menghapus pengaruhnya; nafsu, kebencian, kebodohan, hingga akibatnya bagimu bila ternoda semua itu, seperti orang yang memanjat pohon, sudah sampai di puncak, akhirnya turun dengan susah payah, bahkan juga makin jauh menemukan moksha. (7)

Ini adalah perumpamaan mengenai hidup manusia, semua hal tadi tentunya mengacu pada atmosfer hidup pada zaman itu yaitu abad kesembilan di mana belum ada teknologi, belum ada rekayasa berbagai macam hal dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bentuk-bentuk keterikatan hanya pada hal-hal yang terbatas, tidak seperti sekarang kita bisa terikat dengan berbagai macam hal. Pada waktu itu keterikatan hanya mengacu pada hal yang sederhana menurut zaman kita, yaitu buku-buku agama, buku-buku cerita, dongeng-dongeng, ritual-ritual, nyanyian, tarian, dan segala hiburan. Yang perlu kita perhatikan adalah akibat dari keterikatan, bukan hanya pada para siswa dari sang Guru ini tetapi juga kita. Bila keterikatan itu sedemikian besar pada kita, di sini dikatakan bahwa seperti orang yang memanjat pohon, sudah susah payah sampai di atas akhirnya harus turun juga, dan semakin jauh dari moksha. Dalam berbagai sastra Tibetan dikatakan (juga dalam Abhidharmakosa yang ditulis oleh Guru Vasubhandu) bahwa untuk menjadi seorang manusia kita telah melakukan berbagai macam usaha dan daya upaya di masa lalu. Sastra Lamrim juga mengatakan bahwa salah satu sebab menjadi manusia adalah dulu kita dengan ketat menjalankan sepuluh kebajikan. Tidak mudah menjalankan sepuluh kebajikan itu, mengapa tidak mudah? Karena sekarang sudah tidak gampang untuk menjalankannya. Oleh karena itu dikatakan bahwa hidup kita yang sekarang ini didapatkan dengan susah payah, dulu kita susah payah menjalankan sepuluh kebajikan, dan sekarang untuk menjalankannya sudah tidak mudah lagi karena waktu, perasaan dan pikiran kita tersita oleh berbagai keterikatan. Yang umum adalah keterikatan pada harta benda, pada cinta, pada ambisi tertentu, pada pandangan salah, dan seterusnya. Apa akibat dari keterikatan seperti itu? Akibatnya adalah keterikatan sulit untuk dielakkan, bahkan dalam keadaan praktik spiritual sekalipun ketika duduk bermeditasi, pikiran kita tidak dapat dijauhkan sekejap pun dari subjek keterikatan diri kita: ego, praduga, harta, keluarga, ambisi, obsesi dan sebagainya; sehingga sepanjang hidup kita, kita tidak pernah berhasil mengelakkan diri dari keterikatan, dan kita menjadi objek dari keterikatan itu. Dalam bahasa yang lebih lugas adalah kita dipermainkan oleh objek keterikatan. Konsekuensi spiritualnya adalah kita lalu mengalami kemerosotan. Karena dulunya banyak beramal kita sekarang leluasa dalam harta benda; ketika sudah leluasa dalam harta benda kita berpikir begitu banyak yang harus dibiayai, ada proyek-proyek, ada bisnis, ada segala macam hal; lalu kita memberi porsi yang begitu kecil untuk menanam kebaikan atau beramal dana. Dari pohon besar yang berupa kebajikan masa lalu berbuah megah dalam kehidupan yang sekarang, lalu menjadi seperti tidak berbuah karena dalam keleluasaan hidup ini kita tidak melakukan penyemaian kembali terhadap kebajikan. Ini adalah salah satu contoh. Ketika hidup sebagai manusia didapatkan dari berbagai macam kombinasi yang complicated dari aspek-aspek spiritual: dana, sila, dan sebagainya; karena terhambat oleh keterikatan akhirnya merosot ke dalam proses yang semakin jauh dari moksha. Jey Tsongkhapa khususnya mengatakan bahwa tubuh manusia lebih berharga daripada permata cintamani pengabul harapan. Guru Shantideva mengatakan bahwa tubuh manusia bagaikan perahu yang sangat fleksible ke mana pun akan digunakan, apakah ke alam dewa, apakah ke alam Tushita tempat Sang Buddha Maitreya, apakah ke Akanistha tempat Sang Buddha Vairochana; semuanya bisa dijangkau dengan tubuh manusia. Akan tetapi, sama dengan slokha yang dikutip oleh sang Guru ini, dari puncak samsara segala bentuk kehidupan (yaitu manusia), kita bahkan bisa tergelincir lebih jauh ke dalam dan harus mengalami evolusi ulang dari proses awalnya. Suami kita tempat kita terikat dan tidak bisa berbuat apa pun, istri kita, anak kita, benda-benda duniawi, obsesi kita, pikiran kita; yang semula begitu erat mencengkram kita dalam kepentingan hidup; ternyata mereka melanjutkan urusannya dan proses samsaranya sendiri-sendiri, dan kita kecele artinya menduga ada sesuatu di situ tapi ternyata tidak ada sesuatu apa pun di dalamnya. Suami kita adalah makhluk samsara yang lain, ia berjumpa dengan kita karena keterikatan karma masa lalu; anak kita juga begitu; harta benda kita adalah buah dari kebajikan kita di masa lalu; teman-teman, saudara, kerabat, semuanya adalah bahasa lain dari karma-karma kita di masa lalu. Ini adalah ajaran kebijaksanaan Dharma untuk melepaskan diri sedikit demi sedikit dari keterikatan membabi buta. Kalau kita memiliki sudut pandang yang demikian, itu artinya kita telah menggunakan kebijaksanaan Dharma. Memiliki kebijaksanaan Dharma menyebabkan seseorang tidak rugi dalam perjalanan samsaranya tanpa mengurangi kebahagiaan sekecil apa pun dari kehidupan samsaranya. Tetapi bila kebijaksanaan Dharma tidak digunakan, orang hanya akan menyesal dalam tangisnya di berbagai sudut samsara. Kalau kita melihat orang-orang di daerah yang penuh penderitaan, sebutlah Afrika yang penuh dengan penderitaan duniawi, atau Timur Tengah yang penuh dengan konflik, atau binatang yang diikat di bawah pohon jambu, atau segala bentuk penderitaan yang lain; dari mana asal semua itu? Asalnya adalah dari keterikatan yang membabi buta. Asalnya adalah dari salah me-manage kesempatan hidup yang dimiliki dan membiarkan lobha, dosa dan moha mencengkram dirinya. Pada akhirnya tidak ada yang bisa menolong kekeliruan seperti itu kecuali menjalaninya dalam jerit tangis samsara. Tidak enak menjadi anjing yang diikat, tidak enak lahir dalam keadaan miskin dan terlantar di pinggir jalan, tidak enak hidup di daerah yang penuh konflik, tidak enak muncul di tempat yang tidak ada apa pun untuk menemukan kebahagiaan hidup; tapi kita mungkin lupa bahwa semua itu ada sebab musababnya. Sang Buddha memberitahukan adanya sebab dan akibat, adanya akibat yang diketahui sebabnya; oleh karena itu kita harus terus menggunakan kebijaksanaan Dharma untuk menilai diri kita dan memandang kehidupan kita. Akhir dari slokha ketujuh ini baik sekali untuk dijadikan renungan agar kita tidak semakin jauh dari prospek untuk lebih tinggi memanjat alam samsara. Dari peta samsara yang paling rendah kita merangkak sedikit demi sedikit menuju ke level yang lebih tinggi, dan sekarang kita mencapai puncak ciptaan samsara di mana dalam agama lain dikatakan bahwa manusia dibentuk dengan rupa seperti yang membentuknya sendiri. Dalam paham Dharma, Sang Buddha memuji tubuh manusia sedemikian rupa; dan untuk menuju ke bentuk kehidupan yang lebih tinggi dalam samsara yaitu enam alam dewa, enam alam brahma, tempat melompat yang paling dekat adalah tubuh manusia, bukan tubuh yang lain. Jadi jelas sekali Guru ini sangat baik menasihati siswanya, jangan sampai keadaan yang didapatkan dengan susah payah ini berlalu begitu saja dan seseorang harus menangis dari dasar samsara kembali.


Slokha yang kedelapan:
8. Bukan karena merasa mulia aku mengajarkan hal ini, ketahuilah apa yang akan menyebabkan kesulitan pada akhirnya, juga apa yang menyebabkan kebahagiaan tercapainya moksha. (8)

Sang Guru dengan rendah hati mengatakan (mungkin muridnya terdiri dari banyak orang, ada raja, ada para bangsawan, ada para inkarnasi Bodhisattva); kepada raja yang sangat mulia, memiliki banyak keluarga dan banyak harta benda, tentu menasihati seperti ini bukan hal yang mudah karena dengan gampang orang akan berargumen terhadap Dharma seperti ini. Lalu sang Guru mengatakan, “Bukan karena saya merasa mulia mengajarkan hal ini, tetapi ketahuilah apa yang menyebabkan kesulitan pada akhirnya.” Kalau kerajaan membuatmu menjadi malas melakukan kebaikan, istri yang cantik membuatmu malas melakukan pelepasan duniawi, artinya kadang-kadang menjalankan sila, meninggalkannya dan memandang kecantikannya adalah karma, kemudian segala hal dipersepsikan dengan demikian; bila tidak berhasil, artinya buah karma baik menyebabkan karma buruk di kemudian hari. Jadi sang Guru mengatakan ketahuilah apa yang menyebabkan kesulitan pada akhirnya. Bisa beli home theatre adalah karma baik di masa lalu tapi ketika home theatre itu membuat seseorang keracunan, ia tidak pernah lagi melakukan kebaikan yang serupa untuk dapat membeli home theatre dalam kehidupan yang akan datang; bahkan lobha, dosa dan moha membuatnya menjadi seperti akhir slokha ketujuh tadi. Mendapat kesempatan berbisnis, mendapat posisi karir yang bagus, menjadi entrepreneur yang bagus; itu semuanya adalah karena jerih payah Anda di masa lalu; tetapi kalau kemudian kita lupa dan menganggap masa lalu akan berakhir di sini, itu yang disebut oleh Guru ini dalam akhir slokha yang kedelapan yaitu tidak tahu apa yang pada akhirnya akan menyebabkan kesulitan. Lalu juga apa yang menyebabkan kebahagiaan tercapainya moksha.

 

Sekarang slokha kesembilan:
9. Demikianlah ajaranku kepadamu, akhirnya tergantung padamu, percaya tidak engkau padaku, aku tidak memaksa agar engkau mempercayaiku, apalagi agar engkau tetap mempercayaiku. Jangan begitu. Selidikilah lebih dahulu yang kuajarkan kepadamu, pakailah cermin untuk melihat benar salahnya, pada awal, pertengahan serta akhirnya, sehingga terhapuslah keraguanmu. Jangan dilihat-lihat, jangan setengah-setengah kepercayaanmu pada apa yang kuajarkan, seperti tukang emas. (9)

Pada slokha kesembilan, Guru ini memberi dasar atau landasan berpikir: “Demikianlah ajaranku, tetapi apa yang kuajarkan itu tergantung padamu, percaya-tidak percaya engkau kepadaku, aku tidak memaksa karena para guru bahkan Sang Buddha sendiri ketika datang ke dunia sama sekali tidak memaksa. Salah satu siswa Sang Buddha yaitu Raja Bimbisara mempunyai seorang anak yaitu Pangeran Ajatasatru. Pangeran Ajatasatru juga pernah bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar langsung Dharma suci dari Sang Buddha, tetapi apa yang dilakukan oleh Pangeran Ajatasatru mencerminkan sifat manusiawi yaitu karena ambisi dan hasutan tertentu ia memenjarakan ayahnya sendiri dan menyebabkan kematian Raja Bimbisara yang merupakan murid Sang Buddha. Anda jangan pernah berpikir kalau kita lahir di hadapan seorang Buddha, mendapat Dharma langsung dari seorang Buddha itu banyak kemudahan, karena tetap saja hal itu bergantung pada kita. Kalau kita tidak memiliki cukup kebajikan dan bakat spiritual tentu kita tidak akan bisa memanfaatkan nasib baik kita. Sang Guru mengajarkan agar si murid berpikir-pikir, mengkaji-kaji, merenung-renung, menimbang-nimbang seperti tukang emas. Kalau kita bawakan emas ke tukang emas, pertama ia akan memotongnya kemudian melelehkannya, lalu bila sudah sedemikian rupa masih tetap emas, berarti emas itu asli. Demikian pula dengan ajaran Guru ini yaitu setelah dikaji-kaji, direnung-renungkan, dipikir-pikir dengan menggunakan semua kaidah Dharma; pada akhirnya bila tetap merupakan kebenaran, itu berarti si murid bukan karena percaya membabi buta, bahkan dalam kondisi seperti itu sang murid telah memiliki kebijaksanaan Dharma.

 
Sakarang slokha yang kesepuluh:
10. Terima kasih atas ajaran MahaMpu, Tentang tujuan kitab tarkka, wyakarana, tantra, apakah disebut kitab baik namanya, baik untuk kami ikuti, mohon anugerah Sri MahaMpu kami berlindung pada kedua telapak kaki Sri MahaMpu. (10)

Ini mengacu pada tema berikutnya yaitu Enam Paramita, jadi sesuai dengan motivasi kita mempelajari teks ini di awal tadi yaitu sebagai suplemen atau sisipan dari ajaran Tantra. Ajaran Tantra berdiri di atas penopang Mahayana, penopang Mahayana sesuai dengan paham Guru Jey Tsongkhapa berdiri di atas paham Hinayana. Apakah ajaran Hinayana? Yaitu kejenuhan atau Nekrama terhadap samsara. Hinayana, Mahayana dan Tantra; atau Pratimoksha Sila, Bodhisattva Sila dan Tantra; ketiga-tiganya saling berkaitan. Kita perlu memahami dengan baik semua tema dalam Sravakayana, dalam Mahayana, kemudian dalam Tantrayana; untuk mencapai keberhasilan dalam praktik spiritual kita. Walaupun harus diulang berkali-kali membaca, mempelajari, mendengar, merenung; adalah lebih baik daripada kita sama sekali tidak memiliki pengertiannya.
« Last Edit: 07 February 2014, 12:00:00 PM by Kemenyan »

 

anything