5. Janganlah Hanya Bergantung Pada Logika dan Argumentasi Semata
“Janganlah bergantung pada logika dan argumentasi pribadi semata” merupakan nasihat lain dari Sang Buddha. Janganlah berpikir bahwa penalaran Anda adalah hal yang mutlak. Kalau tidak demikian, Anda akan berbangga diri dan tidak mendengarkan orang lain yang lebih mengetahui dibandingkan dengan diri Anda. Biasanya kita menasihatkan orang untuk menggunakan penalaran mereka. Benar, dengan menggunakan daya pikir dan akal mereka yang terbatas, manusia berbeda dengan hewan dalam hal menggunakan penalaran untuk diri mereka sendiri. Bahkan seorang anak kecil dan orang yang tidak berpendidikan pun menggunakan penalaran sesuai dengan usia, kedewasaan, pendidikan, dan pemahaman mereka. Tetapi kekuatan penalaran ini berbeda berdasarkan pada kedewasaan, pengetahuan, dan pengalaman mereka. Lagi pula, penalaran ini merupakan subjek dari perubahan, dari waktu ke waktu. Identitas atau pengenalan akan konsep-konsep pada diri manusia juga berubah dari waktu ke waktu. Dalam penalaran seperti itu tidak ada analisa terakhir atau kebenaran mutlak. Karena kita tidak memiliki pilihan lain, kita harus menggunakan penalaran terbatas kita secara keras sampai kita mendapatkan pemahaman yang tepat. Tujuan kita seharusnya adalah mengembangkan pikiran kita secara berkesinambungan dengan bersiap diri untuk belajar dari orang lain tanpa menjadi masuk ke dalam kepercayaan membuta. Dengan membuka diri kita terhadap cara berpikir yang berbeda, dengan membiarkan kepercayaan kita tertantang/teruji, dengan selalu tetap membuka pikiran, kita mengembangkan pemahaman kita terhadap diri kita sendiri dan dunia di sekeliling kita. Sang Buddha mengunjungi setiap guru yang dapat Beliau temukan sebelum Beliau mencapai Pencerahan terakhir. Meskipun kemudian Beliau tidak menerima apapun yang mereka ajarkan. Sebaliknya, Beliau menggunakan penalaran-Nya untuk memahami Kebenaran. Dan ketika Beliau mencapai Pencerahan, Beliau tidak pernah marah atau mengancam siapapun yang tidak setuju dengan ajaran-Nya.
Sekarang marilah kita mempertimbangkan argumen dan logika. Kapanpun kita berpikir bahwa hal-hal tertentu dapat diterima oleh kita, kita mengatakan hal-hal tersebut adalah logis. Sebenarnya, seni logika merupakan sebuah alat yang bermanfaat bagi sebuah argumen. Logika dapat diekploitasi oleh para orator (ahli pidato) berbakat yang menggunakan kepandaian dan kecerdikan. Seseorang yang mengetahui cara berbicara dapat menjatuhkan kebenaran dan keadilan serta mengalahkan orang lain. Seperti para pengacara berargumen di pengadilan. Kelompok-kelompok agama yang berbeda berargumen untuk membuktikan bahwa agama mereka lebih baik dari agama-agama yang lainnya. Argumen-argumen mereka berdasarkan pada bakat dan kemampuan mereka untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka tetapi sebenarnya mereka tidak tertarik kepada kebenaran. Inilah sifat alami dari argumen. Untuk mencapai kebenaran, Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak terpengaruh oleh argumen atau logika tetapi menasihatkan kita untuk menggunakan penyelidikan yang tidak bias. Ketika orang-orang mulai berargumen, secara alami emosi mereka juga muncul dan hasilnya adalah argumen yang memanas. Kemudian, egoisme manusia menambah lebih banyak lagi api dalam perang kata-kata ini. Pada akhirnya, menciptakan permusuhan karena tak ada seorang pun yang mau menyerah. Oleh karena itu, tidak seorang pun seharusnya memperkenalkan kebenaran agama melalui argumen. Ini merupakan nasihat penting lainnya dari Sang Buddha.
6. Janganlah Menerima Apapun Hanya Berdasarkan Pada Pengaruh Pribadi Seseorang
Kemudian nasihat selanjutnya adalah janganlah menerima apapun sebagai kebenaran mutlak berdasarkan pada pengaruh pribadi seseorang. Hal ini mengacu pada kepercayaan yang dilihat sebagai kebenaran melalui imajinasi pribadi seseorang. Meskipun kita memiliki keraguan dalam pikiran kita, kita menerima hal-hal tertentu sebagai kebenaran setelah penyelidikan yang terbatas. Semenjak pikiran kita terpedaya oleh banyaknya keinginan dan perasaan-perasaan emosional, sikap batin ini menciptakan banyak ilusi. Dan kita juga sebenarnya memiliki kebodohan batin yang mendalam. Semua orang menderita karena kebodohan batin dan ilusi. Kekotoran batin menyelimuti pikiran yang kemudian menjadi bias dan tidak dapat membedakan antara kebenaran dan ilusi. Sebagai hasilnya, kita menjadi percaya bahwa hanya kepercayaan kitalah yang benar. Nasihat Sang Buddha adalah agar tidak mengambil sebuah kesimpulan dengan segera dengan menggunakan perasaan emosional kita melainkan agar mendapatkan lebih banyak lagi informasi dan penyelidikan sebelum kita mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Ini berarti kita harus bersedia mendengarkan terlebih dulu apa yang orang lain katakan. Mungkin mereka dapat menjernihkan keragu-raguan kita dan membantu kita untuk mengenali kesalahan atas apa yang kita percayai sebagai kebenaran. Sebagai contoh untuk hal ini adalah suatu masa ketika orang-orang pernah mengatakan bahwa matahari mengelilingi bumi dimana bumi berbentuk datar seperti layaknya uang logam. Hal ini berdasarkan pada keterbatasannya pengetahuan mereka, tetapi mereka bersiap untuk membakar hidup-hidup siapapun yang berani mengemukakan pandangan yang lain. Terima kasih kepada Guru Tercerahkan kita, Buddhisme dalam sejarahnya tidak memiliki catatan gelap dimana orang tidak diperkenankan untuk menentang apapun yang tidak masuk akal seperti itu. Inilah mengapa begitu banyak aliran Buddhisme saling bertautan secara damai tanpa mengecam satu sama yang lain. Berdasarkan pada petunjuk-petunjuk yang jelas dari Sang Buddha, umat Buddha menghormati hak-hak orang lain untuk memegang pandangan-pandangan yang berbeda.
7. Janganlah Menerima Apapun Yang Kelihatannya Benar
Nasihat selanjutnya adalah agar janganlah menerima apapun yang kelihatannya benar. Ketika Anda melihat segala hal dan mendengarkan beberapa tafsiran yang diberikan oleh orang lain, Anda hanyalah menerima penampilan luar dari obyek-obyek tersebut tanpa menggunakan pengetahuan anda secara mendalam. Kadangkala konsep atau identitas yang Anda ciptakan mengenai suatu obyek adalah jauh dari kebenaran hakikinya.
Cobalah untuk melihat segala sesuatu dalam sudut pandang yang sebagaimana mestinya. Buddhisme dikenal sebagai Ajaran Analisis[2]. Hanya dengan melalui analisa kita dapat memahami apa yang sebenarnya terdapat pada sebuah obyek dan apakah jenis dari elemen-lemen dan energi-energi yang berkerja dan bagaimanakah hal-hal itu bisa ada, mengapa mengalami kelapukan dan menghilang. Jika Anda benar-benar menelaah sifat alami dari hal-hal ini, Anda akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada adalah tidak kekal dan kemelekatan terhadap obyek-obyek tersebut dapat menimbulkan kekecewaan. Juga, Anda akan menyadari bahwa tidak ada hal penting dalam pertengkaran mengenai ide-ide ketika dalam analisa terakhir, ketika melihat hal-hal tersebut dalam sudut pandang yang sebebarnya, ternyata hal-hal tersebut hanyalah ilusi belaka. Umat Buddha tidaklah terjebak dalam hal-hal kontoversial mengenai kapan dunia akan berakhir karena mereka melihat bahwa secara pasti segala sesuatu yang terdiri dari perpaduan akan mengalami kehancuran. Dunia akan berakhir. Tidak ada keraguan akan hal itu. Kita berakhir setiap waktu kita menarik napas masuk dan keluar. Akhir dunia (yang disampaikan oleh Sang Buddha) hanya semata-mata peristiwa dramatis dari sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan ilmu astronomi modern mengatakan kepada kita bahwa dunia bergejolak setiap saat. “Mereka yang tidak mengkhawatirkan masa lalu, mereka yang tidak mengkhawatirkan masa depan, maka mereka hidup dalam ketenangan”[3] (Sang Buddha). Ketika kita mengetahui kebenaran ini, maka akhir dunia tidak lagi menjadi hal yang begitu menakutkan atau bahkan tidaklah pantas untuk dikhawatirkan.
8. Janganlah Bergantung Pada Pengalaman Spekulasi Pribadi Seseorang
Sang Buddha kemudian memperingatkan para pengikutnya untuk tidak bergantung pada pengalaman spekulasi pribadi seseorang. Setelah mendengarkan atau membaca beberapa teori tertentu, orang dengan mudah tiba pada kesimpulan tertentu dan memelihara kepercayaan ini. Mereka menolak dengan sangat keras untuk mengubah pandangan mereka karena pikiran mereka telah terbentuk atau karena sewaktu beralih pada kepercayaan tertentu, mereka telah diperingatkan bahwa mereka akan dibakar di dalam neraka jika mereka mengubah pendiriannya. Dalam kebodohan dan rasa takut, orang-orang malang ini hidup dalam surga kebodohan, mereka berpikir bahwa kesalahan-kesalahan mereka secara ajaib akan diampuni. Nasihat Sang Buddha adalah agar tidak membuat kesimpulan gegabah apapun untuk memutuskan apakah sesuatu itu benar atau sebaliknya. Manusia dapat menemukan berbagai macam hal di dunia ini tetapi hal yang paling sukar bagi mereka untuk dilihat adalah kebenaran atau realita dari segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan. Kita seharusnya tidak bergantung pada desas-desus spekulasi untuk memahami kebenaran. Kita boleh menerima beberapa hal tertentu sebagai dasar yang digunakan untuk memulai sebuah penyelidikan yang akhirnya akan memberikan kepuasan pada pikiran yang selalu ingin tahu. Keputusan yang kita ambil dengan cara spekulasi dapat dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh sekelompok orang buta yang menyentuh bagian berbeda dari tubuh seekor gajah. Setiap orang buta tersebut memiliki keputusan sendiri berdasarkan apa yang ia pikirkan tentang bentuk dari gajah tersebut. Bagi masing-masing orang buta tersebut, apa yang ia katakan adalah benar. Meskipun mereka yang dapat melihat hal-hal tersebut tahu bahwa semua orang buta tersebut salah, dalam pikiran orang-orang buta tersebut mereka berpikir bahwa merekalah yang benar. Juga janganlah seperti katak dalam tempurung kelapa yang berpikir bahwa tidak ada dunia lain di luar apa yang dapat ia lihat.
Kita terbutakan oleh kekotoran batin kita. Inilah mengapa kita tidak dapat memahami kebenaran. Inilah mengapa orang lain dapat menyesatkan dan mempengaruhi kita dengan sangat mudah. Kita selalu mudah mengganti kepercayaan yang telah kita terima sebagai kebenaran karena kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam. Orang-orang mengubah lebel agama mereka dari waktu ke waktu karena mereka mudah terpengaruh oleh emosi manusia. Ketika kita sudah menyadari kebenaran tertinggi, kita tidak perlu lagi mengubahnya dalam keadaan apapun karena dalam kebenaran terakhir tidak ada hal yang diubah, ia adalah Mutlak.
9. Janganlah Dengan Mudah Mengubah Pandangan Kita Karena Kita Terkesan Oleh Kemampuan Seseorang Yang Tampak Mengesankan
Kita seharusnya tidak mengubah pandangan-pandangan kita dengan mudah karena kita terkesan oleh kemampuan yang tampak mengesankan dari seseorang merupakan nasihat selanjutnya Sang Buddha yang diberikan kepada para pemuda yang disebut dengan suku Kalama. Beberapa orang memiliki kemampuan untuk mengesankan Anda dengan perilaku dan kemampuan nyata untuk melakukan hal-hal tertentu. Sebagai contoh, akankah Anda mempercayai secara membuta seorang gadis yang ada di iklan televisi yang mengatakan kepada Anda bahwa Anda juga dapat menjadi cantik secantik dirinya, memiliki gigi seindah giginya, jika Anda menggunakan pasta gigi merek tertentu? Tentu tidak. Anda tidak akan menerima apa yang ia katakan tanpa memeriksa secara hati-hati kebenaran akan pernyataanya. Ini juga sama dengan para pembicara fasih yang mengetuk pintu Anda untuk menceritakan cerita yang mempesona tentang “kebenaran” mereka. Mereka mungkin berbicara mengenai beragam pengajar agama, guru-guru, dan ahli-ahli meditasi. Mereka juga akan menikmati memberi pernyataan yang dilebih-lebihkan untuk membuktikan kekuatan dari guru-guru mereka untuk mempengaruhi pikiran Anda. Jika Anda secara membuta menerima perkataan-perkataan mereka sebagai Kebenaran, Anda akan memelihara pandangan yang goyah dan dangkal karena Anda tidak sepenuhnya yakin. Anda mungkin mengikuti mereka dengan iman untuk beberapa saat, tetapi suatu hari Anda akan merasa kecewa, karena Anda tidak menerimanya melalui pemahaman dan pengalaman Anda. Dan segera setelah guru mengesankan lainnya datang, Anda akan meninggalkan yang pertama.
Telaahlah nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Pikirkan bagaimana beralasannya, masuk akalnya, dan ilmiahnya cara pengajaran-Nya. “Janganlah mendengarkan orang lain dengan kepercayaan membuta. Dengarkanlah mereka dengan segala pengertiannya, tetapi tetaplah penuh perhatian dan dengarlah dengan pikiran terbuka. Anda tidak seharusnya menyerahkan pendidikan dan kecerdasan Anda kepada orang lain ketika Anda sedang mendengarkan mereka. Mereka mungkin mencoba untuk membangkitkan emosi Anda dan mempengaruhi pikiran Anda sesuai dengan kebutuhan duniawi Anda untuk memuaskan keinginan Anda. Namun tujuan mereka mungkin bukan berkepentingan untuk mengungkapkan kebenaran.”
10. Janganlah Menerima Apapun Atas Pertimbangan Bahwa “Inilah Guru Kami”
Janganlah menerima apapun atas pertimbangan bahwa “inilah guru kami”, merupakan nasihat terakhir Sang Buddha dalam konteks ini. Pernahkah Anda mendengar guru-guru agama lain manapun yang mengutarakan kata-kata seperti itu? Semua guru agama lain mengatakan, “Sayalah satu-satunya guru terhebat, saya adalah Tuhan. Ikutilah aku, sembahlah aku, berdoalah padaku, jika tidak engkau tidak akan memiliki keselamatan.” Mereka juga mengatakan, “Janganlah kau menyembah Tuhan lain atau guru lain.” Berpikirlah untuk sejenak untuk memahami sikap Sang Buddha. Sang Buddha mengatakan, “Engkau seharusnya tidak bergantung secara membuta kepada gurumu. Ia mungkin saja adalah penemu sebuah agama atau seorang guru yang terkemuka, tetapi meskipun demikian engkau tidak seharusnya mengembangkan kemelekatanmu terhadapnya sekali pun.”
Beginilah caranya Sang Buddha memberikan penghargaan yang semestinya kepada kecerdasan seseorang dan memperkenankan manusia menggunakan kehendak bebasnya tanpa bergantung kepada orang lain. Sang Buddha mengatakan, “Engkau bisa menjadi tuan atas dirimu sendiri.” Sang Buddha tidak pernah mengatakan kepada kita bahwa Beliaulah satu-satunya Guru Yang Tercerahkan dan karenanya para pengikutnya tidak diperkenankan untuk memuja tuhan/dewa dan guru agama lain. Beliau juga tidak menjanjikan para pengikutnya bahwa mereka dapat dengan mudah pergi ke surga atau mencapai Nibbana jika mereka memuja-Nya secara membuta. Jika kita mempraktikkan sebuah agama hanya dengan bergantung kepada seorang guru, kita tidak akan pernah menyadari kebenaran. Tanpa menyadari kebenaran mengenai agama yang kita praktikkan kita dapat menjadi korban dari kepercayaan yang membuta dan memenjarakan kebebasan berpikir kita dan akhirnya menjadi budak bagi seorang guru tertentu dan mendiskriminasikan guru yang lain.
Kita harus menyadari bahwa kita harus tidak bergantung pada orang lain untuk keselamatan kita. Tetapi kita dapat menghormati guru agama manapun yang tulus dan pantas untuk dihormati. Para guru agama dapat mengatakan kepada kita apa yang dilakukan untuk meraih keselamatan kita, tetapi seseorang tidak dapat menyelamatkan orang lain. Penyelamatan ini bukan seperti menyelamatkan sebuah kehidupan ketika dalam bahaya. Ini adalah pembebasan terakhir dari kekotoran batin dan penderitaan duniawi. Inilah mengapa kita harus berkerja secara individual (sendiri) untuk meraih pembebasan kita atau kemerdekaan penuh berdasarkan pada nasihat yang diberikan oleh guru-guru agama.
“Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan kita selain diri kita. Sang Buddha hanyalah menunjukkan jalannya.”
Dapatkah Anda pikirkan pemimpin agama lain yang manapun yang pernah mengatakan hal ini? Inilah kebebasan yang kita miliki di dalam Buddhisme.
Inilah sepuluh nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha kepada sekelompok pemuda yang disebut suku Kalama yang datang menemui Sang Buddha untuk mengetahui bagaimana menerima suatu agama dan bagaimana untuk memutuskan mana agama yang benar.
Nasihat Beliau adalah: “Janganlah mementingkan diri sendiri dan janganlah menjadi budak bagi yang lain; Janganlah melakukan apapun hanya untuk kepentingan pribadi tetapi pertimbangkan untuk kepentingan pihak lain.” Beliau mengatakan kepada suku Kalama bahwa mereka dapat memahami hal ini berdasarkan pada pengalaman pribadi mereka. Beliau juga mengatakan bahwa di antara beragam praktik dan kepercayaan, ada hal-hal tertentu yang baik bagi seseorang tetapi tidak baik bagi yang lain. Dan sebaliknya, ada hal-hal tertentu yang baik bagi orang lain tetapi tidak baik bagi seseorang. Sebelum Anda melakukan apapun, Anda harus mempertimbangkan baik manfaat maupun ketidakmanfaatan yang akan bertambah pada diri Anda. Inilah garis pedoman untuk dipertimbangan sebelum Anda menerima suatu agama. Oleh karena itu, Sang Buddha telah memberikan kebebasan secara penuh kepada kita untuk memilih suatu agama berdasarkan pada pendirian diri kita sendiri.
Buddhisme merupakan suatu agama yang mengajarkan seseorang untuk memahami bahwa manusia bukanlah untuk agama tetapi agama itulah yang untuk manusia gunakan. Agama dapat diibaratkan sebagai rakit yang digunakan manusia untuk menyeberangi sungai. Ketika orang itu telah sampai di sisi lain sungai, ia dapat meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya. Seseorang seharusnya menggunakan agama untuk perbaikan dirinya dan untuk mengalami kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan. Buddhisme merupakan suatu agama yang dapat kita gunakan untuk hidup penuh kedamaian dan membiarkan yang lain untuk juga hidup penuh kedamaian. Saat mempraktikkan agama ini kita diperkenankan untuk menghormati agama lain. Jika sukar untuk menghormati sikap dan perilaku agama lain maka setidaknya kita perlu bertoleransi tanpa mengganggu atau mengutuk agama lain. Sangatlah sedikit agama lain yang mengajarkan para pengikutnya untuk mengadopsi sikap bertoleransi ini.
-Selesai- (tentu copasan)
Catatan Penerjemah:
[1] Sebuah sudut pandang teologis yang menganggap bahwa kesenjangan atau celah yang ada di dalam pengetahuan ilmiah merupakan bukti dari keberadaan Tuhan.
[2] Ajaran Analisis (Pali: vibhajyavāda), ajaran yang mengajarkan bahwa pemahaman yang mendalam harus berasal dari pengalaman, penyelidikan kritis dan penalaran, bukan dari kepercayaan yang membuta (iman).
[3] Bandingkan dengan: Dhammapada 348, Bhaddekaratta Sutta (Majjhima Nikāya 131), dan Arañña Sutta (Saṃyutta Nikāya 1.10)
Judul Asli: How To Choose A Religion?
Oleh: Y. M. K. Sri Dhammananda
Diterjemahkan oleh: Bhagavant