TL:
Kan mas Tan tidak perlu menyanggah saya?
TAN:
Ooo saya tidak menyanggah, hanya memberikan penjelasan mengenai Mahayana sejauh yang saya ketahui. hahahaha
Jadi sanggah-menyanggah terjadi karena mas Tan juga kan
TL:
Kalau ada sesuatu diluar pancaskandha apa? sebutin dong mas.
TAN:
Nama itu hanya sebutan yang diberikan oleh manusia. Apalah arti sebuah nama? Apa namanya tidak penting. Saya bisa beri sebutan apa saja dan sekaligus tidak bisa beri sebutan apa saja. Yang pasti itu “ada”sesuatu. Kalau tidak berarti sama saja dengan nihilisme donk? Anda mau disebut kaum nihilis? Seperti yang telah saya katakan berkali-kali Mahayana lebih konsisten dan masuk akal dengan hal ini. Mari saya terangkan dengan alur logika.
Kalau bagi Anda, hanya ada lima skandha penyusun makhluk hidup DAN tak ada yang lainnya lagi, maka begitu seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, dimana panca skandha musnah; artinya semuanya ikut MUSNAH. Bila begitu apa bedanya dengan nihilisme? Bisakah Anda menjelaskan hal ini? Untuk kesekian kalinya saya mengungkapkan hal ini.
Kalau bukan Skandha yang memancarkan apa mas? ada referensinya nggak? apa cuma pendapat pribadi?
Di sini letak bedanya dengan ajaran Mahayana. Mahayana bukan eternalisme karena menganggap bahwa sesuatu yang kekal itu dipandang dari konsepsi adanya “aku” atau tidak. Bila “aku” telah padam, maka tidak ada lagi bias-bias kesalahan. Tidak ada lagi keinginan untuk melanggengkan sang “aku.” Itulah sebabnya meskipun mengajarkan bahwa seorang Buddha masih dapat memancarkan maitri karuna hal itu tidak dapat disamakan etenalisme ataupun disamakan dengan pandangan Brahmanisme. Saya kira sudah cukup jelas ya. Terserah mau diterima atau tidak.
ehm.. aku itu darimana ada dimana, bentuknya apa mas? bagaimana cara padamnya aku mas? apakah hilang begitu saja dengan nien fo?
TL:
Jadi karma apa selain karma individu mahluk? karma kursi, karma pohon, mungkin batu jadi Sun go Kong akibat karma ?
TAN:
Hukum karma alias karma niyama. Itu nitya atau anitya? Apakah hukum karma masih merupakan obyek perubahan?
Nggak nyambung lagi. Hukum karma atau karma Niyama terjadi pada apa mas? terjadi pada mahluk hidup atau benda mati juga berlaku karma niyama?
TL:
Anitya adalah sifat dari kondisi-kondisi. dengan berhentinya kondisi-kondisi maka lenyaplah anitya, sekarang saya ulangi pertanyaan saya kelima kalinya dan jangan menghindar mas Tan:
APAKAH KESADARAN ITU BERSIFAT ANITYA ATAU NITYA?
TAN:
Saya ulangi pula pertanyaan SEKALIGUS JAWABAN saya untuk kelima kalinya:
APAKAH ANITYA ITU BERSIFAT NITYA ATAU ANITYA?
Coba direnungkan. Apakah cukup jelas? Nah itulah jawaban saya. Saya sudah menjawab untuk kali ke-5. Andalah yang menghindar dari jawaban saya. Hahahahahahaahaha.......
Coba jawab mas Tan :
Mahluk hidup punya kesadaran atau tidak ? ? ? Kesadaran itu anitya atau nitya ?
TL:
Jawab yang jujur mas 99% sama atau tidak?
TAN:
Sama. Silakan ehipassiko saja sendiri.
Abhidharma Sarvastivada:
Sangitiparyaya ('Discourses on Gathering Together')
Dharmaskandha ('Aggregation of Dharmas')
Prajnaptisastra ('Treatise on Designations')
Dhatukaya ('Body of Elements')
Vijnanakaya ('Body of Consciousness')
Prakaranapada ('Exposition')
Jnanaprasthana ('Foundation of Knowledge')
Abhidhamma:
Dhammasangani ('Enumeration of Factors')
Vibhanga ('Analysis')
Dhatukatha ('Discussion of Elements')
Puggalapannatti ('Descriptions of Individuals')
Kathavatthu ('Points of Controversy')
Yamaka ('The Pairs')
Patthana ('Foundational Conditions' or 'Relations')
The Four Āgamas: (
http://en.wikipedia.org/wiki/Agamas )
There are four extent collections of Āgamas. They are preserved in their entirety only in Chinese translation (Agama: 阿含經), although small portions of all four have recently been discovered in Sanskrit, and portions of three of the four Āgamas are preserved in Tibetan.[6] It is not known if any schools had an equivalent to the Khuddaka Nikāya, the fifth Nikāya of the Pāli Canon. The four extent Āgamas are:
The Saṃyukta Āgama ("Connected Discourses", Zá Ahánjīng 雜阿含經 Taishō 99)[7] (corresponding to Saṃyutta Nikāya). A Chinese translation of the complete Saṃyukta Āgama of the Sarvāstivāda (說一切有部) school was done by Guṇabhadra (求那跋陀羅) in the Song state (宋) [435-443CE]4 (although two folios are missing). Portions of the Sarvāstivāda Saṃyukta Āgama also survive in Tibetan translation. There is also an incomplete Chinese translation of the Saṃyukta Āgama (別譯雜阿含經 Taishō 100) of the Kāśyapīya (飲光部) school by an unknown translator [circa the Three Qin (三秦) period, 352-431CE][8].
A comparison of the Sarvāstivādin, Kāśyapīya, and Theravadin texts reveals a considerable consistency of content, although each recension contains texts not found in the others. The Madhyama Āgama ("Middle-length Discourses," Zhōng Ahánjīng 中阿含經, Taishō 26)[9] (corresponding to Majjhima Nikāya). A complete translation of the Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school was done by Saṃghadeva (僧伽提婆) in the Eastern Jin dynasty (東晉) [397-398CE].
The Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school contains 222 sūtras, in contrast to the 152 suttas in the Pāli Majjhima Nikāya. Portions of the Sarvāstivāda Madhyama Āgama also survive in Tibetan translation. The Dīrgha Āgama ("Long Discourses," Cháng Ahánjīng 長阿含經 Taishō 1)[10] (corresponding to Dīgha Nikāya). A complete version of the Dīrgha Āgama of the Dharmagupta (法藏部) school was done Buddhayaśas (佛陀耶舍) and Zhu Fonian (竺佛念) in the Late Qin dynasty (後秦) [413CE].
It contains 30 sūtras in contrast to the 34 suttas of the Theravadin Dīgha Nikāya. A "very substantial" portion of the Sarvāstivādin Dīrgha Āgama survives in Sanskrit,[11] and portions survive in Tibetan translation. The Ekottara Āgama ("Increased by One Discourses," Zēngyī Ahánjīng, 增壹阿含經 Taishō 125)[12] (corresponding to Anguttara Nikāya). A complete version, translated by Dharmanandi (曇摩難提) of the Fu Qin state (苻秦) [397CE] and altered by Saṃghadeva in the Eastern Jin (東晉), is thought to be from either the Mahāsaṃghika (大眾部) or Sarvāstivādin canons. It contains some mahāyāna philosophy.
According to Keown, "there is considerable disparity between the Pāli and the Sarvāstivādin versions, with more than two-thirds of the sūtras found in one but not the other compilation, which suggests that much of this portion of the Sūtra Piṭaka was not formed until a fairly late date."[13] In addition, there is a substantial quantity of Agama-style texts outside of the main collections. These are found in various sources:
Partial Āgama collections and independent sutras within the Chinese canon.
Small groups of sutras or independent sutras within the Tibetan canon.
Sutras reconstructed from ancient manuscripts in Sanskrit, Gandhari, or other ancient Indic languages.
Passages and quotes from Agama sutras preserved within Mahayana Sutras, Abhidharma texts, later commentaries, and so on.
Isolated phrases preserved in inscriptions. For example, the Ashoka pillar at Lumbini declares iha budhe jāte, a quote from the Mahaparinirvana Sutra.
99% sama ya mas Tan?
TL:
Baik sekali mas, semoga mas Tan sering-sering nien fo agar imannya selalu bertambah kuat.
TAN:
Baik sekali, semoga Bung TL sering-sering baca paritta Pali saja biar tambah pinter berdebat.
Amiduofo,
Tan
Oh ya bagaimana dengan kutipan kitab suci Hindu tersebut, mirip atau tidak?
Terima kasih mas Tan, semoga mas Tan selalu berbahagia.
metta,