//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: 13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)  (Read 15625 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)
« on: 18 July 2010, 11:14:49 PM »
Asal mula

Jauh sebelum Buddha muncul di dunia ini, terdapat latihan pertapaan yang dirancang dengan menyiksa tubuh dalam berbagai macam cara. Mereka yang menjalankannya percaya bahwa mereka akan terbebas dari penderitaan sebagai makhluk hidup. Di sisi lain, yang lain percaya bahwa tujuan tertinggi dari suatu keberadaan adalah terletak pada mengetahui bagaimana untuk menikmati kehidupan sepenuhnya dan memusatkan seluruh usaha mereka dalam menikmati kesenangan indria.

Dari awal mula ajaran-Nya, Buddha menolak dengan pasti kedua jalan ini yang beliau nilai sebagai «jalan ekstrem». Dalam ajaran-Nya, beliau menjelaskan bahwa hanya jalan yang moderat, «jalan tengah», yang dapat membimbing kita pada pengembangan kebijaksanaan dan pengetahuan benar tentang realita. Kedua jalan ekstrem ini mengembangkan, bagi mereka, kemelekatan dan pandangan salah, yang bertentangan dengan jalan moderat yang dapat mengurangi kemelekatan dan mengembangkan pandangan benar.

Perilaku hidup yang diterapkan oleh Bhagava untuk para bhikkhu dan bhikkhuni (patimokkha), untuk samanera (10 sila) dan untuk umat awam (5 atau 8 sila) adalah panduan cukup bagi siapa pun yang dengan baik sekali melatih dalam satipatthana. Bagi mereka yang ingin lebih cepat atau mudah untuk mencapai Nibbana, beliau juga mengajarkan satu set latihan pertapaan yang mana tidak wajib (13 aturan dhutanga yang tidak termasuk ke dalam vinaya), yang memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan seseorang hingga sesedikit mungkin, sehingga melindungi , orang yang mempraktikkan latihan ini, dari kesombongan, keserakahan, kemalasan yang merupakan racun-racun utama dalam jalan pembebasan (hanya dengan berlatih dhutanga tertentu dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat benar-benar mengerti fakta ini; hasil yang mengesankan).

Dhutanga tidak dirancang bagi makhluk yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan ini bermanfaat bagi mereka yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang ekstrem; ini hanyalah latihan yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan cepat dan mudah, prasyarat mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi. Hal tersebut mengurangi rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan makanan, sejumlah pakaian yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan berbagai macam kemelekatan lainnya. Dengan menjalankan latihan ini dengan baik, tidak ada dhutanga yang menimbulkan kelelahan dan tekanan pada tubah atau pikiran. Jika dhutanga melibatkan kesulitan besar atau usaha sulit pada seseorang, maka sebaiknya ia tidak melatihnya, sebagaimana hal ini akan menjadi latihan ekstrem bagi dirinya.

Setiap orang bebas, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, untuk melatih satu atau beberapa praktik dhutanga, yang masing-masing meliputi tiga tingkat pembatasan. Tujuan dari latihan-latihan ini terletak pada menyediakan lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan hidup pertapaan.

Dengan demikian, 13 dhutanga, yang berarti “pelepasan” [meninggalkan (dhuta); keadaan batin (anga)], merupakan satu paket latihan yang dirancang untuk benar-benar mengurangi kemelekatan kita, dengan tujuan untuk mencapai Nibbana dengan segera, seperti burung yang melintasi langit tak berawan pada garis lurus.


13 dhutanga

Terdapat tiga belas latihan petapa: dua latihan untuk jubah, lima latihan untuk makanan, lima latihan untuk tempat tinggal, dan satu latihan untuk postur (yang dikenal dengan usaha dhutanga). Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan rinci mengenai dhutanga, klik pada masing-masing definisi  yang tertampil di bawah ini:

1.   Pamsukula: jubah yang ditinggalkan [menggunakan kain yang ditemukan di jalan sebagai bahan untuk membuat jubah]
2.   Tecivarika: tiga jubah [hanya menggunakan tiga jubah bhikkhu sebagai pakaian]
3.   Pindapatta: pengumpulan dengan mangkuk/patta seseorang [hanya makan apa yang diperoleh dari pindapata keliling, apakah itu banyak atau sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali]
4.   Sapadanacarika: pengumpulan makanan tanpa melewati satu rumah pun [jika bhikkhu memperoleh makanan lezat dari rumah tertentu saat pindapata keliling, ia menghindari rumah itu di masa depan]
5.   Ekasanika: makan sekali saja [makan hanya di satu tempat dan tidak makan sedikit di satu tempat dan lalu makan lagi di tempat yang lain]
6.   Pattapinika: semua makanan dalam 1 mangkuk/patta [hanya makan dalam ukuran tertentu, melihat kesalahan dalam memanjakan selera]
7.   Khalupacchabhattika: tidak menerima makanan tambahan apa pun lagi setelah mulai makan
8.   Aranyika: tinggal di hutan [tidak tinggal di desa atau kuil yang berisik. Dimaksudkan untuk membantu meditasi, karena sangat sulit untuk bermeditasi di tempat yang berisik]
9.   Rukkhamula: tinggal di bawah pohon [tidak tinggal di bawah atap]
10.   Abbhokasika: tinggal di alam terbuka tanpa pelindung
11.   Susanika: tinggal di pekuburan
12.   Yathasantatika: tidur di tempat yang telah diperuntukkan baginya
13.   Nesajjika: menghindari sikap berbaring
« Last Edit: 08 August 2010, 12:41:26 PM by Sumedho »
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
Re: 13 Praktik Petapa (Dhutanga)
« Reply #1 on: 18 July 2010, 11:19:58 PM »
Lima macam motivasi

Untuk melatih dhutanga, terdapat beberapa macam motivasi. Beberapa orang dapat melatih salah satu dari latihan tersebut untuk suatu tujuan yang buruk, dalam tujuan  mengumpulkan kebanggaan dalam diri mereka sendiri, sedangkan yang lain melatih salah satu dari latihan ini untuk suatu tujuan yang murni, dengan tujuan menyembuhkan diri mereka sendiri dari kekotoran batin (kilesa), sama seperti keadaan pikiran seseorang yang meminum obat.  Berikut adalah lima macam motivasi yang dapat kita bedakan di antara mereka yang melatih salah satu atau lebih dhutanga:

1.   Karena ketidaktahuan sama sekali, bahkan tanpa mengetahui keuntungan mereka:  hanya karena telah mendengar bahwa para pelaksana dhutanga adalah cukup terkenal dan dalam hal ini dapat mengatakan “sayalah, saya melatih dhutanga”, dll.

2.   Untuk memperoleh keuntungan dengan mengembangkan keserakahan, misalnya: untuk memperoleh banyak pemberian, untuk dianggap baik oleh orang lain, untuk menimbulkan suatu pemujaan yang luar biasa dari orang lain, untuk menarik murid bagi seseorang, dll.

3.   Karena kegilaan, karena ketidaktahuan sama sekali, tanpa penyelidikan mengenai hal apa pun.

4.   Karena Buddha dan Para Ariya memuji latihan semacam itu.

5.   Untuk memperoleh manfaat dengan keuntungan yang sehat, misalnya: kapasitas untuk berpuas diri dengan yang sangat sedikit, kelemahan terpaut pada keserakahan, kemudahan dalam memperoleh hal-hal yang dibutuhkan, ketenangan, ketidakmelekatan, dll.

Buddha tidak menyetujui tiga motivasi pertama di atas, beliau hanya menyetujui dua motivasi terakhir. Seseorang boleh kemudian melatih salah satu atau beberapa dhutanga jika dia termotivasi menurut motivasi ke empat dan ke lima diantara lima macam motivasi di atas. Meskipun demikian, dhutanga memiliki manfaat yang lebih tinggi jika hal tersebut dilatih menurut motivasi ke lima, daripada motivasi yang ke empat.


Lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh seorang pelaksana dhutanga

Seorang pelaksana dhutanga yang sedang berada pada posisi melakukan latihan-latihan itu (ia berada dalam keadaan kesehatan yang baik, dll), yang jujur dan yang memiliki Nibbana sebagai akhir tujuan, adalah berharga untuk dipuja oleh para Brahma, dewa dan manusia.

Ini adalah lima faktor yang sebaiknya dikembangkan oleh masing-masing pelaksana dhutanga:
1. Tanpa keserakahan.
2. Mengetahui bagaimana untuk merasa puas dengan yang sangat sedikit.
3. Benar-benar ingin menghancurkan kilesa.
4. Tetap tinggal di suatu tempat tenang.
5. Tidak ada lagi keinginan mengenai keberadaan apa pun dalam dunia dan kondisi apa pun (dengan kata lain, menginginkan Parinibanna).

Faktor pertama adalah menaklukkan keserakahan. Hal tersebut berperan dalam menghancurkan  keinginan-keinginan indria. Kekuatan yang merupakan yang terakhir dari faktor-faktor ini adalah objek yang dapat ditumbuhkan dengan menggunakan kebijaksanaan (panna).

Melalui alobha, kita melenyapkan praktik yang mengembangkan keinginan indria (kámasukhalliká nuyoga), dan melalui amoha, kita menghilangkan seluruh praktik yang menindas tubuh (attakilamathá nuyoga).

Buddha memuji mereka yang melaksanakan dhutanga dengan mengembangkan secara penuh kelima faktor yang telah disebutkan di atas.

Menurut kitab komentar lainnya, faktor-faktor yang perlu dilatih dalam dhutanga adalah:
1. saddha, keyakinan, kepercayaan diri.
2. hirima, takut atau malu untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat.
3. dhitima, tenang, terkendali, dan berkonsentrasi pada perilaku diri.
4. akuha, ketidaktertarikan terhadap ketenaran (karena sesuatu yang kurang baik), kemasyhuran, perhatian pada kepentingan orang lain.
5. atthavasi, perealisasian dhamma sebagai tujuan unik.
6. alobha, ketidakserakahan.
7. sikkhakama, berbudi luhur secara alami dan konstan.
8. ahasamadana, mencegah diri dari melalaikan salah satu dari latihan-latihan ini.
9. anujjhanabahula, tidak mengkritik orang lain, bahkan jika mereka bersalah.
10. mettavihari,  secara konstan penuh dengan rasa kasih (kebajikan).

Seorang praktisi serius dhutanga harus berakar dengan baik sekali ke dalam salah satu dari sepuluh faktor ini. Seorang praktisi yang mengetahui bagaimana untuk berketetapan pada faktor-faktor ini berada dalam posisi untuk mencapai Nibbana.

Elemen-elemen yang sebaiknya dihindari:
1. papiccha, menginginkan hal-hal yang tidak sehat/tidak baik.
2. icchapakata, menekan pikiran seseorang melalui keinginan-keinginan.
3. kuhaka, mencoba untuk menarik perhatian dari orang lain.
4. luddha, iri hati, keinginan besar (untuk memiliki sesuatu)
5. odarika, secara kasar memikirkan makanan orang lain.
6. labhakama, ingin terlibat dalam beberapa persoalan.
7. yasakama, ingin memiliki banyak murid, ingin dipuja oleh banyak orang.
8. kittikama, ingin terkenal (dikarenakan sesuatu yang kurang baik), ketenaran yang luar biasa.

Jika seorang bhikkhu melatih dhutanga berdasarkan salah satu atau beberapa dari delapan poin ini, ia tentu akan menjadi subjek kritik dan tidak dihormati. Ia bahkan berisiko mengalami kecacatan pada kehidupan berikutnya, seperti buruk rupa, cacat fisik, kekurangan anggota gerak, jika tidak terlahir di alam neraka. Itulah mengapa seseorang harus berjuang mengembangkan faktor yg diperlukan dan menghindari faktor yang merugikan.
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
Re: 13 Praktik Petapa (Dhutanga)
« Reply #2 on: 18 July 2010, 11:22:32 PM »
Prosedur mengadopsi dhutanga

Untuk mengambil dhutanga yang seseorang ingin latih, prospek ideal terletak pada melaksanakannya di hadapan Buddha.

Jika Buddha jauh atau tidak ada lagi, ini sangat bermanfaat untuk mengambil dhutanga di hadapan Aggasavaka (sebutan yang diberikan pada dua murid mulia Buddha).

Jika aggasavaka jauh atau tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di hadapan Mahasavaka (sebutan yang diberikan pada 80 murid utama Buddha).

Jika Mahasavaka jauh dan tidak ada lagi, kita bisa melakukannya di hadapan Arahanta.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Arahanta, kita dapat melakukannya di hadapan Anagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Anagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sakadagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Sakadagami, kita dapat melakukannya di hadapan Sotapana.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan Sotapana, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar).

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya di hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar), kita dapat melakukannya di hadapan seseorang yang berlatih dhutanga.

Jika tidak ada seorang pun yang hadir, kita dapat melakukannya di depan cetiya.

Lebih baik melaksanakan satu atau beberapa latihan dhutanga di hadapan seseorang yang memiliki karakter sila yang murni. Hal ini akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik dalam menjaga latihan dhutanga dan menghindari untuk melanggarnya. Namun, jika seseorang ingin mengadopsi dhutanga di luar pengakuan oleh siapa pun, adalah memungkinkan untuk melaksanakan semuanya sendirian. Beberapa bhikkhu lagipula memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai latihan mereka, sehingga secara kokoh menetapkan dalam dirinya sendiri sebuah tekad untuk tidak melatih dhutanga yang didorong oleh motivasi yang tidak sehat.

Pada zaman dahulu, seorang bhikkhu melatih dhutanga yang terdiri dari makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika) selama empat puluh tahun, tanpa siapa pun yang mengetahui akan hal tersebut. Suatu hari, seseorang melihatnya sedang menghabiskan makanannya, berdiri dan beralih untuk menempatkan dirinya di tempat lain. Pada saat yang khusus, orang tersebut menawarkannya sepotong kue. Saat Yang Mulia itu secara sopan menolaknya, si pemberi kue menebak alasannya, mengatakan secara keras: “Anda berlatih dhutanga ekasanika!” Dikarenakan untuk tidak berkata bohong dan tidak memperlihatkan latihannya, bhikkhu itu memilih untuk tidak melanggarnya dengan cara menerima dan memakan potongan kue ini. Sesegera setelah beliau telah mencerna kue tersebut, beliau kembali mengambil dhutanga ini.
« Last Edit: 08 August 2010, 12:37:49 PM by Sumedho »
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
Re: 13 Praktik Petapa (Dhutanga)
« Reply #3 on: 18 July 2010, 11:32:10 PM »
Dhutanga yang dilatih berdasarkan status

Sendirian, seorang bhikkhu dapat melatih 13 dhutanga. Bhikkhuni hanya dapat berlatih 8 di antaranya, samanera hanya dapat berlatih 12, samaneri hanya dapat berlatih 7, dan umat awam hanya dapat berlatih 2, bahkan 9, karena status atau kedisiplinan mereka tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakan yang lain.


Bhikkhu

Seorang bhikkhu dapat melaksanakan yang mana pun dari ketiga belas dhutanga tersebut. Bahkan jika seorang bhikkhu menghendakinya, ia dapat berlatih keseluruhan 13 dhutanga tersebut sekaligus. Untuk hal tersebut, yang terbaik adalah menempati kuburan secara sendirian yang mana pada saat yang sama juga memiliki karakteristik tempat hutan—jauh dari daerah yang dihuni—dan dari tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian, ia juga dapat tinggal di hutan selama tiga malam pertama, di suatu tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan selama tiga malam ke dua, dan di kuburan yang tanpa karakteristik khusus untuk tempat hutan dan tanpa tempat berlindung selama tiga malam terakhir.

Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana melatih di saat bersamaan dhutanga yang mengharuskan tinggal di bawah sebuah pohon (rukkhamula) dan dhutanga yang mengharuskan tinggal di tempat yang sama sekali tanpa tempat berlindung dan tumbuh-tumbuhan (abbhokasika). Meskipun penerjemahan kata-kata "berdiam di bawah sebuah pohon", ide utama dhutanga rukkhamula adalah tidak mengambil sebuah pohon, namun lebih pada meninggalkan kenyamanan materi—yang mungkin menimbulkan kemalasan—dan terhadap segala kewajiban pemeliharaan yang harus dilakukan karena berada di dalam kompleks bangunan. Jadi, dhutanga abbhokasika termasuk dhutanga rukkhamula. Pada hari yang sama, dhutanga yang terdiri dari menjauhi bertempat tinggal dalam sebuah kompleks bangunan (rukkhamula) dan dhutanga yang terdiri dari meninggalkan tempat-tempat yang tersedia dengan tumbuh-tumbuhan dan tempat berlindung (abbhokasika) tidak mencegah seseorang dari berlatih dhutanga yang berbaring menempati "di dalam hutan" (araññika), karena hal ini lalu tidak mengadopsi sebuah biara yang terletak di dalam hutan. Maksud sebenarnya hanya memang terletak pada menempati tempat yang jauh dari daerah yang berpenghuni, tempat tinggal seorang petapa, tempat terisolasi. Sebaliknya, adalah memungkinkan untuk mempraktikkan dhutanga abbhokásika atau dhutanga rukkhamúla tanpa mempraktikkan dhutanga áraññika, misalnya, dengan tinggal di bawah sebuah pohon yang terletak di daerah yang berpenghuni.


Bhikkhuni

Kedelapan dhutanga yang dapat dilatih oleh bhikkhuni adalah: pamsukula, tecivarika, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.

Dhutanga khalupacchabhattika tidak terpakai lagi bagi para bhikkhuni, karena vinaya mereka melarang mereka untuk menolak makanan yang sedang disajikan kepada mereka, bahkan setelah memulai untuk makan (berdasarkan pavarito, lihat pacittiya 35). Mereka tidak dapat melatih dhutanga arannika karena vinaya mereka melarang mereka untuk berdiam di tempat yang terisolasi, tanpa seorang bhikkhu biara yang dekat lokasinya (berdasarkan peraturan ohiyana). Berkenaan dengan dhutanga rukkhamula, abbhokasika, dan susanika, Buddha tidak memberikan otorisasi pada mereka untuk mengambilnya, karena sebagai wanita, latihan-latihan ini terlalu sulit dan berbahaya. Lagipula, seorang bhikkhuni tidak dapat berjalan sendirian di luar kompleks kebiaraan. Seandainya bahwa hal tersebut diizinkan bagi seorang bhikkhuni untuk mendiami suatu tempat yang jauh dari bhikkhu biara, ditemani oleh bhikkhuni lainnya, ia akan kesulitan dalam menemukan bhikkhuni lainnya yang setuju untuk melatih dhutanga yang sama bersama-sama dengannya, tanpa menunjuk pada kenyataan bahwa tujuan utama dhutanga terletak pada melatihnya dalam kesendirian.


Samanera

Samanera dapat berlatih 12 dhutanga; semua dengan mengesampingkan praktik yang terletak pada membatasi diri pada tiga jubah (tecívarika), sebagaimana, berbanding terbalik dengan para bhikkhu dan bhikkhuní, mereka tidak memiliki jubah ganda pemberian. Memang, tidak ada sesuatu hal apa pun yang mencegah samanera dari pelatihan hingga pemanfaatan jumlah yang sangat terbatas dalam hal jubah, selendang (syal), atau selimut. Namun, ini tidak akan menjadi objek dari tecívarika dhutanga.


Sikkhamana dan Samaneri

Ketujuh dhutanga yang dapat dilatih oleh sikkhamana dan samaneri adalah: pamsukula, pindapatta, sapadanacari, ekasanika, pattapinika, yathasantatika, dan nesajjika.

Mereka tidak dapat melatih khalupacchabhattika, áraññika, rukkhamula, abbhokasika, dan susanika dhutanga, dan untuk alasan yang sama sebagaimana bhikkhuní tidak dapat melatihnya, dan berkenaan dengan dhutanga tecívarika, untuk alasan yang sama sebagaimana sámanera tidak dapat melatihnya.


Umat awam

Kedua dhutanga yang kaum awam—termasuk biarawati—mampu melatihnya adalah: ekásanika (makan sekali sehari) dan pattapinika (mengambil makanan seseorang dengan alat penerima tunggal). Namun, seorang umat awam yang benar-benar cenderung kepada praktik penolakan, kemurnian pikiran, dan pada keyakinan yang besar ke dalam Dhamma, dapat, mengikuti contoh para bhikkhu, melaksanakan dua dhutanga ekstra yang disebutkan di atas, dhutanga khalupacchábhattika, áraññika, rukkhamúla, abbhokásika, susánika, yathásantatika, dan nesajjika, yang meningkatkan jumlah dhutanga hingga sembilan.

Namun, umat awam tidak bisa mempraktikkan empat dhutanga pertama, karena mereka tidak memakai jubah monastik apa pun dan tidak mendapatkan makanan mereka melalui sebuah mangkuk.


Para Ariya dan dhutanga

Para Ariya adalah makhluk yang pasti berlatih dhutanga dalam kehidupan ini atau dalam kelahiran kembali sebelumnya. Agar memiliki páramí yang cukup matang untuk realisasi Dhamma, pelatihan dhutanga adalah tidak terelakan. Untuk alasan ini, kita dapat mengatakan bahwa "praktik dhutanga adalah jalan para Ariyá". Dhutanga bahkan termasuk sebuah latihan yang secara khusus menguntungkan untuk perealisasian Nibbana, mengingat fakta bahwa mereka menawarkan kondisi terbaik untuk pelatihan ke dalam delapan magganga—dasar dari satipathana (jalan yang memimpin pada Nibbana)—di satu sisi, dan untuk pelepasan dari seluruh rintangan untuk latihan ini di sisi lain.

Memang terdapat banyak bhikkhu yang terkenal untuk praktik dhutanga mereka. Di antara lainnya, pada masa Buddha, berkenaan dengan praktik dhutanga áraññika dan pamsukula, Yang Mulia Maha Kassapa yang secara khusus terkenal (disamping diakui oleh Buddha sebagai pelaksana terbaik dari 13 dhutanga dari sasana-Nya); kemudian yang terkenal khususnya untuk ketaatan pelaksanaan dhutanga áraññika: Yang Mulia Revata (di hutan Khariravaniya), Yang Mulia Tissa, dan Yang Mulia Nágita; yang terkenal karena ketaatan dhutanga yang dihubungkan dengan abstensi dan konsumsi makanan: Yang Mulia Mitta; yang secara khusus terkenal karena ketaatan dari dhutanga nesajjika: Yang Mulia Sáriputtará, Yang Mulia Moggalána, Yang Mulia Cakkhupála, dll.

Para Arahat ini—seperti semua Arahat yang mempraktikkan dhutanga—tidak melalui kesulitan dalam praktik tersebut demi kepentingan mereka sendiri, karena mereka tidak lagi memiliki apa pun untuk diperoleh bagi diri mereka sendiri (seorang arahat memiliki, menurut definisi, tidak ada lagi ambisi, maupun motivasi). Mereka telah mempraktikkan dhutanga dengan satu-satunya tujuan positif membuat contoh, mendorong untuk ketaatan terhadap praktik mulia ini bagi para bhikkhu lain yang melihat mereka atau akan datang untuk mendengarkan tentang mereka.

Semua Buddha juga telah mempraktikkan dhutanga dalam cara yang luar biasa, pada satu atau beberapa momen keberadaan terakhir mereka. Dengan demikian, orang bijaksana, meniru Buddha, mempraktikkan satu atau beberapa dhutanga ini.

 _/\_
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline DragonHung

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 963
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
Re: 13 Praktik Petapa (Dhutanga)
« Reply #4 on: 04 August 2010, 09:43:29 PM »
Ada yg udah pernah coba belon salah satu dari 13 praktek dhutanga ini?
Banyak berharap, banyak kecewa
Sedikit berharap, sedikit kecewa
Tidak berharap, tidak kecewa
Hanya memperhatikan saat ini, maka tiada ratapan dan khayalan

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)
« Reply #5 on: 05 August 2010, 12:34:53 AM »
mohon maaf sblmnya. ada beberapa kesalahan penerjemahan yg harus saya ralat.
judulnya kurang lengkap, seharusnya 13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga). (subjudulnya yg 13 Praktik Pertapaan)
^:)^ maaf kurang teliti, admin kalo bisa tolong bantu saya modifykan ya.. biar ga salah info bagi yg baca.
n tolong jg disisipkan link sumber ini di thread mulainya http://www.dhammadana.org/en/samgha/dhutanga.htm

Quote
1.   Pamsukula: meninggalkan jubah-jubah => jubah yang ditinggalkan


Quote
Prosedur mengadopsi dhutanga

Untuk mengambil dhutanga yang seseorang ingin latih, prospek ideal terletak pada melaksanakannya sebelum adanyadi hadapan Buddha.

Jika Buddha jauh atau tidak ada lagi, ini sangat bermanfaat untuk mengambil dhutanga sebelum adanyadi hadapan Aggasavaka (sebutan yang diberikan pada dua murid mulia Buddha).

Jika aggasavaka jauh atau tidak ada lagi, kita bisa melakukannya sebelum adanyadi hadapan Mahasavaka (sebutan yang diberikan pada 80 murid utama Buddha).

Jika Mahasavaka jauh dan tidak ada lagi, kita bisa melakukannya sebelum adanyadi hadapan Arahanta.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Arahanta, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan Anagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Anagami, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sakadagami.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sakadagami, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sotapana.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan Sotapana, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui dua dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui satu dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka.

Jika kita dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara sempurna mengetahui salah satu bab dari tiga bagian Tipitaka, kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar).

Jika kita tidak dapat meraih kesempatan untuk melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang secara baik disyairkan dalam Atthakathas (Komentar), kita dapat melakukannya sebelum adanyadi hadapan seseorang yang berlatih dhutanga.

Jika tidak ada seorang pun yang hadir, kita dapat melakukannya di depan cetiya.

Lebih baik melaksanakan satu atau beberapa latihan dhutanga sebelum adanyadi hadapan seseorang yang memiliki karakter sila yang murni. Hal ini akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik dalam menjaga latihan dhutanga dan menghindari untuk melanggarnya. Namun, jika seseorang ingin mengadopsi dhutanga di luar pengakuan oleh siapa pun, adalah memungkinkan untuk melaksanakan semuanya sendirian. Beberapa bhikkhu lagipula memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai latihan mereka, sehingga secara kokoh menetapkan dalam dirinya sendiri sebuah tekad untuk tidak melatih dhutanga yang didorong oleh motivasi yang tidak sehat.

Pada zaman dahulu, seorang bhikkhu melatih dhutanga yang terdiri dari makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika) selama empat puluh tahun, tanpa siapa pun yang mengetahui akan hal tersebut. Suatu hari, seseorang melihatnya sedang menghabiskan makanannya, berdiri dan beralih untuk menempatkan dirinya di tempat lain. Pada saat yang khusus, orang tersebut menawarkannya sepotong kue. Saat Yang Mulia itu secara sopan menolaknya, si pemberi kue menebak alasannya, mengatakan secara keras: “Anda berlatih dhutanga ekasanika!” Dikarenakan untuk tidak berkata bohong dan tidak memperlihatkan latihannya, bhikkhu itu memilih untuk tidak melanggarnya dengan cara menerima dan memakan potongan kue ini. Sesegera setelah beliau telah mencerna kue tersebut, beliau kembali mengambil dhutanga ini.

May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: 13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)
« Reply #6 on: 30 July 2011, 06:09:58 PM »
~ Praktik Dhutanga ~

Ācariya Man sangat yakin bahwa ketekunan dalam praktik dhutanga sungguh-sungguh menunjukkan semangat cara hidup petapa. Ia sangat teguh mematuhi praktik petapa ini sepanjang hidupnya, dan selalu mendorong para bhikkhu yang belajar di bawah bimbingannya untuk mencontohnya dalam praktik mereka masing-masing. Berpindapatta setiap hari, kecuali pada hari-hari yang disengaja untuk berpuasa.

Ācariya Man mengajarkan kepada siswanya, ketika berjalan menuju desa untuk pindapatta, mereka harus selalu sati dan selalu mengendalikan tubuh, ucapan, dan pikiran. Seorang bhikkhu selayaknya tidak pernah membiarkan pikirannya menjadi korban berbagai perasaan menggiurkan terhadap objek hasil tangkapan mata, telinga, hidung, lidah, badan, atau pikiran ketika berjalan ke dan dari desa untuk berpindapatta. Ia menegaskan agar sati dihadirkan dalam setiap gerak, pikiran, dalam setiap langkah perjalanan, dibawah kewaspadaan yang sangat cermat. Hal ini agar dijadikan tugas suci yang membutuhkan perenungan dengan keseriusan tinggi setiap kali seorang bhikkhu bersiap-siap untuk pergi pindapatta di pagi hari.


Makan hanya makanan yang telah diterima dalam mangkok saat pindapatta.: ShowHide
Makan hanya makanan yang telah diterima dalam mangkok saat pindapatta.

Seorang bhikkhu harus mempertimbangkan jumlah makanan yang diterima di mangkoknya setiap hari sehingga cukup untuk keperluannya, seorang yang puas dengan sedikit. Bagi ia, sangatlah tidaklah baik mengharapkan makanan lebih dengan menerima persembahan tulus yang ditawarkan kemudian di vihara. Praktik semacam ini mendorong keserakahan karena kilesanya, membiarkannya untuk memperkuat diri menjadi begitu menguasai hingga hampir tidak mungkin untuk dilawan. Seorang bhikkhu makan apa saja yang diberikan ke dalam mangkoknya, tidak pernah berharap atau bersedih jika tidak sesuai dengan harapannya. Kegelisahan akan makanan adalah sifat setan-setan kelaparan – makhluk menderita akibat hasil kamma buruknya sendiri. Tidak pernah menerima cukup makanan untuk memuaskan nafsu keinginannya, mereka berlari dengan marah, dengan nekad mencoba mengisi mulut dan perut, selalu lebih mengedepankan soal makanan dalam mempraktikkan Dhamma. Praktik petapaan dengan menolak pemberian makanan setelah usai pindapatta adalah cara yang sangat baik dalam mengendalikan kecenderungan munculnya keserakahan akan makanan. Itu juga merupakan cara terbaik untuk mengikis segala keinginan berlebihan terhadap makanan, dan keresahan yang dibuatnya.


Makan satu kali dalam sehari: ShowHide
Makan satu kali dalam sehari sangatlah tepat sebagai cara hidup meditasi seorang bhikkhu dhutanga, karena ia tidak perlu mengkhawatirkan soal makanan lagi dalam sehari. Kalau tidak, ia dengan mudah mengkhawatirkan perutnya dibandingkan Dhamma – suatu perilaku sangat tidak terhormat untuk seseorang yang sungguh-sungguh mencari jalan melenyapkan dukkha. Meski hanya makan sekali dalam sehari, ada kalanya seorang bhikkhu mengurangi konsumsinya, makan lebih sedikit dari yang biasanya dikonsumsi saat satu kali makan. Praktik ini membantu meditasi, karena makan terlalu banyak dapat membuat melemahkan indera.  Sebagai tambahan, seorang bhikkhu yang wataknya temperamental cocok dengan latihan seperti ini dapat mengharapkan memperoleh hasil yang luar biasa untuk perkembangan spiritualnya. Aturan dhutanga ini merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk mengikis keserakahan seorang bhikkhu yang cenderung tergiur oleh makanan.

Dengan cara ini, perlindungan Dhamma bekerja sama besarnya seperti penjaga masyarakat dalam melindungi dirinya sendiri. Musuh masyarakat dilawan dan ditundukkan kapan pun mereka mengancam kekayaan, kepemilikkan, kehidupan dan anggota tubuh, atau kedamaian batin. Apakah hewan buas, seperti anjing hutan, ular, gajah dan harimau, atau penyakit mematikan atau individu yang suka berkelahi, masyarakat di seluruh dunia memiliki ukuran tepat untuk perbaikan, atau obat, yang dapat dengan efektif mengatasi dan melindungi mereka dari ancaman-ancaman tersebut. Seorang bhikkhu dhutanga yang pikirannya menunjukkan kecenderungan sering berselisih dengan nafsu keinginannya akan makanan, atau kualitas tidak bermanfaat lainnya yang dianggap tidak patut, memerlukan adanya acuan yang tepat untuk memperbaiki kecenderungan ancaman
ini. Sehingga, ia akan selalu membekali diri dengan perlindungan diri yang mengagumkan dan hal yang menyenangkan bagi siapa saja yang bergaul dengannya. Makan satu kali dalam sehari merupakan cara yang sangat luar biasa untuk mengendalikan kondisi batin yang sulit
dikendalikan.


Makan semua makanan langsung dari mangkok patta: ShowHide
Makan semua makanan langsung dari mangkok patta tanpa menggunakan perkakas lainnya adalah suatu latihan nyata yang cocok untuk kehidupan seorang bhikkhu dhutanga yang berusaha keras untuk selalu puas dengan sedikit ketika berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Hanya menggunakan mangkuk patta berarti tidak perlu terbeban dengan berbagai perkakas yang tidak praktis dipakai saat ia bepergian dari satu lokasi ke yang lainnya, melatih cara hidup petapa. Pada saat bersamaan, praktik tersebut adalah praktik yang sangat berguna bagi para bhikkhu untuk tidak membebani diri mereka dengan kekacauan batin; tiap tambahan barang yang mereka bawa dan jaga, hanya akan menambah satu lagi beban dalam pikiran mereka. Untuk alasan ini, bhikkhu dhutanga harus memberikan perhatian khusus untuk melatih makan hanya dari mangkuk patta. Pada kenyataannya, hal ini menimbulkan banyak manfaat khusus. Mencampur semua jenis makanan ke dalam mangkuk adalah cara untuk mengingatkan seorang bhikkhu agar penuh perhatian terhadap makanan yang ia makan, dan untuk menyelidiki sifat alaminya menggunakan perhatian dan kebijaksanaan untuk memperoleh pengetahuan mendalam yang jernih akan kebenaran pada makanan.

Ācariya Man berkata, bagi dirinya, makan dari mangkuk sama pentingnya dengan praktik dhutanga lainnya. Ia memperoleh banyak pengertian mendalam ketika merenungkan makanan yang ia makan setiap hari. Sepanjang kehidupannya, ia dengan sungguh-sungguh menjalankan praktik pertapaan ini.

Dengan mengamati sifat alami makanan yang dicampur dalam mangkuk adalah cara efektif mengikis kemelekatan yang kuat akan rasa makanan. Pengamatan ini merupakan teknik yang digunakan untuk melenyapkan keserakahan pikiran seorang bhikkhu ketika ia sedang mengonsumsi makanannya. Keserakahan pada makanan akan diganti dengan perhatian lain akan kebenaran mengenai makanan: tujuan makan hanyalah menunjuang tubuh, untuk kelangsungan hidup dari hari ke hari. Dengan cara ini, tidak ada perasaan senang  terhadap makanan yang enak maupun perasaan tidak senang akan  makanan yang tidak enak, yang akan mengganggu pikiran. Jika  seorang bhikkhu memiliki kecakapan dalam pengamatan setiap ia  mulai makan, pikiraanya akan tetap teguh, tenang, dan terjaga – tidak tergerak oleh kegembiraan atau kekecewaan akan rasa makanan yang dipersembahkan. Konsekuensinya, makan langsung dari mangkuk patta  adalah cara latihan yang luar biasa untuk melenyapkan kemelekatan pada rasa makanan.


bersambung...

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: 13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)
« Reply #7 on: 30 July 2011, 06:10:55 PM »
Memakai jubah yang terbuat dari kain sisa: ShowHide
Memakai jubah yang terbuat dari kain sisa adalah aturan dhutanga lainnya yang dipraktikkan sungguh-sungguh oleh Ācariya Man. Cara pertapaan ini digunakan untuk mencegah godaan untuk memuaskan nafsu alami keinginan akan jubah yang baik, yang terlihat menarik dan keperluan keperluan lainnya. Kain-kain tersebut harus dicari di  tempat-tempat seperti kuburan, untuk mengumpulkan kain sepotong demi sepotong, lalu potongan-potongan dijahit menjadi selembar kain yang dapat dipergunakan, seperti jubah atas, jubah bawah, dan  jubah luar, kain untuk mandi atau keperluan-keperluan lainnya. Pernah suatu kali, keluaga seseorang yang meninggal menyetujui, Ācariya Man mengumpulkan kain pembungkus mayat. Kapan pun ia menemukan potongan kain di jalan saat keluar berpindapatta, ia akan memungutnya dan menggunakannya untuk membuat jubah, tanpa memikirkan jenis kain apa dan dari mana itu berasal. Kembali ke vihara, ia mencucinya, lalu mengunakannya untuk menambal jubah yang sobek, atau untuk membuat kain mandi. Ini dilakukannya secara rutin di mana pun ia tinggal. Kemudian setelah lebih banyak lagi umat-umat yang menjalankan praktiknya, mereka mempersembahkan bahan kain dengan sengaja meletakkan potongan kain di tanah, atau sepanjang rute perjalanan ia berpindapatta, atau disekitar tempat ia tinggal, atau bahkan di kuti tempat ia tinggal. Oleh karena itu, praktiknya yang semula hanya mengumpulkan potongan kain sisa, berubah sesuai dengan kondisi: ia diharuskan untuk menerima kain yang dipersembahkan para umat di lokasi-lokasi strategis. Walaupun seperti itu, ia terus menggunakan jubah yang terbuat dari potongan-potongan kain sisa hingga ia wafat.

Ācariya Man menekankan bahwa untuk dapat hidup dengan nyaman seorang bhikkhu harus dapat memperlakukan dirinya seperti secerca kain lap tua yang tidak berharga. Jika ia dapat melenyapkan keangkuhan dari dirinya yang menyebabkan kebanggaan yang membuatnya merasa istimewa, lalu ia akan dengan mudah merasa tentram dalam semua aktivitas sehari-harinya dan pergaulan pribadinya, dimana kualitas sejatinya bukan muncul dari asumsi. Kebaikan hakiki muncul dari rasa penuh kerendahan hati dan kejujuran dari seseorang yang selalu berhati-hati secara moral dan spiritual. Itu adalah Sifat alami dari kebaikan hakiki: tanpa ada kesombongan berbahaya yang tersembunyi, orang tersebut damai kepada dirinya sendiri dan damai kepada seluruh dunia ke mana pun ia pergi. Praktik pertapaan dengan hanya menggunakan jubah yang terbuat dari kain sisa merupakan penawar pikiran angkuh dan kesombongan.

Seorang bhikkhu yang sedang berlatih harus mengerti hubungan antara dirinya dengan kualitas kebajikan yang ia cita-citakan untuk dicapai. Ia tidak akan pernah membiarkan keangkuhan mengotori kesucian moral dan spiritual yang ia kembangkan dalam batinnya. Jika tidak, taring dan belati berbahaya dapat muncul di antara kualitas-kualitas yang baik – meskipun pada hakekatnya mereka adalah sumber kedamaian dan ketenangan. Ia harus melatih dirinya dengan mengedepankan sifat egoisme dengan menjadi seperti secerca kain tua tak berharga hingga menjadi kebiasaan, sehingga tidak membiarkan kesombongan akan harga dirinya muncul ke permukaan. Seorang bhikkhu harus mengembangkan kualitas mulia ini dan  menanamkannya ke dalam kepribadiannya, menjadikan watak hakiki  semantap bumi ini. Sehingga ia tidak akan terpengaruh lagi akan kata-kata pujian maupun celaan. Juga, pikiran yang telah sepenuhnya melenyapkan kesombongan adalah pikiran yang tenang dalam segala kondisi. Ācariya Man meyakini bahwa praktik mengenakan jubah yang  terbuat dari kain sisa adalah cara yang sangat jitu untuk mengikis rasa sombong yang terkubur sangat dalam di batin.


Tinggal di hutan: ShowHide
Tinggal di hutan. Menyadari betapa berharganya aturan dhutanga dari awal mula, Ācariya Man mendapati tinggal di hutan sangat bermanfaat, terpencil yang menyatu dalam kesunyian. Hidup dan bermeditasi di alam sekitar lingkungan hutan membangunkan sati dan mendorong perhatian untuk tetap waspada dalam semua aktivitas sehari-hari  seseorang: kesadaran selalu hadir pada setiap saat.  Batin merasa gembira dan tanpa rasa khawatir, tidak dirintangi oleh tanggung jawab keduniawian. Pikiran tetap waspada, sungguh memusatkan pada satu objek – melampaui dukkha. Perasaan terdesak seperti itu menjadi semakin terasa ketika tinggal jauh dari pemukiman penduduk, di lokasi jauh di dalam hutan, penuh dengan berbagai macam hewan buas. Dalam kondisi tetap siaga, pikiran seakan merasa hendak melayang tinggi dan keluar dari lubang kilesa yang sangat dalam setiap saat – seperti burung hendak terbang. Sebenarnya, kilesa masih tetap di dalam batin seperti biasanya. Lingkungan hutanlah yang membangkitkan inspirasi pada keinginan akan kebebasan. Kadang-kadang, karena kekuatan dari lingkungan yang menunjang ini, seorang bhikkhu menjadi yakin bahwa kilesanya berkurang dengan cepat hari demi hari, sisanya muncul jarang. Perasaan bebas seperti inilah sumber tetap untuk praktik meditasi.

Seorang bhikkhu yang tinggal di kedalaman hutan cenderung memerhatikan hewan liar di sekitarnya – baik yang berbahaya maupun yang tidak – dengan welas kasih, bukan dengan rasa takut atau masa bodoh. Ia menyadari bahwa semua hewan, berbahaya dan tidak, semuanya setara dalam kelahiran, usia tua, sakit, dan mati. Kita manusia lebih tinggi dari hewan hanya karena kesadaran moral yang lebih unggul: kemampuan kita untuk memahami perbedaan antara yang baik dan jahat. Kurangnya pertimbangan moral seperti ini, kita tidak lebih baik daripada hewan pada umumnya. Tidak dikenali oleh mereka, kita memberi label makhluk ini ‘hewan’, meskipun manusia sendiri adalah sejenis hewan juga. Hewan manusia ini senang melabeli jenis lain, tetapi kita tidak mengetahui label apa yang diberikan hewan lain kepada kita. Siapa yang tahu? Mungkin mereka diam-diam melabeli manusia sebagai ‘raksasa’, karena kita sangat senang menyakiti mereka, menyembelih mereka untuk dagingnya ataupun hanya untuk bersenang-senang. Ini adalah keburukan yang sangat memalukan, cara kita manusia yang terbiasa mengeksploitasi makhluk-makhluk ini; perlakuan kita pada mereka tanpa belas kasihan. Bahkan diantara kita sesama manusia, tidak dapat menghindari untuk membenci dan berlaku kasar satu sama lain, selalu menyakiti atau membunuh satu sama lain. Dunia manusia sering bermasalah karena manusia cenderung untuk menyakiti dan membunuh satu sama lain, sedangkan dunia hewan juga bermasalah karena manusia berlaku sama terhadap mereka. Sebagai akibatnya, hewan bersikap waspada terhadap manusia.

Ācariya Man menyatakan bahwa kehidupan di hutan memberi banyakkesempatan untuk berpikir dan merenungkan tentang batin masing-masing dan hubungannya dengan fenomena alami yang terjadi di luar. Setiap orang yang sungguh-sungguh berjuang untuk melampaui dukkha dapat mendapatkan banyak inspirasi di hutan, banyak dorongan untuk mengintensifkan usahanya secara terus menerus.

[...]

Pengalaman Ācariya Man tinggal di hutan meyakinkan ia akan bagaimana menunjangnya pengaruh lingkungan dalam praktik meditasi. Suasana lingkungan hutan sangatlah cocok bagi mereka yang ingin melenyapkan dukkha. Tidak diragukan lagi merupakan tempat yang sangat tepat sebagai medan pertempuran dalam perjuangan untuk mencapai seluruh tingkatan Dhamma, dibuktikan oleh petunjuk pertama sang guru kepada bhikkhu yang baru saja ditahbiskan: Pergi carilah hutan yang cocok untuk tempat kamu berlatih. Ācariya Man menaati cara petapaan ini hingga akhir hidupnya, kecuali pada situasi tertentu yang sangat jarang, dalam kondisi yang tidak memungkinkan.  Seorang bhikkhu yang tinggal di hutan selalu diingatkan untuk  mengasingkan diri dan betapa mudah diserang dirinya. Ia tidak sanggup untuk tidak menjaga kesadaran. Sebagai hasil atas kewaspadaan ini, segera sangat jelas terlihat manfaatnya secara spiritual.


Berdiam di bawah pohon: ShowHide
Berdiam di bawah pohon adalah cara hidup dhutanga menyerupai kehidupan di hutan. Ācariya Man berkata bahwa ia berada di bawah naungan sebatang pohon pada hari di mana cittanya dengan sempurna melampaui dunia – satu peristiwa yang akan selalu diingat di kemudian hari. Gaya hidup yang bergantung pada naungan sebatang pohon sebagai atap dan satu-satunya perlindungan terhadap berbagai unsur lainnya adalah gaya hidup yang mendukung untuk instropeksi diri terus-menerus. Pikiran yang memiliki fokus mendalam secara terus-menerus akan selalu siap untuk menghancurkan berbagai kilesa, karena perhatiannya berpusat pada Empat Landasan Perhatian – rūpa, vedanā, citta, dan dhamma – dan Empat Kesunyataan Mulia – dukkha, samudaya, nirodha, dan magga. Bersama-sama adalah faktor pembentuk pertahanan pikiran yang sangat efektif, melindunginya sekuat tenaga terhadap serangan hebat dari kilesa. Di kesunyian yang menyeramkan di dalam hutan, rasa takut yang terus menerus akan  bahaya akan memotivasi pikiran untuk tidak terbagi perhatiannya dan terpusat pada Landasan Perhatian atau Kesunyataan Mulia. Untuk melakukannya, sangatlah diperlukan landasan yang sangat kokoh untuk memperoleh kemenangan dalam peperangan menghadapi kilesa – hal ini merupakan jalan kebenaran yang menuju pada Dhamma Mulia. Seorang bhikkhu yang ingin memahami dirinya secara menyeluruh, menggunakan cara yang aman dan benar, harus menemukan subjek meditasi yang tepat dan lokasi yang cocok yang mendukungnya untuk mengerahkan usaha semaksimal mungkin. Kombinasi prinsip-prinsip ini akan mempercepat kemajuan meditasi. Ini digunakan sebagai cara luar biasa untun menghancurkan kilesa sejak zaman Sang Buddha, praktik dhutanga dengan berdiam di bawah sebatang pohon adalah praktik lainnya yang patut mendapat perhatian khusus.


Tinggal di kuburan: ShowHide
Tinggal di kuburan adalah cara praktik tapa yang mengingatkan para bhikkhu dan umat awam  agar tidak terlena ketika mereka masih hidup, beranggapan bahwa mereka sendiri tidak akan pernah mati. Kebenaran dari hal ini adalah: kita semua dalam proses menuju kematian, sedikit demi sedikit, setiap saat setiap hari. Orang-orang yang meninggal dan dipindahkan ke kuburan – yang jumlahnya begitu banyak hampir tidak lagi ruang untuk mengkremasikan atau mengubur mereka – adalah sama dengan orang-orang yang dalam proses menuju kematian sedikit demi sedikit sebelumnya; seperti kita sekarang. Siapa di dunia ini yang masih beranggapan bahwa dirinya sendiri yang paling hebat dengan menyatakan dapat terhindar dari kematian?

Kita diajarkan untuk mengunjungi kuburan sehingga kita tidak lupa kepada sanak saudara yang tak terhitung jumlahnya, yang pernah berbagi dalam lahir, tua, sakit, dan mati; jadi untuk terus-menerus mengingatkan kita bahwa kita juga hidup dibayangi oleh kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian. Tentu saja tidak ada seorang pun yang masih mengembara tanpa tujuan dalam lingkaran kelahiran dan kematian tiada akhir, akan dengan berani menyatakan ia tidak akan  lahir, tua, sakit, atau mati. Mereka cenderung pada pencapaian kebebasan dari lingkaran ini dikarenakan itulah satu-satunya tujuan, para bhikkhu harus mempelajari akar penyebab penderitaan yang
terus-menerus pada diri mereka. Mereka harus melatih diri dengan mengunjungi kuburan di mana kremasi sedang dilaksanakan, dan dengan merenungkan secara mendalam di kuburan dimana mayat-mayat yang tak terhitung jumlahnya dibawa untuk dikuburkan setiap waktu: begitu banyak mayat baik yang lama maupun baru dikuburkan yang sangat tidak mungkin untuk menghitung jumlah mereka. Dengan merenungkan kesunyataan yang memilukan akan kehidupan di dunia ini, mereka menggunakan perhatian penuh dan kebijaksanaan dengan tekun meneliti, memeriksa, dan menganalisa prinsip dasar yang terpendam dalam kesunyataan akan kelahiran dan kematian.

Siapa saja yang secara rutin mengunjungi kuburan – baik itu kuburan di tempat terbuka maupun kuburan di dalam tubuh mereka – dan menggunakan kematian sebagai objek perenungan, dapat sangat mengurangi rasa bangga pada diri sendiri karena muda, masih hidup, dan sukses. Tidak seperti kebanyakan orang, mereka yang secara rutin merenungkan kematian tidak gembira dengan perasaan sombong. Sebaliknya, mereka cenderung melihat kesalahan mereka sendiri, dan secara bertahap mencoba untuk memperbaikinya, bukannya hanya mencari-cari dan mencela kesalahan orang lain – satu kebiasaan buruk yang membawa akibat yang tidak menyenangkan. Kebiasaan ini seperti penyakit yang menahun yang tampak seakan tidak dapat disembuhkan, atau mungkin dapat disembuhkan jika orang tidak lagi tertarik untuk memperburuk infeksi lalu mencoba mengobatinya.

Kuburan menawarkan mereka yang ingin melakukan pengamatan terhadap hal ini mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan penuh dan pemahaman akan sifat alami kematian. Kuburan adalah tempat pertemuan yang besar di dunia ini. Semua orang tanpa kecuali akhirnya harus bertemu di sana. Kematian bukanlah masalah kecil yang dengan mudah dapat dilalui sebelum adanya pengamatan seksama terhadap masalah tersebut. Sebelum mereka dapat menyeberangi kematian, Sang Buddha dan para siswa arahat Beliau harus belajar di ‘Akademi Luar Biasa’ kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian hingga akhirnya menguasai seluruh ajaran. Hanya setelah itu mereka mampu untuk menyeberang dengan nyaman. Mereka telah meloloskan diri dari ancaman Māra, tidak seperti mereka yang melupakan diri mereka, tidak memerhatikan kematian dan tidak memiliki ketertarikan untuk merenungkan hal yang tak dapat dihindarkan itu; meski hal tersebut ada di hadapan mereka.

Mengunjungi kuburan untuk merenungkan tentang kematian adalah cara efektif untukmelenyapkan perasaan takut akan kematian; ketika diambang kematian, keberanian muncul meskipun pada kenyataannya kematian merupakan hal paling mengerikan di dunia ini. Kelihatannya mustahil, tetapi hal itu telah dicapai oleh mereka yang berlatih meditasi – Sang Buddha dan siswa Arahat-Nya menjadi contoh tertinggi. Setelah mencapai jalan mulia ini sendiri, mereka mengajarkan pada yang lain untuk mengamati dengan sekesama setiap aspek kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian sehingga orang yang ingin bertanggung jawab bagi kebaikan mereka sendiri dapat menggunakan latihan ini untuk memperbaiki kesalahpahaman sebelum terlambat. Jika mereka mencapai ‘Akademi Luar Biasa’ ini setelah  mengembuskan nafas terakhir, maka terlambat sudah: pilihan yang tersisa hanyalah kremasi atau penguburan. Menjalankan sila, berdana, dan berlatih meditasi
sudah tidak dapat dilakukan lagi.

Ācariya Man sangat memahami betul manfaat dari mengunjungi kuburan, karena kuburan adalah satu tempat yang selalu mendorong introspeksi. Ia selalu menunjukkan ketertarikan saat mengunjungi kuburan – baik luar maupun dalam. Salah seorang siswa Ācariya Man sangat takut pada hantu, memberanikan diri untuk meneladaninya untuk hal ini. Kami biasanya tidak mengharapkan bhikkhu takut pada hantu, yang setara dengan Dhamma yang takut terhadap dunia – tetapi bhikkhu ini adalah salah satu contoh.


Hanya memakai tiga helai jubah utama: ShowHide
Hanya memakai tiga helai jubah utama merupakan cara hidup dhutanga lainnya yang dijalankan Ācariya Man dengan sungguh-sungguh dari hari pertama ia ditahbiskan hingga menginjak usia tua dan kesehatannya yang menurun akhirnya memaksa ia untuk mengurangi kepatuhannya yang begitu besar karena berbagai alasan. Pada masa itu, bhikkhu dhutanga sangat jarang menetap di satu tempat untuk waktu yang lama, kecuali selama 3 bulan masa vassa. Mereka mengembara melalui hutan dan pegunungan, berpergian dengan berjalan kaki sepanjang jalan karena masih belum adanya mobil pada masa itu. Setiap bhikkhu harus membawa perlengkapannya masing-masing – ia tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapa pun. Untuk alasan ini, masing-masing bhikkhu hanya membawa perlengkapan sebanyak yang mereka bisa bawa. Karena akan terlihat aneh apabila membawa terlalu banyak barang, hanya yang sangat perlu saja dibawa. Bersama berlalunya waktu, sikap sederhana ini menjadi bagian dari sifat seorang bhikkhu. Jika seseorang memberinya sesuatu, ia akan memberikannya kepada bhikkhu lain untuk menghindari menumpuknya barang-barang yang tidak diperlukan.

Keindahan sejati seorang bhikkhu dhutanga terletak pada kualitas latihan dan kesederhanaan hidupnya. Ketika meninggal, ia hanya meninggalkan 8 kebutuhan pokoknya – satu-satunya kebutuhan hidup sejati dari cara hidup yang mengagumkan. Ketika masih hidup, dengan begitu megah dalam kemiskinan – kemiskinan seorang bhikkhu. Setelah mati, ia dengan tenang pergi tanpa adanya kemelekatan apa pun. Manusia dan para dewa menyanyikan pujian untuk bhikkhu yang meninggal dalam kemiskinan mulia, bebas dari segala kemelekatan dunia. Jadi praktik tapa dengan menggunakan hanya tiga helai jubah utama saja akan selalu menjadi lambang kehormatan bhikkhu dhutanga.


Sumber: http://dhct.org/p1374

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: 13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)
« Reply #8 on: 30 July 2011, 06:11:46 PM »
Di bagian akhir dari pembahasan "tinggal di kuburan" diceritakan tentang seorang bhikkhu yang takut pada hantu. Saya tidak copas karena kisahnya cukup panjang yaitu sekitar 7 halaman. Tapi karena cukup bagus, saya ceritakan saja secara singkat.

Pada suatu hari seorang bhikkhu dhutanga mendatangi sebuah desa yang belum pernah ia datangi. Penduduk desa menunjuk sebuah hutan yang cocok untuk bermeditasi, tapi mereka tidak memberitahukan bahwa lokasinya adalah berdekatan dengan tempat kremasi jenazah.

Hari pertama berlalu dengan lancar. Namun keesokan harinya ia mulai gelisah ketika melihat peti jenazah diusung di hadapannya. Ia takut akan gambaran peti mati yang mungkin menghantuinya di malam hari atau ia mungkin "mau tidak mau" harus melihat jenazah yang terbakar. Lama-kelamaan ia menjadi sangat ketakutan dan sulit beristirahat di malam itu.

Saat bermeditasi, ia sangat sulit berkonsentrasi. Setiap kali memejamkan mata, muncul bayangan hantu. Ia menjadi panik. Tapi ia mempunyai perhatian yang cukup untuk merenungkan: "Ketakutan, Hantu – semuanya itu mungkin hanyalah khayalan. Kemungkinan besar bayangan-bayangan menakutkan ini adalah ciptaan pikiranku sendiri." Lalu mengingatkan dirinya: Orang di mana-mana memuji  keberanian luar biasa para bhikku dhutanga, akan tetapi saya di sini tanpa malu takut pada hantu. Saya bertingkah laku seperti seorang yang gagal, sepertinya saya ditahbiskan tetapi hanya untuk hidup dengan rasa takut pada hantu dan jin tanpa alasan apa pun. Saya telah memalukan sesama bhikku dalam tradisi dhutanga. Saya tidak layak untuk dikagumi oleh orang-orang yang memercayai bahwa kami pejuang mulia yang tidak takut apa pun. Bagaimana bisa saya membiarkan ini terjadi?

Setelah itu ia memaksakan diri untuk menghadapi ketakutannya dengan pergi ke tempat jenazah yang sedang terbakar. Jantungnya berdebar dan ia mulai berkeringat. Setelah duduk dan mulai bermeditasi tentang kematian, ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sesaat derap langkah itu berhenti, lalu perlahan-lahan terdengar lagi seperti seseorang yang hendak menyerangnya dari belakang. Saat ini ketakutannya mencapai puncak. Ia telah mempertimbangkan untuk lari dan berteriak. Tapi dia masih bertahan.

Dia mendengar suara aneh – seperti seseorang yang sedang mengunyah, keras dan renyah. Ia membayangkan: "Apa yang sedang dikunyahnya? Selanjutnya, ia akan mengunyah kepala saya! Hantu kejam ini tentu ingin mengakhiri hidup saya." Ia memutuskan untuk membuka mata dan melihat sumber suara itu. Jika keadaan sangat menakutkan, ia telah siap untuk lari. Ia berpikir: "Lari dari kematian sekarang", ia beralasan, "akan memberiku kesempatan untuk melanjutkan latihan nantinya,dengan ketekunan yang baru, daripada saya tidak memperoleh apa apa dengan mengorbankan nyawa kepada hantu ini."

Saat ia melihat ke arah sumber suara, ia melihat seekor anjing kampung sedang memakan sisa makanan persembahan kepada arwah yang merupakan bagian dari tradisi setempat. Dan anjing itu sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada bhikkhu yang sedang ketakutan itu. Bhikkhu itu menertawakan kebodohannya sendiri, dan memutuskan untuk tinggal di sana hingga dia berhasil menakklukkan rasa takut.

Lalu ia merenungkan tipu muslihat yang bercampur aduk dalam pikirannya:

“Meski sudah sekian lama bekerja, kali ini pertama kalinya mereka membawa saya begitu dekat dengan malapetaka. Dhamma mengajarkan kita bahwa saññā adalah ahli dalam muslihat,  tetapi hingga sekarang saya belum pernah memahami dengan jelas maksudnya. Hanya sekarang, setelah merasakan dan mengalami sendiri rasa pahitnya, saya dapat mengerti arti sebenarnya: ketakutan saya tidak lebih dari tipu muslihat saññā. Mulai saat ini, saññā tidak akan pernah lagi menipu saya seperti di waktu lalu. Saya harus tetap tinggal di sini di kuburan ini hingga ‘ahli tipu muslihat’ lenyap dan terkubur, sehingga hantu menyeramkan itu tidak akan lagi menakuti saya di kemudian hari. Hanya setelah itu baru saya bersedia meninggalkan tempat ini. Sekarang giliranku untuk menyiksa hingga mati tipu muslihat yang begitu cerdik ini, lalu membakar mayatnya seperti mayat yang baru saja saya lihat dikremasi di sini. Menghadapi hembusan keras dari tipuan berbahaya saññā – ini adalah satu-satunya hal yang paling mendesak dalam hidup saya saat ini.”


Note: saññā berarti persepsi (salah satu dari 5 kelompok unsur kehidupan. Empat lainnya adalah rupa (jasmani), vedana (perasaan), kesadaran (vinnana), dan sankhara (bentukan-bentukan kehendak)