//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kontradiksi sehubungan dengan perumah tangga yang mencapai kesucian Arahat  (Read 50808 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
kalau begitu, kita bergeser dulu ke masalah interpretasi kutipan sutta tersebut, apakah memang yg spt di-bold itu?, sepertinya saya memang perlu meminta bantuan kedua samanera + samaneri untuk memberikan interpretasinya sesuai Pali
Maksudnya? Kalau di Sutta kan memang baik Indo atau Inggris mengatakan bahwa:
Vaccha: “Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat meninggal dunia telah mengakhiri penderitaan?”

Sang Buddha: “Vaccha, tidak ada perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat saat meninggal dunia telah mengakhiri penderitaan.”
appamadena sampadetha

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Pada tahun kedua setelah mendapat Penerangan Agung, Sang Buddha diam di Nigrodharama, Kapilavatthu, waktu itu Putri Pajapati Gotami, istri Raja Suddhodana menjadi seorang Sotapanna, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha. Tiga tahun kemudian, pada tahun kelima Sang Buddha mendapat Penerangan Agung, Raja Suddhodana sakit keras. Sang Buddha, yang waktu itu berada di balairung Kutagarasalla, Vesali, datang ke Kapilavatthu dengan terbang melalui udara. Raja Suddhodana kelihatannya sudah lemah sekali, Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada ayahnya yang berada di tempat tidur, di bawah payung kerajaan yang berwarna putih. Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan khotbah tersebut dan masih dapat menikmati berkah dan kedamaian Nibbana selama tujuh hari sebelum mangkat. Waktu itu Putri Pajapati sudah mengambil keputusan untuk menjadi bhikkhuni dan menunggu waktu yang tepat untuk mohon ditahbiskan oleh Sang Buddha.

sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=703&hal=2&path=naskahdhamma/riwayat&hmid=
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Pada tahun kedua setelah mendapat Penerangan Agung, Sang Buddha diam di Nigrodharama, Kapilavatthu, waktu itu Putri Pajapati Gotami, istri Raja Suddhodana menjadi seorang Sotapanna, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha. Tiga tahun kemudian, pada tahun kelima Sang Buddha mendapat Penerangan Agung, Raja Suddhodana sakit keras. Sang Buddha, yang waktu itu berada di balairung Kutagarasalla, Vesali, datang ke Kapilavatthu dengan terbang melalui udara. Raja Suddhodana kelihatannya sudah lemah sekali, Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada ayahnya yang berada di tempat tidur, di bawah payung kerajaan yang berwarna putih. Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan khotbah tersebut dan masih dapat menikmati berkah dan kedamaian Nibbana selama tujuh hari sebelum mangkat. Waktu itu Putri Pajapati sudah mengambil keputusan untuk menjadi bhikkhuni dan menunggu waktu yang tepat untuk mohon ditahbiskan oleh Sang Buddha.

sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=703&hal=2&path=naskahdhamma/riwayat&hmid=

sayang sekali tidak mencantumkan sumber sutta/vinaya -> tidak otentik

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Kisah Mahapajapati Gotami Theri
 
 
 DHAMMAPADA XXVI, 9
 

        Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddohodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddhattha, calon Buddha. Maka, Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha.

        Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diizinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi izin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat.

        Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung kehendak para wanita tersebut.

        Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan kewajiban khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha. Kemudian Beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni.

        Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.

        Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Oleh karena itu Mahapajati bukanlah seorang bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.

        Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak mempunyai pembimbing.

        Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Mengapa kalian berkata demikian? Saya sendiri memberikan delapan kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Kalian hendaknya tidak meragukan apapun yang dilakukan oleh seorang arahat".

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 391 berikut:

Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran, serta dapat mengendalikan diri dalam tiga saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Kisah Raja Suddhodana
 
 
 DHAMMAPADA XIII, 2-3
 

        Ketika Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu untuk pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Di sana Beliau menjelaskan Dhamma kepada sanak saudaranya. Raja Suddhodana berpikir bahwa Buddha Gotama, yang adalah anaknya sendiri, tidak akan pergi ke tempat lain, tetapi pasti akan datang di istananya untuk menerima dana makananan pada hari berikutnya; tetapi ia tidak dengan resmi mengundang Sang Buddha datang untuk menerima dana makanan. Bagaimanapun, pada hari berikutnya, ia menyediakan dana makanan untuk dua puluh ribu bhikkhu. Pada pagi hari itu Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha.

        Yasodhara, isteri Pangeran Siddhattha sebelum beliau meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan dari jendela istana. Dia memberitahukan ayah mertuanya, Raja suddhodana, dan sang raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha. Raja memberitahukan Sang Buddha bahwa untuk seorang anggota keluarga kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Kemudian Sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi itu.

        Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 168 dan 169 berikut:

Bangun! Jangan Lengah! Tempuhlah kehidupan benar. Barangsiapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barangsiapa hidup sesuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

        Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
 [at] Ryu, yg dicari adalah sutta yg menceritakan Suddhodana mencapai Arahat, bukan yg lain

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
1. Kita tentu pernah mendengar atau membaca bahwa Raja Suddhodana, Ayah Sang Buddha, berhasil mencapai kesucian Arahat sesaat sebelum meninggal dunia tanpa menjadi bhikkhu.

2. menurut MN 71 Tevijjavacchagotta Sutta, terjadi dialog antara Vacchagotta dengan Sang Buddha sebagai berikut

Vaccha: “Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat meninggal dunia telah mengakhiri penderitaan?”

Sang Buddha: “Vaccha, tidak ada perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat saat meninggal dunia telah mengakhiri penderitaan.”

Tampak adanya kontradiksi Antara Poin 1 dan Poin 2 ini,

Bagaimana rekan-rekan menjelaskan hal ini? mohon tanggapan.

_/\_
Saya pikir belenggu kerumah-tanggaan itu adalah kondisi dalam pikiran, bukan statusnya sebagai perumahtangga. Dalam Dhammapada juga ada menteri bernama Santati yang menjadi Arahat ketika masih memakai baju kebesarannya, bahkan parinibbana (dengan terbang dan terbakar) pada saat itu juga. Buddha mengatakan yang terbebas dari noda bathin adalah yang disebut bhikkhu.

Belenggu kerumah-tanggaan ini juga bukan selalu berarti nafsu indriah, tetapi bisa juga hal-hal baik seperti kasus Ghatikara, seorang yang "hanya" Anagami karena tidak meninggalkan kerumah-tanggaan demi merawat orang tuanya yang sakit.

« Last Edit: 19 August 2010, 11:54:09 AM by Kainyn_Kutho »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
most likely anda semua benar, saya menemukan komentar (mungkin berasal dari Atthakatha dan tika) ini dalam catatan kaki.

"MA menjelaskan “belenggu kerumah-tanggaan” (gihisaṁyojana) sebagai kemelekatan pada kebutuhan-kebutuhan seorang rumah tangga, yang diperinci oleh MṬ sebagai tanah, hiasan-hiasan, kekayaan, hasil panen, dan sebagainya. MA mengatakan bahwa bahlan walaupun teks menyebutkan beberapa individu yang mencapai Kearahatan sebagai seorang awam, melalui jalan Kearahatan mereka menghancurkan segala kemelekatan pada hal-hal duniawi dan dengan demikian mereka akan meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu atau segera meninggal dunia setelah pencapaian mereka."

Terima kasih kepada semua yg berpartisipasi, GRP to all...

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male

Terima kasih kepada semua yg berpartisipasi, GRP to all...

and All fail, except Hendrako

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
tuh kan, aye bilang apaa...  *maksa nimbrung utk dapet grp*
There is no place like 127.0.0.1

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
tuh kan, aye bilang apaa...  *maksa nimbrung utk dapet grp*

loh bukannya biasanya nambahin sendiri?

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
[at] Ryu, yg dicari adalah sutta yg menceritakan Suddhodana mencapai Arahat, bukan yg lain
keknya ada di kitab komentar. di sutta ga ada.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Explanatory Translation (Verse 169)

dhammam sucaritam care nam duccaritam na care
dhammacari asmim loke paramhi ca sukham seti

dhammam: within reality; sucaritam care: live correctly; nam: that; duccaritam: in a wrong way; na care: do not live; dhammacari: he who lives realistically; asmim loke: in this world; paramhi ca: and in the next; sukham: in comfort; seti: lives

Practice the dhamma to perfection. Do not practice it in a bad, faulty manner. He who follows the teaching in the proper manner will live in peace and comfort both in this world and in the next.

Commentary

King Suddhodana: News that the Buddha was residing at Rajagaha and was preaching the Dhamma reached the ears of the aged King Suddhodana, and his anxiety to see his enlightened son grew stronger. On nine successive occasions he sent nine courtiers, each with a large following, to invite the Buddha to Kapilavatthu. Contrary to his expectations, they all heard the Dhamma and, attaining arahatship, entered the Sangha. Since arahats were indifferent to worldly things they did not convey the message to the Buddha. The disappointed king finally dispatched another faithful courtier, Kaludayi, who was a playmate of the Buddha, Like the rest he also had the good fortune to attain arahatship and joined the Sangha. But, unlike the others, he conveyed the message to the Buddha, and persuaded Him to visit His aged royal father. As the season was most suitable for travelling, the Buddha, attended by a large retinue of disciples, journeyed in slow stages delivering the Dhamma on the way and in due course arrived at Kapilavatthu in two months.

Arrangements were made for Him to reside at the Park of Nigrodha, a Sakya. The conceited elderly Sakyas, thinking to themselves, "He is our younger brother, our nephew, our grandson," said to the young princes: "You do him obeisance: we will sit behind you." As they sat without paying Him due reverence he subdued their pride by rising into the air and issued water and heat from his body. The king, seeing this wonderful phenomenon, saluted Him immediately, saying that it was his third salutation. He saluted Him for the first time when he saw the infant prince's feet rest on the head of ascetic Asita whom he wanted the child to revere. His second salutation took place at the ploughing festival when he saw the infant prince seated cross-legged on the couch, absorbed in meditation. All the Sakyas were then compelled to pay Him due reverence.

Thereupon the Buddha came down from the sky and sat on the seat prepared for him. The humbled relatives took their seats eager to listen to His Teachings. At this moment an unexpected shower of rain fell upon the Sakya kinsfolk. The occurrence of this strange phenomenon resulted in a discussion amongst themselves. Then the Buddha preached the Vessantara Jataka to show that a similar incident took place in the presence of His relatives in a previous birth. The Sakyas were delighted with the discourse, and they departed, not knowing that it was their duty to invite the Buddha and the disciples for the noon-day meal. It did not occur to the king to invite the Buddha, although he thought to himself. "If my son does not come to my house, where will he go?" Reaching home, he made ready several kinds of food expecting their arrival in the palace.

As there was no special invitation for the noon-day meal on the following day, the Buddha and His disciples got ready for their usual alms-round. Before proceeding He considered to Himself: "Did the sages of the past, upon entering the city of their kinsfolk, straightaway enter the houses of the relatives, or did they go from house to house in regular order receiving alms?" Perceiving that they did so from house to house, the Buddha went in the streets of Kapilavatthu seeking alms. On hearing of this seemingly disgraceful conduct of the Buddha from his daughter-in-law Yasodhara, perturbed in mind, he hurried to the Buddha and, saluting Him, Said, "Son, why do you ruin me? I am overwhelmed with shame to see you begging alms. Is it proper for you, who used to travel in a golden palanquin, to seek alms in this very city? Why do you put me to shame?"

"I am not putting you to shame, O great king! I am following the custom of my lineage," replied the Buddha, to the king's astonishment. 'But, dear son, is it the custom of my lineage to gain a livelihood by seeking alms? Surely ours is the warrior lineage of Mahasammata, and not a single warrior has gone seeking alms." "O great king, that is the custom of your royal lineage. But this is the custom of my Buddha lineage. Several thousands of sages have lived by seeking alms." Standing on the street, the Buddha then advised the king thus: "Be not heedless in standing at a door for alms. Lead a righteous life. The righteous live happily both in this world and in the next." Hearing it, the king realized the Teaching and attained the first stage of sainthood. Immediately after, he took the Buddha's bowl and, conducting Him and His disciples to the palace, served them with choice food. At the close of the meal the Buddha again exhorted him thus: "Lead a righteous life, and not one that is corrupt. The righteous live happily both in this world and in the next." Thereupon the king attained the second stage of sainthood (sakadagami) and Pajapati Gotami attained the first stage of sainthood (sotapatti). On a later occasion when it was related to the Buddha that the king refused to believe that his son had died owing to his severe austerities without achieving his goal, the Buddha preached the Dhammapala Jataka to show that in a previous birth too he refused to believe that his son had died although he was shown a heap of bones. At this time he attained the third stage of sainthood (anagami). On his death-bed, the king heard the Dhamma from the Buddha for the last time and attained arahatship.

After experiencing the bliss of emancipation for seven days, he passed away as a lay arahat when the Buddha was about forty years old. King Suddhodana had the greatest affection for his son Prince Siddhattha. Some traditions record seven dreams dreamt by the king, just before Prince Siddhattha saw the four presages, and renounced the lay-life. These are the dreams: (1) Innumerable crowds of people gathered around a great imperial banner like that of Indra, and they, lifting it and holding it up, proceeded to carry it through Kapilavatthu, and finally went from the city by the Eastern Gate: (2) Prince Siddhatha riding on a royal chariot drawn by great elephants passed through the Southern Gate: (3) The Prince seated in a very magnificent four-horsed chariot again proceeded through the Western Gate: (4) A magnificently jewelled discus flew through the air, and proceeded through the Northern Gate: (5) The Prince sitting in the middle of the four great highways of Kapilavatthu, and holding a large mace, smote with it a large drum: (6) The Prince was seated on the top of a high tower in the centre of Kapilavatthu, and scattered in the four quarters of heaven countless jewels of every kind, which were gathered by the innumerable concourse of living creatures who came there: (7) Outside the city of Kapilavatthu, not very far off, six men raised their voices and wailed greatly and wept, and with their hands they plucked out the hair of their heads, and flung it by handfuls on the ground.

The Brahmin advisers of the king, when called upon to observe, expressed their inability to interpret the dreams of the king. Then a deity appeared in the guise of a brahmin at the palace gate and said that he could interpret the king's dreams. When received by the king and requested to interpret the dreams, he explained them thus: (1) According to the first dream: the prince will soon give up his present condition, and surrounded by innumerable devas, he will proceed from the city and become a recluse: (2) According to the second dream: the prince having left his home, will very soon attain enlightenment and ten powers of the mind: (3) According to the third dream: the prince will, after attaining enlightenment, arrive at the four intrepidities: (4) According to the fourth dream: the prince will set the wheel of the good doctrine in motion for the good of gods and men: (5) According to the fifth dream: after the prince becomes a Buddha and setting the wheel of the Dhamma in motion, the sound of his preaching will extend through the highest heavens: (6) According to the sixth dream: after enlightenment he will scatter the gems of the Dhamma for the sake of gods and men and the eight classes of creatures: (7) The seventh dream signified the misery and distress of the six heretical teachers whom the prince will, after enlightenment, discomfit and expose.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
tuh kan, aye bilang apaa...  *maksa nimbrung utk dapet grp*

loh bukannya biasanya nambahin sendiri?
;D  ;D

emang bisa yak?


Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
most likely anda semua benar, saya menemukan komentar (mungkin berasal dari Atthakatha dan tika) ini dalam catatan kaki.

"MA menjelaskan “belenggu kerumah-tanggaan” (gihisaṁyojana) sebagai kemelekatan pada kebutuhan-kebutuhan seorang rumah tangga, yang diperinci oleh MṬ sebagai tanah, hiasan-hiasan, kekayaan, hasil panen, dan sebagainya. MA mengatakan bahwa bahlan walaupun teks menyebutkan beberapa individu yang mencapai Kearahatan sebagai seorang awam, melalui jalan Kearahatan mereka menghancurkan segala kemelekatan pada hal-hal duniawi dan dengan demikian mereka akan meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu atau segera meninggal dunia setelah pencapaian mereka."

Terima kasih kepada semua yg berpartisipasi, GRP to all...

jadi adalah memungkinkan untuk mencapai arahat walau tidak meninggalkan keduniawian, berarti kontradiksi donk dg sutta tsb bro?    (****pengin lanjutin diskusi, gara2 ga bisa kasih GRP banyakin posting aja****)