TL:
Jadi setuju menurut mas Tan 99% Tipitaka Pali ada di Agama sutra?
TAN:
Absolutely Yes. Anda tanyakan 1000 kali juga jawabannya akan sama.
Hayo pada reply sebelumnya nggak ngaku... jadi benar kan Theravada 99% sama dengan Mahayana?
Tapi sorry... kayaknya Theravada nggak ngerasa sama lho mas...
TL:
Perumpamaannya kok nggak tepat ya?
Perumpamaan yang benar adalah: menghadapi pasien lever dokternya bilang pada ibunya si A sakit lever, pada ayahnya dia mengatakan si A tidak sakit apa-apa.
Pada ayahnya ia bilang sakit lever tidak bisa sembuh, pada ibunya ia mengatakan sakit lever bisa sembuh. Itu namanya plin plan atau tidak ?
TAN:
Ah, itu khan Cuma kata Anda tidak tepat. Ya biasalah dalam debat itu saling menyalahkan pendapat orang lain sangat wajar. Kalau tidak saling menyalahkan bukan debat namanya. Hahahahaahaah ) Bagi saya sih tepat ya. Tapi terserah kata Anda. Baiklah, kalau si ayah sakit jantung atau sedang dalam tekanan batin kronis, lebih baik ia tidak perlu kenyataan sebenarnya. Ini ada dalam psikologi. Dalam hal ini sang dokter tidak plin plan. Menyampaikan sesuatu harus diperhatikan juga kondisi pendengarnya. Itu baru bijaksana.
Iya kan saya hanya mengikuti perumpamaan mas Tan: "(Tan mode: on)"
Saya catat pernyataan mas Tan, jadi Buddhanya di Mahayana sah-sah saja berbohong? demi alasan bijaksana?
TL:
Tidak dilahirkan? apa Beliau muncul begitu saja? Seperti dewa?
Atau bersandiwara pura-pura lahir?
TAN:
Ya itu, bersandiwara khan cuma kata Anda. Sudah dijelaskan berulang-ulang. Kalau tidak paham-paham ya sudah. Saya kasih penjelasan terakhir ya. “Kelahiran” di sini bukan dalam pengertian “kelahiran” makhluk samsara. Kita tidak punya kosa kata untuk mendefinisikannya, sementara itu Anda dengan semena-mena menerapkan keterbatasan kosa kata manusia yang belum tercerahi untuk membahas mengenai Buddha. Ini jelas mustahil, bagaikan orang primitif yang hendak menjelaskan mengenai pesawat ataupun sistim computer. Jelas diskusi ini tidak akan nyambung walau sampai kapanpun. . Beda dengan ajaran Mahayana yang dengan rendah hati mengakui keterbatasan manusia. Oke. Untuk selanjutnya saya tidak akan membahas lagi masalah ini.
Katanya punya keterbatasan pengetahuan kok tahu Buddha mondar-mandir Nirvana-Samsara?
TL:
Kasihan mas Tan tinggal satu-satunya cara menjawab karena tidak tahu jawabannya
Anitya bersifat nitya atau Anitya?
Tolong diresapi dan dimengerti jawaban saya berikut ini:
Ada sanskhata Dharma dan asanskhata Dharma (Dharma yang berkondisi dan Dharma yang tidak berkondisi), suatu hal yang berkondisi atau suatu hal yang muncul maka akan lenyap kembali. Inilah yang disebut anitya.
Berbagai hal bisa muncul di alam sengsara disebabkan oleh hukum sebab dan akibat dan akan lenyap kembali (bersifat anitya) selama akarnya tidak dilenyapkan maka kondisi-kondisi akan muncul kembali. Sesuai dengan hukum pratitya sramupatda. (dari Avidya timbullah sankshara, dari sankshara timbullah vinyana, dari vinyana timbullah nama-rupa, dari nama-rupa timbullah salayatana, dstnya)
Akar dari sebab musabab tersebut adalah avidya bila avidya lenyap mungkinkah timbul vinyana/alaya vinyana? Bila tak ada vinyana mungkinkah terjadi pemancaran metta? Bila mungkin dengan apa pemancaran maitri karuna dilakukan bila vinyana tidak timbul?
Pratitya sramupatda yang merupakan lingkaran tumimbal lahir mahluk hidup, saling bergantungan yaitu: bila ini muncul maka muncullah itu. Bila ini lenyap maka lenyaplah itu. Selama ada pemunculan maka akan timbul kondisi-kondisi, bila kondisi-kondisi itu lenyap maka pemunculan juga akan lenyap. Dengan lenyapnya pemunculan maka muncul dan lenyapnya segala sesuatu juga ikut berhenti. Dengan kata lain bila tak ada pemunculan (kelahiran) maka penghentian (kematian) juga tak akan terjadi. jadi bila tak ada pemunculan maka tak ada anitya. Karena anitya adalah konsekuensi logis yang merupakan penghentian dari suatu pemunculan atau dengan kata lain suatu yang muncul akan lenyap kembali.
PERTANYAAN ANEH DARI MAS TAN: APAKAH PENGHENTIAN ITU AKAN BERHENTI JUGA ATAU TIDAK BERHENTI? Ini adalah pertanyaan gaya mas Tan yang tentu saja tidak valid.
Demikian juga dengan nirvana,
Nirvana adalah termasuk asanskhata Dharma, sedangkan sanskhata Dharma masih masuk dalam alam samsara jika kondisi-kondisi Dharma (sanskhata Dharma) berhenti, maka asanskhata Dharma yang akan menggantikan.
Karena pada Nirvana bersifat asanskhata maka Nirvana tak berkondisi, dan karena tak berkondisi maka tak ada muncul dan lenyap kembali dengan kata lain pada Nirvana tak ada anitya.
Mungkin mas Tan masih akan bertanya lagi apakah anitya itu nitya atau anitya? Jawabnya Nirvana telah terlepas dari dualisme anitya maupun nitya karena Nirvana tak berkondisi.
Theravada tak akan menjawab Nirvana anitya karena akan muncul pandangan nihilisme, dan juga tidak nitya, karena pandangan nitya akan memunculkan eternalisme.
NIRVANA TAK BERKONDISI JADI BUKAN ANITYA MAUPUN NITYA...
Sesuai dengan kitab Udana: Ajhatam, abhutam dan asankhatam, tidak dikatakan Nirvana bersifat nitya maupun anitya. Jadi Nirvana adalah berhentinya anitya itu sendiri. Paham mas?
TAN:
Kasihan sekali Anda memberikan jawaban yang berbelit2 dan tidak pernah menjawab permasalahannya dengan jelas. Selama itu pula perdebatan ini tidak akan selesai. Kalau nibanna adalah penghentian anitya, maka bila nibanna nitya (kekal), penghentian anitya itu juga nitya. Bila nibanna itu anitya, maka penghentian anitya itu juga tidak kekal. Jadi kuncinya pada nibanna. Nah mempertanyakan semacam itu, Anda katakan tidak valid. Kalau Anda mengatakan pertanyaan itu tidak valid, saya juga boleh mengatakan bahwa segenap pertanyaan Anda tentang Mahayana juga tidak valid dan bahkan “kurang ajar.” Jadi sama-sama khan? Meskipun ada orang yang telah merealisasi nibanna dan tidak lagi terikat pada hukum anitya, tetapi makhluk lain yang belum, tetap terikat pada anitya bukan? Nah, berarti anitya masih ada bukan? Untuk jelasnya begini, meskipun Anda berada dalam sebuah ruangan dan tidak melihat adanya matahari, tetapi bukan berarti matahari lenyap khan? Sekarang anitya itu nitya atau anitya? Tolong beri jawaban yang jelas dan tidak berbelit-belit.
Sebagai tambahan, saya mengakui bahwa memang bagi sebagian orang ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak valid, terutama kalau sudah menyangkut masalah keyakinan. Untuk itulah kita perlu saling menghormati dan toleransi.
Bingung? Wajar karena sudah saya katakan tolong diresapi dan dimengerti, karena saya rasa memang terlalu dalam untuk mas Tan. Penjelasan seperti ini merupakan pelajaran anak SMP dikalangan T lho mas.
Masa iya mas Tan nggak mengerti bahwa bila sebuah rumah, tiang-tiang penopangnya telah hancur, gentingnya telah berserakan, tiang kuda-kudanya telah patah berkeping-keping apakah masih dapat menjadi tempat naungan bagi orang-orang?
Berbicara mengenai
pertanyaan spekulatif yang tak keruan juntrungannya, apakah berhentinya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti atau tak bisa berhenti?
Nih saya kasih tahu lagi, simak yang baik pelajaran SMP ini ya? Berhentinya fungsi rumah tersebut karena bahan-bahan pendukungnya telah tak berfungsi, oleh karena itu fungsi rumah tersebut juga berhenti.
Demikian juga dengan mahluk hidup,
mahluk hidup bertumimbal lahir selama masa yang tak terhitung disebabkan kemelekatan pada panca khandha, kemelekatan ini sendiri merupakan kondisi, apakah yang menyebabkan kemelekatan pada pancakhandha? akarnya adalah Moha/Avijja.
Bila kemelekatan kepada pancakhandha berakhir maka kita terbebas dari kondisi-kondisi, karena kondisi-kondisi yang tercipta disebabkan oleh kemelekatan kepada pancakhandha ini talah berhenti, itulah yang disebut Nibbana.
Jadi Nibbana (anupadisesa Nibbana) adalah keadaan yang tak berkondisi, bedakan dengan Saupadisesa Nibbana yang masih memiliki kondisi karena masih adanya pancakhandha. (maksudnya Saupadisesa Nibbana adalah mencapai Nibbana selama masih memiliki bentuk sebagai manusia, dewa, maupun Brahma dengan kata lain masih hidup belum meninggal)
Oleh sebab itu dikatakan dalam Dhammanussati: Sanditthiko, akaliko, opanayiko paccatam veditabbo vinnuhiti...
Dhamma berada sangat dekat, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin,
dapat diselami oleh orang bijaksana dalam batin masing-masing.
Perhatikan terjemahan kata diselami, yang tepat adalah dialami. Dhamma adalah jalan hingga tercapainya Nibbana itu sendiri (baca: Dhammacakkapavattana sutta)
Dhamma disini bukan berarti teori spekulasi macam-macam. Dhamma berarti pembersihan batin dari macam-macam noda, dengan kata lain mencapai Magga/Phala yaitu: mencapai dan mengalami Nibbana sewaktu kita masih hidup, bukan sudah meninggal.
Bagaimanakah caranya agar kita terbebas dari kondisi-kondisi tersebut? Dengan melatih Dhamma dan menembus Dhamma atau mencapai kesucian/ mengalami Nibbana seseorang pada akhirnya akan mampu melepaskan kemelekatan pada pancakhandha. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha ketika Beliau mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi, "wahai pembuat rumah.... dstnya" baca sendiri deh di RAPB.
Mengenai mahluk lain masih diliputi oleh anicca, oleh karena mereka belum terbebas dari kondisi-kondisi.
Mengenai Anitya itu nitya atau tidak anitya maksudnya apa? MAS TAN SENDIRI BISA MENJAWAB ATAU TIDAK?
Saya telah menjawab dengan jelas!!! Dan sekarang MAS TAN, TERUS MEMAKAI JURUS BERKELIT KARENA MAS TAN SENDIRI TAK BISA MENJAWAB KAN? jawaban saya tak memuaskan mas Tan, itu jelas karena memaksakan pendapat bahwa T nihilis padahal sudah dikatakan bahwa
Sang Buddha menolak bila dikatakan Beliau ada setelah Parinibbana, Beliau juga tidak setuju bila dikatakan Beliau tak ada setelah Parinibbana, maupun pandangan Buddha ada dan tidak ada, Buddha bukan tidak ada dan bukan ada, karena semua hal itu merupakan spekulasi. Hayo ngaku, mas Tan bingung terhadap pertanyaan mas Tan sendiri kan? Makanya dikasih tahu bagaimanapun juga tetap nggak mudeng.
makanya kalo kagak ngerti mengenai Nirvana jangan berspekulasi.
Jadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.
Kalau ada yang mau bayar tulisan saya setengah atau sepersepuluhnya saja dari 500.000 USD tolong kasih tahu saya ya mas Tan? nanti saya bagi separoh, makasih sebelumnya lho mas.
Sudah dapat belum yang mau membeli tulisan saya mas?
TL:
Loh? di Theravada jelas tidak, emangnya di Mahayana percaya?
TAN:
O jelas tidak. Mahayana juga tidak percaya kok. Tetapi ada suatu aliran non Mahayana yang percaya nihilisme lho. Ehm..ehm.. aliran apa ya? Tauk ah gelapppp…..!
yang mana ya? saya juga gelap tuh! siapa yang menjadi nihil ya? tolong kasih tahu dimana mahluk yang menjadi nihil tersebut, oh ya tolong kasih tahu mas Tan, bagaimana caranya mahluk tersebut menjadi nihil.
ngomong-ngomong ada yang mengajarkan eternalisme lho mas, hayo ngaku siapa
Mau lapor kepada moderator nih, mas Tan menghina dan merendahkan ajaran lain yang tidak sesuai dengan pandangannya dengan mengatakan bahwa ajaran tersebut nihilis... hayo buktikan mas Tan, dimana di Tipitaka maupun komentarnya yang mengatakan bahwa SANG BUDDHA MENGAJARKAN UNTUK MENGHANCURKAN DIRI SENDIRI (NIHILISME?)
TL:
Manakah yang lebih mungkin memancarkan maitri karuna:
jiwa roh yang kekal abadi seperti paham alaya vinyana abadi yang terus-terusan kerja memancarkan maitri-karuna setelah memasuki Nirvana atau
keadaan yang tak berkondisi?
metta
TAN:
Walah..walah…! Pertanyaan ini lagi. Muter-muter ae. Mana yang paling mungkin? Bila nirvana disebut tak berkondisi, maka “kemustahilan untuk memancarkan maitri karuna” adalah juga kondisi. Akibatnya nirvana jadi berkondisi donk. Bagaimana dengan Mahayana? Apakah nirvana Mahayaan jadi berkondisi dengan pemancaran maitri karuna? Oo jelas tidak donk. Mengapa? Karena “pemancaran maitri karuna di sini beda dengan pemancaran maitri karuna makhluk yang belum dicerahi!” Mengapa digunakan istilah “pemancaran maitri karuna”? Karena keterbatasan kosa kata dan pemahaman kita yang belum tercerahi, dipergunakan istilah “pemancaran maitri karuna.” Nah, karena “pemancaran maitri karuna” itu hendaknya tidak dipahami dalam pengertian awam, nirvana menurut Mahayana jadi tak berkondisi. Karena yang dimaksud “kondisi” sebenarnya hanyalah jargon-jargon yang diterapkan oleh umat awam yang belum tercerahi. Semoga ini cukup jelas.
Amiduofo,
Tan
sesuatu memancarkan sesuatu, yang kita tidak tahu apa sesuatu itu karena berbeda dengan apa yang kita tahu, kita punya keterbatasan, tetapi kita tahu akan sesuatu yang kita tidak tahu.
Ada sesuatu tak berkondisi, dari yang tak berkondisi ini ada suatu kondisi yang timbul, tak tahu apa itu, tetapi itu jangan disebut kondisi, oleh karena kita umat awam tak mengerti, oleh karena itu, sesuatu itu tak berkondisi
semoga cukup jelas
Mana yang berbelit-belit ya?
metta