Ya, memang benar. Saya pribadi juga tidak mempercayai julukan bodhisatva bisa segampang itu diberikan. Ini memang mungkin karena pergeseran makna bodhisatva itu sendiri. Kebudayaan di China mungkin lebih condong kepada keberadaan dewa-dewi yang bisa menolong manusia, lalu setelah agama Buddha masuk dan berkembang, terjadi asimilasi yang mengaburkan makna aslinya.
Tanpa menyertakan kebudayaan sendiri, kadang suatu istilah bisa mengalami pergeseran. Seperti Buddha dikatakan adalah 'penyelamat' manusia. Orang berpikir bahwa Buddha masih turut campur dalam masalah duniawi dan menyelamatkan orang kalo orang itu terancam bangkrut misalnya. Padahal penyelamat di sini lebih pada spiritualisme.
Penyelamat ini sendiri juga kadang diartikan seperti Buddha membuat rakit raksasa, lalu jadi tukang perahu yang mengajak orang sebanyak2nya menyeberang dari pantai samsara ke pantai nibbana (nirvana). Padahal bukan begitu. Buddha hanya memberi contoh dan mengajarkan bagaimana kita masing-masing membuat rakit, dan kita sendirilah yang harus berenang ke pantai seberang. Jadi memang ini sering terjadi.
Menurut saya, bodhisatva itu hanya julukan, tidak terlalu masalah. Yang biasa bermasalah adalah perilaku orang dalam menyikapi 'julukan' tersebut. Kita ambil contoh dari aliran Theravada, berapa banyak orang yang 'memuja' Sivali (yang tidak pernah kekurangan dana) dan dianggap semacam dewa rejeki yang bisa membantu mengurangi kemiskinan. Ini sudah jelas menyimpang dari tujuan semula. Sesungguhnya jika kita ingin seperti Sivali, maka kita perlu melakukan apa yang Sivali lakukan sehingga tidak kekurangan dana. (Dalam ceritanya, dia mendanakan madu untuk 6.800.000 Arahat pada jaman Buddha Vipassi).
Begitu juga pemujaan kepada Kwan Kong atau siapapun. Jika dengan memuja & mengingat kualitas dari sosok tersebut (apakah Bodhisatva, dewa, manusia bahkan binatang), bisa membuat kita belajar menjadi lebih baik, rasanya tidak ada salahnya.