Theis atau non-theis
18 Mei 1974, TEMPO ONLINE
BAGAIMANAKAH ketuhanan menurut Budhisme?
Para umat barangkali tidak peduli terhadap pertanyaan yang begitu berbau akademis. Perayaan Waisak, yang puncaknya dilaksanakan di candi Mendut & Borobudur pada 6 Mei kemarin, berjalan tanpa memusingkan bahwa justru masalah klasik itu sedang hinggap di kalangan tokoh-tokoh Budhisme yang paling berwenang.
Di sekitar problim itulah, pada akhir Maret yang lampau, biksu-biksu tinggi di Indonesia yang selama ini saling bertentangan berkumpul di sebuah ruang Departemen Agama di Jakarta.
Ini adalah pertemuan kedua sesudah pada pertengahan Januari sebelumnya mereka berkumpul di tempat yang sama, dan berhasil membentuk persaudaraan para biksu yang disebut Sangha Agung Indonesia -- sebagai peleburan Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia.
Diselenggarakan sebagal pertemuan lanjutan, acara akhir Maret itu formilnya direncanakan hanya untuk mengisi personalia dari wadah yang sudah dibentuk. Namun lantaran urusan personalia menyangkut tokoh-tokoh yang tidak sama dalam hal pemahaman keagamaan, acara untuk sebagian besar kemudian disita oleh pembicaraan theologis yang berpusat pada bab ketuhanan.
Menjadi jelas: masalah ketuhanan dalam Budhisme itulah yang menjadi salah satu sebab -- bila bukan sebab terpenting -- dari perpecahan di kalangan biksu Indonesia yang sampai hari ini sudah berjalan lebih dua tahun.
Orang mengingat: pada tanggal 12 Januari 1972, Biksu-biksu Jinapiya Thera, Girirakkhito (yang pada Waisak kemarin memimpin upacara di Mendut & Borobudur), Jinaratana, Sufnahooalo dan Subatho, mendirikan persaudaraan para biksu yang disebut Sangha Indonesia.
Dengan demikian mereka menandingi Maha Sangha Indonesia yang sudah ada di bawah pimpinan Bikkhu Sthavira Ashin Jinarakkhita Mahathera, di dalam mana mereka sendiri pada mulanya menjadi anggota (TEMPO, 11 Maret 1972). Tak bisa dihindari bahwa setelah itu bentuk-bentuk persaingan acap terasa antara kedua flhak -- dalam hal penyelenggaraan acara masing-masing, dalam hal daerah-daerah pengaruh atau dalam bentuk pernyataan-pernyataan langsung atau tak langsung.
Di antara serangan-serangan bersifat pribadi kepada Jinarakkhita dalam hubungannya dengan Bikkhu Vinaya (disiplin kebiksuan), dan di antara ambisi-ambisi perorangan yang lazim diperkirakan menyelinap setidak-tidaknya pada tokoh-tokoh di belakang para biksu, orangpun lantas bisa melihat masalah perbedaan aliran dalam kancah tersebut.
Sang Hyang Adi Budha Tak heran. Meskipun di zaman lampau Nusantara sebagian besar dirambah oleh mazhab besar Mahayana, namun seperti dikatakan I Gde Puja MA -- yang pada pertemuan itu mewakili Dirjen Bimas Hindu & Budha Departemen Agama dan bertindak sebagai moderator -- "agama Budha yang masuk ke Indonesia datang dari berbagai neeri dan terdiri dari bermacam mazhab, karena Indonesia terletak di persimpangan".
Mengingat hal itulah maka Bikkhu Subatho, ex Sangha Indonesia, pada kesempatan itu meminta agar bermacam aliran tersebut -- yakni mazhab-mazhab Mahayana dan Theravada lenglap dengan varitas-varitas masing-masing -- diakui dan tetap dijaga eksistensinya.
Persoalan sudah tentu selesai kalau saja fihak Jinarakkhita dan kawan-kawannya yang ex Maha Sangha tidak berangkat dari titik-tolak yang lain Dirjen sendiri mengatakan bahwa "cita-cita pemerintah ialah untuk mengadaptasi agama Budha sesuai dengan kondisi Indonesia".
Itu bisa berarti bahwa sebenarnya tidak begitu terpuji untuk terlalu berorientasi kepada aliran-aliran yang ruwet -- sementara sejarah menunjukkan bahwa pemahaman tentang aliran-aliran sendiri bukan tidak berkembang dan bukan tidak bisa dirobah. Yang penting bagi Jinarakkhita, Mahathera yang dulunya guru dari biksubiksu yang ada di situ, "Budha adalah Budha. Budha berketuhanan, dan karena itulah maka ia satu agama".
Dengan ini Jinarakkhita memhawa persoalan ke arah lebih fundamentil -- yakni: apakah Budhisme itu theis atau atheis.
Mahathera sendiri bukan tidak sering menunjuk kepada lawan-lawannya yang menurut penilaiannya tidak berdiri di atas keyakinan yang layak. "Yang atheis pun di kalangan Biksubiksu ada", katanya, "dan kata-kata saya ini bukan main-main". Sebab "kalau seorang Budhis tidak mengakui Sang Hyang Adi Budha, sama saja dengan atheis" (TEMPO, 3 Nopember 1973).
Jadi masalahnya kemudian: pengakuan kepada Sang Hyang Adi Budha. Tapi siapakah Sang Hyang Adi Budha?
Bunga Seroja Orang mengetahui bahwa Budisme sepanjang kitab-kitab riwayat, pada mulanya tak lebih dari serangkai ajaran mistik dan moral yang bersih -- satu jalan untuk menempuh tingkat-tingkat spirituil ke arah apatisme mutlak dengan tendensi religi. Namun, dan itulah masalahnya, ajaran murni tersebut lazim dikatakan tak memuaskan kebutuhan akan bentuk-bentuk keagamaan yang jelas, termasuk konsep ketuhanan.
Perpecahan pun kemudian melembaga satu abad setelah wafat sang Guru -- ketika lahir golongan besar Slhaviralada yang ingin menetapi ajaran yang kira-kira asli (dari mana lahir mazhab Sarvastilada dan selanjutnya Theravada alias Hinayana sekarang ini), dan golongan Mahasanghika (induk mazhab Mahayana) yang ingin menjawab tuntutan-tuntutan baru. Sementara golongan pertama lazim dituduh sebagai mazhab yang picik golongan kedua pelan-pelan melakukan prcampuran dengan berbagai kepercayaan Hindu dan tak urung membentuk pantheon atau susunan dewadewa.
Maka dipercayailah oleh Mahayana, bahwa Bu&a Gautama sebenarnya bukan satu-satunya Bu&a. Ia merupakan pancaran dari seorang Budha Langit (Dhyani Budha) bernama Amitabha, yang juga hanya merupakan salah-satu dari Budha-Budha (Langit dan Bumi) yang muncul pada zamanzaman berlainan. Adapun Budha-Budha Langit, bertahta di sekian penjuru angin, hakikatnya juga pancaran belaka dari Budha yang Tunggal, yang Tanpa Awal dan Tanpa Akhir. yang bertahta di Sana di atas Bunga Seroja. Itulah Sang Hyang Adi Budha.
Nah. Apakah Sang Hyang Adi Budha yang itu, yang dimaksud Jinarakkhita sebagai Tuhan YME? Budhayana Sudah tentu ya. Dan kalau memang ya, maka "lawan-lawan" Jinarakkhita sudah tentu menyatakan tidak setuju.
Bikkhu Subatho misalnya, menanggapi kalimat Jinarakkhita bahwa "sudah jelas Buddha berketuhanan", berkata: "Konsep kita tentang Tuhan berbeda". Toh dengan kalimat itu bisa pula diperkirakan bahwa, taroklah Subatho berorientasi dengan Theravada, sesuatu pengakuan terhadap Tuhan agaknya bukan tidak ada. Bukankah Budha Gautama sendiri dahulu tak pernah terang-terangan menyatakan "tidak ada Tuhan"? Budha dahulu berkata: "Apa yang tidak Aku sabdakan, biarlah tinggal tak disabdakan". Bukankah diamnya Sang Budha dari satu segi bisa difahami hanya sebagai reaksi terhadap politheisme kasar dan kekanak-kanakan dari bermacam Hinduisme India -- dan bukan sebagai penolakan?
Dari fihak lain Jinarakkhita sendiri sudah tentu akan setuju dengan kesimpulan terakhir itu. Lebih-lebih karena yang diperjuangkan Jinarakkhita, resminya sebenarnya bukan Mahayana --melainkan satu jalan untuk menganut Budhisme dari pangkalnya yakni Budha sendiri, dan bukan dari aliran-aliran.
Dan jalan itu, yang kemudian diinginkannya bisa memecahkan problim perbedaan aliran-aliran, diberinya nama Rudhayana, Jalan Budha. Dalam sambutan terjemahan kitab Mahayana Vinaya misalnya, tokoh ini ada menulis: "Landasan kita sudah ditetapkan: Buddhayana, ialah perpaduan antara Naskah Pali dan Naskah Sansekerta".
Tapi lantas istilah Buddhayana itulah -- kalaupun bukan hanya "seluhung" bagi Mahayana -- yang tidak disukai "lawan-lawan" Jinarakkhita. Subatho misalnya menyatakan: bukankah Buddhayana dengan begitu sebuah mazhab yang lain lagi -- yang justru akan membingungkan umat, konon pula kalau itu akan dianggap "agama Budha yang sesuai dengan kondisi Indonesia"?
Di Belakang Kakus Adapun Jinarakkhita, setelah renungm-renungan fundamentilnya, agaknya seorang tokoh yang praktis. Untuk tujuan-tujuan pembaharuannya, pemikir yang insinyur tehnik elektro keluaran Belanda ini agaknya melihat bahwa selayaknyalah dipergunakan materi-materi yang ada dalam Budhisme sendiri -- dalam hal konsep ketuhanan misalnya ia menginginkan agar Sang Hvang Adi Budha yang berasal dari kepercayaan Mahayana itu diteguhkan (bandingkan misalnya dengan Thian yang sekarang diresmikan dalam agama Konghucu sebagai Tuhan YME yang pada mulanya berarti Langit atau Dewa Langit).
Dengan menyarankan Budhayana memang tidak bisa dipastikan bahwa yang ingin diperjuangkan Jinarakkhita adalah sistim ketuhanan 100% model pantheon dewa-dewa Mahayanikan meskipun juga belum tentu ia akan menolak, lebih-lebih bila diingat bagian sangat besar pemeluk, setidak-tidaknya kalangan keturunan Cina, memegang serba kepercayaan tersebut.
Tetapi yang jelas tidak dikehendaki Jinarakkhita adalah faham ketuhanan sejenis misalnya yang pernah ditulis oleh Rama Maha Pandita Khemanyana Karbono. Yakni bahwa, menurut Karbono (bukan Biksu): bila orang menyebut "Tuhan ada", kata ada haruslah ditulis antara tanda kutip "Sebab 'ada'nya Tuhan tidaklah menunjuk kepada sesuatu obyek atau eksistensi" (TEMPO, 15 Mei 1971).
Dapat difaham bila Jinarakkhita lantas mengusulkan agar sebagai pedoman baku dari Sangha Agung Indonesia yang telah dibentuk, prinsip ketuhanan dan pengakuan semua Biksu terhadap Tuhan dibuat hitam di atas putih secara tertulis, dengan saksi Dirjen Hindu & Budha Departemen gama.
Tapi bisa pula difahami bila sampai disini tiba-tiba Bikkhu Subatho tampak berusaha mengendalikan emosi. "Jangan Bhante (Guru: red) Ashin Jinarakkhita berkata lain di Bangkok, berkata lain lagi di Singapura dan lain pula di Departemen Agama", demikian Subatho. "Tahun 1957 Bhante mengatakan bahwa Tuhan ada di mana-mana, dan juga ada di belakang kakus" -- setidak-tidaknya pemahaman tentang Tuhan dengan demikian bukanlah pemahaman yang begitu konkrit seperti Sang yang Adi Budha.
Jawab Jinarakkhita, seperti dicatat reporter DS Karma: "Sudah sejak dua tahun yang lalu saya konsekwen. Saya tak ingin Tuhan dijadikan permainan".
Mendcngar ini Bikkhu Girirakkhito menukas: "Budha jelas ber-Tuhan. Asal jangan membuat kekisruhan-kekisruhan" -- ataupun menyukar-nyukarkan masalah.
Sebab seperti kemudian dinyatakan oleh Bikkhu Jinapiya, "sebenarnya kit telah hayati, yakni seperti biasa dilakukan dalam perenungan".
Memang. Masalah Tuhan dalam Bu&isme agaknya banyak merupakan masalah istilah, atau bagaimana cara berkata' -- bandingkan pula dengan pengertian-pengertian theisme relatif dan atheisme relatif dari Leslie Dewart seperti ditulis Ahmad Wahib (TEMPO, 5 Mei 1973).
Tinggal Sebatang Maka diskusipun berlarut-larut -- sehingga pembicaraan soal-soal teknis Sangha Agung Indonesia terkesampingkan. Toh pada akhirnya susunan pengasuh Sangha Agung berhasil dibentuk -- yakni setelah Biksu-Biksu Jinarak khita, Jinapiya dan Girirakkhito terpilih sebagai semacam formatur yang lantas mengundurkan diri dari 18 Biksu yang lain dan mengadakan pertemuan tertutup.
Toh walaupun SAI sudah dilengkapi dengan personalia (Jinarakkhita menjadi Maha Nayaka alias Ketua didampingi para Anu Nayaka (Wakii Ketua) I, II dan III: Jinapiya Thera, Girirakkhito dan Ugaddhamo), boleh diketahui bahwa wadah ini merupakan organisasi federasi yang hanya berfungsi sebagai lambang persatuan umat Budhis dan tidak berwenang mengambil keputusan apapun.
Di samping SAI dibentuk pula wadah lain -- bernama Badan Musyawarah Para Bikkhu dan disebut Bikkhu Samagama -- yang berkompetensi menetapkan hal-hal intern kebiksuan, memberi tanggapan atas jalannya perkembangan Budhisme di dalam dan luar negeri serta berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan di tengah kancah aliran-aliran Budhisme.
Diramalkan sebagai badan yang akan menjadi "lebih ramai", selain tokoh-tokoh di atas duduk pula di dalamnya Bikkhuni Jinakumari, Bikkhu-Bikkhu Subatho dan Dhammasegara, Bikkhuni Jinaloka dan Bikkhu-Bikkhu Jinamerta, Khemasarano dan Sasanarakkhita.
Syahdan hari sudah lewat senja. Pertemuan yang dibuka jam satu siang sudah mencapai akhirnya. Di atas meja kerja Dirjen Hindu & Budha -- di depan mana tersusun dua baris kursi berhadap-hadapan -- terletak patung Budha sebesar bayi, dan lima pasang lilin. Satu-persatu lilin padam, dan padam. Tinggal sebatang di kaki sang Budha, menyala dengan diam. [http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/05/18/AG/mbm.19740518.AG64564.id.html]
Note:
Di posting ini bukan dalam arti menerima ataupun menolak isi, namun MENUJUKAN bahwa biang kerok dari kekacauan ini adalah tetep Jinarakkhita:)