Saṃyukta Āgama 297
Mahā-Suññata-Dhamma-Pariyāya
Uraian Panjang tentang Kekosongan
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara penduduk negeri Kuru. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Aku akan mengajarkan kalian Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, indah pada akhirnya, dengan makna yang benar dan ungkapan yang benar, kehidupan suci yang sepenuhnya lengkap dan murni. Aku akan mengungkapkan kepada kalian, yaitu, penguraian yang disebut uraian panjang tentang kekosongan. Dengarkanlah, perhatikan dengan seksama, apa yang akan Ku-katakan.
“Apakah uraian panjang tentang kekosongan? Yaitu: ‘karena ini ada, itu ada; karena ini muncul, itu muncul’, yaitu ‘dikondisikan oleh ketidaktahuan, bentukan muncul; dikondisikan oleh bentukan, kesadaran muncul; dikondisikan oleh kesadaran, nama-dan-bentuk muncul; dikondisikan oleh nama-dan-bentuk, enam landasan indera muncul; dikondisikan oleh enam landasan indera, kontak muncul; dikondisikan oleh kontak, perasaan muncul; dikondisikan oleh perasaan, ketagihan muncul; dikondisikan oleh ketagihan, kemelekatan muncul; dikondisikan oleh kemelekatan, penjelmaan muncul; dikondisikan penjelmaan, kelahiran muncul; dikondisikan oleh kelahiran, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan muncul. Demikianlah munculnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini muncul.’
[Penuaan dan Kematian]‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami penuaan dan kematian? Milik siapakah penuaan dan kematian?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami penuaan dan kematian. Penuaan dan kematian adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian muncul’.
[Kelahiran]‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kelahiran? Milik siapakah kelahiran?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kelahiran. Kelahiran adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul’.
[Penjelmaan]‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami penjelmaan? Milik siapakah penjelmaan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami penjelmaan. Penjelmaan adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan muncul’.
[Kemelekatan]‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kemelekatan? Milik siapakah kemelekatan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kemelekatan. Kemelekatan adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan muncul’.
[Ketagihan]‘Dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami ketagihan? Milik siapakah ketagihan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami ketagihan. Ketagihan adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan muncul’.
[Perasaan]‘Dengan kontak sebagai kondisi, perasan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami perasaan? Milik siapakah perasaan?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami perasaan. Perasaan adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kontak sebagai kondisi, perasaan muncul’.
[Kontak]‘Dengan enam landasan indera sebagai kondisi, kontak muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kontak? Milik siapakah kontak?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kontak. Kontak adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan enam landasan indera sebagai kondisi, kontak muncul’.
[Enam Landasan Indera]‘Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami enam landasan indera? Milik siapakah enam landasan indera?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami enam landasan indera. Enam landasan indera adalah milik diri’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan indera muncul’.
[Nama-dan-bentuk]‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami nama-dan-bentuk? Milik siapakah nama-dan-bentuk?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami nama-dan-bentuk. Nama-dan-bentuk adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk muncul’.
[Kesadaran]‘Dengan bentukan sebagai kondisi, kesadaran muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami kesadaran? Milik siapakah kesadaran?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami kesadaran. Kesadaran adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan bentukan sebagai kondisi, kesadaran muncul’.
[Bentukan]‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul’; sehubungan dengan ini, seseorang mungkin bertanya: ‘Siapakah yang mengalami bentukan? Milik siapakah kesadaran?’, dan ia mungkin menjawab: ‘Adalah diri yang mengalami bentukan. Bentukan adalah milik diri.’
Dan ia mungkin mengatakan: ‘Jiwa dan tubuh adalah sama’ atau ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, kedua hal ini adalah sama dalam makna dan hanya berbeda dalam ungkapan.
Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah sama’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci. Ketika terdapat pandangan ‘jiwa dan tubuh adalah berbeda’, maka tidak ada pelaksanaan kehidupan suci.
Tanpa mendekati kedua ekstrem ini, terdapat jalan tengah, di mana orang mulia, yang melampaui duniawi, bebas dari penyimpangan, memiliki pandangan benar, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu ‘dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul’.
[Munculnya Pengetahuan]“Para bhikkhu, bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya penuaan dan kematian telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami penuaan dan kematian? Milik siapakah penuaan dan kematian?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kelahiran telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kelahiran? Milik siapakah kelahiran?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya penjelmaan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami penjelmaan? Milik siapakah penjelmaan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kemelekatan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kemelekatan? Milik siapakah kemelekatan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya ketagihan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami ketagihan? Milik siapakah ketagihan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya perasaan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami perasaan? Milik siapakah perasaan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kontak telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kontak? Milik siapakah kontak?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya enam landasan indera telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami enam landasan indera? Milik siapakah enam landasan indera?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya nama-dan-bentuk telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami nama-dan-bentuk? Milik siapakah nama-dan-bentuk?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya kesadaran telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami kesadaran? Milik siapakah kesadaran?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Bagi seseorang di mana ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, seperti halnya baginya bentukan telah ditinggalkan, gagasan ‘Siapakah yang mengalami bentukan? Milik siapakah bentukan?’ juga telah sepenuhnya dipahami dan dipotong sampai ke akarnya, bagaikan tunggul pohon palem yang telah dipotong tidak akan pernah muncul kembali di masa yang akan datang.
Dan, para bhikkhu, ketika ketidaktahuan telah lenyap dan pengetahuan telah muncul, baginya karena lenyapnya ketidaktahuan, maka bentukan lenyap; karena lenyapnya bentukan, maka kesadaran lenyap; karena lenyapnya kesadaran, maka nama-dan-bentuk lenyap; karena lenyapnya nama-dan-bentuk, maka enam landasan indera lenyap; karena lenyapnya enam landasan indera, maka kontak lenyap; karena lenyapnya kontak, maka perasaan lenyap; karena lenyapnya perasaan, maka ketagihan lenyap; karena lenyapnya ketagihan, maka kemelekatan lenyap; karena lenyapnya kemelekatan, maka penjelmaan lenyap; karena lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap; karena lenyapnya kelahiran, maka penuaan dan kematian, dukacita, kesakitan, ratap tangis, kesedihan dan keputusasaan lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Inilah yang disebut uraian panjang tentang kekosongan.”
Demikianlah apa yang dikatakan Sang Bhagavā. Para bhikkhu bergembira dalam kata-kata Sang Bhagavā tersebut.
[
Padanan Pali: SN 12.35-36]