Sebetulnya gw sudah malas berkomentar soal terjemahan, tapi sekali ini bolehlah.
IMHO, lebih baik ditulis sebagai nama dan rupa (Pali), karena inilah yg diajarkan Buddha. Bagi pembaca yg
amat sangat awam sekali bisa diberi catatan kaki untuk menjelaskan. Dan sebelum menjadi lebay.com, yg gw maksud hanya kata Palinya (si nama&rupa), bukan agar seluruh buku diterjemahkan menjadi bahasa Pali.
Dari penjelasan biksu Bodhi yg diposting Ariyakumara sendiripun ternyata b. Bodhi juga merubah kata yang diterjemahkannya menurut yg dianggapnya benar. Jadi kalau b.Bodhi bisa merubah, mengapa DC tidak? Kalau itu bisa lebih pas dan tidak membingungkan pembaca.
Seperti halnya hukum di Indonesia banyak memakai bahasa Belanda, karena dianggap lebih teknis dan lebih pas. Juga seperti istilah2 teknis dalam bahasa aslinya lebih pas ketimbang diterjemahkan lagi. Kalau di indonesiakan, akan menjadi bias, atau kabur, atau kepanjangan.
Terakhir, sepertinya penerbit2 buddhis memiliki ciri khas sendiri dalam gaya penterjemahannya, ada yg merasa wajib ikut kata demi kata bahasa Inggrisnya, ada yg merasa perlu diterjemahkan secara lebih pas walau tidak pas kata demi kata dengan bahasa Inggrisnya. Seperti juga penerbit (yg suka mendatangkan biksu Autralia tiap tahun ke Indonesia) begitu getol meng-indonesiakan semua istilah budis yg sudah dikenal masyarakat, seperti vihara => wihara, bhikkhu => biksu, dhamma => dharma, dll. Semua merasa perlu memiliki ciri khas masing2. Ada juga penerbit / penterjemah yg meminta bantuan bhikkhu senior di Indonesia sebagai editor, dan istilah Pali aslinya kembali dipakai. Ewang me bacca
Maaf kalau ada perkataan yg tidak berkenan.