(3) Status Ditentukan oleh Perbuatan[Sang Buddha berkata kepada brahmana muda Vāseṭṭha:]
“Sementara pada banyak jenis makhluk ini
tanda-tanda khusus mereka ditentukan oleh kelahiran,
pada manusia tidak ada tanda-tanda khusus
yang dihasilkan dari kelahiran tertentu mereka.
“Tidak di rambut juga tidak di kepala,
tidak di telinga juga tidak di mata,
tidak di mulut juga tidak di hidung,
tidak di bibir juga tidak di kening;
“Juga tidak di bahu atau di leher,
juga tidak di perut atau di punggung
juga tidak di bokong atau di dada
juga tidak di anus atau organ kelamin;
“Tidak di tangan juga tidak di kaki,
juga tidak di jari tangan atau di kuku,
tidak di lutut juga tidak di paha,
juga tidak dalam warna kulit atau dalam suara:
kelahiran tidak memiliki tanda khusus
seperti halnya dengan jenis makhluk lainnya.
“Pada tubuh manusia
tidak ada tanda khusus dapat ditemukan.
Pengelompokan di antara manusia
hanyalah sebutan verbal
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui pertanian,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia adalah seorang petani, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui berbagai keahlian,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang ahli, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui barang-barang dagangan,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pedagang, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan dengan melayani orang-orang lain,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pelayan, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan dengan mencuri,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pencuri, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui keterampilan memanah,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang prajurit, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang berpenghidupan melalui pelayanan religius,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang pandita, bukan seorang brahmana.
“Seseorang di antara manusia
yang memerintah negeri dan kerajaan,
engkau seharusnya mengetahui, Vāseṭṭha:
ia disebut seorang raja, bukan seorang brahmana.
“Aku tidak menyebut seseorang brahmana
berdasarkan asal-usul dan silsilahnya.
Ia hanyalah seorang pembual yang sombong
jika ia terintangi oleh hal-hal.
Seseorang yang tidak memiliki apa pun, tidak membawa apa pun:
ia kusebut seorang brahmana.
“Seseorang yang telah memotong semua belenggu,
yang sesungguhnya tidak gelisah,
yang telah mengatasi segala ikatan, terlepas:
ia kusebut seorang brahmana....
Yang mengetahui tempat-tempat kediaman masa lampaunya,
yang melihat surga dan alam sengsara,
yang telah mencapai hancurnya kelahiran:
ia kusebut seorang brahmana.
“Karena nama dan suku diberikan
sebagai sekadar sebutan di dunia ini;
Berawal mula dari kesepakatan,
yang diberikan di sana-sini.
“Bagi mereka yang tidak mengetahui hal ini,
pandangan salah telah lama menjadi kecenderungan mereka;
tanpa mengetahui, mereka mengatakan kepada kita:
‘Ia adalah seorang brahmana melalui kelahiran.’
“Seseorang bukanlah seorang brahmana melalui kelahiran,
juga bukan melalui kelahiran seseorang menjadi bukan-brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi brahmana,
melalui perbuatan seseorang menjadi bukan-brahmana.
“Seseorang menjadi petani melalui perbuatan,
melalui perbuatan seseorang menjadi ahli.
Seseorang menjadi pedagang melalui perbuatan,
melalui perbuatan seseorang menjadi pelayan.
“Seseorang menjadi pencuri melalui perbuatan mereka,
melalui perbuatan seseorang menjadi prajurit.
Seseorang menjadi pandita melalui perbuatan mereka,
melalui perbuatan seseorang menjadi raja.
“Maka demikianlah bagaimana orang bijaksana
melihat perbuatan sebagaimana adanya –
orang yang telah melihat kemunculan bergantungan,
terampil dalam perbuatan dan akibatnya.
“Oleh perbuatan dunia berputar,
oleh perbuatan populasi berputar.
Makhluk-makhluk hidup terikat oleh perbuatan
bagaikan pasak poros roda pada kereta yang bergerak.
“Melalui pertapaan, melalui kehidupan suci,
melalui pengendalian diri, melalui pelatihan batin —
melalui hal ini seseorang menjadi brahmana;
ini adalah kebrahmanaan tertinggi.
(dari MN 98, MLDB 800–807; Sn III,9)
(4) Perbuatan Menyebabkan Orang BuanganSang Bhagavā berkata kepada brahmana Aggibhāradvāja: “Apakah engkau mengetahui, brahmana, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan?”
“Aku tidak tahu, Guru Gotama, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan. Mohon agar Guru Gotama mengajarkanku Dhamma sedemikian sehingga aku dapat mengetahui apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan.”
“Dalam hal itu, brahmana, dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”
“Baik, tuan,” brahmana Aggibhāradvāja menjawab. Sang Bhagavā berkata demikian:
“Seseorang yang marah dan penuh permusuhan,
seorang jahat yang merendahkan,
berpandangan sempit, seorang penipu:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.
“Seseorang di sini yang melukai makhluk hidup
apakah yang terlahir-sekali atau terlahir-dua-kali,
yang tidak berbelas kasih terhadap makhluk hidup:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....
“Seseorang yang memuji dirinya sendiri
dan memandang rendah orang lain,
rendah karena kesombongannya sendiri,
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.
“Seseorang yang suka mencaci maki, pelit,
berkeinginan jahat, kikir, seorang penipu,
seorang tanpa rasa malu atau takut berbuat jahat:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.
“Seseorang yang mencaci maki Sang Buddha
atau siswanya,
seorang pengembara atau seorang perumah tangga:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....
“Seseorang tidak menjadi orang buangan melalui kelahiran,
juga tidak melalui kelahiran seseorang menjadi brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi orang buangan,
melalui perbuatan seseorang menjadi brahmana.”
(dari Sn I,7)
6. Negara(1) Ketika Raja-Raja Tidak Baik“Para bhikkhu, ketika raja-raja tidak baik, maka para pejabat kerajaan menjadi tidak baik. Ketika para pejabat kerajaan tidak baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak baik. Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi tidak baik, maka para penduduk di kota dan di pedesaan menjadi tidak baik. Ketika para penduduk di kota dan di pedesaan tidak baik, maka matahari dan rembulan bergerak di luar jalurnya. Ketika matahari dan rembulan bergerak di luar jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang bergerak di luar jalurnya. Ketika konstelasi dan bintang-bintang bergerak di luar jalurnya, maka siang dan malam berjalan di luar waktunya … bulan-bulan dan dwi mingguan berjalan di luar waktunya … musim demi musim dan tahun-tahun berjalan di luar waktunya. Ketika musim demi musim dan tahun-tahun berjalan di luar waktunya, maka angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak. Ketika angin bertiup di luar jalurnya dan secara acak, maka para dewa menjadi marah. Ketika para dewata menjadi marah, maka hujan tidak turun dengan cukup. Ketika hujan tidak turun dengan cukup, maka pertanian menjadi masak dengan tidak teratur. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian yang masak dengan tidak teratur, mereka menjadi berumur pendek, berpenampilan buruk, lemah, dan rentan terhadap penyakit.
“Tetapi ketika raja-raja baik, maka para pejabat kerajaan menjadi baik. Ketika para pejabat kerajaan baik, maka para brahmana dan perumah tangga menjadi baik. Ketika para brahmana dan perumah tangga menjadi baik, maka para penduduk di kota dan di pedesaan menjadi baik. Ketika para penduduk di kota dan di pedesaan baik, maka matahari dan rembulan bergerak sesuai jalurnya. Ketika matahari dan rembulan bergerak sesuai jalurnya, maka konstelasi dan bintang-bintang bergerak sesuai jalurnya. Ketika konstelasi dan bintang-bintang bergerak sesuai jalurnya, maka siang dan malam berjalan sesuai waktunya … bulan-bulan dan dwi mingguan berjalan sesuai waktunya … musim demi musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya. Ketika musim demi musim dan tahun-tahun berjalan sesuai waktunya, maka angin bertiup sesuai jalurnya dan dapat diandalkan. Ketika angin bertiup sesuai jalurnya dan dapat diandalkan, maka para dewa tidak menjadi marah. Ketika para dewa tidak menjadi marah, maka hujan turun dengan cukup. Ketika hujan turun dengan cukup, pertanian menjadi masak sesuai musimnya. Ketika orang-orang memakan hasil pertanian yang masak sesuai musimnya, mereka menjadi berumur panjang, berpenampilan baik, kuat, dan sehat.”
(4) Perbuatan Menyebabkan Orang BuanganSang Bhagavā berkata kepada brahmana Aggibhāradvāja: “Apakah engkau mengetahui, brahmana, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan?”
“Aku tidak tahu, Guru Gotama, apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan. Mohon agar Guru Gotama mengajarkanku Dhamma sedemikian sehingga aku dapat mengetahui apakah seorang buangan itu atau kualitas-kualitas yang membuat seseorang menjadi seorang buangan.”
“Dalam hal itu, brahmana, dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”
“Baik, tuan,” brahmana Aggibhāradvāja menjawab. Sang Bhagavā berkata demikian:
“Seseorang yang marah dan penuh permusuhan,
seorang jahat yang merendahkan,
berpandangan sempit, seorang penipu:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.
“Seseorang di sini yang melukai makhluk hidup
apakah yang terlahir-sekali atau terlahir-dua-kali,
yang tidak berbelas kasih terhadap makhluk hidup:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....
“Seseorang yang memuji dirinya sendiri
dan memandang rendah orang lain,
rendah karena kesombongannya sendiri,
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.
“Seseorang yang suka mencaci maki, pelit,
berkeinginan jahat, kikir, seorang penipu,
seorang tanpa rasa malu atau takut berbuat jahat:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan.
“Seseorang yang mencaci maki Sang Buddha
atau siswanya,
seorang pengembara atau seorang perumah tangga:
engkau seharusnya mengenalinya sebagai seorang buangan....
“Seseorang tidak menjadi orang buangan melalui kelahiran,
juga tidak melalui kelahiran seseorang menjadi brahmana.
Melalui perbuatan seseorang menjadi orang buangan,
melalui perbuatan seseorang menjadi brahmana.”
(dari Sn I,7)
Ketika ternak sedang menyeberangi sungai,
jika sapi pemimpin berjalan berbelok-belok,
semua lainnya berjalan berbelok-belok
karena pemimpin mereka berjalan berbelok-belok.
Demikian pula, di antara manusia,
ketika seseorang yang dianggap sebagai pemimpin
berperilaku tidak baik,
orang-orang lain juga melakukan demikian.
Seluruh kerajaan menjadi suram
jika rajanya tidak baik.
Ketika ternak sedang menyeberangi sungai
jika sapi pemimpin berjalan lurus,
semua yang lainnya berjalan lurus
karena pemimpin mereka berjalan lurus.
Demikian pula, di antara manusia,
ketika seseorang yang dianggap sebagai pemimpin
berperilaku baik,
orang-orang lain juga melakukan demikian.
Seluruh kerajaan bergembira
jika rajanya baik.
(AN 4:70, NDB 458–59)
(2) Perang Menumbuhkan KebencianRaja Ajātasattu dari Magadha, putra Videha, menggerakkan empat divisi bala tentara dan berjalan ke arah Kāsi untuk melawan Raja Pasenadi dari Kosala. Raja Pasenadi mendengar laporan ini, menggerakkan empat divisi bala tentara dan melepaskan barisan penahan ke arah Kāsi untuk melawan Raja Ajātasattu. Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha dan Raja Pasenadi dari Kosala bertempur dalam sebuah peperangan, di mana Raja Ajātasattu mengalahkan Raja Pasenadi. Raja Pasenadi, terkalahkan, mundur ke ibukotanya sendiri di Sāvatthī.
Kemudian, di pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah mereka, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah menerima dana makanan dan telah kembali, setelah makan, mereka mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:]
“Para bhikkhu, Raja Ajātasattu dari Magadha memiliki teman-teman jahat Raja Pasenadi dari Kosala memiliki teman-teman baik. Namun pada hari ini, Raja Pasenadi, setelah dikalahkan; akan tidur dengan tidak nyenyak malam ini.
“Kemenangan menumbuhkan permusuhan,
Yang kalah tidur dengan buruk,
Yang damai tidur dengan nyaman,
Setelah meninggalkan kemenangan dan kekalahan.”
[Pada kesempatan lain, ketika Pasenadi mengalahkan Ajātasattu, Sang Bhagavā berkata:]
“Si dungu berpikir keberuntungan berada di pihaknya
selama kejahatannya belum masak,
tetapi ketika kejahatan masak
si dungu mengalami penderitaan.
“Pembunuh melahirkan pembunuh,
seorang yang menaklukkan, seorang penakluk.
Penyiksa melahirkan siksaan,
seorang pencaci, seorang yang mencaci.
Demikianlah dengan terbentangnya kamma
si perampas dirampas.”
(SN 3:14–15, CDB 177–78)
(3) Raja Pemutar-RodaSang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil dan baik, tidak memerintah kerajaannya tanpa raja di atasnya.”
Seorang bhikkhu tertentu bertanya: “Tetapi siapakah, Bhante, raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil dan baik?”
“Ini adalah Dhamma, hukum kebenaran,” jawab Sang Bhagavā berkata. “Seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil dan baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan kepada para penduduk di wilayahnya. Ia memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan kepada para khattiya yang melayaninya; kepada para pasukan, kepada para brahmana dan para perumah tangga, kepada para penduduk kota dan desa, para pertapa dan brahmana, dan binatang-binatang dan burung-burung. Seorang raja pemutar-roda, yang memberikan perlindungan hukum, naungan, dan keamanan demikian kepada semua makhluk, adalah seseorang yang memerintah hanya dengan Dhamma. Dan pemerintahan itu tidak dapat digulingkan oleh manusia jahat mana pun juga.”
(dari AN 3:14, NDB 208–9)
(4) Bagaimana Raja Pemutar-Roda Menaklukkan Wilayah“Di sini, ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari
uposatha tanggal lima belas[2] dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan
uposatha, di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam segala aspek. Ketika melihatnya, raja mulia yang sah itu berpikir: ‘Aku telah mendengar bahwa ketika seorang raja mulia yang sah telah mencuci kepalanya di hari
uposatha tanggal lima belas dan telah naik ke kamar atas istana untuk melaksanakan
uposatha, dan di sana muncul padanya pusaka-roda surgawi berjeruji seribu, dengan lingkaran, dan porosnya, lengkap dalam segala aspek, maka raja itu menjadi seorang raja pemutar-roda. Apakah aku akan menjadi seorang raja pemutar-roda?’
“Kemudian raja mulia yang sah itu bangkit dari duduknya, dan dengan membawa sekendi air di tangan kirinya, ia memercikkan pusaka-roda itu dengan tangan kanannya, dengan berkata: ‘Berputarlah maju, pusaka-roda yang baik; menanglah, pusaka-roda yang baik!’ Kemudian pusaka-roda itu berputar maju ke arah timur dan sang raja pemutar roda mengikutinya bersama dengan empat barisan bala tentaranya. Sekarang di wilayah manapun pusaka-roda itu berhenti, di sana sang raja pemutar-roda berdiam bersama keempat barisan bala tentaranya. Dan para raja lawan di arah timur mendatangi raja pemutar-roda dan berkata: ‘Datanglah, Raja Agung; selamat datang, Raja Agung; berikanlah perintah, Raja Agung; berikanlah nasihat, Raja Agung.’ Sang raja pemutar-roda berkata sebagai berikut: ‘Kalian tidak boleh membunuh makhluk-makhluk hidup; kalian tidak boleh mengambil apa yang tidak diberikan; kalian tidak boleh melakukan perbuatan seksual yang salah; kalian tidak boleh mengucapkan kebohongan; kalian tidak boleh meminum minuman memabukkan; kalian seharusnya menikmati apa yang biasanya kalian nikmati.’ Dan para raja lawan di arah timur mematuhi raja pemutar-roda.
“Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera timur dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah selatan … Dan para raja lawan di arah selatan mematuhi raja pemutar-roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera selatan dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah barat … Dan para raja lawan di arah barat mematuhi raja pemutar-roda. Kemudian pusaka-roda masuk ke dalam samudera barat dan keluar kembali. Dan kemudian berputar maju ke arah utara … Dan para raja lawan di arah utara mematuhi raja pemutar-roda.
“Sekarang ketika pusaka-roda telah memenangkan seluruh bumi hingga ke batas samudera, pusaka-roda itu kembali ke ibukota dan berdiam seolah-olah terpasang pada porosnya di gerbang istana di istana bagian dalam sang raja pemutar-roda, sebagai penghias gerbang menuju istana bagian dalamnya. Demikianlah pusaka-roda yang muncul bagi seorang raja pemutar-roda.”
(dari MN 129, MLDB 1023–24; lihat juga DN 26, LDB 397–98)