Beliau berusaha untuk melimpahkan buah dari Jhàna yang Beliau nikmati—kebahagiaan, ketenangan, kegembiraan, konsentrasi, pengetahuan akan hal-hal sebagaimana adanya—kepada makhluk-makhluk lain agar mereka juga dapat menikmatinya seperti dirinya.
Lebih jauh lagi, Beliau melihat makhluk-makhluk dilanda penderitaan akan kelahiran yang berulang-ulang (samsàra vatta dukkha), penderitaan yang disebabkan oleh kotoran batin (kilesa dukkha), dan penderitaan yang diakibatkan oleh bentuk-bentuk kamma (abisankhàra dukkha) yang menjerat makhluk-makhluk dalam samsàra.
Demikianlah, Beliau melihat penderitaan yang dialami oleh makhluk-makhluk: Beliau melihat dengan jelas makhluk-makhluk yang berada di alam sengsara (Niraya) mengalami dipotong-potong, dibakar api terus-menerus, hancur, kesakitan dalam waktu yang lama.
Beliau melihat makhluk-makhluk di alam binatang yang mengalami penderitaan karena kebencian, tekanan, melukai, dan membunuh binatang lain atau harus bekerja keras untuk makhluk lain.
Beliau melihat makhluk-makhluk di alam hantu yang dibakar api yang berkobar-kobar, lemah karena lapar, haus, angin, matahari, dan lain-lain, memakan apa yang telah dimuntahkan, menelan ludah dan dahak, dan lain-lain, dan mengacung-acungkan tangannya dalam kesedihan.
Beliau melihat makhluk-makhluk manusia, jatuh bangun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; menderita hukuman seperti dipotong tangannya, kakinya, dan lain-lain karena melakukan kejahatan; menyeramkan, jelek, cacat; terbenam dalam lumpur penderitaan, tidak berbeda dengan makhluk-makhluk di Alam Niraya;
beberapa manusia, yang mengalami kelaparan dan kehausan karena kekurangan bahan makanan mirip dengan hantu kelaparan.
Beberapa dari mereka yang lebih lemah ditundukkan oleh mereka yang lebih kuat, memaksa yang lemah untuk melayani dan hidup tergantung dari yang kuat. Beliau melihat penderitaan ini tidak berbeda dengan binatang.
Bodhisatta melihat dengan jelas dewa-dewa di enam alam indria (yang terlihat sangat bahagia oleh manusia) menderita kegelisahan karena menelan ‘racun’ kenikmatan indria dan terbakar oleh api keserakahan, kebencian, dan kebodohan, bagaikan sebatang pohon kering yang terbakar dan semakin marak oleh tiupan angin, tanpa sedetik pun merasakan kedamaian, selalu berjuang dengan putus asa dan bergantung dari yang lain untuk bertahan hidup.
Beliau melihat jelas para brahmà di alam bentuk dan alam tanpa bentuk, setelah hidup dalam waktu yang sangat lama, selama delapan puluh empat ribu mahàkappa; akhirnya kalah terhadap hukum ketidakkekalan dan akhirnya jatuh kembali ke dalam lingkaran kelahiran, usia tua, dan kematian yang tidak terkalahkan dan penuh penderitaan seperti burung yang bersemangat tinggi terbang jauh dan jauh di angkasa atau seperti anak panah yang dilepaskan ke angkasa oleh seorang yang kuat.
Melihat dengan jelas penderitaan-penderitaan ini, Bodhisatta merasakan perasaan religius yang mendesak (Samvega), dan memancarkan cinta kasih dan welas asih kepada semua makhluk dengan tanpa membeda-bedakan dalam tiga puluh satu alam kehidupan.
Bodhisatta, dengan demikian mengumpulkan kebajikan tanpa terputus memenuhi persyaratan untuk mencapai Pencerahan Sempurna dengan tindakan, ucapan, dan pikiran yang baik, berusaha dengan saksama dan dengan penuh ketekunan agar semua Pàrami dapat dipenuhi hingga tingkat tertinggi.
Usaha yang berfungsi untuk mengantarkannya menuju Kebuddhaan—gudang yang tidak terbayangkan, tiada bandingan, tidak ternoda, dengan sifat-sifat murni—kuatnya tidak terbayangkan. Orang-orang biasa bahkan tidak berani mendengar mengenai usaha ini apalagi mempraktikkannya.
~RAPB 1, pp. 163-164~