//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH  (Read 7350 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« on: 31 July 2013, 09:23:23 PM »

[101]BUKU KELOMPOK TUJUH

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #1 on: 31 July 2013, 09:24:06 PM »
LIMA PULUH PERTAMA


I. KEKAYAAN

1 (1) Menyenangkan (1)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga tidak dihormati dan tidak dihargai oleh mereka. Apakah tujuh ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu menginginkan perolehan, (2) penghormatan, dan (3) reputasi;<1455> (4) ia secara moral tidak tahu malu dan (5) bermoral sembrono; (6) ia memiliki keinginan jahat dan (7) menganut pandangan salah. Dengan memiliki ketujuh kualitas ini seorang bhikkhu tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga tidak dihormati dan tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu menyenangkan dan disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga dihormati dan dihargai oleh mereka. Apakah tujuh ini? [2] Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak menginginkan perolehan, (2) penghormatan, atau (3) reputasi; (4) ia memiliki rasa malu bermoral dan (5) rasa takut bermoral; (6) ia memiliki sedikit keinginan dan (7) menganut pandangan benar. Dengan memiliki ketujuh kualitas ini seorang bhikkhu menyenangkan dan disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga dihormati dan dihargai oleh mereka.”

(2) Menyenangkan (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga tidak dihormati dan tidak dihargai oleh mereka. Apakah tujuh ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu menginginkan perolehan, (2) penghormatan, dan (3) reputasi; (4) ia secara moral tidak tahu malu dan (5) bermoral sembrono; (6) ia bersifat iri dan (7) kikir. Dengan memiliki ketujuh kualitas ini seorang bhikkhu tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga tidak dihormati dan tidak dihargai oleh mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu menyenangkan dan disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga dihormati dan dihargai oleh mereka. Apakah tujuh ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak menginginkan perolehan, (2) penghormatan, atau (3) reputasi; (4) ia memiliki rasa malu bermoral dan (5) rasa takut bermoral; (6) ia tidak bersifat iri dan (7) tidak kikir. Dengan memiliki ketujuh kualitas ini seorang bhikkhu menyenangkan dan disukai oleh teman-temannya para bhikkhu dan juga dihormati dan dihargai oleh mereka.” [3]

(3) Kekuatan-Kekuatan Secara Ringkas

“Para bhikkhu, ada tujuh kekuatan ini. Apakah tujuh ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah ketujuh kekuatan itu.”

Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan,
kekuatan rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral;
kekuatan perhatian dan konsentrasi,
    dan kebijaksanaan, kekuatan ke tujuh;
   seorang bhikkhu perkasa yang memiliki hal-hal ini
   adalah bijaksana dan hidup dengan bahagia.

   Ia harus dengan seksama memeriksa Dhamma
   Dan dengan kebijaksanaan melihat secara mendalam pada maknanya.
   Adalah bagaikan padamnya pelita
   Kebebasan pikiran itu.

(4) Kekuatan-kekuatan Secara Terperinci

“Para bhikkhu, ada tujuh kekuatan ini. Apakah tujuh ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia,  pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekuatan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekuatan kegigihan? Di sini, seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kekuatan kegigihan.

(3) “Dan apakah kekuatan rasa malu bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki raas malu bermoral; ia malu terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia malu [4] dalam memperoleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk. Ini disebut kekuatan rasa malu bermoral.

(4) “Dan apakah kekuatan rasa takut bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa takut terhadap perbuatan salah; ia takut terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia takut dalam memperoleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk. Ini disebut kekuatan rasa takut bermoral.

(5) “Dan apakah kekuatan perhatian? Di sini, seorang siswa mulia penuh perhatian, memiliki perhatian dan keawasan tertinggi, seorang yang mengingat apa yang telah dilakukan dan dikatakan yang telah lama berlalu. Ini disebut kekuatan perhatian.

(6) “Dan apakah kekuatan konsentrasi? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [seperti pada 5:14 §4] … jhāna ke empat. Ini disebut kekuatan konsentrasi.

(7) “Dan apakah kekuatan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia adalah bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kekuatan kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh kekuatan itu.”

[Syairnya identik dengan syair pada 7:3.]

(5) Kekayaan Secara Ringkas

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis kekayaan. Apakah tujuh ini? Kekayaan keyakinan, kekayaan perilaku bermoral, kekayaan rasa malu bermoral, kekayaan rasa takut bermoral, kekayaan pembelajaran, kekayaan kedermawanan, dan kekayaan kebijaksanaan. [5] Ini adalah ketujuh kekayaan itu.

   Kekayaan keyakinan, kekayaan perilaku bermoral,
kekayaan rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral,
kekayaan pembelajaran dan kedermawanan,
dan kebijaksanaan, jenis kekayaan ke tujuh:

jika seseorang telah memiliki ketujuh jenis kekayaan ini,
apakah perempuan atau laki-laki,
mereka mengatakan bahwa ia tidak miskin,
bahwa hidupnya tidak dijalani dengan sia-sia.

Oleh karena itu seorang yang cerdas,
Mengingat ajaran Sang Buddha,
Harus bertekad pada keyakinan dan perilaku bermoral,
Kepercayaan-diri dan penglihatan Dhamma.

6 (6) Kekayaan Secara Terperinci.

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis kekayaan. Apakah tujuh ini? Kekayaan keyakinan, kekayaan perilaku bermoral, kekayaan rasa malu bermoral, kekayaan rasa takut bermoral, kekayaan pembelajaran, kekayaan kedermawanan, dan kekayaan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekayaan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant …  Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekuatan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekayaan perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, menghidndari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut kekayaan perilaku bermoral.

(3) “Dan apakah kekayaan rasa malu bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa malu bermoral; ia malu terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia malu dalam memperoleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk. Ini disebut kekuatan rasa malu bermoral.

(4) “Dan apakah kekayaan rasa takut bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa takut terhadap perbuatan salah; ia takut terhadap perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia takut dalam memperoleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk. Ini disebut kekayaan rasa takut bermoral.

(5) “Dan apakah kekayaan pembelajaran? [6] Di sini, seorang siswa mulia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Ini disebut kekayaan pembelajaran.

(6) “Dan apakah kekayaan kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kekayaan kedermawanan.

(7) “Dan apakah kekayaan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia adalah bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kekayaan kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh jenis kekayaan itu.”

[Syairnya identik dengan syair pada 7:5.]

7 (7) Ugga

Ugga perdana menteri raja mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa Migāra dari Rohaṇa begitu kaya, dengan kekayaan dan harta yang banyak.”

“Tetapi seberapa [7] kayakah Migāra dari Rihaṇa? seberapa banyakkah kekayaan dan harta yang ia miliki?”

“Ia memiliki seratus ribu unit kepingan emas,<1456> apalagi peraknya.”

“Ada kekayaan jenis itu, Ugga; Aku tidak menyangkalnya. Tetapi kekayaan demikian dapat diambil oleh api, air, raja-raja, pencuri, dan pewaris yang tidak disukai. Akan tetapi, Ugga, tujuh jenis kekayaan ini tidak dapat diambil oleh api, air, raja-raja, pencuri, dan pewaris yang tidak disukai. Apakah tujuh ini? Kekayaan keyakinan, kekayaan perilaku bermoral, kekayaan rasa malu bermoral, kekayaan rasa takut bermoral, kekayaan pembelajaran, kekayaan kedermawanan, dan kekayaan kebijaksanaan. Ketujuh jenis kekayaan ini tidak dapat diambil oleh api, air, raja-raja, pencuri, dan pewaris yang tidak disukai.”

[Syairnya identik dengan syair pada 7:5.]

8 (8 ) Belenggu

“Para bhikkhu, ada tujuh belenggu ini.<1457> Apakah tujuh ini? Belenggu penerimaan,<1458> belenggu penolakan, belenggu pandangan, belenggu keragu-raguan, belenggu keangkuhan, belenggu nafsu pada penjelmaan, dan belenggu ketidak-tahuan. Ini adalah ketujuh belenggu itu.”

9 (9) Meninggalkan

“Para bhikkhu, kehidupan spiritual dijalani untuk meninggalkan dan melenyapkan tujuh belenggu. Apakah tujuh ini? [8] Belenggu penerimaan, belenggu penolakan, belenggu pandangan, belenggu keragu-raguan, belenggu keangkuhan, belenggu nafsu pada penjelmaan, dan belenggu ketidak-tahuan. Kehidupan spiritual dijalani untuk meninggalkan dan melenyapkan tujuh belenggu.

“Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan belenggu penerimaan, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul kembali di masa depan; ketika ia telah meninggalkan belenggu penolakan … belenggu pandangan … belenggu keragu-raguan … belenggu keangkuhan … belenggu nafsu pada penjelmaan … belenggu ketidak-tahuan, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul kembali di masa depan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, telah melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan.”

10 (10) Kekikiran

“Para bhikkhu, ada tujuh belenggu ini. Apakah tujuh ini? Belenggu penerimaan, belenggu penolakan, belenggu pandangan, belenggu keragu-raguan, belenggu keangkuhan, belenggu keiri-hatian, dan belenggu kekikiran.<1459> Ini adalah ketujuh belenggu itu.” [9]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #2 on: 31 July 2013, 09:26:07 PM »
II. KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI

11 (1) Kecenderungan Tersembunyi (1)

“Para bhikkhu, ada tujuh kecenderungan tersembunyi ini. Apakah tujuh ini? Kecenderungan tersembunyi pada nafsu indriawi, kecenderungan tersembunyi pada penolakan, kecenderungan tersembunyi pada pandangan, kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan, dan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan. Ini adalah ketujuh kecenderungan tersembunyi itu.”

12 (2) Kecenderungan Tersembunyi (2)

“Para bhikkhu, kehidupan spiritual dijalani untuk meninggalkan dan melenyapkan tujuh kecenderungan tersembunyi. Apakah tujuh ini? Kecenderungan tersembunyi pada nafsu indriawi, kecenderungan tersembunyi pada penolakan, kecenderungan tersembunyi pada pandangan, kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan, dan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan. kehidupan spiritual dijalani untuk meninggalkan dan melenyapkan ketujuh kecenderungan tersembunyi ini.

“Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu indriawi, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul kembali di masa depan; ketika ia telah meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada penolakan … kecenderungan tersembunyi pada pandangan … kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan … kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan … kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan … dan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul kembali di masa depan, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu yang tanpa kecenderungan tersembunyi,<1460> telah melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan.” [10]

13 (3) Keluarga

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi adalah tidak layak untuk dikunjungi, atau yang telah dikunjungi adalah tidak layak untuk duduk bersama mereka.<1461> Apakah tujuh ini? (1) Mereka tidak bangkit dengan cara yang menyenangkan.<1462> (2) Mereka tidak memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka tidak mempersilakan duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka menyembunyikan apa yang mereka miliki. (5) Walaupun mereka memiliki banyak, namun mereka memberikan sedikit. (6) Walaupun mereka memiliki benda-benda bagus, namun mereka memberikan benda-benda kasar. (7) Mereka memberi dengan tidak hormat, bukan dengan hormat. Dengan memiliki ketujuh faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi adalah tidak layak untuk dikunjungi, atau keluarga yang telah dikunjungi adalah tidak layak untuk duduk bersama mereka.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh faktor, sebuah keluarga yang belum dikunjungi adalah layak untuk dikunjungi, atau yang telah dikunjungi adalah layak untuk duduk bersama mereka. Apakah tujuh ini? (1) Mereka bangkit dengan cara yang menyenangkan. (2) Mereka memberi hormat dengan cara yang menyenangkan. (3) Mereka mempersilakan duduk dengan cara yang menyenangkan. (4) Mereka tidak menyembunyikan apa yang mereka miliki. (5) Jika mereka memiliki banyak, maka mereka memberikan banyak. (6) Jika mereka memiliki benda-benda bagus, maka mereka memberikan benda-benda bagus. (7) Mereka memberi dengan hormat, bukan dengan tidak hormat. Dengan memiliki ketujuh faktor ini, sebuah keluarga yang belum dikunjungi adalah layak untuk dikunjungi, atau keluarga yang telah dikunjungi adalah layak untuk duduk bersama mereka.”

14 (4) Orang-Orang

“Para bhikkhu, tujuh orang ini adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini? Seorang yang terbebaskan dalam kedua cara, seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan, seorang saksi tubuh, seorang yang mencapai pandangan, seorang yang terbebaskan melalui keyakinan, seorang pengikut Dhamma, dan seorang pengikut keyakinan. [11] Ketujuh orang ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”<1463>

15 (5) Serupa dengan Mereka yang Berada di Dalam Air

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis orang yang terdapat di dunia ini yang serupa dengan mereka yang berada di dalam air. Apakah tujuh ini? (1) Di sini, seseorang telah masuk ke bawah air dan tetap di bawah. (2) Seseorang telah naik ke atas dan kemudian masuk ke bawah. (3) Seseorang telah naik ke atas dan tetap di sana. (4) Seseorang telah naik ke atas, melihat dengan jelas, dan melihat ke sekeliling. (5) Seseorang telah naik ke atas dan menyeberang. (6) Seseorang telah naik ke atas dan mendapatkan pijakan kaki yang kokoh. (7) Seseorang telah naik ke atas, menyeberang, dan sampai ke seberang, seorang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.<1464>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang yang telah masuk ke bawah air dan tetap di bawah? Di sini, seseorang memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang seluruhnya hitam. Dengan cara inilah seseorang telah masuk ke bawah air dan tetap di bawah.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang telah naik ke atas dan kemudian masuk ke bawah? Di sini, seseorang telah naik ke atas, [dengan berpikir]: ‘Keyakinan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; rasa malu bermoral adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; rasa takut bermoral adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; kegigihan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; kebijaksanaan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Akan tetapi, keyakinannya tidak stabil atau bertambah melainkan berkurang. Rasa malu bermoralnya …rasa takut bermoralnya … kegigihannya … kebijaksanaannya tidak stabil atau bertambah melainkan berkurang. Dengan cara inilah seseorang telah naik ke atas dan kemudian masuk ke bawah.

(3) ”Dan bagaimanakah seseorang yang telah naik ke atas dan tetap di sana? [12] Di sini, seseorang telah naik ke atas, [dengan berpikir]: ‘Keyakinan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … kebijaksanaan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Keyakinannya tidak berkurang juga tidak bertambah; melainkan hanya menetap di sana. Rasa malu bermoralnya …rasa takut bermoralnya … kegigihannya … kebijaksanaannya tidak berkurang juga tidak bertambah; melainkan hanya menetap di sana. Dengan cara inilah seseorang yang naik ke atas dan tetap di sana.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang yang telah naik ke atas, melihat dengan jelas, dan melihat ke sekeliling? ] Di sini, seseorang telah naik ke atas, [dengan berpikir]: ‘Keyakinan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … kebijaksanaan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdirnya, menuju pencerahan. Dengan cara inilah seseorang telah naik ke atas, melihat dengan jelas, dan melihat ke sekeliling.

(5) “Dan bagaimanakah seseorang yang telah naik ke atas dan menyeberang? Di sini, seseorang telah naik ke atas, [dengan berpikir]: ‘Keyakinan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … kebijaksanaan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu yang lebih rendah dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, orang ini adalah seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali satu kali lagi ke alam ini, akan mengakhiri penderitaan. Dengan cara inilah seseorang telah naik ke atas dan menyeberang.

(6) “Dan bagaimanakah seseorang yang telah naik ke atas dan mendapatkan pijakan kaki yang kokoh? Di sini, seseorang telah naik ke atas, [dengan berpikir]: ‘Keyakinan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … kebijaksanaan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia adalah seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu. Dengan cara inilah seseorang telah naik ke atas dan mendapatkan pijakan kaki yang kokoh.

(7) ) “Dan bagaimanakah seseorang yang telah naik ke atas, menyeberang, dan sampai ke seberang, seorang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi? [13] Di sini, seseorang telah naik ke atas, [dengan berpikir]: ‘Keyakinan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; rasa malu bermoral adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; rasa takut bermoral adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; kegigihan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat; kebijaksanaan adalah baik dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara inilah seseorang telah naik ke atas, menyeberang, dan sampai ke seberang, seorang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh jenis orang itu yang terdapat di dunia yang serupa dengan mereka yang berada di dalam air.”

16 (6) Ketidak-kekalan

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah orang jenis pertama yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.

(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Baginya padamnya noda-noda dan berakhirnya kehidupan terjadi bersamaan.<1465> Ini adalah orang jenis ke dua yang layak menerima pemberian …

(3) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan [14] kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.<1466> Ini adalah orang jenis ke tiga yang layak menerima pemberian …

(4) “…Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat.<1467> Ini adalah orang jenis ke empat yang layak menerima pemberian …

(5) “…Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.<1468> Ini adalah orang jenis ke lima yang layak menerima pemberian …

(6) “…Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha. Ini adalah orang jenis ke enam yang layak menerima pemberian …

(7) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.<1469> Ini adalah orang jenis ke tujuh yang layak menerima pemberian …

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh jenis orang itu yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

17 (7) Penderitaan

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan penderitaan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan penderitaan, mengalami penderitaan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah orang jenis pertama yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.

[Bagian selanjutnya sama seperti 7:16, tetapi dengan berdasarkan pada perenungan penderitaan dalam segala fenomena terkondisi.]

18 (8 ) Tanpa-diri <1470>

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan ketiadaan-diri dalam segala fenomena terkondisi,<1471> mempersepsikan ketiadaan-diri, mengalami ketiadaan-diri, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah orang jenis pertama yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.

[Bagian selanjutnya sama seperti 7:16, tetapi dengan berdasarkan pada perenungan ketiadaan-diri dalam segala fenomena terkondisi.]

19 (9) Kebahagiaan

“Para bhikkhu, ada tujuh jenis orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan kebahagiaan dalam nibbāna, mempersepsikan kebahagiaan demikian, mengalami kebahagiaan demikian, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah orang jenis pertama yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.

[Bagian selanjutnya sama seperti 7:16, tetapi dengan berdasarkan pada perenungan kebahagiaan dalam nibbāna.] [15]

20 (10) Landasan bagi [Makhluk] “Tanpa-Sepuluh”

“Para bhikkhu, ada tujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’.<1472> Apakah tujuh ini?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menjalankan latihan di masa depan. (2) Ia memiliki kuat untuk mengingat Dhamma dan tidak kehilangan kegemarannya untuk mengingat Dhamma di masa depan. (3) Ia memiliki keinginan kuat untuk melenyapkan keinginan sia-sia dan tidak kehilangan kegemarannya untuk melenyapkan keinginan sia-sia di masa depan.<1473> (4) Ia memiliki keinginan kuat pada keterasingan dan tidak kehilangan kegemarannya pada keterasingan di masa depan. (5) Ia memiliki keinginan kuat untuk membangkitkan kegigihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk membangkitkan kegigihan di masa depan. (6) Ia memiliki keinginan kuat pada perhatian dan keawasan dan tidak kehilangan kegemarannya pada perhatian dan keawasan di masa depan. (7) Ia memiliki keinginan kuat untuk menembus melalui pandangan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menembus melalui pandangan di masa depan. Ini adalah ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’”.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #3 on: 31 July 2013, 09:27:52 PM »
III. TUJUH VAJJI

21 (1) Sārandada

[16] Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Altar Sārandada. Kemudian sejumlah orang Licchavi mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepada mereka sebagai berikut:

“Aku akan mengajarkan kepada kalian, para Licchavi, tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”<1474>

“Baik, Bhante,” para Licchavi itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para Licchavi, tujuh prinsip ketidak-munduran itu?

(1) “Para Licchavi, selama para Vajji sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(2) “Selama para Vajji berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Vajji dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Selama para Vajji tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti prinsip-prinsip kuno Vajji seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para sesepuh Vajji dan berpendapat bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Selama para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan altar-altar tradisi, baik yang berada di dalam [kota]<1475> maupun di luar kota, [17] dan tidak mengabaikan pengorbanan baik seperti yang dipersembahkan kepada mereka di masa lalu,<1476> maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Selama para Vajji memberikan perlindungan baik, naungan baik, dan penjagaan baik kepada para Arahant, [dengan niat]: ‘Bagaimanakah agar para Arahant yang belum datang ke sini dapat datang ke negeri kami, dan bagaimanakah agar para Arahant itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini?’ maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para Licchavi, selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para Vajji, dan para Vajji terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

22 (2) Vassakāra <1477>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha hendak memerangi para Vajji. Ia berkata sebagai berikut: “Betapa pun kuat dan perkasanya para Vajji ini, aku akan memusnahkan mereka, menghancurkan mereka, membawakan bencana pada mereka.”

Kemudian Raja Ajātasattu berkata kepada perdana menterinya, Brahmana Vassakāra: “Pergilah, Brahmana, temuilah Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau. Tanyakan apakah Beliau sehat dan bugar, tangkas dan kuat, dan merasa nyaman. Katakan: ‘Bhante, Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha bersujud kepada Sang Bhagavā dengan kepalanya di kakiMu. Ia menanyakan apakah Engkau sehat dan bugar, tangkas dan kuat, dan merasa nyaman.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Bhante, Raja Ajātasattu hendak memerangi para Vajji. Ia berkata sebagai berikut: “Betapa pun kuat dan perkasanya para Vajji ini, aku akan memusnahkan mereka, menghancurkan mereka, membawakan bencana pada mereka.” Dengarkanlah dengan seksama bagaimana Sang Bhagavā menjawabmu dan laporkan kepadaku, karena Sang Tathāgata tidak berbohong.”

“Baik, Baginda,” Brahmana Vassakāra menjawab. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan pergi menemui Sang Bhagavā. Ia saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata:

“Guru Gotama, Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha bersujud kepada Sang Bhagavā dengan kepalanya di kakiMu. Ia menanyakan apakah Engkau sehat dan bugar, tangkas dan kuat, dan merasa nyaman. Guru Gotama, Raja Ajātasattu hendak memerangi para Vajji. Ia berkata sebagai berikut: ‘Betapa pun kuat dan perkasanya para Vajji ini, aku akan memusnahkan mereka, menghancurkan mereka, membawakan bencana pada mereka.’”

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā mengipasi Beliau. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

(1) “Ānanda, pernahkah engkau mendengar apakah para Vajji sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan?”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.


(2) “Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, apakah para Vajji berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Vajji dengan rukun?”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji berkumpul dengan rukun, [19] bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Vajji dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, apakah para Vajji tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti prinsip-prinsip kuno Vajji seperti yang telah ditetapkan?”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti prinsip-prinsip kuno Vajji seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, apakah para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para sesepuh Vajji dan berpendapat bahwa mereka seharusnya dipatuhi?”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para sesepuh Vajji dan berpendapat bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, apakah para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa mereka untuk hidup bersama?”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, apakah para Vajji menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan altar-altar tradisi, baik yang berada di dalam [kota] maupun di luar kota, dan tidak mengabaikan pengorbanan baik seperti yang dipersembahkan kepada mereka di masa lalu?”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji [20] menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan altar-altar tradisi, baik yang berada di dalam [kota] maupun di luar kota, [17] dan tidak mengabaikan pengorbanan baik seperti yang dipersembahkan kepada mereka di masa lalu, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, apakah para Vajji memberikan perlindungan baik, naungan baik, dan penjagaan baik kepada para Arahant, [dengan niat]: ‘Bagaimanakah agar para Arahant yang belum datang ke sini dapat datang ke negeri kami, dan bagaimanakah agar para Arahant itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini?’”

“Aku mendengar, Bhante, bahwa mereka melakukan demikian.”

“Ānanda, selama para Vajji memberikan perlindungan baik, naungan baik, dan penjagaan baik kepada para Arahant, [dengan niat]: ‘Bagaimanakah agar para Arahant yang belum datang ke sini dapat datang ke negeri kami, dan bagaimanakah agar para Arahant itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini?’ maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha: “Pada suatu ketika, Brahmana, Aku sedang menetap di Vesālī di altar Sārandada. Di sana Aku mengajarkan ketujuh prinsip ketidak-munduran ini kepada para Vajji. Selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para Vajji, dan para Vajji terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Vassakāra berkata sebagai berikut kepada Sang Bhagavā: “Jika, Guru Gotama, para Vajji menjalankan bahkan hanya satu dari prinsip-prinsip ketidak-munduran ini, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran. Apalagi jika mereka menjalankan seluruh tujuh itu? Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha, Guru Gotama, tidak mungkin menaklukkan para Vajji melalui perang, kecuali [21] melalui muslihat atau perselisihan internal. Dan sekarang, Guru Gotama, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

“Silakan engkau pergi, Brahmana.”

Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, ia bangkit dari duduknya dan pergi.

23 (3) Ketidak-munduran (1)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”<1478>

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidak-munduran itu?

(1) “Selama para bhikkhu sering berkumpul dan sering mengadakan pertemuan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(2) “Selama para bhikkhu berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan melakukan urusan-urusan Saṅgha dengan rukun, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(3) “Selama para bhikkhu tidak menetapkan apa pun yang belum ditetapkan atau meniadakan apa yang telah ditetapkan melainkan menjalankan dan mengikuti aturan-aturan latihan seperti yang telah ditetapkan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(4) “Selama para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan para bhikkhu yang adalah para sesepuh, yang telah lama menjadi bhikkhu, telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pembimbing Saṅgha, dan berpendapat bahwa mereka seharusnya dipatuhi, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(5) “Selama para bhikkhu tidak dikuasai oleh ketagihan yang telah muncul yang mengarah pada penjelmaan baru, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(6) “Selama para bhikkhu bertekad untuk menetap di tempat-tempat tinggal di dalam hutan, [22] maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

(7) “Selama para bhikkhu masing-masing menegakkan perhatian [dengan niat]: ‘Bagaimanakah agar teman-teman para bhikkhu yang berperilaku baik yang belum datang ke sini dapat datang ke sini, dan bagaimanakah agar para bhikkhu yang berperilaku baik itu yang telah datang dapat berdiam dengan nyaman di sini?’ maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

24 (4) Ketidak-munduran (2)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidak-munduran itu?

(1) “selama para bhikkhu tidak bersenang dalam bekerja, tidak menikmati bekerja, tidak menekuni kesenangan dalam bekerja, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran. (2) Selama para bhikkhu tidak bersenang dalam berbicara … (3) … tidak bersenang dalam tidur … (4) … tidak bersenang dalam kumpulan … (5) … tidak memiliki keinginan jahat dan tidak dikuasai oleh keinginan jahat … (6) … tidak bergaul dengan teman-teman yang jahat, rekan-rekan yang jahat, sahabat-sahabat yang jahat … (7) … tidak berhenti di tengah jalan [dalam pengembangan mereka] pada suatu pencapaian keluhuran yang rendah,<1479> maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

25 (5) Ketidak-munduran (3)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [23]

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidak-munduran itu?

(1) “Selama para bhikkhu memiliki keyakinan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran. (2) Selama mereka memiliki rasa malu bermoral … (3) … memiliki rasa takut bermoral … (4) … terpelajar … (5) … bersemangat … (6) … penuh perhatian … (7) … bijaksana, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #4 on: 31 July 2013, 09:28:03 PM »
26 (6) Ketidak-munduran (4)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidak-munduran itu? (1) Selama para bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran. (2) Selama mereka mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … (3) .. faktor pencerahan kegigihan … (4) … faktor pencerahan sukacita … (5) … faktor pencerahan ketenangan … (6) faktor pencerahan konsentrasi … (7) … faktor pencerahan keseimbangan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.” [24]

27 (7) Ketidak-munduran (5)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh prinsip ketidak-munduran. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh prinsip ketidak-munduran itu? (1) Selama para bhikkhu mengembangkan persepsi ketidak-kekalan, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran. (2) Selama mereka mengembangkan persepsi ketiadaan-diri … (3) persepsi ketidak-menarikan … (4) … persepsi bahaya … (5) persepsi ditinggalkannya … (6) … persepsi kebosanan … (7) … persepsi lenyapnya, , maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.<1480>

“Para bhikkhu, selama ketujuh prinsip ketidak-munduran ini berlanjut di antara para bhikkhu, dan para bhikkhu terlihat [kokoh] di dalamnya, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran.”

28 (8 ) Seorang yang Masih Berlatih

“Para bhikkhu, tujuh kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah tujuh ini? Bersenang dalam bekerja, bersenang dalam berbicara, bersenang dalam tidur, bersenang dalam kumpulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, makan berlebihan; dan ketika ada hal-hal yang berhubungan dengan Saṅgha yang [harus diselesaikan] dalam Saṅgha, bhikkhu itu yang masih berlatih tidak merefleksikan sebagai berikut:<1481> ‘Ada dalam Saṅgha ini para sesepuh yang telah lama menjadi bhikkhu, telah lama meninggalkan keduniawian, bertanggung jawab, yang akan memikul tanggung jawab atas [urusan] itu.’ Melainkan ia sendiri yang melakukannya.<1482> Ketujuh kualitas ini mengarah pada kemunduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

“Para bhikkhu, tujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih. Apakah tujuh ini? [25] Tidak bersenang dalam bekerja, tidak bersenang dalam berbicara, tidak bersenang dalam tidur, tidak bersenang dalam kumpulan, menjaga pintu-pintu indria, makan secukupnya; dan ketika ada hal-hal yang berhubungan dengan Saṅgha yang [harus diselesaikan] dalam Saṅgha, bhikkhu itu yang masih berlatih  merefleksikan sebagai berikut: ‘Ada dalam Saṅgha ini para sesepuh yang telah lama menjadi bhikkhu, telah lama meninggalkan keduniawian, bertanggung jawab, yang akan memikul tanggung jawab atas [urusan] itu.’ Ia sendiri tidak melakukannya. Ketujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu yang masih berlatih.

29 (9) Kemunduran

“Para bhikkhu, tujuh hal ini mengarah pada kemunduran seorang umat awam. Apakah tujuh ini? (1) Ia berhenti menemui para bhikkhu; (2) ia mengabaikan mendengarkan Dhamma sejati; (3) ia tidak berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; (4) Ia penuh kecurigaan terhadap para bhikkhu, apakah para bhikkhu senior, bhikkhu junior, atau menengah; (5) ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran yang berniat untuk mengkritik, mencari celah kesalahan; (6) ia mencari orang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar; (7) ia pertama-tama melakukan perbuatan [berjasa] di sana.<1483> Ketujuh hal ini mengarah pada kemunduran seorang umat awam.

“Para bhikkhu, tujuh hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang umat awam. Apakah tujuh ini? (1) Ia tidak berhenti menemui para bhikkhu; (2) ia tidak mengabaikan mendengarkan Dhamma sejati; (3) ia berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; (4) Ia penuh keyakinan terhadap para bhikkhu, apakah para bhikkhu senior, bhikkhu junior, atau menengah; (5) ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran yang tidak berniat untuk mengkritik, tidak mencari celah kesalahan; (6) ia tidak mencari orang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar; (7) ia pertama-tama melakukan perbuatan [berjasa] di sini. Ketujuh hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang umat awam.”<1484> [26]

   Seorang umat awam yang berhenti menemui
   [para bhikkhu] yang telah mengembangkan diri mereka,
   [yang berhenti] mendengarkan ajaran-ajaran para mulia,
   Dan tidak berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi;
   Yang kecurigaannya terhadap para bhikkhu
   Senantiasa meningkat;
   Yang ingin mendengarkan Dhamma sejati
   Dengan pikiran untuk mengkritik;
   Umat awam yang mencari
   Seorang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar
   Dan pertama-tama melakukan perbuatan berjasa kepada mereka:
   Ketujuh prinsip yang telah diajarkan dengan baik ini
   Menggambarkan apa yang mengarah menuju kemunduran.
   Seorang umat awam yang mendekati mereka
   Jatuh dari Dhamma sejati.

   Seorang umat awam yang tidak berhenti menemui
   [para bhikkhu] yang telah mengembangkan diri mereka,
   yang  mendengarkan ajaran-ajaran para mulia,
   Dan berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi;
   Yang keyakinannya terhadap para bhikkhu
   Senantiasa meningkat;
   Yang ingin mendengarkan Dhamma sejati
   Dengan pikiran tidak untuk mengkritik;
   Umat awam yang tidak mencari
   Seorang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar
   Melainkan yang pertama-tama melakukan perbuatan berjasa di sini:
   Ketujuh prinsip yang telah diajarkan dengan baik ini
   Menggambarkan apa yang mengarah menuju ketidak-munduran.
   Seorang umat awam yang mendekati mereka
   Tidak jatuh dari Dhamma sejati.

30 (10) Kegagalan <1485>

“Para bhikkhu, ada tujuh kegagalan seorang umat awam ini. Apakah tujuh ini? … [seperti pada 7:29] … Para bhikkhu, ada tujuh keberhasilan seorang umat awam ini. Apakah tujuh ini? … [seperti pada 7:29] … Ini adalah ketujuh keberhasilan seorang umat awam itu.”

31 (11) Kehancuran

“Para bhikkhu, ada tujuh kehancuran seorang umat awam ini. Apakah tujuh ini? … [seperti pada 7:29] … Para bhikkhu, ada tujuh kemenangan seorang umat awam ini. Apakah tujuh ini? … [seperti pada 7:29] … Ini adalah ketujuh kemenangan seorang umat awam itu.” [27]

[Syairnya identik dengan syair pada 7:29.]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #5 on: 31 July 2013, 09:29:04 PM »
IV. PARA DEWATA

32 (1) Ketekunan<1486>

Ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, [28] mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada tujuh kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah tujuh ini? Penghormatan kepada Sang Guru, penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada latihan, penghormatan kepada konsentrasi, penghormatan kepada ketekunan, penghormatan kepada keramahan. Ketujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata tersebut. Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, [berpikir]: “Sang Guru setuju denganku,” bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujudKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada tujuh kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah tujuh ini? Penghormatan kepada Sang Guru … penghormatan kepada keramahan. Ketujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata tersebut. Kemudian dewata tersebut bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.

   Hormat kepada Sang Guru,
   Hormat kepada Dhamma,
   Hormat kepada Saṅgha,
   Hormat kepada konsentrasi, bersungguh-sungguh,
   Sangat menghormati latihan,
   Hormat kepada ketekunan,
   Menggenggam keramahan dengan hormat:
   Bhikkhu ini tidak akan jatuh,
   Melainkan dekat pada nibbāna.

33 (2) Rasa Malu Bermoral <1487>

“Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujudKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada tujuh kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah tujuh ini? Penghormatan kepada Sang Guru, penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada latihan, penghormatan kepada konsentrasi, penghormatan kepada rasa malu bermoral, dan penghormatan kepada rasa takut bermoral. Ketujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata tersebut. Kemudian dewata tersebut bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.

   Hormat kepada Sang Guru,
   Hormat kepada Dhamma,
   Hormat kepada Saṅgha,
   Hormat kepada konsentrasi, bersungguh-sungguh,
   Sangat menghormati latihan,
   Memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral,
   Sopan dan hormat:
   Seorang demikian tidak akan jatuh,
   Melainkan dekat pada nibbāna.

34 (3) Mudah diperbaiki (1)

“Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujudKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada tujuh kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah tujuh ini? Penghormatan kepada Sang Guru, penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada latihan, penghormatan kepada konsentrasi, mudah diperbaiki, dan pertemanan yang baik. Ketujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata tersebut. Kemudian dewata tersebut bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.

   Hormat kepada Sang Guru,
   Hormat kepada Dhamma,
   Hormat kepada Saṅgha,
   Hormat kepada konsentrasi, bersungguh-sungguh,
   Sangat menghormati latihan,
   Mempererat pertemanan yang baik,
   Mudah diperbaiki,
   Sopan dan hormat:
   Seorang demikian tidak akan jatuh,
   Melainkan dekat pada nibbāna. [30]

35 (4) Mudah diperbaiki (2) <1488>

“Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, sesosok dewata tertentu dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujudKu, berdiri di satu sisi, dan berkata kepadaKu: ‘Bhante, ada tujuh kualitas yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah tujuh ini? Penghormatan kepada Sang Guru, penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada latihan, penghormatan kepada konsentrasi, mudah diperbaiki, dan pertemanan yang baik. Ketujuh kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata tersebut. Kemudian dewata tersebut bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang diucapkan secara ringkas oleh Sang Bhagavā sebagai berikut. Di sini, seorang bhikkhu menghormati Sang Guru dan memuji penghormatan kepada Sang Guru; ia mendorong para bhikkhu lain yang tidak menghormat Sang Guru agar mengembangkan penghormatan kepada Sang Guru dan, pada waktu yang tepat, dengan tulus dan bersungguh-sungguh, ia memuji para bhikkhu yang menghormat Sang Guru. Ia sendiri menghormati Dhamma … menghormati Saṅgha … menghormati latihan … menghormati konsentrasi … mudah diperbaiki … memiliki teman-teman yang baik dan memuji pertemanan yang baik; ia mendorong para bhikkhu lain yang tidak memiliki teman-teman yang baik agar mencari teman-teman yang baik dan, pada waktu yang tepat, dengan tulus dan bersungguh-sungguh, ia memuji para bhikkhu yang memiliki teman-teman yang baik. Dengan cara inilah, Bhante, aku memahami secara secara terperinci makna dari pernyataan yang diucapkan secara ringkas oleh Sang Bhagavā.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang Kuucapkan secara ringkas seperti demikian.”

[Sang Buddha di sini mengulangi keseluruhan pernyataan Sāriputta, diakhiri dengan:] [31]

“Seperti demikianlah, Sāriputta, makna dari pernyataan yang Kuucapkan secara ringkas harus dipahami secara terperinci.”

36 (5) Teman (1) <1489>

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya bergaul dengan teman yang memiliki tujuh faktor. Apakah tujuh ini? (1) Ia memberikan apa yang sulit diberikan. (2) Ia melakukan apa yang sulit dilakukan. (3) Ia dengan sabar menahankan apa yang sulit ditahankan. (4) Ia mengungkapkan rahasianya kepadamu. (5) Ia menjaga rahasiamu. (6) Ia tidak meninggalkanmu ketika engkau berada dalam kesulitan. (7) Ia tidak dengan kasar merendahkanmu.<1490> Seseorang seharusnya bergaul dengan teman yang memiliki ketujuh faktor ini.”

   Seorang teman memberikan apa yang sulit diberikan,
   Dan ia melakukan apa yang sulit dilakukan.
   Ia memaafkan engkau atas kata-katamu yang kasar
   Dan menahankan apa yang sulit ditahankan.

   Ia memberitahukan rahasianya kepadamu,
   Namun ia menjaga rahasiamu.
   Ia tidak meninggalkan engkau dalam kesulitan-kesulitan,
   Ia juga tidak dengan kasar merendahkanmu.

   Seseorang di sini yang padanya
   Terdapat ketujuh kualitas ini adalah seorang teman.
   Seorang yang menginginkan teman
   Harus mendatangi orang demikian. [32]

37 (6) Teman (2)

“Para bhikkhu, seseorang seharusnya bergaul dengan teman bhikkhu yang memiliki tujuh kualitas; seseorang harus mendatanginya dan melayaninya bahkan jika ia mengusirmu. Apakah tujuh ini? (1) Ia menyenangkan dan disukai; (2) ia terhormat dan (3) dihargai; (4) ia adalah seorang pembicara;<1491> (5) ia dengan sabar menahankan apa yang dikatakan kepadanya; (6) ia memberikan khotbah yang mendalam; dan (7) ia tidak menyuruh seseorang untuk melakukan apa yang salah.”

   Ia disayangi, dihormati, dan dihargai,
   Seorang pembicara dan seorang yang menahankan ucapan;
   Ia memberikan khotbah yang mendalam dan tidak menyuruh seseorang
   Untuk melakukan apa yang salah.

   Orang ini di sini yang padanya
   Terdapat kualitas-kualitas ini adalah seorang teman,
   Baik hati dan berbelas kasihan.
   Bahkan jika seseorang diusir olehnya,
   Seseorang yang menginginkan teman
   Harus mendatangi orang seperti itu.


38 (7) Pengetahuan Analitis (1)

“Para bhikkhu, ketika ia memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu dapat segera merealisasikan empat pengetahuan analitis untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh kemahiran atas pengetahuan-pengetahuan itu.<1492> Apakah tujuh ini?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kelambanan pikiran dalam diriku.’<1493> (2) Atau ketika pikirannya mengerut secara internal, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Pikiranku mengerut secara internal.’ (3) Atau ketika pikirannya teralihkan secara eksternal, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Pikiranku teralihkan secara eksternal.’<1494> (4) Ia mengetahui perasaan-perasaan ketika munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya; (5) Ia mengetahui persepsi-persepsi ketika munculnya, [33] ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya; (6) Ia mengetahui pikiran-pikiran ketika munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya.<1495> (7) Kemudian, di antara kualitas-kualitas yang layak dan tidak layak, rendah dan unggul, gelap dan terang bersama dengan pendamping-pendampingnya, ia telah menangkap gambaran itu dengan baik, mengingatnya dengan baik, merefleksikannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan.<1496> Ketika ia memiilki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu dapat segera merealisasikan empat pengetahuan analitis untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh kemahiran atas pengetahuan-pengetahuan itu.”


39 (8 ) Pengetahuan Analitis (2) <1497>

“Para bhikkhu, ketika ia memiliki tujuh kualitas, Sāriputta merealisasikan empat pengetahuan analitis untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh kemahiran atas pengetahuan-pengetahuan itu. Apakah tujuh ini?

 “Di sini, (1) Sāriputta memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kelambanan pikiran dalam diriku.’<1498> (2) Atau ketika pikirannya mengerut secara internal, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Pikiranku mengerut secara internal.’ (3) Atau ketika pikirannya teralihkan secara eksternal, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Pikiranku teralihkan secara eksternal.’ (4) Baginya, perasaan-perasaan diketahui ketika munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya; (5) Persepsi-persepsi diketahui ketika munculnya, ketika berlangsung, ketika lenyapnya; (6) Pikiran-pikiran diketahui ketika munculnya, ketika berlangsungnya, ketika lenyapnya. (7) Kemudian, di antara kualitas-kualitas yang layak dan tidak layak, rendah dan unggul, gelap dan terang bersama dengan pendamping-pendampingnya, ia telah menangkap gambaran itu dengan baik, mengingatnya dengan baik, merefleksikannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Ketika ia memiilki ketujuh kualitas ini, Sāriputta merealisasikan empat pengetahuan analitis untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dan memperoleh kemahiran atas pengetahuan-pengetahuan itu.” [34]

40 (10) Kemahiran (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu mengerahkan kendali atas pikirannya dan bukan pelayan bagi pikirannya. Apakah tujuh ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu terampil dalam konsentrasi, (2) terampil dalam pencapaian konsentrasi, (3) terampil dalam durasi konsentrasi, (4) terampil dalam keluar dari konsentrasi, (5) terampil dalam kesesuaian untuk konsentrasi, (6) terampil dalam wilayah konsentrasi, dan (7) terampil dalam keteguhan sehubungan dengan konsentrasi.<1499> Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu mengerahkan kendali atas pikirannya dan bukan pelayan bagi pikirannya.”

41 (10) Kemahiran (2) <1500>

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, Sāriputta mengerahkan kendali atas pikirannya dan bukan pelayan bagi pikirannya. Apakah tujuh ini? Di sini, (1) Sāriputta terampil dalam konsentrasi, (2) terampil dalam pencapaian konsentrasi, (3) terampil dalam durasi konsentrasi, (4) terampil dalam keluar dari konsentrasi, (5) terampil dalam kesesuaian untuk konsentrasi, (6) terampil dalam wilayah konsentrasi, dan (7) terampil dalam keteguhan sehubungan dengan konsentrasi. Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, Sāriputta mengerahkan kendali atas pikirannya dan bukan pelayan bagi pikirannya.”

42 (11) Landasan bagi [Makhluk] “Tanpa-Sepuluh” (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian ia berpikir: [35] “Masih terlalu pagi untuk berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī. Biarlah aku pergi ke taman para pengembara sekte lain.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi taman para pengembara sekte lain. Ia saling bertukar sapa dengan para pengembara itu dan, ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi. Pada saat itu paar pengembara telah berkumpul dan duduk bersama ketika percakapan ini berlangsung di antara mereka: “Teman-teman, Siapa pun juga yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua belas tahun adalah layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta tidak menerima juga tidak menolak pernyataan para pengembara itu, melainkan bangkit dari duduknya dan pergi, [dengan berpikir]: “Aku akan mengetahui apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan pernyataan ini.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta telah berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [Di sini ia menceritakan kata demi kata keseluruhan perbincangan itu dan menanyakan:] [36] “Mungkinkah, Bhante, dalam Dhamma dan disiplin ini menggambarkan seorang bhikkhu sebagai ‘tanpa-sepuluh’ hanya dengan menghitung tahun-tahunnya?”

“Dalam Dhamma dan disiplin ini, Sāriputta, tidaklah mungkin untuk menggambarkan seorang bhikkhu sebagai ‘tanpa-sepuluh’ hanya dengan menghitung tahun-tahunnya. Ada, Sāriputta, tujuh landasan ini bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ yang telah Kunyatakan setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.<1501> Apakah tujuh ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menjalankan latihan di masa depan. (2) Ia memiliki keinginan kuat untuk mengingat Dhamma dan tidak kehilangan kegemarannya untuk mengingat Dhamma di masa depan. (3) Ia memiliki keinginan kuat untuk melenyapkan keinginan sia-sia dan tidak kehilangan kegemarannya untuk melenyapkan keinginan sia-sia di masa depan. (4) Ia memiliki keinginan kuat pada keterasingan dan tidak kehilangan kegemarannya pada keterasingan di masa depan. (5) Ia memiliki keinginan kuat untuk membangkitkan kegigihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk membangkitkan kegigihan di masa depan. (6) Ia memiliki keinginan kuat pada perhatian dan keawasan dan tidak kehilangan kegemarannya pada perhatian dan keawasan di masa depan. (7) Ia memiliki keinginan kuat untuk menembus melalui pandangan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menembus melalui pandangan di masa depan. Ini adalah ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ yang telah Kunyatakan setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.

“Sāriputta, jika seorang bhikkhu memiliki ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh,’ ini, maka, jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua belas tahun, maka ia layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua puluh empat tahun, maka ia juga [37] layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama tiga puluh enam tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama empat puluh delapan tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’”

43 (12) Landasan bagi [Makhluk] “Tanpa-Sepuluh” (2)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Kosambi untuk menerima dana makanan. Kemudian ia berpikir: [35] “Masih terlalu pagi untuk berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī. Biarlah aku pergi ke taman para pengembara sekte lain.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi taman para pengembara sekte lain … [seperti pada 7:42, dengan menggantikan Sāriputta dengan Ānanda dan Sāvatthī dengan Kosambi] [38] … “Mungkinkah, Bhante, dalam Dhamma dan disiplin ini menggambarkan seorang bhikkhu sebagai ‘tanpa-sepuluh’ hanya dengan menghitung tahun-tahunnya?”

“Dalam Dhamma dan disiplin ini, Ānanda, tidaklah mungkin untuk menggambarkan seorang bhikkhu sebagai ‘tanpa-sepuluh’ hanya dengan menghitung tahun-tahunnya. Ada, Ānanda, tujuh landasan ini bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ yang telah Kunyatakan setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah tujuh ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki (1) keyakinan, (2) rasa malu bermoral, (3) rasa takut bermoral; (4) ia terpelajar, (5) bersemangat, (6) penuh perhatian, dan (7) bijaksana. Ini adalah ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ yang telah Kunyatakan setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. [39]

“Ānanda, jika seorang bhikkhu memiliki ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ ini, maka, jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua belas tahun, maka ia layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua puluh empat tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama tiga puluh enam tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama empat puluh delapan tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #6 on: 31 July 2013, 09:30:00 PM »
V. PENGORBANAN BESAR

44 (1) Stasiun

“Para bhikkhu, ada tujuh stasiun ini bagi kesadaran.<1502> Apakah tujuh ini?

(1) “Ada, para bhikkhu, makhluk-makhluk yang berbeda dalam tubuh dan berbeda dalam persepsi, seperti manusia, beberapa deva, dan beberapa makhluk di alam rendah. Ini adalah stasiun pertama bagi kesadaran.<1503> [40]

(2) “Ada makhluk-makhluk yang berbeda dalam tubuh tetapi identik dalam persepsi, seperti para deva kumpulan Brahma yang terlahir kembali melalui [jhāna] pertama. Ini adalah stasiun ke dua bagi kesadaran.<1504>

(3) “Ada makhluk-makhluk yang identik dalam tubuh tetapi berbeda dalam persepsi, seperti pada deva dengan cahaya gemerlap. Ini adalah stasiun ke tiga bagi kesadaran.<1505>

(4) “Ada makhluk-makhluk yang identik dalam tubuh dan identik dalam persepsi, seperti para deva dengan keagungan gemilang. Ini adalah stasiun ke empat bagi kesadaran.<1506>

(5) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ menjadi bagian dari landasan ruang tanpa batas. Ini adalah stasiun ke lima bagi kesadaran.

(6) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ menjadi bagian dari landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah stasiun ke enam bagi kesadaran.

(7) “Ada makhluk-makhluk yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ menjadi bagian dari landasan kekosongan. Ini adalah stasiun ke tujuh bagi kesadaran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh stasiun bagi kesadaran itu.”<1507>

45 (2) Perlengkapan

“Ada, para bhikkhu, tujuh perlengkapan konsentrasi ini. Apakah tujuh ini? Pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, dan perhatian benar. Keterpusatan-pikiran yang dilengkapi dengan ketujuh faktor ini disebut konsentrasi benar ‘dengan pendukung-pendukungnya’ dan dengan ‘perlengkapan-perlengkapannya.’”<1508> [41]

46 (3) Api

“Para bhikkhu, ada tujuh api ini. Apakah tujuh ini? Api nafsu, api kebencian, api delusi, api dari mereka yang layak menerima pemberian, api perumah tangga, api dari mereka yang layak menerima persembahan, api kayu. Ini adalah ketujuh api itu.”<1509>

47 (4) Pengorbanan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Brahmana Uggatasarīra telah melakukan persiapan untuk suatu pengorbanan besar. Lima ratus sapi jantan telah digiring ke tiang<1510> pengorbanan. Lima ratus kerbau … Lima ratus sapi muda … Lima ratus kambing … Lima ratus domba telah digiring ke tiang pengorbanan.

Kemudian Brahmana Uggatasarīra mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.”

“Aku  juga, Brahmana, telah mendengar hal ini.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.”

“Aku  juga, Brahmana, telah mendengar hal ini.”

“Kalau begitu [42] Guru Gotama dan aku sepenuhnya sepakat.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Uggatasarīra: “Brahmana, para Tathāgata seharusnya tidak ditanya sebagai berikut: ‘Aku telah mendengar, Guru Gotama, bahwa mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan adalah berbuah dan bermanfaat besar.’ Para Tathāgata seharusnya ditanya: ‘Bhante, aku ingin mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan. Sudilah Sang Bhagavā menasihatiku dan mengajariku sedemikian sehingga dapat mengarahkan aku pada kesejahteraanku dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.’”

Kemudian Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku ingin mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan. Sudilah Guru Gotama menasihatiku dan mengajariku sedemikian sehingga dapat mengarahkan aku pada kesejahteraanku dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”

“Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, telah mengacungkan tiga pisau yang tidak bermanfaat. Apakah tiga ini? Pisau jasmani, pisau ucapan, dan pisau pikiran.

“Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, membangkitkan pikiran sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi sebanyak ini dalam pengorbanan! Mari menyembelih kerbau sebanyak ini … menyembelih kambing sebanyak ini … menyembelih domba sebanyak ini dalam pengorbanan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan [43] mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, mengacungkan pisau pertama ini, pisau pikiran, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

“Kemudian, Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, mengucapkan ucapan sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi sebanyak ini dalam pengorbanan! Mari menyembelih kerbau sebanyak ini … menyembelih kambing sebanyak ini … menyembelih domba sebanyak ini dalam pengorbanan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, mengacungkan pisau ke dua ini, pisau ucapan, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

“Kemudian, Brahmana, seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, pertama-tama melakukan persiapan untuk menyembelih sapi-sapi dalam pengorbanan … menyembelih kerbau-kerbau dalam pengorbanan … menyembelih sapi-sapi muda dalam pengorbanan … menyembelih kambing-kambing dalam pengorbanan … menyembelih domba-domba dalam pengorbanan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan kebaikan,’ namun ia melakukan kejahatan. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku melakukan apa yang bermanfaat,’ namun ia melakukan apa yang tidak bermanfaat. Walaupun ia [berpikir], ‘Biarlah aku mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang baik,’ namun ia mengejar jalan menuju kelahiran kembali yang buruk. Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, mengacungkan pisau ke tiga ini, pisau jasmani, yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

“Brahmana, Seseorang yang mengobarkan api pengorbanan dan mendirikan tiang pengorbanan, bahkan sebelum pengorbanan, mengacungkan  ketiga pisau ini yang tidak bermanfaat dan memiliki penderitaan sebagai hasil dan akibatnya.

(1) – (3) “Ada, Brahmana, tiga api ini yang harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih. Apakah tiga ini? Api nafsu, api kebencian, dan api delusi.

(1) “Dan mengapakah api nafsu harus ditinggalkan dan dihindari dan tidak dilatih? Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai konsekuensinya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu api nafsu harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.

(2) – (3) “Dan mengapakah api kebencian … api delusi harus ditinggalkan dan dihindari dan tidak dilatih? Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai konsekuensinya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu api delusi harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.

“Ini adalah tiga api yang harus ditinggalkan dan dihindari dan seharusnya tidak dilatih.

(4) – (6) “Ada, Brahmana, tiga api ini yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Apakah tiga ini? [45] api mereka yang layak menerima pemberian, api perumah tangga, dan api mereka yang layak menerima persembahan.

(4) “Dan apakah api mereka yang layak menerima pemberian? Ibu dan ayah seseorang disebut api mereka yang layak menerima pemberian. Karena alasan apakah? Karena adalah dari mereka maka seseorang berasal-mula dan terlahir.<1511> Oleh karena itu, api mereka yang layak menerima pemberian ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

(5) “Dan apakah api perumah tangga? Anak-anak, istri, para budak, para pelayan, dan para pekerja seseorang disebut api perumah tangga. Oleh karena itu, api perumah tangga ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

(6) “Dan apakah api mereka yang layak menerima persembahan? Para petapa dan brahmana yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang telah jinak, tenang, dan berlatih untuk mencapai nibbāna disebut api mereka yang layak menerima persembahan. Oleh karena itu, api dari mereka yang layak menerima persembahan ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya.

“Ini, Brahmana, adalah tiga api yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan dengan bahagia, setelah menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya

(7) “Tetapi, Brahmana, kayu api ini kadang-kadang harus dinyalakan, kadang-kadang harus dilihat dengan keseimbangan, kadang-kadang harus dipadamkan, dan kadang-kadang harus disimpan.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 6:38] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini [46] hingga seumur hidup. Guru Gotama, Aku membebaskan kelima ratus sapi itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus kerbau itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus sapi muda itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus kambing itu dan membiarkan mereka hidup. Aku membebaskan kelima ratus domba itu dan membiarkan mereka hidup. Biarlah mereka memakan rumput hijau, meminum air sejuk, dan menikmati angin sejuk.”

48 (5) Persepsi (1)

“Para bhikkhu, tujuh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah tujuh ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, dan persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan. Ketujuh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #7 on: 31 July 2013, 09:31:24 PM »
49 (6) Persepsi (2)

“Para bhikkhu, tujuh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah tujuh ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, dan persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan. Ketujuh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.

(1) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-menarikan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, maka pikirannya menyurut dari hubungan seksual, [47] berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan baik keseimbangan ataupun kejijikan menjadi kokoh padanya. Sepertu halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan meyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hubungan seksual ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan.

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, namun pikirannya condong pada hubungan seksual, atau jika ia tidak berbalik dari itu,<1512> maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-menarikan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang;<1513> aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, pikirannya menyurut dari hubungan seksual … dan baik keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-menarikan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-menarikan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

(2) “Dikatakan: ‘Persepsi kematian, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah [48] dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian, maka pikirannya menyurut dari kemelekatan pada kehidupan, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan baik keseimbangan ataupun kejijikan menjadi kokoh padanya. Sepertu halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan meyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan kemelekatan pada kehidupan ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian.

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian, namun pikirannya condong pada kemelekatan pada kehidupan, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi kematian; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, pikirannya menyurut dari kemelekatan pada kehidupan … dan baik keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi kematian; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi kematian, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah [49] dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

(3) “Dikatakan: ‘Persepsi kejijikan pada makanan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, maka pikirannya menyurut dari ketagihan pada rasa kecapan, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan baik keseimbangan ataupun kejijikan menjadi kokoh padanya. Sepertu halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan meyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan ketagihan pada rasa kecapan ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan.

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, namun pikirannya condong pada ketagihan pada rasa kecapan, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, pikirannya menyurut dari ketagihan pada rasa kecapan … dan baik keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. [50]

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi kejijikan pada makanan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

(4) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, maka pikirannya menyurut dari hal-hal indah di dunia, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan baik keseimbangan ataupun kejijikan menjadi kokoh padanya. Sepertu halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan meyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hal-hal indah di dunia ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, namun pikirannya condong pada hal-hal indah di dunia, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika,  [51] ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, pikirannya menyurut dari hal-hal indah di dunia … dan baik keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

(5) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-kekalan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, maka pikirannya menyurut dari perolehan, kehormatan, dan pujian, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan baik keseimbangan ataupun kejijikan menjadi kokoh padanya. Sepertu halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan meyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hal-hal indah di dunia ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan.

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, namun pikirannya condong pada perolehan, kehormatan, dan pujian, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-kekalan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, pikirannya menyurut dari perolehan, kehormatan, dan pujian [52] … dan baik keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-kekalan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

(6) “Dikatakan: ‘Persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, maka suatu persepsi mendalam pada bahaya menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung.

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, namun suatu persepsi mendalam pada bahaya tidak menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, suatu persepsi mendalam pada bahaya menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah [53] dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

(7) ) “Dikatakan: ‘Persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya. Karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, maka pikirannya hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal; pikirannya melampaui pembedaan dan menjadi damai dan terbebaskan dengan baik.<1514>

“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, namun pikiranya tidak hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal, jika pikirannya tidak melampaui pembedaan atau tidak menjadi damai atau tidak terbebaskan dengan baik, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.

“Ketika dikatakan: ‘Persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.

“Ketujuh persepsi ini, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, memiliki keabadian sebagai kesempurnaannya.” [54]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #8 on: 31 July 2013, 09:32:20 PM »
50 (7) Hubungan Seksual

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … dan berkata kepada Beliau:

“Apakah Guru Gotama mengaku sebagai seorang yang menjalani kehidupan selibat?”<1515>

“Jika, Brahmana, seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang orang lain: ‘Ia menjalani kehidupan selibat yang lengkap dan murni – tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak,’ adalah tentang Aku orang itu dapat mengatakan hal ini. Karena Aku menjalani kehidupan selibat yang lengkap dan murni - tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak.”

“Tetapi apakah, Guru Gotama, pelanggaran, cacat, noda, dan bercak dari kehidupan selibat?”

(1) “Di sini, Brahmana, seorang petapa atau brahmana, mengaku selibat dengan sempurna, tidak benar-benar melakukan hubungan seksual dengan para perempuan. Tetapi ia setuju digosok, dipijat, dimandikan, dan diremas oleh mereka. Ia menikmati hal ini, menginginkannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini adalah pelanggaran, cacat, noda, dan bercak dari kehidupan selibat. Ia disebut seorang yang menjalani kehidupan selibat yang tidak murni, seorang yang terbelanggu oleh ikatan seksualitas. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebaskan dari penderitaan, Aku katakan. [55]

(2) “Kemudian, seorang petapa atau brahmana, mengaku selibat dengan sempurna, tidak benar-benar melakukan hubungan seksual dengan para perempuan; juga ia tidak setuju digosok, dipijat, dimandikan, dan diremas oleh mereka. Tetapi ia bersenda-gurau dengan para perempuan, bermain-main dengan mereka, dan menghibur diri dengan mereka …

(3) “… ia tidak bersenda-gurau dengan para perempuan, tidak bermain-main dengan mereka, dan tidak menghibur diri dengan mereka … tetapi ia memandang dan menatap langsung ke mata mereka …

(4) “… ia tidak memandang atau menatap langsung ke mata mereka … tetapi ia mendengarkan suara-suara mereka di balik tembok atau melalui dinding ketika mereka tertawa, berbicara, bernyanyi, atau menangis …

(5) “… ia tidak mendengarkan suara-suara mereka di balik tembok atau melalui dinding ketika mereka tertawa, berbicara, bernyanyi, atau menangis … tetapi ia mengingat ketika tertawa, berbicara, dan bermain dengan mereka di masa lalu.

(6) “ ... ia tidak mengingat ketika tertawa, berbicara, dan bermain dengan mereka di masa lalu … tetapi ia melihat seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga yang memiliki dan menikmati kelima utas kenikmatan indria …

(7) “… ia tidak melihat seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga yang memiliki dan menikmati kelima utas kenikmatan indria, tetapi ia menjalani kehidupan spiritual dengan cita-cita agar [terlahir kembali] dalam sekelompok deva tertentu, [dengan berpikir]: ‘Dengan perilaku bermoral ini, pelaksanaan ini, latihan keras ini, atau kehidupan spiritual ini aku akan menjadi deva atau salah satu [pengikut] para deva.’ Ia menikmati hal ini, menginginkannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga adalah pelanggaran, cacat, noda, dan bercak dari kehidupan selibat. Ia disebut [56] seorang yang menjalani kehidupan selibat yang tidak murni, seorang yang terbelanggu oleh ikatan seksualitas. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebaskan dari penderitaan, Aku katakan.

“Selama, Brahmana, Aku melihat bahwa Aku belum meninggalkan satu atau lainnya dari ketujuh belenggu seksualitas ini, Aku tidak mengaku telah tercerahkan sempurna hingga penerangan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku tidak melihat bahkan satu pun dari ketujuh belenggu seksualitas ini yang belum ketinggalkan, maka Aku mengaku telah tercerahkan sempurna hingga penerangan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.’”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jaṇussoṇī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga seumur hidup.” [57]

51 (8 ) Penyatuan

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah Dhamma tentang penyatuan dan keberpisahan.<1516> Dengarkan …

“Dan apakah khotbah Dhamma tentang penyatuan dan keberpisahan itu?

“Seorang perempuan, para bhikkhu, secara internal memperhatikan kekuatan kefemininannya, sikap kefemininannya, penampilan kefemininannya, aspek kefemininannya, keinginan kefemininannya, suara kefemininannya, riasan kefemininannya.<1517> Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, menyenanginya¸ ia secara eksternal memperhatikan kekuatan kemaskulinan, sikap kemaskulinan, penampilan kemaskulinan, aspek kemaskulinan, keinginan kemaskulinan, suara kemaskulinan, riasan kemaskulinan [dari seorang laki-laki]. Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, menyenanginya¸ ia menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang menyenangi kefemininan mereka memasuki penyatuan dengan para laki-laki. Dengan cara inilah seorang perempuan tidak melampaui keperempuanannya.

“Seorang laki-laki, para bhikkhu, secara internal memperhatikan kekuatan kemaskulinannya, sikap kemaskulinannya, penampilan kemaskulinannya, aspek kemaskulinannya, keinginan kemaskulinannya, suara kemaskulinannya, riasan kemaskulinannya. Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, menyenanginya¸ ia secara eksternal memperhatikan kekuatan kefemininan, sikap kefemininan, penampilan kefemininan, aspek kefemininan, keinginan kefemininan, suara kefemininan, riasan kefemininan [dari seorang perempuan]. Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, menyenanginya¸ ia menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang menyenangi kemaskulinan mereka memasuki penyatuan dengan para perempuan. [58] Dengan cara inilah seorang laki-laki tidak melampaui kelaki-lakiannya.

“Ini adalah bagaimana penyatuan terjadi. Dan bagaimanakah perpisahan terjadi?

“Seorang perempuan, para bhikkhu, tidak secara internal memperhatikan kekuatan keperempuanannya … riasan keperempuanannya. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak  menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, tidak menyenanginya¸ ia tidak secara eksternal memperhatikan kekuatan kelaki-lakian … riasan kelaki-lakian [dari seorang laki-laki]. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, tidak menyenanginya, ia tidak menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga tidak menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang tidak menyenangi keperempuanan mereka menjadi terpisah dari para laki-laki. Dengan cara inilah seorang perempuan melampaui keperempuanannya.

“Seorang laki-laki, para bhikkhu, tidak secara internal memperhatikan kekuatan kelaki-lakiannya … riasan kelaki-lakiannya. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, tidak menyenanginya¸ ia tidak secara eksternal memperhatikan kekuatan keperempuanan … riasan keperempuanan [dari seorang perempuan]. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, tidak menyenanginya¸ ia tidak menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga tidak menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang tidak menyenangi kelaki-lakian mereka menjadi terpisah dari para perempuan. Dengan cara inilah [59] seorang laki-laki melampaui kelaki-lakiannya.

“Ini adalah bagaimana keberpisahan terjadi.

“Ini, para bhikkhu, adalah khotbah Dhamma tentang penyatuan dan keberpisahan itu.”

52 (9) Memberi

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Teratai Gaggārā. Kemudian sejumlah umat awam dari Campā mendatangi Yang Mulia Sāriputta, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Bhante Sāriputta, sudah lama sejak kami mendengar khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā. Baik sekali, Bhante, jika kami dapat mendengar sebuah khotbah Dhamma dari Beliau.”

“Kalau begitu, teman-teman, kalian harus datang pada hari Uposatha. Mungkin kalian dapat mendengar sebuah khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā.”

“Baik, Bhante,” para umat awam itu menjawab. Kemudian, setelah bangkit dari duduknya, mereka bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, mengelilinginya dengan sisi kanan mereka menghadap Yang Mulia Sāriputta, dan pergi.

Kemudian, pada hari uposatha, para umat awam dari Campā itu mendatangi Yang Mulia Sāriputta, bersujud kepadanya, dan berdiri di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta, bersama-sama dengan para umat awam itu, mendatangi Sang Bhagavā. Mereka bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Beliau: [60]

“Mungkinkah, Bhante, bahwa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar? Dan mungkinkah bahwa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini berbuah dan bermanfaat besar?”

“Mungkin saja, Sāriputta, bahwa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar. Dan mungkin saja suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini berbuah dan bermanfaat besar.”

“Bhante, mengapakah satu pemberian tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar sedangkan yang lainnya berbuah dan bermanfaat besar?”

(1) “Di sini, Sāriputta, seseorang memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, dengan pikiran melekat, mengharapkan imbalan; ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’ Setelah memberikan pemberian demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian; ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang diperintah oleh] Empat Raja Dewa. [61] Setelah habisnya kamma, kekuatan batin, keagungan, dan kekuasaan itu, ia kembali pada kondisi makhluk ini.

(2) “Tetapi, Sāriputta, seseorang tidak memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, tidak dengan pikiran melekat, tidak mengharapkan imbalan; ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’ Melainkan, ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi adalah baik.’ …

(3) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi adalah baik,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi dipraktikkan sebelum ayah dan kakekku; aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lampau ini’ …

(4) Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi dipraktikkan sebelum … aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lampau ini,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Aku memasak; orang-orang ini tidak memasak. Tidaklah benar bahwa aku yang memasak tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak’ …

(5) Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Aku memasak … kepada mereka yang tidak memasak,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Aṅgīrasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu – mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan memberikan suatu pemberian.’ …<1518>

(6) ) Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau … mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan [62] memberikan suatu pemberian,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ketika aku sedang memberikan suatu pemberian pikiranku menjadi tenang, dan sukacita dan kegembiraan muncul.’ …

(7) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ketika aku sedang memberikan suatu pemberian pikiranku menjadi tenang, dan sukacita dan kegembiraan muncul,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ini adalah suatu hiasan pikiran, suatu perlengkapan pikiran.’<1519> Ia memberikan pemberian itu kepada seorang petapa atau brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga; wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Bagaimana menurutmu, Sāriputta? Mungkinkah seseorang memberikan pemberian demikian?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Dalam kasus, Sāriputta, ia tidak memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, tidak dengan pikiran melekat, tidak mengharapkan imbalan; ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi adalah baik.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi dipraktikkan sebelum ayah dan kakekku; aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lalu ini.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Aku memasak; orang-orang ini tidak memasak. Tidaklah benar bahwa aku yang memasak tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau … mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan memberikan suatu pemberian.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ketika aku sedang memberikan suatu pemberian pikiranku menjadi tenang, dan sukacita dan kegembiraan muncul.’ Melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ini adalah suatu hiasan pikiran, suatu perlengkapan pikiran.’ Setelah memberikan pemberian demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva kumpulan Brahmā. [63] Setelah habisnya kamma, kekuatan batin, keagungan, dan kekuasaan itu, ia tidak kembali pada kondisi makhluk ini.

“Ini, Sāriputta, adalah alasan mengapa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini tidak berbuah dan bermanfaat besar. Dan ini adalah alasan mengapa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini berbuah dan bermanfaat besar.”

« Last Edit: 31 July 2013, 09:54:21 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #9 on: 31 July 2013, 09:32:33 PM »
53 (10) Nandamātā

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang melakukan perjalanan di Dakkhiṇāgiri bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Pada saat itu umat awam perempuan Veḷukaṇṭakī Nandamātā,<1520> setelah bangun tidur menjelang pagi, melafalkan Pārāyana.

Pada saat itu Raja [Deva] Vessavaṇa sedang melakukan perjalanan dari utara menuju selatan untuk suatu urusan. Ia mendengar umat awam perempuan Veḷukaṇṭakī Nandamātā melafalkan Pārāyana dan berdiri menunggu hingga pelafalan itu selesai. Ketika umat awam perempuan Nandamātā telah selesai, ia berdiam diri. Setelah mengetahui bahwa umat awam perempuan Nandamātā telah menyelesaikan pelafalannya, Raja [Deva] Vessavaṇa bersorak: “Bagus, saudari! Bagus, saudari!”

“Siapakah itu, sahabat?”

“Aku adalah saudaramu, Raja [Deva] Vessavaṇa, saudari.”

“Bagus, sahabat! Maka biarlah pembabaran Dhamma yang baru saja kulafalkan menjadi hadiah untuk tamu bagimu.”<1521>

“Bagus, saudari! Dan biarlah ini juga [64] menjadi hadiah untuk tamu bagiku. Besok, sebelum mereka sarapan pagi, Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna akan tiba di Veḷukaṇṭaka. Engkau harus melayani mereka dan mendedikasikan persembahan itu untukku. Itu akan menjadi hadiah untuk tamu darimu kepadaku.”

Kemudian ketika malam telah berlalu umat awam perempuan Nandamātā mempersiapkan berbagai makanan lezat di rumahnya. Kemudian, sebelum mereka sarapan pagi. Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna tiba di Veḷukaṇṭaka.

Kemudian umat awam perempuan Nandamātā berkata kepada seseorang: “Kemarilah, sahabat. Pergilah ke vihara dan umumkan waktunya kepada Saṅgha para bhikkhu, dengan mengatakan: ‘Sekarang adalah waktunya, Bhante, makanan telah siap di rumah Nyonya Nandamātā.’” Orang itu menjawab: “Baik, Nyonya,” dan ia pergi ke vihara dan menyampaikan pesannya. Kemudian Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah mereka, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Nandamātā, di mana mereka duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan.

Kemudian, dengan tangannya sendiri, umat awam perempuan Nandamātā melayani Saṅgha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna dengan berbagai makanan lezat. Ketika Yang Mulia Sāriputta telah selesai makan dan telah menyimpan mangkuknya, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta bertanya kepadanya:

“Tetapi siapakah, Nandamātā, yang memberitahukan kepadamu bahwa Saṅgha para bhikkhu akan datang?”

(1) “Di sini, Bhante, setelah bangun menjelang pagi, aku melafalkan Parāyana … [65] [Di sini ia menceritakan, dalam posisi orang pertama, keseluruhan peristiwa seperti narasi di atas, diakhiri dengan kata-kata Vessavaṇa: “Dan itu akan menjadi hadiah untuk tamu darimu kepadaku.”] … Bhante, biarlah jasa apa pun yang kuperoleh melalui pemberian ini didedikasikan demi kebahagiaan Raja [Deva] Vessavaṇa.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan,<1522> Nandamātā, bahwa engkau dapat berbincang-bincang<1523> secara langsung dengan deva muda yang begitu berkuasa dan berpengaruh seperti Raja [Deva] Vessavaṇa.”

(2) “Bhante, itu bukan satu-satunya kualitas menakjubkan dan mengagumkan yang ada padaku. Ada yang lainnya lagi. Aku hanya memiliki seorang putra, seorang anak laki-laki yang kusayangi dan kucintai bernama Nanda. Penguasa menangkap dan menculiknya atas suatu alasan dan mengeksekusinya. Bhante, ketika anak itu ditangkap atau sedang ditangkap, ketika ia dimasukkan ke penjara atau sedang di dalam penjara,<1524> ketika ia telah mati atau sedang dihukum mati, aku tidak ingat ada perubahan pada pikiranku.”<1525>

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Nandamātā, bahwa engkau dapat memurnikan bahkan munculnya suatu pikiran.”<1526>

(3) “Bhante, itu bukan [66] satu-satunya kualitas menakjubkan dan mengagumkan yang ada padaku. Ada yang lainnya lagi. Ketika suamiku meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam yakkha.<1527> Ia muncul di hadapanku dalam wujud jasmaninya yang sebelumnya, tetapi aku tidak ingat ada perubahan pada pikiranku.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Nandamātā, bahwa engkau dapat memurnikan bahkan munculnya suatu pikiran.”

(4) “Bhante, itu bukan satu-satunya kualitas menakjubkan dan mengagumkan yang ada padaku. Ada yang lainnya lagi. Aku diserahkan kepada suamiku yang masih muda dalam suatu perkawinan ketika aku masih seorang gadis muda, tetapi aku tidak ingat pernah mengkhianatinya bahkan dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Nandamātā, bahwa engkau dapat memurnikan bahkan munculnya suatu pikiran.”

(5) “Bhante, itu bukan satu-satunya kualitas menakjubkan dan mengagumkan yang ada padaku. Ada yang lainnya lagi. Sejak aku menyatakan diriku sebagai seorang umat awam, aku tidak ingat pernah dengan sengaja melanggar aturan latihan apa pun juga.

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Nandamātā!”

(6) “Bhante, itu bukan satu-satunya kualitas menakjubkan dan mengagumkan yang ada padaku. Ada yang lainnya lagi. Sejauh apa pun yang kuinginkan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, aku berdiam seimbang dan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, aku mengalami kenikmatan [67] pada jasmani; aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Nandamātā!”

(7) “Bhante, itu bukan satu-satunya kualitas menakjubkan dan mengagumkan yang ada padaku. Ada yang lainnya lagi. Dari lima belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, aku tidak melihat satu pun yang belum kutinggalkan.”<1528>

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Nandamātā!”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan Nandamātā dengan sebuah khotbah Dhamma, setelah itu ia bangkit dari duduknya dan pergi.

 

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #10 on: 31 July 2013, 09:33:01 PM »
LIMA PULUH KE DUA


I. TIDAK DINYATAKAN

1 (1) Tidak Dinyatakan

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [68] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, mengapakah keragu-raguan itu tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan?”<1529>

“Dengan lenyapnya pandangan-pandangan, bhikkhu, keragu-raguan tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

(1) “’Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan; “Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan; ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan.

“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, pandangan itu bertambah. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, siswa mulia yang terpelajar memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, pandangan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Mengetahui ini, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak menyatakan:  ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’; atau ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’; atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’ Mengetahui ini, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

Mengetahui ini, bhikkhu, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak gemetar, tidak goyah,<1530> tidak bimbang, dan tidak takut sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

(2) “’Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini melibatkan ketagihan … (3) … ini [69] melibatkan persepsi … (4) … anggapan … (5) … proliferasi … (6) melibatkan kemelekatan … (7) … [landasan bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan;  ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan; atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan

“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu bertambah. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Tetapi, siswa mulia yang terpelajar memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Mengetahui ini, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak menyatakan:  ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’; atau ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’; atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’ Mengetahui ini, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.

Mengetahui ini, bhikkhu, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak takut sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan. [70]

“Bhikkhu, ini adalah mengapa keragu-raguan tidak muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.”

55 (2) Alam Tujuan Kelahiran Orang-Orang

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu?<1531>

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku.<1532> Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’<1533> namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan.<1534> Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.<1535>

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … [71] … ; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.<1536>

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’ namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam persis sebelum mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … [72] … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam ketika mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … [72] … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat.<1537>

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan kecil jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan kecil jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.<1538> [73]

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan besar jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’ namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia sama sekali belum meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.<1539>

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan [74] besar jerami atau kayu itu habis, api itu akan membakar hutan atau belukar hingga mencapai tepian lahan itu, tepi jalan, tepi gunung batu, tapi air, atau sepetak tanah yang indah, dan kemudian, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu.

“Dan apakah, para bhikkhu, pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan? Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’ dan ia telah sepenuhnya merealisasikan keadaan itu. Ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu pada penjelmaan; ia telah sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #11 on: 31 July 2013, 09:33:35 PM »
56 (3) Tissa

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian, ketika malam telah larut, dua dewata dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Puncak [75] Nasar, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. Salah satu dewata berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, para bhikkhunī ini telah terbebaskan.”

Dewata lainnya berkata: “Bhante, para bhikkhunī ini telah terbebaskan dengan baik tanpa sisa.”<1540>

Ini adalah apa yang dikatakan oleh kedua dewata itu. Sang Guru menyetujui. Kemudian, [dengan berpikir]: “Sang Guru menyetujui,” mereka bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanan mereka menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, ketika malam telah larut, dua dewata dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Puncak Nasar, mendatangiKu, bersujud kepadaKu, dan berdiri di satu sisi. Salah satu dewata berkata kepadaKu: “Bhante, para bhikkhunī ini telah terbebaskan.” Dan dewata lainnya berkata: “Bhante, para bhikkhunī ini telah terbebaskan dengan baik tanpa sisa.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh kedua dewata itu. Setelah itu mereka bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanan mereka menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berpikir: “Deva manakah yang mengenali seseorang yang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa’?”

Pada saat itu seorang bhikkhu bernama Tissa baru saja meninggal dunia dan telah terlahir kembali di alam brahmā tertentu. Di sana mereka juga mengenalnya sebagai “Brahmā Tissa, yang kuat dan perkasa.” Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari Gunung Puncak Nasar dan muncul kembali di alam brahmā itu. Setelah melihat kedatangan Yang Mulia Mahāmoggallāna dari jauh, Brahmā Tissa [76] berkata kepadanya:

“Marilah, Moggallāna yang terhormat! Selamat datang, Moggallāna yang terhormat! Sudah lama sejak engkau berkesempatan datang ke sini. Duduklah, Moggallāna yang terhormat. Tempat duduk ini telah dipersiapkan.” Yang Mulia Mahāmoggallāna duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan. Brahmā Tissa bersujud kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Deva manakah, Tissa, yang mengenali seseorang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa’?”

“Para deva kumpulan Brahmā memiliki pengetahuan demikian, Moggallāna yang terhormat.”

“Apakah semua deva kumpulan Brahmā memiliki pengetahuan demikian, Tissa?”

“Tidak semua, Moggallāna yang terhormat. Para deva kumpulan Brahmā yang puas dengan umur kehidupan brahmā, keindahan brahmā, kebahagiaan brahmā, keagungan brahmā, kekuasaan brahmā, dan yang [77] memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri yang lebih tinggi dari ini, mengenali seseorang yang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa.’<1541>

(1) “Di sini, Moggallāna yang terhormat, ketika seorang bhikkhu terbebaskan dalam kedua cara, para deva mengenalinya sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini terbebaskan dalam kedua cara. Selama jasmaninya masih berdiri, para deva dan manusia dapat melihatnya, tetapi dengan hancurnya jasmani, maka para deva dan manusia tidak lagi dapat melihatnya.’ Dengan cara inilah para deva itu mengenali seseorang yang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa.’

(2) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu terbebaskan melalui kebijaksanaan, para deva itu mengenalinya sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini terbebaskan melalui kebijaksanaan. Selama jasmaninya masih berdiri, para deva dan manusia dapat melihatnya, tetapi dengan hancurnya jasmani, maka para deva dan manusia tidak lagi dapat melihatnya.’ Dengan cara ini jugalah para deva itu mengenali seseorang yang masih memiliki sisa …

(3) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu adalah saksi tubuh, para deva itu mengenalinya sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini adalah seorang saksi tubuh. Jika Yang Mulia ini menetap di tempat tinggal yang sesuai, mengandalkan pertemanan yang baik, dan menyeimbangkan indria-indria spiritual, mungkin ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tiada taranya yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Dengan cara ini jugalah para deva itu mengenali seseorang yang masih memiliki sisa …

(4) “Kemudian, ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang mencapai pandangan … (5) seorang yang terbebaskan melalui keyakinan … (6) seorang pengikut Dhamma, para deva itu mengenalinya sebagai berikut: ‘Yang Mulia ini [78] adalah seorang pengikut Dhamma. Jika Yang Mulia ini menetap di tempat tinggal yang sesuai, mengandalkan pertemanan yang baik, dan menyeimbangkan indria-indria spiritual, mungkin ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tiada taranya yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Dengan cara ini jugalah para deva itu mengenali seseorang yang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa.’

Kemudian, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Brahmā Tissa, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari alam brahmā dan muncul kembali di Puncak Nasar. Ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan seluruh percakapannya dengan Brahmā Tissa kepada Sang Bhagavā.

[Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi, Moggallāna, apakah Brahmā Tissa tidak mengajarkan kepadamu tentang orang ke tujuh? Seorang yang berdiam dalam ketiadaan gambaran?”<1542>

“Sekaranglah waktunya untuk hal ini, Bhagavā! Sekarang adalah waktunya untuk hal ini, Yang Berbahagia! Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan tentang orang ke tujuh ini, seorang yang berdiam dalam ketiadaan gambaran. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Moggallāna, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Mahāmoggallāna menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(7) “Di sini, Moggallāna, melalui tanpa perhatian pada segala gambaran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Para deva itu mengenalinya sebagai berikut: ‘Melalui tanpa perhatian pada segala gambaran, Yang Mulia ini masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Jika Yang Mulia ini menetap di tempat tinggal yang sesuai, mengandalkan pertemanan yang baik, dan menyeimbangkan indria-indria spiritual, mungkin ia akan merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tiada bandingnya yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, [79] dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Dengan cara ini jugalah para deva itu mengenali seseorang yang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa.’”

57 (4) Sīha <1543>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di aula beratap lancip. Kemudian Sīha sang jenderal mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Mungkinkah, Bhante, menunjukkan secara langsung buah yang terlihat dari memberi?”

“Baiklah, Sīha, Aku akan bertanya kepadamu sehubungan dengan hal ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai dengan apa yang menurutmu benar.”

(1) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Ada dua orang, satu tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, dan yang lainnya memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma. Bagaimana menurutmu, Sīha? Kepada siapakah para Arahant akan menunjukkan belas kasihan terlebih dulu: kepada seorang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau kepada yang lainnya yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”<1544>

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan menunjukkan belas kasihan kepada orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan terlebih dulu menunjukkan belas kasihan kepada orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Siapakah yang akan didatangi oleh para Arahant terlebih dulu: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau [80] orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan mendatangi orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan mendatangi orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma terlebih dulu.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Dari siapakah para Arahant akan menerima dana terlebih dulu: dari orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau dari orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan mendatangi orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan mendatangi orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma terlebih dulu.”

(4) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Dari siapakah para Arahant akan mengajar Dhamma terlebih dulu: kepada orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau kepada orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”

“Mengapakah, Bhante, para Arahant akan mengajar Dhamma kepada orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar terlebih dulu? Mereka akan mengajar Dhamma kepada orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma terlebih dulu.”

(5) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Yang manakah yang akan memperoleh reputasi baik: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”

“Bagaimana mungkin, Bhante, orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar dapat memperoleh reputasi baik? Adalah orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma yang akan memperoleh reputasi baik.”

(6) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Yang manakah yang akan mendatangi kumpulan apa pun – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – [81] dengan percaya diri dan tenang: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”

“Bagaimana mungkin, Bhante, orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar dapat mendatangi kumpulan apa pun – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – dengan percaya diri dan tenang? Adalah orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma yang akan mendatangi kumpulan apa pun … dengan percaya diri dan tenang.”

(7) “Bagaimana menurutmu, Sīha? Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, yang manakah yang akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga: orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar, atau orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma?”

“Bagaimana mungkin, Bhante, orang yang tanpa keyakinan yang pelit, kikir, dan kasar dapat terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian? Adalah orang yang memiliki keyakinan, seorang pemberi yang dermawan yang senang dalam derma yang akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian.

“Bhante, aku tidak mempercayai Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan enam buah dari memberi yang terlihat secara langsung yang dinyatakan oleh Beliau. Aku mengetahuinya juga. Karena aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant menunjukkan belas kasihan kepadaku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant mendatangiku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant menerima dana dariku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan para Arahant mengajarkan Dhamma kepadaku terlebih dulu. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan aku telah memperoleh reputasi baik: ‘Sīha sang jenderal adalah seorang penyumbang, seorang sponsor, seorang penyokong Saṅgha.’ [82] Aku adalan seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan kumpulan apa pun yang kudatangi - – apakah khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – aku mendatanginya dengan percaya diri dan tenang. Aku tidak mempercayai Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan enam buah dari memberi yang terlihat secara langsung yang dinyatakan oleh Beliau. Aku mengetahuinya juga. Tetapi ketika Sang Bhagavā memberitahuku: ‘Sīha,  dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga,’ aku tidak mengetahui hal ini, dan di sini aku mempercayai Sang Bhagavā karena keyakinan.”

“Demikianlah, Sīha, demikianlah! Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #12 on: 31 July 2013, 09:34:29 PM »
58 (5) Tidak Perlu Disembunyikan

“Para bhikkhu, ada empat hal ini yang tidak perlu disembunyikan oleh Sang Tathāgta dan tiga hal yang karenanya Beliau tidak dapat dicela.<1545>

“Apakah keempat hal yang tidak perlu disembunyikan oleh Sang Tathāgata?

(1) “Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang perilaku jasmaniNya murni, tidak ada perbuatan buruk melalui jasmani pada Sang Tathāgata yang perlu Beliau sembunyikan, [dengan berpikir]: ‘Agar tidak ada orang yang mengetahui hal ini sehubungan denganKu.’

(2) “Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang perilaku ucapanNya murni, tidak ada perbuatan buruk melalui ucapan pada Sang Tathāgata yang perlu Beliau sembunyikan, [dengan berpikir]: ‘Agar tidak ada orang yang mengetahui hal ini sehubungan denganKu.’

(3) “Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang perilaku pikiranNya murni, tidak ada perbuatan buruk melalui pikiran pada Sang Tathāgata yang perlu Beliau sembunyikan, [dengan berpikir]: ‘Agar tidak ada orang yang mengetahui hal ini sehubungan denganKu.’

(4) “Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang penghidupanNya murni, tidak ada penghidupan salah pada Sang Tathāgata yang perlu Beliau sembunyikan, [dengan berpikir]: ‘Agar tidak ada orang yang mengetahui hal ini sehubungan denganKu.’

“Ini adalah keempat hal itu yang tidak perlu disembunyikan oleh Sang Tathāgata. Dan apakah tiga hal yang karenanya Beliau tidak dapat dicela? [83]

(5) “Sang Tathāgata, para bhikkhu, adalah seorang yang Dhammanya dibabarkan dengan baik. Sehubungan dengan hal ini, Aku tidak melihat ada dasar yang karenanya seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu: ‘Karena alasan ini dan itu, DhammaMu tidak dibabarkan dengan baik.’ Karena Aku tidak melihat dasar demikian, maka Aku berdiam dengan aman, tanpa takut, dan percaya-diri.

(6) “Aku telah dengan baik menyatakan kepada para siswaKu praktik yang mengarah menuju nibbāna sedemikian sehingga, dengan mempraktikkan sesuai dengan ajaran itu [dan mencapai] hancurnya noda-noda, mereka merealisasikan untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, mereka berdiam di dalamnya. Sehubungan dengan hal ini, Aku tidak melihat ada dasar yang karenanya seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu: ‘Karena alasan ini dan itu, Engkau tidak menyatakan dengan baik kepada para siswaMu<1546> praktik yang mengarah menuju nibbāna sedemikian sehingga, dengan mempraktikkan sesuai dengan ajaran itu [dan mencapai] hancurnya noda-noda, mereka merealisasikan untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, mereka berdiam di dalamnya.’ Karena Aku tidak melihat dasar demikian, maka Aku berdiam dengan aman, tanpa takut, dan percaya-diri.

(7) “KumpulanKu, para bhikkhu, terdiri dari ratusan siswa yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, mereka berdiam di dalamnya. Sehubungan dengan hal ini, Aku tidak melihat ada dasar yang karenanya seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia dapat dengan logis mencelaKu: ‘Karena alasan ini dan itu, kumpulanMu tidak terdiri dari dari ratusan siswa yang, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, mereka berdiam di dalamnya.’ Karena Aku [84] tidak melihat dasar demikian, maka Aku berdiam dengan aman, tanpa takut, dan percaya-diri.

“Ini adalah ketiga hal itu yang karenanya Sang Tathāgata tidak dapat dicela.

“Ini, para bhikkhu, keempat hal itu yang tidak perlu disembunyikan oleh Sang Tathāgata dan ketiga hal itu yang karenanya Sang Tathāgata tidak dapat dicela.”

59 (6) Kimbila <1547>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kimbilā di hutan nicula. Kemudian Yang Mulia Kimbilā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“Di sini, Kimbilā, setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, (1) Para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap konsentrasi. (6) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap ketekunan. (7) Mereka berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap keramahan. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati tidak bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.”

“Apakah sebab dan alasan mengapa, Bhante, Dhamma sejati bertahan lama setelah Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir?”

“Di sini, Kimbilā, setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir, (1) Para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Sang Guru. (2) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Dhamma. (3) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap Saṅgha. (4) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap latihan. (5) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap konsentrasi. (6) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap ketekunan. (7) Mereka berdiam dengan penghormatan dan penghargaan terhadap keramahan. Ini adalah sebab dan alasan mengapa Dhamma sejati bertahan lama setelah seorang Tathāgata mencapai nibbāna akhir.” [85]

60 (7) Tujuh Kualitas

“Para bhikkhu, dengan memiliki tujuh kualitas, seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama, dengan hancurnya noda-noda, dapat merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Apakah tujuh ini?

“Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, moralitas, terpelajar, terasing, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Dengan memiliki ketujuh kualitas ini, seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama, dengan hancurnya noda-noda, dapat merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.”

61 (8 ) Mengantuk

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap diantara penduduk Bhagga di Suṃsumāragira, di taman rusa di Hutan Bhesakalā. Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang duduk dan mengantuk<1548> di Kallavāmuttagāma di antara penduduk Magadha. Dengan mata dewaNya, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang duduk dan mengantuk. Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari taman rusa di Hutan Bhesakalā, dan muncul kembali di hadapan Yang Mulia Mahāmoggallāna. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya dan berkata:

“Apakah engkau mengantuk, Moggallāna? Apakah engkau mengantuk, Moggallāna?”

“Benar, Bhante.”

(1) “Oleh karena itu, Moggallāna, engkau tidak boleh memperhatikan atau melatih objek yang sedang engkau perhatikan ketika engkau mengantuk. [86] Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.

(2) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki dengan pikiran pada Dhamma yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.

(3) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.

(4) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus menarik kedua telingamu dan menggosok bagian-bagian tubuhmu dengan tanganmu. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.

(5) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus bangkit dari dudukmu, menggosok matamu dengan air, menatap segala penjuru, dan menatap konstelasi dan bintang-bintang. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.

(6) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus memperhatikan persepsi cahaya; engkau harus mempersepsikan siang hari sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang hari, demikian pula malam hari; seperti halnya malam hari, demikian pula siang hari.’ Demikianlah, dengan pikiran terbuka dan tidak tertutup, engkau harus mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan kecemerlangan. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan. [87]

(7) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus melakukan [olah raga] berjalan mondar-mandir, mengawasi apa yang ada di belakangmu dan apa yang ada di depanmu. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.

“Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus berbaring pada sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah mencatat dalam pikiranmu gagasan untuk terjaga. Ketika engkau terjaga, engkau harus bangkit dengan segera, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak akan terlena pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan bermalas-malasan, kenikmatan tidur.’ Adalah dengan cara ini, Moggallāna, engkau harus berlatih.

“Oleh karena itu, Moggallāna, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan mendatangi keluarga-keluarga [untuk menerima dana makanan] dengan kepala menggembung oleh kesombongan.’ Dengan cara inilah, Moggallāna, engkau harus berlatih. Mungkin, Moggallāna, bahwa seorang bhikkhu mendatangi keluarga-keluarga dengan kepala menggembung oleh kesombongan. Sekarang ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam keluarga-keluarga itu, dan karena alasan ini, ketika seorang bhikkhu datang, orang-orang tidak memperhatikannya. Dalam situasi demikian bhikkhu itu mungkin berpikir: ‘Siapakah yang  telah menghasut keluarga ini memusuhiku? Dengan cara ini, karena tidak mendapatkan perolehan ia merasa terhina; ketika merasa terhina, ia menjadi gelisah; ketika ia gelisah, maka ia kehilangan pengendaliannya. Pikiran seseorang yang tanpa pengendalian adalah jauh dari konsentrasi.

“Oleh karena itu, Moggallāna, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan terlibat dalam perdebatan.’ Dengan cara inilah engkau harus berlatih. Ketika terjadi perdebatan, maka akan ada kata-kata yang berlebihan. Ketika ada kata-kata yang berlebihan, maka seseorang menjadi gelisah; ketika ia gelisah, maka ia kehilangan pengendaliannya. Pikiran seseorang yang tanpa pengendalian adalah jauh dari konsentrasi.

“Moggallāna, Aku tidak memuji keterikatan dengan siapa pun, juga Aku tidak [88] memuji ketidak-terikatan sama sekali. Aku tidak memuji keterikatan dengan para perumah tangga dan kaum monastik, tetapi Aku memuji keterikatan dengan tempat-tempat tinggal yang sepi dan tidak berisik yang jauh dari kesibukan orang-orang, jauh dari pemukiman manusia, dan sesuai untuk keterasingan.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Moggallāna berkata kepada Sang Bhagavā:<1549>  “Secara singkat, Bhante, bagaimanakah seorang bhikkhu terbebaskan dalam padamnya ketagihan, menjadi yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalankan kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi?”

“Di sini, Moggallāna, seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Tidak ada yang layak digenggam.’ Ketika seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Tidak ada yang layak digenggam,’ ia secara langsung mengetahui segala sesuatu. Setelah mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu. Setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, perasaan apa pun yang ia rasakan – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan – ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam hal-hal itu, merenungkan peluruhan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan pelenyapan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan pelepasan dalam perasaan-perasaan itu. Ketika ia berdiam merenungkan ketidak-kekalan … peluruhan … pelenyapan … pelepasan dalam perasaan-perasaan itu, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Karena tidak melekat, ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Secara singkat, Moggallāna, dengan cara inilah seorang bhikkhu menjadi yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalankan kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #13 on: 31 July 2013, 09:35:25 PM »
62 (9) Jangan Takut pada Jasa <1550>

“Para bhikkhu, jangan takut pada jasa. Ini adalah sebuah sebutan bagi kebahagiaan, [89] yaitu, jasa.

“Aku ingat bahwa selama waktu yang lama Aku mengalami akibat jasa yang menyenangkan, indah, disukai yang telah dilakukan selama waktu yang lama. Selama tujuh tahun Aku mengembangkan pikiran cinta-kasih. Sebagai akibatnya, selama tujuh kappa penghancuran dan pengembangan Aku tidak kembali ke dunia ini. Ketika dunia sedang hancur Aku mengembara di [alam] cahaya gemerlap. Ketika dunia sedang mengembang, Aku terlahir kembali di dalam sebuah istana Brahmā yang kosong.<1551> Di sana Aku adalah Brahmā,<1552> Brahmā yang Agung, penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, maha kuasa. Aku menjadi Sakka, penguasa para deva, sebanyak tiga puluh enam kali. Ratusan kali Aku menjadi raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, seorang penakluk yang kekuasaannya merentang hingga empat penjuru, seorang yang telah mencapai stabilitas dalam negerinya, yang memiliki tujuh pusaka. Aku memiliki ketujuh pusaka ini: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-bendahara, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh. Aku memiliki lebih dari tujuh ribu putra yang merupakan pahlawan-pahlawan, perkasa, mampu meggilas bala tentara musuh-musuh mereka. Aku menguasai setelah menaklukkan bumi ini hingga sejauh batas samudra, bukan dengan kekuatan dan senjata melainkan dengan Dhamma.<1553>

   “Jika seseorang mencari kebahagiaan, mengharapkan akibat
   Jasa, [akibat dari] perbuatan-perbuatan bermanfaat.
   Selama tujuh tahun, Aku mengembangkan pikiran cinta-kasih, [90]
   O bhikkhu, dan selama tujuh kappa
   Penghancuran dan pengembangan,
   Aku tidak kembali lagi ke dunia ini.

   “Ketika dunia sedang hancur,
   Aku mengembara di [alam] cahaya gemerlap.
   Ketika dunia sedang mengembang,
   Aku mengembara di sebuah [istana] Brhmā yang kosong.

   “Tujuh kali Aku menjadi Brahmā yang Agung,
   Sang Maha Kuasa;
   Tiga puluh enam kali Aku menjadi penguasa para deva,
   Berkuasa atas para deva.

   “Aku adalah raja pemutar-roda,
   Raja Jambudīpa,<1554>
   Khattiya yang sah,
   Penguasa di antara manusia.

   “Tanpa kekuatan, tanpa senjata,
   Aku menaklukkan bumi ini.
   Aku memerintahnya dengan kebaikan,
   Tanpa kekerasan, dengan Dhamma,<1555>
   Menjalankan pemerintahan dengan Dhamma
   Atas bidang bumi ini.

   “Aku terlahir dalam keluarga kaya,
   Dengan harta dan kekayaan berlimpah,
   [keluarga] yang memiliki semua kenikmatan indria,
   Dan memiliki tujuh pusaka.
   Ini telah diajarkan dengan baik oleh para Buddha,
   Penyelamat dunia:
   Ini adalah penyebab kemuliaan yang karenanya
   Seseorang disebut seorang raja di bumi.<1556>

   “Aku adalah<1557> seorang raja yang cemerlang dengan kemegahan,
   Seorang dengan kekayaan dan komoditi berlimpah.
   Aku adalah seorang raja di Jambudīpa,
   Berkuasa dan agung.
   Siapakah, yang walaupun berkelahiran rendah,
   Tidak percaya setelah mendengar ini? [91]

   “Oleh karena itu seseorang yang menginginkan kebaikan,
   Bercita-cita untuk mencapai kemuliaan,
   Harus bersungguh-sungguh menghormati Dhamma sejati,
   Mengingat ajaran para Buddha.”<1558>

63 (10) Istri-Istri

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, di pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman perumah tangga Anāthapiṇḍika, di mana Beliau duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untuk Beliau.

Pada saat itu, orang-orang di rumah Anāthapiṇḍika sedang ribut dan gaduh. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika menghampiri Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, mengapakan orang-orang di rumahmu begitu ribut dan gaduh? Seseorang akan berpikir bahwa itu adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Ini, Bhante, adalah menantuku Sujātā, yang kaya dan telah dibawa ke sini dari sebuah keluarga kaya. Ia tidak mematuhi ayah mertuanya, ibu mertuanya, atau suaminya. Ia bahkan tidak menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan Sang Bhagavā.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Sujātā: “Kemarilah, Sujātā.”

“Baik, Bhante,” ia menjawab. Is mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: [92]

“Sujātā, seorang laki-laki mungkin memiliki tujuh jenis istri. Apakah tujuh ini? Seorang yang seperti pembunuh, seorang yang seperti pencuri, seorang yang seperti raja lalim, seorang yang seperti ibu, seorang yang seperti adik perempuan, seorang yang seperti teman, dan seorang yang seperti budak. Seorang laki-laki mungkin memiliki tujuh jenis istri. Yang manakah engkau?”

“Bhante, Aku tidak mengerti secara terperinci makna dari pernyataan ini yang Sang Bhagavā katakan secara ringkas. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang dikatakan secara ringkas ini.”

“Maka dengarkan dan perhatikanlah, Sujātā. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

   “Dengan pikiran penuh kebencian, hampa dari simpati,
   Bernafsu pada orang lain, merendahkan suaminya,
   Ia berusaha membunuh orang yang membelinya dengan harta:
   Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang pembunuh.

   “Ketika suami perempuan itu memperoleh kekayaan
   Dengan bekerja keras melalui keterampilan, berdagang, atau bertani,
   Ia berusaha mencurinya, bahkan jika [sang suami memperoleh] hanya sedikit:
   Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang pencuri.

   “Seorang yang rakus, malas bekerja,
   kasar, kejam, tajam dalam ucapan,
   seorang perempuan yang mendominasi penyokongnya sendiri:
   Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang raja lalim. [93]
   
   “Seorang senantiasa berbelas kasih dan simpatik,
   Yang menjaga suaminya bagaikan seorang ibu kepada anaknya,
   Yang melindungi harta yang diperoleh suaminya:
   Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang ibu.

   “Ia yang selalu menjunjung tinggi suaminya
   Bagaikan seorang adik perempuan kepada kakak laki-lakinya,
   Teliti, menuruti kehendak suaminya:
   Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang adik perempuan.

   “Seorang yang bergembira ketika ia melihat suaminya
   Seolah-olah melihat seorang teman yang telah lama tidak bertemu;
   Dibesarkan dengan baik, bermoral, mengabdi pada suaminya:
Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang teman.

“Seorang yang tetap sabar dan tenang,
Ketika diancam dengan kekerasan melalui tongkat pemukul,<1559>
   Yang menerima suaminya dengan pikiran yang bebas dari kebencian,
   Sabar, patuh pada kehendak suaminya:
Seorang istri seperti ini disebut seorang istri dan seorang budak.

“Jenis-jenis istri di sini yang disebut
Pembunuh, pencuri, dan raja lalim,
Tidak bermoral, kasar, tidak hormat,
Dengan hancurnya jasmani akan pergi ke neraka.

“Tetapi jenis-jenis istri di sini yang disebut
Ibu, adik perempuan, teman, dan budak,
Kokoh dalam moralitas, terkendali,
Dengan hancurnya jasmani akan pergi ke alam surga.

Seorang laki-laki mungkin memiliki tujuh jenis istri. Sekarang, yang manakah engkau?” [94]

“Mulai hari ini, Bhante, biarlah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang istri yang seperti seorang budak.”

64 (11) Kemarahan <1560>

“Para bhikkhu, ada tujuh hal ini yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah. Apakah tujuh ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia menjadi buruk rupa!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kecantikan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin mandi dengan baik, diminyaki dengan baik, dengan rambut dan janggutnya dicukur rapi, berpakaian putih, tetap saja ia buruk rupa. Ini adalah hal pertama yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(2) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak tidur lelap!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang ketika musuhnya tidur lelap. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, walaupun ia mungkin tidur di atas dipan beralaskan permadani, selimut, dan alas, dengan penutup dari kulit rusa, dengan kanopi dan guling di kedua sisinya, tetap saja ia tidak tidur lelap. Ini adalah hal ke dua yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(3) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak berhasil!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada keberhasilan musuhnya. [95] Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, jika ia memperoleh apa yang berbahaya, ia berpikir: ‘Aku telah memperoleh apa yang bermanfaat,’ dan jika ia memperoleh apa yang bermanfaat, ia berpikir: ‘Aku telah memperoleh apa yang berbahaya.’ Ketika, dengan dikuasai kemarahan, ia meperoleh hal-hal yang bertentangan ini, hal-hal itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Ini adalah hal ke tiga yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(4) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak menjadi kaya!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kekayaan musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, raja-raja akan menyerahkan kepada bendahara kerajaan segala kekayaan yang telah ia peroleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan dengan kekuatan tangannya, yang didapatkan dengan keringat di keningnya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik. Ini adalah hal ke empat yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(5) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak menjadi termasyhur!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang pada kemasyhuran musuhnya. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia kehilangan segala kemasyhuran yang telah ia peroleh melalui ketekunan. Ini adalah hal ke lima yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

(6) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Semoga ia tidak memiliki teman!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya memiliki teman. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, maka  teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan anggota keluarganya, menghindarinya dari jauh. Ini adalah hal ke enam yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah. [96]

(7) “Kemudian, seorang musuh menghendaki musuhnya: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka!’ Karena alasan apakah? Seorang musuh tidak senang jika musuhnya pergi ke alam tujuan yang baik. Ketika seorang yang marah dikuasai dan ditindas oleh kemarahan, ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan masih dikuasai oleh kemarahan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ini adalah hal ke tujuh yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.

“Ini adalah ketujuh hal itu yang memuaskan dan menguntungkan seorang musuh yang menghadapi seorang laki-laki atau perempuan yang marah.”

   Orang yang marah buruk rupa;
   Ia juga tidak tidur lelap;
   Setelah memperolah sesuatu yang bermanfaat,
   Ia menganggapnya berbahaya.<1561>

   Orang yang marah
   Dikuasai oleh kemarahan,
   Setelah membunuh melalui jasmani dan ucapan,<1562>
   menimbulkan kehilangan kekayaan.

   Menjadi gila karena kemarahan
   Ia memperoleh reputasi buruk.
   Sanak saudaranya, teman-temannya, dan mereka yang ia sayangi
   Menghindari orang yang marah.

   Kemarahan adalah penyebab bahaya;
   Kemarahan memicu kerusuhan.
   Orang-orang tidak mengenali bahaya
   Yang telah muncul dari dalam.

   Orang yang marah tidak mengetahui apa yang baik;
   Orang yang marah tidak melihat Dhamma.
   Hanya ada kebutaan dan kegelapan pekat,
   Ketika kemarahan menguasa seseorang. [97]

   Ketika seorang yang marah menimbulkan kerusakan,
   Apakah dengan mudah atau dengan susah-payah,
   Kelak, ketika kemarahannya sirna,
   Ia menjadi tersiksa seolah-olah terbakar api.

   Ia menunjukkan sikap melawan
   Seperti api di puncak yang berasap.
   Ketika kemarahannya menyebar ke luar,
   Orang-orang menjadi marah karenanya.<1563>

   Ia tidak memiliki rasa malu terhadap kesalahan,
   Ucapannya tidak penuh hormat;
   Seorang yang dikuasai kemarahan
   Tidak memiliki pulau [keselamatan] sama sekali.

   Aku akan memberitahukan kepada kalian tentang perbuatan-perbuatan
   Yang menghasilkan siksaan.
   Dengarkanlah sebagaimana adanya,<1564>
   Jauh dari mereka yang baik:

   Seorang yang marah membunuh ayahnya;
   Seorang yang marah membunuh ibunya sendiri;
   Seorang yang marah membunuh seorang brahmana;<1565>
   Seorang yang marah membunuh seorang duniawi.

   Seorang duniawi yang marah membunuh ibunya,
   Perempuan baik yang memberikannya kehidupan,
   Seorang yang darinya ia diberi makan
   Dan yang menunjukkan dunia ini kepadanya.

   Orang-orang itu, seperti diri sendiri,
   Masing-masing paling menyayangi diri mereka sendiri;
Namun mereka yang marah membunuh diri mereka sendiri dalam berbagai cara<1566>
Ketika mereka kebingungan akan berbagai persoalan.

Beberapa orang membunuh diri mereka sendiri dengan pedang;
Beberapa orang yang kebingungan menelan racun;
Beberapa orang menggantung diri mereka dengan tali;
Beberapa orang [terjun] ke dalam jurang di gunung. [98]

Perbuatan-perbuatan yang melibatkan penghancuran kemajuan<1567>   
Dan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kematian mereka sendiri:
Ketika melakukan perbuatan-perbuatan demikian mereka tidak tahu
Bahwa kekalahan muncul dari kemarahan.

Demikianlah jerat kematian yang tersembunyi dalam pikiran
Telah mengambil wujud kemarahan.
Seseorang harus memotongnya melalui pengendalian-diri,
Kebijaksanaan, kegigihan, dan pandangan [benar].

Orang yang bijaksana harus melenyapkan
[Kualitas] tidak bermanfaat ini.<1568>
Dengan cara demikianlah seseorang harus berlatih dalam Dhamma:
Tidak memberi jalan pada sikap melawan.

Bebas dari kemarahan, kesengsaraan mereka sirna,
Bebas dari delusi,<1569> tidak lagi ketagihan,
Jinak, setelah meninggalkan kemarahan,
Mereka yang tanpa noda mencapai nibbāna.<1570> [99]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TUJUH
« Reply #14 on: 31 July 2013, 09:36:06 PM »
II. BAB BESAR

65 (1) Rasa Malu Bermoral<1571>

“Para bhikkhu, (1) ketika tidak ada rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, pada seorang yang tidak memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, maka (2) pengendalian organ-organ indria tidak memiliki penyebab terdekat. Ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang tidak memiliki pengendalian atas organ-organ indria, maka (3) perilaku bermoral tidak memiliki penyebab terdekat. Ketika tidak ada perilaku bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka (4) konsentrasi benar tidak memiliki penyebab terdekat. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, maka (5) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekat. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (6) kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekat. Ketika tidak ada kekcewaan dan kebosanan, pada seorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (7) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekat.

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika tidak ada pengendalian rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, pada seorang yang tidak memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, maka pengendalian atas organ-organ indria tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengendalian atas organ-organ indria … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) ketika ada rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, pada seorang yang memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, maka (2) pengendalian atas organ-organ indria memiliki penyebab terdekat. Ketika ada pengendalian atas organ-organ indria, pada seorang yang memiliki pengendalian atas organ-organ indria, maka (3) perilaku bermoral memiliki penyebab terdekat. Ketika ada perilaku bermoral, pada seorang yang memiliki perilaku bermoral, maka (4) konsentrasi benar memiliki penyebab terdekat. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, maka (5) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekat. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, maka (6) kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekat. Ketika ada kekcewaan dan kebosanan, pada seorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (7) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekat.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika ada pengendalian rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, pada seorang yang memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral, maka pengendalian atas organ-organ indria memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengendalian atas organ-organ indria … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya. [100]

66 (2) Tujuh Matahari

Pada suatu ketika<1572> Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Ambapāli. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak kekal; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak stabil; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak dapat diandalkan. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, Sineru, raja pegunungan, adalah 84.000 yojana panjangnya dan 84,000 yojana lebarnya; terbenam 84.000 yojana di dalam samudra raya dan menjulang 84.000 yojana di atas samudra raya.<1573>

(1) “Akan tiba waktunya, para bhikkhu, ketika hujan tidak turun selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun. Ketika hujan tidak turun, maka benih-benih kehidupan dan tumbuh-tumbuhan, tanaman obat-obatan, rerumputan, dan pepohonan besar di dalam hutan menjadi layu dan mengering dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(2) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke dua muncul. Dengan munculnya matahari ke dua, maka sungai-sungai kecil dan danau-danau mengering dan menguap dan menjadi tidak ada [101] lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(3) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tiga muncul. Dengan munculnya matahari ke tiga, maka sungai-sungai besar – Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(4) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke empat muncul. Dengan munculnya matahari ke empat, maka danau-danau besar dari mana sungai-sungai besar itu berasal – Anotatta, Sīhapapāta, Rathakāra, Kaṇṇamuṇda, Kunāla, Chaddanta, dan Mandākinī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(5) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke lima muncul. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga seratus yojana, dua ratus yojana … tiga ratus yojana … tujuh ratus yojana. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tinggi tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … lima pohon palem … empat pohon palem … tiga pohon palem … dua pohon palem [102] … hanya satu pohon palem. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tujuh depa … enam depa … lima depa … empat depa … tiga depa … dua depa … satu depa … setengah depa … setinggi pinggang … setinggi lutut … semata kaki. Bagaikan di musim gugur, ketika hujan turun dengan butiran-butiran besar, maka air menggenang di jejak kaki sapi di sana-sini, demikian pula air yang tersisa di samudra raya akan menggenang di sana sini [dalam kolam-kolam] yang berukuran sebesar jejak kaki sapi. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga sendi-sendi jari tangan. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(6) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke enam muncul. Dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan,  berasap, berpijar, dan menyala. Bagaikan api pengrajin tembikar, ketika dinyalakan, pertama-tama berasap, berpijar, dan menyala, demikian pula dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan,  berasap, berpijar, dan menyala. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(7) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tujuh muncul. [103] Dengan munculnya matahari ke tujuh, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, meledak terbakar, menyala dengan terang, dan menjadi sebuah kumpulan api yang besar. Ketika bumi ini dan Sineru menyala dan terbakar, apinya tertiup angin, menjulang hingga ke alam brahmā. Ketika kehancuran sedang berlangsung dan dikuasai oleh kumpulan besar panas, maka gunung yang puncaknya setinggi seratus yojana menjadi hancur; gunung yang puncaknya dua ratus yojana … tiga ratus yojana … empat ratus yojana … lima ratus yojana … enam ratus yojana menjadi hancur.

“Ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Seperti halnya, ketika ghee atau minyak terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Demikian pula ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, siapakah kecuali mereka yang telah melihat kebenaran<1574> akan berpikir atau percaya:<1575> ‘bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, akan terbakar, hancur, dan menjadi tidak ada lagi’?

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria.<1576> Guru Sunetta [104] memiliki ratusan murid yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia sedang mengajar, mereka yang sepenuhnya memahami ajarannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam brahmā. Tetapi mereka yang tidak sepenuhnya memahami ajarannya, beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang mengendalikan ciptaan para deva lain;<1577> beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tusita; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Yāma; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tāvatiṃsa; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang dipimpin] oleh Empat Raja dewa. Beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para khattiya makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para brahmana makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para perumah tangga makmur.

“Kemudian, para bhikkhu, Guru Sinetta berpikir: ‘Tidaklah selayaknya jika aku mencapai alam tujuan masa depan yang persis sama dengan para muridku. Biarlah aku mengembangkan cinta kasih lebih jauh lagi. Kemudian selama tujuh tahun Guru Sunetta mengembangkan pikiran cinta kasih. Sebagai konsekuensinya, selama tujuh kappa penghancuran dan pengembangan dunia ia tidak kembali ke alam ini. Ketika dunia sedang hancur, [105] ia mengembara di [alam] cahaya gemerlap. Ketika dunia sedang mengembang, ia terlahir kembali di dalam sebuah istana Brahmā yang kosong.<1578>

“Di sana ia adalah Brahmā, Brahmā yang Agung, penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, maha kuasa. Ia menjadi Sakka, penguasa para deva, sebanyak tiga puluh enam kali. Ratusan kali ia menjadi raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, seorang penakluk yang kekuasaannya merentang hingga empat penjuru, seorang yang telah mencapai stabilitas dalam negerinya, yang memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki lebih dari tujuh ribu putra yang merupakan pahlawan-pahlawan, perkasa, mampu meggilas bala tentara musuh-musuh mereka. Ia menguasai setelah menaklukkan bumi ini hingga sejauh batas samudra, bukan dengan kekuatan dan senjata melainkan dengan Dhamma.

“Para bhikkhu, walaupun ia memiliki umur yang sedemikian panjang dan berlanjut selama waktu yang lama, Guru Sunetta masih belum terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakita, kesedihan, dan siksaan. Ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memahami empat hal. Apakah empat ini? Perilaku bermoral yang mulia, konsentrasi yang mulia, kebijaksanaan yang mulia, dan kebebasan yang mulia.

“Perilaku bermoral yang mulia, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Konsentrasi yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebijaksanaan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebebasan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran penjelmaan telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”<1579> [106]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut:

   “Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan,
   Dan kebebasan yang tidak terlampaui:
   Hal-hal ini Sang Gotama yang termasyhur
   Telah dipahami oleh diriNya sendiri.

   “Setelah secara langsung mengetahui hal-hal ini,
   Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu.
   Sang Guru, pembuat-akhir penderitaan,
   Seorang dengan penglihatan, telah mencapai nibbāna.”