//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dhammapada Atthakatha  (Read 143714 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #60 on: 17 November 2008, 08:18:45 PM »
Bab VI-PANDITA VAGGA (Orang Bijaksana)

Syair 77 (VI:1. Kisah Bhikkhu Radha)

Radha adalah seorang brahmana miskin yang tinggal di vihara. Ia hanya melakukan sedikit pelayanan untuk para bhikkhu. Atas pelayanannya ia memperoleh makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya. Tidak ada seorang pun yang mendorongnya menjadi seorang bhikkhu, meskipun ia mempunyai keinginan yang besar untuk menjadi bhikkhu.

Suatu hari, ketika hari menjelang pagi. Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Dilihat-Nya brahmana tua itu mempunyai kesempatan untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Paginya, Sang Buddha pergi menemui brahmin tua itu dan mengetahui bahwa para bhikkhu di vihara tersebut tidak menginginkan brahmin tua itu bergabung dalam pasamuan bhikkhu.

Sang Buddha mengundang para bhikkhu dan bertanya,"Apakah ada di antara para bhikkhu di sini yang mengingat hal baik yang pernah dilakukan oleh orang tua ini ?"

Atas pertanyaan ini Yang Ariya Sariputta menjawab "Bhante, saya mengingat satu peristiwa ketika orang tua itu memberikan sesendok nasi kepada saya."

"Jika demikian," Sang Buddha berkata, "Tidakkah seharusnya kamu menolong dermawan itu untuk membebaskannya dari penderitaan hidup?"

Yang Ariya Sariputta setuju untuk menjadikan orang tua itu sebagai seorang bhikkhu dan kemudian menerima sebagaimana mestinya. Yang Ariya Sariputta membimbing bhikkhu tua itu dan bhikkhu tua itu mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Dalam waktu beberapa hari, bhikkhu tua itu telah mencapai tingkat kesucian Arahat.

Ketika Sang Buddha datang untuk menemui para bhikkhu, mereka melaporkan bagaimana tekunnya bhikkhu tua itu mengikuti bimbingan Yang Ariya Sariputta. Kepada mereka, Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu seharusnya mudah dibimbing seperti Radha dan tidak marah ketika mendapat celaan atas kesalahan atau kegagalannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 76 berikut ini :

Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya seperti orang yang menunjukkan harta karun, hendaknya ia bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tidak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #61 on: 23 November 2008, 05:08:10 AM »
Syair 77 (VI:2. Kisah Bhikkhu Asaji Dan Punabbasuka)

Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka bersama dengan lima ratus orang muridnya tinggal di desa Kitagiri. Ketika bertempat tinggal di desa itu, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan mereka. Jadi mereka melanggar peraturan dasar bagi kehidupan para bhikkhu.

Setelah Sang Buddha mendengar hal itu, Beliau mengirimkan dua orang siswa utama-Nya, Sariputta dan Maha Moggallana, untuk menghentikan perbuatan mereka yang tidak patut. Kepada kedua siswa utama-Nya Sang Buddha berkata,"Katakan kepada para bhikkhu itu, jangan merusak keyakinan dan kemurahan hati umat awam dengan perbuatan yang tidak patut. Jika mereka tidak patuh, paksalah mereka untuk keluar dari vihara, jangan ragu-ragu untuk melakukan seperti apa yang telah saya katakan kepadamu. Hanya orang bodoh tidak menyukai orang yang memberikan nasehat baik dan melarang berbuat jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 77 berikut :

Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk, dan melarang apa yang tidak baik, orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang baik dan dijauhi oleh orang yang jahat.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #62 on: 23 November 2008, 05:14:36 AM »
Syair 78 (VI:3. Kisah Channa Thera)

Channa adalah pelayan yang menyertai Pangeran Siddhattha ketika beliau pergi meninggalkan istana dengan menunggang seekor kuda, dan ingin meninggalkan keduniawian. Ketika Sang Pangeran telah mencapai tingkat Ke-Buddha-an, Channa tetap mengikutinya dengan menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, ia sangat sombong dan suka bersikap main kuasa, hal itu disebabkan hubungannya yang dekat dengan Sang Buddha.

Channa kerap berkata, "Saya yang menemani Tuanku ketika Beliau meninggalkan istana dan menuju ke hutan. Pada waktu itu, saya satu-satunya teman Beliau, dan tiada yang lainnya. Tetapi sekarang, Sariputta dan Moggallana mengatakan bahwa mereka berdua adalah pemimpin dari para bhikkhu dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan memerintah para bhikkhu !"

Ketika Sang Buddha mengundang dan memperingatkan perihal perilakunya itu, ia diam, tetapi kemudian terus-menerus mencela dua murid utama, Sariputta dan Moggallana.

Sampai tiga kali Sang Buddha memanggil dan memperingatkannya, tetapi ia tetap tidak berubah. Sekali lagi Sang Buddha memanggil Channa, dan berkata, "Channa inilah dua murid utama yang mulia dan teman yang baik untukmu, kamu harus bergaul dengan mereka dan jalinlah hubungan yang baik dengan mereka."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 78 berikut ini :

Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah; tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur.

Walau telah diperingatkan beberapa kali dan nasehat-nasehat juga telah diberikan oleh Sang Buddha, Channa tetap melakukan hal yang disukainya dan terus berkata-kata yang tidak baik terhadap bhikkhu-bhikkhu tersebut. Sebenarnya, Sang Buddha mengetahui hal ini dan Beliau berkata bahwa Channa tidak akan berubah selama Sang Buddha masih hidup. Tetapi setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa pasti berubah. Pada malam sebelum mangkat (parinibbana), Sang Buddha memanggil Ananda Thera ke samping tempat berbaring Beliau dan memerintahkan Ananda Thera agar menjatuhkan hukuman Brahma (Brahmadanda) kepada Channa. Sebagai contoh, para bhikkhu tidak boleh menghiraukannya dan tidak melakukan pekerjaan apapun bersama Channa.

Setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa mendengar hukuman yang diberikan oleh Ananda Thera. Ia merasakan penyesalan yang mendalam atas kesalahan-kesalahannya sehingga ia tidak sadarkan diri sebanyak 3 kali. Kemudian ia mengakui kesalahannya kepada para bhikkhu dan meminta maaf. Pada saat itu ia mengubah tingkah lakunya dan pandangannya. Ia juga patuh pada petunjuk mereka untuk praktek meditasi. Beberapa waktu kemudian Channa mencapai tingkat kesucian arahat.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #63 on: 23 November 2008, 05:17:02 AM »
Syair 79 (VI:4. Kisah Mahakappina Thera)

Mahakappina adalah Raja dari Kukkutavati. Ia mempunyai seorang permaisuri bernama Anoja. Ia juga memiliki seribu orang menteri yang membantu kelangsungan pemerintahan.

Suatu hari Raja bersama seribu orang menteri pergi ke taman. Di sana mereka bertemu dengan beberapa pedagang dari Savatthi. Mendengar tentang Buddha, Dhamma, dan Sangha dari para pedagang, Raja dan menteri-menterinya segera pergi ke Savatthi.

Pada hari itu, ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Beliau melihat bahwa Mahakappina dan para menterinya sedang dalam perjalanan menuju Savatthi. Beliau juga mengetahui bahwa mereka dapat mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha pergi ke suatu tempat yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi untuk menemui mereka. Di bawah pohon Banyan di tepi sungai Candabhaga, Sang Buddha menunggu mereka.

Raja Mahakappina dan para menterinya datang ke tempat di mana Sang Buddha menunggu. Ketika mereka melihat Sang Buddha dengan enam warna terpancar dari tubuhnya, mereka mendekati Sang Buddha dan menghormat Beliau. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah mendengarkan khotbah itu raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Sang Buddha melihat masa lalu (kehidupan lalu) mereka, dan mengetahui bahwa mereka sudah pernah mempersembahkan jubah kuning pada kehidupan lampau. Beliau lalu berkata kepada mereka "Ehi bhikkhu", dan mereka semua menjadi bhikkhu.

Sementara itu, Permaisuri Anoja, mendengar tentang kepergian raja ke Savatthi, memanggil istri dari seribu orang menterinya dan bersama-sama mereka mengikuti jalan yang dilalui raja. Mereka juga sampai ke tempat di mana Sang Buddha sebelumnya menemui Raja Kukkutavati. Mereka menemui Sang Buddha yang memancarkan enam warna dan kemudian menghormat Beliau. Pada saat itu Sang Buddha dengan kemampuan batin-Nya membuat raja dan para menterinya tidak dapat dilihat, sehingga istri-istri mereka tidak dapat melihat mereka. Oleh karena itu ratu bertanya di mana raja dan para menterinya berada. Sang Buddha berkata kepada ratu dan rombongannya untuk menunggu beberapa saat dan menyatakan tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya. Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah lain kepada mereka. Pada saat khotbah berakhir, raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian arahat. Ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah itu ratu dan rombongannya melihat bhikkhu yang baru saja ditahbiskan dan mengenali mereka bahwa mereka sebelumnya adalah suaminya.

Wanita-wanita itu kemudian memohon izin kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhuni; mereka langsung pergi ke Savatthi. Di sana mereka diterima menjadi bhikkhuni, dan tak lama kemudian mereka juga mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana bersama seribu bhikkhu.

Di Vihara Jetavana, Mahakappina ketika beristirahat sepanjang malam atau pada siang hari sering berkata,"Oh, bahagia !" (Aho Sukham). Para bhikkhu yang mendengarkan beliau mengucapkan kata-kata itu beberapa kali dalam sehari, melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka Sang Buddha menjawab "Anakku Kappina telah merasakan bahagianya kehidupan dalam Dhamma dengan pikiran yang tenang; ia mengucapkan kata-kata itu sebagai ungkapan kegembiraan yang meluap-luap berkenaan dengan nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 79 berikut :

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran yang tenang. Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.
 
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #64 on: 23 November 2008, 05:19:14 AM »
Syair 80 (VI:5. Kisah Samanera Pandita)

Pandita adalah seorang putra orang kaya di Savatthi. Ia menjadi seorang samanera pada saat berusia tujuh tahun. Pada hari ke delapan setelah menjadi samanera, ia pergi mengikuti Sariputta Thera berpindapatta, ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya dan bertanya kepada Y.A. Sariputta Thera, "Dapatkah air yang tanpa kesadaran dibimbing ke tempat yang seseorang kehendaki ?" Sang Thera menjawab,"Ya, air dapat dibimbing kemanapun yang dikehendaki seseorang."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, samanera melihat beberapa pembuat anak panah memanasi panah mereka dengan api dan meluruskannya. Selanjutnya ia mlewati beberapa tukang kayu sedang memotong, menggergaji, dan menghaluskan kayu untuk dibuat roda kereta.

Kemudian ia merenung, "Jika air yang tidak memiliki kesadaran dapat diarahkan kemanapun yang seseorang iinginkan, jika bambu yang bengkok yang tanpa kesadaran dapat diluruskan, dan jika kayu yang tanpa kesadaran dapat dibuat sesuatu yang berguna, mengapa saya tidak dapat menjinakkan pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang."

Kemudian ia memohon izin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai objek perenungan. Sakka dan para dewa membantu pelaksanaan meditasinya dengan cara menjaga kesunyian suasana vihara dan sekitarnya. Sebelum waktu makan tiba, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian anagami.

Waktu itu Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera. Sang Buddha melihat dengan kemampuan batin luar biasa-Nya bahwa Samanera Pandita telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan jika ia meneruskan melaksanakan meditasi maka tidak lama lagi mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha memutuskan untuk mencegah Sariputta memasuki kamar samanera. Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, samanera mencapai tingkat kesucian arahat. Jadi, samanera mencapai tingkat kesucian arahat pada hari ke delapan setelah ia menjadi samanera.

Berkenaan dengan hal itu, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu di vihara,"Ketika seseorang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dhamma; Sakka dan para dewa akan melindunginya dan menjadi pelindung. Saya sendiri mencegah Sariputta masuk di muka pintu kamar, sehingga Samanera Pandita tidak terganggu. Samanera setelah melihat petani mengairi ladangnya, pembuat anak panah meluruskan panah-panah mereka, dan tukang kayu membuat roda kereta, mengendalikan pikirannya dan melaksanakan Dhamma; ia sekarang telah menjadi seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 80 berikut :

Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bijaksana mengendalikan dirinya.
 
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #65 on: 23 November 2008, 05:22:36 AM »
Syair 81 (VI:6. Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera)

Bhaddiya adalah seorang bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana. Karena tubuhnya pendek maka ia dikenal dengan sebutan Lakundaka (pendek) oleh para bhikkhu lainnya. Lakundaka Bhaddiya mempunyai sifat yang sangat baik; meskipun bhikkhu-bhikkhu muda mengganggunya dengan memutar hidungnya atau telinganya atau menepuk kepalanya. Sangat sering mereka mengejek dengan mengatakan "Paman, bagaimana keadaanmu ?" Apakah kamu bahagia, atau, apakah kamu bosan dengan kehidupan sebagai seorang bhikkhu di sini?" dan lain sebagainya. Lakundaka Bhaddiya tidak pernah membalas dengan kemarahan atau mencaci mereka; bahkan dalam hati kecilnya pun ia tidak marah terhadap mereka.

Ketika berbicara mengenai kesabaran dari Lakundaka Bhaddiya, Sang Buddha bersabda,"Seorang arahat tidak pernah terlena pengendalian dirinya, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan ataupun pujian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 81 berikut :

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.
 
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #66 on: 30 November 2008, 01:08:10 AM »
Syair 82 (VI:7. Kisah Kanamata)

Kanamata adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang pemuda dari desa lain. Suatu ketika Kana menjenguk ibunya untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis (dendeng) untuk suami Kana. Esoknya Kanamata membuat sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata. Kanamata sebagai pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu per satu. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya; ibunya membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta di rumahnya, ia mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu, sehingga tidak ada yang tersisa untuk dibawa pulang anaknya, dan anaknya tidak dapat pulang ke rumahnya.

Pada hari ketiga, suaminya mengirimkan pesan untuknya. Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak pulang ke rumah esok hari, maka suaminya akan menikah dengan wanita lain.

Tetapi pada esok harinya, Kana tetap tidak dapat pulang ke rumahnya sebab ibunya mempersembahkan semua dendengnya untuk para bhikkhu. Peringatan keras tadi menjadi kenyataan, suami Kana menikah dengan wanita lain.

Kana menjadi tidak senang terhadap para bhikkhu. Ia beranggapan bahwa mereka yang menjadi gara-gara suaminya menikah lagi. Seringkali ia mencaci maki para bhikkhu, sehingga para bhikkhu akhirnya menjauh dari rumah Kanamata.

Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi ke rumah Kanamata. Di sana Kanamata mempersembahkan sejumlah bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya, "Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka ?" Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka, dan menambahkan bahwa, "Mereka tidak bersalah, saya yang salah." Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. Setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Pada perjalanan pulang ke vihara, Sang Buddha bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala. Beliau mengatakan perihal Kana dan sikapnya yang tidak baik terhadap para bhikkhu. Raja Pasenadi berkata kepada Sang Buddha agar dapat mengajarkan kebenaran (Dhamma) kepadanya. Sang Buddha menjawab,"Ya, saya telah mengajarkan Dhamma kepadanya, dan saya juga telah membuat ia menjadi kaya dalam kehidupan mendatang." Kemudian Raja Pasenadi berjanji kepada Sang Buddha untuk membuatnya kaya dalam kehidupan sekarang.

Raja mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput Kana dengan tandu. Ketika Kana tiba di istana, raja mengumumkan kepada para menterinya, "Siapa yang dapat memberi kesenangan hidup kepada anakku Kana, silakan merawatnya." Salah seorang menteri dengan sukarela mengadopsi Kana sebagai anaknya, memberinya kekayaan dan berkata kepadanya, "Kamu boleh memberikan dana sebanyak yang kamu suka." Setiap hari Kana memberikan persembahan dana kepada para bhikkhu di empat pintu kota.

Ketika berkata tentang Kana dan kemurahan hatinya dalam memberikan dana, Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu, pikiran Kana sebelumnya diselimuti kabut dan lumpur. Sekarang telah menjadi jernih dan tenang oleh kata-kata-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 82 berikut :

Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang, demikian pula batin para orang bijaksana menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #67 on: 30 November 2008, 01:10:06 AM »
Syair 83 (VI:8. Kisah Lima Ratus Bhikkhu)

Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha pada suatu saat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja yang kemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat mempersembahkan sangat sedikit dana pada saat para bhikkhu berpindapatta. Kendatipun mengalami penderitaan, para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan makanan berupa padi-padian yang dipersembahkan para penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha pulang ke Vihara Jetavana beserta lima ratus bhikkhu. Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan.

Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur mereka bersiul, bernyanyi dan menari, mereka membuat suatu keributan.

Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada Beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata, "Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja. Sekarang mereka cukup mendapat makanan yang baik, mereka bersiul, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun juga keadaaannya memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Itu merupakan sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan merasa tertekan ketika mereka dalam kesulitan, tetapi penuh dengan suka cita dan merasa gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 83 berikut :

Orang bajik membuang kemelekatan terhadap segala sesuatu; orang suci tidak membicarakan hal-hal berkaitan dengan nafsu keinginan. Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan, orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #68 on: 30 November 2008, 01:12:45 AM »
Syair 84 (VI:9. Kisah Bhikkhu Dhammika)

Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka. Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat berjalan.

Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri, "Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku untuk menjadi bhikkhu; saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri !" Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan objek meditasi kepadanya dan ia mempraktekkan meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat.

Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai tingkat kesucian arahat. Sang istri kemudian berkata,"Sekarang suami dan anakku telah meninggalkan rumah, saya lebih baik pergi juga." Dengan dasar pertimbangan kata-kata tersebut ia juga meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni; dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat juga.

Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat, bagaimana Dhammika berupaya membuat anak dan istrinya menjadi arahat juga. Kepada mereka Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu, orang bijaksana tidak menginginkan kekayaan dan kemakmuran yang diperoleh dengan cara tidak benar. Apakah hal itu dilakukan demi dirinya sendiri atau demi orang lain. Ia hanya bekerja untuk tujuan membebaskan dirinya dari roda tumimbal lahir (samsara) dengan cara memahami Dhamma dan hidup sesuai dengan Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 84 berikut :

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain; demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.
 
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #69 on: 30 November 2008, 01:15:34 AM »
Syair 85-86 (VI:10. Kisah Pendengar-pendengar Dhamma)

Pada suatu kesempatan, sekumpulan orang dari Savatthi membuat persembahan khusus kepada para bhikkhu secara bersama-sama dan mereka meminta para bhikkhu memberikan khotbah Dhamma sepanjang malam di tempat mereka. Pada saat itu banyak di antara para pendengar tidak dapat duduk sepanjang malam, dan mereka pulang lebih cepat; beberapa orang duduk dengan pemikiran yang mendalam sepanjang malam; tetapi kebanyakan dari mereka pada waktu itu mengantuk dan setengah tidur. Hanya sedikit orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah Dhamma itu.

Pagi hari ketika para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha tentang apa yang terjadi pada malam hari sebelumnya, Beliau menjawab,"Kebanyakan orang terikat pada dunia ini, hanya sedikit orang yang dapat mencapai pantai seberang (nibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 85 dan 86 berikut ini :

Di antara umat manusia hanya sedikit yang dapat mencapai pantai seberang; sebagian besar hanya berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini.

Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma yang telah diterangkan dengan baik, akan mencapai Pantai Seberang; menyeberangi alam kematian yang sangat sukar diseberangi.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #70 on: 30 November 2008, 01:19:10 AM »
Syair 87-89 (VI:11. Kisah Kunjungan Lima Ratus Bhikkhu)

Lima ratus bhikkhu yang menjalani masa vassa di Kosala datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana pada akhir masa vassa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 87, 88 dan 89 berikut ini sesuai dengan berbagai perangai mereka :

Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah, demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan) dan mengembangkan keadaan terang (kebijaksanaan). Hendaknya ia mencari kebahagiaan pada ketidakmelekatan yang sulit didapat.

Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan kemelekatan, demikian hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya dari noda-noda pikiran.

Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya dalam Tujuh Faktor Penerangan, yang tanpa ikatan, yang bergembira dengan batin yang bebas, yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar, maka sesungguhnya mereka telah mencapai Nibbana dalam kehidupan sekarang ini juga.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #71 on: 02 December 2008, 01:16:17 AM »
Bab VII-ARAHANTA VAGGA (Arahat)

Syair 90 (VII:1. Kisah Pertanyaan Jivaka)

Devadatta, pada suatu kesempatan, mencoba untuk membunuh Sang Buddha dengan mendorong batu besar dari puncak bukit Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar). Batu tersebut jatuh membentur sisi bukit dan sepotong serpihannya melukai ibu jari kaki Sang Buddha. Kemudian Beliau dibawa ke Vihara Hutan Mangga milik Jivaka. Di sana Jivaka yang dikenal sebagai seorang tabib, mengobati ibu jari kaki Sang Buddha dan membalutnya. Jivaka kemudian pergi ke kota untuk mengobati pasien lainnya, tetapi berjanji untuk kembali dan membuka balutan tersebut pada sore hari. Karena kesibukannya, Jivaka pulang malam hari, tetapi pintu kota telah ditutup dan ia tidak dapat menemui Sang Buddha. Ia sangat bingung sebab apabila pembalut tersebut tidak dibuka pada waktunya, seluruh badan Sang Buddha akan demam dan Sang Buddha akan sangat menderita.

Pada saat yang sama, Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa Jivaka tidak dapat datang pada waktunya berkata kepada Ananda untuk membuka balutan dari ibu jarinya dan ternyata luka tersebut telah sembuh.

Jivaka datang ke vihara pada fajar keesokan harinya dan menanyakan kepada Sang Buddha apakah Beliau merasakan kesakitan pada malam sebelumnya. Sang Buddha menjawab, "Jivaka! Sejak Saya mencapai Ke-Buddha-an, tidak terdapat kesakitan dan penderitaan lagi bagi-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 90 berikut :

Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya, yang telah terbebas dari segala hal, yang telah menghancurkan semua ikatan; maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #72 on: 02 December 2008, 01:18:32 AM »
Syair 91 (VII:2. Kisah Mahakassapa Thera)

Pada suatu saat Sang Buddha menjalani masa vassa di Rajagaha, bersama sejumlah bhikkhu. Sekitar dua minggu sebelum akhir masa vassa, Sang Buddha memberitahu para bhikkhu bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan Rajagaha dan mengatakan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan tersebut.

Sebagian bhikkhu menjahit dan mewarnai jubah baru mereka dan sebagian lagi mencuci jubah lama. Ketika beberapa bhikkhu melihat Mahakassapa mencuci jubahnya, mereka berpikir, "Terdapat banyak umat awam di dalam maupun di luar kota Rajagaha yang mencintai dan menghormati Mahakassapa Thera dan secara terus-menerus memenuhi semua kebutuhannya. Apakah mungkin Mahakassapa Thera meninggalkan umat awam di Rajagaha, dan mengikuti Sang Buddha pergi ?"

Pada akhir hari ke lima belas, pada malam sebelum keberangkatan, Sang Buddha mengatakan bahwa di sini akan anyak upacara seperti upacara persembahan dana makanan, pentahbisan samanera, pembakaran jenazah, dan lain sebagainya. Maka tidaklah tepat jika semua bhikkhu meninggalkan Rajagaha. Jadi, Beliau memutuskan sejumlah bhikkhu tetap tinggal di Vihara Veluvana dan orang yang paling cocok adalah Mahakassapa Thera. Oleh karena itu Mahakassapa Thera dan beberapa bhikkhu muda tetap tinggal di Rajagaha.

Kemudian beberapa bhikkhu lainnya berkata, "Mahakassapa tidak menyertai Sang Buddha, seperti yang kita perkirakan !"

Sang Buddha yang mendengar ucapan mereka, berkata : "Para bhikkhu ! Apakah kamu bermaksud mengatakan bahwa Mahakassapa Thera melekat kepada murid umat awam di Rajagaha dan pada semua hal yang mereka persembahkan kepadanya ? Kamu semua keliru. Anak-Ku Mahakassapa tinggal di sini karena perintah-Ku, ia tidak terikat kepada segala hal yang ada di sini."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 91 berikut :

Orang yang telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga, tidak lagi terikat pada tempat kediaman. Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam, demikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #73 on: 02 December 2008, 01:22:49 AM »
Syair 92 (VII:3. Kisah Belatthasisa Thera)

Belatthasisa Thera, setelah pergi berpindapatta di suatu desa, berhenti di tepi jalan dan memakan makanannya. Setelah makan, ia meneruskan berpindapatta untuk memperoleh dana makanan lagi. Ketika telah merasa cukup ia kembali ke vihara, mengeringkan nasi dan menyimpannya. Jadi ia tidak perlu berpindapatta setiap hari, sehingga ia dapat bermeditasi Jhana selama dua atau tiga hari. Begitu selesai meditasi, ia memakan nasi kering yang telah disimpannya, setelah merendamnya terlebih dulu dalam air. Bhikkhu-bhikkhu lain berpikiran buruk terhadap kelakuan thera itu. Mereka melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha.

Sang Buddha berpikir, jika hal itu ditiru oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya, ada kemungkinan menjadi disalahgunakan. Oleh karena itu Beliau melarang para bhikkhu untuk menyimpan makanan. Beliau juga menganjurkan para bhikkhu agar berusaha mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian hidupnya dengan tidak memiliki barang-barang selain keperluan bhikkhu.

Sedangkan untuk Belatthasisa, ia menyimpan nasi sebelum peraturan ditetapkan, lagipula ia tidak serakah terhadap makanan, tetapi hanya menghemat waktu untuk keperluan bermeditasi. Sang Buddha menetapkan bahwa ia tidak bersalah dan tidak tercela.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 92 berikut :

Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi, yang sederhana dalam makanan, yang telah mencapai ‘Kebebasan Mutlak? maka jejak mereka tidak dapat dilacak bagaikan burung-burung di angkasa.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #74 on: 02 December 2008, 01:26:58 AM »
Syair 93 (VII:4. Kisah Anuruddha Thera)

Suatu hari Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau, dan sekarang berada di alam dewa melihatnya. Mengetahui bahwa Sang Thera sedang mencari berapa kain bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan membawanya ke vihara.

Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior Beliau. Mereka menolong menjahit jubah.

Ketika itu, Jalini, dalam ujud gadis muda datang ke desa dan memberitahukan kedatangan Sang Buddha beserta murid Beliau dan juga bagaimana mereka menolong Anuruddha Thera. Ia menganjurkan penduduk desa untuk mengirimkan makanan yang lezat ke vihara dan sebagai akibatnya terjadi kelebihan makanan. Bhikkhu yang lain melihat terlalu banyak makanan tersisa, mencela Anuruddha Thera.

"Anuruddha Thera seharusnya berkata kepada keluarga dan murid-muridnya agar mengirim makanan secukupnya; mungkin ia ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak pengikut."

Kepada para bhikkhu itu, Sang Buddha berkata, "Bhikkhu, janganlah berpikir anak-Ku telah berkata kepada keluarga dan murid-muridnya untuk mengirimkan bubur nasi dan makanan lainnya; seorang arahat tidak membicarakan perihal makanan dan pakaian. Jumlah makanan berlebihan yang dikirimkan ke vihara pagi hari ini berasal dari kemauan makhluk alam lain dan bukan dari manusia."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 93 berikut :

Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin, yang tidak lagi terikat pada makanan, yang telah menyadari Kebebasan Mutlak, maka jejaknya tidak dapat dilacak, bagaikan burung-burung di angkasa.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

 

anything