//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 670465 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #870 on: 02 May 2009, 06:17:17 PM »
MERCEDES:

menurut aliran Theravada, tidak ada yang benar-benar disebut sebuah "makhluk" semua itu hanya unsur-unsur yang menggabungkan-nya.

sesuai juga apa yang tertulis pada milinda panha,
dan saudara kainyin_kutho babarkan itu sama persis "manakah yang disebut nagasena?"
menarik juga contoh yang diambil saudara kainyn ..^_^

TAN:

Ingat. "Tidak ada yang benar2 makhluk" bukan berarti makhluk itu "tak ada." Dua hal itu tidak identik. Selama suatu makhluk masih terikat pada samsara, tidak bijaksana mengatakan bahwa "makhluk"  itu tak ada. Saya kasih analogi yang menggelikan. Ada seorang penjual pisang goreng yang terlalu ekstrem terikat pada pandangan bahwa "sesuatu itu tidak ada karena merupakan paduan unsur." Waktu ditanya, "Ada pisang, Bang?" Dia menjawab, "Tidak ada! Tidak apa-apa." Karena pisang itu menurutnya paduan unsur, maka ia menjawab demikian. Akhirnya tak ada yang membeli pisang gorengnya. hahahahahaha!
Selama suatu "makhluk" masih terikat oleh samsara, maka segala sesuatu itu harus dianggap "ada."
Mahayana sangat jelas dengan hal ini. Sementara itu, kaum non Mahayanis terkadang masih mengacaukan antara "tidak ada sesuatu yang benar-benar eksis karena semuanya merupakan paduan unsur" dengan "tidak ada apa-apa sama sekali." Akhirnya dipukul rata bahwa semuanya "benar-benar tidak ada."

Amiduofo,

Tan

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #871 on: 02 May 2009, 06:28:46 PM »
KAYNIN KUTHO:

Sebelum melebar dan panjang, saya mau tanya satu hal.
Ketika Buddha Sakyamuni belum parinirvana, apanya yang disebut dengan Buddha? Apakah tubuhnya, pikirannya, ingatannya, perasaannya, atau kesadarannya?
Jika bukan salah satu dari kelima skandha itu, apakah ada sesuatu yang lain yang sifatnya tidak berubah, yang bisa dirujuk sebagai Buddha Sakyamuni?

TAN:

Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?

Amiduofo,

Tan
saudara Tan yang dimaksudkan saudara kainyin adalah ini :

Quote
1. "Bagaimana Yang Mulia disebut dan siapakah nama Anda?
"Baginda, saya disebut Nagasena tetapi itu hanyalah rujukan
dalam penggunaan
sehari-hari, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang
dapat
ditemukan."
Kemudian Milinda memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para
bhikkhu untuk
menjadi saksi: "Nagasena ini berkata
bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat dalam namanya.
Apakah
mungkin hal seperti itu diterima?" Kemudian ia berbalik kepada
Nagasena dan
berkata, "Jika, Yang Mulia Nagasena, hal tersebut benar, lalu
siapakah yang
memberi Anda jubah, makan dan tempat tinggal? Siapa yang
menjalani kehidupan
dengan benar ini? Atau juga, siapa yang membunuh
makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan?
Jika apa yang
Anda katakan itu benar maka tidak akan ada perbuatan yang baik
atau
perbuatan yang tercela, tidak akan ada pelaku kejahatan atau
pelaku
kebaikan, dan tidak ada hasil kamma. Jika, Yang Mulia,
seseorang membunuh
Anda maka tidak akan ada pembunuh, dan itu juga berarti bahwa
tidak ada
mahaguru atau guru dalam Sangha Anda. Anda berkata bahwa Anda
disebut Nagasena; sekarang, apakah Nagasena itu? Apakah
rambutnya?"
"Saya tidak mengatakan demikian, Raja yang Agung."
"Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian
tubuhnya yang lain?"
"Tentu saja tidak"
"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya,
atau
bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya? Ataukah semua tadi
digabungkan?
Ataukah sesuatu di luar semua itu tadi yang disebut Nagasena?"
Dan masih saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya itu"
"Kalau begitu Nagasena, kalau boleh saya berkata, saya tidak
dapat menemukan
Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Tetapi siapakah
yang kami
lihat di depan mata ini? Kebohonganlah yang telah dikatakan
Yang Mulia."
"Baginda, tuan telah dibesarkan dalam kemewahan sejak
dilahirkan. Bagaimanakah tadi Baginda datang kemari, berjalan
kaki atau naik
kereta?"
"Naik kereta, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tolong jelaskan, apakah kereta itu. Apakah
porosnya? Apakah
rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang
disebut kereta?
Atau gabungan semuanya itu, atau sesuatu di luar semua itu?"
"Bukan semua itu, Yang Mulia."
"Kalau  begitu, Baginda, kereta ini hanyalah omong kosong.
Baginda berkata
dusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah
raja yang
besar di India. Siapa yang Baginda takuti sehingga Baginda
berdusta?"
Dan Nagasena kemudian memanggil orang-orang Yunani Bactria
dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Raja Milinda ini telah
berkata bahwa
beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya 'Apakah
kereta itu?'
beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?
Kemudian  secara  serempak  ke-500  orang  Yunani  Bactria  itu
bersama-sama
berteriak kepada raja, "Jawablah bila Baginda bisa!"
"Yang  Mulia, saya telah berkata dengan benar. Karena mempunyai
semua bagian
itulah maka ia disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya sudah dapat menangkap artinya
dengan benar. Demikian juga karena ke-32 jenis zat organ materi
dalam tubuh
manusia dan 5 unsur makhluklah saya disebut Nagasena. Seperti
yang telah
dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang
Agung, 'Seperti
halnya ada berbagai bagian itu maka kata "kereta" digunakan,
demikian juga
bila ada unsur-unsur makhluk maka kata "makhluk"
digunakan.'
"Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa menggagumkannya
penyelesaian teka-teki ini olehmu, meskipun sulit. Seandainya
Sang Buddha
berada di sinipun Beliau pasti akan menyetujui jawabanmu."
inilah yang dimaksudkan tidak ada "makhluk" hanya ada unsur-unsur yang padam setelah parinibbana.

Quote
Lho kalau begitu buddha itu banyak ya? Anda menggunakan buddha dalam huruf kecil dan besar. Apakah Buddha ada tingkatan-tingkatannya? Manakah yang benar-benar "Buddha", yakni Buddha (dengan huruf besar) atau buddha (dengan huruf kecil)? Saya baru tahu sekarang kalau ada buddha (dengan huruf kecil) dan Buddha (dengan huruf besar).

Amiduofo,

Tan
pentingkah membahas huruf besar huruf kecil?, masih fokus kah pembahasan kita ini....
apa begini cara anda memberi jawaban?....hehehe...

MERCEDES mengutip:

‘Para bhikkhu, jasmani Sang Tathàgata yang berdiri tegak dengan unsur-unsur yang menghubungkannya dengan jasmani akan menjadi hancur.78 Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi. Para bhikkhu, bagaikan ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga pada rumpun itu akan jatuh bersamanya, demikian pula jasmani Sang Tathàgata dengan unsur-unsurnya yang menghubungkannya dengan penjelmaan telah terpotong. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat MELIHATNYA. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’

TAN:

Perhatikan kata "MELIHATNYA" yang saya tulis dengan huruf besar semua. Kutipan di atas jelas sekali mendukung ajaran Mahayana, karena yang dipermasalahkan adalah "melihat" dan "tidak melihat." Sesuatu yang "tak terlihat" oleh para dewa dan manusia, bukannya tidak ada lho. Gelombang elektromagnetik tidak terlihat oleh manusia, tetapi pada kenyataannya ada atau tidak? Sekali lagi kutipan di atas tidak mendukung pandangan nihilis kaum non Mahayanis.

Lagipula yang dibicarakan adalah "jasmani" Sang Buddha. Mahayana sendiri tidak memandang dharmakaya dalam artian fisik kok.

Jelas sekali kutipan di atas malah mendukung ajaran Mahayana atau setidaknya sama sekali tak bertentangan dengannya.

Amiduofo,
Tan
saudara Tan membaca Sutta itu bukan sepotong-sepotong, dan pahami makna-nya....
baca lah seluruh nya..^^

yang saya bold itu sudah menggambarkan seluruhnya....sedangkan mahayana?
oke lah katanya tidak dapat dilihat seperti gelombang elektromagnetik...^^

tapi entah dikalpa mana lagi beliau dapat dilihat bukan(sesuai sutra mahayana)....

buktinya saja dikatakan bahwa sebelum kehidupan bernama Gotama, ternyata Sangbuddha (entah apa namanya dulu) telah mencapai pencerahan sempurna jauh di kalpa sebelumnya.
sekarang "buddha gotama" ( kini ) dapat dilihat dengan mata bukan.......

jadi kalau mau mengutip sutta Theravada guna membenarkan argumen anda, sebaiknya anda selidiki dulu makna sutta itu. ^^


Quote
TAN:

Ingat. "Tidak ada yang benar2 makhluk" bukan berarti makhluk itu "tak ada." Dua hal itu tidak identik. Selama suatu makhluk masih terikat pada samsara, tidak bijaksana mengatakan bahwa "makhluk"  itu tak ada. Saya kasih analogi yang menggelikan. Ada seorang penjual pisang goreng yang terlalu ekstrem terikat pada pandangan bahwa "sesuatu itu tidak ada karena merupakan paduan unsur." Waktu ditanya, "Ada pisang, Bang?" Dia menjawab, "Tidak ada! Tidak apa-apa." Karena pisang itu menurutnya paduan unsur, maka ia menjawab demikian. Akhirnya tak ada yang membeli pisang gorengnya. hahahahahaha!
Selama suatu "makhluk" masih terikat oleh samsara, maka segala sesuatu itu harus dianggap "ada."
Mahayana sangat jelas dengan hal ini. Sementara itu, kaum non Mahayanis terkadang masih mengacaukan antara "tidak ada sesuatu yang benar-benar eksis karena semuanya merupakan paduan unsur" dengan "tidak ada apa-apa sama sekali." Akhirnya dipukul rata bahwa semuanya "benar-benar tidak ada."

Amiduofo,

Tan
sungguh anda tidak mengerti maksud saudara Kainyn...
bacalah milinda panha itu....

ingat anda belum menjawab pertanyaan saya.. ^^

salam metta.
« Last Edit: 02 May 2009, 06:32:24 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #872 on: 02 May 2009, 06:33:35 PM »
MERCEDES:

saya mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah Nibbana,
tetapi saya "tahu" pasti bahwa penderitaan akan berakhir ketika pikiran ini padam.

TAN:

Kontradiktif! Anda mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah nibanna, tetapi Anda berani mengklaim tahu pasti bahwa penderitaan akan berakhir kalau pikiran ini padam. Menurut non Mahayanis bukannya "padamnya pikiran" = nibanna. Kalau padamnya pikiran Anda tolak identik dengan nibanna. Berarti artinya Anda mendukung pandangan bahwa saat seseorang parinirvana masih ada pikiran bukan? Pernyataan Anda sungguh kontradiktif. Di saat mengklaim bahwa Anda tidak tahu masalah nibanna, tetapi pada sisi lain tahu pasti masalah nibanna. Apakah "tidak tahu" = "tahu"?
Kedua, pikiran Anda sendiri belum padam, tetapi bagaimana Anda tahu pasti bahwa itu adalah akhir penderitaan? Dari buku kah? Dari kitab kah?

MERCEDES:

dan Nibbana adalah padam, jadi bagaimana mungkin Buddha masih bisa memancarkan metta dengan tanpa pikiran.....
adalah sama seperti saya disuruh percaya kursi yang merupakan benda tanpa pikiran bisa memancarkan metta.

TAN:

Oke..oke... Buddha yang telah parinirvana menurut Anda tidak dapat memancarkan metta karena tak mempunyai pikiran. Kursi juga tak dapat memancarkan metta. Jadi menurut Anda, Buddha  = kursi?

MERCEDES:
------
tetapi dalam konteks NIRVANA(mahayana) disitu jelas dikatakan Buddha masih memiliki eksis, karena bisa lahir lagi entah dikalpa mana, jadi buddha dalam mahayana tidak bisa dikatakan "PADAM"

TAN:

Sudah saya jawab berulang kali. Menurut Mahayana Buddha jelas tidak bisa "padam" (istilah "padam" dalam pengertian makhluk samsara). Padam artinya sama dengan nihilisme. Karena itu saya selalu menyatakan berulang-ulang bahwa non Mahayanis itu = nihilisme.

MERCEDES:

yang jadi pertanyaan sekarang adalah,
apabila dikatakan "tidak padam" mengapa bisa beliau lupa cara pencapaiannya....
bahkan batinnya merosot. !!!!

TAN:

Justru yang jadi pertanyaan, bila BEliau PADAM. Apa bedanya dengan nihilisme? Kalau hanya masalah lupa pada pencapaiannya, itu jawaban gampang. Dalam Mahayana ada ajaran Upakaya Kausalya. Jadi Buddha tidak dapat dikatakan merosot batinnya. Nah, sekarang terserah Anda mau terima jawaban Upaya Kausalya atau tidak.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #873 on: 02 May 2009, 06:36:36 PM »
MERCEDES:

pentingkah membahas huruf besar huruf kecil?, masih fokus kah pembahasan kita ini....
apa begini cara anda memberi jawaban?....hehehe...

TAN:

Sangat penting. Beginikah cara Anda lari dari permasalahan?

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #874 on: 02 May 2009, 06:49:12 PM »
MERCEDES:

inilah yang dimaksudkan tidak ada "makhluk" hanya ada unsur-unsur yang padam setelah parinibbana.

TAN:

Terima kasih Anda mengutipkan Milindapanha secara panjang lebar. Tapi sejujurnya saya sudah pernah baca kutipan-kutipan itu. Oke..oke Anda sebut unsur-unsur penyusun yang padam (seperti poros, tiang, dll pada kereta). Pertanyaannya tetap saja:

Apakah unsur-unsur itu pada mulanya "ada" dan setelah itu "tidak ada" lagi?

Jadi setelah unsur-unsur penyusun itu padam, tidak ada "makhluk" alias tidak ada apa-apa lagi, bukan? Sekali lagi saya tanyakan apa bedanya dengan nihilisme?

Anda mau berargumen ada unsur penyusun atau tak ada unsur penyusun, saya tidak melihat ada bedanya dengan nihilisme.

Amiduofo,

Tan

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #875 on: 02 May 2009, 07:03:22 PM »
Quote
Kontradiktif! Anda mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah nibanna, tetapi Anda berani mengklaim tahu pasti bahwa penderitaan akan berakhir kalau pikiran ini padam. Menurut non Mahayanis bukannya "padamnya pikiran" = nibanna. Kalau padamnya pikiran Anda tolak identik dengan nibanna. Berarti artinya Anda mendukung pandangan bahwa saat seseorang parinirvana masih ada pikiran bukan? Pernyataan Anda sungguh kontradiktif. Di saat mengklaim bahwa Anda tidak tahu masalah nibanna, tetapi pada sisi lain tahu pasti masalah nibanna. Apakah "tidak tahu" = "tahu"?
Kedua, pikiran Anda sendiri belum padam, tetapi bagaimana Anda tahu pasti bahwa itu adalah akhir penderitaan? Dari buku kah? Dari kitab kah?
saudara Tan,
yang saya tidak tahu adalah "keadaan batin seseorang yang merealisasikan nibbana"

tetapi yang saya tahu pasti adalah "pikiran menimbulkan penderitaan" dan akhir dari penderitaan adalah pikiran ini padam.

sama seperti anda tahu bahwa "kelahiran adalah penyebab Jara-maranam" dan tanpa kelahiran maka tidak ada "jara-maranam"
apakah anda mengerti yg saya maksud? kontradiktif nya bagianmana?
apakah perumpaman-an ini agak membingungkan......contoh sederhana deh saya kasih...

anda kenyang karena makan banyak, dan kenyang tidak akan terjadi apabila tidak makan...
itulah "pengetahuan yang pasti saya yakini dan telaah secara langsung lewat pengalaman langsung"


Quote
Oke..oke... Buddha yang telah parinirvana menurut Anda tidak dapat memancarkan metta karena tak mempunyai pikiran. Kursi juga tak dapat memancarkan metta. Jadi menurut Anda, Buddha  = kursi?
kok anda tanya saya.......teori anda bukankah berbunyi
"metta bisa dipancarkan tanpa pikiran"

berarti andalah yang ber-asumsi kursi(yang tidak punya pikiran) bisa memancarkan metta.
hebat kan. ^^



Quote
Sudah saya jawab berulang kali. Menurut Mahayana Buddha jelas tidak bisa "padam" (istilah "padam" dalam pengertian makhluk samsara). Padam artinya sama dengan nihilisme. Karena itu saya selalu menyatakan berulang-ulang bahwa non Mahayanis itu = nihilisme.
oke lah sekarang seperti nya ada kesalahpahaman arti dari kata "nihilisme"


Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.

sumber wikipedia

inikah arti dari kata nihilisme? jauh dari kategori......^^

Theravada memandang nihilisme apabila seseorang belum merealisasikan pengetahuan tentang hukum kamma, dan patticasammupada dan beranggapan bahwa, setelah mati yang tidak ada apa-apa lagi.
Theravada bukanlah aliran seperti itu, tetapi mengajarkan untuk menelusuri "SEBAB-SEBAB" dan "AKIBAT-AKIBAT" yang saling berhubungan......itulah merealisasikan kebijaksanaan..

nihilisme?....hehehe.....

Quote
justru yang jadi pertanyaan, bila BEliau PADAM. Apa bedanya dengan nihilisme? Kalau hanya masalah lupa pada pencapaiannya, itu jawaban gampang. Dalam Mahayana ada ajaran Upakaya Kausalya. Jadi Buddha tidak dapat dikatakan merosot batinnya. Nah, sekarang terserah Anda mau terima jawaban Upaya Kausalya atau tidak.

o0o0o0o0o jadi ujung-ujung nya sutra ini..?
http://www.fodian.net/World/Indonesian/Bab-II.htm


sekian diskusi kita...hehehe

orang yang telah tercerahkan
cinta akan kehidupan rumah tangga dan mencari guru guna membantu pencapaian-nya....
tersiksa selama 6 tahun dengan penyiksaan hebat, harus mendengar syair dari pemain kecapi barulah sadar, apakah arti semua ini?
jawabannya. "buddha di luar logika dan akal sehat"....



diskusi telah berakhir.

salam metta.



mohon maaf kalau ada kesalahan-kesalahan saya.....semoga anda berbahagia saudara Tan.^^
« Last Edit: 02 May 2009, 07:06:39 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #876 on: 02 May 2009, 07:13:26 PM »
lupa selingan...

Pertapa Vacchagotta bertanya,"Tetapi, Gotama di manakah bhikkhu yang batinnya bebas bertumimbal lahir?"

Sang Buddha menjawab, "Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

"Lalu, Gotama, ia tidak bertumimbal lahir."

"Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia tidak bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

"Lalu, Gotama, ia bertumimbal lahir dan tidak bertumimbal lahir."

"Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia bertumimbal lahir dan tidak bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

"Lalu, Gotama, ia tiada bertumimbal lahir dan tidak tak bertumimbal lahir."

"Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia tiada bertumimbal lahir dan tidak tak bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

Vaccha gagal memikirkan hal itu, kemudian Sang Buddha memberikan umpan balik kepada Vaccha sebagai berikut:

"Apa yang kau pikir, Vaccha? Andaikan api menyala di hadapanmu? Apakah kamu tahu bahwa api menyala di hadapanmu?

"Gotama, jika api menyala di hadapanku, aku akan tahu bahwa api menyala di hadapanku."

"Tetapi andaikan, Vaccha, seseorang menanyaimu, `Bergantung pada apakah api yang menyala di hadapanmu?' Apakah jawabanmu Vaccha?"

"Aku akan menjawab, O Gotama, `Ia bergantung pada bahan bakar rumput, dan kayu api yang menyala di hadapanku ini."

"Tetapi, Vaccha, jika api di hadapanmu padam, apakah kamu tahu bahwa api di hadapanmu itu padam?"

"Gotama, jika api di hadapanku padam, aku akan tahu bahwa api di hadapanku padam."

"Tetapi, Vaccha, jika seseorang bertanya kepadamu, `ke arah manakah api itu pergi, Timur atau Barat, Utara atau Selatan?' Apakah yang akan kau katakan, Vaccha?"

"Pertanyaan ini tidak sesuai dengan kasusnya, Gotama, karena api bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu, dan jika semua bahan bakar habis, dan ia tidak dapat yang lain, jadi tanpa bahan, ia dikatakan padam."

"Tepat sama, Vaccha, semua bentuk, sentuhan, pemahaman, kegiatan batin, kesadaran telah ditinggalkan, dicabut, dibuat seperti tonggak palmira, menjadi padam, dan tidak dapat bersemi pada waktu yang akan datang."

"Para makhluk suci, Oh Vaccha yang sudah bebas dari apa yang disebut lima perpaduan, adalah dalam, tak terukur bagaikan samudera luas. Untuk mengatakan bahwa ia bertumimbal lahir, tidak sesuai dengan kasusnya. Untuk mengatakan ia tidak bertumimbal lahir, dan tidak tak bertumimbal lahir, tidak sesuai dengan kasusnya."



Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #877 on: 02 May 2009, 07:17:54 PM »
[at] mercedes...

Jawabannya mungkin adalah, karena upaya kausalya seorang bodhisatva untuk menyelamatkan makhluk hidup, termasuk terlahir kembali dan sampai pada skenario lupa akan pencerahan dan bathin merosot...

Terhadap jawaban ini (UPAYA KAUSALYA) saya angkat tangan deh... Memang jawaban pamungkas...

saudara Dilbert,
jadi kenyataan....kata-kata anda....^^

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #878 on: 02 May 2009, 09:08:00 PM »

Ulasan Anda di atas, yakni bahwa 0 mempunyai arti atau peran itu berada di luar konteks pembahasan kita. Baik saya akan kembalikan lagi ke laptop. Kita sedang membahas mengenai padamnya pancaskandha. Jadi 0 ini dalam konteks pembicaraan kita berarti sesuatu yang benar-benar tidak ada. Untuk jelasnya adalah kelinci yang punya sayap. "Avaibility" kelinci yang punya sayap di muka bumi ini adalah 0. Artinya Anda tak akan menemukan kelinci semacam itu, sekalipun Anda mengublek-ublek seluruh penjuru bumi ini. Demikian yang saya maksudkan dengan 0.

Sdr. Tan, saya rasa saya tidak keluar konteks pembicaraan.
Anda menyamakan 0 dengan Nihil. Ini yang saya tidak sependapat. Padahal nihil itu berarti tidak ada apapun sama sekali termasuk tidak ada makna atau arti. Sedangkan 0 meskipun tidak ada apapun tetapi tetap ada makna.

Yang perlu dicatat adalah keberadaan makna bukanlah berarti ada wujud, ada pancaskandha, ada inti, ada maitri karuna, ada Buddha dll. Oleh karena itu non-Mahayana menolak keberadaan yang seperti disebut di atas sekaligus mereka juga menolak jika dikatakan tidak ada apa-apa sama sekali.


Quote
Bila Anda menganggap 0 dalam konsep seperti yang Anda ungkapkan itu, maka secara tidak langsung Anda mendukung konsep Mahayana. Buddha berada dalam suatu kondisi yang "ada," tetapi "keberadaannya" berbeda dengan "keberadaan" para makhluk. Jadi kita tidak menganggapnya sebagai eternalisme. Begitu pula Buddhisme tidak pula terjatuh dalam pandangan nihilis, seperti sebagian kaum non-Mahayanis memahami Buddha. Inilah konsistensi Mahayana.
Ya seperti konsep 0 itulah. Walaupun tentu saja Buddha tidak dapat disamakan dengan 0. Dari 0 memancarlah bilangan 10, 100, 1000, 1000, 10.000 hingga tak terhingga. Begitu pula seorang Buddha setelah parinirvana dapat memancarkan maitri karuna.
Terima kasih banyak untuk Bung Kelana telah memberikan ide bagi hal ini. Konsep 0 yang Anda ungkapkan di atas justru sangat dekat dengan Buddhologi Mahayana.

Amiduofo,

Tan

Begini, Sdr. Tan. Konsep Anatta, konsep Kekosongan, Sunyata, ada dalam Mahayana maupun non-Mahayana. Dan dari yang saya pelajari, keduanya pada awalnya memiliki pemahaman yang sama.

Yang menjadi perbedaan adalah Mahayana cenderung menggunakan terms atau istilah yang “positif” sehingga terkesan adanya bentuk inti, seperti istilah tatagathagarba, dharmakaya, “diri sejati”, dll, yang sebenarnya digunakan untuk mereka yang kurang mampu melepaskan ke-atta-an. Inilah yang belakangan cenderung berkembang dan disalahartikan oleh mayoritas kaum Mahayana, seperti Buddha kembali dilahirkan, manifestasi Buddha, Buddha yang Parinirvana tetap memancarkan maitri, bahkan ada yang mengatakan minum kopi bersama Buddha yang sudah Parinirvana, dll. Dan saya yakin bukan ini pemikiran dari Mahayana awal.

Sedangkan Non-Mahayana cenderung menggunakan terms “negatif” seperti padam, hancur, dll. Mungkin ada kaum Non-Mahayana atau yang lainnya yang beranggapan ini adalah NIHILism, tapi ini adalah pemikiran yang salah. Dalam ajaran Non-Mahayana sendiri diajarkan untuk menghindari 2 pinggiran ekstrem, termasuk penjelasan adanya penolakan dikatakan NIHIL (tidak ada apa-apa sama sekali). Hal ini ada dalam Sutta.

Jadi mungkin apa yang saya sampaikan tidaklah sama dengan pemahaman Sdr. Tan mengenai Kekosongan ataupun angka 0. Saya tidak akan mengiyakan 0 itu adalah nihil dan juga tidak akan mengiyakan 0 seperti ada Buddha yang memancarkan maitri. Saya hanya mengatakan ada makna. Kata “ada” disini juga jangan disalahartikan dengan keberadaan inti kekal, atta, pancaskandha, ada proses memancar, manifestasi, dll. Secara kasarnya, jika ditanya apa yang ada? Ya Kekosongan itu sendiri.

Hanya demikian yang bisa saya sampaikan.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #879 on: 02 May 2009, 10:13:55 PM »
Bukannya ada itu adalah tiada dan tiada itu ada.
Ksng wujud dan wujud kosong.
Manifstasi nirvana bentuk adlah tanah suci sukhavati.
Manifestasi nirvana tanpa bntuk adlah keadaan batin bebas mutlak.
Manifestasi nirvana bukan tidak nihilisme adalah padamnya nafsu, lnyapnya lapisan kehidupan dan bntk2 karma.
Manifestasi nirvana bukan nihilisme adalah adanya aku sbgai penghuni sukhavati kekal yg brbahagia slama2nya.
Ada itu tiada, tiada itu ada.
Kosong itu wujud, wujud itu kosong. Dmikian pula halnya perasaan, pikiran, ingatan, dan kesadaran.
Maaf hanya pndapat, cmiiw.
CMIIW.FMIIW.

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #880 on: 02 May 2009, 10:54:21 PM »
Secara nihilisme (ucchedavada) adalah paham yang ditolak oleh Theravada. Demikian juga dengan eternalisme (sassatavada) juga merupakan paham ekstrim yang ditolak Theravada.

Secara pula pikiran pencapai nibbana pikirannya tidak terjangkau putthujana, dan demikian pula parinibbana, tidak ini itu bukan ini atau itu bukan kedua-duanya.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #881 on: 03 May 2009, 10:34:22 AM »
Kilas Balik.

Dari kesimpulan hasil diskusi selama ini.

1.Kaum non Mahayanis tidak dapat menjawab bahwa bila seorang Buddha parinirvana dan seluruh pancaskandhanya lenyap - TERUS TAK ADA APA2 LAGI YANG TERSISA, bukankah itu sama dengan nihilisme? Apakah mereka takut disebut kaum nihilis? Semoga tidak demikian halnya. :p

Nampaknya mas Tan kurang mengerti mengenai teori nihilisme, karena jawabannya panjang dan tadinya saya malas menulis terlalu panjang, itu alasan pertama.

Alasan kedua adalah karena saya menghindar untuk membandingkan antara Mahayana dengan ajaran lain. Dan hanya membandingkan ajaran Mahayana dengan ajaran Mahayana sendiri atau ajaran non Buddhis seperti Hindu. Tetapi karena mas Tan sendiri yang mengklaim bahwa Tipitaka ada di Mahayana (walaupun saya tidak beranggapan demikian). Jadi saya rasa saya tidak perlu sungkan-sungkan membandingkan Tipitaka dengan buku-buku Mahayana yang lain, karena bukankah Tipitaka Pali juga 99% sama dengan Tripitaka Mahayana? jadi hanya 1 diantara 100 yang berbeda. Jadi Saya tidak membandingkan T dengan M, karena T juga termasuk M menurut pemahaman mas Tan iya kan? 

dan ini saya terapkan khusus (hanya) bila bertanya dengan kritis terhadap mas Tan.  ;D

Pertama saya kutipkan pendapat Mahayana menurut Nagarjuna. Dikutip dari systems of Buddhistic thought Oleh Yamakami Sogen hal 18 (Bharatiya publishing house 1979). Supaya jelas kontradiksi kedua pandangan ini.

“’Tetapi sementara secara empati memelihara doktrin anatman, Buddha dan para Siswanya tidak pernah dalam ajarannya dan khotbahnya menolak kehadiran apa yang disebut empirical ego. Fakta ini telah di kemukakan dengan jelas oleh Nagarjuna dalam komentar terhadap Prajnaparamita sutra’, dimana ia mengatakan:
Sang Tathagata kadang-kadang mengajarkan  bahwa atman ada dan pada lain waktu Ia mengajarkan bahwa atman tidak ada. Ketika Ia mengajarkan bahwa atta ada dan merupakan sipenerima penderitaan atau kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya sebagai hasil dari karmanya sendiri, objeknya adalah untuk menyelamatkan manusia agar tidak jatuh kedalam paham nihilisme (ucchedavada).
Ketika Beliau mengajarkan bahwa tidak ada atman, dalam pengertian pencipta atau yang merasakan atau sesuatu substansi yang bebas, terlepas dari nama umum yang diberikan kepada ke lima pancaskandha, tujuannya adalah untuk menyelamatkan manusia gara tidak terjatuh pada pandangan yang berseberangan dengan nihilisme (Sasvatavada).’”


Ini Sebenarnya adalah pandangan plin-plan. Perhatikan cara penyampaiannya disini, jelas nampak seolah-olah Sang buddha adalah mahluk mendua yang kadang mengajarkan A, kadang mengajarkan B, tidak konsekuen. 
Hal lain yang jelas juga disini adalah: bahwa Nagarjuna (saya katakan bahwa ini pandangan Nagarjuna) berpandangan secara tidak langsung atman (atta) ada. Sebenarnya PANDANGAN NAGARJUNA ADALAH TERMASUK PANDANGAN SEMI ETERNALIS (Brahmajala Sutta ada membahas 62 pandangan salah dan pandangan Nagarjuna adalah salah satu diantaranya).
MEMPERSOALKAN ADA ATAU TIDAK ADA ADALAH SATU KOIN DUA SISI. adalah merupakan pandangan salah.
Sekarang kita bandingkan dan saya kutipkan pendapat dari Tipitaka.


Kaccayanagotta Sutta (SN XII.15) — To Kaccayana Gotta (on Right View)
Baca:  http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn12/sn12.015.than.html
Kaccayanagotta Sutta (SN XII.15) — To Kaccayana Gotta (on Right View)

“oleh dan banyak orang, Kaccayana, dunia ini didukung oleh (mengambilnya sebagai objek) sebuah polaritas, yaitu (pandangan) mengenai keberadaan dan ketiadaan. (existence & non-existence). Tetapi jika seseorang melihat asal mula dunia sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar, ‘ketiadaan (non-existence)’  yang berkenaan dengan dunia tak lagi muncul pada seseorang. Jika seseorang melihat penghentian dunia sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar, ‘keberadaan’ yang berhubungan dengan dunia (existence) tak lagi muncul pada seseorang.”“oleh dan banyak orang, Kaccayana, dunia ini terbelenggu oleh kemelekatan, keterikatan (makanan), & bias. Tetapi bagi mereka ini yang tak terlibat atau tak terbelenggu oleh keterikatan-keterikatan ini, perhatian yang terbelenggu (fixation of awareness), bias, atau obsesi, atau juga ia tak melekat pada pandangan ini ‘milikku diri.’ Ia tak memiliki keraguan atau ketidak pastian bahwa, penderitaan ketika timbul, dia timbul; penderitaan ketika tenggelam, dia tenggelam. Beginilah, pandangannya terlepas dari yang lainnya. Sejauh inilah, kaccayana, ada pandangan benar.
 “’Segala sesuatu ada’: Ini adalah satu pandangan ekstrim. ‘Segala sesuatu tidak ada ‘: ini adalah pandangan ekstrim kedua. Menghindari kedua pandangan ekstrim ini, Sang Tathagata mengajarkan Dhamma melalui jalan tengah: Dari ketidak tahuan sebagai sebab, muncullah bentuk-bentuk batin. Dari bentuk-bentuk batin sebagai sebab muncullah kesadaran. Dari keadaran sebagai sebab muncullah batin dan jasmani. Dari batin dan jasmani ……. (PATICCA SAMUPPADA)…..  Dari kelahiran sebagai sebab, kemudian umur tua & kematian, penderitaan, ratap tangis, kesakitan, stress, & putus asa muncul. Itulah asal mula seluruh bentuk penderitaan dan stress


Apakah cukup jelas?

Sang Buddha tak pernah terjebak pandangan eternalisme maupun nihilisme.... ;)
Menurut kitab suci Tipitaka Pali, Nagarjuna (yang berpandangan semi eternalisme) telah salah merepresentasikan Sang Buddha.
Sang Buddha tidak berpandangan eternalisme atau Nihilisme, tetapi Sang Buddha berpandangan sesuai dengan Paticca Samuppada  :P yaitu segala sesuatu yang muncul akan lenyap kembali.

Sebagai tambahan ini saya kutipkan sebagian dari Uttiya Sutta (AN.X no 95) :
Baca :  (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an10/an10.095.than.html)

 “Baiklah Yang Mulia Gotama,  apakah alam semesta terbatas… alam semesta tak terbatas… Jiwa dan tubuh adalah sama… Jiwa adalah suatu hal, dan tubuh adalah hal lain… setelah meninggal Sang Tathagata ada… Setelah meninggal Sang Tathagata tak ada… Setelah wafat Sang Tathagata ada dan tidak ada… Setelah meninggal Sang Tathagata bukan tidak ada juga bukan ada. Hanya ini yang benar, tetapi diluar ini tak berharga’?”
“Uttiya, Saya tak pernah menyatakan bahwa ‘Setelah wafat Sang Tathagata bukan tidak ada juga bukan ada: Hanya ini yang benar; yang lainnya tak berharga.’”
“Tetapi, Yang Mulia Gotama, pada waktu ditanya, ‘Apakah “alam semesta abadi: hanya ini yang benar yang lain tak berharga”?’ Anda mengatakan kepada saya, ‘Uttiya, Saya tak pernah menyatakan bahwa”Alam semesta abadi: hanya ini yang benar yang lain tak berharga.’” Pada waktu ditanya “Alam semesta tak abadi… Alam semesta terbtas…Alam semesta tak terbatas… Jiwa dan tubuh adalah sama… jiwa satu hal dan tubuh adalah hal lainnya… Setelah wafat seorang Tathagata ada… Setelah wafat seorang Tathagata tiada… Setelah wafat Tathagata ada dan tiada… Setelah wafat Tathagata bukan tidak ada juga bukan ada. hanya ini yang benar yang lain tak berharga”?’ Anda mengatakan kepada saya, Uttiya, Saya tak menyatakan bahwa “Sang Tathagata setelah wafat bukan tidak ada, juga bukan ada. hanya ini yang benar yang lain tak berharga.’” Lalu apa yang sudah dinyatakan?”

“Uttiya, Setelah mengetahuinya, Aku mengajarkan Dhamma kepada murid-muridku untuk memurnikan batin mahluk-mahluk, untuk mengatasi kesedihan dan ratapan, untuk lenyapnya penderitaan dan stress, untuk pencapaian metode benar & untuk mencapai kebebasan.”
“Dan, Yang Mulia Gotama, ketika telah mengetahui langsung (menembus), anda mengajarkan Dhamma kepada para siswa untuk memurnikan batin mahluk-mahluk, untuk mengatasi kesedihan dan ratap tangis, untuk melenyapkan penderitaan dan stress, untuk pencapaian metode benar & untuk mencapai kebebasan, akankah semua alam semesta terbebaskan, atau setengah atau sepertiga.?”Ketika ditanya begini, Sang Buddha diam.

Kemudian pikiran demikian muncul pada Y.A. Ananda: “jangan biarkan Uttiya si pengelana memiliki pandangan buruk bahwa,’Ketika saya menanyakan pertanyaan yang mencakup semuanya, Petapa Gotama bimbang dan tidak menjawab. Mungkin ia tak dapat menjawab. ‘(pandangan) ini akan membuat melukai dan membawa penderitaan baginya untuk waktu yang lama.” Lalu ia bertanya kepada Uttiya, “Jika demikian halnya, sahabat, Saya akan membuat perumpamaan, karena pada kasus kasus tertentu orang-orang yang cerdas dapat mengerti arti dari apa yang dikatakan.
“Uttiya, umpamanya ada benteng istana dengan parit-parit dan tembok-tembok pertahanan yang kuat, , hanya memiliki sebuah gerbang. Disana ada seorang penjaga gerbang yang bijaksana banyak pengetahuan dan kompeten menjagadan mengusir mereka yang tidak dikenalnya dan mengijinkan masuk mereka yang mengenalnya. Ia ronda mengelilingi jalanan di dalam kota, ia menjaga agar tak ada retakan atau celah yang cukup besar yang memungkinkan kucing bisa masuk. Walaupun ia tidak tahu bahwa ‘Demikian banyak mahluk yang telah masuk atau meninggalkan kota,’ ia tahu demikian; ‘ Mahluk besar manapun yang masuk atau keluar kota semua memasuki atau keluar dari gerbang ini.’
“Demikian juga dengan cara yang sama, sang Tathagata tidak berusaha agar seluruh alam semesta atau setengahnya atau sepertiga terbawa kearah pembebasan dengan Dhamma ini. Tetapi Ia tahu ini: ‘Semua yang telah terbebas, sedang dibebaskan, atau akan terbebas dari alam semesta, telah melakukannya, sedang melakukannya, atau akan melakukannya setelah mengatasi kelima ritangan batin – kekotoran-kekotoran dari kewaspadaan/kesadaran yang melemahkan pengertian – setelah memapankan batinnya dengan empat landasan perhatian, dan setelah mengembangkan, sebagaimana seharusnya, ketujuh faktor pencerahan. Jika anda bertanya kepada Sang Buddha pertanyaan ini, anda bertanya dari sisi yang lain. Itulah sebabnya Beliau tidak menanggapi.



Perhatikan Tipitaka Pali menjawab dengan telak spekulasi Nagarjuna (bahkan jauh sebelum Nagarjuna lahir) yang mendua, bahwa Sang Tathagata ada dan tidak ada atau Sang Tathagata bukan tidak ada tetapi juga bukan ada.Mas Tan karena mas Tan hanya memperdalam dari satu sisi, sehingga sulit mengerti mengenai ajaran pada sisi yang lain.

Seperti perumpamaan demikian: (harap diingat ini hanya perumpamaan)
Ada seseorang yang kecelakaan tertabrak jatuh hingga tak sadarkan diri. Kemudian seseorang berusaha menolong orang tersebut, setelah bangun alih-alih berusaha ramah terhadap orang itu, ia malah menuduh orang yang menolongnya itulah yang mencelakainya (moral story adalah: asumsi tak berdasar).

Apakah satu sisi itu? ajaran mengenai ada dan tidak ada (nihilisme dan eternalisme) atau tengah antara nihilisme dan eternalisme, atau tidak dua-duanya (bukan nihilisme dan bukan eternalisme).

Sang Buddha dalam Tipitaka Pali tidak mengajarkan hal itu, tetapi berdasarkan suatu pandangan yang samasekali berbeda, terlepas dari dualisme ada dan tidak ada.

Sisi yang lain yaitu:
YAITU : PRATITYA SRAMUTPADA.
Mohon jangan dibantah, bukankah kitab suci Tipitaka sama dengan kitab suci Tripitaka Mahayana?  ;D

untuk lebih jelasnya, baca kembali syair Sang Buddha ketika di Bodhgaya waktu baru mencapai penerangan sempurna, yaitu:

"Semua faktor-faktor pendukung dumadi (tumimbal lahir)telah dihancurkan, maka tak akan ada lagi kelahiran."


Quote
2.Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum karma nitya atau anitya. Apakah konsep anitya sendiri nitya atau anitya juga tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Padahal itu merupakan jawaban bagi kritikan kaum non Mahayanis terhadap Mahayana.

Mas Tan mari kita ke basic.. tolong jelaskan hukum karma menurut mas Tan apakah melingkupi mahluk hidup saja dan apakah melingkupi benda mati?

PERTANYAAN INI SANGAT SEDERHANA (TAK PERLU ADA SPEKULASI) TETAPI MAS TAN TAK BISA MENJAWAB, (ATAU TAK BERANI MENJAWAB.....? ? ? ? ?) ANAK SD SAJA BISA MENJAWAB PERTANYAAN INI  HEHEHE....

Quote
3.Saya kasih pertanyaan tambahan. Apakah Dharma sendiri nitya atau anitya? Kalau Dharma itu dikatakan anitya, bagaimana mungkin dengan mengandalkan Dharma kita bisa bebas dari anitya? Lha wong Dharmanya sendiri anitya bagaimana bisa membebaskan kita dari anitya?


Pertanyaan aneh.
Seperti pertanyaan : Bandung ada di Jawa Barat. Sekarang pertanyaan dibalik: apakah Jawa barat ada di Bandung? 

Dukkha termasuk Dharma, pertanyaan dibalik apakah Dharma bersifat dukkha?

Nien Fo adalah temasuk Dharma, apakah Dharma bersifat Nien Fo? 

Lari pagi supaya sehat adalah Dharma, Apakah Dharma adalah lari pagi? 

Aneh, sungguh aneh. (mas Hatred mode: on)  ;D

Perhatikan: sutta berikut:

Sabbe sankhara anicca
sabbe sankhara dukkha
Sabbe Dhamma anatta
.

perhatikan anicca dan dukkha diterapkan pada sankhara, tetapi tidak diterapkan pada Dhamma.
Semoga lain kali mas Tan mengajukan pertanyaan yang lebih berbobot dan tidak spekulatif seperti itu.

Metta,
« Last Edit: 03 May 2009, 11:03:36 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #882 on: 03 May 2009, 11:37:16 AM »

TL:

Nggak nyambung lagi. Hukum karma atau karma Niyama terjadi pada apa mas? terjadi pada mahluk hidup atau benda mati juga berlaku karma niyama?

TAN:

Karma niyama ya karma niyama. Jangan coba mengkaitkan dengan makhluk hidup atau makhluk mati. Saya tanya sebagai suatu niyama. Nitya atau anitya? Mohon jawabannya.

Sudah saya jawab diatas: hukum karma hanya berlaku dan valid hanya pada mahluk hidup, sewaktu mereka masih memiliki kelima kelompok kemelekatan (panca skandha). Bila kemelekatan terhadap panca skandha telah lenyap seluruhnya, maka karma niyama tak berlaku.

Quote
TL:

Coba jawab mas Tan :

Mahluk hidup punya kesadaran atau tidak ? ? ? 
Kesadaran itu anitya atau nitya ?

TAN:

Sudah saya jawab pada posting2 sebelumnya. Saya tentu tidak mau mengulang-ulang terus. Seratus kali Anda menanyakan pertanyaan ini. Seratus kali pula Anda akan mendapatkan jawaban yang sama dari saya: “Apakah anitya itu sendiri nitya atau anitya?”

Sudah saya jawab pada postingna no 882 diatas.

Quote
TL:

99% sama ya mas Tan?   

TAN:

Wah kok pakai wikipedia? Anda cek sendiri dari sumbernya donk. Saya tidak akan menanggapi kalau Anda pakai sumber wikipedia. Jawabannya saya tetap 99 % sama. Ingat 99 % bukan berarti bahwa “semuanya sama lho.” Pasti ada bedanya. Saya ga pernah bilang Abhidarma Sarvatisvara = Abhidhamma. Itu Anda sendiri yang bilang. Tetapi yang pasti dalam kanon Mahayana. Abhidhamma Pali juga ada.

99% berarti hanya satu yang berbeda diantara seratus, apakah saya salah secara matematis?;D
Mengenai tanggapan terhadap Wikipedia, saya serahkan pada pembaca, mau percaya tulisan mas Tan atau percaya Wikipedia   ^-^

Quote
TL:

Oh ya bagaimana dengan kutipan kitab suci Hindu tersebut, mirip atau tidak?
Terima kasih mas Tan, semoga mas Tan selalu berbahagia.

TAN:

Ohya bagaimana dengan konsep Tirthankara dalam agama Jain. Mirip atau tidak?

Terima kasih kembali. Semoga Anda selalu berbahagia. Amiduofo,

Tan

Mas Tan mengerti atau tidak pandangan causal effect/ sebab akibat/ pratitya sramutpada
ini kutipan ajaran jainism ( http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism#Doctrines ):

Jains believe that every human is responsible for his/her actions and all living beings have an eternal soul, jīva.
Jains beranggapan bahwa semua manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan semua mahluk hidup memiliki roh yang kekal, jiva.Apa mirip ?   ;D

Jains view God as the unchanging traits of the pure soul of each living being, described as Infinite Knowledge, Perception, Consciousness, and Happiness (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). Jains do not believe in an omnipotent supreme being, creator or manager (kartā), but rather in an eternal universe governed by natural laws
Jains beranggapan Tuhan/dewa sebagai sifat tak berubah dari jiwa yang murni setiap mahluk hidup, diterangkan sebagai pengetahuan tak terbatas, persepsi, kesadaran dan kebahagiaan (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). jain tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur, tetapi percaya alam semesta yang abadi yang diatur oleh hukum alam.
Mirip T atau mirip M  ;D

History suggests that various strains of Hinduism became vegetarian due to strong Jain influences
Berbagai aliran Hinduisme menjadi vegetarian karena pengruh kuat jainism. Mirip mana ?  ;D
tolong diperhatikan kita tidak mempersoalkan vegetarian benar atau salah, baik atau buruk.

Metta,





The truth, and nothing but the truth...

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #883 on: 03 May 2009, 04:29:14 PM »
Mohon maaf, jika saya baru sempat membalas saat ini.
1) Metta Bhavana bertujuan untuk mengakhiri kebencian yang ada di diri sendiri. Mengharapkan agar semua makhluk berbahagia itu artinya mengharapkan agar semua makhluk berbahagia saat ini dan kelak. Meskipun, tidak mungkin semua makhluk saat ini berbahagia. Perbedaannya adalah :
- Metta bhavana dilakukan dengan pikiran, identik dengan kata "semoga".
- Ikrar Bodhisattva dijalankan dengan perbuatan.
Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk dengan menolong semua makhluk adalah 2 kalimat dengan konteks yang berbeda. Dan konteks kalimat di Ikrar Bodhisattva ini tidak (atau belum) dapat dipertanggungjawabkan dalam bukti nyata.
Menurut saya bro upasaka, baik Metta bhavana maupun Ikrar Bodhisattva kedua-duanya dimulai dari pikiran. Kutipan-kutipan yang saya cantumkan dalam posting sebelumnya jelas-jelas mengatakan bahwa Ikrar bodhisattva adalah cara membangkitkan pikiran Bodhicitta.
Keduanya juga bro upasaka, dari pikiran yang terbangkit akan menuntun pada suatu tindakan. Metta Bhavana yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidaklah mungkin hanya kata “semoga” yang hanya merupakan harapan semu belaka.  Karena dalam membangkitkan Metta juga dibutuhkan tekad yang sungguh-sungguh dan tulus, sebagaimana dalam mengucapkan Ikrar Bodhisattva.
 Sebagai tekad yang sungguh-sungguh, metta bhava tidak pernah berhenti hanya pada kata-kata “semoga” saja melainkan juga akan tercermin dalam tindakan seorang meditator yang tidak ingin menyakiti makhluk lain dan benar-benar bertindakan untuk kebaikan semua makhluk hidup. Sama halnya dengan itu, sebagai tekad yang sungguh-sungguh, ikrar Bodhisattva akan tercermin juga dalam tindakan keseharian seorang calon Bodhisattva yang benar-benar mengharapkan semua makhluk terbebas dari samsara. Bahkan ikrar Bodhisattva itu sendiri adalah pancaran metta karuna.
Tidaklah tepat bro Upasaka, memisahkan antara pikiran yang dibangkitkan dengan tindakan yang dilakukan kelak. Setiap pikiran positif yang  berhasil dibangkitkan dengan sungguh-sungguh semuanya akan menghasilkan tindakan positif yang sama.

2) Tanpa menerapkan Ikrar Bodhisattva, sebenarnya setiap orang juga bisa menjalani penghidupan suci 'sambil' menolong makhluk lain. Justru penghidupan suci tidak akan membawa seseorang mencapai Nirvana jika orang itu tidak mengembangkan kebajikan. Sang Buddha mengajarkan sila, samadhi dan prajna, sebagai satu paket yang harus diaplikasikan untuk mencapai Pembebasan. Jadi Ikrar Bodhisattva hanyalah trademark semata. Namun pada hakikatnya, tekad itu bersifat universal; dan sebenarnya juga ada di Theravada.
Saya tidak setuju jika ikrar Bodhisattva disamakan dengan merk dagang (trademark/trade=dagang mark=tanda, atau merk), sebab di dalamnya tidak ada masalah untung dan rugi.  Semoga anda menyadari bahwa kata-kata ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap ikrar Bodhisattva.
Di luar semua ini, saya setuju jika tekad ini universal. Namun saya melihat hanya di Mahayana yang mengajak seseorang yang ingin mencapai Anuttara Samyak Sambodhi untuk terlebih dahulu melepaskan cita-cita dirinya untuk merealisasi nirvana, dengan cara mengutamakan makhluk lain. Dengan cara demikian, secara otomatis seseorang semakin dekat dengan realisasi nirvana, bukan menjauhinya. Dalam Theravada, tekad demikian bisa saja muncul, meski sangat tergantung pada individu masing-masing.  Oleh karena itu, Mahayana adalah jalan yang lebih terbuka dan menuntn semua orang tanpa peduli kapasitas dan kemampuannya. Setiap manusia dengan kemampuan dan keterbatasan apapun selalu dituntun dengan Ikrar Bodhisattva yang membantunya untuk merealisasi nirvana. Sedangkan dalam Theravada, kemampuan individual menjadi penting, karena semuanya tergantung pada kemauan dan kemampuan masing-masing.

3) "...pohon abadi Bodhicitta..."
    Ini salah satu contoh syair yang kurang saya terima. Entah apakah memang syair Mahayana lebih sering memakai gaya bahasa konotasi atau tidak, tapi saya melihat contoh kalimat di atas adalah kurang tepat. Mengapa disebut "abadi", padahal "pohon" yang dimaksud adalah "semangat / tekad". Bukankah "semangat / tekad" itu muncul karena ada faktor-faktor pendukung? Kalau begitu, sangat jelas bahwa "pohon" itu pun sebenarnya tidak abadi.
Ah, namanya saja syair Bro, selalu banyak menggunakan metafora. Jangan terlalu dilihat dari kacamata realis melulu.

4) Ya, saya memakai landasan realisme. ;D
    Contoh pandangan orang di abad 18 dan pandangan masyarakat saat ini di atas kurang mengena. Mari kita pakai analogi dalam akar Buddhisme...
   Anda berkata ada kemungkinan bahwa semua makhluk akan ditolong dan mencapai Pembebasan. Jika kesimpulan ini benar, maka secara langsung Hukum Pratitya Samutpada akan gugur. Kita tahu bahwa isi dunia ini berada dalam kondisi yang saling bergantungan. Ketika Anda menyatakan bahwa semua makhluk mampu merealisasi Nirvana sehingga samsara akan kosong, artinya ada satu fase di mana makhluk-makhluk tertentu tidak bergantung dengan yang lainnya. Maksudnya : Kalau samsara bisa kosong dari makhluk, berarti ada suatu masa dimana semua makhluk berada dalam keadaan yang kondusif untuk merealisasi Nirvana. Artinya semua makhluk saat itu akan menjadi Buddha, tidak ada lagi makhluk di alam menderita, tidak ada lagi kutu di tubuh seekor kucing, tidak ada lagi cacing dalam isi perut manusia, tidak ada lagi ganggang yang menjaga ekosistem perairan, dsb.

   Bukankah ini adalah skenario jauh di masa depan dari Ikrar Bodhisattva, yakni terbebasnya semua makhluk sehingga samsara jadi kosong? Kalau benar, berarti sekali lagi Hukum Pratitya Samutpada gugur. Samsara bergantung pada makhluk, dan makhluk juga bergantung pada samsara. Oleh karena itu, awal dan akhir samsara adalah tidak relevan untuk disimpulkan. Apalagi jika hal ini adalah sebagian dari visi-misi seorang Bodhisattva. Inilah yang belum bisa saya terima dengan akal sehat.
Bukankah hukum Pratitya Samutpada adalah hukum yang dirumuskan untuk dipecahkan rangkaian jika seseorang ingin merealisasi nirvana.  Anda keliru sama sekali ketika mengandaikan Pratitya Samutpada adalah suatu hukum objektif yang berdiri sendiri dan harus tetap ada meski subjek tidak ada. Sebaliknya, Pratitya Samutpada adalah ‘lingkaran setan’ yang muncul terus menerus antara faktor subjektif dan objektif yang terkait satu sama lain yang akhirnya menyebabkan seseorang terus terlempar dalam samsara.  Oleh karena itu, hukum Pratitya Samutpada itu sendiri adalah cerminan dari samsara itu sendiri. Jika samsara adalah ilusi debu duniawi, maka  Pratitya Samutpada tetap berputar juga disebabkan oleh ilusi debu duniawi. Jadi dengan hilangnya ilusi debu duniawi, maka patah pula rangkaian Pratitya Samutpada. Patahnya rangkaian tersebut yang menyebabkan seseorang menyadari hakikat sejati Pratitya Samutpada yang ilusif. Jadi jika semua makhluk lepas dari samsara, lalu apa gunanya hukum Pratitya Samutpada?
Di sinilah saya menilai anda menganut suatu realisme yang kebacut. Realisme dogmatis yang telah mendewa-dewakan paham tentang subjek dan objek yang terpisah secara absolut. Cara anda memahami Pratitya Samutpada di atas mencerminkan hal ini.  Anda memahami Pratitya Samutpada adalah sesuatu yang  nyata, bahkan HARUS tetap ada meski nirvana telah terealisasi. Hal ini mengandaikan seolah-olah Pratitya Samutpada adalah kenyataan mandiri yang terpisah sepenuhnya dari Nirvana. Jika memang demikian adanya, maka Nirvana yang anda pahami tidak lain dari suatu kondisi baru di luar kondisi-kondisi yang telah kita kenal. Padahal cara pandang demikian benar-benar keliru.

5) Bantuan seh bantuan. Tapi saya belum tahu jelas makna bantuan dari seorang Bodhisattva, karena selama ini belum ada yang mau menjelaskan lebih lanjut.
   Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
   
   Apakah benar...? Kalau benar, lantas apa bedanya dengan bantuan yang dapat diberikan oleh Kaum Theravadin?
Masalahnya bukan pada perbedaan ‘bantuan’ yang diberikan, namun lebih pada bagaimana CARA bantuan itu diberikan.  Bodhisattva memberikan bantuan dengan tetap mempertahankan kebijaksaan Prajna Paramita bahwa pada dasarnya “tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu, oleh karena itu tidak ada bantuan.” Jika seorang Theravadin juga mempertahankan pandangan demikian, maka baru dikatakan benar-benar tidak ada bedanya.

6) Dalam Theravada juga tidak ada unsur buru-buru atau tergesa-gesa. Semuanya kembali pada keputusan orang yang bersangkutan. Ada yang ingin segera merealisasi Nibbana karena kematangan batinnya dalam melihat penghidupan ini. Atau ada juga yang belum ingin segera merealisasinya, karena batinnya belum cukup matang.
Jadi di Theravada tidak ada pola wajib tak tertulis yang mengharuskan praktisi untuk menunda pencapaian Nibbana.

Pandangan  “semuanya kembali pada keputusan orang yang bersangkutan” demikian mencerminkan bagaimana para Theravadin kemudian dinilai terlalu hanya memperhatikan pencapaian individual belaka. Dalam Mahayana, pencapaian individual diabaikan dan sebagai gantinya adalah pencapaian universal semua makhluk. Oleh karena itu, Kereta Mahayana selalu siap menunggu membantu dan semua makhluk  untuk merealisasi nirvana tanpa pandan bulu. Adanya pembedaan antara yang matang batinnya dan tidak matang bantinnya adalah cermin dari pikiran yang masih diskriminatif. Dalam Mahayana, pembedaan demikian juga adalah tanda pikiran yang masih diselimuti debu.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #884 on: 03 May 2009, 09:01:14 PM »
Kutipan dari Mercedes:

Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat MELIHATNYA. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’

MERCEDES:

saudara Tan membaca Sutta itu bukan sepotong-sepotong, dan pahami makna-nya....
baca lah seluruh nya..^^

yang saya bold itu sudah menggambarkan seluruhnya....sedangkan mahayana?
oke lah katanya tidak dapat dilihat seperti gelombang elektromagnetik...^^

tapi entah dikalpa mana lagi beliau dapat dilihat bukan(sesuai sutra mahayana)....

buktinya saja dikatakan bahwa sebelum kehidupan bernama Gotama, ternyata Sangbuddha (entah apa namanya dulu) telah mencapai pencerahan sempurna jauh di kalpa sebelumnya.
sekarang "buddha gotama" ( kini ) dapat dilihat dengan mata bukan.......

jadi kalau mau mengutip sutta Theravada guna membenarkan argumen anda, sebaiknya anda selidiki dulu makna sutta itu. ^^


TAN:

Di Sutta ada disebutkan: Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’
Tetapi tidak disebutkan para dewa atau manusia dari kalpa mana. Jadi dengan demikian, tidak menutup kemungkinan di kalpa lain para dewa dan manusia masih dapat melihatnya. Teks Sutta tidak menambahkan frasa "di kalpa manapun." Selain itu, Sutta di atas ditujukan pada para dewa dan manusia di kalpa SEKARANG. Jadi saya sah-sah saja menganggap bahwa Buddha masih dapat "dilihat" di kalpa lainnya, kecuali teks Sutta menyebutkan "Di kalpa atau dunia manapun." Selama tidak ada kalimat itu adalah sah saya menafsirkan bahwa Buddha masih dapat dilihat di kalpa lainnya. Bukan begitu?

Amiduofo,

Tan