Topik Buddhisme > Meditasi

Abhidhamma & vipassana

(1/141) > >>

hudoyo:
Dari thread sebelah:


--- Quote from: willibordus on 29 July 2008, 10:08:22 AM ---
--- Quote from: hudoyo on 29 July 2008, 05:46:17 AM ---Maaf ya, Rekan Willibordus, saya mau lugas, mohon jangan dimasukkan ke dalam hati ... :)

--- End quote ---

Nggak apa2 Pak  :), selama diskusi di forum ini sy tidak pernah menganggap semua balasan secara personal... terlebih akhir2 ini setelah semakin banyak bertukar pikiran dengan rekan2 yg lain, sy merasa lebih terbuka dibanding dahulu dan juga, setiap pendapat yg berbeda, sy usahkan direnungkan dulu sebelum dibalas...
--- End quote ---

Syukurlah.


--- Quote ---
--- Quote ---Lalu, apakah Anda sekarang cukup belajar Abhidhamma saja tanpa melakukan vipassana? ... (Ngomong-ngomong, saya jadi berpikir, apakah kebanyakan pelajar Abhidhamma tidak menjalankan vipassana, yah? :) Kalau begitu Buddha-Dhamma itu dipelajari cuma sebatas teori saja dan diambil mana-mana yang "enak" untuk si aku saja. ...) ... Hidup ini singkat, dan Sang Buddha berkata, sangat sulit untuk terlahir sebagai manusia, apalagi terlahir sebagai manusia di zaman ada Buddha-Dhamma.

--- End quote ---

Sy belajar Abhidhamma secara formal hanya satu hari pertemuan Pak  ;D
Tapi apa yg sy dapatkan dari satu hari pertemuan itu telah berhasil mengubah pemahaman sy. Dan perenungan2 sy selanjutnya byk berbasiskan pengetahuan Abhidhamma sehingga sy bisa mengikis kebiasaan2 buruk sy. Mungkin Pak Hud juga mengetahui bahwa sy bisa cocok dgn Ajaran Buddha pada mulanya dikarenakan dukkha hebat yg sy alami saat dulu itu. Sy menganggap mengerti Abhidhamma seperti memahami cara kerja sebuah mesin, sehingga kita akan tau apa penyebab rusaknya dan bagaimana memperbaikinya. Banyak orang menyangka jika kita banyak berbicara dari segi Abhidhamma berarti kita bukanlah seorang meditator. Kenyataannya bukan begitu, sepanjang yg sy tau, banyak rekan2 sy yg melakukan meditasi rutin (juga sy sendiri). Memang, sy jarang membahas soal meditasi dikarenakan sangat sulit bertukar pikiran soal pengalaman meditatif, lebih tepat sasaran jika membahas masalah sehari2 dari segi analisis sistematis (Abhidhamma).
--- End quote ---

Syukurlah jika Abhidhamma bisa "mengikis kebiasaan2 buruk Anda". ... Saya sendiri tidak mendapat manfaat apa-apa sama sekali dari Abhidhamma yang pernah saya hafalkan beberapa puluh tahun lalu (Abhidhammattha-sangaha); bagi saya, Abhidhamma hanya merupakan pengetahuan pikiran (knowledge) yang menghalangi vipassana, yang justru mengamati pikiran dengan segala isinya sampai pikiran itu berhenti dengan sendirinya. ... Anda melakukan meditasi rutin? Meditasi apa, kalau boleh saya tahu? ...



--- Quote ---Kenapa sy bilang putthujana, karena memang sebatas yg bisa sy bahas hanyalah masalah sehari2 dan 'pemadaman ego'. Dari pengalaman selama ini banyak rekan (termasuk sy sendiri) yg bisa memecahkan masalah (penderitaan) sehari2 dengan menganalisisnya secara sistematis dan jarang yg akan terpecahkan masalah latent-nya dengan saran2 yg sejuk semata, misalnya: 'tersenyumlah' atau 'sadarilah' atau 'meditasi'lah.....
--- End quote ---

Masalah-masalah kehidupan duniawi memang dapat dan harus dipecahkan dengan pikiran (analisis dsb). Tapi masalah eksistensial (kenapa saya ada? mengapa semua ini dukkha? Apa penyebab dari dukkha? ... semua yang diajarkan oleh Sang Buddha) tidak bisa dipecahkan dengan analisis pikiran. ... Dukkha dan lenyapnya dukkha hanya dapat dipahami/dialami dengan memahami pikiran/aku itu sendiri di dalam kesadaran vipassana.

Di dalam khotbah-khotbah di kalangan umat Buddha sering kali dibangun kesan bahwa ada dinding pemisah atau jarak yang sangat jauh antara batin seorang puthujjana dan seorang ariya. Padahal di dalam kesadaran vipassana seorang puthujjana bisa mencapai padamnya aku (untuk sementara). Saya tidak melihat perbedaan antara padamnya aku seorang puthujjana dengan padamnya aku seorang arahat KECUALI yang tersebut pertama bersifat sementara dan yang tersebut terakhir bersifat permanen. Saya tidak membesar-besarkan perbedaan puthujjana dan ariya; bagi saya, yang ada hanyalah 'sadar' dan 'tidak sadar', sekalipun 'sadar' itu baru bersifat sementara bagi seorang puthujjana.



--- Quote ---
--- Quote ---Menanggapi pertanyaan Anda, memang betul, 'berhentinya pikiran' berarti 'melihat apa adanya' (yathabhutam nyanadassanam). 'Berhentinya pikiran' berarti pula 'mencicipi nibbana', kata alm. Buddhadasa Mahathera. Rasanya tidak berbeda dengan apa yang dialami oleh orang yang sudah bebas sepenuhnya (arahat), cuma di sini hanya berlangsung sementara.
--- End quote ---

IMO, Pak, banyak persamaan antara Abhidhamma dan Vipassana. Kedua2nya jika dipraktikkan akan sampai pada "Melihat apa adanya"... yg satu masuk melalui analisis sistematis (mengetahui cara kerja citta, mengamati dan akhirnya menyadari pada saat suatu niat tercetus, memang butuh praktik dan latihan yg intents juga), begitu juga dengan vipassana (pada praktik duduk diam mengamati gejolak batin apa saja yg timbul tanpa melekati-nya, dgn segala macam varian tekniknya... tapi tetap butuh latihan yg intents juga, sama saja). Jika keduanya digabung (pengetahuan analisis dan meditasi vipassana) maka bagi beberapa orang akan sangat membantu mengatasi persoalan hidupnya dan usaha pengembangan kualitas batinnya.
--- End quote ---

Pengalaman saya justru sebaliknya: Abhidhamma tidak kompatibel sama sekali dengan vipassana. Yang satu menggunakan pikiran sebagai instrumennya, yang lain justru mengamati pikiran itu sampai berhenti dengan sendirinya. Menurut saya, tidak mungkin orang mempelajari Abhidhamma dan menjalankan vipassana sekaligus; dia harus memilih salah satu.



--- Quote ---BTW, informasi2 yg Pak Hud berikan dan diskusi panjang lebar selama ini sangat bermanfaat bagi saya
--- End quote ---

Turut bermudita-citta.

Salam,
hudoyo

hudoyo:

--- Quote from: willibordus on 29 July 2008, 10:15:38 AM ---
--- Quote from: hudoyo on 29 July 2008, 05:51:26 AM ---
--- Quote from: ryu on 28 July 2008, 05:04:33 PM ---
--- Quote ---... Yg selayaknya dilakukan hanyalah menyadari segala sesuatunya saja secara polos. Tanpa rekayasa teori apapun!
--- End quote ---
Yang dibold kalo polos gitu apa nanti akan ada kebijaksanaan??
--- End quote ---

'Melihat apa adanya secara polos' ITULAH Kebijaksanaan (pannya). Pannya bukan pikiran.

--- End quote ---

Mungkin penjelasan berikut ini bisa membantu mempertemukan kesalahpahaman selama ini.

Sebagian menggunakan kata 'pikiran' = 'batin', sehingga Panna adalah pikiran juga, yakni suatu pikiran murni (kondisi batin yg terbebas dari vedana, terbebas dari perasaan suka/tidak suka). Selanjutnya, pendapat yg mengatakan 'pikiran' tidak bisa berhenti, menjadi wajar atas dasar sudut pandang ini, karena pikiran (citta/batin) selalu timbul lenyap, baik yg tercemari (perasaan dan persepsi) maupun yg murni.

Dan sebgian lagi menggunakan kata 'pikiran' untuk menjelaskan "suatu kondisi batin yg dicemari oleh perasaan dan persepsi". Sehingga Panna adalah suatu kondisi yg terbebas dari pikiran. Selanjutnya, pendapat yg menjelaskan bahwa 'pikiran berhenti' menjadi wajar, karena yg dimaksud 'berhenti' adalah pikiran yg telah tercemari, sedangkan citta murni masih tetap ada.

::

--- End quote ---

'Pikiran, berpikir' (thought, thinking) tidak bisa disamakan dengan 'batin' (mind). Dalam bahasa Inggris 'thought' dan 'mind' jelas berbeda. Dalam pemakaian bahasa Indonesia, orang sering mengacaukan 'pikiran' dan 'batin'. Pencampuradukan seperti itu justru mengacaukan pemahaman.

Menurut Mulapariyaya-sutta, proses 'pikiran' seorang puthujjana SELALU menciptakan aku/diri/atta. Sehingga secara praktis dapat dikatakan 'pikiran' adalah sinonim dengan 'aku'.

Mulapariyaya-sutta menegaskan bahwa tidak ada lagi 'pikiran' (yang menciptakan aku) dalam batin seorang arahat; ini bukan berarti batin arahat itu padam, pikirannya yang berhenti. Di situ ada kebijaksanaan (pannya) yang sejati.

"Kebijaksanaan" yang berasal dari pikiran adalah kebijaksanaan duniawi.

Salam,
hudoyo

Huiono:
Hmm...
Menarik sekali, Pak Hudoyo..
Saya sendiri pernah baca Abhidhamma dan mendapatkan 'pengetahuan' dari sana...
Itu memang memotivasi, membuat kita berpikir dan mencoba untu 'sadar' selama beberapa waktu...
Nah, ketika kita berhenti berpikir tentang apa yang kita pelajari/baca (mungkin lupa) maka disaat itu kita kembali pada rutunitas yang kacau balau...

Dan karena itu juga akhirnya saya tidak mau belajar Abhidhamma secara teori lagi... Karena menurut saya, teori akan cepat dilupakan (pengalaman pribadi dan saya lihat dari teman2 saya sendiri)... Dan memang benar, teori yang kita pelajari bisa dan akan menjadi konsep 'yang mengikat' kita... Membaca penjelasan-penjelasan Pak Hudoyo yang lain, saya sangat setuju dengan tanpa konsep, tanpa ikatan... Karena dengan konsep dan ikatan yang dijadikan pedoman, maka akan ada kesulitan untuk melepaskan konsep dan ikatan itu sendiri, meskipun ada orang yang bisa/mampu terbebas dari ikatan itu...

Menurut saya, Abhidhamma seharusnya langsung diperoleh/dipahami/didapatkan ketika seseorang telah sadar (tercerahkan). Dan itu, melalui Vipassana...
Tanpa Abhidhamma, sesorang tetap bisa melaksanakan Vipassana. Tetapi tanpa Vipassana, seseorang tidak bisa memahami Abhidhamma yang sesungguhnya.

Ps: Mohon koreksinya atas pemahaman saya yang masih berdebu.

Salam,
Huiono

andry:
IMO > dari teori kita mulai paham dan dapat mempraktekan.
namun mengenai hub abidama jeung pipasana..
no comment larr...

hudoyo:

--- Quote from: andry on 29 July 2008, 11:09:05 PM ---IMO > dari teori kita mulai paham dan dapat mempraktekan.
--- End quote ---

Memang begitu kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari: setiap perbuatan (tindakan) kita berasal dari pikiran kita, bukan? (Lihat Dhammapada 1,2) Apalagi tindakan yang bersifat canggih dan rumit, pasti dipikirkan masak-masak, dipertimbangkan lebih dulu, diambil keputusan, baru bertindak.

Tetapi kesadaran vipassana bukanlah kesadaran sehari-hari di mana kita bertindak dari pikiran. Kesadaran vipassana justru menyadari pikiran itu sendiri sampai pikiran itu diam dengan sendirinya, tanpa dibuat diam. Di situ tetap akan ada gerak, akan ada tindakan, tapi tindakan itu bukan berasal dari pikiran lagi, melainkan berasal dari SESUATU YANG LAIN.

Untuk bisa masuk ke dalam kesadaran vipassana, segala macam teori, segala macam agama, segala macam ajaran, segala macam jalan, termasuk JMB-8, hanya akan menjadi penghalang, dan harus disadari dan dilepaskan. Oleh karena itu, pada umumnya--dan ini terbukti dari pengalaman para peserta retret MMD selama ini--relatif lebih mudah bagi orang yang tidak mengenal "agama" Buddha untuk melaksanakan vipassana daripada orang yang sudah belajar "agama" Buddha dari sejak sekolah minggu kalau ia tidak sadar akan liku-liku pikirannya sendiri.

Silakan baca komentar Rekan Huiono di atas ini.

Salam,
hudoyo

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version