//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - ilalang

Pages: [1] 2 3 4
1
Diskusi Umum / EPILOGUE
« on: 19 October 2008, 12:18:36 AM »
Kata-kata tidak dapat menyatakan ajaran dengan baik. Kata-kata mungkin indah atau buruk, pandai atau bodoh, tiap orang dapat menerima atau menolak kata-kata dari ajaran itu. Tapi tujuan ajaran bukanlah menjelaskan dunia kepada orang yang haus akan pengetahuan. Tujuannya sangat berbeda. Tujuannya adalah pembebasan dari penderitaan. Itulah yang Sang Buddha ajarkan. Bukan yang lain.

Dalam kata-kata, tiap kebenaran lawannya adalah kebenaran yang sama. Sesuatu yang direnungkan dan dinyatakan dalam kata-kata hanya satu sisi kebenaran saja. Ketika Buddha yang Mahasempurna mengajarkan tentang dunia, ia harus menyelam ke dalam lautan kata-kata, ke dalam "samsara" dan "nibbana", ke dalam khayalan dan kebenaran, ke dalam kebahagiaan dan penderitaan.

Satu hal yang sangat jelas, ajaran itu sendiri tidak berisi; petunjuk itu tidak berisi rahasia yang dialami Sang Buddha sendiri.  Kesatuan yang sempurna dari ajaran Sang Buddha mau tidak mau akan terpecah lagi ketika kata-kata menyentuh kebenaran terakhir, yang tidak pernah ada sebelumnya, tak dapat dipertunjukkan dan dibuktikan: Nibbana.


Hendaknya umat Buddha menggunakan ajaran Sang Guru sebagai petunjuk untuk berjuang dengan penuh kesungguhan mencapai Nibbana, bukan untuk berpuas diri dengan pengetahuan agama.
 _/\_

2
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 19 October 2008, 12:08:07 AM »
semoga saya bisa ikut tercerahkan... _/\_
Rekan cham3leon, adalah penting untuk sadar sepenuhnya agar jangan terpukau oleh kata-kata. Keterangan-keterangan bisa menyilaukan dan menghalangi kita melihat apa adanya. Dalam hal ini menyelidiki dan menemukan sendiri, mengamati kehidupan adalah hal yang sangat penting.

3
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 19 October 2008, 12:05:48 AM »
Quote
Tidak ada yang mengharuskan Anda begitu. Sebaliknya saya melihat Anda sulit untuk mengakui pengalaman meditasi yang Anda rasa tidak sesuai dengan sutta-sutta atau kitab suci. CMIIW.

Saudara Ilalang nampaknya anda hanya dipenuhi oleh asumsi negatif terhadap Tipitaka, yang anda ukur berdasarkan pengalaman anda sendiri... sangat disayangkan anda mengharapkan orang sependapat dengan anda...

Bahkan berasumsi pengalaman saya berbeda dengan Tipitaka...? bila belajar sesuai dengan Tipitaka apa yang anda harapkan...? berbeda dengan Tipitaka? Please....

Coba perhatikan dari awal saya bergabung dengan forum ini, amati semua tulisan saya, adakah saya pernah mengatakan pengalaman saya berbeda dengan tipitaka...? atau mengisyaratkan hal itu...?

Maksud tulisan dalam huruf biru diatas adalah:
"pengalaman meditasi [orang lain]"; ...bukannya:
"pengalaman meditasi [Anda]"

Saya tidak pernah mempersoalkan pengalaman meditasi Anda, atau siapapun. Jadi harap jangan panik dulu. 
Kita sedang membahas meditasi orang lain, dalam hal ini meditasi saya bukan?  Anda yang menilai pengalaman meditasi saya, menilai tingkat-tingkat nyana, menguji dengan Paticcasamuppada, berapa lama saya meditasi, mengatakan saya bermimpi Nibbana, dst. Bahkan Mulapariyaya-Sutta digunakan untuk menghakimi orang lain. Untuk itukah Anda belajar Tipitaka? Maaf.
 
Saya sih tidak akan mengukur-ukur pengalaman meditasi orang seperti bayangan Anda. Sikap saya jelas. Tiap orang, Anda, rekan Markos, rekan Hendra, siapapun, akan memutuskan langkah dan jalannya masing-masing. Silahkan meneruskan sampai akhir. Jadi jangan khawatir saya akan men-judge macam pendeta keristen abad pertengahan di pengadilan inkuisisi.

Quote
Pertanyaan anda menyimpang dari pernyataan saya, Seorang yang mengalami Nibbana juga akan mengalami Empat Kebenaran Ariya.. serta paticcasamuppada... Itu bukan hanya teori... Bila belum mengalami berarti belum pernah merasakan Nibbana... tak mungkin melihat/mengalami Paticcasamupada bila  belum pernah mengalami Nibbana. Saya bicara praktek bukan teori..

Anda mengklaim bahwa putthujana pernah mengalami Nibbana tentu anda bisa menerangkan pengalaman Nibbananya bagaimana...?
Aneh, dimana saya bilang putthujana pernah mengalami Nibbana?
Yang didiskusikan adalah "mencicipi Nibbana", dan sudah saya jelaskan berkali-kali. Masalah Anda tidak bisa menerima istilah "mencicipi Nibbana", itu hak Anda. Bukan lantas memaksakan istilah "Nibbana" yang Anda anut kepada orang lain.

Quote
Apakah anda maksudkan anda pernah mengalami Empat Kebenaran Ariya dan paticcasamuppada? tolong diperjelas....
Kami belajar dari kearifan sungai dan hutan. Merekalah "pembimbing" kami. Di dalam belajar mengamati aliran sungai dan runtuhnya daun-daun, kami mungkin menemukan Kebenaran yang dirumuskan dalam kitab suci sebagai Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada. 

Quote
Anda punya pembimbing atau belajar sendiri..? bila anda punya pembimbing tanyakan kepada pembimbing anda. Hanya bila pembimbing anda menyatakan ia belum pernah mengalami baru bertanya kepada saya.
Anda menggunakan parameter Anda sendiri untuk menilai orang lain, dan ketika diminta penjelasan mengenai parameter Anda, Anda menghindar dengan alasan takut ditiru-tiru, malah menanyakan soal pembimbing dsb. Terus terang saya kesulitan mengikuti arah diskusi Anda.


Quote
Quote
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Saya tidak melihat arus diri, yang saya lihat adalah kelima faktor batin yaitu:
jasmani, kesadaran, ingatan/persepsi, perasaan dan bentuk-bentuk pikiran terus berproses dan saling berinteraksi.
Anda menyebutnya proses, kami menyebutnya arus. Kami belajar dari arus sungai yang mengalir, berubah tanpa henti, tidak ada yang menetap. Kami memahami jika orang tidak ingin arus sungai mengalir seperti apa adanya, maka dia akan sangat menderita. Jika orang memahami dan menerima sifat sungai yang berubah terus menerus,  terlepas dari suka dan tidak suka, maka dia akan bebas. Mengetahui secara langsung keberadaan arus ini, kosong akan aku yang kekal, adalah menemukan kebebasan.

Quote
Quote
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?
Maksud anda...? bila muncul dan layu, anak kecilpun bisa melihat itu...
Setiap saat hutan terus menerus memberikan ajarannya kepada kami. Daun berguguran dan kami menyapunya. Walaupun demikian, bahkan ketika sedang menyapu dan akhir dari jalan setapak telah dibersihkan, kami bisa melihat ke belakang, ke ujung jalan yang lain, dan menyaksikan daun-daun mulai berserakan menutupi jalan yang baru disapu tadi. Kehidupan kita bagaikan nafas, bagaikan daun yang tumbuh dan gugur. Jika orang bisa benar-benar memahami tentang daun yang berguguran, dia bisa menyapu jalan setiap hari dan menemukan kebebasan dalam dunia yang senantiasa berubah ini.

Bisakah kita memahami ini secara mendalam? Mengalami sendiri, melihat sendiri kebenaran yang begitu wajar dan sederhana. Dalam keheningan vipassana, selagi mengamati sungai yang mengalir dan helai daun yang berguguran...menyadari aku...yang adalah sungai itu dan daun itu...mengalir, lahir dan mati... menyadari bahwa akhir dari setiap hari adalah juga akhir dari diri kita setiap hari.

Quote
Oh ya, terima kasih atas postingan saudara markos jadi bisa langsung di copy paste kan... _/\_

Assutava Putujjana (1)
Orang-orang yg tergolong dalam kategori ini dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Ariyanam Adassari

Dunia di dalam dan di sekeliling kita selalu berada dalam dualitas, tidak pernah satu sisi. Tidak pernah seorang itu sepenuhnya suci atau sesat. Saya adalah orang sesat dan Anda juga orang sesat.  Tetapi suatu hari orang sesat ini akan menjadi Brahma lagi, suatu hari akan mencapai 'nibbana', suatu hari akan menjadi seorang Buddha.

Kini "suatu hari" itu adalah khayalan; karena kita menderita khayalan bahwa waktu itu adalah sesuatu yang nyata. Dalam keheningan meditasi, sangat mungkin untuk menghalau waktu, untuk melihat dengan seketika, masa kini dan masa lalu.

4
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 17 October 2008, 12:55:50 PM »
Quote
Sekali lagi mohon disadari bahwa kata-kata bukanlah yang dikatakan. Orang harus harus luarbiasa sadar jika tidak mau tersesat dalam kata-kata ketika mendiskusikan pengalaman meditasi, sekalipun kata-kata itu dinyatakan dalam sutta-sutta atau kitab suci.

Apabila pengalaman meditasi yang saya lakukan sesuai dengan kitab suci, apakah saya harus mengungkapkan sesuatu yang berbeda dengan kitab suci..?
Tidak ada yang mengharuskan Anda begitu. Sebaliknya saya melihat Anda sulit untuk mengakui pengalaman meditasi yang Anda rasa tidak sesuai dengan sutta-sutta atau kitab suci. CMIIW.


Quote
Dengan sangat menyesal harus saya katakan bahwa, mereka yang telah mengalami Nibbana akan mengalami proses tersebut (paticca samuppada), sedangkan yang tidak mengalami Nibbana maka ia tak akan melihat itu...
Tidak ada yang mengatakan bahwa orang yang mengalami Nibbana tidak mengalami/melihat Paticcasamupada.
Dan Anda belum menjawab pertanyaan saya:
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?

Quote
Tentu  Paticcca Samuppada dan empat kebenaran Ariya hanya merupakan teori bagi anda dan pembimbing anda, karena belum pernah mengalami. Tetapi bagi mereka yang pernah mengalami, itu bukan lagi teori ... tetapi itu adalah pembuktian yang sesungguhnya... dan itulah yang dimaksud dengan Ehipassiko....
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Silahkan Anda jelaskan berdasarkan pengalaman Anda.

Quote
Kelihatannya saudara Ilalang, menghindar dari apa yang saya ungkapkan... apakah saudara Ilalang atau pembimbing saudara Ilalang pernah melihat rasa sakit tanpa merasa sakit...?

Anda tidak melihat jawaban saya, tidak mengerti, atau jawaban saya tidak sesuai dengan yang Anda harapkan?
Saya katakan jika fenomena-fenomena [salah satunya rasa sakit] diamati terus menerus secara intens, maka semuanya akan terlihat timbul dan lenyap dengan cepat; begitu cepat hingga semua seperti langsung lenyap begitu diamati. Ini saya alami dalam meditasi, dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Saya katakan juga dalam meditasi vipassana saya tidak memusatkan perhatiannya pada satu obyek saja[/b], melainkan mengamati semua fenomena dari kelima arus diri. Dengan meningkatnya kesadaran, semua fenomena [termasuk rasa sakit] seolah-olah langsung lenyap begitu diamati. Dalam hal ini batin tidak terserap dalam fenomena rasa sakit, melainkan terus awas mengamati kelima fenomena arus yang muncul. Hal ini bisa dipahami  karena tidak ada pengamat sebagai subyek yang terpisah dari obyek pengamatannya.

Saya tidak mengerti pertanyaan Anda soal "pembimbing" saya, dan apa kaitannya dalam diskusi ini? Tapi OK-lah saya jawab: "pembimbing-pembimbing" saya tidak pernah merasakan sakit apapun!  Anda tahu siapa "pembimbing-pembimbing" saya?
[Clue: saya sudah ungkapkan siapa itu "pembimbing-pembimbing" saya dalam posting sebelumnya]  :-?

Quote
Sayang sekali saudara Ilalang saya harus membuyarkan mimpi indah anda yang, menganggap bahwa Nibbana bisa dialami oleh setiap orang yang berlatih meditasi Vipassana dua tiga hari...entah siapa yang mengatakan kepada anda demikian. Percayalah siapapun yang mengatakan demikian kepada anda pasti ia hanya berteori... tidak lebih.
Tidak ada yang mengatakan hal-hal di atas dalam diskusi ini. Saya rasa itu cuma asumsi pribadi yang Anda kenakan kepada saya. Jika tidak ingin diskusi kehilangan arah atau berubah menjadi debat kusir, saran saya lepaskan asumsi-asumsi Anda, atau Anda klarifikasikan kepada saya secara terbuka, dengan demikian kita bisa berdiskusi dengan lebih sehat.

Quote
Saudara Ilalang perlu berapa kalikah saya katakan bahwa Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada adalah pengalaman langsung yang dialami oleh seorang meditator Vipassana? bukan membaca buku...?
Kita sedang mendiskusikan soal Meditasi Vipassana, bukan soal membuat roket.
Let's put it this way:
Bisakah Anda menerima kenyataan bahwa seorang meditator Vipassana bisa mengalami Empat Kebenaran Ariya dan Paticcasamuppada tanpa mengetahui teorinya lebih dahulu?

Quote
Inilah sebabnya saya berani mengatakan bahwa anda "definitely" belum pernah merasakan Nibbana... demikian juga dengan pembimbing anda...
Seorang yang pernah mengalami Nibbana, mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada, itu pasti....
Saya tidak pernah mengatakan orang yg pernah mengalami Nibbana, tidak mengalami empat Kebenaran Ariya dan juga mengalami Paticcasamuppada.
Silahkan jawab pertanyaan saya:
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Quote
((("Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan tidak pernah melihat gunung sebagai bukan gunung...)))
Apakah kita sudah melihat gunung sebagai gunung?
Bukan gunung sebagai teori?

gunung=Paticcasamupada

5
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 16 October 2008, 09:21:18 PM »
Bolehkah saya tahu ini pendapat saudara atau pendapat kitab suci...? bila pendapat kitab suci tolong diberi rujukannya...
Itu pemahaman saya terkait topik "mencicipi Nibbana" dan kaitannya dengan "persepsi murni" seperti diuraikan dalam Mulapariyaya-Sutta.  Saya sudah katakan "mencicipi Nibbana" identik dengan "citarasa" PADA SAAT memasuki persepsi murni, dalam konteks ini saya tidak membedakan antara kesadaran makhluk hidup, sekha, arahat atau Buddha. Hanya jika kesadaran menurun hingga ke tahap "conceive things", maka mulai muncul dualitas aku dan bukan aku, subyek dan obyek, dan kesadaran akan kembali seperti puthujjana, yang terbiasa berpikir ini milikku, ini aku, ini diri-ku.

Sekali lagi mohon disadari bahwa kata-kata bukanlah yang dikatakan. Orang harus harus luarbiasa sadar jika tidak mau tersesat dalam kata-kata ketika mendiskusikan pengalaman meditasi, sekalipun kata-kata itu dinyatakan dalam sutta-sutta atau kitab suci.

 [at]  Sumedho
Mudah-mudahan ini menjelaskan maksud saya.

Quote
Nibbana yang bagaimana...? Nibbana yang sebenarnya berkaitan dengan Paticca Samuppada... yaitu ia mengalami Paticcasamupada...
Apa itu "mengalami Paticcasamupada"?
Dapatkah Anda melihat arus diri dalam sungai yang mengalir dari saat ke saat?
Dapatkah Anda memahami kematian dan kelahiran pada sehelai daun yang gugur?

Quote
Bila saudara Ilalang mampu melihat demikian, berarti saudara Ilalang mulai dapat terlepas dari Dukkha...Tetapi itupun belum berarti bahwa saudara Ilalang sudah mencapai Nibbana... itu hanya ibarat fondasi yang mulai kokoh... untuk mencapai Nibbana (magga-phala/Sotapanna) masih diperlukan perjuangan lebih jauh...
Rasa sakit adalah salah satu fenomena jasmani. Dalam meditasi yang diamati bukan hanya fenomena jasmani tetapi seluruh arus diri: jasmani dan batin, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk batin. Kelima arus diri ini adalah dukkha (Dhammacakkappavattana-sutta). Jika fenomena-fenomena ini diamati terus menerus secara intens, maka semuanya akan terlihat timbul dan lenyap dengan cepat; begitu cepat hingga semua seperti langsung lenyap begitu diamati.

Quote
Tolong diperjelas... (1) kebenaran yang mana yang dimaksud... ? kata-kata milik sendiri sudah tidak tepat... kata-kata yang lebih tepat adalah: kebenaran ada... atau kebenaran tidak ada di kitab suci... terus terang pada bagian ini saya tidak mengerti maksud saudara Ilalang... tolong diperjelas...
Anda mengatakan: untuk mencicipi Nibbana, orang harus mengalami Empat Kebenaran Mulia dan Paticca Samuppada, dan bisa menjelaskan/menjawab dengan baik setiap pertanyaan, dst. Tentu maksud Anda pengalaman dan penjelasan seperti yang tencantum dalam sutta-sutta atau kitab suci bukan?

Saya katakan tidak perlu. Jika orang dapat mengamati dirinya beserta seluruh fenomena secara tuntas dalam meditasi, dia tidak perlu semua pengetahuan itu untuk "mencicipi Nibbana". Dia akan melihat kebenaran mulia dari sehelai daun yang gugur, melihat arus diri di dalam sungai yang mengalir, serta memahami seluruh gerak kehidupan... tanpa perlu mengetahui rumusan Empat Kebenaran Mulia dan Paticca Samuppada versi sutta-sutta atau kitab suci, yang malah sering menjadi penghalang untuk dapat melihat fakta dengan jelas seperti apa adanya.


Quote
(((Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah...)))

Soal pandangan salah, saya jadi teringat cerita orang:

"Seorang murid Zen, sebelum berlatih, ia melihat sebuah gunung sebagai gunung,
setelah berlatih beberapa lama, ia melihat gunung bukan sebagai gunung,
setelah tercerahkan, ia melihat gunung sebagai gunung lagi"

Semoga kita semua terbebas dari pandangan salah, dan kembali melihat gunung sebagai gunung...

6
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 14 October 2008, 09:19:30 PM »
Dari terjemahan diatas terlihat bahwa tidak ada bedanya antara puthujana (umat awam dan sekha) yang berbeda hanya konsep... kelihatannya keduanya menurut saudara Ilalang bisa mencerap Nibbana...

Makhluk hidup dan para Buddha bukan hal berbeda. Bila kita selaras dengan kesadaran murni untuk sesaat, maka kita adalah Buddha untuk sesaat; dan bila kita selaras selaras dengan kesadaran murni dari saat ke saat, maka kita adalah Buddha-Buddha dari saat ke saat.

Quote
Sebenarnya bila seseorang telah mencicipi Nibbana maka ia akan mengalami juga berhentinya dukkha (selama mengalami Nibbana) sehingga dia menyelami Empat Kebenaran Ariya. Selain dari itu ia juga mengalami Paticca Samupada sehingga dia tahu dengan jelas kaitan semua itu dan dapat menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan... yang berhubungan dengan pencapaian itu....

Coba renungkan... mungkin kepada diri kita sendiri, sebelum meng-klaim bahwa kita telah mencicipi Nibbana, apakah saya "mengalami Empat Kebenaran Mulia?" dan apakah saya "mengalami Paticca Samuppada? / sebab musabab yang saling bergantungan...?" dan kalau memang pernah mengalami tentu tak akan kesulitan menjawab....

Seandainya Sang Buddha sendiri pun yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, Paticca Samupada, Mulapariyaya Sutta, dst, selama orang tidak melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, selama itu dia akan menjadi puthujjana.

Tetapi ketika orang mulai melihat kenyataan dukkha dalam dirinya, maka dia akan melihat Dhamma pada sehelai daun dan ribuan daun yang gugur, sungai yang mengalir, serta seluruh gerak kehidupan.

Jadi kebenaran bukan milik sutta atau kitab suci. Segala sesuatu di muka bumi ini, hidup, mati, muncul dan layu. Segala sesuatu mengalir dari saat ke saat, tanpa sesuatu pun yang menetap dan berpindah dari saat ke saat, seperti diri ini yang berproses didorong oleh kehausan dan ketidaktahuan, lahir dan mati. Untuk menangkap seluruh gerak kehidupan dibutuhkan kecerdasan yang bukan berasal dari pikiran, buku, kitab suci, atau pengetahuan. Selagi memandang daun yang jatuh, layu, mengering, lenyap terbawa angin, mungkin kita akan memahami, bagaimana sebenarnya kematian kita sendiri.

Quote
Pada tahap ini biasanya batin belum mampu melihat awal kemunculan bentuk-bentuk batin, hanya setelah muncul pada pertengahan baru menyadari, tetapi walau demikian kadang-kadang bisa juga menyadari awal kemunculan fenomena batin.

mengenai pengamatan murni tanpa subjek-objek dsbnya... coba cek dengan benar apakah saudara Ilalang memiliki kontrol penuh atas batin saudara...? coba alihkan untuk memperhatikan sesuatu yang lain... umpamanya keluar masuk napas...atau kembang-kempis perut... apakah saudara dapat mengikuti tanpa muncul pikiran, perasaan dll untuk waktu yang lama....?

Rekan Fabian,
Terima kasih atas saran Anda untuk meditasi saya. Soal tingkat-tingkat vipassana, mohon maaf saya sudah tidak peduli lagi dengan pencapaian apapun. Ada kalanya kegairahan, ketakutan, kesedihan, dan kebosanan, yang belum pernah terbayangkan sebelumnya muncul. Tapi pada akhirnya semua itu indah jika diamati secara wajar dan sederhana.
 _/\_

7
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 14 October 2008, 09:04:47 PM »
hanya dengan meditasi seseorang tidak akan terbebaskan ;D

meditasi merupakan salah satu bagian dari jalan mulia berunsur delapan dimana 7 jalan lainnya saling mendukung dan melengkapi dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan... ;D

Kalau keyakinan itu mendorong Anda untuk menempuh kedelapan ruas jalan itu secara bersamaan/simultan (istilah Anda: "satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan"), saran saya: lakukanlah... Jalankan meditasi sambil mengembangkan Sila, konsentrasi, dsb, tanpa menunggu yang satu harus matang dulu baru menjalankan yg lain.

Tapi kalau keyakinan Anda itu membuat Anda menunda meditasi, dengan alasan Sila harus mantap dulu dsb, saran saya hati-hatilah... Kemungkinan itu adalah akal-akalan aku/pikiran Anda yang licin, yang tidak ingin kebiasaan-kebiasaan, hasrat-hasrat, dan kenyamanannya terusik jika Anda bermeditasi.

8
Diskusi Umum / Melihat Mulapariyaya-Sutta dalam Meditasi
« on: 13 October 2008, 06:37:00 PM »
Sekadar klarifikasi, vipassana yang saya lakukan adalah sebagai berikut:

Kapanpun saat sedang sendirian dan merasa tidak perlu memutar otak (menganalisa, berkomunikasi, mengingat, dll), saya biasanya mulai dengan mengamati pikiran saya sendiri.  Saat menyadari akan gerak-gerik pikiran saya sendiri, jika kesadaran makin intens, biasanya akan terlihat PEMISAHAN antara si aku yang mengamati dan yang diamati, antara si aku yang berpikir dan pikirannya, antara yang mengalami dan pengalamannya, antara subyek dan obyek. Hingga suatu ketika akan terlihat bahwa PEMISAHAN itu adalah ILUSI. Dan yang tinggal hanya pengamatan murni, tanpa subyek tanpa obyek, tanpa masa lalu, tanpa waktu.

Itu saja meditasi vipassana yang saya lakukan. Dan ini saja saya rasa cukup buat saya. Saya tahu saya mungkin tidak akan pergi ke mana-mana; mungkin suatu saat saya hanya sekadar terbangun, dan menyadari bahwa semua ini hanya sekadar mimpi...

Catatan: saya tidak mengharapkan rekan-rekan mengerti apalagi menerima kata-kata saya di atas. Buat seseorang mungkin terdengar berharga dan layak untuk dilakukan, sementara buat orang lain tampaknya hanya omong kosong saja.
 _/\_

9
Praksis Dhamma berjalan melawan arah kebiasaan-kebiasaan (diri) kita, kebenaran berlawanan arah dengan hasrat-hasrat diri, sehingga orang biasanya selalu menemui kesulitan dalam praksis. Dan kebanyakan dari kita enggan untuk berada dalam keadaan sadar yang intens, karena hal itu dirasakan terlalu mengganggu. Kita cenderung melanjutkan kegiatan rutin, betapapun membosankan. Kita cenderung membentuk comfort zone masing-masing, dengan segala bentuk iming-iming yang sacred maupun yang profan, ketimbang berhadapan langsung dengan fakta dhukkha yang membentang di hadapan kita.

Namun betapapun saat ini orang merasa nyaman dalam kehidupannya, cepat atau lambat dia akan berhadapan dengan kenyataan dhukkha.  Dia akan menyadari bahwa penyebab dari penderitaan manusia itu tidak lain adalah dirinya sendiri: akunya, keinginannya, kemelekatannya, dsb.  Demikianlah "Dhamma hanya dapat diselami oleh mereka yang melihat dukkha di dalam dirinya". Jika orang benar-benar menyadarinya kenyataan dhukkha dalam PENGALAMAN EKSISTENSIAL, bukan hasil pelajaran atau pengetahuan AGAMA Buddha secara INTELEKTUAL,  maka saat itulah dia akan mulai mengerti Dhamma dan akan timbul tekad dalam dirinya untuk bebas dan mulai bermeditasi. Orang tidak harus jadi bhikkhu dulu,  dalam kehidupan sebagai perumah tangga juga bisa mencapai pembebasan. Kenapa menunda-nunda upaya mencapai pembebasan? Siapa tahu kita terlahir lagi di zaman dimana tidak ada ajaran Buddha sama sekali. Kenapa tidak mencapai Nibbana dalam hidup ini juga?

10
Diskusi Umum / Re: If Tomorrow never comes, what will we do ?
« on: 29 September 2008, 09:05:04 PM »
Belajarlah mati.
Orang jawa bilang "mati sajroning urip".
Belajar mati ini lain sekali dengan "belajar" yang biasa kita kenal, yang bersifat "mengumpulkan", "menimbun" pengetahuan/pengalaman. Untuk belajar mati orang justru harus "melepaskan". Kita tidak dapat melakukannya dengan terbebani pengetahuan/pengalaman terdahulu, atau dengan batin yang terkondisi, oleh karena kalau begitu kita tidak bisa "belajar mati"
Matilah akan segala sesuatu...itu bisa dipelajari dengan vipassana...

11
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 29 September 2008, 08:53:52 PM »
 [at] karuna / bond /indra

Terima kasih atas infonya soal Sekha.  Terkait topik "mencicipi Nibbana", keadaan batin seorang pemeditasi vipassana PADA SAAT  "mencicipi nibana" adalah sesuai dengan uraian Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta. PADA SAAT ITU hanya ada PERSEPSI MURNI.  Bedanya pada Arahat bersifat permanen, pada Sekha belum permanen.

Saya katakan PERSEPSI MURNI ini adalah IDENTIK dengan "mencicipi nibbana"  dan bisa dilatih dalam vipassana. Tidak harus jadi Sottapana atau Arahat dulu. Citarasa dari persepsi murni yang dikecap adalah sama walau hanya dalam sekejap. Menurut Buddhadasa yang sekejap itu durasi nya akan semakin panjang, semakin luas, dan frekuensinya semakin meningkat, sampai terdapat 'nibbana' sempurna..

Dalam diskusi ini saya jelaskan posisi saya dalam memahami "mencicipi nibbana" dengan menggunakan frame of reference Mulapariyaya-sutta. Menurut saya bisa dilatih dalam vipassana tanpa harus jadi Sottapana. Silahkan saja kalau ada pendapat yang berbeda.

Oh ya jangan khawatir saya akan "tersesat".... SELAMA setiap perasaan dan pikiran, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terus disadari, orang tidak akan pernah tersesat. Dan tidak perlu tuntunan siapa pun untuk melakukan itu. Justru saya akan mulai khawatir dan merasa tersesat kalau hanya berada di tingkat kata-kata dan mendiskusikan kualitas batin, oleh karena lalu kita tidak pernah dapat merasakan kualitas dari hal menakjubkan itu.
 
 [at]  Sumedho
Soal konsentrasi-mindfulness, itu sekadar pemahaman [verbalisasi] pengalaman meditasi, mohon dimaklumi kalau ternyata tidak nyambung dengan  metode analisa-nya "Magga-vibhanga Sutta".

12
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 29 September 2008, 08:44:31 PM »
Sekali lagi mohon deskripsi ini jangan dijadikan pegangan, sebagai konsep atau apapun.  Menurut saya sih kalau dibilang keadaan itu seperti keadaan orang yang bego/bodoh pun bisa aja. Atau bisa juga seperti keadaan bayi sebelum self-conciousnya tumbuh. Dalam keadaan PERSEPSI MURNI tanpa-aku itu tidak ada pengertian, konsep apa-apa sama sekali yang muncul dalam batin.

Apakah Anda masih berasumsi atau suatu pernyataan yg benar2 benar---> realita yg sebenarnya-->paramatha dhamma?

Menurut Mulapariyaya-sutta dalam batin seorang arahat (dan yg harus dilatih seorang sekha) hanya ada PERSEPSI MURNI. Dalam khanika samadhi, pada saat itu dan dari saat ke saat, hanya ada PERSEPSI MURNI.  Tentu dalam melatihnya tidak serta merta kondisi ini sempurna dalam durasi yg panjang, berbagai bentuk pikiran masih menyelinap diantaranya dikarenakan kesadaran yang menurun.

Soal orang bodoh atau bayi (childlike) mohon maaf kalau dirasa enggak nyambung. Maklum ilalang tidak mudeng dengan istilah kitab suci yang canggih-canggih, jadi lebih suka baca cerita silat atau novel. Makanya istilahnya kadang rada-rada aneh. Rekan-rekan yg pernah baca cerita silat KPH: "Bu Kek Sian Su" atau novel Herman Hesse: "Siddharta" tentu familiar dengan istilah-istilah nyeleneh tadi... :hammer:
[kapan-kapan saya akan tulis ulasan film Siddharta-nya Herman Hesse, sangat menggugah -p> highly recommended]

Tapi yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri kita sendiri. Gagasan apapun tentang itu bukan fakta, tapi fiksi. Saya mungkin percaya arahat begini begitu, tapi itu tetap fiksi. Untuk menemukan kebebasan, justru saya harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya.

13
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / KPH: Bu Kek Siansu dari Pulau Es
« on: 29 September 2008, 08:33:51 PM »
Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja, akan tetapi kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan, di mana adanya mereka!

Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Didalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu kemudian menariknya keluar dari daerah yang diamuk badai!

Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka.

Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan mendatangkan kesenagan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau menderita kesusahan. Tidak, cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih palsu yang kita punyai!

Pernah ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika perahunya diayun-ayun gelombang kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:

“Langit, Bulan dan Lautan
kalian mempunyai Cinta Kasih
namun tak pernah bicara
tentang Cinta Kasih!
Kasihanilah manusia
yang miskin dan haus
akan Cinta Kasih, bertanya-tanya
apakah Cinta Kasih itu?
Bilamana tidak ada ikatan
tidak ada pamrih dan rasa takut
tidak memiliki atau dimiliki
tidak menuntut dan tidak merasa memberi.
Tidak menguasai atau dikuasai
tidak ada cemburu, iri hati
tidak ada dendam dan amarah
tidak ada benci dan ambisi.
Bilamana tidak ada iba diri
tidak mementingkan diri pribadi,
bilamana tidak ada “aku”
barulah ada Cinta Kasih……..”


Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee Tok Siangkoan Houw, Lam Hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai. Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang banyak.


14
Baik dan buruknya perbuatan hanya tergantung orang yang menilai. Yang penting kau sadari pikiran yang pamrih itu, yang menimbang-nimbang [baik-buruk] pada saat munculnya.

“Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih.”

15
Diskusi Umum / Re: Seberapa jauh Nibbana?
« on: 28 September 2008, 11:23:42 AM »
 [at] sumedho

Bro ilalang, kalau tentang berhentinya pikiran itu *dalam mencicipi nibbana*, apakah itu jhana ke 2 *menurut sutta*
Soal Jhana 2, mohon maaf Bro, saya belom pernah ke jhana 2.  Tapi  denger-denger sih di sono enggak ada pikiran samasekali [applied/sustained thought], jadi kalo seorang sekha tiba disitu, barangkali keadaannya mirip saat dia menuju ke jhana 1 via khanika samadhi.

*kalau menurut visudhimagga, khanika samadhi itu dibawah jhana ke 1*
Ya khanika [vipassana] setara dengan upacara ]samatha] tapi mungkin "beda arah"...kalo via khanika aye ga jamin dia bisa nyampe ke jhana 1 apalagi jhana 2... Bukannya enggak ada jalan...jalan ada, tapi ga ada yang menempuhnya... :??

Setahu saya sih, perhatian dan konsentrasi itu bersama-sama saling mendukung.

pernyataan ini,
Quote
TIDAK ADA LAGI DUALITAS ANTARA MINDFULNESS DAN KONSENTRASI
sepertinya "membingungkan", bisa dijelaskan bro? *Tidak ada dualitas antara sati dan samadhi?, jadi apakah itu?*

Begini, sebelumnya kita harus paham dengan sangat jelas bahwa kata bukanlah apa yang dideskripsikan. Kata meditasi  bukanlah meditasi. Telunjuk bukan rembulan. Hakikat awareness/mindfulness pada dasarnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dengan pikiran, melainkan akan menjadi jelas dengan sendirinya dengan praktik.

Diskursus mengenai masalah ini dalam sejarah manusia merupakan "tumit Achilles" dari pemahaman manusia terhadap dirinya dan dunia. Kelemahan yang membuat para filsuf, ilmuwan, psikolog terhenti dalam upayanya menembus masalah kesadaran dan hanya berputar-putar diantara padang analisis dan rawa-rawa gelap metafisika.

Jadi kita harus luar biasa sadar kalau tidak mau tetap berada di tingkat verbal. Saya tidak menganggap meditasi sebagai sesuatu yang intelektual. Meditasi bukan sesuatu yang melambung tinggi, dan dengan demikian tidak punya arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalam hal ini komunikasi hanya bersifat menunjukkan "arah", tapi tidak bisa mendeskripsikan secara tuntas pengalaman itu sendiri.

***

KONSENTRASI menyiratkan mengarahkan pada sesuatu, mengamati [suatu 'OBYEK']. Ada suatu proses eksklusi [MENGESAMPINGKAN] dan resistensi terhadap semua yang di luar obyek. Jadi terdapat DUALITAS, si pengamat [SUBYEK] dan apa yang diamati [OBYEK]; si pemikir dan yang dipikirkannya; yang mengalami dan yang dialami.

Dalam MINDFULLNESS pada saat [1] Anda MENYADARI/PENUH PERHATIAN akan akan gerak-gerik pikiran Anda, maka saat itu juga [2] Anda akan melihat bahwa pemisahan [dualitas] itu adalah ilusi; [3] yang ada hanyalah OBSERVASI MURNI dimana subyek dan obyek menjadi satu. Si pengamat adalah yang diamati. Atau bisa juga dikatakan di dalam apa yang terlihat hanya ada yang terlihat... Tidak ada dualitas subyek-obyek. Dalam keheningan perhatian, batin mengamati, menyimak segala sesuatu; setiap bunyi, setiap gerak, setiap nuansa pikiran dan perasaan. Batin yang seperti itu tidak mempunyai batas [boundary] dan mampu BERKONSENTRASI tanpa MENGESAMPINGKAN. Tidak ada lagi dualitas antara mindfulnes dan konsentrasi.

Perhatikan bahwa keadaan [1], [2], dan [3], terjadi secara bersamaan dalam satu waktu, dan dari saat ke saat. Di sinilah biasanya pikiran/intelek kesulitan memahami karena seolah waktu menjadi tidak relevan. Sebaliknya buat pemeditasi vipassana keadaan ini bisa dirasakan dan akan menjadi jelas dalam praktik. Dhamma Sang Buddha adalah 'akaliko' [a-kala, timeless, tanpa waktu] artinya dapat diselami dan ditembus pada saat kini.

***

 [at]  karuna

Dalam Mula Pariyaya Sutta (Akar Fenomena), Buddha menjelaskan urutan proses pikiran dalam merespon stimulus(obyek), yang terjadi secepat kilat:
[1] mencerap obyek sebagai obyek
[2] muncul persepsi akan obyek
[3] muncul subyek (si aku) yang masih menyatu dengan obyek
[4] subyek memisahkan diri dari obyek
[5] subyek berelasi dengan obyek
[6] subyek melekat pada obyek

OBSERVASI MURNI terjadi saat proses pikiran terhenti pada tahap [1]. Dalam batin arahat, proses pikiran berhenti secara permanen pada tahap [1]. Tidak ada dualitas subyek-obyek. Ini yang harus dilatih dalam vipassana, dan menurut saya bisa dialami pemeditasi vipassana walau belum secara permanen.

 _/\_

Pages: [1] 2 3 4
anything