//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mahaparinibbana-sutta  (Read 6796 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Mahaparinibbana-sutta
« Reply #15 on: 02 July 2009, 06:59:54 PM »
Khotbah-khotbah Panjang
Sang Buddha
Digha Nikaya
Penerjemah:
Team Giri Mangala Publication
Team DhammaCitta Press
© DhammaCitta, 2009

DN 5-6

5.1. Sang Bhagavà berkata: ‘Ananda, mari kita menyeberangi Sungai Hira¤¤avatã dan pergi ke Hutan-sàl Malla di sekitar Kusinàrà.’412 ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab ânanda, dan Sang Bhagavà, bersama sejumlah besar bhikkhu, menyeberangi sungai dan pergi ke hutan-sàl. Di sana Sang Bhagavà berkata: ‘ânanda, siapkan tempat tidur untuk-Ku di antara pohon sàl-kembar ini dengan kepala-Ku mengarah ke utara. Aku lelah dan ingin berbaring.’ ‘Baik, Bhagavà,’ jawab ânanda, dan melakukan sesuai instruksi. Kemudian Sang Bhagavà berbaring pada posisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kaki-Nya di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan kesadaran jernih.

5.2. Dan pohon-sàl kembar itu menggugurkan banyak sekali bunga-bunganya yang mekar tidak pada musimnya, yang jatuh di atas tubuh Sang Tathàgata, menaburkan dan menyelimuti sebagai penghormatan. Bunga-bunga pohon koral surgawi jatuh dari angkasa, serbuk cendana surgawi jatuh dari angkasa, menaburkan dan menyelimuti tubuh Sang Tathàgata [138] sebagai penghormatan. Musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Sang Tathàgata.

5.3. Dan Sang Bhagavà berkata: ‘ânanda, pohon-sàl ini berbunga banyak tidak pada musimnya ... musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Tathàgata. Belum pernah sebelumnya, Tathàgata begitu dihormati, dipuja, dihargai, dan disembah. Akan tetapi, ânanda, para bhikkhu, bhikkhunã, umat-awam laki-laki atau perempuan mana pun juga yang mempraktikkan Dhamma dengan benar, dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma, ia telah memberikan penghormatan dan pemujaan tertinggi kepada Tathàgata. Oleh karena itu, ânanda, “Kita harus mempraktikkan Dhamma dengan benar dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma” – ini harus menjadi sloganmu.’

5.4. Saat itu, Yang Mulia Upavàõa sedang berdiri di depan Sang Bhagavà, mengipasi Beliau. Dan Sang Bhagavà menyuruhnya untuk bergeser. ‘Bergeserlah, bhikkhu, jangan berdiri di depan-Ku.’ Dan Yang Mulia ânanda berpikir: ‘Yang Mulia [139] Upavàõa telah lama menjadi pelayan Sang Bhagavà, berada di dekat Beliau, selalu datang saat dipanggil. Dan sekarang, di saat-saat terakhir, Sang Bhagavà menyuruhnya bergeser dan tidak berdiri di depan Beliau. Mengapakah Beliau melakukan hal itu?’

5.5. Dan ia menanyakan kepada Sang Bhagavà mengenai hal itu: ‘ânanda, para dewa dari sepuluh alam semesta telah berkumpul di sini untuk melihat Tathàgata. Dalam jarak dua belas yojana di sekeliling hutan-sàl milik para Malla di dekat Kusinàrà tidak ada ruang yang seluas sehelai rambut pun yang tidak ditempati oleh para dewa sakti, dan mereka mengeluh: “Kami datang dari jauh untuk melihat Sang Tathàgata, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna, muncul di dunia, dan malam ini pada jaga terakhir, Sang Tathàgata akan mencapai Nibbàna akhir, dan bhikkhu suci ini berdiri di depan Sang Bhagavà, menghalangi kami untuk menatap Sang Tathàgata untuk terakhir kalinya!”’

5.6. ‘Tetapi, Bhagavà, dewa apakah yang Engkau lihat?’ ‘ânanda, ada dewa-dewa angkasa yang batinnya melekat pada bumi, mereka menangis dan menjambak rambut mereka, mengangkat tangan mereka, [140] melempar diri mereka ke bawah dan berguling, meneriakkan: “Terlalu cepat Sang Bhagavà meninggal dunia, terlalu cepat Yang Sempurna menempuh Sang Jalan meninggal dunia, terlalu cepat Mata-Dunia lenyap!” dan juga ada para dewa-bumi yang batinnya melekat pada bumi, juga melakukan hal yang sama. Tetapi para dewa yang bebas dari kemelekatan, dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: “Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?”413’

5.7. ‘Bhagavà, sebelumnya para bhikkhu yang melewatkan musim hujan di berbagai tempat biasanya datang untuk menemui Sang Tathàgata, dan kita biasanya menyambut mereka sehingga para bhikkhu yang terlatih berkesempatan untuk menemui-Mu dan memberi hormat. Tetapi dengan wafatnya Bhagavà, kami tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal ini.’

5.8. ‘ânanda, ada empat tempat yang pemandangannya dapat membangkitkan emosi414 dalam diri mereka yang berkeyakinan. Apakah empat itu? “Tempat kelahiran Tathàgata” adalah yang pertama.415 “Tempat Tathàgata mencapai Penerangan Sempurna” adalah yang ke dua.416 “Tempat Tathàgata memutar Roda” adalah yang ke tiga.417 “Tempat Tathàgata mencapai unsur-Nibbàna tanpa sisa” adalah yang ke empat.418 [141] Dan, ânanda, para bhikkhu, bhikkhunã, umat-awam laki-laki dan perempuan yang berkeyakinan sebaiknya mengunjungi tempat-tempat tersebut. Dan siapa pun yang meninggal dunia saat mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan penuh ketulusan hati akan, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam surga.’

5.9. ‘Bhagavà, bagaimanakah kami harus bersikap dalam menghadapi perempuan?’ ‘Jangan melihat mereka, ânanda.’ ‘Tetapi jika kami melihat mereka, bagaimanakah kami harus bersikap, Bhagavà?’ ‘Jangan berbicara kepada mereka, ânanda.’ ‘Tetapi, jika mereka berbicara kepada kami, Bhagavà, bagaimanakah kami harus bersikap?’ ‘Lakukanlah dengan penuh perhatian, ânanda.’419

5.10. ‘Bhagavà, apakah yang harus kami lakukan dengan jenazah Sang Tathàgata?’ ‘Jangan mengkhawatirkan urusan pemakaman, ânanda. Engkau harus berusaha untuk mencapai tujuan tertinggi,420 kerahkan dirimu untuk mencapai tujuan tertinggi, latihlah pikiranmu tanpa lelah, dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan tertinggi. Ada para Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga yang penuh pengabdian kepada Sang Tathàgata: mereka akan mengurus pemakaman.’

5.11. ‘Tetapi, Bhagavà, apakah yang harus kami lakukan dengan jenazah Sang Tathàgata?’ ‘ânanda, jenazah Sang Tathàgata harus diperlakukan seperti jenazah para raja pemutar roda.’ ‘Dan, bagaimanakah itu, Bhagavà?’ ‘ânanda, jenazah para raja pemutar roda dibungkus dengan kain-rami baru. Kemudian ini dibungkus lagi dengan kain-katun. Kemudian ini dibungkus lagi dengan [142] kain baru. Setelah melakukan hal ini masing-masing sebanyak lima ratus kali, kemudian mereka memasukkan jenazah raja ke dalam tabung minyak dari besi,421 yang ditutup dengan kendi dari besi. Kemudian setelah membuat tumpukan kayu pemakaman dari berbagai kayu harum, mereka mengkremasi jenazah raja, dan mereka membangun stupa di persimpangan jalan. Itu, ânanda, adalah apa yang mereka lakukan dengan jenazah raja pemutar roda, dan mereka harus melakukan hal yang sama dengan jenazah Sang Tathàgata. Sebuah stupa harus dibangun di persimpangan jalan untuk Sang Tathàgata. Dan para umat-awam yang mempersembahkan bunga atau wangi-wangian dan warna- warna422 di sana dengan penuh ketulusan hati, akan memperoleh manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.’

5.12. ‘ânanda, ada empat orang yang layak dibuatkan stupa. Siapakah mereka? Pertama adalah Seorang Tathàgata, Arahat, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna. Ke dua adalah seorang Pacceka Buddha423. Ke tiga adalah seorang siswa Sang Tathàgata. Dan ke empat adalah seorang Raja Pemutar Roda. Dan mengapakah mereka layak dibuatkan stupa? Karena, ânanda, dengan berpikir: “Ini adalah stupa seorang Tathàgata, Pacceka Buddha, [143] seorang siswa Sang Tathàgata, seorang Raja Pemutar Roda,” hati orang-orang akan menjadi damai, dan kemudian, saat hancurnya jasmani setelah kematian, mereka akan pergi menuju alam yang baik dan muncul kembali di alam surga. Ini adalah alasannya, dan itu adalah empat individu yang layak dibuatkan sebuah stupa.’

5.13. Dan Yang Mulia ânanda pergi ke tempat tinggalnya424 dan berdiri meratap, bersandar pada tiang pintu.425 ‘Aduh, aku masih seorang pelajar yang masih harus melakukan banyak hal! Dan Sang Guru segera akan wafat, yang sangat berbelas kasihan kepadaku!’
Kemudian Sang Bhagavà bertanya kepada para bhikkhu di mana ânanda berada dan mereka memberitahu-Nya. Maka Beliau berkata kepada seorang bhikkhu: ‘Pergilah, bhikkhu, dan katakan kepada ânanda: “Sahabat ânanda, Guru memanggilmu.”’ [144] ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab bhikkhu itu, dan melakukan sesuai instruksi. ‘Baiklah, Sahabat,’ ânanda menjawab kepada bhikkhu tersebut, dan ia menghadap Sang Bhagavà, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi.

5.14. Dan Sang Bhagavà berkata: ‘Cukup, ânanda, jangan menangis dan meratap! Bukankah Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain. Jadi, bagaimana mungkin, ânanda – karena segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan – bagaimana mungkin hal itu tidak berlalu? Sejak lama, ânanda, engkau telah berada di sisi Sang Tathàgata, memperlihatkan cinta-kasih, sepenuh hati dan tidak terbatas, engkau telah mendapatkan banyak jasa. Berusahalah, dan dalam waktu singkat, engkau akan terbebas dari kekotoran.’426

5.15. Kemudian Sang Bhagavà berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, Semua Arahat Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna di masa lampau memiliki pelayan pribadi seperti ânanda, dan demikian pula para Buddha di masa depan. Para bhikkhu, ânanda memiliki kebijaksanaan. Ia tahu kapan saat yang tepat bagi para bhikkhu untuk menemui Sang Tathàgata, kapan saat yang tepat bagi para bhikkhunã, para umat-awam laki-laki, [145] bagi para umat-awam perempuan, bagi para raja, bagi para menteri, bagi para pemimpin aliran lain, dan bagi para murid mereka.’

5.16. ‘ânanda memiliki empat kualitas yang baik dan menakjubkan. Apakah itu? Jika sekelompok bhikkhu datang menemui ânanda, mereka gembira saat melihatnya, dan ketika ânanda membabarkan Dhamma, mereka gembira, dan ketika ia diam, mereka kecewa. Demikian pula halnya dengan para bhikkhunã, umat-awam laki-laki dan perempuan.427 Dan empat kualitas ini juga berlaku pada raja pemutar roda; jika ia dikunjungi oleh sekelompok Khattiya, Brahmana, perumah tangga, atau petapa, mereka gembira saat melihatnya dan ketika ia berbicara kepada mereka, dan ketika ia diam, mereka kecewa. [146] dan demikian pula halnya dengan ânanda.’

5.17. Setelah itu, Yang Mulia ânanda berkata: ‘Bhagavà, sudilah Bhagavà tidak wafat di kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Bhagavà, ada kota-kota besar lainnya seperti Campà, Ràjagaha, Savatthi, Sàketa, Kosambi, atau Vàràõasã. Di tempat-tempat itu, ada para Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga kaya yang penuh pengabdian kepada Sang Tathàgata, dan mereka akan melakukan pemakaman yang layak untuk Sang Tathàgata.’ ‘ânanda, jangan menyebut tempat ini kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana!’

5.18. ‘Suatu ketika, ânanda, Raja Mahàsudassana adalah seorang raja pemutar-roda, raja yang adil dan jujur, yang telah menaklukkan wilayah di empat penjuru dan memastikan keamanan wilayahnya, dan yang memiliki tujuh pusaka. Dan, ânanda, Raja Mahàsudassana ini membangun Kusinàrà ini, dengan nama Kusàvatã, sebagai ibu kota kerajaannya. Dan luasnya dua belas yojana dari timur ke barat, dan tujuh yojana dari utara ke selatan. Kusàvatã adalah negeri yang kaya, makmur [147] dan berpenduduk banyak, ramai oleh penduduk dan memiliki banyak persediaan makanan. Bagaikan kota dewa âëakamandà428 yang kaya, makmur dan berpenduduk banyak, ramai oleh yakkha dan memiliki banyak persediaan makanan, demikian pula kota kerajaan Kusàvatã. Dan kota Kusàvatã tidak pernah sepi dari sepuluh suara siang dan malam: suara gajah, kuda, kereta, genderang-bernada, genderang-samping, kecapi, nyanyian, simbal dan gong, dan teriakan, “Makan, minum, dan bergembiralah” sebagai yang ke sepuluh.’429

5.19. ‘Dan sekarang, ânanda, pergilah ke Kusinàrà dan umumkan kepada para Malla dari Kusinàrà: “Malam ini, Vàssettha,430 pada jaga terakhir, Tathàgata akan mencapai Nibbàna akhir. Datangilah Beliau, Vàsettha, dekatilah, agar kalian tidak menyesal kelak dengan mengatakan: ‘Sang Tathàgata meninggal dunia di wilayah kita, dan kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk menemui-Nya untuk yang terakhir kalinya!’”’ ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab ânanda dan, membawa jubah dan mangkuknya, ia pergi disertai seorang bhikkhu menuju Kusinàrà.’

5.20. Saat itu, para Malla dari Kusinàrà sedang berkumpul di aula pertemuan mereka untuk suatu urusan. Dan ânanda mendatangi mereka dan menyampaikan kata-kata Sang Bhagavà. [148]

5.21. Dan ketika mereka mendengar kata-kata ânanda, para Malla bersama putra-putra, menantu, dan istri mereka diserang kesedihan dan dukacita, batin mereka dikuasai oleh kesedihan sehingga mereka menangis dan menjambak rambut mereka .… Kemudian mereka semua pergi ke hutan-sàl di mana Yang Mulia ânanda berada.

5.22. Dan ânanda berpikir: ‘Jika aku mengizinkan para Malla dari Kusinàrà memberi penghormatan satu demi satu, malam akan berlalu sebelum mereka semuanya sempat memberikan penghormatan. Lebih baik aku mengizinkan mereka memberikan penghormatan satu keluarga demi satu keluarga, dengan mengatakan: “Bhagavà, seorang Malla ini bersama anak, istri, para pelayan, dan teman-temannya memberi hormat di kaki Bhagavà.”’ Dan demikianlah ia melakukannya, dan dengan demikian semua Malla dari Kusinàrà telah memberikan penghormatan dalam jaga pertama malam itu.

5.23. Dan pada saat itu, seorang pengembara bernama Subhadda sedang berada di Kusinàrà, dan ia mendengar bahwa Petapa Gotama akan mencapai Nibbàna akhir pada jaga terakhir malam itu. [149] Ia berpikir: ‘Aku telah mendengar dari para pengembara yang mulia, yang tua, guru dari para guru, bahwa seorang Tathàgata, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna, jarang muncul di dunia ini. Dan malam ini, pada jaga terakhir, Petapa Gotama akan mencapai Nibbàna akhir. Sekarang suatu keraguan muncul dalam pikiranku, dan aku yakin bahwa Petapa Gotama dapat membabarkan ajaran untuk menyingkirkan keraguanku itu.’

5.24. Maka Subhadda pergi ke hutan-sàl milik para Malla, ke tempat Yang Mulia ânanda berada, dan memberitahunya mengenai apa yang ia pikirkan: ‘Yang Mulia ânanda, izinkanlah aku menemui Petapa Gotama,’ tetapi ânanda menjawab: ‘Cukup, sahabat Subhadda, jangan mengganggu Sang Tathàgata, Sang Bhagavà lelah.’ Dan Subhadda memohon untuk ke dua dan ke tiga kalinya, tetapi ânanda tetap [150] menolaknya.

5.25. Tetapi Sang Bhagavà mendengarkan percakapan antara ânanda dan Subhadda, dan ia memanggil ânanda: ‘Cukup, ânanda, jangan halangi Subhadda, biarkan ia menemui Tathàgata. Karena apa pun yang ditanyakan Subhadda kepada-Ku, ia bertanya demi mencari pencerahan431 dan bukan untuk mengganggu-Ku, dan apa pun yang Kukatakan sebagai jawaban atas pertanyaannya, ia akan cepat memahaminya.’ Kemudian ânanda berkata: ‘Masuklah, sahabat Subhadda, Sang Bhagavà memberimu izin.’

5.26. Kemudian Subhadda mendekati Sang Bhagavà, saling bertukar sapa, dan duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Yang Mulia Gotama, semua para petapa dan Brahmana yang memiliki kelompok dan pengikut, yang menjadi guru, terkenal dan termasyhur sebagai pendiri sekte-sekte, dan dianggap sebagai orang suci, seperti Påraõa Kassapa, Makkhali Gosàla, Ajita Kesakambalã, Pakudha Kaccàyana, Sa¤jaya Belaññhaputta, dan Nigaõñha Nàtaputta – apakah mereka semua telah menembus kebenaran seperti yang mereka semua pahami, atau tidak seorang pun dari mereka [151], ataukah sebagian menembus dan sebagian lainnya tidak?’ ‘Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan, perhatikanlah baik-baik, dan Aku akan berbicara.’ ‘Baik, Bhagavà,’ Subhadda menjawab, dan Sang Bhagavà berkata:

5.27. ‘Dalam Dhamma dan disiplin apa pun di mana tidak ditemukan Jalan Mulia Berfaktor Delapan, tidak akan ditemukan petapa tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat.432 Tetapi petapa demikian, tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat dapat ditemukan dalam Dhamma dan disiplin Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Sekarang, Subhadda, dalam Dhamma dan disiplin ini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan ditemukan, dan di dalamnya dapat ditemukan petapa-petapa tingkat pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat. Dalam aliran-aliran lainnya tidak ada petapa-petapa [sejati]; tetapi jika di dalam yang satu ini, para bhikkhu hidup menjalani kehidupan sempurna, dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’

‘Pada saat usia-Ku dua puluh sembilan tahun
Ketika Aku pergi mencari kebaikan.
Sekarang lebih lima puluh tahun telah berlalu
Sejak hari Aku meninggalkan keduniawian
Berkelana di alam hukum kebijaksanaan
Yang di luarnya tidak ada petapa [152]
[pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat].
Aliran-aliran lainnya adalah mandul,
Tetapi jika para bhikkhu menjalani kesempurnaan,
Dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’433

5.28. Mendengar kata-kata ini, Pengembara Subhadda berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavà, sungguh indah! Ini bagaikan seseorang menegakkan apa yang telah terjatuh, atau menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam kegelapan, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat. Demikian pula, Bhagavà Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Dan aku, Bhagavà, berlindung kepada Bhagavà Yang Terberkahi, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku menerima pelepasan dari tangan Sang Bhagavà! Semoga aku menerima penahbisan!’

5.29. ‘Subhadda, siapa pun yang berasal dari sekte lain dan menginginkan pelepasan atau penahbisan dalam Dhamma dan disiplin ini, harus menunggu selama empat bulan dalam percobaan, dan di akhir dari empat bulan, para bhikkhu yang telah kokoh pikirannya434 akan memberikan pelepasan dan penahbisan menjadi bhikkhu. Akan tetapi, ada pengecualian dalam hal ini.’
‘Bhagavà, jika mereka yang berasal dari sekte lain harus menunggu empat bulan dalam percobaan, … aku akan menunggu bahkan sampai empat tahun, dan pada akhir waktu itu, sudilah memberikan pelepasan dan penahbisan kepadaku.’ Tetapi Sang Bhagavà berkata kepada ânanda: ‘Izinkan Subhadda melepaskan keduniawian.’ ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab ânanda.

5.30. Dan Subhadda berkata kepada Yang Mulia ânanda: ‘Sahabat ânanda, kalian sungguh beruntung, kalian ditahbiskan sebagai bhikkhu di hadapan Sang Guru.’ [153]

Kemudian Subhadda menerima pelepasan di depan Sang Bhagavà, dan penahbisan. Dan sejak saat ia ditahbiskan, Yang Mulia Subhadda sendirian, terasing, tanpa lelah, penuh semangat, dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga mulia yang meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini dengan pengetahuan-super yang ia miliki dan berdiam di sana mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’ Dan Yang Mulia Subhadda menjadi salah satu dari Para Arahat. Ia adalah siswa langsung terakhir dari Sang Bhagavà.435

[Akhir dari bagian pembacaan ke lima]
« Last Edit: 02 July 2009, 07:09:36 PM by Hendra Susanto »

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Mahaparinibbana-sutta
« Reply #16 on: 02 July 2009, 07:02:51 PM »
[154] 6.1. Dan Sang Bhagavà berkata kepada ânanda: ‘ânanda, engkau mungkin berpikir: “nasihat-nasihat Sang Guru telah tiada, sekarang kita tidak memiliki guru!” Jangan berpikiran seperti itu, ânanda, karena apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan disiplin akan, saat Aku tiada, menjadi guru kalian.’

6.2. ‘Dan sementara para bhikkhu memiliki kebiasaan memanggil satu sama lain sebagai “Teman,” kebiasaan ini harus dihilangkan setelah Aku meninggal dunia. Bhikkhu senior boleh memanggil bhikkhu yang lebih junior dengan nama mereka, atau marga mereka, atau “Teman”, 436 sedangkan bhikkhu yang lebih junior harus memanggil senior mereka dengan panggilan “Bhante”437 atau “Yang Mulia”.’438

6.3. “Jika diinginkan, Sangha boleh membatalkan peraturan-peraturan minor setelah Aku meninggal dunia.’439

6.4. ‘Setelah aku meninggal dunia, Bhikkhu Channa harus menerima hukuman-Brahma.’440 ‘Tetapi, Bhagavà, apakah hukuman-Brahma itu?’ ‘Apa pun yang diinginkan atau diucapkan oleh Bhikkhu Channa, ia jangan dihiraukan, ditegur atau dinasihati oleh para bhikkhu.’

6.5. Kemudian Sang Bhagavà berkata kepada para bhikkhu: ‘Mungkin, para bhikkhu, beberapa bhikkhu memiliki keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, Sangha atau terhadap Sang Jalan atau praktiknya. Tanyakanlah, bhikkhu! Jangan sesudahnya [155] merasa menyesal, dengan berpikir: “Sang Guru di sana di depan kita, dan kita tidak menanyakannya secara langsung!”’ Mendengar kata-kata ini, para bhikkhu berdiam diri. Sang Bhagavà mengulangi kata-katanya untuk ke dua dan ke tiga kalinya. Dan para bhikkhu tetap diam. Kemudian Sang Bhagavà berkata: ‘Mungkin, para bhikkhu, kalian tidak bertanya karena hormat kepada Sang Guru. Kalau begitu, para bhikkhu, silakan satu orang menyampaikannya kepada yang lain.’ Tetapi para bhikkhu tetap berdiam diri.

6.6. Dan Yang Mulia ânanda berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavà, sungguh menakjubkan! Aku jelas melihat bahwa dalam perkumpulan ini tidak ada seorang pun bhikkhu yang memiliki keragu-raguan ….’ ‘Engkau, ânanda, mengucapkan dari keyakinan.441 Tetapi Tathàgata mengetahui bahwa dalam perkumpulan ini tidak ada seorang pun bhikkhu yang memiliki keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, atau Sangha, atau terhadap Sang Jalan atau praktiknya. ânanda, yang paling rendah di antara lima ratus bhikkhu ini adalah seorang Pemenang-Arus, tidak dapat lagi jatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbàna.’

6.7. Kemudian Sang Bhagavà berkata kepada para bhikkhu: [156] ‘Sekarang, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian: Segala sesuatu yang berkondisi pasti mengalami kerusakan – berusahalah dengan tekun.’442 Ini adalah kata-kata terakhir Sang Tathàgata.

6.8. Kemudian Sang Bhagavà memasuki jhàna pertama. Dan meninggalkan jhàna itu, Beliau memasuki jhàna ke dua, ke tiga, ke empat. Kemudian meninggalkan jhàna ke empat, Beliau memasuki Alam Ruang Tanpa Batas, kemudian Alam Kesadaran Tanpa Batas, kemudian Alam Kekosongan, kemudian Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-Persepsi, dan kemudian meninggalkan alam itu, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.443
Kemudian Yang Mulia ânanda berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: ‘Yang Mulia Anuruddha, Sang Bhagavà telah meninggal dunia.’ ‘Belum, sahabat ânanda,444 Sang Bhagavà belum meninggal dunia, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.’

6.9. Kemudian Sang Bhagavà, meninggalkan pencapaian Lenyapnya Perasaan dan Persepsi, memasuki ke dalam Alam Bukan Persepsi dan juga bukan Bukan-Persepsi, dari sana Beliau memasuki Alam Kekosongan, Alam Kesadaran Tanpa Batas, Alam Ruang Tanpa Batas. Dari Alam Ruang Tanpa Batas, Beliau memasuki jhàna ke empat, dari sana masuk ke jhàna ke tiga, jhàna ke dua dan jhàna pertama. Meninggalkan jhàna pertama, Beliau memasuki jhàna ke dua, jhàna ke tiga, jhàna ke empat. Dan, akhirnya, meninggalkan jhàna ke empat, Sang Bhagavà akhirnya wafat.

6.10. Dan saat Sang Bhagavà wafat, terjadi gempa dahsyat, menakutkan dan menyebabkan merinding, disertai gemuruh halilintar. [157] dan Brahmà Sahampati445 mengucapkan syair ini:

‘Semua makhluk di dunia ini, semua jasmani pasti hancur:
Bahkan Sang Guru, yang tiada bandingnya di alam manusia,
Sang Bhagavà yang mahakuasa dan Buddha Yang Sempurna juga meninggal dunia.’
Dan Sakka, Raja para dewa, mengucapkan syair ini:
‘Semua yang tersusun adalah tidak kekal, cenderung muncul dan lenyap, Setelah muncul, akan hancur, kematiannya adalah kebahagiaan sejati.’446
Dan Yang Mulia Anuruddha mengucapkan syair berikut:
‘Tanpa nafas masuk dan keluar – hanya dengan hati yang teguh Sang Bijaksana yang bebas dari nafsu telah meninggal dunia menuju kedamaian.
Dengan batin tidak tergoyahkan, Beliau menahankan segala kesakitan:
Dengan Nibbàna, batin yang tercerahkan mencapai kebebasan.’
Dan Yang Mulia ânanda mengucapkan syair berikut ini:
‘Mengerikan gempa ini, menyebabkan merinding,
Ketika Buddha Yang Maha-Sempurna meninggal dunia.’

Dan para bhikkhu yang belum menaklukkan nafsu mereka menangis dan menjambak rambut mereka, mengangkat tangan mereka, menjatuhkan diri mereka dan berguling-guling, meneriakkan: “Terlalu cepat [158] Sang Bhagavà meninggal dunia, terlalu cepat Yang Sempurna menempuh Sang Jalan meninggal dunia, terlalu cepat Mata-Dunia lenyap!” Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari kemelekatan dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: ‘Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?’

6.11. Kemudian Yang Mulia Anuruddha berkata: ‘Teman-teman, cukuplah tangisan dan ratapanmu! Bukankah Sang Bhagavà telah mengatakan kepada kalian bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan indah pasti mengalami perubahan, pasti mengalami perpisahan dan menjadi yang lain? Jadi untuk apa semua ini, Teman-teman? Apa pun yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan, tidak mungkin tidak mengalami kerusakan. Para dewa, teman-teman, mengeluh.’

‘Yang Mulia Anuruddha, dewa apakah yang engkau lihat?’ ‘Sahabat ânanda, ada dewa-dewa angkasa yang batinnya melekat pada bumi, mereka menangis dan menjambak rambut mereka ... dan juga ada para dewa-bumi yang batinnya melekat pada bumi, juga melakukan hal yang sama. Tetapi para dewa yang bebas dari kemelekatan dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: “Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?” 6.12. Kemudian Yang Mulia Anuruddha dan Yang Mulia ânanda melewatkan malam itu dengan mendiskusikan Dhamma. Dan Yang Mulia Anuruddha berkata: ‘Sekarang pergilah, sahabat ânanda, ke Kusinàrà dan katakan kepada para Malla: “Vàseññha, Sang Bhagavà telah meninggal dunia. Sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk melakukan apa yang kalian anggap baik.”’ “Baik, Bhante,” jawab ânanda, dan setelah merapikan jubahnya di pagi hari dan membawa jubah dan mangkuknya, ia pergi bersama seorang bhikkhu menuju Kusinàrà. [159] Pada saat itu, para Malla dari Kusinàrà sedang berkumpul di aula pertemuan untuk suatu urusan. Dan Yang Mulia ânanda mendatangi mereka dan menyampaikan pesan dari Yang Mulia Anuruddha. Dan ketika mereka mendengar kata-kata Yang Mulia ânanda, para Malla ... diserang oleh kesedihan dan dukacita, pikiran mereka dikuasai oleh kesedihan sehingga mereka menjambak rambut mereka ....

6.13. Kemudian para Malla memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil wangi-wangian dan rangkaian bunga, dan mengumpulkan semua pemain musik. Dan dengan wangi-wangian dan rangkaian bunga, dan semua pemain musik, dan dengan lima ratus set kain, mereka pergi ke hutan-sàl di mana jenazah Sang Bhagavà berada. Dan di sana mereka memberi hormat, menyembah dan memuja jenazah Sang Bhagavà dengan tarian dan nyanyian dan musik, dengan karangan bunga dan wangi-wangian, membuat tenda untuk melewatkan hari itu di sana. Dan mereka berpikir: ‘Terlalu malam untuk mengkremasi jenazah Sang Bhagavà hari ini. Kita akan melakukannya besok.’ Dan demikianlah, dengan memberikan penghormatan demikian, mereka menunggu hingga hari ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam.

6.14. Dan pada hari ke tujuh, para Malla dari Kusinàrà berpikir: [160] ‘Kita telah memberikan penghormatan yang layak dengan nyanyian dan tarian ... kepada Jenazah Sang Bhagavà, sekarang kita akan membakar jenazah-Nya setelah membawa-Nya keluar melalui gerbang selatan.’ Kemudian delapan pemimpin Malla, setelah mencuci kepala mereka dan mengenakan pakaian baru, menyatakan: ‘Sekarang kita akan mengangkat jenazah Sang Bhagavà,’ tetapi mereka tidak mampu mengangkat-Nya. Maka mereka mendatangi Yang Mulia Anuruddha dan memberitahukan apa yang terjadi: ‘Mengapa kami tidak dapat mengangkat jenazah Sang Bhagavà?’ ‘Vàseññha, rencana kalian adalah satu hal, tetapi rencana para dewa adalah hal lain lagi.’

6.15. ‘Bhante, apakah rencana para dewa?’ ‘Vaseññha, rencana kalian adalah, setelah memberikan penghormatan kepada jenazah Sang Bhagavà dengan tarian dan nyanyian ..., membakar jenazah-Nya setelah membawa-Nya keluar melalui gerbang selatan. Tetapi rencana para dewa adalah, setelah memberikan penghormatan kepada jenazah Sang Bhagavà dengan tarian dan nyanyian surgawi ..., membawa-Nya melalui gerbang utara dan mengarak-Nya melalui tengah kota dan keluar melalui gerbang timur menuju Kuil Malla di Makuña-Bandhana, dan di sana membakar jenazah-Nya.’ ‘Bhante, jika itu yang dikehendaki para dewa, biarlah begitu!’

6.16. Pada saat itu, bahkan selokan dan tumpukan sampah di Kusinàrà tertutup oleh bunga-bunga pohon koral hingga setinggi lutut. Dan para dewa serta para Malla dari Kusinàrà memberi penghormatan kepada jenazah Sang Bhagavà dengan tarian, nyanyian manusia dan surgawi [161] ...; dan mereka membawa jenazah itu ke utara kota, membawa-Nya masuk melalui gerbang utara, melewati pusat kota dan keluar melalui gerbang timur menuju Kuil Makuña-Bandhana, di mana mereka menurunkan jenazah itu.

6.17. Kemudian mereka bertanya kepada Yang Mulia ânanda: ‘Bhante, bagaimana kami harus memperlakukan jenazah Sang Tathàgata?’ ‘Vàseññha, kalian harus memperlakukan jenazah Sang Tathàgata seperti mereka memperlakukan jenazah seorang raja pemutar-roda.’ ‘Dan bagaimanakah mereka memperlakukannya, Bhante?’
‘Vàseññha, jenazah itu dibungkus dengan kain-rami baru. Kemudian ini dibungkus lagi dengan kain-katun ...; kemudian setelah membuat tumpukan kayu dari berbagai jenis kayu harum, mereka mengkremasi jenazah raja dan mereka membangun stupa di persimpangan jalan ....’

6.18. Kemudian para Malla memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil kain-katun. Dan mereka memperlakukan jenazah Sang Tathàgata dengan semestinya .... [162]

6.19. Saat itu, Yang Mulia Kassapa Yang Agung447 sedang melakukan perjalanan di sepanjang jalan utama dari Pàvà menuju Kusinàrà bersama sejumlah besar bhikkhu. Dan meninggalkan jalan utama, Yang Mulia Kassapa Yang Agung duduk di bawah sebatang pohon. Dan seorang âjãvaka448 kebetulan sedang berjalan di sepanjang jalan menuju Pàvà, dan ia mengambil sekuntum bunga pohon-koral di Kusinàrà. Yang Mulia Kassapa melihatnya datang dari jauh dan berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, Sahabat, aku mengenal Beliau. Petapa Gotama meninggal dunia seminggu yang lalu. Aku mengambil bunga pohon-koral ini dari sana.’ Dan para bhikkhu yang belum menaklukkan nafsu mereka menangis dan menjambak rambut mereka ... tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari kemelekatan menahankan dengan penuh perhatian dan kesadaran jernih, dan berkata: ‘Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?’

6.20. Dan duduk di antara kelompok itu, adalah Subhadda,449 yang meninggalkan keduniawian dalam usia tua, dan ia berkata kepada para bhikkhu itu: ‘Cukup, Teman-teman, jangan menangis dan meratap! Kita telah bebas dari Sang Petapa Agung. Kita selalu disibukkan dengan nasihat-Nya: “Ini baik untukmu, ini tidak baik bagimu melakukan hal itu!” Sekarang kita dapat melakukan apa yang kita inginkan, dan tidak melakukan apa yang tidak kita inginkan!’
Tetapi Yang Mulia Kassapa Yang Agung berkata kepada para bhikkhu: ‘Teman-teman, cukuplah tangisan dan ratapan kalian! [163] Bukankah Sang Bhagavà pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan indah pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain? Jadi, untuk apa semua ini, teman-teman? Segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun, pasti mengalami kerusakan, tidak mungkin tidak mengalami kerusakan.’

6.21. Sementara itu, para pemimpin Malla, setelah mencuci kepala mereka dan mengenakan pakaian baru, berkata: ‘Kita akan menyulut api pemakaman Sang Bhagavà,’ tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Mereka mendatangi Yang Mulia Anuruddha dan menanyakan mengapa mereka tidak dapat menyalakan api. ‘Vàseññha, rencana kalian adalah satu hal, tetapi rencana para dewa adalah hal lain lagi.’ ‘Baiklah, Bhante, apakah rencana para dewa?’ ‘Vàseññha, rencana para dewa adalah sebagai berikut: “Yang Mulia Kassapa Yang Agung sedang dalam perjalanan dari Pàvà menuju Kusinàra bersama lima ratus bhikkhu. Api pemakaman Sang Bhagavà tidak akan dinyalakan sampai Yang Mulia Kassapa Yang Agung memberikan penghormatan dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavà.”’ ‘Bhante, jika rencana para dewa demikian, biarlah begitu!’

6.22. Kemudian Yang Mulia Kassapa Yang Agung pergi ke Kuil Malla di Makuña-Bandhana menuju tempat pemakaman Sang Bhagavà dan, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, merangkapkan tangannya memberikan penghormatan, mengelilingi tempat pemakaman tiga kali dan, membuka selubung kaki Sang Bhagavà, memberi hormat dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavà, dan lima ratus bhikkhu juga melakukan hal yang sama. [164] Dan ketika semua ini selesai, api pemakaman Sang Bhagavà menyala dengan sendirinya.

6.23. Dan ketika jenazah Sang Bhagavà terbakar, kulit, bawah kulit, daging, urat, atau cairan-sendi, semuanya lenyap dan bahkan tidak ada abu yang tersisa, hanya tulang-belulang450 yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak dibakar, tidak ada abu yang tersisa, demikian pula dengan jenazah Sang Bhagavà ..., hanya tulang-belulang yang tersisa. Dan seluruh lima ratus helai kain, bahkan lapisan terdalam dan lapisan terluar, habis terbakar. Dan ketika jenazah Sang Bhagavà habis terbakar, turun pancuran air dari angkasa, dan satu lagi memancar dari pohon-pohon-sàl451 memadamkan api pemakaman. Dan para Malla menuangkan air harum ke atas api itu untuk tujuan yang sama. Kemudian para Malla memberi penghormatan kepada relik-relik Sang Bhagavà selama seminggu di aula pertemuan, setelah membuat pagar dari tombak dan tembok dari busur, dengan tarian, nyanyian, karangan bunga, dan musik.

6.24. Dan Raja Ajàtasattu Vedehiputta dari Magadha mendengar bahwa Sang Bhagavà telah meninggal dunia di Kusinàrà. Dan ia mengirim pesan kepada para Malla dari Kusinàrà: ‘Sang Bhagavà adalah seorang Khattiya dan aku juga seorang Khattiya. Aku pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavà. Aku akan membangun Stupa besar untuk relik-relik itu.’ Para Licchavã dari Vesàlã mendengar, dan mereka mengirim pesan: ‘Sang Bhagavà adalah seorang Khattiya dan kami juga seorang Khattiya. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavà, dan kami akan membangun Stupa besar untuk relik-relik itu.’ Para Sakya dari Kapilavatthu mendengar, dan mereka mengirim pesan: ‘Sang Bhagavà adalah pemimpin suku kami. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavà, dan kami akan membangun Stupa besar untuk relik-relik itu.’ Para Bulaya dari Allakappa dan para Koliya dari Ràmagàma mengirimkan pesan yang sama. Dan Brahmana dari Veñhadãpa mendengar, dan ia mengirim pesan: ‘Sang Bhagavà adalah Khattiya, aku adalah Brahmana ...,’ dan para Malla dari Pàvà mengirim pesan: ‘Sang Bhagavà adalah seorang Khattiya dan kami juga seorang Khattiya. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavà, dan kami akan membangun Stupa besar untuk relik-relik itu.’

6.25. Mendengar semua ini, para Malla dari Kusinàrà berkata di tengah-tengah kerumunan, mengatakan: [166] ‘Sang Bhagavà meninggal dunia di wilayah kita. Kita tidak akan memberikan sedikit pun dari relik-relik Sang Bhagavà.’ Mendengar kata-kata ini, Brahmana Doõa berkata di tengah-tengah kerumunan dalam syair ini:

‘Dengarkan, Tuan-tuan, usulanku.
Kesabaran adalah ajaran Sang Buddha.
Tidaklah benar jika timbul perselisihan
Dengan membagi adil relik-relik manusia terbaik.
Marilah kita bergabung dalam kerukunan dan kedamaian,
Dalam persaudaraan membagi menjadi delapan:
Biarlah stupa didirikan di seluruh penjuru,
Sehingga semua dapat melihat – dan memperoleh manfaat dalam keyakinan!’
‘Baiklah, Brahmana, engkau bagilah relik-relik dari Sang Bhagavà sebaik dan seadil mungkin!’ ‘Baiklah, Teman-teman,’ jawab Doõa. Dan ia membagi rata menjadi delapan porsi yang adil, dan kemudian berkata kepada kerumunan itu: ‘Tuan-tuan, mohon berikan kepadaku kendi takaran ini, dan aku akan mendirikan stupa besar untuk ini.’ Dan mereka memberikan kendi takaran itu kepada Doõa.

6.26. Kemudian Moriya dari Pipphalavana mendengar bahwa Sang Bhagavà telah wafat, dan mereka mengirim pesan: ‘Sang Bhagavà adalah seorang Khattiya dan kami juga seorang Khattiya. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavà, dan kami akan membangun Stupa besar untuk relik-relik itu.’
‘Tidak ada lagi relik-relik Sang Bhagavà yang tersisa, semuanya telah dibagi. Jadi kalian boleh mengambil arang pembakaran.’ Dan mereka mengambil arang pembakaran.

6.27. Kemudian Raja Ajàtasattu dari Magadha membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan relik-relik Sang Bhagavà di Ràjagaha. [167] Para Licchavã dari Vesàlã membangun sebuah stupa besar di Vesàlã, para Sakya dari Kapilavatthu membangun sebuah stupa besar di Kapilavatthu, para Bulaya dari Allakappa membangun sebuah stupa besar di Allakappa, para Koliya dari Ràmagàma membangun sebuah stupa besar di Ràmagàma, Brahmana dari Veñhadãpa membangun sebuah stupa besar di Veñhadãpa, para Malla dari Pàvà membangun sebuah stupa besar di Pàvà, para Malla dari Kusinàrà membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan relik-relik Sang Bhagavà di Kusinàrà, Brahmana Doõa membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan kendi takaran relik, dan para Moriya dari Pipphalavana membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan arang pembakaran di Pipphalavana. Demikianlah, delapan stupa didirikan untuk relik-relik, yang ke sembilan untuk kendi takaran relik, dan yang ke sepuluh untuk arang pembakaran. Demikianlah hal ini dilakukan di masa lalu.452

6.28. Terdapat delapan porsi relik dari Beliau,
Yang Maha Melihat. Dari delapan ini, tujuh disimpan
Di Jambudipa dengan penuh hormat. Yang ke delapan
Di Ràmagàma di simpan oleh Raja Nàga.
Satu gigi di simpan oleh Tiga Puluh Tiga Dewa,
Raja Kalinga memiliki satu, para nàga juga.
Semuanya memancarkan keagungan di atas tanah yang subur.
Demikianlah Yang Maha Melihat dihormati oleh yang terhormat. [168]
Para dewa, nàga, raja-raja, dan orang-orang mulia
Merangkapkan tangan dalam penghormatan, karena sangat sulit
Menemukan tandingannya selama banyak kappa yang tidak terhingga.453
« Last Edit: 02 July 2009, 07:08:33 PM by Hendra Susanto »

Offline Xan To

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 481
  • Reputasi: 16
  • Gender: Male
Re: Mahaparinibbana-sutta
« Reply #17 on: 02 July 2009, 08:04:20 PM »
ehhmmm jadi gak ada yah  :-?