Pengembangan Buddhisme > Penerjemahan dan penulisan Teks Buddhisme

Dirgha Agama vol. 1

<< < (2/2)

seniya:
Lagi pangeran berpikir:

Setelah mengikuti atau dengan bergantung pada apakah proses kelahiran dan kematian muncul? Menyelidiki melalui pengetahuan analitis sebab dari kemunculan ini, aku melihatnya sebagai berikut: Mengikuti kelahiran (jāti) muncullah usia tua dan kematian. Kelahiran adalah kondisi sebab dari usia tua dan kematian (jarāmaraṇa). Kelahiran muncul mengikuti penjelmaan (bhava); penjelmaan adalah kondisi dari kelahiran. Penjelmaan muncul mengikuti kemelekatan (upādāna); kemelekatan adalah kondisi dari penjelmaan. Kemelekatan muncul mengikuti ketagihan (tṛṣṇā); ketagihan adalah kondisi dari kemelekatan. Ketagihan muncul mengikuti perasaan (vedanā); perasaan adalah kondisi untuk ketagihan. Perasaan muncul mengikuti kontak (sparśa); kontak adalah kondisi dari perasaan. Kontak muncul mengikuti enam landasan indera (ṣaḍāyatana) [yaitu, indera penglihatan, pendengaran, pembauan, pengecapan, sentuhan, dan pemikiran]; enam landasan indera adalah kondisi dari kontak. Enam landasan indera muncul mengikuti nama dan bentuk (nāmarūpa); nama dan bentuk adalah kondisi dari enam landasan indera. Nama dan jasmani muncul mengikuti kesadaran (vijñāna); kesadaran adalah kondisi dari nama dan bentuk. Kesadaran muncul mengikuti bentukan (saṃskāra); bentukan adalah kondisi dari kesadaran. Bentukan muncul mengikuti ketidaktahuan (avidyā). Sehubungan dengan kebenaran kemunculan bergantungan (pratītyasamutpāda) yang sebelumnya, ketidaktahuan adalah kondisi dari bentukan. Demikianlah, bergantung pada ketidaktahuan, muncullah bentukan. Bergantung pada bentukan, muncullah kesadaran. Bergantung pada kesadaran, muncullah nama dan bentuk. Bergantung pada nama dan bentuk, muncullah enam landasan indera. Bergantung pada enam landasan indera, muncullah kontak. Bergantung pada kontak, muncullah perasaan. Bergantung pada perasaan, muncullah ketagihan. Bergantung pada ketagihan, muncullah kemelekatan. Bergantung pada kemelekatan, muncullah penjelmaan. Bergantung pada penjelmaan, muncullah kelahiran. Bergantung pada kelahiran, muncullah usia tua, penyakit, kematian, dukacita, ratapan, penderitaan, dan kesakitan. Kelompok unsur kehidupan ini yang adalah penderitaan itu sendiri muncul berdasarkan pada kelahiran. Ini disebut kelompok sebab akibat penderitaan.

Ketika Bodhisattva merenungkan kelompok sebab akibat penderitaan ini, muncul dalam dirinya pengetahuan, penglihatan (cakṣus), kesadaran, kebijaksanaan, pengetahuan, dan realisasi.

Kemudian Bodhisattva berpikir lagi:

Dengan ketiadaan apakah aku dapat mengatakan bahwa tidak ada lagi usia tua dan kematian? Dengan lenyapnya apakah usia tua dan kematian lenyap? Menyelidiki sebab lenyapnya ini melalui pengetahuan [analitis], aku melihatnya sebagai berikut: Ketika kelahiran tidak ada, tidak ada lagi usia tua dan kematian; dengan lenyapnya kelahiran, usia tua dan kematian lenyap. Ketika penjelmaan tidak ada, tidak ada lagi kelahiran; dengan lenyapnya penjelmaan, kelahiran lenyap. Ketika tidak ada kemelekatan, tidak ada lagi penjelmaan; dengan lenyapnya kemelekatan, penjelmaan lenyap. Ketika tidak ada ketagihan, tidak ada lagi kemelekatan; dengan lenyapnya ketagihan, kemelekatan lenyap. Ketika tidak ada perasaan, tidak ada lagi ketagihan; dengan lenyapnya perasaan, ketagihan lenyap. Ketika tidak ada kontak, tidak ada lagi perasaan; dengan lenyapnya kontak, perasaan lenyap. Ketika tidak ada enam landasan indera, tidak ada lagi kontak; dengan lenyapnya enam landasan, kontak lenyap. Ketika tidak ada nama dan bentuk, tidak ada lagi enam landasan indera; dengan lenyapnya nama dan bentuk, enam landasan indera lenyap. Ketika tidak ada kesadaran, tidak ada lagi nama dan bentuk; dengan lenyapnya kesadaran, nama dan bentuk lenyap. Ketika tidak ada bentukan, tidak ada lagi kesadaran; dengan lenyapnya bentukan, kesadaran lenyap. Ketika tidak ada ketidaktahuan, tidak ada lagi bentukan; dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap.

Ini berarti bahwa dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap. Dengan lenyapnya bentukan, kesadaran lenyap. Dengan lenyapnya kesadaran, nama dan bentuk lenyap. Dengan lenyapnya nama dan bentuk, enam landasan indera lenyap. Dengan lenyapnya enam landasan indera, kontak lenyap. Dengan lenyapnya kontak, perasaan lenyap. Dengan lenyapnya perasaan, ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan, kemelekatan lenyap. Dengan lenyapnya kemelekatan, penjelmaan lenyap. Dengan lenyapnya penjelmaan, kelahiran lenyap. Dengan lenyapnya kelahiran, usia tua, kematian, dukacita, ratapan, penderitaan, dan kesakitan batin lenyap.

Ketika Bodhisattva merenungkan lenyapnya kelompok sebab akibat penderitaan, muncul dalam dirinya pengetahuan, penglihatan, kesadaran, kebijaksanaan, pengetahuan, dan realisasi. Pada waktu itu, Bodhisattva merenungkan rantai sebab akibat berunsur dua belas (pratītyasamutpāda) sesuai dengan jalan pemenuhan menuju terjadinya fenomena dan juga sesuai dengan jalan yang berlawanan menuju lenyapnya fenomena. Dalam kedua proses ini, ia dengan demikian menyempurnakan jalan tertinggi mengetahui hal-hal sebagaimana adanya dan melihat hal-hal sebagaimana adanya. Pada satu tempat duduk di mana ia duduk itu, Bodhisattva merealisasi pencerahan sempurna, yang tertinggi.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Berikut adalah ajaran yang diajarkan di hadapan para bhikkhu –
Dengarkanlah hal ini dengan seksama.
Ketika Bodhisattva dari masa lampau
Menyelidiki Dharma yang belum pernah dipelajari,
Ia bertanya:
“Bergantung pada kondisi apakah dan pada sebab apakah
Usia tua dan kematian muncul?”
Setelah menyelidiki hal itu dengan cara yang benar,
Ia menyadari bahwa awal mulanya adalah dari kelahiran.
“Bergantung pada kondisi apakah atau pada sebab apakah
Kelahiran berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara demikian,
Ia menyadari bahwa kelahiran muncul
Bergantung pada penjelmaan.
Dengan menggenggam ini atau menggenggam itu,
Penjelmaan diperkuat dan
Menjadi semakin kuat dari satu [tahap] ke [tahap] lainnya.
Karena penguatan ini,
Sang Tathāgata menjelaskan bahwa penjelmaan
Muncul bergantung pada kemelekatan.
Bagaikan tumpukan sampah kotor di atas permukaan air (yaitu, kelompok unsur kehidupan)
Mengapung di atas arus yang didorong oleh tiupan angin (yaitu, keinginan dan kemelekatan yang kuat)
Demikian juga kemelekatan
Menjangkau jauh dan luas
Melalui kekuatan ketagihan yang kuat.
Ketagihan ini muncul bergantung pada perasaan,
Awal mula semua jala penderitaan,
Kesakitan dan kenikmatan masing-masing berkembang sesuai dengan
Kekuatan kemelekatan.
“Bergantung pada apakah dan dalam apakah
Perasaan berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara ini,
Ia menyadari bahwa perasaan muncul bergantung pada kontak.
“Bergantung pada apakah dan dalam apakah
Kontak berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara ini,
Ia menyadari bahwa kontak
Bergantung pada enam landasan indera.
“Bergantung pada apakah dan dalam apakah
Enam landasan indera berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara ini,
Ia menyadari bahwa enam landasan indera
Muncul bergantung pada nama dan bentuk.
“Bergantung pada apakah dan dalam apakah
Nama dan jasmani berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara ini,
Ia menyadari bahwa nama dan bentuk
Muncul bergantung pada kesadaran.
“Bergantung pada apakah dan dalam apakah
Kesadaran berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara ini,
Ia menyadari bahwa kesadaran
Muncul bergantung pada bentukan
“Bergantung pada apakah dan dalam apakah
Bentukan berawal mula?”
Setelah berpikir dengan cara ini,
Ia menyadari bahwa bentukan
Muncul bergantung pada ketidaktahuan.
Kemunculan bergantungan yang sebelumnya disebut “sebab sejati.”
Ketika seseorang menyelidiki hubungan sebab akibat
Melalui pengetahuan mendalam dan cara bijaksana,
Ia dapat memahami akar kemunculan bergantungan.
Penderitaan bukanlah suatu hasil para bijaksana,
Ataupun ia ada tanpa sebab dan kondisi,
Fenomena penderitaan adalah tunduk pada perubahan, dan
Karenanya ia adalah objek yang dapat diakhiri atau
Dilenyapkan oleh para bijaksana.
Ketika ketidaktahuan lenyap,
Tidak ada bentukan.
Ketika bentukan tidak ada,
Tidak ada kesadaran.
Ketika kesadaran lenyap,
Tidak ada nama dan bentuk.
Ketika nama dan bentuk telah lenyap,
Tidak ada enam landasan indera.
Ketika enam landasan indera lenyap,
Tidak ada kontak.
Ketika kontak lenyap,
Tidak ada perasaan.
Ketika perasaan lenyap,
Tidak ada ketagihan.
Ketika ketagihan lenyap,
Tidak ada kemelekatan.
Ketika kemelekatan lenyap,
Tidak ada penjelmaan.
Ketika penjelmaan lenyap,
Tidak ada kelahiran.
Ketika kelahiran lenyap,
Tidak ada kelompok penderitaan,
Seperti usia tua dan kematian.
Keseluruhan kumpulan penderitaan lenyap selamanya.
Sebab akibat dari kemunculan bergantungan berfaktor dua belas,
Seperti yang diajarkan oleh para bijaksana, sangatlah mendalam.
Sulit untuk dilihat, dan sulit untuk diketahui.
Sang Buddha sendiri sepenuhnya memahami
Jalan di mana hal-hal
Muncul melalui kebergantungan pada yang lain, dan
Di mana hal-hal lenyap melalui ketiadaan yang lain.
Jika seseorang sepenuhnya menyelidiki keterkaitan sebab akibat ini,
Tidak akan muncul enam landasan indera.
Siapa pun yang melihat sebab akibat dari kemunculan bergantungan sepenuhnya
Tidak akan mencari seorang guru.
Ia akan sepenuhnya terbebaskan
Dari nafsu dan ketagihan sehubungan dengan kelompok unsur kehidupan,
Unsur-unsur, dan landasan-landasan indera.
Ia layak menerima semua jenis persembahan dan
Membalas kedermawan sang pendana.
Jika seseorang memperoleh empat pengetahuan analitis (yaitu, tentang Dharma, makna, bahasa, dan penjelasan)
Ia akan mencapai kepastian yang tidak tergoyahkan,
Akan dapat bebas dari semua ikatan, dan
Ketika telah memadamkannya,
Tidak akan mengendur [karena] apa pun.
Lima kelompok unsur kehidupan, yaitu,
Bentuk, perasaan, persepsi,
bentukan, dan kesadaran,
Bagaikan sebuah kereta tua.
Ketika seseorang merenungkan hal ini dengan penuh perhatian,
Ia akan dapat merealisasi pencerahan sempurna
Bagaikan seekor burung terbang di tengah udara
Sesuai dengan [arah] angin timur dan barat.
Bodhisattva dapat mengakhiri
Belenggu berbagai kekotoran
Bagaikan angin yang bertiup melalui jubah yang ringan
Menggugurkan debunya
Buddha Vipaśyin sedang berdiam di suatu tempat yang terpencil dan
Merenungkan hal-hal yang sebelumnya [disebutkan], yaitu,
“Bergantung pada kondisi apakah
Usia tua dan kematian muncul?” dan
“Bergantung pada sebab apakah ia lenyap?”
Setelah berhasil menyelesaikan
Perenungannya tentang hal-hal ini,
Ia merealisasi pengetahuan yang benar dan sejati.
Ia merealisasi bahwa usia tua dan kematian
Muncul bergantung pada kelahiran.
Tetapi ketika kelahiran lenyap,
Usia tua dan kematian juga lenyap.

Ketika Buddha Vipaśyin pertama kali menyempurnakan sang jalan, ia seringkali berdiam dalam dua jenis pencapaian meditatif: pertama, pencapaian meditatif dalam keadaan kedamaian dan ketenangan; dan kedua, pencapaian meditatif dari pembebasan.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Dengan tiada yang menyamainya,
Sang Tathāgata sering berdiam dalam dua jenis pencapaian meditatif:
Pencapaian meditatif dari kedamaian dan ketenangan serta pencapaian meditatif dari pembebasan.
Sang Bijaksana menyeberang menuju pantai di sana dan
Membebaskan pikirannya dengan mengakhiri semua kekotoran.
Menaiki puncak gunung,
Ia melihat ke semua arah.
Karenanya ia disebut Vipaśyin.
Cahaya pengetahuan mulia melenyapkan kegelapan
Bagaikan cahaya yang bersinar sendiri melalui sebuah cermin yang memantulkannya.
Ia melenyapkan dukacita dan kesakitan bagi semua orang
Dengan memadamkan penderitaan kelahiran, usia tua, dan kematian.

Buddha Vipaśyin, di tempatnya yang terpencil, berpikir lagi:

Walaupun aku telah menyempurnakan Dharma yang tertinggi ini, karena Dharma ini adalah mendalam dan mulia, sulit bagi orang-orang biasa untuk memahami dan sulit bagi mereka untuk melihat. Dharma ini adalah hening, murni dan sejati; ia hanya dapat diketahui oleh seseorang yang berpengetahuan mendalam, dan karenanya tidak dapat dicapai oleh orang biasa mana pun atau orang bodoh. Orang-orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam kesabaran, pandangan yang berbeda dalam berbagai hal, tanggapan yang berbeda pada persepsi, dan praktek yang berbeda-beda. Karenanya, mereka mengarah pada hal-hal dan tujuan yang mereka sukai, masing-masing menyibukkan diri pada apa yang biasa ia lakukan. Karena hal ini, mereka tidak dapat memahami kebenaran yang mendalam dari kemunculan bergantungan ini, ataupun mereka tidak dapat memahami nirvana adalah lenyapnya ketagihan. Bahkan jika aku berusaha mengajarkan Dharma ini, mereka tentu saja tidak hanya akan gagal memahaminya tetapi juga, sebaliknya, akan semakin jengkel melalui kehadiran kontak (yaitu, mendengarkan Dharma).

Setelah berpikir dengan cara ini, ia seketika kembali berdiam diri dan tidak berusaha mengajarkan Dharma kepada siapa pun.

Kemudian dewa Brahmā, yang mengetahui bahwa Tathāgata Vipaśyin telah berpikir [demikian], segera berpikir:
Sangat disayangkan bahwa orang-orang dunia ini sekarang kebingungan menuju kehancuran. Walaupun Buddha Vipaśyin dapat merealisasi Dharma yang mendalam ini, ia tidak berkecenderungan untuk mengajarkannya kepada orang-orang.

Dalam sekejap, secepat seorang yang kuat membengkokkan tangannya dan meluruskannya, Brahmā turun dari istana surgawinya dan berdiri di hadapan Buddha [Vipaśyin]. Dengan sikap penuh penghormatan, menghormati [Vipaśyin dengan merendahkan] dahinya [pada kakinya], ia mengundurkan diri pada satu sisi. Kemudian dewa Brahmā, dengan berlutut dengan lutut kanannya di atas tanah dan dengan kedua telapak tangannya disatukan, berkata kepada Buddha [Vipaśyin]:

Bolehkah aku memohon kepadamu, O Sang Bhagavā? Ajarkanlah Dharma kepada dunia ketika waktunya tiba. Pada saat ini, orang-orang dunia ini, yang dipengaruhi oleh berbagai kekotoran, telah menjadi tidak jujur dan [bertindak] sembarangan, indera-indera mereka ditujukan sepenuhnya untuk keuntungan mereka sendiri. Sifat alami mereka harus diubah dan dibuat lebih menghormati [Dharma]; [mereka seharusnya] takut melakukan pelanggaran berat di mana tidak ada pengampunan bahkan pada kehidupan mereka berikutnya, dengan demikian mengendalikan mereka dari [melakukan] perbuatan-perbuatan jahat sementara mendorong mereka untuk mengembangkan perbuatan-perbuatan baik.

Sang Buddha menjawab dewa Brahmā:

Engkau benar. Apa yang telah engkau katakan sesungguhnya benar. Tetapi bolehkah aku memberitahukan engkau apa yang telah kupikirkan sendiri  di tempatku yang terpencil? Dharma sejati yang telah kurealisasi adalah sangat mendalam dan mulia, sulit bagi orang-orang biasa untuk memahami dan sulit bagi mereka untuk melihat. Bahkan jika aku berusaha mengajarkan Dharma ini kepada orang-orang, mereka akan gagal memahaminya, dan kejengkelan mereka akan bertambah ketika mendengar ajaranku. Karena hal ini, aku telah memutuskan untuk berdiam diri dan tidak ingin mengajar. Sejak tak terhitung kalpa yang lampau, aku telah melanjutkan, dalam pengerahan usaha dan tanpa mengendur, untuk berlatih jalan tertinggi, dan aku saat ini telah menyempurnakan Dharma ini yang paling sulit untuk direalisasi. Jika aku mengajarkan Dharma ini kepada mereka yang tenggelam oleh nafsu, kebencian, dan ketidaktahuan, demi semua tujuan praktis ajaranku tidak akan pernah diterima oleh mereka dan hanya membuatku kelelahan. Dharma ini adalah mendalam dan bertentangan dengan karakteristik [umum] dunia manusia. Orang-orang ternoda dengan keinginan, diselimuti oleh kegelapan ketidaktahuan, tidak dapat meyakini dan memahami. O Brahmā, raja para dewa, ini adalah apa yang telah kupikirkan. Karena hal ini, aku telah berdiam diri dan tidak berusaha mengajar Dharma.

Kemudian raja Surga Brahmā memohon Sang Buddha mengubah pikirannya, dengan mengulangi tiga kali perkataan berikut:

O Sang Bhagavā, jika engkau tidak mengajarkan Dharma kepada dunia manusia ini yang saat ini kebingungan menuju kehancuran, ini akan menjadi kehilangan besar. Semoga, aku memohon, O Sang Bhagavā, agar engkau menyebarluaskan ajaran pada waktu yang tepat, dengan demikian mencegah umat manusia jatuh ke alam kehidupan yang lebih rendah.

Pada waktu itu, setelah mendengar permohonan dewa Brahmā yang penuh penghormatan, Buddha Vipaśyin mengamati dunia, menemukan bahwa beberapa orang tidak begitu terkotori dan yang lainnya lebih terkotori, beberapa diberkahi dengan lebih baik dan yang lain tidak, [dan ia kemudian menyadari] bahwa akan lebih mudah mengajar beberapa dari mereka sementara akan lebih sulit mengajar orang lain. Mereka yang lebih mudah diajarkan Dharma seharusnya ditanamkan rasa takut dalam melakukan pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki pada kehidupan mereka berikutnya, dan karenanya mendorong melenyapkan perbuatan-perbuatan jahat sementara mengembangkan perbuatan-perbuatan baik. Seumpamanya, di antara seroja-seroja yang mekar dalam warna yang berbeda-beda, seperti biru, merah muda, merah dan putih, beberapa tumbuh keluar dari lumpur yang kotor, [tetapi] belum mencapai permukaan air; beberapa hanya muncul ke permukaan air; dan beberapa muncul ke permukaan air tetapi tidak berkembang – namun semuanya sama tidak ternodai oleh air dan siap untuk berkembang. Orang-orang dunia ini bagaikan tanaman seroja ini.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada raja Brahmā:

Karena aku telah tergerak oleh belas kasih terhadap kalian semua, aku akan membuka pintu gerbang Dharma, minuman surgawi bagi kehidupan, dan mengajarkannya kepada dunia. Tetapi karena ia sangat mendalam dan mulia, sulit untuk dipahami dan diketahui, aku hanya akan mengajar mereka yang meyakininya dan mendengarnya dengan sukacita, [dan] tidak [akan] mengajar mereka yang jengkel ketika mendengarnya dan karenanya tidak memperoleh manfaat darinya.

Pada waktu itu, raja Brahmā mengetahui bahwa Sang Buddha telah menerima permohonannya dan, bergembira, penuh sukacita, dan terdorong, ia melanjutkan berjalan di sekeliling Sang Buddha menuju ke kanan, mengelilinginya tiga kali. Setelah menghormati [Sang Buddha dengan merendahkan dahinya pada] kaki[nya], [Brahmā] tiba-tiba menghilang. Tak lama setelah Brahmā menghilang, Sang Tathāgata dengan diam-diam berpikir, “Kepada siapakah aku seharusnya mengajarkan Dharma pertama kali?” Ia menetapkan pikirannya, dengan berpikir, “Aku seharusnya pergi ke kota Bandhumatī dan pertama kali membuka pintu gerbang minuman surgawi demi kepentingan Pangeran Tiṣya dan putra menteri Khaṇḍa.” Sang Buddha tiba-tiba menghilang dari tempat duduknya di bawah pohon bodhi tetapi dalam sekejap, [selama waktu] yang diperlukan bagi seorang yang kuat untuk membengkokkan tangannya dan meluruskannya, ia tiba di Taman Rusa di kota Bandhumatī, yang merupakan milik Raja Bandhumant dan, dengan membentangkan kain duduknya di sana, ia mengambil tempat duduk di sana.

seniya:
Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Bagaikan seekor singa yang berkelana di dalam hutan
Dengan santai sekehendak hatinya,
Demikian juga Sang Buddha berkelana dengan cara yang sama
Dengan tanpa halangan apa pun.

Buddha Vipaśyin berkata kepada penjaga taman:

Kembalilah ke kota dan katakan kepada Pangeran Tiṣya dan putra menteri Khaṇḍa dengan perkataan ini: “Apakah anda mengetahui, tuan, bahwa Buddha Vipaśyin telah tiba di hutan Taman Rusa dan ingin bertemu dengan anda. Ini adalah kesempatan yang baik, tuan!”

Seperti yang diperintahkan, penjaga taman pergi menemui mereka dan menyampaikan perkataan [Sang Buddha] kepada mereka secara terperinci. Setelah mendengar penjaga itu, [Pangeran Tiṣya dan putra menteri Khaṇḍa] segera pergi ke tempat di mana Sang Buddha sedang berdiam, dan setelah menundukkan dahi mereka pada kaki Sang Buddha, mereka mengundurkan diri pada satu sisi.

Kemudian Sang Buddha mulai mengajarkan mereka Dharma, dengan mendorong, memberi manfaat, dan menggembirakan mereka. Ia mengajarkan mereka ajaran tentang kedermawanan, ajaran tentang moralitas, ajaran tentang kelahiran di surga, ajaran bahwa belenggu keinginan dan kekotoran yang tidak murni adalah berbahaya, dan ajaran bahwa pelepasan dari rintangan-rintangan ini adalah yang utama, mendalam, murni, dan layak mendapat pujian.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā mengamati bahwa pikiran para pemuda ini bersifat dapat menerima [ajaran yang lebih lanjut], dipenuhi dengan sukacita dan keyakinan, dan menerima Dharma sejati. Oleh sebab itu, ia memperkenalkan (1) ajaran tentang kebenaran mulia penderitaan (ārya-duḥkha-satya), menjelaskannya secara terperinci, dan membantu mereka memahaminya. Lebih lanjut, ia melanjutkan tiga kebenaran yang tersisa masing-masing dan memberikan penjelasan yang sesuai pada masing-masing ajaran ini, yaitu: (2) kebenaran mulia tentang sebab penderitaan, (3) kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan, dan (4) kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya.

Pada waktu itu, Pangeran Tiṣya dan putra menteri Khaṇḍa mencapai realisasi pada satu pertemuan itu [tepat pada tempat duduk mereka], melemahkan semua kekotoran, dan dengan demikian memperoleh mata Dharma yang murni, bagaikan sehelai kain putih yang dapat dengan mudah dicelupkan dalam berbagai warna.

Pada saat itu, dewa bumi membuat pengumuman dengan kata-kata berikut:

Tathāgata Vipaśyin telah memutar roda Dharma yang tertinggi di Taman Rusa di dekat kota Bandhumatī. Tidak ada seorang pun, apakah seorang śramaṇa, seorang brāhmana, seorang dewa, Si Jahat, atau siapa pun di dunia manusia, yang dapat memutar roda itu.

Dengan cara ini, kabar itu menyebar secara berurutan dari surga empat raja dewa (caturmaharājakāyika) sampai ke surga para dewa yang dapat mengambil bentuk apa pun yang diinginkan (paranirmitavaśavartin), surga keenam, yang tertinggi di alam nafsu, dan tak lama kemudian ini mencapai surga dewa Brahmā.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Dengan kegembiraan dan sukacita, semua orang memuji Sang Tathāgata,
Yang menjadi Buddha Vipaśyin dan
Memutar roda Dharma yang tertinggi.
Berangkat dari bawah pohon bodhi,
Beliau sampai di kota Bandhumatī dan
Memutar roda Dharma,
Mengajarkan Khaṇḍa dan Tiṣya Empat Kebenaran Mulia.
Setelah dengan demikian menerima ajaran dari Sang Buddha,
Pada pertemuan pertama Khaṇḍa dan Tiṣya diubah keyakinannya.
Tidak ada praktek keras yang lebih tinggi
Daripada memutar roda Dharma yang suci.
Para dewa Surga Trāyastriṃśa dan raja mereka Indra
Berkata satu sama lain dalam kegembiraan dan sukacita,
Yang semua dewa pasti mendengarnya:
“Sang Buddha muncul di dunia manusia dan
Memutar roda Dharma yang tertinggi.
Ini meningkatkan kesejahteraan para dewa tetapi
Mengurangi keuntungan para asura.”
Nama seseorang
Yang menyempurnakan pencerahan tertinggi
Terdengar ke mana-mana, dan
Pengetahuan yang ia capai demikian pergi
Melampaui alam manusia.
Sepenuhnya berada di rumah bersama dengan semua makhluk,
Pengetahuannya dengan demikian memutar roda Dharma.
Merenungkan semua hal adalah bersifat sama,
Napas dan pikirannya murni dan tidak ternoda.
Terbebaskan dari kuk kelahiran dan kematian,
Pengetahuannya memutar roda Dharma.
Setelah mengakhiri penderitaan,
Bebas dari perbuatan-perbuatan jahat, dan
Terbebaskan melampaui nafsu dan
Dari belenggu cinta dan kewajiban duniawi,
Pengetahuannya dengan demikian memutar roda Dharma.
Yang paling dimuliakan di antara mereka yang tercerahkan,
Yang Dimuliakan dari dunia manusia,
Terkendali dengan baik dan tidak terbebani oleh belenggu,
Pengetahuannya memutar roda Dharma.
Siapa pun yang unggul dalam pengajaran dan bimbingan
Mengatasi kebencian Si Jahat;
Bebas dari semua kejahatan,
Pengetahuannya dengan demikian memutar roda Dharma.
Kekuatan pandangan terang melenyapkan kekotoran,
Dan mengalahkan Si Jahat;
Indera-indera terkendali dengan baik tanpa mengendur, yang mengakhiri kekotoran,
Ia membebaskan dirinya dari ikatan Si Jahat,
Pengetahuannya memutar roda Dharma.
Jika seseorang mempelajari kebenaran yang sepenuhnya pasti,
Ia akan mengetahui bahwa semua hal (dharma) adalah bukan diri (anātman);
Ini adalah yang tertinggi di antara semua kebenaran.
Demikianlah pengetahuannya memutar roda Dharma.
Ia tidak memutar roda Dharma demi perolehan,
Ataupun demi kemashyuran,
Tetapi demi belas kasih untuk semua makhluk;
Demikianlah pengetahuannya memutar roda Dharma.
Setelah mengamati kuk penderitaan semua makhluk,
Yang terbebani oleh usia tua, penyakit, dan kematian,
Adalah untuk mencegah tiga tujuan buruk dari siklus kehidupan
Sehingga pengetahuannya memutar roda Dharma.
Setelah mengakhiri nafsu, kebencian, dan ketidaktahuan,
Mencabut akar ketagihan,
Yang tidak tergoyahkan dan terbebaskan,
Pengetahuannya dengan demikian memutar roda Dharma.
Walaupun aku merasa sulit untuk mengatasinya,
Setelah menang, aku membiarkan Si Jahat mengakui kekalahannya;
Musuh yang sulit telah dikalahkan.
Demikianlah, pengetahuannya memutar roda Dharma.
Roda Dharma ini, dengan tiada yang lebih tinggi darinya,
Hanya Sang Buddha yang dapat memutarnya.
Bukan para dewa atau Si Jahat, ataupun Indra, ataupun Brahmā,
Yang dapat memutar roda itu.
Berdiam dekat dengan Dharma dan memutarnya,
Memberi manfaat kepada para dewa dan manusia;
Guru para dewa dan manusia
Dapat menyeberang menuju pantai di sana.

Pada waktu itu, Pangeran Tiṣya dan putra menteri Khaṇḍa melihat Dharma dengan pandangan terang, merealisasi buahnya, dan, tidak berbalik dari kebenaran, mencapai ketidakgentaran. Seketika mereka berkata kepada Buddha Vipaśyin, “Kami ingin berlatih kehidupan suci di bawah Dharma Sang Tathāgata.”

Sang Buddha berkata, “Datanglah, para bhikkhu. Dharma yang kuajarkan adalah murni dan sejati dan tanpa batas. Dengan menjalankannya, kalian dapat mengakhiri penderitaan.”

Pada waktu itu, kedua orang itu diberikan penahbisan yang lebih tinggi. Tidak lama setelah peristiwa penahbisan, Sang Tathāgata mempertunjukkan kepada para siswanya tiga jenis keajaiban: (1) keajaiban kekuatan batin, (2) keajaiban mengetahui pikiran orang lain, dan (3) keajaiban pengajaran untuk memperoleh hancurnya kekotoran, pembebasan dari kemabukan batin, dan pengetahuan yang bebas dari rintangan kelahiran dan kematian.

Kemudian, setelah mendengar bahwa kedua orang itu telah meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk berlatih sang jalan, mengenakan jubah saṃghāṭī dan dengan mangkuk dana pada tangan menjalankan kehidupan suci, banyak penduduk kota Bandhumatī berkata kepada satu sama lain, “Jalan ini pasti benar, karena ini telah menyebabkan mereka meninggalkan kemuliaan karier duniawi mereka, kesempatan untuk mendapatkan peranan penting di dunia.”

Kemudian delapan puluh empat ribu orang penduduk kota mengunjungi tempat di mana Buddha Vipaśyin sedang berdiam di Taman Rusa, dan setelah menundukkan dahi mereka pada kaki Sang Buddha untuk menghormatinya, mereka mengundurkan diri dan duduk pada satu sisi. Kemudian, Sang Buddha mulai mengajarkan mereka Dharma, dengan mendorong, memberi manfaat, dan menggembirakan mereka. Ia mengajarkan mereka ajaran tentang kedermawanan, ajaran tentang moralitas, ajaran tentang  kelahiran di surga, ajaran bahwa belenggu keinginan dan kekotoran yang tidak murni adalah berbahaya, dan ajaran bahwa pelepasan dari rintangan-rintangan ini adalah yang utama, mendalam dan murni, dan layak mendapat pujian.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā mengamati bahwa pikiran para penduduk kota ini dapat menerima [ajaran yang lebih lanjut], dipenuhi dengan sukacita dan keyakinan, dan menerima Dharma sejati. Oleh sebab itu ia memperkenalkan (1) kebenaran mulia tentang penderitaan, menjelaskannya dengan terperinci, dan membuat mereka memahaminya. Lebih lanjut, ia melanjutkan secara terpisah tiga kebenaran yang tersisa, yaitu (2) kebenaran mulia tentang sebab penderitaan, (3) kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan, dan (4) kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya.

Pada waktu itu, delapan puluh empat ribu orang penduduk kota itu mencapai realisasi pada satu pertemuan [pada tempat duduk mereka], melemahkan semua kekotoran, dan dengan demikian memperoleh mata Dharma yang murni, bagaikan sehelai kain putih yang dapat dengan mudah dicelup dalam berbagai warna lainnya.

Setelah melihat Dharma dengan pandangan terang, merealisasi buahnya, dan, tidak berbalik dari kebenaran, mencapai ketidakgentaran, para penduduk kota Bandhumatī berkata kepada Buddha Vipaśyin, “Kami ingin berlatih kehidupan suci di bawah Dharma Sang Tathāgata.”

Sang Buddha berkata, “Datanglah, para bhikkhu. Dharma yang kuajarkan adalah murni dan sejati dan tanpa batas. Dengan menjalankannya, kalian dapat mengakhiri penderitaan.”

Pada waktu itu, delapan puluh empat ribu orang penduduk kota diberikan penahbisan yang lebih tinggi. Tidak lama setelah peristiwa penahbisan, Sang Tathāgata mempertunjukkan kepada para siswanya tiga jenis keajaiban: (1) keajaiban kekuatan batin, (2) keajaiban mengetahui pikiran orang lain, dan (3) keajaiban pengajaran untuk mencapai hancurnya kekotoran, pembebasan dari kemabukan batin, dan pengetahuan yang bebas dari rintangan kelahiran dan kematian. Kemudian delapan puluh empat ribu orang penduduk kota itu yang telah mendengar kabar bahwa di Taman Rusa, di dekat kota Bandhumatī, Tathāgata Vipaśyin telah memutar roda Dharma yang  tertinggi, di mana tidak ada seorang pun, apakah seorang śramaṇa, seorang brāhmana, seorang dewa, Si Jahat, atau siapa pun di dunia manusia yang dapat memutarnya, seketika mengunjungi tempat di mana Buddha Vipaśyin berdiam, dan setelah menundukkan dahi mereka pada kaki Sang Buddha untuk menghormatinya, mengundurkan diri dan duduk pada satu sisi.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Bagaikan seseorang yang berusaha diselamatkan
Dari pikirannya yang terbakar, dan
Mencari suatu tempat untuk memadamkan api itu
Secepat mungkin,
Para penduduk kota ini datang
Untuk menemui Sang Tathāgata dengan cara ini.

Kemudian Sang Buddha mulai mengajarkan Dharma lagi seperti sebelumnya. Pada waktu itu, terdapat seratus enam puluh delapan ribu orang bhikkhu di kota Bandhumatī. Bhikkhu Tiṣya dan Khaṇḍa keduanya muncul di tengah-tengah udara di hadapan perkumpulan para bhikkhu, mempertunjukkan kekuatan batin mereka menyemburkan air, memancarkan api, dan mengajarkan Dharma yang menakjubkan.

Pada waktu itu, Sang Tathāgata tetap berdiam diri dan berpikir:

Sekarang kami memiliki seratus enam puluh delapan ribu orang bhikkhu di kota ini. Akan bagus bagi mereka untuk mengadakan perjalanan ke berbagai daerah dalam kelompok dua orang, singgah di sini dan di sana selama jangka waktu enam tahun. Setelah itu, mereka kembali ke kota ini untuk bersama-sama membacakan aturan disiplin.

Kemudian dewa Śuddhāvāsa, yang mengetahui pikiran Sang Tathāgata, muncul di hadapan Sang Bhagavā dalam sekejab, secepat seorang yang kuat membengkokkan tangannya dan meluruskannya, dan, setelah menghormati [Sang Buddha] dengan menundukkan dahinya pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri pada satu sisi. Segera ia berkata kepada Sang Buddha:

O Sang Bhagavā, terdapat sangat banyak bhikkhu di kota ini. Akan lebih baik bagi mereka untuk mengadakan perjalanan ke berbagai daerah. Setelah enam tahun, mereka dapat kembali ke kota ini untuk bersama-sama membacakan aturan disiplin. Aku akan melindungi masing-masing [bhikkhu] yang akan mengadakan perjalanan, dan menjaga [mereka dari] siapa pun yang dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk keuntungan pribadi, tuan.

Setelah mendengar nasehat dewa ini, Sang Tathāgata memberikan persetujuannya dengan tetap berdiam diri. Kemudian dewa Śuddhāvāsa, yang memahami bahwa Sang Buddha telah memberikan izin denagn tetap berdiam diri, seketika menundukkan dahinya pada kaki [Sang Buddha] dan tiba-tiba menghilang, kembali ke kediaman surgawinya. Tidak lama setelah kepergian dewa itu, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:

Sekarang terdapat banyak bhikkhu di kota ini. Kalian disarankan untuk mengadakan perjalanan ke berbagai daerah untuk menyebarkan Dharma dan, setelah waktu enam tahun, kembalilah ke kota ini untuk bersama-sama membacakan aturan disiplin.

Kemudian, mengikuti instruksi Sang Buddha, para bhikkhu, dengan masing-masing membawa jubah dan mangkuknya, meninggalkan kediaman mereka setelah menghormati Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Tidak mengganggu para bhikkhu,
Ataupun menginginkan apa pun [bagi dirinya sendiri],
Ataupun memiliki keterikatan apa pun,
Sang Buddha berdiam dengan kewibawaannya.
Bagaikan burung mitologis garuḍa,
Bagaikan seekor burung bangau meninggalkan sebuah kolam kosong,
Ia berangkat.

Dewa Śuddhāvāsa berkata kepada masing-masing dari para bhikkhu itu setelah satu tahun:

Persinggahan kalian telah berlalu satu tahun, dan tersisa lima tahun. Kalian seharusnya mengingat bahwa setelah enam tahun kalian harus kembali ke kota untuk bersama-sama membacakan aturan disiplin.

Dengan cara ini, waktu berlalu sampai tahun keenam. Dewa itu lagi berkata kepada para bhikkhu, “Enam tahun penuh telah berlalu. Semoga kalian semua kembali ke kota untuk bersama-sama membacakan aturan disiplin”
Ketika mendengar perkataan [dewa Śuddhāvāsa], para bhikkhu membawa jubah dan mangkuk mereka, kembali ke kota Bandhumatī, dan datang ke tempat di mana Buddha Vipaśyin berdiam di Taman Rusa. Setelah menghormatinya dengan menundukkan dahinya pada kaki Sang Buddha, mereka mengundurkan diri dan duduk pada satu sisi.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Bagaikan para gajah yang terlatih dengan baik
Mengikuti perintah penunggangnya dengan bebas,
Dengan cara yang sama perkumpulan para bhikkhu
Kembali ke sini seperti yang diinstruksikan.

Pada waktu itu, Sang Tathāgata naik ke tengah-tengah udara di hadapan perkumpulan para bhikkhu dan, ketika melayang di tengah-tengah udara, duduk bersila dalam posisi teratai, ia memberikan kotbah tentang aturan disiplin: “Kesabaran adalah [praktek] yang terbaik. Para Buddha mengajarkan bahwa Nirvana adalah tujuan tertinggi dari Dharma-nya, dan bahwa bahkan jika seseorang yang telah mencukur rambut dan janggutnya (yaitu, seorang bhikkhu), jika ia melukai orang lain, ia bukan lagi seorang śramaṇa.”

Kemudian dewa Śuddhāvāsa, yang berada tidak jauh dari Sang Buddha, memujinya dengan mengulangi syair berikut:

Pengetahuan agung Sang Tathāgata
Adalah [sangat] mendalam dan
Ini sendiri adalah yang paling dimuliakan.
Diberkahi dengan ketenangan batin (śamatha) dan
Pandangan terang (vipaśyanā),
Ia merealisasi pencerahan sempurna, yang tertinggi.
Karena ia memiliki belas kasih terhadap makhluk-makhluk hidup,
Ia berdiam di dunia manusia dan merealisasi tujuan itu.
Ia mengajarkan empat kebenaran mulia kepada para siswanya (śrāvaka):
[Kebenaran tentang] penderitaan, sebab penderitaan,
Tentang lenyapnya penderitaan, dan
Jalan mulia berunsur delapan
Yang membawa pada tempat yang damai dan tenang.
Buddha Vipaśyin muncul di dunia manusia,
Dikelilingi oleh para siswanya,
Bagaikan matahari yang bersinar dengan terang benderang.
Setelah mengulangi syair ini, dewa itu tiba-tiba menghilang.

seniya:
Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Aku ingat bahwa pada suatu ketika di masa lampau, ketika aku berada di Puncak Burung Bangkai (Gṛdhrakūṭa) di kota Rājagṛha, aku tiba-tiba berpikir seperti ini:

Tidak ada tempat di seluruh dunia di mana kelahiranku tidak pernah terjadi, kecuali satu tempat, Surga Śuddhāvāsa. Jika aku lahir di surga itu, aku tidak akan kembali ke dunia ini.

O para bhikkhu, lagi aku berpikir sendiri, “Aku ingin mengunjungi Surga Avṛhā.” Kemudian, dalam sekejap, secepat seorang yang kuat membengkokkan tangannya dan meluruskannya, aku meninggalkan dunia ini dan muncul di surga itu. Para makhluk yang mendiami surga itu, setelah melihatku mendekat, menghormatiku [dengan menundukkan] dahi mereka [pada kakiku], mengundurkan diri pada satu sisi, dan berkata kepadaku, “Kami adalah para siswa Tathāgata Vipaśyin. Karena kami mengikuti ajaran beliau, kami telah lahir di surga ini, tuan.” Demikianlah mereka memberitahukanku kisah-kisah Buddha itu dari awal sampai akhir.

Beberapa dari mereka juga menyatakan, “Para Buddha Śikhin, Viśvabhū, Krakucchanda, Kanakamuni, Kāśyapa, dan Śākyamuni adalah para guru kami dengan sama, tuan. Karena kami mengikuti ajaran mereka, kami telah lahir di sini, tuan.” Lagi mereka menjelaskan kepadaku kisah-kisah para Buddha ini dari awal sampai akhir. Ketika aku mengunjungi Surga Akaniṣṭha (yang tertinggi dari lima surga Śuddhāvāsa), hal yang sama terjadi.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Dalam sekejab, secepat seorang yang kuat
Membengkokkan tangannya dan meluruskannya,
Melalui kekuatan batinku,
Aku tiba di Surga Śuddhāvāsa, Surga Avṛhā, dan
Mengalahkan dua si jahat.
Kemudian dewa Atapā (“yang tidak menyiksa siapa pun”) mendekat dan
Memberi salam kepadaku dengan kedua telapak tangannya disatukan bagaikan sebatang pohon pārichattaka.
Nama guru Śākya adalah terkemuka
Bahkan di daerah-daerah yang jauh.
Diberkahi dengan baik dalam keistimewaan dan penampilannya,
Ia telah tiba di Surga Sudṛśa.
Bagaikan sekuntum seroja yang tidak tersentuh oleh air, bebas dari noda-noda,
Sang Bhagavā telah tiba di Surga Sudṛśa,
Bagaikan matahari yang pertama kali terbit,
Murni, tidak ternoda, dan tanpa bayangan,
Bagaikan bulan yang cerah pada musim gugur, mencapai tujuan tertinggi.
Lima tempat kediaman ini adalah tempat
Di mana semua makhluk dimurnikan.
Karena kesucian pikiran mereka,
Mereka tiba di sini dan mencapai keadaan
Ketiadaan kekotoran sepenuhnya.
Dengan pikiran yang murni,
Mereka tiba di sini dan menjadi siswa Sang Buddha,
Dengan meninggalkan kemelekatan yang mengotori sebelumnya dan
[Sekarang] menikmati ketidakmelekatan.
Dengan pandangan terang ke dalam Dharma dan kepastian yang tak tergoyahkan,
Putra Vipaśyin, dengan pikiran yang murni,
Telah disambut di sini dan telah mengunjungi Sang Mahabijaksana.
Putra Buddha Śikhin,
Yang tidak ternoda (vimala) dan tidak terkondisi (asaṃskṛta),
Datang ke sini dengan pikirannya yang murni dan
Mengunjungi Yang Mulia Vibhava.
Putra Buddha Viśvabhū,
Yang diberkahi dengan indera-indera sempurna,
Datang ke sini dan mengunjungiku,
Seakan-akan matahari bersinar di langit.
Putra Buddha Krakucchanda,
Bebas dari nafsu, dengan pikirannya yang murni,
Mengunjungiku, seakan-akan cahaya misterius menyala dalam kelimpahan.
Putra Kanakamuni,
Yang tidak ternoda dan tidak terkondisi,
Dengan pikirannya yang murni, mengunjungiku.
Cahayanya bagaikan cahaya purnama.
Siswa Kāśyapa,
Yang diberkahi dengan indera-indera sempurna,
Dengan pikirannya yang murni, mengunjungiku dan
Tidak mengganggu Sang Maha Bijaksana.
Kekuatan batinnya adalah yang utama,
Dengan pikirannya yang kokoh,
Ia menjadi seorang siswa Sang Buddha, dan
Dengan pikirannya yang murni, ia datang ke sini.
Sebagai seorang siswa Sang Buddha,
Ia menghormati Sang Tathāgata dan
Memberitahukan Yang Paling Dimuliakan di antara para manusia tentang tempat kelahirannya,
Realisasi sang jalan,
Nama dan keluarga, dan latar belakang suku secara terperinci.
Ia memiliki pengetahuan tentang Dharma yang mendalam dan
Merealisasikan jalan tertinggi.
Para bhikkhu seharusnya berdiam bebas dari debu dan kotoran,
Dengan berusaha keras untuk mengakhiri
Semua kekotoran dengan pengerahan usaha, tanpa mengendur.
Yang sebelumnya adalah kisah-kisah ketujuh Buddha itu
Dari awal sampai akhir
Seperti yang dikisahkan oleh Buddha Śākyamuni.

[Demikianlah] Sang Buddha menyelesaikan sutra tentang “Kisah-Kisah tentang Awal Mula Besar” ini. Para bhikkhu mendengar apa yang diajarkan Sang Buddha dan, bergembira, mereka mengikuti pengajaran yang disampaikan di dalamnya.

[Akhir dari Sutra 1: Awal Mula Besar]

Navigation

[0] Message Index

[*] Previous page

Go to full version