Pengembangan Buddhisme > Penerjemahan dan penulisan Teks Buddhisme

Dirgha Agama vol. 1

(1/2) > >>

seniya:
Berikut adalah terjemahan dari The Canonical Book of the Buddha’s Lengthy Discourses vol. 1, yang diterjemahkan oleh Shohei Ichimura dari Taisho Tripitaka no. 1 (T 1). Volume 1 ini terdiri dari 10 sutra/kotbah pertama dan di-post di sini per sutra.

seniya:
DIRGHA ĀGAMA VOLUME I

SUTRA 1
AWAL MULA BESAR

(Padanan Pāli: DN 14 Mahāpadāna Suttanta)

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī di tempat kediaman Kareri-kuṭikā dari Vihara Jetavana, bersama-sama dengan seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu.

Pada waktu itu, setelah berkeliling mengumpulkan dana makanan pada pagi hari, beberapa bhikkhu berkumpul di aula yang berdekatan dengan Kareri-kuṭikā, dan masing-masing berdiskusi satu sama lain, dengan berkata:

Para bhikkhu yang mulia, hanya Yang Tiada Bandingnya (anuttarā) yang luar biasa. Kekuatan luar biasanya berjangkauan luas dan memiliki pengaruh yang luas dan besar. Demikianlah beliau [sendiri] mengetahui para Buddha masa lampau yang tak terhitung yang telah memasuki nirvana, dengan mengakhiri semua kekotoran dan memadamkan konseptualisasi yang mengobsesi [pikiran]. Lagi, beliau mengetahui jumlah kalpa-kalpa yang lampau ketika para Buddha ini masing-masing muncul, gelar dan nama mereka, keluarga di mana mereka terlahir, jenis-jenis makanan yang mereka makan, apakah masa kehidupan mereka masing-masing panjang atau pendek, dan dalam lingkungan sosial apakah mereka mengalami perubahan antara penderitaan dan kebahagiaan. Lagi, beliau mengetahui bahwa masing-masing dari para Buddha itu menegakkan aturan disiplin tertentu, mengajarkan ajaran tertentu, merealisasi pengetahuan mendalam tertentu, memperoleh pemahaman tertentu, dan berdiam dalam keadaan realisasi tertentu. Betapa luar biasanya pengetahuan beliau, teman-teman yang mulia! Sang Tathāgata dengan jelas mengetahui sifat-sifat alami berbagai hal. Karena ia mengetahui hal-hal dari masa lampau ini, para dewa (deva) datang berbicara dengan beliau.

Pada waktu itu Sang Bhagavā sedang berdiam di tempat yang sunyi. Karena kekuatan pendengarannya yang luar biasa adalah sangat murni, beliau tidak sengaja mendengarkan diskusi yang sedang berlangsung di antara para siswa itu. Beliau langsung bangkit dari tempat duduknya, pergi ke aula Kareri-kuṭikā, dan mengambil tempat duduk yang telah ditentukan. Kemudian, dengan sadar, Sang Bhagavā dengan sengaja bertanya kepada para siswanya, “O para bhikkhu, setelah berkumpul di sini, apakah yang telah kalian diskusikan?” Para bhikkhu menceritakan pokok bahasan diskusi mereka secara terperinci. Oleh sebab itu Sang Bhagavā berkata kepada mereka:

Sangat bagus, sangat bagus. Kalian telah meninggalkan kehidupan berkeluarga, yang masing-masing didorong oleh keyakinan, dan telah berlatih dalam sang jalan. Dari praktek-praktek yang dianjurkan [bagi para bhikkhu yang berkumpul bersama], terdapat dua jenis secara umum. Pertama, [mendiskusikan] pengajaran [Dharma] para bijaksana; dan kedua, [melaksanakan] keheningan luhur. O para bhikkhu, pokok bahasan diskusi kalian seharusnya dirumuskan sebagai berikut: “Kekuatan batin Sang Tathāgata memiliki pengaruh yang luas dan bijaksana. Demikianlah, beliau sendiri mengetahui semua kejadian masa lampau selama tak terhitung kalpa. Karena beliau sepenuhnya memahami sifat alami berbagai hal, dan karena para dewa datang berbicara kepada Sang Buddha, hal-hal ini diketahui oleh beliau.”

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Para bhikkhu berkumpul di aula ceramah,
Berdiskusi tentang sifat-sifat alami para bijaksana.
Sang Tathāgata berdiam di ruangan yang sunyi,
Mengetahui semuanya melalui pendengarannya yang luar biasa.
Bagaikan cahaya matahari, Sang Buddha menerangi dunia,
Membedakan ruang lingkup unsur-unsur, dan
Mengetahui semua hal pada masa lampau.
Beliau mengetahui nirvana akhir para yang tercerahkan sempurna,
Gelar, nama, silsilah keluarga, dan tempat kelahiran mereka.
Mengikuti kehidupan mereka di mana pun mereka berada dalam tempat dan waktu,
Sang Buddha mengingat segalanya
Melalui kesaksiannya dengan penglihatan murni.
Para dewa muncul dengan kekuasaan besar dan keagungan,
Turun untuk memberitahukanku nirvana ketiga kelompok para Buddha masa lampau,
Gelar dan nama mereka, dan suara dukacita ketika mereka [memasuki] nirvana.
Yang Tiada Bandingnya di antara para dewa dan manusia
Dengan demikian telah mengingat [kehidupan] para Buddha masa lampau.

Sang Bhagavā lagi berkata kepada para siswanya:

O para bhikkhu, apakah kalian ingin [Sang Tathāgata] menyampaikan pengetahuan luar biasa tentang kehidupan para Buddha masa lampau dan sebab dan kondisi mereka? [Jika kalian menginginkannya], aku akan menceritakannya kepada kalian.

Para siswa menjawab:

Sang Bhagavā, ini adalah waktu yang paling tepat, yang mulia. Kami adalah para pendengarmu yang bergembira. Kabulkanlah [harapan] kami, Sang Bhagavā! Semoga yang mulia menurunkan kepada kami kebijaksanaan para Buddha masa lampau dengan segera. Kami akan mengikuti dengan sungguh-sungguh pengajaran yang disampaikan, yang mulia.

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dengan seksama, kalian harus mengingat dan merenungkan dengan baik hal-hal berikut. Aku akan menyampaikan analisis dan penjelasan demi kepentingan kalian.” Setelah itu para bhikkhu mendengarkan ajaran itu.

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:

Sembilan puluh satu kalpa yang lampau terdapat seorang Buddha di dunia ini; Sang Tathāgata dan Arhat, bernama Vipaśyin, muncul di dunia. Lagi, O para bhikkhu, seorang Buddha berikutnya muncul tiga puluh satu kalpa yang lampau; Sang Tathāgata dan Arhat bernama Śikhin muncul di dunia ini. Lagi, O para bhikkhu, selama kalpa yang sama itu, terdapat lagi seorang Buddha lainnya; Sang Tathāgata dan Arhat bernama Viśvabhū muncul di dunia ini. Lagi, O para bhikkhu, dalam kalpa sekarang yang menguntungkan (bhadrakalpa) muncul di dunia ini serangkaian para Buddha, bernama Krakucchanda, Kanakamuni, dan Kāśyapa, dan sekarang juga, selama kalpa yang menguntungan yang sama, aku sendiri telah merealisasi pencerahan yang sempurna, yang tertinggi (anuttara samyaksaṃbodhi).

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Sembilan puluh satu kalpa yang lampau,
Terdapat Buddha Vipaśyin;
Berikutnya, tiga puluh satu kalpa yang lampau,
Muncul Buddha Śikhin;
Dalam kalpa yang sama itu,
Muncul Tathāgata Viśvabhū.
Sekarang, selama kalpa yang menguntungkan ini,
Suatu masa dari banyak tak terhitung nayuta tahun,
Muncul empat orang maha bijaksana,
Yang terkemuka karena belas kasihnya terhadap semua makhluk hidup:
Krakucchanda, Kanakamuni, Kāśyapa, dan Śākyamuni.

Kalian seharusnya mengetahui bahwa ketika Buddha Vipaśyin muncul, masa kehidupan manusia adalah delapan puluh ribu tahun. Ketika Buddha Śikhin muncul, masa kehidupan manusia adalah tujuh puluh ribu tahun. Ketika Buddha Viśvabhū muncul, masa kehidupan manusia adalah enam puluh ribu tahun. Ketika Buddha Krakucchanda muncul, masa kehidupan manusia adalah empat puluh ribu tahun. Ketika Buddha Kanakamuni muncul, masa kehidupan manusia adalah tiga puluh ribu tahun. Ketika Buddha Kāśyapa muncul, masa kehidupan manusia adalah dua puluh ribu tahun. Saat ini ketika aku muncul, masa kehidupan manusia adalah kebanyakan kurang dari seratus tahun, dengan hanya sedikit yang hidup lebih panjang daripada itu.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Pada masa Vipaśyin,
Masa kehidupan manusia adalah delapan puluh empat ribu tahun;
Pada masa Buddha Śikhin,
Masa kehidupan manusia adalah tujuh puluh ribu tahun;
Pada masa Viśvabhū,
Masa kehidupan manusia adalah enam puluh ribu tahun;
Pada masa Krakucchanda,
Masa kehidupan manusia adalah empat puluh ribu tahun;
Pada masa Kanakamuni,
Masa kehidupan manusia adalah tiga puluh ribu tahun;
Pada masa Kāśyapa,
Masa kehidupan manusia adalah dua puluh ribu tahun;
Sekarang, aku sendiri tidak melebihi
Masa kehidupan manusia sekarang dari seratus tahun.

Buddha Vipaśyin berasal dari kasta kṣatriya, yang memakai nama keluarga Kauṇḍinya (Pāli: Koṇḍañña). Buddha Śikhin dan Buddha Viśvabhū juga berasal dari kasta kṣatriya yang sama, yang memakai nama keluarga yang sama. Buddha Krakucchanda berasal dari kasta brāhmaṇa, yang memakai nama keluarga Kāśyapa. Buddha Kanakamuni dan Buddha Kāśyapa berasal dari kasta brāhmaṇa yang sama, yang memakai nama keluarga yang sama. Diriku sendiri, sebagai yang tertinggi dan paling dimuliakan, berasal dari kasta kṣatriya dan memakai nama keluarga Gautama.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Tathāgata Vipaśyin, Śikhin, dan Viśvabhū,
Tiga makhluk tercerahkan sempurna ini
Berasal dari kasta kṣatriya dengan nama keluarga Kauṇḍinya.
Tiga Tathāgata berikutnya
Berasal dari kasta brāhmaṇa dengan nama Kāśyapa.
Diriku sendiri sekarang, yang tertinggi dan paling dimuliakan,
Demi tujuan membimbing para makhluk hidup,
Berasal dari keluarga para pemberani,
Yang terutama di antara semua dewa,
Dengan nama Gautama.
Tiga makhluk tercerahkan sempurna yang pertama
Berasal dari kasta kṣatriya,
Sedangkan tiga Tathāgata yang kedua
Berasal dari kasta brāhmaṇa.
Sekarang aku sendiri, yang tertinggi dan paling dimuliakan,
Berasal dari kasta kṣatriya yang berani.

Buddha Vipaśyin duduk di bawah sebatang pohon pippala dan merealisasi pencerahan sempurna. Buddha Śikhin duduk di bawah sebatang pohon puṇḍarīka dan merealisasi pencerahan sempurna. Buddha Viśvabhū duduk di bawah sebatang pohon śāla dan merealisasi pencerahan sempurna. Buddha Krakucchanda duduk di bawah sebatang pohon śirīsā dan merealisasi pencerahan sempurna. Buddha Kanakamuni duduk di bawah sebatang pohon udumbara dan merealisasi pencerahan sempurna. Buddha Kāśyapa duduk di bawah sebatang pohon nyagrodha dan merealisasi pencerahan sempurna. Sekarang aku, Sang Buddha dan Arhat, duduk di bawah sebatang pohon paṭala dan merealisasi pencerahan sempurna.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:
Tathāgata Vipaśyin mendekati sebatang pohon pippala
Dan di bawah pohon itu ia merealisasi pencerahan sempurna.
Tathāgata Śikhin memadamkan kekotoran di bawah sebatang pohon puṇḍarīka
Tathāgata Viśvabhū duduk di bawah sebatang pohon śāla
Dan di sana ia merealisasi pengetahuan dan penglihatan pembebasan,
Kekuatan batinnya tidak terhalangi.
Tathāgata Krakucchanda duduk di bawah sebatang pohon śirīsā
Dan merealisasi kemahatahuannya, yang murni,
Tidak terkotori ataupun terikat.
Kanakamuni duduk di bawah sebatang pohon udumbara
Dan di bawah pohon itu memadamkan keinginan, dukacita, dan kesengsaraan.
Tathāgata Kāśyapa duduk di bawah sebatang pohon nyagrodha
Dan di bawah pohon itu mengakhiri awal mula berbagai kehidupan.
Aku sendiri, sekarang, sebagai Śākyamuni, duduk di bawah sebatang pohon paṭala
Dan sebagai Tathāgata, aku telah memperoleh sepuluh kekuatan,
Mengakhiri banyak kekotoran,
Mengatasi serangan [Māra], Si Jahat, dan
Sekarang telah menyampaikan pengetahuan agung kepada para siswa.
Kekuatan pengerahan usaha tujuh Buddha
Memancarkan berkas cahaya yang menghancurkan kegelapan ketidaktahuan.
Masing-masing para Buddha duduk di bawah sebatang pohon
Dan di sana merealisasi pencerahan sempurna.

Tathāgata Vipaśyin mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan para siswa dalam tiga kesempatan; kehadiran sejumlah seratus enam puluh ribu [siswa] pada perkumpulan pertama, seratus ribu [siswa] pada perkumpulan kedua, dan delapan puluh ribu [siswa] pada perkumpulan ketiga. Tathāgata Śikhin juga mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan para siswa dalam tiga kesempatan; kehadiran sejumlah seratus ribu [siswa] pada perkumpulan pertama, delapan puluh ribu [siswa] pada perkumpulan kedua, dan tujuh puluh ribu [siswa] pada perkumpulan ketiga. Tathāgata Viśvabhū mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan para siswa dalam dua kesempatan; kehadiran sejumlah tujuh puluh ribu [siswa] pada perkumpulan pertama dan enam puluh ribu [siswa] pada perkumpulan kedua. Tathāgata Krakucchanda mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan para siswa dalam satu kesempatan, dengan kehadiran empat puluh ribu [siswa]. Tathāgata Kanakamuni mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan para siswa dalam satu kesempatan, dengan kehadiran tiga puluh ribu [siswa]. Tathāgata Kāśyapa mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan para siswa dalam satu kesempatan, dengan kehadiran dua puluh ribu [siswa]. Aku sekarang mengajarkan Dharma di hadapan perkumpulan para siswa dalam satu kesempatan, dengan kehadiran seribu dua ratus lima puluh [siswa].

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Vipaśyin terkemuka dalam perenungan nama;
Pengetahuan mendalamnya tak terhitung.
Ia tidak memiliki ketakutan apa pun dalam berkotbah
Di hadapan perkumpulan para siswanya dalam tiga kesempatan.
Cahaya [kebijaksanaan] Śikhin tidak tergoyahkan dan
Dengan demikian menghancurkan semua kekotoran.
Tidak ada yang dapat mengukur kekuasaan dan kebaikannya,
Begitu tak terhitung dan besar.
Buddha ini juga mengadakan dalam tiga kesempatan
Perkumpulan para siswanya
Yang berkumpul bersama dari semua tempat.
Viśvabhū mengakhiri kekotoran, dan
Banyak orang maha bijaksana berkumpul dalam pengajarannya.
Namanya terdengar di semua wilayah, dan
Nama besar dari Dharma-nya muncul.
Para siswa dari dua perkumpulan menyebarkan ke mana-mana
Makna mendalam [dari ajarannya].
Krakucchanda mengajarkan Dharma-nya
Di hadapan perkumpulan dalam satu kesempatan,
Dan sebagai pembimbing mereka membantu, dengan belas kasihnya,
Para siswa dengan demikian berkumpul
Untuk mengatasi penderitaan dan menyempurnakan perubahan [keyakinan].
Tathāgata Kanakamuni
Merealisasi pencerahan tertinggi dan
Dengan cara yang sama mengajarkan Dharma-nya.
Ciri khas fisiknya tampak mengagumkan, berwarna ungu keemasan,
Setiap aspek bentuk jasmaninya sama sempurnanya.
Perkumpulan para siswanya menyebarkan ajarannya di mana-mana.
[Ketika Kāśyapa mengajarkan Dharma-nya di hadapan perkumpulan,]
Tidak ada rambutnya yang berdiri,
Ataupun kebingungan dalam pikirannya,
Ataupun perkataan apa pun dari perulangan yang tidak perlu.
Para siswa dari perkumpulan tunggalnya
Menghormati perenungan belas kasihnya dalam kedamaian [sempurna].
Aku, dari keluarga Śākya,
Yang unggul di antara semua śramaṇa
Pusat dari semua kediaman surgawi, paling dimuliakan,
Memiliki para siswa dari perkumpulan tunggalku.
Adalah keinginanku muncul di hadapan perkumpulan itu
Untuk menyebarkan ajaran yang murni dan sejati.
Dengan pikiranku dipenuhi dengan kegembiraan,
Aku tidak memiliki kehidupan berikutnya.
Vipaśyin dan Śikhin mengajarkan Dharma mereka di hadapan tiga perkumpulan,
Buddha Viśvabhū mengajar di hadapan dua perkumpulan,
Empat Buddha yang tersisa masing-masing mengajarkan [Dharma]
Dalam kesempatan tunggal di hadapan suatu perkumpulan para bijaksana.

Buddha Vipaśyin memiliki dua orang siswa, Khaṇḍa dan Tiṣya; mereka melampaui semua siswa lainnya. Buddha Śikhin memiliki dua orang siswa, Abhibhū dan Saṃbhava; mereka melampaui semua siswa lainnya. Buddha Viśvabhū memiliki dua orang siswa, Soṇa dan Uttama; mereka melampaui semua siswa lainnya. Buddha Krakucchanda memiliki dua orang siswa, Sañjīva dan Vidhūra; mereka melampaui semua siswa lainnya. Buddha Kanakamuni memiliki dua orang siswa, Bhiyyosa dan Uttara; mereka melampaui semua siswa lainnya. Buddha Kāśyapa memiliki dua orang siswa, Tiṣya dan Bharadvāja; mereka melampaui semua siswa lainnya. Aku memiliki dua orang siswa, Śāriputra dan Maudgalyāyana; mereka melampaui semua siswa lainnya.

seniya:
Kemudian Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Khaṇḍa dan Tiṣya adalah siswa dari Vipaśyin;
Abhibhū dan Saṃbhava adalah siswa dari Buddha Śikhin;
Soṇa dan Uttama melampaui semua siswa lainnya dan
Dengan sama mengatasi mantra setan;
Mereka adalah siswa dari Viśvabhū.
Sañjīva dan Vidhūra adalah siswa dari Krakucchanda;
Bhiyyosa dan Uttara adalah siswa dari Kanakamuni;
Tiṣya dan Bharadvāja adalah siswa dari Buddha Kāśyapa;
Śāriputra dan Maudgalyāyana adalah siswa utamaku.

Buddha Vipaśyin memiliki seorang siswa bernama Aśoka, yang adalah kepala pelayan pribadinya. Buddha Śikhin memiliki seorang siswa bernama Kṣemakāra [sebagai pelayan pribadinya]. Buddha Viśvabhū memiliki seorang siswa pelayan bernama Upaśānta; Buddha Krakucchanda memiliki seorang siswa pelayan bernama Buddhija; Kanakamuni memiliki seorang siswa pelayan bernama Sotthija; Buddha Kāśyapa memiliki seorang siswa pelayan bernama Sarvamitra. Buddha Śākyamuni memiliki seorang siswa pelayan bernama Ānanda.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Aśoka, Kṣemakāra, Upaśānta, Buddhija,
Sotthija, Sarvamitra, dan Ānanda sebagai yang ketujuh;
Mereka masing-masing menjadi siswa pelayan
Dari Buddha mereka masing-masing dan
Membantu mereka dalam berbagai tugas, diberkahi dengan tujuan dan cara.
Mengendalikan diri dari kelambanan siang dan malam,
Bermanfaat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain,
Tujuh siswa bijaksana ini secara dekat melayani tujuh Buddha,
Mengabdikan pelayanan mereka dengan kegembiraan, dan
Dengan tenang memasuki nirvana.

Buddha Vipaśyin memiliki seorang putra bernama Fangying; Buddha Śikhin memiliki seorang putra bernama Apramāṇa; Buddha Viśvabhū memiliki seorang putra bernama Subuddha; Buddha Krakucchanda memiliki seorang putra bernama Shangsheng; Buddha Kanakamuni memiliki seorang putra bernama Lokanāyaka; Buddha Kāśyapa memiliki seorang putra bernama Sanghasena; sekarang aku memiliki seorang putra bernama Rāhula.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan dalam syair:<15>

Fangying, Apramāṇa, Subuddha, Shangsheng,
Lokanāyaka, Sanghasena, dan Rāhula sebagai yang ketujuh;
Keturunan ini, penerus silsilah kepahlawanan para Buddha,
Mengabdikan diri mereka dalam moralitas,
Bergembira dalam kedermawanan, dan
Tidak memiliki rasa takut di hadapan Dharma yang mulia.

Ayah Buddha Vipaśyin adalah Bandhumant, dari keluarga kerajaan kṣatriya, dan ibunya adalah Bandhumatī. Kota yang diperintah oleh raja itu bernama Bandhumatī.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Sang ayah, yang bermata sempurna,
Adalah Bandhumant, ibunya adalah Bandhumatī.
Kota yang diperintah oleh Bandhumant adalah Bandhumatī,
Di mana Sang Buddha itu mengajarkan Dharma-nya.

Ayah Buddha Śikhin adalah Aruṇa, dari keluarga kerajaan kṣatriya, dan ibunya bernama Prabhāvatī. Kota yang diperintah oleh raja itu bernama Aruṇavatī.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Ayah Śikhin adalah Aruṇa, dan
Ibunya [adalah] Prabhāvatī.
Ketika Aruṇa berdiam dalam ibukota
Kekuasaan dan kebaikannya melenyapkan musuh-musuhnya.

Ayah Buddha Viśvabhū adalah Suppatīta, dari keluarga kerajaan kṣatriya, dan ibunya bernama Yaśavatī. Kota yang diperintah raja itu bernama Anopama.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Ayah Buddha Viśvabhū
Bernama Suppatīta dan
Dari kasta kṣatriya, dan
Ibunya bernama Yaśavatī.
Ibukotanya bernama Anopama

Ayah Buddha Krakucchanda adalah Agnidatta, dari keluarga brāhmaṇa, dan ibunya bernama Viśākhā. Rajanya bernama Kṣema (Pāli: Khema), dan ibukota yang diperintah olehnya [bernama] Kṣema, sesuai dengan nama raja.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Ayah Buddha Krakucchanda,
Agnidatta, adalah seorang brāhmaṇa,
Ibunya bernama Viśākhā.
Raja [pada waktu itu] bernama Kṣema dan
Memerintah kota Kṣema.

Ayah Buddha Kanakamuni bernama Yajñadatta, dari keluarga brāhmaṇa, dan ibunya bernama Uttarā. Raja pada masa itu adalah Śubha, dan ibukotanya bernama Śubha sesuai dengan namanya.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Ayah Buddha Kanakamuni,
Yajñadatta, adalah seorang brāhmaṇa, dan
Ibunya bernama Uttarā.
Raja [pada masa itu] adalah Śubha dan
Memerintah kota Śubha.

Ayah Buddha Kāśyapa bernama Brahmadatta, dari keluarga brāhmaṇa, dan ibunya bernama Dhanavatī. Raja pada masa itu bernama Kikin dan kota yang diperintah raja itu bernama Vārāṇasī.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Ayah Buddha Kāśyapa,
Brahmadatta, adalah seorang brāhmaṇa, dan
Ibunya bernama Dhanavatī.
Raja pada masa itu adalah Kikin
Yang memerintah kota Vārāṇasī.

Ayahku bernama Śuddhodana, dari keluarga kerajaan kṣatriya, dan ibuku bernama Mahāmāyā. Ibukota yang diperintah oleh raja itu bernama Kapilavastu.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Ayahku adalah seorang kṣatriya,
Bernama Śuddhodana, dan
Ibuku bernama Mahāmāyā.
Negerinya luas dan penduduknya makmur.
Aku terlahir di antara mereka.

Ini adalah kisah para Buddha, nama, latar belakang keluarga, dan tempat kelahiran mereka. Bagaimana mungkin seorang bijaksana, setelah mendengarkan kisah-kisah ini, tidak bergembira dan tidak membangkitkan keyakinan?

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:

Dengarkanlah dengan seksama, kalian seharusnya mengingat dan merenungkan dengan baik hal berikut. Aku akan menyampaikan analisis dan penjelasan demi kepentingan kalian. O para bhikkhu, kalian seharusnya mengetahui keteraturan para Buddha. Bodhisattva Vipaśyin turun dari Surga Tuṣita untuk memasuki rahim ibunya melalui sisi kanannya, dan berdiam di sana dalam keadaan penuh perhatian, pikirannya tidak terganggu. Pada waktu itu, bumi berguncang dan seberkas cahaya menerangi seluruh dunia. Cahaya itu bahkan mencapai daerah-daerah di mana matahari dan bulan tidak dapat memberikan cahayanya kepada setiap makhluk hidup. Bahkan para makhluk hidup dari neraka yang gelap dapat melihat satu sama lain dan mengetahui alam tujuan mereka. Pada waktu itu cahaya itu juga menerangi istana Si Jahat. Walaupun cahaya itu menjangkau sampai ke semua makhluk-makhluk surgawi, dengan Indra sebagai pemimpinnya, dewa Brahmā, para śramaṇa, para brāhmaṇa, dan juga para makhluk hidup lainnya, hanya para dewa tidak terlihat karena cahaya mereka sendiri.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Ketika awan tebal berkumpul di udara,
Kilat halilintar menerangi surga dan dunia,
Vipaśyin turun dan memasuki rahim ibunya.
Berkas cahaya yang sama menerangi daerah-daerah
Di mana matahari dan bulan tidak dapat mencapainya.
Tidak ada siapa pun
Yang tidak menerima pancaran cahaya agung itu.
Ia yang demikian dikandungi adalah murni dan tidak ternoda.
Ini adalah keteraturan para Buddha.

O para bhikkhu, kalian seharusnya [lebih lanjut] mengetahui keteraturan para Buddha. Berada dalam rahim ibunya, bodhisattva Vipaśyin kokoh dalam konsentrasinya, pikirannya tidak terganggu. Empat dewa dari empat penjuru arah surga membawa tombak dan melindungi bodhisattva. Tidak ada manusia ataupun [makhluk] bukan-manusia yang dapat mendekati dan mengganggunya. Ini adalah keteraturan para Buddha.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Empat dewa dari empat penjuru arah surga
Terkemuka dalam kekuasaan dan kebaikan mereka.
Diperintahkan oleh dewa Indra,
Mereka menjaga bodhisattva dengan baik.
Mereka membawa armada prajurit bertombak dan
Selalu menjaganya, tanpa meninggalkannya,
Terhadap manusia atau [makhluk] bukan-manusia jahat yang mendekat.
Ini adalah keteraturan para Buddha.
Para dewa melindungi bodhisattva dengan baik
Seperti para bidadari menjaga istana surgawi.
Semua pelayan para dewa juga demikian bergembira.
Ini adalah keteraturan para Buddha.

Lagi Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan kehidupan para Buddha:

Bodhisattva Vipaśyin turun dari Surga Tuṣita untuk memasuki rahim ibunya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu, sedangkan tubuh ibunya aman dan dalam kedamaian tanpa masalah. Dengan kebijaksanaannya yang meningkat, ia memeriksa janinnya dan melihat tubuh bodhisattva yang tumbuh dengan baik diberkahi dengan anggota tubuh dan indera-indera tidak ternoda bagaikan emas keunguan. Ini seperti sebuah permata lapis lazuli [yang sempurna]; seorang ahli ketika memeriksa transparansi [sempurna]nya di dalam dan di luar tidak akan menemukan bayangan ataupun kecacatan. Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Semurni sebuah permata lapis lazuli dan
Secerah matahari dan bulan yang bersinar terang,
Yang Dimuliakan berdiam dalam tubuh ibunya,
Tidak mengganggu kehamilan ibunya.
Dengan kebijaksanaannya yang meningkat,
Ia memeriksa janinnya dan
Melihat tubuh anaknya bagaikan gambaran emas.
Kehamilannya aman dan damai.
Ini adalah keteraturan para Buddha.

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:

Bodhisattva Vipaśyin turun dari Surga Tuṣita untuk memasuki rahim ibunya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu. Pikiran ibunya adalah murni. Ia bebas dari pikiran nafsu apa pun dan tidak terbakar oleh api keinginan. Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā melanjutkan dalam syair:

Ketika Bodhisattva berdiam dalam rahim sang ibu,
Berkah surgawi meningkat,
Dianugerahi [dengan Bodhisattva] dari surga-surga tertinggi,
Pikiran-pikiran sang ibu adalah murni,
Dengan tiada pikiran nafsu.
Meninggalkan keinginan indera,
Yang tidak ternoda dan tidak tersentuh,
Ia bebas dari nyala api keinginan.
Ini adalah keteraturan perjalanan hidup para Buddha.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan para Buddha:

Bodhisattva turun dari Surga  Tuṣita untuk memasuki rahim ibunya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu. Ibunya menjunjung tinggi lima pelatihan moral (pañca-śīla) dan latihan kesederhanaannya adalah murni. Dengan keyakinan, belas kasih, dan kemauan baik yang tulus, yang terpenuhi dengan baik, tanpa apa pun kecuali kebahagiaan, ia terlahir kembali di Surga Trāyastriṃśa ketika hancurnya tubuhnya pada akhir kehidupannya. Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā melanjutkan dalam syair:

Ketika mengandung di dalam tubuhnya
Yang tertinggi, yang paling dimuliakan di antara manusia,
Dengan menjunjung tinggi pelatihan moral dengan semangat,
Ia ditujukan untuk memperoleh
Tubuh surgawi pada kehidupan mendatangnya
Karena hal ini ia disebut ibu para Buddha.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan kehidupan para Buddha:

Ketika Bodhisattva Vipaśyin lahir, ia muncul dari sisi kanan ibunya. Pada waktu itu bumi berguncang dan seberkas cahaya menerangi dunia. Seperti halnya ketika Bodhisattva pertama kali memasuki rahim ibunya, cahaya itu mencapai bahkan neraka yang gelap, yang memberi manfaat pada setiap makhluk hidup dengan cahaya agungnya. Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā melanjutkan dengan syair:

Ketika pangeran lahir, bumi berguncang,
Seberkas cahaya menerangi di mana pun tanpa kecuali,
Di dunia ini juga dunia lain,
Di atas dan bawah di segala arah,
Dengan demikian memberikan sebab [pembebasan] yang murni.
Diberkahi dengan suara kegembiraan yang mengagumkan,
Satu per satu para makhluk surgawi memuji
Nama Bodhisattva.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan kehidupan para Buddha:

Bodhisattva Vipaśyin muncul dari sisi kanan ibunya pada saat kelahirannya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu. Pada waktu itu ibu Bodhisattva menarik sebatang cabang pohon [untuk menyokong dirinya], tidak duduk ataupun berbaring. Kemudian empat dewa dengan hormat memberikan air wangi dan berkata kepada sang ibu: “Demikianlah, O ratu, sekarang seorang putra mulia telah lahir.  Semoga nyonya bebas dari kekhawatiran dan dukacita.” Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu Sang Bhagavā melanjutkan dengan syair:

Ibu dari Buddha
Tidak duduk ataupun berbaring di atas tanah,
Tetapi kokoh dalam pelatihan moralitas dan
Praktek kesederhanaan.
Lahir dalam keluarga bangsawan,
Ia tidak pernah kendur dalam pengerahan usaha
Ketika dilayani oleh para makhluk surgawi.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan para Buddha:

Bodhisattva Vipaśyin muncul dari sisi kanan ibunya pada saat kelahirannya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu. Tubuhnya bersih, tidak terkena kekotoran oleh kotoran atau pikiran jahat. [Ini] bagaikan sebuah permata, yang murni dan sejati, yang ketika dengan ahli dicampurkan dengan pewarna putih tidak mempengaruhi ataupun dipengaruhi [oleh pewarna itu], karena ia murni dan sejati. Ini sama dengan munculnya Bodhisattva dari rahim ibunya. Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu Sang Bhagavā melanjutkan dengan syair:

Bagaikan sebuah permata, yang murni dan sejati,
[Ketika] dicampurkan dengan pewarna, [ia] tidak mempengaruhi ataupun dipengaruhi [oleh pewarna itu],
Ketika Bodhisattva muncul dari rahim ibunya,
Ia murni dan tidak ternoda.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan para Buddha:

Bodhisattva Vipaśyin, pada saat kelahirannya, muncul dari sisi kanan ibunya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu. Turun ke tanah dari sisi kanan ibunya, ia mengambil tujuh langkah dan, tanpa bantuan apa pun dari orang lain, melihat sekilas ke segala arah, ia mengangkat tangannya dan menyatakan: “Di atas langit dan di bawahnya, aku sendiri yang paling mulia, aku di sini untuk membebaskan makhluk-makhluk hidup dari kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.” Ini adalah keteraturan para Buddha.

Pada waktu itu Sang Bhagavā melanjutkan dengan syair:

Bagaikan seekor singa berjalan,
[Bodhisattva] melihat sekilas ke empat arah, dan
Seorang anak bagaikan singa, ia mengambil tujuh langkah di atas tanah.
Lagi, seperti halnya gerakan seekor naga agung,
[Bodhisattva] melihat sekilas ke empat arah, dan
[Bagaikan] seekor anak naga, ketika lahir
Ia mengambil tujuh langkah pada saat turun ke tanah.
Pada waktu kelahiran[nya],
Yang Dimuliakan yang berkaki dua (yaitu, manusia)
Mengambil tujuh langkah kokoh, dan
Melihat sekilas ke empat arah,
Meneriakkan suaranya untuk menyatakan penghentian penderitaan kehidupan dan kematian.
Pada awal kelahirannya,
Tidak ada yang menyamainya [tetapi hanya] setara dengan para Buddha lain.
Ia mengetahui awal mula kehidupan dan kematian, dan
Bahwa kehidupan ini [akan menjadi] kehidupan terakhirnya.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu tentang keteraturan para Buddha:

Bodhisattva Vipaśyin, pada saat kelahirannya, muncul dari sisi kanan ibunya dan berdiam di sana dengan konsentrasi, pikirannya tidak terganggu. Dua mata air muncul, satu hangat dan yang lain dingin, sebagai suatu persembahan untuk memandikan Bodhisattva. Ini adalah keteraturan para Buddha.

seniya:
Pada waktu itu Sang Bhagavā melanjutkan dengan syair:

Ketika Yang Dimuliakan yang berkaki dua lahir,
Dua mata air muncul sebagai suatu persembahan
Untuk memandikan Bodhisattva.
Bayi itu, yang diberkahi dengan mata sempurnanya,
Dimandikan bersih dengan [air dari] mata air ini.
Dua mata air muncul secara alami;
Air itu sangat murni dan bersih;
Satu adalah hangat sedangkan yang lain adalah dingin.
Keduanya untuk memandikan [Yang] Mahatahu.

Ketika pangeran lahir, ayahnya, Raja Bandhumant, mengundang sejumlah besar peramal yang ahli dalam mantra-mantra untuk melihat pangeran dan meramalkan tentang keberuntungan atau nasibnya. Para peramal datang untuk melihat pangeran seperti yang diperintahkan. Setelah memperhatikan tanda-tanda agung yang dimiliki sang anak ketika mereka membuka pakaiannya, para peramal berkata kepada raja tentang keberuntungannya:

Kami tidak memiliki keraguan dalam pikiran kami bahwa siapa pun yang memiliki tanda-tanda ini dipastikan memiliki salah satu dari dua jalan hidup. Jika ia berdiam dalam kehidupan berumah tangga ia akan menjadi penguasa dunia (cakravartin) yang memutar roda suci dan akan menjadi raja dari keempat benua di bumi. Ia akan memperoleh empat divisi armada pasukan dan akan memerintah negeri dengan Dharma yang benar dengan adil, dengan memberi manfaat kepada segala hal di bawah langit.  Ia akan secara spontan mendapatkan tujuh jenis harta karun dan, bersama-sama dengan seribu orang pasukan yang berani dan kuat, ia akan dapat menaklukkan musuh dari luar mana pun [bahkan] tanpa [menggunakan] kekuatan hukuman; demikianlah ia akan menjaga kedamaian seluruh negeri di bawah langit. Jika ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan mengikuti sang jalan, ia akan merealisasi pencerahan sempurna dan disebut dalam sepuluh gelar seorang Buddha.

Kemudian para peramal berkata kepada raja:

Yang mulia, pangeran memiliki tiga puluh dua tanda agung. Kami tidak memiliki keraguan dalam pikiran bahwa ia pasti merealisasi salah satu dari dua jalan hidup, baginda. Jika ia berdiam dalam kehidupan berumah tangga, ia akan menjadi penguasa dunia yang memutar roda suci. Jika ia meninggalkan kehidupan berumah tangga, ia akan merealisasi pencerahan sempurna dan disebut dalam sepuluh gelar seorang Buddha.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Pangeran lahir diberkahi dengan tak terhitung keberuntungan.
Para peramal berkata:
“Kami tidak memiliki keraguan dalam pikiran kami bahwa,
Bagaikan suatu kasus yang telah diramalkan dalam kitab hukum,
Pangeran memiliki dua jalan hidup, baginda.
Jika ia memilih kehidupan berumah tangga,
Ia pasti menjadi seorang penguasa dunia
Yang memutar roda suci.
Ia akan secara spontan memperoleh
Tujuh jenis harta karun [yang] biasanya sulit diperoleh.
 Ia akan memperoleh roda suci
Yang terbuat dari seribu jari-jari emas,
Dengan seutas benang emas yang dipasang pada sisi luarnya.
Ketika roda itu berputar,
Ia dapat bergerak ke tempat mana pun seakan-akan terbang;
Oleh sebab itu ia disebut harta karun pertama, roda surgawi.
Ia akan memperoleh gajah-gajah yang terlatih dengan baik
Yang diberkahi dengan tujuh gading, yang besar dan lebar, dan
Seputih salju, dapat terbang di tengah-tengah udara.
Ini disebut harta karun kedua, gajah.
Ia akan memperoleh kuda-kuda yang, ketika mereka berlari,
Dapat pergi ke mana pun di bawah langit,
Pergi pada pagi hari dan
Kembali pada malam hari untuk makan,
Dengan rambut yang bercahaya dan suara seekor merak.
Ini disebut harta karun ketiga, kuda.
Ia akan memperoleh permata lapis lazuli, yang murni dan sejati,
Yang memantulkan cahaya yang bersinar sejauh satu yojana,
Menerangi malam seterang siang hari.
Ini disebut harta karun keempat, permata surgawi (maṇi-ratna).
Ia akan memperoleh ratu yang bentuk tubuh,
Suara, wangi tubuh, rasa, dan sentuhannya tiada bandingnya,
Yang terkemuka di antara semua wanita.
Ini disebut harta karun kelima, ratu.
Ia akan memperoleh orang-orang kaya
Yang, dalam hati mereka bergembira,
Memberikan permata lapis lazuli dan
Semua batu berharga lainnya.
Ini disebut harta karun keenam, bendaharawan.
Ia akan memperoleh kumpulan pasukan, yang berani dan kuat,
Yang dapat dengan cepat bergerak ketika diperintahkan.
Ini disebut harta karun ketujuh, panglima perang.
Ini adalah tujuh jenis harta karun penguasa dunia, baginda:
Roda, gajah putih, kuda, permata,
Wanita, orang kaya, dan armada pasukan.
Pangeran akan menyukai hal-hal ini dan
Menikmati kehidupan sepenuhnya
Dengan lima jenis keinginan, tetapi,
Bagaikan seekor gajah dengan meyakinkan menghancurkan tali kekangnya,
Ia akan meninggalkan kehidupan berumah tangga dan
Merealisasi pencerahan sempurna.
Yang Mulia, ini adalah keberuntungan, baginda,
Karena pangeran ini, Yang Paling Dimuliakan di antara manusia,
Yang akan memutar roda Dharma di dunia ini,
Tanpa henti, bahkan setelah realisasinya atas sang jalan.”

Pada waktu itu, ayahanda-raja [lagi] bertanya kepada para peramal tiga kali dengan hormat, “Semoga anda juga memeriksa tiga puluh dua tanda dari pangeran dan, dengan menyebutkannya, menjelaskan makna mereka masing-masing.” Kemudian para peramal seketika membuka pakaian pangeran dan menjelaskan tiga puluh dua tanda agung: (1) telapak kaki yang rata dan datar, untuk pijakan yang kokoh; (2) kedua telapak kaki yang ditandai secara simetris dengan simbol roda seribu jari-jari; (3) tangan kaki yang berselaput seperti kaki seekor angsa; (4) tangan dan kaki selembut dan sehalus kain pakaian surgawi; (5) jari tangan dan kaki yang halus, memanjang tiada bandingnya; (6) kaki yang berpermukaan lebar, bulat dengan penampilan yang menyenangkan; (7) tumit yang bulat menyempit perlahan-lahan menuju betis seperti tumit seekor rusa; (8 ) tulang rusuk yang berhubungan dengan baik seperti sambungan rantai; (9) organ kelamin yang tersembunyi dalam lipatan [kulit], seperti organ kelamin seekor kuda; (10) anggota tubuh bagian atas yang memanjang, tangan yang menyentuh kaki bahkan dalam posisi tegak; (11) setiap rambut yang tumbuh dari masing-masing akarnya, melingkar ke kanan, berwarna lapis lazuli; (12) rambut tubuh yang melingkar ke kanan, berwarna biru laut, tumbuh ke atas; (13) tubuh fisik dengan kulit keemasan (suvarṇa-varṇa); (14) kulit yang menolak debu, halus, lembut; (15) bahu yang secara simetris datar dan bulat yang dipenuhi dengan kekuatan; (16) dada yang ditandai dengan simbol yang menguntungkan dari bayangan-cermin svastika; (17) perawakan fisik dua kali tinggi badan umumnya; (18) tujuh bagian tubuh yang berkembang dengan baik (tangan, kaki, bahu bagian bawah, dan tengkuk); (19) badan yang besar dan lebar seperti sebatang pohon banyan; (20) pipi yang bulat, jelas seperti pipi seekor singa; (21) batang tubuh bagian atas yang tegak lurus, berbentuk seperti singa; (22) sekumpulan empat puluh gigi; (23) gigi yang rapi, berbentuk persegi dan tersusun dengan baik (sama-danta); (24) gigi yang tidak memiliki celah [di antaranya]; (25) gigi yang putih dan bersih; (26) tenggorokan yang murni dan langit-langit yang cocok untuk mengonsumsi makanan yang terbaik; (27) lidah yang lebar dan memanjang yang mencapai telinga (prabhūta-tanu-jihvā); (28) suara surgawi yang indah; (29) mata biru gelap; (30) kedipan dan kelopak mata seperti kedipan dan kelopak mata seekor sapi; (31) rambut putih yang mengeriting pada dahi (ūrṇā), yang lentur dan panjang, membentang sepuluh kaki, melingkar kembali ke kanan seperti kulit terompet ketika dibentangkan dan dilepaskan; dan (32) benjolan di atas kepala (uṣṇīṣa). Ini adalah tiga puluh dua tanda agung seorang Buddha.”

Sang Buddha kemudian melanjutkan dengan syair:

Kaki yang kokoh, lembut dan lunak,
Tidak meninggalkan jejak di atas tanah.
Simbol roda
Dengan seribu jari-jari adalah menakjubkan,
Dihiasi dengan warna cerah.
Seperti sebatang pohon nyagrodha,
Perawakan fisiknya sama lebar dan tingginya.
Organ kelamin pria Tathāgata secara ajaib tersembunyi
Seperti organ kelamin seekor kuda.
Pada tubuhnya, dihiasi dengan baik dengan perhiasan emas,
Semua tanda-tanda agung lainnya saling merefleksikan.
Ketika melalui dunia biasa ini,
Tidak ada debu ataupun kotoran yang mengotori tubuhnya,
Yang memiliki kulit surgawi,
Yang sangat halus dan lembut.
Payung kerajaan secara spontan melindungi kehadirannya, dan
Tubuhnya, sumber suara surgawi,
Berwarna ungu keemasan, sesegar bunga [teratai]
Yang mekar untuk pertama kalinya pada permukaan kolam.
Raja bertanya kepada para peramal, dan
Mereka dengan hormat menjawabnya,
Dengan memuji tanda-tanda agung Bodhisattva.
Keseluruhan tubuhnya diselimuti
Dengan cahaya terang yang mengungkapkan semua anggota tubuhnya,
Kaki dan tangannya, secara eksternal dan dari dalam.
Ia mengecap intisari semua makanan;
Batang tubuh bagian atasnya, lurus tidak membungkuk,
Roda dari telapak kaki terungkap, dan
Suaranya seperti suara seekor burung kalaviṅka.
Diberkahi dengan bentuk tumit yang bulat
Yang perlahan-lahan menyempit menuju betis yang lurus,
Ini adalah buah jasa dari kehidupan lampau.
Lengan bagian atas dan sikunya,
Yang bulat dan sempurna, adalah bagus untuk dilihat,
Sedangkan roman mukanya sangat gagah.
Singa yang mulia di antara para manusia
Melampaui semua yang lain dalam kekuatan,
Kedua pipinya bulat dan seimbang,
Dengan ketenangan seekor singa yang berbaring.
Kumpulan giginya, yang berjumlah empat puluh, adalah teratur dan
Tersusun dengan rata dengan tanpa celah di antaranya.
Suaranya yang tidak biasa adalah menakjubkan dan
Menarik semua orang dari jauh dan dekat.
Ia berdiri tegak tanpa membungkuk,
Kedua tangan mencapai lutut kaki.
Tangannya berkembang dengan merata dan lembut.
Ini adalah bentuk keindahan yang sesungguhnya diberkahi
Kepada yang dimuliakan dan terbaik di antara semua manusia.
Ia memiliki benjolan di atas kepalanya,
Mata biru gelap, yang berkedip,
Kedua kelopak mata yang bergerak,
Kedua bahu yang sepenuhnya bulat.
Ia dengan demikian diberkahi dengan tiga puluh dua tanda agung.
Tidak ada ketidakseimbangan tinggi atau rendah
Dengan tumit dan betisnya yang lurus,
Lembut seperti tumit dan betis seekor rusa.
Seakan-akan yang terbaik dari semua makhluk surgawi turun ke dunia,
Seperti halnya seekor gajah dengan meyakinkan menghancurkan tali kekangnya,
Ia dipersiapkan untuk menyebabkan semua makhluk hidup
Terbebaskan dari penderitaan,
Dirinya sendiri menghadapi siklus kelahiran,
Usia tua, penyakit, dan kematian.
Tergerak oleh belas kasihnya,
Ia mengajarkan Empat Kebenaran Mulia,
Menjelaskan makna syair-syair tentang Dharma, dan
Menyebabkan para siswanya mengabdikan dirinya kepada Yang Paling Dimuliakan.

Sang Buddha [lagi] berkata kepada para bhikkhu:

Ketika Buddha Vipaśyin lahir, para dewa melayang-layang di udara memegang sebuah payung putih dan kipas, dengan demikian melindunginya dari dingin dan panas, angin dan hujan, debu dan kotoran.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Tidak pernah sebelumnya muncul di antara para manusia,
Yang Paling Dimuliakan [sekarang] terlahir sebagai makhluk berkaki dua.
Para dewa memberikan penghormatan kepadanya
Dengan memberikan payung dan kipas.

Pada waktu itu ayahanda-raja menyediakan pangeran dengan empat orang pengasuh: yang pertama memberikannya susu, yang kedua memandikannya, yang ketiga mengoleskan minyak wangi ke tubuhnya, dan yang keempat menemaninya bermain. Bergembira dalam hati, mereka mengasuhnya dengan rajin.

Demikianlah Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Dengan cinta dan kasih sayang,
Para pengasuh mengasuh pangeran;
Yang pertama memberikannya susu,
Yang kedua memandikannya,
Yang ketiga mengoleskan minyak wangi ke tubuhnya,
Yang keempat menemaninya bermain.
Yang terbaik dari minyak wangi,
Mereka oleskan kepada Yang Paling Dimuliakan di antara manusia.

Ketika ia telah tumbuh menjadi remaja, semua gadis di negeri itu tidak pernah lelah memperhatikan pangeran muda.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Dikagumi oleh banyak orang dengan banyak penghormatan
Bagaikan sebuah patung emas yang awalnya dilempar,
Para pria dan wanita melihatnya dengan penuh perhatian,
Tidak pernah lelah mengamatinya.

Ketika ia telah tumbuh menjadi remaja, semua penduduk kota, laki-laki dan perempuan, mengaguminya seakan-akan merangkul dan mencium wangi sekuntum bunga yang berharga.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Ketika [Yang] Paling Dimuliakan lahir,
Ia dipuja oleh banyak orang dengan cinta dan penghormatan,
Satu demi satu mereka merangkulnya,
[Seakan-akan] memegang sekuntum bunga yang berharga dan mencium wanginya.

Ketika Bodhisattva lahir, ia tidak mengedipkan matanya, bagaikan para dewa Surga Trāyastriṃśa. Karena menghindari kedipan [mata], ia disebut Vipaśyin.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Yang terbaik di antara semua surga tidak mengedipkan [mata],
Bagaikan para dewa Surga Trāyastriṃśa.
Melihat suatu objek (yaitu, bentuk),
Ia merenungkannya dengan pandangan terang.
Oleh sebabnya ia disebut Vipaśyin.

Ketika Bodhisattva lahir, suaranya sangat jernih, lembut dan anggun bagaikan suara seekor burung kalaviṅka.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Bahkan seperti seekor burung Himalaya meninggikan suaranya
Dengan makanan sari buah,
Demikian juga suara Yang Dimuliakan
Jernih dan menembus bagaikan suara burung itu.
Ketika Bodhisattva lahir, matanya dapat melihat sampai jarak satu yojana.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Sebagai akibat perbuatan-perbuatan masa lampaunya, yang murni,
Ia memperoleh cahaya menakjubkan dari surga.
Matanya dapat melihat apa pun
Dalam jangkauan satu yojana.

Setelah kelahirannya, tahun demi tahun, Bodhisattva tumbuh menjadi seorang pemuda dan menduduki jabatannya di aula utama, dengan menanamkan jalan moralitas kepada para penduduk kota, dengan demikian memberi manfaat kepada mereka. Nama dan kebaikannya terkemuka bahkan di daerah-daerah yang jauh.

seniya:
Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Ketika ia masih seorang pemuda,
Dengan menduduki jabatan di aula utama,
Ia memberi manfaat kepada para penduduk kota dengan menanamkan jalan moralitas dan
Mengurusi berbagai pembuatan keputusan.
Karena hal ini ia disebut Vipaśyin.
Pengetahuannya, yang murni dan sejati,
Adalah luas dan terperinci dan
Sedalam samudera raya.
Ia dengan demikian membantu orang-orang
Agar dengan senang hati menerima penanaman [moralitas]nya dan
Menambah dan memperluas kebijaksanaan mereka

Kemudian Bodhisattva, yang ingin pergi bertamasya, memerintahkan para pelayannya, “Persiapkanlah kereta. Aku ingin mengunjungi hutan [kerajaan] untuk melihat berbagai hal dan tempat.”

Setelah mempersiapkan kereta, pelayan itu melaporkan, “Sudah siap, tuan.” Pangeran seketika menaiki [kereta] dan berangkat melalui jalan yang menuju hutan. Namun, di jalan, ia melihat seorang tua berambut putih, semua giginya hilang, wajahnya berkerut, tubuhnya membungkuk dan disokong oleh sebuah tongkat, langkahnya lambat dan lemah, napasnya terengah-engah. Melihat orang itu, pangeran bertanya kepada pelayannya, “Orang apakah itu?”

[Pelayan itu] menjawab, “Itu adalah orang tua, tuan.”

Pangeran bertanya lagi, “Apakah artinya menjadi tua?”

Pelayan itu menjawab, “Tuan, ini artinya bahwa masa kehidupan mendekati akhirnya, hanya meninggalkan suatu jangka waktu terbatas untuk hidup. Ini disebut usia tua, tuan.”

Pangeran bertanya lagi, “Aku juga akan menjadi seperti ini dan tidak dapat meloloskan diri darinya, bukankah demikian?”

Pelayan itu menjawab, “Ya, tuan. Siapa pun yang lahir pasti menjadi tua. Tidak ada bedanya antara orang kaya dan miskin [dalam hal ini], tuan.”

Pada waktu itu pangeran kehilangan minat [bertamasya]. Ia memerintahkan pelayan itu untuk membelokkan kereta seketika dan kembali ke istana. Ketika mengundurkan diri dalam perenungan hening, ia berpikir, “Penderitaan usia tua ini pasti juga terjadi padaku.”

Di sini Sang Buddha lagi melanjutkan dalam syair:

Setelah melihat orang tua
Yang kehidupannya mendekati akhir,
Berjalan dengan langkah yang lemah,
Disokong hanya dengan tongkatnya,
Bodhisattva berpikir:
“Aku juga tidak dapat lolos dari penderitaan ini.”

Pada waktu itu ayahanda-raja bertanya kepada pelayan itu, “Apakah pangeran menikmati tamasyanya?”

[Pelayan itu] menjawab, “Tidak, baginda.” Raja bertanya mengapa. Pelayan itu menjawab, “Baginda, kami bertemu dengan seorang tua di jalan. Pangeran tidak bergembira karena hal itu, tuan.”

Pada waktu itu, ayahanda-raja tidak mengatakan apa pun kepada pelayan itu tetapi berpikir:

Dulu, ketika sekelompok peramal meramalkan keberuntungan pangeran, mereka mengatakan kepadaku bahwa ia pasti akan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Sekarang ia tidak bergembira dengan kehidupan di sini. Apakah tidak ada cara untuk mengubah perasaannya? Aku harus melakukan suatu cara bijak, seperti menempatkan tempat kediaman baru di bagian belakang istana. Biarkanlah ia menikmati lima [kesenangan] indera sepenuhnya, yang mengalihkan pikirannya, dengan demikian mencegahnya meninggalkan istana.

Seketika raja memerintahkan tempat kediaman baru pangeran dihiasi dengan menarik dan menugaskan para wanita istana yang terpilih untuk menghiburnya.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dengan syair:

Setelah mendengar perkataan pelayan,
Ayahanda-raja melakukan suatu cara bijak
Memerintahkan tempat tinggal pangeran dihiasi dan
Memikat lima inderanya dengan hiburan yang ditingkatkan,
Dengan berharap mencegahnya melepaskan kehidupan berumah tangga.

Pangeran belakangan memerintahkan pelayannya untuk mempersiapkan lagi sebuah kereta dan mengunjungi dunia luar dalam suatu tamasya. [Kali ini] ia bertemu dengan seorang yang sakit. Tubuh orang itu melemah, perutnya membengkak, wajahnya gelap, ia terbaring di tengah-tengah kotorannya sendiri dengan tiada seorang pun melayaninya, dan penyakitnya sangat parah sehingga ia tidak dapat berbicara. Pangeran bertanya kepada pelayannya, “Orang apakah itu?”

Pelayan itu menjawab, “Ia adalah orang sakit, tuan.”

Pangeran bertanya lagi, “Apakah yang dimaksud dengan ‘sakit’?”

Pelayan itu menjawab, “Tuan, ini berarti bahwa banyak kesakitan menyiksa seorang yang kurang sehat, yang membuatnya tidak menentu apakah ia akan hidup atau mati. Karenanya ini disebut penyakit, tuan.”

Pangeran bertanya, “Aku juga akan menjadi seperti ini dan tidak dapat meloloskan diri darinya, bukankah demikian?”

Pelayan itu menjawab, “Ya, tuan. Siapa pun yang lahir akan menjadi sakit. Tidak ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata [dalam hal ini], tuan.”

Pada waktu itu, pangeran kehilangan minat [bertamasya]. Ia memerintahkan pelayan itu untuk membelokkan kereta seketika dan kembali ke istana. Ketika mengundurkan diri dalam perenungan hening, ia berpikir, “Penderitaan penyakit ini pasti juga terjadi padaku.”

Di sini Sang Buddha lagi melanjutkan dalam syair:

Setelah melihat seseorang dengan penyakit parah
Yang corak kulitnya kurus kering dan gelap,
Bodhisattva mengundurkan diri dalam perenungan hening,
Berpikir, “Aku juga tidak dapat meloloskan diri dari penderitaan ini.”

Pada waktu itu ayahanda-raja bertanya kepada pelayan itu, “Apakah pangeran menikmati tamasyanya?”

Ia menjawab, “Tidak, baginda.” Raja bertanya lagi mengapa. Pelayan itu menjawab, “Baginda, kami bertemu dengan seorang yang sakit di jalan. Pangeran tidak bergembira karena hal itu, tuan.”

Pada waktu itu, ayahanda-raja tidak menanyai pelayan itu lagi, tetapi berpikir:

Dulu ketika sekelompok peramal meramalkan keberuntungan pangeran, mereka mengatakan kepadaku bahwa ia akan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Sekarang ia tidak bergembira dengan kehidupan di sini. Tidakkah ada suatu cara bijak untuk mengubah perasaannya? Aku harus melakukan beberapa cara bijak, untuk meningkatkan hiburan [untuk]nya dengan musik dan tarian, yang mengalihkan pikirannya, dengan demikian mencegahnya meninggalkan kehidupan berumah tangga.

Seketika, [raja] memerintahkan tempat kediaman baru dengan menarik dihiasi dan menugaskan para wanita istana yang terpilih untuk menghibur pangeran.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dengan syair:

Bentuk, suara, bebauan, rasa, dan sentuhan
Adalah halus dan menyenangkan.
Karena jasa kebajikan memberkahi Bodhisattva,
Demikianlah ia menikmati kehidupannya di antara kesenangan-kesenangan [indera] ini.

Lagi, pada kesempatan lain, pangeran memerintahkan pelayannya mempersiapkan sebuah kereta dan mengunjungi dunia luar dalam suatu tamasya, tetapi ia bertemu dengan seorang yang sudah meninggal di jalan. Keluarga dan sanak saudara, yang meratap dan menangis dengan keras, pergi ke luar kota dalam upacara pemakaman, dengan berbagai bendera dari depan sampai belakang.

Pangeran lagi bertanya kepada pelayannya, “Apakah orang ini?” Ia menjawab, “Ini adalah orang mati, tuan.”

Pangeran bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan kematian?” Pelayan itu menjawab:

Tuan, ini berarti padamnya [kehidupan], yang didahului oleh lenyapnya napas, kemudian kehilangan panas [tubuh], dan kemudian terurainya indera-indera. Orang hidup dan orang mati berada di dunia yang [sangat] berbeda. Ini [sepenuhnya] memisahkan seseorang dari keluarganya. Karenanya, ini disebut kematian, tuan.

Pangeran bertanya lagi, “Aku juga akan menjadi seperti ini dan tidak dapat meloloskan diri darinya, bukankah demikian?”

Pelayan itu menjawab, “Ya, tuan. Siapa pun yang lahir akan meninggal dunia. Tidak ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata [dalam hal ini], tuan.”

Pada waktu itu, pangeran kehilangan minat [bertamasya] dan memerintahkan pelayan itu untuk membelokkan kereta seketika dan kembali ke istana. Mengundurkan diri dalam perenungan hening, ia berpikir, “Penderitaan kematian ini pasti juga terjadi padaku.”

Di sini Sang Buddha lagi melanjutkan dalam syair:

Setelah melihat seorang yang sudah meninggal untuk pertama kalinya, dan
Mengetahui orang mati itu akan terlahir kembali,
Ia mengundurkan diri dalam perenungan hening,
Berpikir, “Aku juga tidak dapat meloloskan diri dari penderitaan ini.”

Pada waktu itu ayahanda-raja bertanya kepada pelayan itu, “Apakah pangeran menikmati tamasyanya?” Ia menjawab, “Tidak, baginda.”

Raja bertanya lagi mengapa. Pelayan itu menjawab, “Baginda, kami bertemu dengan seorang yang sudah meninggal di jalan. Pangeran tidak bergembira karena hal itu, tuan.”

Pada waktu itu, ayahanda-raja tidak menanyai pelayan itu lagi, tetapi berpikir:

Dulu ketika sekelompok peramal meramalkan keberuntungan pangeran, mereka mengatakan kepadaku bahwa ia akan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Sekarang ia tidak bergembira dengan kehidupan di sini. Tidakkah ada suatu cara bijak untuk mengubah perasaannya? Aku harus melakukan beberapa cara bijak, untuk meningkatkan hiburan [untuk]nya dengan musik dan tarian, yang mengalihkan pikirannya, dengan demikian mencegahnya meninggalkan kehidupan berumah tangga.

Seketika, [raja] memerintahkan tempat kediaman baru dengan menarik dihiasi dan menugaskan para wanita istana untuk menghibur pangeran.

Di sini Sang Buddha melanjutkan dalam syair:

Sang pangeran muda, yang sangat terkemuka,
Yang dikelilingi para wanita istana,
Menikmati kesenangan lima indera,
Bagaikan dewa Indra.

Lagi, pada kesempatan lain, pangeran memerintahkan pelayannya mempersiapkan sebuah kereta dan mengunjungi dunia luar dalam suatu tamasya. Ia bertemu dengan seorang pertapa (śramaṇa) di jalan. Ia mengenakan jubah saṃghāṭī dan dengan mangkuk dananya pada tangannya berjalan dengan matanya melihat ke bawah di jalan.

Pangeran itu seketika bertanya kepada pelayan itu: “Apakah orang ini?” Ia menjawab, “Ini adalah seorang śramaṇa, tuan.”

Pangeran bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan śramaṇa?” Pelayan itu menjawab:

Tuan, ini berarti orang itu telah meninggalkan hubungan keluarganya, setelah pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan berumah tangga. Ia menjalankan praktek religius, dengan mengendalikan indera-indera dan menghindari diri dari ketertarikan terhadap objek-objek eksternal keinginan. Karena belas kasihnya, ia menghindari diri dari perbuatan melukai apa pun, tidak terjebak oleh kekhawatiran akan penderitaan, ataupun bergembira dalam mengalami kesenangan [indera]; kokoh bagaikan bumi, oleh sebabnya ia disebut śramaṇa, tuan.

Pangeran berkata:

Sangat bagus. Jalan orang ini pasti benar dan tepat, yang melampaui dunia debu dan kotoran selamanya. Halus dan mendalam, mulia dan sederhana, aku memandangnya paling memuaskan!

Seketika ia memerintahkan pelayan itu, “Belokkan kereta dan berhentilah di dekat orang itu.” Kemudian ia bertanya kepada pertapa itu, “Setelah mencukur rambut dan janggutmu, mengenakan jubah saṃghāṭī, dan membawa sebuah mangkuk dana pada tanganmu, apakah yang anda cari?” Śramaṇa itu menjawab:

Siapa pun yang telah meninggalkan kehidupan berkeluarga seharusnya memperhatikan pada pengendalian pikiran dan keinginannya, yang melampaui hal-hal duniawi. Membantu para makhluk hidup dengan cinta kasih, tetapi tidak tertarik pada mereka, dengan pikiran yang tidak berpihak dan teguh, ia memusatkan perhatian pada praktek sang jalan.

Pangeran menjawab, “Sangat bagus. Jalanmu adalah paling benar dan tepat.” Kemudian ia berkata kepada pelayannya, “Bawalah pakaianku dan kereta ini, dan kembalilah untuk menyampaikan kata-kataku kepada raja:

Aku akan mencukur rambut dan janggutku di tempat ini, memakai tiga jubah pertapa, meninggalkan kehidupan berumah tangga, dan berlatih jalan religius. Alasan [atas hal ini] adalah karena aku [lebih] memperhatikan pada pengendalian pikiran dan keinginanku, yang melampaui hal-hal duniawi; aku ingin menjaga pikiranku dengan murni, dengan demikian mempelajari metode sang jalan.

Kemudian pelayan itu membelokkan keretanya [menuju istana] untuk menyampaikan pesan pangeran kepada ayahnya, sang raja. Setelah itu, pangeran mencukur rambut dan janggutnya dan mengenakan tiga jubah pertapa, dengan demikian menyelesaikan pelepasan kehidupan berumah tangganya.

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:

Pangeran melihat seorang yang tua dan sakit dan menyadari kenyataan tentang penderitaan dan kesakitan. Ketika ia melihat seorang yang sudah meninggal, ia kehilangan kemelekatannya pada dunia awam. Tetapi segera setelah ia melihat seorang śramaṇa, ia seketika mencapai terobosan spiritual yang mendalam. Ketika ia turun dari keretanya, ia melembutkan langkahnya, dengan maju setengah langkah kaki biasanya, dan melepaskan pakaian keterikatannya. Ini adalah pelepasan sejati atas kehidupan berkeluarga. Ini adalah penarikan sejati dari dunia awam. Kemudian, setelah mencukur rambut dan janggutnya, ia mengenakan jubah saṃghāṭī, dan dengan sebuah mangkuk dana pada tangannya ia pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan.

Para penduduk berkata satu sama lain:

Ini pasti jalan sejati, karena ini telah menyebabkan bahkan pangeran memutuskan untuk meninggalkan kemuliaan karir dan jabatannya.

Ini mengakibatkan terjadinya banyak pelepasan [keduniawian] yang sama. Dari seluruh negeri, datanglah saat itu kepada pangeran delapan puluh empat ribu orang penduduk kota, yang menjadi para siswanya, meninggalkan kehidupan berkeluarga, dan memasuki praktek sang jalan.

Sang Buddha kemudian melanjutkan dalam syair:

Setelah mendengar bahwa [pangeran] memilih
Dharma yang mendalam dan mulia,
Banyak mengikuti teladannya
Dalam meninggalkan kehidupan berkeluarga mereka.
Menjaga jarak diri mereka dari
Ikatan kewajiban dan cinta,
Mereka bebas dari sebab kemelekatan.

Kemudian, dengan menerima para pengikut baru ini dan mengizinkan mereka menemani dirinya, pangeran berkelana dari desa ke desa, dari negeri ke negeri, menyebarluaskan ajarannya di mana pun ia berhenti. Di mana pun ia singgah, orang-orang selalu mempersembahkan empat jenis sokongan (yaitu, makanan dan minuman, jubah atau kain, tempat tinggal, dan obat-obatan) demi penghormatan. Bodhisattva berpikir:

Aku telah mengadakan perjalanan dengan sekumpulan siswa di antara para penduduk berbagai negeri, tetapi aku tidak lagi menikmati perkumpulan dan kebisingan. Aku harus mencari cara meninggalkan keramaian orang ini dan mencari jalan tertinggi di beberapa tempat yang sunyi.

Belakangan, pangeran memenuhi keinginannya akan pengejaran kesunyian dan memusatkan latihannya di suatu tempat yang terpencil. Tetapi lagi ia tertekan oleh suatu pemikiran:

Sangat disayangkan melihat bahwa semua makhluk hidup berdiam selalu dalam kegelapan ketidaktahuan dan menghadapi berbagai bahaya, apakah kelahiran, usia tua, penyakit, atau kematian; dalam kegelapan ini semua bentuk penderitaan ini muncul seketika, dengan kematian di sini dan kelahiran di sana, kematian di sana dan kelahiran di sini. Karena kelompok unsur kehidupan (yaitu, unsur-unsur jasmani dan batin) itu sendiri adalah penderitaan, siklus samsara kehidupan adalah tiada akhir. Aku suatu saat nanti akan menyempurnakan suatu pemahaman yang menyeluruh atas kelompok unsur kehidupan ini yang secara alami adalah penderitaan, dan dengan demikian [sekali dan selamanya] mengakhiri sepenuhnya penderitaan kelahiran, usia tua, dan kematian.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version