//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - nyanadhana

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7
46
Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ

Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka.

Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke- 16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenang- wenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak.

Kini berkibarnya "revivalisme" , terkadang dalam bentuk "fundamentalisme" , dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama."

Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada "gerak" lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak "pascamodern" ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan "berpikir meditatif", atau lebih khusus lagi, "berpikir puitis", yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu.

Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap "tuhan menurut filsafat", atau tuhan dalam metafisika—yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke "Tuhan yang ilahi" (göttlichen Gott).

Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan "tetapnya Tuhan dalam hidup saya" yang "diseru dengan nama-nama lain".

Jelas gerak "menengok kembali agama" itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu ’ke Tuhan’ atau adieu ’selamat tinggal’, "satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan", yang juga merupakan ucapan "selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik… atas pengertian ’Tuhan’ yang itu juga".

Syahadat Nurcholish Madjid

Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama "Tuhan". Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata.

Kata Tuhan hanyalah "penanda" (signans) yang maknanya baru kita "dapat" tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, "makhluk". Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan "Tuhan" tak kunjung berhenti.

Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya. Signatum ("petanda"?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain.

Maka, tiap kali "Tuhan" kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: "Buddha bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Buddha" atau "Tuhan" yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang "Buddha" dan Sang "Tuhan" yang tak terwakili oleh kata itu.

Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri". Dengan kata lain, nama "Allah" hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, "Allah" seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain—satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri.

Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, "aku berdoa… agar dijauhkan aku dari tuhan". Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya "sesat". Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan.

Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas—bahkan mencong. Jean-Luc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya "munafik". Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, "kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi".

"Satu", Zizek, dan ontologi Badiou

Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau—asumsi "metafisika kehadiran".

Ini tampak ketika kita mengatakan "Tuhan yang Maha Esa". Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna "Tuhan" sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika "tuhan" dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan "Tuhan itu Satu", kita sebenarnya telah menyekutukan- Nya.

Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah "teologi materialis" dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, "Satu" adalah pengertian yang muncul belakangan.

Zizek mengacu ke Badiou: "banyak" (yang juga berarti "berbagai-bagai" ) atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari "Satu" dan tak dapat diringkas jadi "Satu". Lawan multiplisitas ini bukan "Satu", tapi "Nol"—atau kehampaan ontologis. "Satu" muncul hanya pada tingkat "mewakili" —hanya sebuah representasi.

Monotheisme tak melihat status dan peran "Satu" itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai "Satu" memungkinkan orang mempertentangkan "Satu" dengan "Nol". Maka, orang mudah untuk menghapus "Satu" dan memperoleh "Nol". Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, "atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme" .

Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima "teologi materialis" Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, kr****n, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap "Satu" hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan- Nya—satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan "tak suatu apa pun yang menyamai-Nya" .

Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal.

Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang- ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan "dominasi imperialis".

Tampaknya Levinas menganggap Heidegger—pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu—berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige).

Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan "paganisme". Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke "bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif".

Levinas—yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi—tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap.

Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain—Buddhisme dan Taoisme misalnya—dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu "primitif", itu karena tak sesuai dengan standar kr****n dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung "agama primitif" ini tak ada yang "menyiapkan munculnya sesosok tuhan".

Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya "sesosok tuhan" dalam "agama primitif", atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich.

Teolog kr****n itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat "ilahi". Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai "Tuhan-di-atas- Tuhan-dalam- theisme".

Tuhan "Tak Harus Ada"

Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai "Tuhan-di-atas- Tuhan-dalam- theisme" dan ucapannya bahwa Tuhan "tidak eksist"—sebab Ia melampaui "esensi serta eksistensi"—saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion.

Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira'- nya) dibenarkan "ada"-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang "ada". Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai.

Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n’a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.

Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, ’fenomena yang dilimpah-turahi’. Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek—kalaupun itu masih bisa disebut "obyek". Bahkan, aku dibentuk olehnya.

"Fenomena yang dilimpah-turahi" itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya.

Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. "Aikon" yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah "aikon dari Tuhan yang tak terlihat".

Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma "fenomena yang dilimpah-turahi" , Marion—seperti Levinas—berbicara tentang "agama" dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari "atas", melainkan pencerahan dari dalam?

Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai "kehadiran". Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan?

Dengan pandangan khas ka****k, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu—juga Tuhan—di-atas-Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart—merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan.

Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira "Tuhan-Tanpa- Ada" yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. "Tuhan" tak punya makna yang hadir.

Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut Nama-Nya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. "Dieu déja se contredit", kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri.

Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran.

Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Jakarta, 27 September 2007

GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo
Sumber Bentara KOMPAS, Sabtu 6 Oktober 2007

47
Mahayana / Arya Sanghata Sutra
« on: 23 June 2008, 11:15:43 AM »
 _/\_ ada yang tahu ga mengenai Arya Sanghata Sutra, dikatakan sebagai Sutra yang dapat mengabulkan segala keinginan, trus ketika saya dapat cdnya disertai testimonial dari yang pernah denger bahwa mereka mengalami miracle . thanks

48
Kafe Jongkok / Dosen Termuda di Dunia
« on: 19 June 2008, 04:14:07 PM »
Dosen Termuda Di Dunia [Lulus SD umur 5 tahun]

[intisari-juni2008]

Dia bisa membaca saat umur delapan bulan. Ketika sembilan tahun ia mencapai
sabuk hitam takewondo, dan pada usia 11 tahun ikut konser klarinet(sejenis
alat musik tiup). Sekarang, pada usia 19, ia menjadi dosen termuda sedunia.

Dialah Alia Sabur, gadis New York dari orang tua imigran asal Iran. Ibunya
seorang insinyur, dan ayahnya seorang insinyur. Akhir Mei lalu ia memulai
karier sebagain dosen dosen di Universitas Konkuk, Seoul, Korsel. Harian
Times of London edisi 2 Mei menyebuitkan dalam lampiran riwayat hidup ia
mencantumkan "lancar berbahasa korea".

"Bahasa saya metematika, " katanya, "juga musik."

Alia lulus SD saat umur lima tahun, dan pada umur 10 tahun ia sudah melahap
buku fisika di Univ. Stony Brook, New York. Sebuah tes yang pernah diikuti
Alia konon menghasilkan data, IQ nya diluar tabel ukuran yg tersedia.

Maka dengan enteng ia lulus kuliah pada umur 14 tahun, dan dua tahun
kemudian meraih Ph.D dalam Ilmu Teknik dan Sains Material dari Univ, Drexel,
Philadelphia. Tepat di ulang tahunnya yg ke-19, dengan malu-malu ia
menceritakan "pinangan" Univ. Konkuk di Korea. Profesor Sabur akan mengajar
di Departement of Advanced Technology Fusion.

Cita-citanya adalah menyumbangkan keahlian untuk ikut memerangi penyakit
kanker dan ALzheimer.

Prestasi Nona Sabur telah dicatat di Guinnes Book of Records, menyamai rekor
Colin MClaurin, murid ahli fisika Isaac Newton. Pda tahun 1717 Mclaurin juga
diangkat menjadi dosen, juga pada usia 19 tahun.

49
Perkenalan / Siapakah Wen Wen?
« on: 18 June 2008, 01:16:41 PM »
anybody know?

50
Kafe Jongkok / Berita Buruk
« on: 18 June 2008, 09:11:43 AM »
Suatu sore telepon berbunyi.
"Hallo, Pak juri ? Ini saya, tuan, Dodo, pembantu di villa bapak.."

"Oh iya. Ada apa Do? Ada masalah?

"Anu..saya nelepon cuma mau ngasih tau, burung kakaktua bapak mati.."

"Kakaktua saya? Mati? Yang pernah menang di Lomba Tingkat Dunia itu??"

"Ya tuan..yang itu"

"Waduh sial juga ya...lumayan banyak juga tuh duit keluar buat
ngelatih tu burung..matinya kenapa do?"

"Gara2 makan daging busuk, tuan"

"Daging busuk?? Siapa yang ngasih dia daging busuk??!!"

"Ngga ada tuan..dia cuma makan daging kuda yang udah mati."

"Kuda mati? Kuda mati apa??"

"Kuda punya tuan."

"Kuda yang menang pacuan internasional itu?!!!"

"Iya tuan, Dia mati kecapen setelah narik gerobak tong air."

"Lu gila ya? gerobak air apaan???"

"Gerobak air buat madamin api, tuan"

"Ya ampuun..api apa lagi???"

"Api di rumah tuan! Ada lilin yang jatuh dan apinya kena tirai..trus
merembet deh."

"Ja..jadi..maksud lu villa mewah gua itu ancur berantakan gara2 lilin?!!!"

"Begitulah, tuan."

"Tapi kan disitu banyak lampu!!! Tu lilin buat apaan???"

"Buat pemakaman, tuan."

"Demi Tuhan, pemakaman apa doooo??!!"

"Pemakaman istri tuan.. Suatu malam dia berjalan2 di dalam rumah yang
gelap gulita, saya pikir maling, jadi saya hajar aja dia pake tongkat
golf Nike tuan..."

Sunyi....... ......... .. ,

Sunyi cukup lama....

"Doooo!!!!!! !!!....lu bener2 dalam bahaya besar, kalo tu tongkat golf ampe patah....."

51
hehehe..dapet dari temen..ini doa untuk semua lajang berbahagia di seluruh nusantara (halah!)... yang mau menikah, jadikah anda menikah? J
 

Thank God, untuk ...
Kemerdekaan menjalani hidup
Keleluasaan mengejar karier
Waktu melimpah untuk hang-out
Masa yang panjang untuk bersenang-senang
Tidur yang nyenyak tanpa dengkuran
Kemewahan untuk menikmati kesendirian
dan banyak lagi yang terlalu panjang untuk kami sebut semua dalam doa kami

Beri kami kesabaran untuk ...
Tidak kurang ajar menghadapi tuntutan orang tua
Selalu tersenyum bila ditanya mengapa keenakan melajang
Tidak tertawa atas curhat tentang urusan rumah tangga

Beri kami kekuatan untuk ...
Tidak melepas masa lajang karena everybody does
Tidak melepas masa lajang karena dianggap menghalangi jalan adik kami
Tidak melepas masa lajang karena terlanjur berbadan dua ...
Tidak melepas masa lajang untuk bayar utang

Dear God,
Biarkan kami menikmati kesendirian kami
Dan merelakannya pergi pada waktunya
Atau bila kau anggap kami terlalu egois bersenang-senang sendiri
Berikan kami teman terbaik untuk berbagi kesenangan

The good one, of course, if You dont mind .....Amin


52
 _/\_ Silahkan kilik link ini, maaf belum sempet translate surat aslinya

http://www.shcstory.com/mystory.html

Korban berinisial SHC ini menuliskan kisahnya bertemu Lu sheng Yen yang akhirnya menjadikan ia sebagai praktik sadhana seksual untuk memulihkan kondisi kesehatannya. tulisan ini merupakan surat yang ditulis dan dipubliaksikan sebagai artikel di beberapa jurnal buddhist yang mencatat mengenai cult. silahkan dibaca

53
Diskusi Umum / Panti Jompo dan Bakti Anak Terhadap Orang Tua
« on: 10 June 2008, 10:45:14 AM »
 _/\_ Halo semua,bagaimana tanggapan kalian terhadap seorang anak yang memasukkan orang tuanya ke Panti Jompo hanya karena orang tuanya sudah terlalu renta dan tidak bisa mengurus ortunya?

silahkan ditanggapi........

Buat saya sendiri, Orang Tua gw aja kagak pernah masukin gw ke Panti Asuhan hanya karena alasan tidak bisa merawat, Eh malah gw tega masukin ke Panti Jompo. sungguh tak punya balas budi.

54
Theravada / Pencerahan Langsung/Instan
« on: 09 June 2008, 04:59:08 PM »
 _/\_saya ingin bertanya kenapa didalam Sutta2 ada umat awam atau bhikku yang tanpa melalui proses meditasi bisa mencapai Pencerahan Langsung? dalam artian,ketika Sang Buddha membabarkan Dhamma, ada yang mencapai Arahat seketika. berarti orang itu tidak memerlukan lagi pelatihan yang susah payah seperti lainnya.?

55
Diskusi Umum / Memilah Mitos Tiongkok berkaitan dengan Buddhism
« on: 06 June 2008, 09:25:00 AM »
 _/\_ Tiongkok memiliki segudang cerita dan perumpamaan, inilah yang kita sering ketahui dan budaya Tiongkok memang terkulturasi dengan baik dalam artian, setiap masyarakat Tionghoa akan mengenal kisah-kisah itu dan menjadikannya sebagai sosok dewa dalam kepercayaan mereka.

Masyarakat Tionghoa yang memiliki prinsip "apapun yang baik,asalkan itu cerita Tiongkok maka layak disembah". Hal inipun menjadi dilema ketika Buddhisme yang membawa pandangan "berbeda" ke dalam masyarakat Tionghoa.

Beberapa kisah yang sering kita temukan adalah
1. Perjalanan Ke Barat oleh Biksu Tong Sam Cong dari dinasti Tang
2. Maitreya yang digambarkan dengan Biksu Gendut berkantong, bernama Bu Dai atau Hotei(Japan) dari Dinasti Liang
3. Putri Miao Shan (thn 1100AD)
4. Wei Tuo / Skandha Bodhisatva
5. Ji Gong(1132 - 1207AD)

dan masih banyak lagi legenda- legenda lainnya yang sebenarnya memiliki nilai kebenaran sejarah yang kemudian dibuat menjadi mitos/legenda yang akhirnya rancu.kebanyakan akhirnya menjadi blend Taoism dan Buddhism dan terkadang oleh pihak tertentu dijadikan sebagai sentral pemujaan dengan tujuan politik, biasanya adalah menggulingkan kerajaan yang ada.

Mari membedah secara singkat.
1. Perjalanan ke Barat
Histori : Xuan Zang(602-664AD) adalah seorang biksu pada permulaan Dinasti Tang (Zhang An),bertempat di Biara Jing Tu(Pure Land), Beliau memperhatikan minimnya teks Buddhisme yang ada di Tiongkok,sehingga termotivasi untuk pergi langsung ke tempat kelahiran Buddha yaitu India untuk mengambil Tripitaka.
Dalam Perjalanan Xuan Zang bertemu dengan 3 murid yang pertama manusia bertemperamen cepat marah seperti kera(didepiksikan sebagai Sun Wu Kong) , manusia berperangai seksual seperti babi(didepiksikan sebagai Zhu Ba Jie) dan manusia berperangai bodoh(didepiksikan sebagai Sa Zheng/river ogre).
Ketiga perangai tersebut dalam buddhisme dikenal sebagai Lobha,Dosa dan Moha yang ternyata terwujudkan dalam karakter ketiga muridnya.
Xuan Zhang sampai ke Nalanda, perjalanan memakan waktu 13 tahun, kembali lagi ke kerajaan Tang dan mentranslasikan Agama Sutra dan Sutra Mahayana kedalam aksara Mandarin. Xuan Zhang meninggal pda 07 Maret 664AD.

2. Maitreya dalam wujud Biksu Berkantong
Sebeanrnya merupakan seorang biksu yang persis seperti gambaran patung ketika kita memasuki vihara Mahayana.nama aslinya adalah Qieci. digambarkan sebagai biksu yang sangat mulia dan sering membantu. Ketika kematiannya, ia menuliskan
Maitreya, oh Maitreya Sejati
Terlahir dalam jutaan inkarnasi
Kadang ia muncul pada banyak orang
Namun, orang-orang tidak mengenalnya

Ketika masyarakat membaca tulisan dindig yang ditulisnya,segera diagmbarkan sebagai Maitreya yang turun ke dunia.
Berbicara mengenai Maitreya (future Buddha) menjadi rancu dan menjadi permainan politik setiap kerajaan dalam merebut hati masyarakat tiongkok yang suka akan mitos - mitos. salah satunya adalah Ratu yang paling berkuasa yaitu ratu Ze Ci yang menuliskan sebuah Sutra Buddhist yang mengklaim bahwa Sakyamuni meramal dia sebagai wujud Maitreya untuk memerintah kerajaan Tiongkok. Ratu kejam ini mengharapkan rakyatnya untuk memanggil dia sebagai "Ibunda Semesta"   :whistle:. kemudian anaknya Kaisar Ming dituliskan sebagai "Ming Ming Shang Di" atau "Raja Kebenaran Semesta" disebut sebagai nama Tuhan.
Maitreya kemudian digambarkan terlahir lagi dalam ketua kelompok Bai Lian Jiao yang saat itu ingin mengguncang pemerintahan dengan menyebutkan bahwa Maitreya telah lahir,semua rakyat harus tunduk bahkan raja juga harus tunduk, organisasi rahasia ini memiliki kesamaan dengan satu aliran "Buddhist" yang ada saat ini.

3. Putri Miaoshan
Terlahir di sebuah kerajaan dimana Raja(Ayahanda) merupakan raja paling kejam, Raja tidak memiliki seorang anak akhirnya diakruniai seorang putri, Raja sangat kesal karena dia menginginkan anak laki-laki terlahir untuk meneruskan warisan kerajaan. Dikatakan karena welas asih Putri Miao Shan,terakhir Ayahanda berubah menjadi baik dan belajar Dhamma. Mitos rakyat bercerita Ayahanda terlahir sebagai Siluman Kerbau ( Niu Wang, Gu Mo Ong, Gyumao) yang akhirnya diturunkan untuk membantu pertanian.

4. Wei Tuo/ Skandha
Terlahir pada saat yang sama dengan Putri Miao Shan,merupakan seorang jendral yang jatuh cinta dengan Miao Shan, namun melihat kebaikan dan Dhamma yang disampaikan oleh Miao Shan sebagai biksuni,maka Wei Tuo bersumpah untuk menjaga Dhamma, dikatakan sebagai reinkarnasi Skandha Bodhisatva pelindung Dharma.

5. Ji Gong
nama asli Li Xiu Yuan, merupakan biksu dari Dinasti Song, dalam aliran Zen, dikeluarkan dari Buddhism karena makan daging dan bermabuk-mabukan. Ji Gong dikatan sebagai reinkarnasi dari Maha Kassapa menurut mitos rakyat, memiliki kemampuan menyembuhkan dan supranatural lainnya. Ji Gong lebih dikenal sebagai dewa Taoisme dan ia juga digunakan sebagai kekuatan politis beberapa phak dengan mengklaim bahwa dia adalah makhluk sempurna meskipun memakan daging atau minum arak. Ji gong cult tersebar di beberpa wilayah Tiongkok namun tenggelam oleh waktu.

Beberapa mitos minor lainnya mungkin tidak akan dibahas karena mitos minor tenggelam oleh waktu.Sampai hari ini masyarakat Tionghoa masih mempercayai mitos ini tanpa melihat dari segi histori kebenaran yang sebenarnya biasa-biasa saja. hal ini berimbas pada pemahaman Buddhisme yang menjadi salah kaprah. Untuk lebih benarnya, Discovery Channel China telah melakukan riset dari catatan-catatan kuno yang membuktikan kebenaran setiap tokok karakter. Demikian pembahasan Mitos Tiongkok dengan Buddhisme _/\_

56
Diskusi Umum / Sekilas Buddhayana
« on: 04 June 2008, 11:53:45 AM »
BUDDHAYANA

Buddha menunjukkan jalan dengan 3 wahana (triyana), yaitu : Sravakayana, Pratyekabuddhayana dan Bodhisattvayana. Seluruh dharma itu hanyalah satu kendaraan (Ekayana), yaitu Buddhayana (Saddharmapundarika-Sutra II). Jalan yang berkembang di barat: ”One Dharma” =  Non-Sektarian  = Ekayana = Buddhayana. Buddhayana bukan sekte baru, melainkan wadah pemersatu berbagai tradisi buddhis yang sudah ada.

Perkembangan ajaran Buddha di Indonesia, yaitu dimulai dengan kedatangan dari Ajisaka

•         aji  --- bahasa kawi = ilmu kitab suci

•         saka --- berasal dari sakya

jadi, ajisaka  artinya ahli dalam kitab suci, sakya / ahli buddha dharma. Ajisaka merupakan gelar  u/ raja Tritustha. Dalam legenda masyarakat jateng tentang perang dasyat antara ajisaka  dengan raja  dewoto cengkar ( dewoto = dewa,  cengkar = jahat ) = dewa jahat  ( avidya ). Sehingga dapat dikatakan perang tersebut, merupakan perang antara Buddha Dharma melawan kejahatan / kebodohan (avidya)

 

Siapa Ajisaka ?” Beliau bukan hanya ahli dalam Buddha Dharma, tetapi juga seorang ahli astronomi dan ahli sastra disamping sebagai dharmaduta, beliau juga memperkenalkan aksara dan penanggalan tahun Saka (Candrasengkala), yaitu :


"ha – na – ca – ra – ka,

da – ta – sa – wa(ga) – la,

pa – da – ja – ya – nya,

ma – ga(nga) – ba(tha) – tha(ba) – nga(wa)"


"Ada abdi, sama-sama memegang surat (titah), sama-sama jayanya, dan sama-sama gugur".

 

dhura & sembada “ nir wuk tanpa jalu “. nir = kosong, wuk = tidak jadi, tanpa=0 jalu =1.  jadi 0001, menurut tahun saka = 14 maret  tahun 78 masehi

 

Perkembangan Agama Buddha di Indonesia, yaitu :

a.       Abad I, ditandai kedatangan Ajisaka

b.      abad II, III, IV, menurut catatan Fa-Hien  pada saat itu di Jawa agama Buddha sudah ada dan kedatangannya. Pada saat itu banyak membawa rupang dan kitab agama buddha

c.       abad V, VI,  bukti perkembangan agama Buddha dari prasasti Purnawarman di Jawa Barat dan Mulawarman di Kalimantan

d.      Abad VII, VIII, jaman keemasan agama Buddha, ditandai dengan pendirian candi Borobudur

e.       Abad VIII, IX, berdiri kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Menurut catatan It Shing pernah datang dan belajar.

f.        Abad XI,  Atisa Dipankara, seorang bhikkhu yang punya latar belakang pengajaran Tantrayana, berguru  pada Serlingpa Dharma Kirti di Sriwijaya.

g.       tahun 1100 – 1478, berdiri kerajaan-kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit dan akhirnya Majapahit runtuh - kerajaan Islam berdiri agama Buddha hilang dari peredaran, dan tidak pernah di bicarakan, hanya peninggalan berupa candi candi yang masih dikagumi kebangkitan agama Buddha

h.       abad XX tahun 1929, orang Belanda yang beragama Buddha membentuk Java Buddhist Association (orientasi Theravada). Presiden pandita Josias (upasaka I yang datang di pulau Jawa) banyak berinteraksi di klenteng dengan bhiksu-bhiksu yang di klenteng dan niko-niko.

i.         tahun 1934, bhikkhu narada thera datang ke Indonesia. Pada tanggal 4 Maret (seorang Dharmaduta Buddhis terkenal dari Srilangka) pulau Jawa pertama kalinya dikunjungi bhikkhu Theravada. Penanaman pohon Bodhi di candi  Borobudur. 10 Mei terbentuk Batavia Buddhist Association (condong ke Mahayana). Pada tanggal 23 januari 1923, di Bogor, lahir bayi laki-laki. Ayahnya Tee Hong Gie, ibu Tan Sep Moy. Anak tersebut diberi nama Tee Boan An mempunyai 2 (dua) kakak laki-laki.  Ibu meninggal, saat Boan an usia 20 tahun. Pada tahun 1946  Tee Boan An nekat ke Belanda. Boan An  kuliah, sering ikut ceramah Theosofi sempat ke Perancis mengikuti ceramah Krisnamurti (praktisi spiritual). Beliau melanjutkan perjalanan ke Belanda dan semakin mantap menempuh jalan spiritual. Pada tahun 1951 pulang ke Indonesia. Beliau mengunjungi teman-teman dan diangkat jadi ketua gabungan Sam Kauw Indonesia. Jabatan ini membuatnya lebih mudah menyebarkan ajaran Buddha. Beliau pernah menjadi guru di Sariputra Jakarta. Memutuskan jadi pelayan Buddha (anagarika) berkenalan dengan Ananda Suyono dan Parwati tahun 1953 melempar ide mengadakan waisak secara nasional di borobudur, dengan membagikan undangan ke pejabat dan wakil Negara. Perayaan waisak mendapat dukungan dari theosofi dan orang-orang Sam Kauw Waisak 2497, 22 mei 1953 adalah sebagai shock therapy, membuat orang tercengang menyadarkan orang, bahwa dulu ajaran Buddha pernah berjaya  dan umatnya masih ada. Hari-hari Tee Boan An memberikan ceramah ke Jawa Tengah–Jakarta di Jakarta sering ke klenteng Kong Hoa Sie (vihara silsilah C’han) ada suhu Pen Chin yang berdiam di sana.  (Pen Chin dalam silsilah  vihara tersebut termasuk pimpinan dan dipercaya telah mencapai kesucian). Boan An disarankan untuk mencukur rambutnya. Boan An menjadi samanera menurut  tradisi C’han diberi nama Ti Chen, (hadir saat itu maha biksu Ju Sung, biksu Ju Khung, biksu Cen Yao, biksu Wu Ching). Sramanera Ti Chen, Maha biksu Pen Ching mencarikan dana u/muridnya agar dapat ke luar negeri guna menjadi biku karena di Indonesia keberadaan biku sangat kurang. Desember 1953 sramanera berangkat ke Birma (ongkos pesawat ditutupi oleh dana yang dikumpulkan biksu Pen Ching dan sahabatnya Ong Tiang Biauw, sramanera Ti Chen, maha biksu Pen Ching mencarikan dana u/muridnya agar dapat ke luar negeri guna menjadi biku karena di Indonesia keberadaan biku sangat kurang. Desember 1953 sramanera berangkat ke Birma (ongkos pesawat ditutupi oleh dana yang dikumpulkan biksu Pen Ching dan sahabatnya Ong Tiang Biauw. Sramanera Ti Chen – Burma mengikuti latihan meditasi vipasana dipusat meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. perkembangan yang pesat menarik perhatian dari Mahasi Sayadaw,  sehingga menunjuk bhikkhu  Nyanuttara Sayadaw untuk membimbing secara khusus. Pada   23 Januari 1954 sramanera Ti Chen Di tahbiskan sekali lagi secara Theravada      menjadi seorang samanera. Guru spiritualnya YA. Agga Maha Pandita untuk Ashin Sobhana mahathera (Mahasi Sayadaw) diberi nama Jinarakkhita, dan mendapat gelar Ashin. Ashin = gelar u/menunjukkan orang yang                    memakainya sbg bhikkhu yg patut dihormatii. Sedangkan Jinarakkhita = orang yg pantas dilindungi dan diberkahi Buddha. Bhikkhu Ashin Jinarakhitta membentuk PUUI (Persaudaraan Upasaka – Upasika Indonesia) di Semarang Juli 1955 (Asadha). Selanjutnya melakukan pentabisan biku dengan mengundang biku dari luar negeri sebagai penabis dan beliau sebagai acariya, kemudian membentuk Sangha Sutji Indonesia. Awal perpecahan. Bhikkhu Ashin selalu mengingatkan upaya untuk melestarikan agama Buddha di Indonesia tidak boleh lepas dari dari kebudayaan yang sudah ada, karenanya pembauran dan pluralisme tidak dapat dihindarkan. Pada tanggal 12 Januari 1972 bhikkhu Girirakhito, bhikkhhu Sumanggalo, b. jinapiya (titatetuko), b. jinaratana (pandhit kaharudin), b. subhato (moctar rashid) memisahkan diri – membentuk yang kemudian dikenal dengan sebutan Sangha Theravada Indonesia. Pada tahun 1978 terbentuk Sangha Mahayana Indonesia, dipimpin oleh biksu Dharmasagaro akibat beliau berselisih dengan cucu murid bhikkhu ashin namun bhiksu Dharmasagaro tetap menganggap b. Ashin adalah gurunya. Kemudian Maha Sangha Indonesia dikenal dengan sebutan Sangha Agung Indonesia.

j.        tahun 1980, b. Ashin melihat umat Buddha mulai terkotak-kotak, tetapi biku Ashin tetap mempertahankan konsep wahana Buddha (Buddhayana) yang kemudian dikenal sebagai Ekayana (di barat), hal ini sekaligus merupakan pengejawantahan “Bhinneka Tunggal Ika” yang merupakan sila pertama dari pancasila yang merupakan dasar negara kita indonesia. Dengan pendekatan konsep ini umat buddha diharapkan dapat belajar masing-masing yana tanpa mencemooh satu dg yang lain , lalu mereka boleh memilih mana yg akan didalami guna menunjang praktek mereka yang penting tujuan utamanya mencapai tujuan akhir Nibbana

 

E.     TOKOH-TOKOH YANG MEMILIKI SEMANGAT BUDDHAYANA DAN PANDANGAN-PANDANGANNYA

   1. Thich Nhat Hanh, bermacam-macam obat diperlukan u/ menyembuhkan berbagai penyakit, ajaran buddha juga membuka pintu pintu dharma yang sesuai bagi setiap orang dengan keadaan yang berlainan. Meski pintu-pintu itu berbeda, antara orang satu dengan yang lain, mereka semua adalah pintu dharma
   2. dr. K. Sri Dhammananda, “pengikut Buddha sejati dapat menjalankan ajaran agama tanpa melekat pada aliran atau sekte apapun. kemelekatan membuta adalah suatu hal yang menunjukkan ketidak pahaman kita akan konsep dasar ajaran buddha itu sendiri”
   3. Maha Biksu Hsing Yun dari Buddha Light International Association (BLIA) “masa depan dapat merupakan dunia paling harmonis, adalah dunia Buddhayana”
   4. Dhammacari Lokamitra, Friend of Western Buddhist Order (FBWO), kami adalah non sekterian dalam arti bahwa kami mempergunakan ajaran – ajaran dari berbagai sekte agama buddha sejauh ajaran – ajaran tersebut relevan dan praktis dengan situasi dimana kami mempraktekkan dharma.
   5. Bhikkhu Dharmawiranatha, “Buddhayana bertujuan mencapai suatu perpaduan, antara inti sari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang.“

“konsep buddhayana bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya menghindari pengelompokan dan sekterianisme.”

 

F.      PROSPEK BUDDHAYANA

•         keinginan punya lambang persatuan yg diterima ketiga mazhab, sehingga muncul bendera Buddhis Internasional (1885) ;

•         Tahun 1943 di London terbit majalah Buddhis Internasional “the Middle Way” yang tidak memandang mazhab.

•         Tahun 1950 berdiri WFB (Wolrd Fellowship of Buddhist), dalam WFB lebih dari 25% organisasi atau institusi memiliki semangat Buddhayana. mereka memakai istilah non sekterian, intersekterian, menerima segala tradisi, terbuka untuk semua sekte, tidak berafiliasi dengan sekte

•         WBSC (World Buddhis Sangha Council) pada tahun 1966 yg menghimpun semua mahzab dalam kongres dunia i dari WBSC di Colombo 1967, telah disepakati dengan bulat rumusan prinsip dasar agama Buddha, baik Theravada, Mahayana (termasuk Tantrayana) mempunyai prinsip yang sama. perbedaan-perbedaan mengenai tata kehidupan biku, adat dan kepercayaan buddha lokal, upacara, tradisi, dan  kebiasaan hanyalah wujud luar, tidak boleh dianggap sebagai ajaran Buddha

•         the third annual internasional Buddhist seminar di New York (1974) mencetuskan harapan perserta seminar untuk tidak mengklasifikasikan ajaran Buddha ke dalam bermacam-macam yana. harapan ini disambut oleh dr.buddhadasa kirtisinghe, ketua seminar yang mengusulkan sebutan “Ekayana atau Buddhayana”

•         dr. Ananda W.P Guruge yg bekerja di unesco dalam ceramahnya “Universal Buddhisme” menyatakan “ saya meramalkan timbulnya kecenderungan – kecenderungan baru  dalam agama buddha di barat. interaksi yg rapat dari berbagai aliran dan sekte yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. pakar-pakar barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama buddha yang menggabungkan ketiga tradisi dari theravada, mahayana, tantrayana.


57
Engaged Buddhism / Wisdom in the Dawn oleh Master Cheng Yen
« on: 03 June 2008, 01:33:47 PM »
 _/\_ halo semua,buat anda yang ingin mengetahui ceramah Master Cheng Yen, setiap hari 15 menit Wisdom In the Dawn akan diupload melalui youtube dan diposting di forum DAAITV juga.

silahkan bergabung di daaitvindonesia.boomp.com di thread Wisdom In the Dawn. buat admin, mungkin tampilannya agak mirip DC karena sesungguhnya aku ambil inspirasi dari DC juga.Well silahkan menonton. :) Trilingual kok.

58
 _/\_ saya akan mengquote tulisan ini yang dikatakan bersumebr dari Tuhan

Aku, Tuhan Yang Maha Esa, Bunda Alam Semesta
Datang bersama pasukan ke dunia fana.
Sekilas saat memandang putra-putriKu
Hati kian hancur sambil menahan rasa
Bertemunya Bunda dan Anak
Betapa berbahagia
Hati wajah asaliah (Watak Nirvana) AnakKu pun muncul
Dahulu, Bunda dan Anak-anak semua berkumpul di Gunung Rohani Nirvana
Namun Anak pnya maksud berkelana, pergi dan tersesat, dan tak pernah kembali lagi.
Enam puluh ribu tahun telah berlalu didalam arus roda samsara
Memakan pahit lautan penderitaan yang tiada tepi
Aku terus menantikan dan menunggu
Melihat sunyinya pemandangan* Nirvana
Kapan Anak didalam roda samsara dan kembali
Kini telah sampai masa pancaran ketiga
Jalan menuju Aku telah disebarluaskan
Segenap Roh dapat kembali ke Asaliah
Dan bertemu wajah dengan Bunda
Aku memiliki kata-kata yang tiada habisnya
Putera dan PuteriKu, bersungguhlah mendengar PesanKu ini.
Bunda tidak tahan dan segera menahan tangis
Teriris oleh keperihatinan yang dalam.
Air mata kasihKu mengalir seperti mutiara dan permata
Aku melihat memandang Putera Puteri semua
Sesungguhnya mampu memancarkan nurani Kasih karunia secara penuh
Hendak menuliskan suara Kalbu dari relung
Lalu bagaimana bisa bila tidak menyampaikan pesan penting ini?
Putera-Puteri, perlihatkanlah watak sejati asaliah
Bertemu dan bersatu Hati dengan Ibu.
Sebab Ibu selalu memperhatikan dan menyayangi.
Setiap kali melihat Anak didalam kesesatan dan penderitaan,
Ibu juga merasa sedih dan pilu
Ibu turut larut apa yang dialami AnakKu,
Didepan Pintu Ibu masih terus menunggu
Namun sedikit sekali Anak-Ku yang kembali

Saat ini, Maha bencana telah bersarang didunia
Bencana dan peperangan yang sangat tragis pecah ditiap sudut kota
Putera PuteriKu sedang terancam dalam bencana air dan api, kelaparan, kemarau dan kekeringan,
Sungguh menyayat,
Setiap masyarakat negara dalam bencana malapetaka,
Jarang ada tempat aman
Orang-orang terkena bencana peperanagan dan wabah penyakit ganas.
Dunia akan memasuki perubahan yang besar, tidak terbayang.
Dan lebih besar lagi, adalah saat tiba bencana terbesar sepanjang zaman,
Bencana angin terdahsyat (Nuclear) menerjang langit dan hempaskan bumi.
Dalam sekejap seluruh isi dunia tampak hancur dan musnah
Bumi dan langit berawan pekat dalam kekelaman
Kedahsyatan bencana diatas dunia ini sungguh parah dan tragis
Kepiluan tangisan terdengar dimana-mana
Semua setan dan dewa-dewi juga turut merintih dalam kesedihan
Segenap penjuru dunia sarat luka dan air mata
Betapa tak snggup mendengar jeritan rintihan itu
tidak tahan melihat suasana demikian
peristiwa puncak dan terakhir ini adalah perhitungan total dan pembersihan total (atas seluruh karma buruk)
segala hutang karma dan dosa kejahatan, akan terlunasi
karma yang telah ditanam pada masa lalu, sepenuhnya akan matang
tibalah di masa stadium ketiga, saat langit mengadakan penyaringan dan pemilihan
perkara naik selamat dan turun celaka itu berkaitan dengan satu niat.
Setan yang berasal dari kesesatan dalam dan luar datang terus menjerumus
Sekali salah niat dan serong, iblis setan menjerat
Penyaringan dan pemilihan akan menentukan ke Nirvana dan ke jurang neraka
Sekali Wadah ditentukan, akan selamanya*tidak dapat berubah
Ini adalah maha bencana, dan didalam ketetapan menuju keselamatan dan kemusnahan.
Ini adalah saat terpenting, dan penentuan, dalam menanggung duka derita selamanya* atau mencapai kebahagiaan abadi
Putera PuteriKu, seharusnya paham akan maksud Ibu
Yang Ibu khawatirkan dan sedihkan adalah tibanya saat seperti itu
Jika tidak lepas dari penyaringan dan samsara lahir dan mati
Sekali jatuh dan terjerumus, susah lagi menjumpai hati terang untuk terselamatkan.

59
 _/\_ Buddhisme juga mengenal kesurupan dan cara mengatasinya seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada murid-muridnya berikut kutipan dari buku Riwayat Agung Para Buddha Book 2, Perpustakaan Dhammacitta. Di buku ini dibahas awal mulanya Atanatiya Sutta dan penggunaannya untuk menangani gangguan makhluk halus.

Pada suatu ketika, Bhagavà sedang menetap di vihàra di atas Bukit Gijjhakåña di dekat Ràjagaha. Selama masa itu Dhataraññha, Viråëhaka, Viråpakkha, dan Kuvera, empat raja dewa dari empat penjuru, mengadakan konferensi di Kota Surga âñànàñiya, Alam Kuvera, setelah mereka dengan hati-hati mempersiapkan pertahanan Tàvatiÿsa—alamnya Sakka, raja para dewa—(dari serangan para asurà dari) empat penjuru, dengan mengerahkan kawanan yakkha, gandhabba, kumbhaõóa, dan nàga. Mereka menggubah syair-syair yang disebut âñànàñiya Paritta dengan topik tujuh Buddha (sebelum Buddha Gotama). “Siapa saja yang tidak menghiraukan dan menentang ajaran para Buddha dan kekuasaan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh para Buddha akan dihukum dengan hukuman yang khusus,” mereka menyatakan. Mereka juga menempatkan sejumlah yakkha, gandhabba, kumbhaõóa, dan nàga di empat penjuru sebagai perlindungan mereka. Sekitar tengah malam mereka mendatangi Bhagavà dengan penampilan yang gilang-gemilang, cahaya tubuh mereka membanjiri seluruh Bukit Gijjhakåña. Setelah mendekati Bhagavà dan bersujud kepada Beliau, mereka duduk di tempat yang semestinya.
(Catatan: adalah tidak lazim bagi para dewa, duduk di depan para Buddha, mereka biasanya tetap berdiri. Tetapi di sini mereka duduk, karena penghormatan terhadap âñànàñiya Paritta―Komentar).


Para yakkha yang datang bersama empat raja dewa mengambil sikap yang berbeda-beda di hadapan Bhagavà; beberapa dari mereka bersujud kepada Bhagavà dan duduk di tempat yang semestinya, beberapa lagi saling menyapa dengan Bhagavà dan duduk di tempat yang semestinya; beberapa lagi merangkapkan tangan ke arah Bhagavà dan duduk di tempat yang semestinya; beberapa memperkenalkan nama dan silsilahnya dan duduk di tempat yang semestinya; beberapa hanya duduk berdiam diri.
Dalam kerumunan para dewa itu, Vessavaõõa berkata kepada Bhagavà sebagai berikut:
“Yang Mulia, di antara para yakkha yang memiliki kesaktian tinggi, beberapa memiliki keyakinan terhadap Bhagavà sedangkan beberapa lainnya tidak. Demikian pula halnya dengan para yakkha dengan kesaktian menengah dan para yakkha dengan kesaktian rendah. Yang Mulia, banyak yakkha yang tidak menghormati Bhagavà (mereka tidak menyukai Bhagavà) karena Bhagavà mengajarkan agar menghindari: pembunuhan, pencurian, hubungan seksual yang tidak benar, berbohong, dan meminum minuman keras, sedangkan para yakkha pada umumnya tidak menghindari diri dari: pembunuhan, pencurian, hubungan seksual yang tidak benar, berbohong, dan meminum minuman keras. Bagi para yakkha yang tidak memiliki moralitas Lima Sãla, hal itu adalah haram.”
“Yang Mulia, banyak para bhikkhu siswa Bhagavà yang berdiam di vihàra-vihàra di tempat-tempat yang terpencil. Tempat-tempat terpencil itu adalah tempat kediaman para yakkha yang sakti yang tidak menghormati Bhagavà. Agar mereka lebih percaya diri, sebagai perlindungan bagi para siswa bhikkhu, siswi bhikkhunã, siswa awam Bhagavà, agar mereka semua bebas dari gangguan para yakkha, dan untuk hidup penuh ketenangan dan kedamaian dalam empat posisi tubuh bagi semua orang, sudilah Bhagavà mengajarkan âñànàñiya Paritta kepada para siswa.”
(Di sini, Vessavanna bertindak sebagai juru bicara bagi empat raja dewa karena ia akrab dengan Bhagavà dan juga karena ia memiliki gaya bahasa yang baik.)
1895
Bagaimana âtànàtiya Paritta Diajarkan
Bhagavà menerima usul Vessavanna dengan berdiam diri.
Mengetahui bahwa Bhagavà menyetujui sarannya, Vessavaõõa membacakan âñànàñiya Paritta sebagai berikut:
âñànàñiya Paritta (Pali)
1) Vipassissa ca namatthu; cakkhu mantassa sirãmato
Sikhissapi ca namatthu; sabbabhutà nukampino.

(2) Vessabhussa ca namatthu; nhàtakassa tapassino
Namatthu Kakusandhassa; Màrasenà pamaddino.

(3) Koõàgamanassa namatthu; bràhmanassa vusãmato
Kassapassaca namatthu; Vippamuttassa sabbadhi.

(4) Angirasassa namatthu; sakyaputtassa sirãmato
Yo imam dhammam desesi; sabbadukkhàpanådanam.

(5) Ye cà pi nibbutà loke; yathàbhåtam Vipassisum.
Te janà apisunàtha; mahantà vãtasàradà.

(6) Hitam devamanussànam; yam namassanti Gotamam
Vijjàcaraõasampannam; mahantam vãta sàradam.

(7) Yato uggacchati såriyo; àdicco maõóalã Mahà
Yassa cuggacchamànassa; saÿvarãpi nirujjhati
Yassa suggate såriye; divasoti pavuccati.

(8) Rahadopi tattha gambhãro; samuddo saritodako
Evaÿ taÿ tattha jànanti; samuddo saritodako.
(9) Ito sà purimà disà; iti nam àcikkhatã jano
Yam disam abhipàleti; Mahàrajà yasassi so.

(10) Gandhabbànaÿ adhipati; dhataraññhoti nàmasso
Ramatã naccagãtehi; gandhabbehi purakkhato.

(11) Puttàpi tassa bahavo; ekanàmàti me sutaÿ
Asãti dasa eko ca; Indanàmà mahabbalà.

(12) Te càpi buddham disvàna; buddham àdiccabandhunam
Dåratova namassanti; mahantam vãtasàradam.

(13) Namo te purisà janna; namote purisuttama
Kusalena samekkhasi; amanussàpi taÿ vandanti
Sutam netam; abhinhaso tasmà evam vademase.

(14) Jinam vandatha Gotamam; jinam vandàma Gotamam
Vijjàcaraõasampannam; buddham vandàma Gotamam.

(15) Yena petà pavuccanti; pisunà piññhimamsikà
Pànàtipàtino luddà; corà nekatikà janà.

(16) Ito sà dakkhinà disà
Iti nam àcikkhatã jano
Yam disam abhipàleti
Mahàràjà yasassi so.

(17) Kumbhandànam adhipati; Virulho iti nàmaso.
Ramatã niccagãtehi; kumbhandehi purakkhato.

(18) Puttàpi tassa bahavo; ekanàmàti me sutaÿ
Asãti dasa eko ca; Indanàmà mahabbalà.

(19) Te cà pi Buddhaÿ disvàna; Buddhaÿ àdiccabandhunam
Dåratova namassanti; mahantam vãtasàradam.

(20) Namo te purisàjanna; namo te purisuttama
Kusalena samekkhasi; amanussàpi tam vandanti
Sutamnetam abhiõhaso; tasamà evam vademase.

(21) Jinam vandatha Gotamam jinam vandàma Gotamam
Vijjàcaranasampannam; Buddham vandàma Gotamam.

(22) Yattha coggacchati såriyo; àdicco mandali Mahà
Yassa coggacchamànassa; divasopi nirujjhati.
Yassa coggatesåriye; saÿvarãti pavuccati.

(23) Rahadopi tatha gambhãro; samuddo saritodako
Evam tam tattha jànanti; samuddo saritodako.

(24) Ito sà pacchimà disà; iti naÿ àcikkhatã jano
Yam disam abhipàleti; Mahàràjà yasassi so.

(25) Nàgànanca adhipati; Viråpakkho ti nàmaso
Ramatã naccagãtehi; Nàgeheva purakkhato.

(26) Puttàpi tassa bahavo; ekanàmàti me sutaÿ
Asãti dasa eko ca; indanàmà mahabbalà.

(27) Te càpi buddhaÿ disvàna; Buddhaÿ àdiccabandhunaÿ
Dåratova namassanti; mahantaÿ vãtasàradaÿ.

(28) Namo te purisàja¤¤a; namo te purisuttama
Kusalena samekkhasi; amanussàpi taÿ vandanti
Sutaÿ netaÿ abhiõhaso; tasmà evaÿ vademase.

(29) Jinam vandatha Gotamam; jinam vandàma Gotama
Vijjàcaranasampannam; Buddham vandàma Gotamam.

(30) Yena uttarakuruvho; Mahàneru sudassano
Manussà tattha jàyanti; amamà apariggahà.

(31) Nate bãjam pavapanti; napi nãyanti naïgalà
Akaññhapàkimam sàlim; paribhunjanti mànusà.

(32) Akanam athusam suddham; sugandham tandulapphalam
Tuõóikãre pacitvàna; tato bhu¤janti bhojanaÿ.

(33) Gàviÿ ekakhuraÿ katvà; anuyanti disodisaÿ
Pasuÿ ekakhuraÿ katvà; anuyanti disodisaÿ
1898
Riwayat Agung Para Buddha
(34) Itthim và vàhanam katvà; anuyanti diso disam
Purisam vàhanam katvà; anuyanti diso disam.

(35) Kumàrimvàhanamkatvà; anuyanti diso disam
KuMàram vàhanam katvà; anuyanti diso disam.

(36) Te yàne abhiruhitvà
Sabbà disà anupariyàyanti
Pacàrà tassa ràjino
(37) Hatthiyànam assayànam; dibbam yànam upaññhitam
Pàsàdà sivikà ceva; Mahàràjassa yasassino.

(38) Tassa ca nagarà ahu
Antalikkhe sumàpità
âñànàñà kusinàñà parakusinàñà
Nàñasuriyà parakusiñanàtà

(39) Uttarena kasivanto
Janoghamaparena ca
Navanavutiyo ambaraambaravatiyo
âëaka mandà nàma ràjadhànã.
Kuverassa kho pana Màrisa màhàràjassa visàõànàma ràjadhànã
tasmà Kuvero Mahàràjà; Vessavaõoti pavuccati.

(40) Paccesanto pakàsenti
Tatolà tattalà tatotalà
Ojasi tejasi tatojasã
Såro ràjà ariññho nemi.

(41) Rahadopi tattha dharaõã nàma
Yato meghà pavassanti
Vassà yato patàyanti
Sabhàpi tattha Sàlavatã nàma.
(42) Yattha yakkhà payirupàsanti; tattha niccaphalà rukkhà.
Nànà dijagaõà yutà; mayårako¤càbhirudà
Kokilàdãhi vagguhi

(43) Jãvanjãvakasaddettha; atho oññhavacittakà
Kukkuñakà kuëãraka; vane pokkharasàtakà.

(44) Sukasàëikasaddettha; daõóamàõavakàni ca
sobhati sabbakàlaÿ sà; kuveranaëinã sadà.

(45) Ito sà uttarà disà; iti naÿ àcikkhatã jano
Yaÿ disaÿ abhipàleti; Mahàràjà yasassi so.

(46) Yakkhàna¤ca adhipati; kuvero iti nàmaso
Ramatã naccagãtehi; yakkheheva purakkhato.

(47) Puttàpi tassa bahavo; ekanàmàti me sutaÿ
Asãti dasa eko ca; indanàmà mahabbalà.

(48) Te càpi Buddhaÿ disvàna; Buddhaÿ àdiccabandhunam
Dåratova namassanti; mahantam vãtasàradam.

(49) Namo te purisàja¤¤a; namo te purisuttama
Kusalena samekkhasi; amanussàpi taÿ vandanti
Sutaÿ netaÿ abhiõhaso; tasmà evaÿ vademase.

(50) Jinam vandatha Gotamam; jinam vandàma Gotamam
Vijjàcaraõasampannam; Buddham vandàma Gotamam.

Kemudian Vessavanna berkata, “Yang Mulia, itulah âtànàtiya Paritta yang dapat digunakan sebagai perlindungan bagi para siswa bhikkhu, siswi bhikkhunã, siswa awam Bhagavà, agar mereka semua bebas dari gangguan para yakkha, dan untuk hidup penuh ketenangan dan kedamaian dalam empat posisi tubuh bagi semua orang. Yang Mulia, jika ada yakkha, atau gandhabba, atau kumbhaõóa, atau nàga yang berniat mengganggu para siswa bhikkhu atau bhikkhunã atau siswa awam yang telah memelajari paritta ini dengan baik, yakkha itu tidak akan mendapat penghormatan di dalam wilayah kekuasaanku (kekuasaan dalam mengizinkan dan tidak mengizinkan
adanya penghormatan itu). “Yang Mulia, yakkha itu juga tidak diperbolehkan memiliki istana sendiri juga tidak diperbolehkan untuk menjadi penghuni tetap di Kota âëakamandà.” Setelah mengatakan kepada Bhagavà, sanksi-sanksi yang akan diterima oleh para yakkha yang tidak patuh, dan seterusnya, Vessavaõõa melanjutkan kata-katanya dengan mengatakan bahwa terdapat orang-orang yang tidak mematuhi kekuasaan raja, demikian pula terdapat yakkha-yakkha yang tidak mematuhi kekuasaan empat raja dewa; dan kepada para yakkha yang mengganggu empat kelompok siswa Buddha (bhikkhu, bhikkhunã, siswa awam laki-laki dan siswa awam perempuan), tiga puluh delapan jenderal dewa seperti Inda, Soma, Varuõa akan dipanggil untuk melaporkan dan menjelaskan secara terperinci. Setelah itu Vessavaõõa mengucapkan selamat berpisah kepada Bhagavà dengan berkata, “Yang Mulia, kami masih memiliki banyak urusan; kami harus pergi sekarang.”
Bhagavà berkata, “Empat Raja Dewa, kalian mengetahui waktunya untuk pergi. (Kalian boleh pergi jika kalian suka.)”
Kemudian empat raja dewa itu bangkit dari duduknya, bersujud kepada Bhagavà dan menghilang. Para yakkha yang datang bersama empat raja dewa itu berpisah dengan Bhagavà dalam berbagai cara seperti saat kedatangan mereka. Beberapa yakkha bersujud kepada Bhagavà dan menghilang; beberapa lainnya saling mengucapkan kata-kata perpisahan dengan Bhagavà dan menghilang; beberapa lainnya lagi merangkapkan tangan ke arah Bhagavà dan menghilang; beberapa lainnya lagi langsung menghilang tanpa mengatakan apa-apa.

60
Kafe Jongkok / Humor Toilet Jepang
« on: 26 May 2008, 10:35:27 AM »
 ^-^ Silahken di kilik linknya


Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7