sejauh kita tahu bahwa rupang adalah sebagai perenungan kualitas2 sang buddha
hanya direnungkan saja?
bisa lebih detil lagi, perenungan yg dimaksud?
tambahan contoh:
cmmiw dulu, kalau tidak salah ingat dalam salah satu cerita ada bhikkhu yg tetap bersujud dihadapan devadatta yg berpura2 menjadi buddha gotama.
sejauh apakah makna persujudan tersebut?
ironisnya manusia butuh satu sosok untuk jadi panutan atau untuk di sembah, mau visualisasi atau simbolisasi, pada prakteknya masih banyak yang menganggap patung itu bisa memberi berkah, keselamatan dll.
Ambil contoh namaskara.. misalnya kita namaskara pada rupang atau pada Bhikkhu, bagi saya pribadi, itu sebagai rasa hormat saya kepada mereka yang patut di hormati. itu aja sich sebenarnya. karena rasa hormat makanya bernamaskara.
ibarat di agama lain ada tokoh imaginasi sebagai juru selamat, dalam buda ada tokoh yang harus di visualisasi sebagai guru.
Pointnya adalah pikiran terhadap rupang tersebut,
misal dalam contoh kasus saya bernamaskara di vihara, pikiran2 seperti apa yg dimunculkan, jika sebatas memikirkan esensi dari gambaran pikiran terhadap patung tersebut. Bagaimana jika bernamaskara berlawanan dengan arah patung (membelakangi patung)?
jika patung tidaklah sebuah masalah, kenapa terikat dengan budaya bernamaskara (sujud terhadap esensi2. note:dilakukan oleh pikiran) dihadapan altar?
maksudnya gini bro... bagi saya rupang itu merupakan simbol dari wujud Buddha pada masa lalu, so ketika melihat rupang yang ada dibaktisala, maka rasa hormat muncul, maka tindakan namaskara juga dilakukan. bagi saya gt, namun kadang kalah, ketika kita menghormati Buddha pada saat membaca paritta, maka namaskara pada saat membaca paritta jg sebagai penghormatan, itu jg termasuk penghormatan menurut saya, namun penghormatan terbaik kepada Buddha adalah, menjalan kan sila, seperti apa yg telah diajarkan, menjalankan meditasi, dan perbanyak kabaikan. gt dhe kira kira menurut saya. mungkin beda org beda pemikiran :))
_/\_
sejauh yg aku tau sih, namaskara dilakukan dengan niat menghormat pada Buddha Gotama sebagai guru kita dengan mengingat jasa-jasa Beliau yang telah menunjukkan kita jalan untuk mencapai Nibbana.
Buddha Rupang hanya sebagai visualisasi dan simbol utk konsentrasi kita.
apakah jika melakukan kebaktian di tempat yg tidak ada Buddha Rupang nya, namaskara tidak dilakukan?
kalau bernamaskara membelakangi Rupang, apakah itu pantas? Setau saya dulu, sebenarnya itu bukanlah kamma buruk, tapi pantas atau tidaknya yg menjadi masalah. ~CMIIW
yg saya bold, point menarik ;D
saya ada mau tanya.
1. Apakah harus sebuah rupang untuk menunjukan rasa hormat( yg sepertinya kepada Buddha yah?)
2. Apakah harus di bhaktisala?
3. Rasa hormat seperti apa yg dimunculkan?
karena topik yg saya pertanyakan Sejauh mana Simbolisme dalam Theravada, salah satunya adalah patung/rupang.
apakah rupang tersebut, apa yg menjadikan rupang tersebut sesuai dalam simbol Buddha di masa lalu?
penghormatan tertinggi adalah dengan mempraktekkan apa yg diajarkan oleh Sang Guru
penghormatan tertinggi adalah dengan mempraktekkan apa yg diajarkan oleh Sang Gurukebanyakan mempraktekan ritual yang bukan diajarkan sang guru, penghormatan terendah =))
kebanyakan mempraktekan ritual yang bukan diajarkan sang guru, penghormatan terendah =))
kalau saya tangkap simbolisme oleh CandraWie itu hanya untuk visualisasi dan objek konsentrasi terhadap rasa hormat akan jasa2 Buddha yah?
Jangan bikin saya tertawa ah.emang ga bisa ya?
Ritual apa? Simbolis apa?
Memangnya kita bisa menjalani hidup tanpa simbol?
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?
...
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?
tapi patung Buddha bagus kok...
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?mungkin ditambahkan biku pematung belakangan =))
tapi patung Buddha bagus kok...
Jangan bikin saya tertawa ah.
Ritual apa? Simbolis apa?
Memangnya kita bisa menjalani hidup tanpa simbol?
Majalah apa n siapa yang menjawab?
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?
tapi patung Buddha bagus kok...
hmm, sy kasih info dikit deh...menurut yg saya dengar dari beberapa suhu orang pintar yg memang jago...IMO, sugesti aja atau tahayul
patung misalkan dewa kalau di sentuh itu sebaiknya hati hati....why?
misalkan kalau kamma buruk atau orang sebut bintang nya lagi gelap...itu bisa jatuh sakit.
misalkan patung dewa yg di puja di klenteng tertentu.....
hmm, sy kasih info dikit deh...menurut yg saya dengar dari beberapa suhu orang pintar yg memang jago...
patung misalkan dewa kalau di sentuh itu sebaiknya hati hati....why?
misalkan kalau kamma buruk atau orang sebut bintang nya lagi gelap...itu bisa jatuh sakit.
misalkan patung dewa yg di puja di klenteng tertentu.....
IMO, sugesti aja atau tahayul
Kalo mis sy elus-elus Premannya, trus Dia maw kasi kiss gimana solusinnya? :-*
Kalo mis sy elus-elus Patungnnya, trus Patungnnya jadi idup gimana solusinnya? :)
_/\_ SSBS
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?
tapi patung Buddha bagus kok...
Ada beberapa cerita di negara-negara Buddhis -- yang mengisahkan bagaimana asal mula dibuatnya Patung Sang Buddha. Cerita tradisi versi Sri Lanka dapat dijumpai dalam bahasa Sinhala, yaitu pada naskah Kosalabimba varnanava, yang diambil dari naskah berbahasa Pali dengan judul yang sama. Kisah versi ini, menceritakan apa sebabnya sampai Raja Prasenjit dari Kosala membuat patung Sang Buddha dari kayu cendana yang semerbak harumnya.
Di Museum Nasional Kolombo, banyak terdapat manuskrip kuno tentang Kosalabimba varnanava, tertulis juga dalam bahasa Sinhala atau Pali. Dokumen dalam bahasa Sinhala telah diterbitkan oleh M.S Karunatilaka tahun 1939 pada Vidyakalpa Press, Kegalle. Singkat ceritanya adalah sebagai berikut :
"Ketika Sang Buddha tinggal di Savatti, suatu saat ketika Beliau sedang pergi, Raja Kosala datang berkunjung dan tidak dapat berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Kosala amat kecewa. Lalu, di lain kesempatan ia mengundang-Nya, sang raja memohon ijin, agar sebagai pengikut yang setia, ia dapat membuat patung Sang Buddha untuk menggantikan -- bila Beliau tidak ada. Sang Buddha menyetujui dan menyatakan, bahwa patung-Nya dapat dibuat dari kayu, tanah liat, logam, perak, emas, tembaga atau batu. Setelah itu raja kembali, dari mulai mengukir-Nya pada sekeping kayu cendana merah -- persis seperti Sang Guru -- dan menempatkannya pada sebuah ruangan yang khusus dibangun untuk menempatkan patung itu."
Sang Buddha, menurut cerita itu, datang melihat patung diri-Nya dan memberikan restu. Para bhikkhu yang menyertai Sang Buddha ke istana saat itu, dengan segera memberikan penghormatan kepada Buddharupam (Baca : Buddharupang, 'Patung Sang Buddha' -- red) dengan bunga-bunga segar di tangannya. Sang Buddha lalu memberikan khotbah tentang manfaat melakukan penghormatan dan menerbitkan Kitab Suci.
Hsuan Tsang (Tong Sam Chong -- red), yang mengunjungi India pada abad ke-7, melihat patung Sang Buddha di sebuah istana kuno di Kosambi, dan menghubungkannya dengan tradisi yang berlaku semasa zaman Sang Buddha. Kisah yang sama, juga diceritakan oleh Fa Hien pada abad ke-5 -- memberikan pujian kepada Raja Prasenajit dari Kosala yang pertama kali membuat patung sang Buddha. Tulisan Hsuan Tsang diterjemahkan oleh S. Beal dari Hsi-vu-chi (Buddhist Records of Western World). Sangat menarik untuk memetik bagian yang relevan dari buku ini :
"Di kota Kosambi, di sebuah istana kuno, terdapatlah sebuah vihara yang sangat besar dengan tinggi kira-kira enam puluh kaki; disana ada patung Sang Buddha yang dipahat dari sekeping kayu cendana, yang diletakkan pada sebuah batu. Itu adalah karya Raja U-to-yen-a (Udayana) .... banyak pangeran dari berbagai negeri berusaha membawa patung itu, tetapi sekalipun telah banyak yang mencoba, ternyata semua gagal mengangkatnya. Lalu, mereka membuat tiruannya. Dan mereka menganggap, bahwa itu adalah yang sesungguhnya -- itulah patung yang asli.
Setelah Tathagatha mencapai Penerangan Sempurna, Beliau pergi ke surga selama tiga bulan memberikan khotbah Dhamma untuk membalas budi kepada ibu-Nya, sehingga ibu-Nya mencapai tingkat kesucian Arahat di alam surga. Raja Udayana merenungkan tentang kasih sayang Beliau, dan menginginkan untuk mendapat gambaran tentang Beliau. Ia meminta Yang Ariya Moggalanaputta -- dengan kekuatan batinnya -- mengirim seorang seniman ke surga untuk mencari tahu bagaimana ukuran tubuh Sang Buddha, lalu memerintahkan untuk membuat patung-Nya dari kayu cendana. Ketika Tathagatha kembali dari surga, patung tersebut berdiri dan menghormat kepada Raja diraja (Sang Buddha) itu. Sang Buddha kemudian dengan ramah memusatkan perhatian lalu berkata, "Karya anda adalah hasil kerja keras dari pernyataan orang yang beribadat dan demi memajukan jalan keagamaan, sampai zaman mendatang."
Laporan Fa Hsien tentang hal yang istimewa ini diakhiri dengan kalimat sebagai berikut :
"Ketika Sang Buddha kembali dari Alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa (Surga Tavatimsa -- red), dan masuk ke vihara, patung diri Sang Buddha datang menyambut kedatangan Sang Buddha. Sang Buddha kemudian berkata: "Kembalilah, Aku memberkatimu, kembalilah ke tempatmu. Setelah Aku mencapai Parinibbana nanti, kamu akan menjadi contoh diri-Ku bagi para pengikut-Ku, semoga mereka akan mengukir perbuatan mereka sesuai dengan patung-Ku."
Kemudian patung itu kembali ketempatnya semula."
Banyak sekali legenda seperti ini, akan tetapi harus berdasarkan teks Mahasanghika Ekottaragama dan Mulasarvastivadin Vinaya sebagai narasumber. Menurut cerita, Raja Udayana dari Vatsalah, yang membuat patung Sang Buddha untuk pertama kalinya dari kayu cendana, dengan tinggi lima kaki (kira-kira 1,5 meter tingginya -- red). Tiruan dari patung itu dibuat dari emas oleh Raja Prasenjit dari Kosala. Ada kisah lain yang mengatakan, bahwa patung Sang Buddha dibuat oleh Anathapindika atau Raja Bimbisara.
Kalingabodhi Jataka dari Jatakathakatha mengakui, bahwa Anathapindika-lah yang mendapat persetujuan dari Sang Buddha untuk membuat patung-Nya. Prasasti kuno banyak menceritakan tentang seni pahat, sebagaimana terbukti dari prasasti kuno yang disimpan di Museum Peshawar (no. 1534), yang menggambarkan figur Sang Buddha pada kayu cendana. Relief Buddhis Graeco telah ditemukan di daerah Peshawar (Barat laut, India), daerah kerajaan Kusana. Karya seni pahat ini diperkirakan dibuat pada abad kedua Masehi.
Salah satu patung Sang Buddha yang dibuat paling awal, dipersembahkan kepada kerajaan Kanishka. Sebuah peninggalan Shah-ji-ki-dheri, menuliskan tentang sejarah pembukaan tahun pertama kerajaannya dengan mempersembahkan patung Sang Buddha. Replika dari patung Sang Buddha yang pertama belakangan dibawa ke Timur Jauh (Asia Timur -- red). Mereka umumnya menghubungkannya sebagai Patung Sang Buddha yang dibuat oleh Raja Udayana. Hal tersebut dimulai pada awal abad ke-satu, dimana Buddhisme untuk pertama kalinya disebarkan ke China, dan kira-kira pada abad ke-4 dengan nyata mulai dikenal di negara itu. Di China, ada dua tiruan patung Sang Buddha yang dibuat oleh Raja Udayana. Banyak patung yang sama tersebar di kuil-kuil di Jepang. Aliran baru yang kemudian timbul, yang disebut Mahayana atau 'Kendaraan Besar', menganggap patung Sang Buddha cukup berarti dalam kegiatan keagamaan mereka.
Dipengaruhi oleh aliran Mahayana, pengikut Sravakayana (kaum Theravada -- red) juga sependapat -- dan menganggapnya sebagai Uddesika-dhatu-puja (penghomatan kepada Sang Buddha dengan symbol patung ini -- red).
Di Kalingabodhi Jataka, Sang Buddha juga menghargai penghormatan terhadap Saririka (Relik para Ariya -- red), Paribhogika (Pohon Bodhi -- red) dan Uddesika Cetiya (Stupa yang menyimpan peninggalan para Ariya atau Patung sang Buddha --red).
Cerita berbau sejarah Sri Lanka 'Mahavamsa' menceritakan, bahwa patung Sang Buddha dibuat pada masa pemerintahan Raja devanampi-yatissa (307-267 SM), akan tetapi, tulisan itu tidak ditulis pada pemerintahan raja tersebut, tapi pada masa pemerintahan yang kemudian, yaitu pada masa pemerintahan Raja Jetthatissa I (267-277 M).W. Gelger menterjemahkan bagian itu sebagai berikut :
"Patung terbuat dari batu yang besar dan indah itu, ditempatkan oleh Raja Devanampiyatissadi di Thuparama, oleh Raja Jetthatissa. Kemudian dipindahkan ke 'Pacinatissapabbata arama'. Raja Mahasena (227-304 M) yang berhasil dalam pemerintahannya -- diceritakan oleh seorang penulis pada masa yang sama -- memindahkan patung yang istimewa tersebut dari tempat yang terakhir disebutkan, untuk ditempatkan di Vihara Abhayagiri, sebuah bangunan yang khusus didirikan untuk menempatkan-Nya."
Sebuah sumber sejarah menyebutkan tentang patung Sang Buddha itu, terdapat pada tulisan seorang penulis kronik, yang dapat ditemui di ruang peninggalan sejarah Maha-thupa (Ruvanveliseya), yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Dutthagamini Abhaya (161-137 SM).
Di tengah ruang peninggalan itu, raja menempatkan sebuah pohon Bodhi yang terbuat dari permata.... Di sekeliling pohon Bodhi itu terhampar sebuah vedika (permada --red) yang terbuat dari berbagai jenis permata; lantainya terbuat dari mutiara myrobalan. Bederet-deret vas, dengan beberapa diantaranya kosong, sedangkan yang lainnya ditanami dengan bunga-bunga yang terbuat dari beragam permata, dan diiisi dengan empat jenis air harum, semuanya terhampar di kaki pohon Bodhi itu. Di atas altar, di sebelah timur pohon Bodhi itu, Raja Dutthagamini Abhaya menempatkan sebuah patung Buddha berwarna keemasan dalam posisi duduk. Bagian tubuhnya terbuat dari permata beraneka warna, bersinar dengan amat indahnya. Maha Brahma berdiri dengan memegang payung perak dan Sakka Raja Dewa dengan sikap penuh pengabdian membawa mangkuk Vijayuttara. Pancasikha dengan kecapi di tangannya dan Kalanaga dengan penari wanita, dan Mara, dengan seribu tangan yang masing-masing memegang senjata, dan menunggang Gajah Girimekhala bersama pasukannya. Disisi lain, yaitu disebelah timur dibangun altar lain......., yaitu sebuah koti, memperlihatkan tujuh daerah surga. Dan ditempat lainnya, disebelah pohon Bodhi juga koti, dihias dengan berbagai jenis permata.
Mahavamsa adalah catatan sejarah Sri Lanka, dihimpun pada abad ke-5 Masehi dari sumber yang ada pada masa itu. Kita tidak memiliki alasan untuk tidak mempercayai kebenaran catatan sejarah tersebut, yang telah dipelihara dengan baik secara turun temurun. Pada awal abad Masehi patung/gambar Sang Buddha mulai dikenal di India. Sedangkan relief sebelum Masehi tidak menggambarkan sang Guru dalam bentuk manusia, namun bentuk Roda Dhamma, Pohon Bodhi, telapak kaki, Vajrasana-lah yang dipergunakan dalam relief untuk memperkenalkan keberadaan Sang Buddha. Hasil karya seniman India (umumnya dihubungkan dengan Gandhara) yang mengubah hal itu, dengan memperkenalkan Sang Buddha dalam bentuk patung/gambar sebagai manusia. Jika kita mempercayai tradisi yang berlangsung pada masa kehidupan Sang Buddha, bagaimana patung-Nya sampai dibuat, sesuai catatan yang cukup berharga, yang dicatat sesudah percobaan pertama pada masa abad ke-6 SM, tidak ada percobaan lanjutan lagi di India, sampai menjelang 500 tahun setelah zaman Sang Buddha. Pada kira-kira abad permulaan Masehi, Sutra-Sutra Mahayana seperti Prajnaparamita Sutra, mulai dirumuskan sebagai doktrin Mahayana yang cukup otentik. Di India, penampilan figur Sang Buddha dalam bentuk patung atau gambar, dimulai bertepatan dengan perkembangan Buddhisme di India.
Seperti di Sri Lanka, dengan lingkungan berbagai ragam kebudayaan mereka, sangat mungkin bahwa penyebab Buddhisme masuk ke Sri Lanka, tidak hanya sekedar membawa Dhamma, seni dan karya pahat tanah air mereka, akan tetapi juga replika (tiruan --red) patung Sang Buddha. Relik Sang Guru (Saririkadhatu), sebuah cabang pohon Bodhi dari Buddha-Gaya (Paribhogika-dhatu) dibawa ke Sri Lanka dari India selama pemerintahan Devanampiyatissa. Sangat sulit dibayangkan, bagaimana mungkin patung Sang Buddha (Uddesika-dhatu atau uddesika cetiya) tidak ikut dibawa ke pulau tersebut, jika memang di India sungguh ada.
Kita telah melihat diatas, catatan sejarah yang berhubungan dengan patung Sang Buddha, yang terbuat dari batu pada maas pemeritahan raja Buddhis pertama di Sri Lanka. Beberapa ratus tahun terakhir, ada catatan mengenai pembuatan patung Sang Buddha oleh rejim terbesar dari Raja Sinhala, yang beragama Buddha -- Dutthagamini Abhaya. Fakta yang cukup kuat membuktikan, bahwa eksistensi patung Sang Buddha terjadi di Sri Lanka sebelum abad Masehi.
Raja Vasabha (66-110 M), sebagaimana dilaporkan dalam sejarah, telah membuat empat buah patung Sang Buddha yang amat indah dan sebuah vihara khusus untuk menempatkannya -- dengan halaman yang ditanami pohon Bodhi yang besar. Besar kemungkinan, empat buah patung tersebut ditempatkan di bawah pohon Bodhi dan menghadap ke empat penjuru. Untuk melindungi patung-patung tersebut dari gangguan cuaca, maka didirikan bangunan khusus. Arsitektur bangunan tersebut -- yang dibangun pada awal abad Masehi -- dinamakan Bodhighara dan Pati-maghara.
Tentu saja, waktu yang berjalan tiada hentinya telah mengubah segalanya, termasuk Pati-maghara tersebut. Ketika pertama kali bangunan didirikan sesuai rencana -- sama bentuknya seperti Gandhakuti, yakni kediaman Sang Buddha di Jetavanarama di Savatti, yang terdiri dari sebuah ruangan dan serambi -- namun ketika tempat untuk puja ini makin terkenal, Gandhakuti tersebut terpaksa diperbesar untuk menampung mereka yang akan melakukan Puja.
Beraneka bentuk bangunan vihara, telah didirikan dengan arsitektur sebagaimana yang terdapat di Anuradhapura dan banyak tempat lainnya di Sri Lanka. Diantaranya terdapat juga vihara yang terletak di dalam sebuah gua, dan dua yang paling terkenal di Sri Lanka adalah Gal-vihara di Polonnaruwa dan tempat suci di Dambulla. Ciri khas dari sebuah vihara adalah memiliki bangunan stupa yang berbentuk genta besar atau kubah yang umumnya disebut 'Gedige'. Model lain seperti di daerah Kandyan, stupa dibangun berbentuk segi empat, dari panggung timah, ditopang oleh tiang atau pilar.
Di semua vihara, patung Sang Buddha -- yang ditempatkan -- ada yang dalam posisi duduk, berdiri atau berbaring. Kini, banyak patung Sang Buddha yang dibangun dengan ukuran raksasa, sehingga tidak memerlukan bangunan berbentuk rumah untuk melindunginya lagi. Bahkan karena penghormatan yang amat besar, para pengikut Sang Buddha membangun patung Sang Guru di persimpangan jalan atau di jalan bebas hambatan.
Sesungguhnya, tujuan membuat patung Sang Buddha adalah untuk membantu seseorang melaksanakan perenungan terhadap sifat-sifat Agung Sang Buddha (Buddhanussati).
Patung Sang Buddha -- hasil karya seni pahat yang melukiskan figur seorang Pembimbing dalam keadaan pikiran yang selalu terkontrol. Tatanan yang harmonis antar anggota tubuh yang sempurna dan ketegapan tubuh nan Agung, melambangkan seseorang -- yang telah merenung dengan sangat bijaksana.
Inilah Karya Agung dalam perwujudan --
SIFAT SEORANG MANUSIA AGUNG YANG MAHA SEMPURNA.
Cukuplah bukti untuk menetapkan, bahwa seni pahat Sinhala bukan tiruan. Akan tetapi, itu adalah suatu hasil karya yang sangat mengagumkan!
Majalah Jalan Tengah
Naskah Asli : THE BUDDHA IMAGE, Its History and Legend
Diambil dari http://www.w****a.com/forum/topik-umum/483-patung-buddha-berhala.html#post4729 (http://www.w****a.com/forum/topik-umum/483-patung-buddha-berhala.html#post4729)
No. 479.
KĀLIṄGA-BODHI-JĀTAKA.
“Raja Kāliṅga,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pemujuaan pohon bodhi yang dilakukan oleh Ananda Thera.
Ketika Sang Tathagata telah berangkat melakukan perjalanan dengan tujuan mengumpulkan orang-orang yang karmanya telah matang untuk mengubah hidupnya, para penduduk kota Savatthi pergi ke Jetavana dengan membawa kalung bunga dan karangan bunga yang harum. Karena tidak menemukan tempat untuk bersembahyang, mereka meletakkan semua itu di depan pintu gandhakuṭi dan kemudian pulang. Hal ini menimbulkan kesenangan yang besar. Tetapi Anathapindika mendengar mengenai hal ini, dan sekembalinya Sang Tathagata, menjumpai Ananda Thera dan berkata kepadanya,— “Vihara ini, Bhante, menjadi tidak terurus ketika Sang Tathagata pergi berkelana dan tidak ada tempat bagi umat untuk bersembahyang yang datang dengan membawa kalung dan karangan bunga. Bersediakah Bhante memberitahukan Sang Tathagata tentang masalah ini dan melihat apakah mungkin Beliau dapat menemukan sebuah tempat untuk tujuan ini.”
Ananda pun menanyakannya kepada Sang Tathagatha, “Ada berapa cetiya (obyek penghormata) di sana, Bhante?”—“Tiga, Ananda.”—“Apa saja, Bhante?”—“Cetiya untuk relik jasmani (sārīrika), relik barang bekas pakai (pāribhogika), relik gambar (uddesika).”
“Bolehkah membuat satu cetiya untuk pemujaan, semasa Bhante masih hidup?”— “Tidak untuk sārīrika, Ananda. Itu hanya boleh dibuat ketika seorang Buddha telah mencapai parinibbana. Uddesika tidaklah cocok karena hanya tergantung kepada imaginasi pikiran. Tetapi pohon bodhi yang agung yang pernah digunakan oleh para Buddha adalah benda yang cocok digunakan sebagai cetiya, baik pohon itu masih hidup maupun telah mati”
“Bhante, di saat Anda pergi melakukan perjalanan, vihara Jetavana yang besar ini tidak ada yang menjaga dan umat yang datang tidak menemukan tempat agar mereka dapat melakukan pemujaan. Bolehkah saya menanam biji pohon bodhi di sini, di depan pintu gerbang kota Jetavana?”—“Tentu saja boleh, Ananda, dan itu nantinya harus terlihat seperti tempat tinggal bagiku.”
[dst]
Sumber: http://www.w****a.com/forum/kisah-kisah-sang-buddha/7820-jataka-474-jataka-483-a.html#post98726 (http://www.w****a.com/forum/kisah-kisah-sang-buddha/7820-jataka-474-jataka-483-a.html#post98726)