//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kesempurnaan Sang Buddha Oleh Dr. Carl Gustav Jung  (Read 1818 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Kesempurnaan Sang Buddha Oleh Dr. Carl Gustav Jung
« on: 15 January 2011, 12:00:39 AM »
Namo Buddhaya,

Bagi Jung, Buddha adalah lambang eksistensi kekal dari roh dibandingkan dengan kefanaan badan dan dunia, dari self yang abadi dibandingkan dengan ego yang terbatas. Buddha memiliki langkah paling tinggi dari proses individuasi. Disitulah secara simbolis dibangun sebuah tubuh psikis yang spiritual (subtle body) yang menjadi tempat semua pasangan pertentangan tenggelam dalam kesatuan menyeluruh dari nirwana (nirwana tentu disebut manusia terintegrir oleh Jung). Dalam riwayat hidupnya, Jung dengan panjang lebar menguraikan arti tokoh Buddha baginya : “Intensitas perasaanku menunjukkan bahwa Bukit Sanchi di India mempunyai arti yang sangat penting bagiku. Disana aspek baru dari Buddhisme membuka diri bagiku. Aku mengerti kehidupan Buddha sebagai kenyataan dari self yang telah menembus dan masuk kedalam sebuah hidup yang pribadi yang dikuasai oleh self itu. Bagi Buddha, self melebihi segala dewa-dewi dan merupakan unus-mundus (satu dunia yang meyeluruh) yang mewakili hakikat dari eksistensi manusia dan dari dunia sebagai keseluruhan. Self mewujudkan aspek adanya intrisik maupun aspek kesadaran, tanpa itu dunia tidak berada bagi manusia. Buddha telah  melihat dan menangkap nilai kosmogonis dari kesadaran manusia; sebab itu dengan jelas dia melihat bahwa dunia akan hilang dalam ketiadaan jika manusia berhasil memadamkan cahaya kesadaran itu”. Maka Buddha adalah lambang dari kebijaksaan kita yang paling batiniah yang bersifat murni dan Ilahi. “Itu dinamakan oleh Guru Zen, Roh Buddha atau Buddhi (Pengetahuan yang menghasilkan pencerahan) atau Prajna (Kebijaksanaan yang paling tinggi). Roh Buddha adalah cahaya ilahi,sorga batiniah, kunci kepada semua harta dari perasaan, pusat dari pikiran dan kesadaran, sumber dari pengaruh dan kekuasaan, tempat asal dari kebaikan, keadilan dan rasa belas kasihan, dan ukuran dari segala sesuatu. Kalau penyadaran batin ini dibangkitkan sepenuh-penuhnya, maka kita dapat mengeti bahwa menurut hakikatnya, setiap kita identis dengan kehidupan universal dari Buddha; kita sanggup mengerti bahwa setiap kita hidup bertatap muka dengan Buddha, bahwa setiap orang menerima rahmat yang berlimpah dari yang suci; bahwa Buddha membangkitkan daya moril kita; bahwa dialah yang membuka mata rohani kita; bahwa dia mengembankan potensi baru dalam diri kita; bahwa dia menyerahkan tugas kepada kita; dan kita menyadari bahwa hidup bukan lautan dari kelahiran, penyakit, masa tua dan kematian; dan bukan juga dunia yang penuh duka tetapi sebenarnya kuil suci Buddha, “tanah yang murni” (Soekhavati, tanah kebahagiaan) tempat kita akan menikmati kebahagiaan nirwana. Pada waktu itu, budi kita sama sekali berubah. Kita tidak lagi diganggu oleh murka dan benci, tidak lagi dilukai oleh rasa iri hati dan ambisi, tidak lagi disakiti oleh kecemasan dan kesusahan; dan tidak lagi dikacaukan oleh kesediahan dan keraguan”. Kalau manusia berhasil mengatasi keadaab gelap dari self tak sadar dan dapat masuk kedalam terang self yang dengan sepenuh-penuhnya dikembangkan dan disadari, maka Buddha telah terwujud. Dari segi psikologi Jung, Buddha dilihat sebagai pengganti ego oleh self yang bersifat “bukan ego”. “Kodrat Buddha adalah universalitas Ilahi. Itu berarti totalitas kesadaran akan seluruh hidup. Nah, Jung menamakan juga keadaan ini “Allah”: Saya bermaksud dengan realitas mutlak itu (ialah kesatuan mistik dengan kekuatan ini ialah Allah); disanalah anda sendiri berada - dan keberadaan itu tidak lain daripada sebagai kenyataan psikis; dan toh berhadapan dengan kenyataan psikis yang bukan sama dengan ego Anda. Dan itulah Allah. Allah adalah obyek psikis yang abadi. Allah adalah kata bagi yang “bukan-ego”. Sekarang kita dapat mengerti mengapa Jung dapat mengganggap Buddha sebagai lambang dari Imago Dei.

Tetapi sayang, demikian Jung mengatakan dengan rasa menyesal, tokoh Buddha tidak dapat meneruskan diri secara radikal dalam dunia Timur, khususnya di India. “Buddha telah lebih menghilang dari kehidupan dan agama orang India dibandingkan dengan orang Barat, karena di Barat, Kristus dengan cara tertentu toh masih berpengaruh”. “Mengapa India telah menghilangkan cahaya yang paling cerah ialah jalan pembebasan Buddha, yang sebenarnya merupakan sintesa dari filsafat dan “karya ilahi”?” Umumnya diketahui bahwa manusia tidak pernah dapat mempertahankan diri pada puncak pencerahan dan usaha rohani yang keras. Buddha adalah penggangu yang datang terlalu cepat; dia mengacaukan proses historis, tetapi sesudahnya dia toh dikalahkan oleh proses historis itu. Agama India adalah seperti Vinama atau kuil-kuil Buddha yang berbentuk menara. Dewa-dewi tegak satu diatas yang lain seperti semut mulai dari bawah sebagai gajah-gajah yang dipahat dalam dinding sampai kepada bunga teratai yang abstrak yang memahkotai bangunan kuil itu. Seakan peredaran  sejarah , dewa-dewi makin lama makin menjadi ide yang lebih abstrak. Buddha sebagai seorang pelopor rohani bagi seluruh dunia, mengatakan (dan juga berusaha untuk membenarkan itu dalam dalam hidupnya), bahwa manusi yang telah mengalami pencerahan malahan dapat menjadi sang guru dan sang penebus bagi dewa-dewinya (dan bukan pengingkar bodoh terhadap dewa-dewi seperti dilakukan oleh “penerangan” di Barat). Tetapi pandangan Buddha ini ternyata bersifat keterlaluan sebab mental orang India sama sekali belum mampu untuk mengintegrasikan dewa-dewi sedemikian sehingga mereka secara psikologis dijadikan bergantung dari psikis manusia. Bagaimana Buddha sendiri dapat memperoleh pemahaman semacam itu tanpa jatuh kedalam inflasi psikis yang dalam, rupanya hampir harus disebut mukjizat. (Tetapi setiap orang genius adalah juga mukjizat).... Orang genius hampir selalu adalah seorang penyerbu dan penggangu ketenangan. Dia berbicara kepada dunia yang sementara ini dari sudut pandang dunia abadi. Dan sebab itu dia mengatakan hal-hal yang salah pada waktu yang tepat. Kebenaran-kebenaran abadi tidak pernah benar pada saat apapun saja dalam sejarah manusia. Proses perubahan harus berhenti untuk sementara agar dapat mengolah dan mengasimilasikan hal-hal yang sangat tidak praktis yang dibawa oleh genius dari gudang dunia yang abadi. Namun seorang genius toh adalah pembawa keselamatan bagi zamannya, sebab semua kebenaran yang abadi yang disingkapkannya itu membawa kebahagiaan. Tujuan terjauh dari proses perubahan itu justru yang dimaksudkan Buddha. Tetapi untuk mencapainya tidak mungkin dalam satu generasi dan juga tidak dicapai dalam sepuluh generasi. Rupanya itu jauh lebih banyak memakan waktu, sekurang-kurangnya ribuan tahun karena perubahan tersebut tak dapat diwujudkan tanpa adanya perkembangan luar biasa dari kesadaran manusia.”

Pembaca tentu sudah melihat bahwa rasa terpesona Jung terhadap tokoh Buddha dari satu pihak ditentukan oleh kenyataan bahwa Buddha telah mewujudkan tujuan dari psikologi Jung ialah self sebagai integrasi seluruh kepribadian, tetapi dari pihak lain Jung ternyata menyamakan dirinya dengan Buddha. Seorang murid Jung, Eshter Harding, bahwa pada waktu pesta makan siang dihari ulang tahun ke-70 dari Jolande Jacobi, Jung mengatakan kepadanya: “............bahwa ia telah dilahirkan pada tahun yang disebut oleh orang Cina sebagai tahun babi, dan bahwa ada satu kemiripan tertentu antara Jung dan Buddha. Buddha dilahirkan sebagai putra raja, namun dia harus mengikuti jalan hidup sendirian sampai dia mencapai jalan kebahagiaan; dan Jung juga harus bergumul sendirian sampai dia menemukan mandala sebagai satu lambang keseluruhan yang bersifat ganda delapan”.

Catatan : Ini adalah teks psikologi yang membahas tentang Kesempurnaan Sang Buddha dari sudut pandang Jungian.

 _/\_

 

anything