Tulisan anda ini membuat saya merenung cukup lama. Sepertinya saya merasakan ada kelegaan. Tetapi di satu sisi membuat saya berpikir disatu sisi seseorang ingin mendapatkan pengetahuan anatta tetapi disatu sisi takut kehilangan diri ini dan tetap melekat pada diri ini.
Ketakutan tersebut muncul karena terlalu banyak melamun. Saya sendiri baru menyadari betapa kusutnya pikiran saya karena lamunan-lamunan. Salah satu contoh lamunan, adalah
mencoba membayangkan bagaimana rasanya "tanpa-diri" itu. Lamunan selanjutnya adalah membandingkan
Rasa-Tanpa-Diri dengan
Rasa-Adanya-Diri. Selanjutnya, kita dibingungkan oleh pemikiran-pemikiran kita sendiri.
Kita telah membaca tentang Anatta. Ya, kita memahaminya walaupun baru sebatas logika. Lalu kita menyelidikinya dan menerka-nerka
Rasanya.___________________________________
Mengapa kita melamun? Sampai saat ini saya baru menemukan beberapa alasannya. Salah satunya adalah karena "terburu-buru ingin bebas dari penderitaan". Kita mungkin menderita karena terombang-ambing saat bernafsu pada satu hal dan membenci hal lainnya. Kita juga mungkin menderita saat sekelumit pikiran saja bisa membuat kita takut akan ketidakpastian masa depan. Dst...dst...
Hal ini menyebabkan kita menjalani praktik karena ingin merasakan
rasa bebas. Sebetulnya kita tidak tau bagaimana rasanya. Kita baru mengkhayalkannya berdasarkan logika saja. Mungkin rasanya tenang kali ya... mungkin damai kali ya... mungkin saat orang menghina saya, saya bisa tetap tenang kali ya... Mungkin saya tidak akan merasa takut lagi kali ya... wah indah sekali rasanya. Saya mau!! Saya tidak betah dengan ketidak-berdayaan saya ini!! Saya ingin mendapatkan pengetahuan tentang Anatta!! Eh, tapi kalau tidak ada diri? bagaimana itu? bagaimana rasanya? bukankah mengerikan?
Pemikiran-pemikiran inilah yang disebut melamun. Saat itu kita lupa bahwa tugas kita adalah memperhatikan Empat Landasan (yang diajarkan dalam Satipatthana). Munculnya lamunan adalah wajar karena pikiran kita sudah terbiasa demikian. Jadi seperti otomatis. Tapi saat kita sengaja (membiarkan) lamunan ini bergulir, dan menikmatinya, sebenarnya kita hanya bermain-main dengan pikiran. Kita tidak sedang praktik.
Mengapa kita perlu mewaspadai lamunan? karena pengetahuan berdasarkan lamunan adalah pengetahuan dangkal. Pengetahuan ini kita simpulkan berdasarkan apa yang pernah kita baca atau dengar saja. Suatu saat kita bahagia karenanya, tapi suatu saat menjadi takut (seperti kebingungan dan ketakutan yang Djoe alami saat ini).
Jadi, praktiklah. Perhatikan betapa halusnya keinginan dan kebodohan. Lamunan akan mereda saat keinginan mereda. Keinginan mereda dengan menguatkan perhatian. Coba baca lagi Digha Nikaya 21 (mulai poin 1.13) dan Digha Nikaya 22.
Saya pernah dinasihati, dalam menjalani praktik, lepaskan keinginan mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan akan datang dengan sendirinya jika praktik benar.
Saya pernah posting ini, coba dibaca lagi:
Seorang bhikkhu bertanya pada Guru, "Apa inti dari latihan?"
Guru menulis sebuah kata di kertas. Bunyinya,
Perhatian !
"Itu saja?" tanya bhikkhu itu tak percaya.
Sekali lagi, Guru menulis di atas kertas,
Perhatian! Perhatian!
Bhikkhu itu masih mengharap sesuatu yang lebih. "Itu saja? Hanya itu?"
Dengan sangat sabar, Guru menulis untuk terakhir kalinya:
Perhatian! Perhatian! Perhatian!
Itu saja!
(Sumber: Zen Wisdom, Brenda Shoshanna, PhD)
Tetapi apakah memang benar seperti itu?(Apakah ini yang juga membedakan antara T dengan aliran lain?
Apakah anda berbicara dari sisi T?
Ya, saya berbicara dari sisi Theravada. Saya tidak mendalami aliran lain, jadi belum bisa berkomentar.