2.1. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, apakah perilaku, apakah pengetahuan?’
‘Ambaṭṭha, bukan dari sudut pandang pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan, suatu reputasi yang berdasarkan kelahiran dan suku dinyatakan, juga bukan dari kesombongan yang mengatakan: “Engkau berharga bagiku, engkau tidak berharga bagiku!” Karena di mana ada memberi, menerima, atau memberi dan menerima dalam pernikahan, di sana selalu ada pembicaraan dan keangkuhan ini .... Tetapi mereka yang diperbudak oleh hal-hal demikian adalah jauh dari pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan, [100] yang dicapai dengan meninggalkan semua hal tersebut!’
2.2. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, apakah perilaku, apakah pengetahuan?’
‘Ambaṭṭha, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, māra dan Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma yang indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.[17] Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (DN 2, paragraf 41-62); ia menjaga pintu-pintu indrianya, dan seterusnya (DN 2, paragraf 64-75); mencapai empat jhāna (DN 2, paragraf 75-82). Demikianlah ia mengembangkan perilaku. Ia mencapai berbagai pandangan terang (DN 2, paragraf 83-95), dan lenyapnya kekotoran (Sutta 2, paragraf 97) ... dan lebih dari ini, tidak ada lagi pengembangan yang lebih jauh dari pengetahuan dan perilaku yang lebih tinggi atau lebih sempurna.’
2.3. ‘Tetapi, Ambaṭṭha, dalam mengejar pencapaian pengetahuan-dan-perilaku yang tanpa tandingan [101] terdapat empat jalan kegagalan.[18] Apakah itu? Pertama, seorang petapa atau Brahmana yang belum berhasil mendapatkan[19] pencapaian tanpa tandingan ini, membawa pikulannya[20] dan masuk ke hutan dan berpikir: “Aku akan hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin.” Tetapi dengan cara ini, ia hanya menjadi seorang pelayan dari ia yang telah mencapai. Ini adalah jalan kegagalan pertama. Kemudian, seorang petapa atau Brahmana ..., karena tidak mampu hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin, mengambil sekop dan keranjang, dan berpikir: “Aku akan hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran.”[21] .... Ini adalah jalan kegagalan ke dua. Kemudian lagi, seorang petapa atau Brahmana, karena tidak mampu hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran, membuat api di perbatasan desa atau kota dan duduk memerhatikan kobaran api[22] .... Ini adalah jalan kegagalan ke tiga. Kemudian lagi, seorang petapa atau Brahmana, karena tidak mampu memerhatikan kobaran api, [102] mendirikan rumah dengan empat pintu di persimpangan jalan dan berpikir: “Petapa atau Brahmana mana pun yang datang dari empat penjuru, aku akan menghormatinya dengan segenap tenaga dan kemampuanku.” Tetapi dengan cara ini, ia hanya menjadi seorang pelayan dari ia yang telah mencapai pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan. Ini adalah jalan kegagalan ke empat.’
2.4. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Apakah engkau dan gurumu hidup sesuai dengan pengetahun dan perilaku yang tanpa tandingan?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama! Siapakah guruku dan aku dibandingkan dengan mereka itu? Kami jauh dari sana!’ ‘Baiklah, Ambaṭṭha, dapatkah engkau dan gurumu, karena tidak mampu mencapai ini ..., pergi dengan membawa pikulanmu masuk ke dalam hutan, bermaksud untuk hidup dari buah-buahan yang jatuh tertiup angin?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Baiklah, Ambaṭṭha, dapatkah engkau dan gurumu, karena tidak mampu mencapai ini ..., hidup dari umbi-umbian dan akar-akaran, ... duduk memerhatikan api, [103] ... mendirikan rumah ...?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
2.5. ‘Jadi, Ambaṭṭha, bukan saja engkau dan gurumu tidak mampu mencapai pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan, tetapi bahkan empat jalan kegagalan pun masih diluar jangkauan kalian. Namun engkau dan gurumu, Brahmana Pokkharasāti, berani mengucapkan kata-kata ini: “Para petapa kecil gundul ini, rendah, kotoran dari kaki Brahma, pembicaraan apakah yang dapat mereka sampaikan kepada para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda?” – bahkan engkau tidak mampu melakukan tugas-tugas dari seorang yang gagal. Lihat, Ambaṭṭha, betapa gurumu telah mengecewakan engkau!’
2.6. ‘Ambaṭṭha, Brahmana Pokkharasāti hidup dari belas kasihan dan bantuan Raja Pasenadi dari Kosala. Tetapi Raja tidak mengizinkannya untuk menghadap secara langsung. Ketika ia berbicara dengan Raja, mereka dipisahkan oleh sehelai tirai. Mengapa Raja tidak mengizinkan pertemuan langsung dengan seorang yang telah ia anugerahi sumber penghasilan yang layak? Lihat bagaimana gurumu telah mengecewakan engkau!’
2.7. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Misalkan Raja Pasenadi sedang duduk di punggung seekor gajah atau kuda, atau sedang berdiri di atas keretanya, berdiskusi dengan para menterinya dan para pangeran mengenai sesuatu. [104] Dan misalkan ia harus menyingkir karena beberapa pekerja atau pembantu pekerja datang dan berdiri di tempatnya. Dan sambil berdiri di sana, ia berkata: “Ini adalah apa yang dikatakan oleh Raja Pasenadi dari Kosala!” Apakah ia mengucapkan kata-kata Raja, seolah-olah ia sama dengan Raja?’ ‘Tentu tidak, Yang Mulia Gotama.’
2.8. ‘Baiklah, Ambaṭṭha, ini adalah hal yang serupa. Mereka yang, seperti engkau katakan, para Brahmana kelas satu, pencipta dan pembabar mantra-mantra, yang syair-syair kunonya dibacakan, diucapkan, dan dikumpulkan oleh para Brahmana masa kini – Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, Bhagu[23] - yang mantranya dikatakan telah diwariskan kepadamu dan gurumu; namun engkau tidak serta merta menjadi seorang bijaksana atau seorang yang menjalankan praktik dari seorang bijaksana – hal demikian adalah mustahil.’
2.9. ‘Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Apa yang engkau dengar dari yang dikatakan oleh para Brahmana yang terhormat, tua, guru dari para guru? Para bijaksana kelas satu ..., Aṭṭhaka, ... Bhagu – apakah mereka bersenang-senang, mandi dengan baik, menggunakan wangi-wangian, rambut dan janggutnya terpotong rapi, berhiaskan karangan bunga dan kalung bunga, berpakaian jubah putih, menikmati lima kenikmatan-indria dan menyukainya, seperti yang dilakukan oleh engkau dan gurumu?’ [105] ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
2.10. ‘Atau apakah mereka memakan nasi khusus yang baik dengan noda-noda hitam yang telah dibersihkan, dengan berbagai sup dan kari, seperti yang dimakan oleh engkau dan gurumu?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Atau apakah mereka menghibur diri dengan para perempuan dengan pakaian berlipat dan berumbai, seperti yang engkau dan gurumu lakukan?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Atau apakah mereka berkeliling naik kereta yang ditarik oleh kuda betina dengan ekor dikepang, yang mereka kendalikan dengan tongkat-kendali panjang?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Atau apakah mereka di kota-kota yang dibentengi dengan pagar dan barikade, dikawal oleh orang-orang berpedang panjang ...?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Jadi, Ambaṭṭha, engkau dan gurumu bukanlah orang bijaksana atau orang yang berlatih di jalan seorang bijaksana. Dan sekarang, sehubungan dengan keraguan dan kebingunganmu sehubungan dengan-Ku, kita akan menjernihkan permasalahan ini dengan pertanyaanmu dan jawaban-Ku.’
2.11. Kemudian, turun dari tempat tinggalnya, Sang Bhagavā mulai berjalan mondar-mandir, dan Ambaṭṭha melakukan hal yang sama. Dan sewaktu ia berjalan bersama dengan Sang Bhagavā, Ambaṭṭha memerhatikan tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Dan ia dapat melihat seluruhnya kecuali [106] dua. Ia ragu-ragu dan bingung sehubungan dengan dua tanda ini; ia tidak dapat memutuskan atau yakin akan alat kelamin yang terselubung dan lidah yang panjang.
2.12. Dan Sang Bhagavā, menyadari keragu-raguannya, mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga Ambaṭṭha dapat melihat alat kelamin-Nya yang terselubung, dan kemudian, menjulurkan lidah-Nya, ia menjulurkan keluar untuk menjilat kedua telinga-Nya dan kedua cuping hidung-Nya, dan kemudian menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya. Kemudian Ambaṭṭha berpikir: ‘Petapa Gotama ini memiliki seluruh tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa, lengkap dan tidak ada yang kurang.’ Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, bolehkah aku pergi sekarang? Aku mempunyai banyak urusan, banyak yang harus dilakukan.’ ‘Ambaṭṭha, lakukanlah apa yang engkau anggap baik.’ Maka Ambaṭṭha naik ke atas keretanya yang ditarik oleh kuda-kuda betina dan pergi.
2.13. Sementara itu, Brahmana Pokkharasāti berada di luar rumahnya dan sedang duduk di tamannya bersama banyak Brahmana, menunggu Ambaṭṭha. Kemudian Ambaṭṭha datang ke taman itu. Ia berkendara sejauh yang dimungkinkan oleh keretanya, kemudian turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat di mana Pokkharasāti berada, memberikan salam hormat, dan duduk di satu sisi. Kemudian Pokkharasāti berkata:
2.14. ‘Baiklah, anakku, apakah engkau bertemu dengan Yang Mulia Gotama?’ ‘Aku bertemu dengan-Nya, Guru.’
‘Dan apakah Yang Mulia Gotama seperti [107] yang diberitakan, dan bukan sebaliknya? Dan apakah ia memiliki ciri-ciri demikian, dan bukan sebaliknya?’ ‘Guru, Beliau adalah seperti yag diberitakan, dan ia memiliki ciri-ciri demikian, dan bukan sebaliknya. Ia memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar biasa, semuanya lengkap, tidak ada yang kurang.’
‘Tetapi apakah terjadi pembicaraan antara engkau dengan petapa Gotama?’ ‘Ada, Guru.’
‘Dan tentang apakah pembicaraan itu?’ Maka Ambaṭṭha menceritakan kepada Pokkharasāti semua yang terjadi antara Sang Bhagavā dan dirinya.
2.15. Mendengar cerita ini Pokkharasāti berseru: ‘Baiklah, engkau murid kecil yang cerdas, seorang bijaksana yang pintar, seorang ahli dalam Tiga Veda! Siapa pun yang melakukan urusannya seperti itu akan, saat ia meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, pergi menuju alam bawah, menuju jalan jahat, menuju kehancuran, menuju neraka! Engkau telah menumpuk hinaan pada Yang Mulia Gotama, sebagai akibatnya, Beliau akan memberikan lebih banyak lagi hal-hal yang melawan kita! Engkau murid kecil yang cerdas ...!’ Ia begitu marah dan murka sehingga ia menendang Ambaṭṭha, dan ingin segera pergi menjumpai Sang Bhagavā. [108]
http://dhammacitta.org/dcpedia/Sutta_Pitakadari sutta ini saya dapat merenung, mengkoreksi diri saya sendiri. tiada orang yang lebih rendah, tiada orang yang lebih hina, tiada orang yang lebih pintar dan tiada orang yang lebih ... semua sama. hanya karena ego kita sendiri yang membuat merasa lebih dari orang lain.