//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Candi Borobudur ^_^  (Read 31154 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline 53121f4n71

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.111
  • Reputasi: 95
  • Gender: Female
  • semoga semua makhluk berbahagia
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #45 on: 17 September 2008, 11:47:51 PM »

Ow iya, gw sedikir lupa, pas gempa jogja kemarin, borobudur ada kerusakan ga yah?

sama ky ko Hikoza... pas gempa yogya kmrn, saya lg ada di yogya... ikut kremasi alm. Bhante Vin Vijjano Mahathera, kremasinya itu di kawasan Candi Borobudur... setau ku Candi Borobudur ga ada kerusakan.... yg ada kerusakan itu di vihara Mendut.. ada retak2 gitu... soalnya aku ada ke vihara Mendut.... tp ga tau skg, mgkn udh diperbaiki....
this too will pass

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #46 on: 18 September 2008, 12:12:23 AM »
VYAGHRI JATAKA
Kelahirannya Berkaitan Dengan Kisah Tentang Harimau

Belas kasih Sang Buddha menjangkau seluruh makhluk hidup. Belas kasihnya yang sempurna, tiada terlukiskan serta tak terbatas. Dikumandangkan dalam seluruh kelahiran masa lampaunya. Sebelum menjadi seorang Buddha, Bodhisattva dalam rangkaian kelahirannya yang terlalu banyak untuk diingat, berdasarkan kebijaksanaannya, memberkati dunia dengan tiada terhitung peragaan belas kasihnya, yang ditunjukkan melalui perbuatan dana, kata-kata yang menyenangkan, pertolongan serta kesamaan antara ucapan dengan perbuatannya.

Dalam salah satu kelahirannya, Bodhisattva terlahir dalam keluarga brahmana yang dihormati karena kemurnian sila serta ketekunan ibadahnya. Sebagai hasil dari penimbunan kebajikan dalam kehidupan lampaunya, ia mendapati dirinya bergelimang dalam kekayaan, kedudukan dan kemasyhuran.

Sebagai pemuda, kedalaman kepandaiannya dicapai berkat kegigihannya dalam belajar. Dengan segera ia mahir dalam seni serta pengetahuan yang sangat hebat hingga bahkan para brahmana menghormatinya Sebagai suri teladan, seperti kitab-kitab sendiri; bagi para kesatria perang, ia dihormati laksana seorang raja. Bagi mereka yang haus akan pengetahuan, ia tampak sebagai mata air pengetahuan yang tak akan pernah kering; dan bagi rakyat banyak, ia bagaikan seorang dewa.

Namun demikian dirinya tak merasa senang pada kekuasaan, kekayaan ataupun kemasyhuran. Karma masa lalunya dan perenungannya terhadap Dharma yang terus-menerus, telah membuat batinnya murni; ia melihat segala sesuatu dengan jelas bahwa penderitaan yang tiada akhirlah yang menyertai kebahagiaan duniawi, di samping sikap penolakan terhadap samsara memang telah mengakar dalam dirinya. Tanpa ragu, ia menjauhkan diri dari kehidupan rumah tangga, seolah seperti suatu penyakit, pindah ke tempat pengasingan di hutan sepi, yang kemudian menjadi terhias dengan kehadirannya.

Di tempat tersebut, bebas dari keterikatan dan seimbang, ia memancarkan ketenangan batin. Ia mempengaruhi bahkan orang-orang duniawi yang tak tertarik pada kebajikan sekalipun, membuat mereka berpaling dari keterikatannya terhadap perilaku jahat. Kebijaksanaan serta kebajikan beliau tersebar ke segala penjuru, melembutkan bahkan hati seekor binatang yang sangat buas sekalipun, hingga mereka berhenti saling menyakiti satu sama lain; sebaliknya, bahkan mulai menjalani hidup seperti sang pertapa. Melalui kekuatan kemurnian sila, pengendalian indriawi, kepuasan dan belas kasihnya, Bodhisattva, pada saat tak berhubungan dengan makluk-makhluk duniawi, tetap menunjukkan belas kasihnya kepada semua makhluk.

Mengingat bahwa keinginannya hanya sedikit, sikap kepura-puraan tidak dikenalnya; penghormatan, perolehan dan ketenangan, tidak menarik baginya. La bahkan membuat kagum para dewa, yang datang kepadanya untuk menyampaikan hormat. Mendengar tentang penolakan duniawi yang dilakukannya, para sahabat dekat yang telah tertarik padanya karena kebajikannya, meninggalkan keluarga mereka dan bergabung menjadi siswanya. la menerima mereka dengan senang hati dan mengajari mereka apa yang disebut sebagai tingkah laku utama, rasa puas, penyucian indriawi, sikap sadar, ketidakterikatan, meditasi pada maitri karuna serta ajaran-ajaran semacam lainnya.

Kenyataan kebahagiaannya menarik para siswa yang memiliki sifat-sifat seperti dirinya. Dan melalui ajaran-ajarannya, sebagian besar dari para siswanya berhasil mencapai realisasi serta berdiam dalam kebajikan, dengan demikian pintu yang menuju ke alam rendah telah ditutup dan gerbang kebahagiaan telah terbuka lebar.

Pada suatu hari, Mahasattva, dengan diiringi oleh seorang siswanya bernama Ajita, pergi menyusuri jalan menuju ke gunung, ke tempat yang sesuai untuk melakukan meditasi. Ketika mereka melintasi sebuah jurang yang tertutup semak belukar, ketenangan mereka terganggu oleh suara geraman binatang buas.

Bodhisattva mencarinya melalui jalan setapak di tepi jurang menuju ke sebuah ngarai kecil yang berada jauh di bawah, lalu melihat seekor harimau muda yang bermata sayu dan bertubuh lunglai. Jelas sekali bahwa ia lemas, sudah tidak makan selama beberapa hari disebabkan karena kesulitan sehabis melahirkan. Tersiksa oleh rasa lapar, ia mulai menatap anaknya sendiri untuk diterkam. Bodhisattva melihat bahwa anak harimau yang kehausan, dengan tanpa rasa takut, penuh rasa percaya, mendekati ibunya yang menatapnya dengan tajam dan menggeram seolah-olah ia anak harimau lain.

Tergetarlah hati Bodhisattva, bagaikan pohon besar yang terguncang oleh gempa bumi, terguncang oleh derita yang dilihatnya. Demikianlah orang yang sungguh berbelas kasih tersentuh oleh penderitaan kecil makhluk lain, bahkan tak menghiraukan penderitaan berat dirinya sendiri.

Didorong oleh belas kasihnya yang besar, ia berkata kepada siswanya: "Oh, lihatlah betapa buruknya mengasihi diri sendiri; seorang ibu akan memakan anaknya demi memuaskan rasa laparnya! Demikianlah, teman ketidakpantasan di dalam samsara. Siapakah yang kemudian akan menuruti kecintaannya pada diri sendiri, bila mereka melihat apa yang akan diakibatkannya! Cepatlah pergi dan carikan mereka makanan, agar ia tidak menyakiti anaknya sendiri, dengan begitu juga tidak menyakiti dirinya sendiri. Aku akan berusaha menghalanginya sampai engkau kembali."

Siswanya pergi seperti yang diperintahkannya, tak menyangka bahwa Bodhisattva menjauhkan dirinya dengan alasan yang sama sekali berbeda. Karena Bodhisattva berpikir;

"Mengapa aku harus mencari daging dari tubuh makhluk lain bila tubuhku sendiri tersedia? Mencari daging makhluk lain belum dapat dipastikan, dan aku akan kehilangan kesempatan untuk menolong. Tubuh sesungguhnya lemah, tak memuaskan, selamanya kotor dan penyebab derita. Sungguh bodoh tak menggunakannya demi kebajikan makhluk lain.

Hanya dua alasan yang membuat orang mengabaikan penderitaan makhluk lain, yaitu adanya keterikatan, dan ketidaksanggupan untuk memberikan yang dibutuhkan. Sebaliknya aku tidak merasa tenang selagi makhluk lain menderita; bilamana aku mempunyai kemampuan untuk menolong, mengapa aku tidak melakukannya?

Bahkan bila mereka yang menderita itu telah melakukan suatu kejahatan yang berat, aku tak dapat menahan apa yang kumiliki; hatiku akan terbakar oleh rasa sesal tiada terkira, seperti semak kering yang dilalap api. Karenanya, aku akan mencegah penyebab penderitaan ini dengan menjatuhkan diriku sendiri dari atas tebing ini. Tubuhku akan mencegah harimau itu memakan anaknya sendiri dan menghindarkan anak-anaknya mati ditaring ibunya.

Perbuatan ini akan membesarkan hati mereka-mereka yang berusaha untuk menolong dunia, sekaligus menjadi teladan bagi mereka Yang lemah dalam berusaha. Ini akan diingat oleh mereka yang mengerti arti kemurahan hati, dan akan memacu pikiran kebajikan. Perbuatan ini akan membuat kecewa Mara dan menggembirakan para sahabat yang memiliki sifat-sifat Kebuddhaan, membuat malu mereka yang mementingkan diri sendiri, sombong serta penuh nafsu. Ini akan memberikan dorongan keyakinan kepada para praktisi Mahayana, membuat bingung mereka yang mencela kemurahan hati. Pada saat yang sama, ini akan membersihkan jalan menuju kelahiran di alam surga bagi mereka yang senang dalam beramal dana. Aku akan memenuhi kehendak agungku, yaitu membawa kebajikan bagi makhluk lain menggunakan tubuhku sendiri, dengan demikian aku akan dapat mencapai Pencerahan Agung.

Sebagaimana matahari yang memupus kegelapan dan membawa terang, demikian pula semoga perbuatan ini mengakhiri penderitaan dunia, membawa kebahagiaan selama-lamanya. Aku tidak melakukan perbuatan ini demi pujian atau harapan akan kedudukan, bukan pula demi ketenaran serta kebahagiaan yang kekal, perbuatan ini semata-mata demi kebajikan seluruh semesta, sehingga kebahagiaanniya akan terus berkembang setiap kali kisah ini dituturkan."

Selanjutnya, untuk membuat takjub bahkan para dewa yang cinta kedamaian, Bodhisattva menjatuhkan dirinya dari bibir bukit, dengan demikian telah memberikan hidupnya sendiri. Tubuhnya, saat membentur bumi, menimbulkan suara gaduh yang mengejutkan harimau, mengurungkan niatnya yang semula, lalu mencari dan menemukan Bodhisattva, ia kemudian mulai memakannya.

Ajita segera datang dengan tangan kosong tak dapat menemukan daging apa pun. ia memanggil-manggil gurunya, akan tetapi tak ada jawaban yang terdengar. Lalu pandangannya jatuh ke arah bawah, ia menyaksikan gurunya sedang disantap oleh harimau. Rasa sedih serta duka memenuhi hatinya, namun demikian ia merasa takjub pada perbuatan tiada mementingkan diri luar biasa yang begitu agungnya.

"Betapa berbelas kasihnya Sang Mahasattva terhadap makhluk hidup yang sengsara, dan betapa bedanya terhadap nasib dirinya sendiri! Betapa berani dan perwira wujud balas kasihnya! ia memiliki sila kebajikan sempurna, melampaui segala keagungan makhluk lain. Tubuhnya, yang begitu berharga oleh kebajikannya, kini telah berubah menjadi bejana yang patut untuk dipuja setinggi-tingginya.

Betapa tegar dan seimbang batinnya, sekokoh bumi, namun demikian ia begitu tergetar oleh penderitaan makhluk lain! Betapa tak sempurnanya batinku sendiri bersikap terhadap perbuatan agungnya Yang penuh keberanian ini. Sesungguhnya, makhluk hidup tak perlu lagi menderita dalam perlindungannya. Berdasarkan kekuatan penolakan samsaranya, ia menaklukkan segala penderitaan dan juga Mara, sumber segala keinginan, yang tak akan bangkit dengan mudah, telah ditundukkan serta dikalahkan. Mari memuja dengan berbagai cara kepada Mahasattva atas kebajikannya yang tiada taranya dan tiada terhingga, karena dialah pelindung bagi semua makhluk."

Dalam ketakjubannya atas perbuatan agung Bodhisattva, para siswanya bersama-sama dengan para Gandharva, Yaksa, Naga dan para Raja Dewa menutupi tanah tempat harta tulang belulang Bodhisattva dengan untaian bunga, kain warna-warni, hiasan permata serta serbuk cendana. Memenuhi angkasa dengan lantunan puji-pujian, mereka takjub atas perbuatan tanpa keakuan yang telah dilakukan oleh Bodhisattva.

Dalam kisah ini, kita dapat mengetahui bagaimana Sang Buddha, bahkan dalam kehidupannya yang lampau, telah menunjukkan sikap belas kasihnya kepada semua makhluk. Melihat belas kasih agung yang demikian, menimbulkan keyakinan tak tergoyahkan kepadanya, dan dengan keyakinan ini timbullah kesukacitaan yang tertuju pada Sang Buddha. Dengan jalan inilah keyakinan dikembangkan.

Kisah ini juga berguna dalam menjelaskan mengapa kita harus mendengarkan ajaran dengan seksama, karena Dharma diperoleh melalui berbagai kesulitan besar. Tergerak oleh kisah yang seperti ini, orang dapat memuji kemuliaan belas kasih yang akan membawa pada perbuatan yang mendatangkan kebajikan bagi semua makhluk.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/463
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #47 on: 18 September 2008, 10:31:48 AM »
KUMBHA JATAKA
KISAH TENTANG KENDI
JATAKAMALA

Minum minuman keras adalah sumber berbagai penyakit. Memahami akan hal ini, orang yang baik berusaha mempengaruhi orang lain agar meninggalkan minuman keras, meskipun dalam melakukannya ia menodai dirinya sendiri.

Suatu ketika Bodhisattva lahir sebagai Sakra, Raja Para Dewa. Belas kasih telah memurnikan hatinya, setiap perbuatannya senantiasa ditujukan demi meningkatkan kebahagiaan serta kebajikan makhluk lain, melalui perbuatan dana, sila dan caga [kemurahan hati]. Meskipun ia sangat menikmati segala kesenangan duniawi yang dimiliki oleh para dewa, tak sesaat pun Ia mengendurkan usahanya bagi kebajikan dunia.

Sebagaimana para pemimpin, yang sangat mabuk oleh arak keras keagungan hingga kehilangan kewaspadaan serta lupa bahkan terhadap kepentingannya sendiri, mereka sudah seperti orang yang sudah gila. Sakra, sebaliknya, tak membiarkan kemabukan pada kekuasaan mempengaruhi batinnya. Bahkan, ketertarikannya pada kebajikan bagi semua makhluk terus berkembang, menyadari kecenderungan dirinya sendiri dengan baik, ia sama sekali tak mengabaikan kepentingan orang lain. Belas kasihnya kepada semua makhluk sedemikian besar hingga ia bahkan memperhatikan makhluk hidup sekecil apa pun yang sangat menderita.

Pada suatu hari, sebagai seorang Mahasattva yang mengarahkan pandangannya terhadap umat manusia, pandangannya yang tajam serta kuat sebagaimana sifatnya, penuh maitri serta karuna, tertuju pada seorang raja bernama Sarvamitra, `Sahabat Bagi Semua'. Raja ini, dikarenakan oleh persahabatannya dengan orang-orang yang tidak baik, terikat sangat kuat terhadap arak yang keras, dengan mana ia bergaul, baik dengan berbagai macam rakyatnya maupun para punggawanya. Melihat bahwa raja tersebut tidak memperlihatkan perasaan bersalah dari meminum minuman keras, Mahasattva merenung dengan hati belas kasihnya:

"Kemalangan besar apakah yang akan menimpa orang ini? Aduh! Menyenangkan pada mulanya, minuman keras membawa pada kegelapan serta kehancuran yang berat. Yang demikian ini merupakan jalan persimpangan, yang tampak menarik akan tetapi menjauhkan dari pencerahan; mereka yang menuruti daya tarik arak, tak akan menyadari kejahatan yang dipeluknya. Tetapi apa yang harus kulakukan?"

Setelah merenung dengan seksama, Sakra segera melihat apa yang harus dilakukannya. "Apakah sebabnya, jelaslah kiranya. Sudah menjadi sifat manusia, meniru orang yang terpandang di antara mereka. Raja, karenanya, menjadi orang yang harus disadarkan, mengingat bahwa karena dirinyalah segala kebajikan serta kejahatan rakyatnya akan mengikuti."

Untuk itu Mahasattva lalu bersalin rupa menjadi seorang brahmana mulia. Bersinar bagaikan emas murni, ia tak pernah terpengaruh oleh hal-hal yang rendah; rambutnya kusam serta gimbal, tubuhnya tertutup oleh jubah pertapa dari kulit kayu yang keras serta kulit rusa.

Ketika Raja Sarvamitra sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, membicarakan tentang mutu arak yang begini dan begitu, Sakra muncul di hadapan mereka, berdiri di angkasa, sebuah kendi berukuran sedang tergantung di pinggang kirinya. Membuat terkejut serta takjub yang sedang berkumpul, lalu mereka bangkit dari duduknya, menangkupkan kedua telapak tangannya penuh hormat.

Dengan suara yang menggetarkan bagaikan petir awan hujan Sakra bernyanyi:

"Lihatlah kendi ini yang terisi penuh hingga lehernya, bunga mekar tersenyum melingkari lehernya! Ukiran tangan dengan hiasan yang kemilau, Siapa yang mau membeli mustika menggiurkan ini?

Kendi bagus ini, dihiasi dengan bunga indah, betapa bangganya dia memakai dedaunannya yang bagus sekali. Mari, siapa di antara kalian yang ingin membelinya?"

Takjub pada pemunculan yang demikian, raja menatap brahmana dengan rasa hormat. Mengangkat tangan anjalinya, ia menjawab: "Engkau muncul seterang matahari, seagung bulan, seperti seorang Mahamuni. Siapakah panggilan namamu di dunia ini? Engkau muncul dengan cara yang begitu berbeda hingga membuat kami keheranan."

Sakra menjawab: "Beli saja kendi ini. Setelah itu Engkau akan tahu siapa aku. Belilah, jika kalian tidak merasa takut menderita dalam hidup yang akan datang, atau bencana akan terus datang sekarang."

Raja menjawab: "Aku tak pernah mendengar apa pun yang dijual dengan cara seperti ini sebelumnya. Pedagang biasanya memuji keunggulan barangnya, semua akan menyembunyikan kekurangannya. Caramu telah menunjukkan siapa dirimu, karena makhluk-makhluk suci membenci kesalahan. Mereka mengucapkan kebajikan tanpa meninggalkan kebenaran, bahkan meski dalam kesulitan.

Katakan kepadaku, Manusia Utama, apa sebenarnya yang ada di dalam kendimu? Dan apa yang sebenarnya diinginkan orang mulia sepertimu sebagai imbalannya?"

Sakra menjawab: "Dengarlah baik-baik, Raja Agung. Kendi ini tidak berisi air, bukan air yang keluar dari awan, bukan air yang mengalir dari mata air suci. Ia tidak beraroma madu yang dikumpulkan dari sari bunga; bukan pula sari mentega; bahkan juga bukan susu yang berwarna bagai bulan yang membuat mekar bunga kumuda di malam hari yang tiada mendung. Bukan, kendi ini penuh dengan kejahatan yang sesungguhnya hingga lehernya.

Dan kini jika Engkau mengijinkan, aku akan menyebutkan kebajikan dari minuman ini:

"Jika Engkau minum dari kendi ini seluruh pengendalian diri akan meninggalkanmu. Ingatan akan melupakanmu, Engkau akan tersandung bahkan di atas tanah lunak. Bingung serta tumpul, Engkau tak akan memedulikan Apakah yang kaumakan patut dimakan atau tidak. Demikianlah air yang terkandung di dalam kendi ini. Silahkan beli kendi yang tanpa cela ini!

Menyebabkan hilangnya panca indera, dan berbuat tanpa menyadarinya! Menjadikan bagai binatang, berbicara tanpa berpikir, Sementara musuh-musuhmu tertawa seolah Engkau sedang menari-nari di antara mereka, Menari mengikuti pukulan gendang kata-katamu sendiri yang tanpa disadari. Silahkan beli kendi ini! Ia kosong dari segala kebajikan!

Ketika mereka minum dari kendi ini, Bahkan yang pemalu kehilangan kepantasan – Melepaskan pakaiannya berjingkrak di jalanan. Demikianlah cairan yang terdapat di dalam kendi ini, Dan kini ia ditawarkan kepadamu! Minum dan tergeletak tanpa sadar, berlepotan dengan muntahan, Anjing semaunya menjilati mukamu. Betapa senangnya membeli yang ada dalam kendi ini!

Minum dan minumlah dengan rakus yang ada di dalam kendi ini! Pukul orang tuamu hingga mati dan bunuh Dewa Kekayaan! Tumpahkan hidupmu hingga kering, minumlah pikiranmu hingga habis! Seperti Andhaka dan Vrishnaya bersaudara, Yang satu sama lain saling memukul. Begitulah kegilaan yang dapat ditemukan dalam kendi ini.

Jika Engkau menginginkan apa yang ada dalam kendi ini, Engkau akan kehilangan kedudukanmu –kemuliaanmu akan lenyap, Engkau akan kehilangan nama baikmu. Harta serta rumahmu habis, keluargamu hancur – Yang di dalam kendi ini batal dijual! Tangis dan tawa dengan demikian terhindarkan mata sayu serta kebodohan yang seperti orang kerasukan yaksa, Menghindarkan menjadi objek cemoohan Pikiran kotormu terdapat dalam bejana ini!

Minum menyebabkan perasaan menyesal di hari tua; ia melemahkan keinginan untuk melakukan apa yang baik bagi diri sendiri. Pikiran jernih terabaikan, perbuatan tergesa-gesa lalu timbul. Di sini, di dalam kendi inilah kesemua itu, bahkan masih banyak lagi!

Disebabkan oleh cairan ini dewa tua menjadi tak terkendali, dan dilucuti dari keagungannya oleh raja para dewa, basah kuyup di dalam samudra sambil mencari pertolongan. Seperti itulah malapetaka yang ditimbulkan oleh kendi ini!

Berkata tidak benar seolah-olah benar, karenanya kehilangan perasaannya terhadap benar dan salah Engkau akan melakukan perbuatan yang tak seharusnya dilakukan. Di sinilah di dalam kendi ini kutukan berwujud! Ibu dari kedosaan, kebodohan serta kepedihan, Sumber segala kejahatan, jalan menuju segala kegilaan, Di sinilah di dalam kendi ini kegelapan batin yang menakutkan!

Aku memberi penawaran ini pada Raja Agung untuk membelinya! Biarlah ia kehilangan indriawinya dan membunuh para pertapa Tanpa memikirkan selanjutnya, Dan juga membunuh orang tuanya sendiri!

Wahai Pemimpin Manusia, yang dipandang sebagai dewa di dunia ini, begitulah cairan ini. Biarlah siapa pun tak bersahabat dengan kebajikan dengan membelinya di sini.

Barang siapa bergantung pada barang ini akan terbiasa dengan perbuatan salah. Tak diragukan lagi ia akan jatuh ke dalam neraka, atau dalam kelahiran sebagai binatang ataupun peta. Lalu siapakah yang bahkan mau melihat kendi ini?

Bahkan sekedar meminumnya sedikit berpengaruh pada kehidupan ini, dengan pelan menghancurkan sifat baik serta nalarnya, mengarahkan orang menuju pada kebinatangan, danawa, bahkan hingga ke pintu neraka untuk terbakar dalam api yang berkobar-kobar.

Singkatnya, minum arak mematikan sifat baik, membunuh nama baik, menghancurkan rasa malu dan mengotori pikiran. Wahai Baginda, mengetahui semua ini, bagaimana bisa engkau membiarkan dirimu menjadi peminum?"

Kata-kata yang sedemikian berikut alasan-alasannya menyadarkan raja dari sifat arak yang menghancurkan. Melenyapkan seluruh keinginan untuk minum, raja lalu berkata kepada Sakra:

"Engkau telah mempengaruhiku seolah seperti kasih sayang seorang ayah yang mempengaruhi putranya, atau seperti seorang guru yang tergerak hatinya oleh bakti siswanya. Engkau mengajar seolah seperti seorang Muni yang memahami cara yang tepat. Kebajikanmu telah memberi kami kebajikan besar; mohon terimalah sesuatu dari kami sebagai balasan.

Aku akan memberimu lima desa, seratus orang budak, lima ratus ekor sapi, juga sepuluh kereta yang ditarik oleh kuda-kuda terbaik: Kesemuanya demikian pula yang lain, yang mungkin kau inginkan, mengingat bahwa Engkau telah menjadi guru bagiku. Apa pun lainnya yang kauinginkan karenanya, Oh Yang Mulia, mohon terimalah sebagai persembahanku."

Sakra menjawab: "Aku tak menginginkan desa, aku juga tak membutuhkan budak-budak. Ketahuilah, Wahai Raja, diriku adalah Raja Para Dewa. Dan ketahuilah juga bahwa, orang yang membicarakan kebajikan tak menginginkan apa pun kecuali ajarannya diterima dan dilaksanakan, dengan cara demikian akan membawa keagungan serta kemuliaan, setelah kematiannya ia akan pergi ke alam bahagia. Untuk itu, buanglah kebiasaanmu minummu. Berpeganglah teguh pada perbuatan benar, Engkau kelak akan dapat berbagi surga denganku."

Setelah memenuhi kehendaknya, Sakra menghilang seketika. Sang raja bersama orang-orangnya, kemudian menjauhi minuman keras untuk selama-lamanya.

Dari kisah ini orang dapat melihat betapa besarnya penderitaan yang diakibatkan minuman keras, dan bagaimana orang baik akan berusaha mengubah orang lain dari keburukannya, tak perlu dikatakan lagi demikian pula terhadap dirinya sendiri. Kisah ini juga sesuai pada saat memuji keagungan Tathagata, dan juga pada saat menunjukkan bagaimana Sang Bhagavan membawa kebajikan bagi makhluk hidup dalam kehidupannya yang lampau.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/560
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #48 on: 18 September 2008, 12:55:20 PM »
MAHAKAPI JATAKA
KELAHIRANNYA SEBAGAI KERA BESAR
JATAKAMALA

Saat orang baik disakiti oleh yang lain, mereka kurang menangisi kesakitannya sendiri, dibanding kebajikan yang hilang oleh mereka yang telah menyakitinya. Pada suatu ketika Bodhisattva menunjukkan hal ini.

Di dekat pegunungan Himagiri terbentang daerah yang subur, kaya, dan menarik serta beraroma seharum gaharu, tertutup oleh hutan lebat bagai padatnya sutra gelap. Burung berbagai warna serta ukuran menghiasi taman, yang begitu padu dalam ukuran maupun warna yang muncul menggambarkan sebuah karya besar. Di sini makhluk-makhluk surgawi bermain di air jernih yang mengalir dari mata air gunung yang mengalir melewati bebatuan tebing dan tumpah melalui tebing sebagai air terjun yang besar. Dengung lebah menggema, angin sejuk meniup pepohonan yang berbunga. Di sinilah Bodhisattva pada suatu ketika mengambil kelahiran sebagai seekor kera besar yang hidup sendirian.

Bahkan dalam wujudnya sebagai binatang, Bodhisattva tidak kehilangan kesadarannya pada Dharma: baik, sabar tiada terukur, dan karena sifat yang manis serta teguh, ia diberkati dengan belas kasih yang tanpa batas, bagai angkasa. Meskipun bumi, dengan hutan, gunung besar, dan samudra yang dalam, telah lenyap berkali-kali karena air, api dan angin; belas kasih Bodhisattva benar-benar tak dapat dihancurkan. Kera besar ini hidup bagaikan seorang pertapa, mencukupi diri hanya dengan makanan sederhana dedaunan dan buah-buahan, dan menggunakan apa pun sarana yang ia dapatkan untuk binatang-¬binatang yang ada di sekitarnya.

Hingga suatu hari lewatlah seorang petani, yang dalam pencarian sapinya yang lepas, tersesat jalan. Tak dapat mengenali keberadaannya melalui gugusan bintang di angkasa, ia berkelana tanpa arah sama sekali, hingga kemudian ia sampai di tempat kediaman kera besar. Di situ, kering oleh lapar, haus, kepanasan dan kelelahan, hatinya terbakar oleh api penderitaan, hatinya sedih oleh beban keputusasaan, ia menjatuhkan dirinya di pangkal sebatang pohon. Dalam kelaparannya memandang ke sana kemari, ia melihat sejumlah runtuhan buah tinduka terhampar berceceran di atas tanah. Perihnya rasa lapar membuat rasa pahit buah itu seakan manis, begitu menyegarkan, hingga ia mulai mencari asal-usulnya.

Ia belum melihat jauh. Tumbuh di sebuah bukit batu di tebing air terjun, pohonnya menjulang di atas tebing yang curam, rantingnya berayun oleh berat buahnya yang berkilau, bulat dan memikat. Menimbulkan minat, petani tersebut menaiki bukit dan memanjat pohon tersebut, menjangkau ranting yang sarat dengan buah. Karena bergegas untuk mendapatkan buah, ia perlahan-lahan sampai ke ujung cabang. Tiba-tiba, karena tak dapat menahan beratnya, cabang tersebut patah, seolah ditebang dengan kapak.

Dengan jeritan keras ia langsung jatuh dari atas bukit. Berpegangan pada cabang untuk menyelamatkan diri, ia jatuh ke dalam jurang di mana terdapat kolam dengan air yang dalam dikelilingi oleh tembok batu tinggi. Daun dari ranting pohon menahan jatuhnya, menghindarkannya dari patah tulang, lalu ia dapat bergegas memanjat keluar dari air dingin. Tapi setelah melihat ke segala arah ia tak dapat menemukan jalan keluar dari kolam hutan. Menyadari bahwa dirinya akan segera menghadapi kematian, ia larut dalam tangis, panah kemalangan telah menghancurkan hatinya. Dikuasai oleh perasaan sedih, ia berteriak-teriak:

"Aduh! Di tengah hutan terpencil ini, yang jauh dari telinga manusia, aku jatuh ke dalam kubangan, seperti binatang hutan terjerat oleh perangkap. Tak seorangpun, betapapun dan bagaimanapun cermatnya mereka mencari, pasti tak akan dapat menemukanku, kecuali kematian.

Tak ada kerabat atau sahabat yang dapat mendengar tangisku, hanya suara nyamuk yang datang untuk mengisap darahku. Aku tak akan dapat lagi menyaksikan taman dan hutan yang indah, gubuk dan sungai, langit yang indah oleh bintang-bintang bagaikan permata. Aku duduk di tempat yang benar-benar gelap, di mana malam gelap kubangan ini menyembunyikanku dari dunia."

Demikianlah keluh kesahnya, selama berhari-hari ia berada di dalam kubangan yang dalam, hanya hidup dari air kubangan dan sedikit buah tinduka yang jatuh bersamanya.

Saat itu, secara kebetulan kera besar sedang berkeliling melewati bagian hutan itu mencari makanan. Menemukan tanda dari ranting pohon tinduka yang tercuri di angkasa, ia memanjatnya, lalu memandang ke arah air terjun, melihat tubuh kurus manusia yang terbaring di bagian bawah kubangan, mata dan pipinya cekung serta pucat, jelas sekali lemah karena kelaparan. Belas kasih kera besar serta-merta timbul. Sama sekali lupa mencari makanan, ia mengarahkan pandangannya pada manusia yang jauh di bawah, dengan bahasa manusia ia memanggil:

"Kau yang di sana, apa yang kaulakukan di dalam kubangan yang tak terjamah manusia? Siapa Engkau dan bagaimana Engkau bisa sampai ke sana?"

Orang yang di dalam kubangan, mengarahkan matanya pada kera besar, membungkuk dengan tangan beranjali dalam takjub serta memuji: "Kami hanyalah seorang manusia, Oh Dewa Agung," ujarnya. “Kami tersesat jalan di hutan. Berusaha untuk mengambil buah dari pohon itu, yang kami dapatkan bencana. Di tempat yang mengerikan ini, yang jauh dari teman dan keluarga, bencana telah menimpa kami. Kami mohon kepadamu, Oh Sang Pelindung Kera, selamatkanlah diri kami."

Orang yang sedang dalam kesulitan, tanpa sahabat atau keluarga yang menolong, meminta bantuan dengan wajah penuh harap dan tangan beranjali, akan membangunkan perasaan kasihan bahkan di hati musuhnya yang paling jahat sekalipun. Bagi Mahasattva, orang seperti ini menimbulkan belas kasih yang besar. Dipenuhi oleh perasaan kasihan yang tiada terbilang Bodhisattva menanggapi orang itu dengan kata-kata yang menyenangkan:

"Jangan menganggap bahwa segalanya telah hilang karena kamu jatuh ke dalam lubang ini, dan tak mempunyai teman yang akan menolongmu. Apa yang tak dapat dilakukan oleh para sahabat, aku dapat melakukannya. Janganlah cemas."

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisattva melemparkan lebih banyak buah tinduka dan juga buah-buahan lainnya, lalu pergi melalui jalan kecil untuk mempersiapkan dirinya menjalankan tugas yang ada di hadapannya. Pertama-tama ia mencari sebuah batu yang berat serta ukurannya sama dengan manusia, lalu menggendongnya di punggung untuk menguji kemampuannya membawa orang itu keluar dari dalam lubang. Memahami kesanggupan kekuatannya dan memastikan bahwa ia dapat melakukannya, ia kembali lagi ke tebing dan turun ke dasarnya.

Dengan tenang ia berkata: "Naiklah ke punggungku dan peganglah yang erat saat aku menarik tubuhku dan tubuhmu sekuat tenaga. Karena sebenarnya, seperti yang diketahui para bijaksana, tubuh adalah sesuatu yang tak berguna hingga digunakan untuk menolong orang lain."

Setelah menunduk hormat pada kera besar, orang itu naik ke punggungnya. Selanjutnya sang kera, dengan menahan rasa sakit karena beban berat, meskipun dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan, memanjat dengan susah payah naik ke samping batu, dan dengan demikian berhasil menyelamatkannya. Meskipun ia merasa sangat gembira, Bodhisattva begitu terkuras tenaganya hingga cara jalannya gontai serta gemetar; mencari hamparan batu, berwarna abu-¬abu seperti awan, ia berbaring untuk istrirahat. Dengan hati murni, tak menduga datangnya bahaya dari orang yang baru saja diselamatkannya, dengan penuh percaya ia berkata:

"Daerah hutan ini penuh dengan bermacam-macam binatang buas. Untuk itu, selagi aku memulihkan diri, tolong awasi kalau-kalau beberapa binatang hendak menghancurkan baik kebahagiaanku maupun dirinya sendiri di kemudian hari. Berjagalah dengan penuh kewaspadaan demi kita berdua. Aku sangat lelah dan perlu istirahat."

Dengan berpura-pura orang itu berjanji: "Jangan khawatir. Saya akan berada di sini menjaga kita berdua. Tidurlah, selama yang kau inginkan, jangan bangun sebelum Engkau benar-benar pulih kembali."

Akan tetapi segera setelah Mahasattva jatuh tertidur, pikiran jahat muncul dalam hati orang tersebut. "Untuk apa kau tetap di sini lebih lama lagi?"pikirnya. "Dengan apa aku akan hidup, umbi-umbian yang susah payah dikumpulkan atau buah-buahan yang ditemukan secara kebetulan? Dengan makanan seperti itu, aku tak akan dapat memulihkan kekuatanku. Jika aku lemah dan lapar, bagaimana bisa aku keluar dari hutan belantara ini?”

"Tubuh kera ini akan memberiku makanan yang cukup selama perjalanan. Meskipun ia telah berbuat baik kepadaku, tetapi ajaran untuk menghadapi keadaan sulit harus dijalankan di sini, sehingga aku dapat memakannya. Tetapi aku hanya dapat membunuhnya saat ia tidur; dalam tidurnya yang sekarang lebih tepat, mengingat bahkan tak ada singa yang dapat mengalahkannya bila ia terjaga. Tak akan ada kesempatan yang disia-siakan."

Pikiran jahat telah begitu membelenggu dalam nafsu yang kelam dibanding kemurahan hatinya, pengetahuannya pada apa yang benar dan naluri belas kasihnya sama sekali telah lenyap. Mengabaikan tubuhnya yang kurus dan hanya berpikir tentang keinginannya untuk membunuh, ia mengambil sebongkah batu besar dan menjatuhkannya tepat di kepala kera.

Akan tetapi tubuhnya yang masih lemah terjatuh, ia melakukannya dengan tergesa-gesa; batu tersebut, meleset dari tujuan hendak membuat kera tertidur pulas dalam kematian dan hanya sekadar menggoncangkannya. Jangankan membuat kepala kera remuk, ia hanya membuat pelipisnya memar dan jatuh ke tanah dengan suara gedebuk yang keras.

Dengan cepat meloncat, Bodhisattva melihat ke sekeliling untuk mencari penyerangnya. Namun ia tak menemukan kecuali orang yang telah diselamatkannya, wajahnya pucat pasi, sikapnya serba salah, ia memperlihatkan dirinya sendiri dengan wajahnya yang malu dan cemas. Serta-merta rasa takut telah mencekik tenggorokan orang itu, membuat keringat berjatuhan dari tubuhnya, dan ia tak sanggup mengangkat pandangannya. Tak perlu lama bagi kera untuk mengerti siapa yang telah berusaha menyakitinya.

Dengan mengabaikan seluruh rasa sakitnya, Bodhisattva hanya merasakan kesedihan dan belas kasih terhadap orang itu yang telah melempar segala harapan kebahagiaannya. Menjalankan keputusan hatinya yang telah bulat, ia lalu berangkat pergi ke hutan melemparkan segala harapan kebahagiaan melalui perbuatannya. Tanpa perasaan marah dan dendam, matanya penuh dengan air mata, Bodhisattva berbicara dengan suara yang sangat sedih: "Saudara! Bagaimana bisa Engkau, sebagai manusia dapat melakukan perbuatan seperti ini? Bagaimana bisa Engkau merencanakannya, bahkan berusaha melakukannya, padahal Engkau telah berjanji untuk melakukan apa saja untuk melindungiku dari bahaya?

Apakah aku telah memperlihatkan sedikit rasa congkak setelah dapat menyelamatkanmu, sehingga dengan begitu Engkau hendak menghancurkannya, karena yang telah kaulakukan sesungguhnya jauh lebih sukar dari yang telah kulakukan. Setelah ditolong dari mulut Dewa Kematian, dan baru saja keluar dari jurang, Engkau telah jatuh lagi pada jurang lain!

Bagaimana ini bisa terjadi? Hei orang yang diliputi ketidaktahuan, hina dan kejam, yang akan membuat penderitaan menjadi kesulitan yang jauh lebih berat yang tak ada harapan lagi. Engkau telah menghancurkan dirimu sendiri, dan juga menyalakan api kesedihan dalam diriku. Engkau telah mengotori nama baikmu, bertentangan dengan kecintaanmu pada kebajikan, dan juga menghancurkan kemungkinanmu untuk dipercaya. Kini Engkau menjadi sasaran seluruh panah yang dilepaskan. Akibat itukah yang ingin kaudapatkan?

Rasa sakit lukaku tak seberapa dibanding dengan pikiran yang menurutku telah Engkau jatuhkan ke dalam kejahatan, sehingga tak seorang pun, bahkan juga diriku mampu untuk menghapuskan perbuatan itu.

Sekarang kemarilah. Duduklah di sampingku. Jangan mengelak dari pandanganku, karena Engkau tak dapat dipercaya. Aku akan menuntunmu keluar dari hutan yang berbahaya ini ke jalan yang membawa ke pemukiman penduduk. Berada disini sendiri, dengan tubuh lemah dan tak tahu jalan, Engkau akan menjadi incaran mereka yang akan membuatmu sangat menderita dan menyia-nyiakan segala yang telah kulakukan."

Mahasattva membawa orang tersebut ke tepi hutan. Setelah menunjukkan jalan kepadanya, ia sekali lagi berkata: "Sekarang, Saudara, Engkau telah berada di tepi permukiman penduduk dan Engkau dapat meninggalkan hutan yang berbahaya ini. Semoga perjalananmu menyenangkan, dan semoga Engkau juga menjauhi perbuatan jahat, karena pahala kejahatan sangatlah menyedihkan."

Demikianlah, dengan dipenuhi belas kasih, kera besar mengajari orang tersebut seolah-olah ia siswanya. Selanjutnya ia kembali ke kediamannya di hutan. Sebaliknya orang tersebut, tersiksa oleh kobaran api penyesalan sehingga ia sendiri tak lama kemudian terjangkit oleh penyakit lepra ganas. Wajah dan kulitnya dipenuhi oleh luka menganga yang mengeluarkan nanah busuk di sekujur tubuhnya. Sejak saat itu, ke mana pun ia pergi ia menimbulkan ketakutan dan rasa jijik. Begitu mengerikan wujudnya yang rusak hingga baik rupa maupun suaranya membuat ngeri manusia, begitu jelasnya bentuk penderitaannya. Menganggapnya sebagai hantu, di mana-mana orang karena takutnya, melemparinya dengan batu dan pentungan serta makian.

Suatu hari saat ia berkelana bagaikan rusa melewati sebuah hutan, ia ditemukan oleh seorang raja yang sedang berburu di hutan. Melihat manusia yang berwujud sangat seram, pakaiannya telah berubah menjadi lusuh compang-camping yang menutupinya, raja berkata kepadanya dengan suara gemetar bercampur takut:

"Tubuhmu rusak oleh lepra, kulitmu penuh dengan borok. Sangat pucat, kurus dan makhluk paling menderita yang pernah kulihat. Siapakah Engkau? Preta, yaksa, asura atau vetala? Makhluk apa hingga mengalami penyakit seperti itu?

Membungkuk kepada raja, orang itu menjawab dengan suara yang memilukan: "Kami bukan hantu, kami seorang manusia, Baginda."

Raja lalu bertanya kepadanya bagaimana mulanya hingga ia jatuh dalam keadaan yang cacat demikian, dan orang lepra itu kemudian mengakui perbuatan jahatnya, dan menambahkan: "Penderitaanku sekarang sesungguhnya akibat dari berbuahnya ketiga pohon yang kutanam, yaitu perbuatan mengkhianati sahabat. Aku tidak ragu lagi buahnya akan jauh lebih menderita lagi. Untuk itulah, Oh Baginda, engkau harus menganggap perbuatan pengkhianatan terhadap seorang sahabat sebagai musuh terbesar, senantiasa memandang dengan kebajikan terhadap semua orang yang baik kepadamu.

Mereka yang memutuskan persahabatan pasti akan mengalami halangan di dalam hidup ini, apalagi hidup nanti. Karena pikirannya ternoda oleh kebencian dan niat jahat lainnya, apa yang akan menimpanya kemudian tak dapat dibayangkan. Mereka, bagaimanapun, yang batinnya dipenuhi oleh belas kasih dan perhatian pada sahabat, menuai kepercayaan dari semua dan menikmati kebajikan agung. Pikiran setia akan memberinya kebahagiaan besar. Dengan keseimbangan dan kemanusiaan mereka akan merengkuh musuhnya dan pada akhirnya meraih jalan menuju alam luhur.

Mengerti akibat dari sikap baik dan buruk kepada sahabat, Oh Baginda, berpeganglah teguh pada jalan kebajikan, karena siapa pun yang melewati jalan itu tak diragukan lagi mencapai kebahagiaan."

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang yang baik sedih karena kehilangan kebajikan yang ditimbulkan oleh mereka yang menyakitinya dibandingkan sedih pada deritanya sendiri. Kisah ini dapat juga digunakan ketika membicarakan keagungan batin Sang Tathagata, dan juga ketika membicarakan tentang perlunya mendengar dengan penuh perhatian terhadap ajaran Dharma. Ini juga dapat dilafalkan ketika berkaitan dengan kesabaran dan kesetiaan terhadap sahabat. Juga pada saat mengungkapkan betapa merusaknya perbuatan jahat.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/588
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline oddiezz

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 325
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • in vain
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #49 on: 18 September 2008, 01:56:39 PM »
bro hikz... salah tempel kah?
Eschew Obfuscation! Espouse Elucidation!

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #50 on: 18 September 2008, 03:24:48 PM »
Gak, soalnya relief Borobudur kan menggambarkan cerita Jataka.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #51 on: 18 September 2008, 05:39:26 PM »
betul yg dikatakan bro karuna.  :)
kisah2 jataka dipahat dalam bentuk relief-relief di dinding candi.
untuk jelasnya, bro oddiezz bisa liat di page pertama dr topik ini.
 _/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #52 on: 18 September 2008, 05:54:48 PM »
SHIBI JATAKA
KELAHIRANNYA SEBAGAI RAJA SHIBI

Hanya setelah melewati beratus-ratus kesulitan, barulah Sang Buddha menemukan Dharma demi kebajikan kita. Memahami akan hal ini, kita harus mendengarkan Dharma ajarannya dengan sikap penuh hormat dan perhatian yang terpusat.

Suatu ketika saat Sang Buddha masih hidup sebagai Bodhisattva, timbunan kebajikan benar yang dikumpulkan dalam banyak kehidupan masa lampaunya, menyebabkan beliau terlahir sebagai Raja Shibi. Menghormati semua yang tua sejak masa kanak-kanak dan santun dalam tingkah lakunya, ia benar-benar sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Diberkati dengan semangat yang tak terbatas, kebijaksanaan, kemuliaan dan kekuatan, paham akan berbagai pengetahuan, juga diberkati dengan keberuntungan, ia memerintah rakyatnya seolah mereka anak-anaknya sendiri. Pada Bodhisattva, segala kemuliaan terbaik, duniawi maupun Dharma, berpadu dengan sangat baik, menyingkirkan segala perbedaannya. Keagungan, yang ditiru oleh mereka yang memperoleh kedudukan tinggi melalui cara-cara tidak benar, keagungan yang menyebabkan bencana bagi orang-orang bodoh dan memabukkan bagi yang batinnya kasar, telah menemukan tempat untuk berdiam dalam dirinya.

Mengalirkan belas kasihnya bahkan lebih deras dibandingkan mengalirkan harta kekayaannya, raja terpilih ini merasa bahagia apabila dapat memenuhi permintaan para pengemis, dan ketika melihat wajah gembira mereka. Di seluruh wilayah kerajaannya, ia mempunyai balai rumah amal yang didirikan dan diisi dengan segala rupa barang-barang kebutuhan serta hasil bumi, yang dapat memenuhi setiap permintaan. Dengan kerendahan hati dan kesukacitaan yang besar, sang raja terus-¬menerus menumpahkan amal dananya bagaikan derasnya air hujan.

Setiap orang miskin diberi apa saja yang mereka butuhkan, disertai dengan keramahan serta tegur sapa. Makanan dibagikan kepada yang lapar, minuman diberikan kepada yang haus. Dengan cara yang sama, bahan pakaian, tempat tinggal, busana, wewangian, untaian bunga, perak dan emas, diberikan kepada siapa pun yang menginginkannya; apa pun yang diminta akan diberikan. Kabar tentang kemurahan hati sang raja tersebar luas sampai ke tempat yang jauh, sehingga menyebabkan orang-orang dari berbagai tempat yang jauh berdatangan ke sana dengan hati diliputi oleh kesukacitaan, mereka takjub serta girang atas kemuliaannya. Dengan hasrat yang kuat bagai seekor gajah yang menuju ke telaga luas, mereka tak ingin lagi mendapatkan pemberian dari tempat lain mana pun.

Raja senantiasa menyambut para pengemis, memahami bahwa penampilan luar mereka tiada lain merupakan pengharapan dan pikiran mereka hanya dipenuhi oleh keinginan untuk memperoleh. Beliau menerima mereka seolah-olah seperti menerima seorang sahabat yang telah lama hilang, yang kembali dari tempat yang jauh; matanya terbelalak berseri gembira, beliau mendengarkan permintaan mereka seolah mendengar sebuah kabar gembira. Kebahagiaan para pengemis bahkan melampaui kebahagiaan sang raja sendiri, mereka menyebarluaskan kabar gembira kemurahan hati sang raja ke seluruh negeri di sekelilingnya, sehingga memudarkan keangkuhan para raja tetangga.

Pada suatu hari ketika sang raja mengunjungi balai dananya, mendapati hanya ada sedikit pengemis di sana, hal mana membuatnya menjadi cemas. Kehausan para pengemis pada amal dana mudah sekali dipuaskan, namun tidak demikian dengan kehausan sang raja pada keinginan untuk memberi. "Secepatnya juga akan semakin sedikit yang tersisa untuk didanakan." pikirnya. "Alangkah menyenangkan jika ada yang meminta lebih! Terberkatilah pengemis yang darinya datang keinginan meminta apa saja, meskipun bagian tubuhnya! Dariku mereka hanya meminta harta bendaku, seolah takut kalau aku mungkin akan menolak permintaan yang diluar kewajaran."

Saat ia membuat pernyataan tersebut, bumi mengetahui tiadanya keterikatan pada dirinya, bahkan terhadap tubuhnya sendiri, bergetar dengan perasaan cinta bagaikan seorang istri terhadap suaminya. Begitu kuatnya gempa yang terjadi hingga bahkan raja gunung yang bertaburan permata sekalipun, mulai bergelombang; dan Dewa Sakra, Raja Para Dewa, telah keluar untuk mengetahui yang menjadi penyebabnya. Mendapat berita bahwa Raja Shibi telah meninggalkan segala keterikatannya bahkan terhadap daging tubuhnya sendiri, Sakra berpikir dalam kekagumannya: "Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah batin sang raja sedemikian mulianya, apakah ia sedemikian besar kegembiraannya dalam berdana, sehingga rela bahkan melepaskan anggota tubuhnya sendiri? Aku akan mengujinya."

Raja sedang duduk di singgasana di tengah-tengah pertemuannya, yang seperti biasa mendengarkan mereka-mereka yang membutuhkan. Menimbun harta, perak, emas dan juga permata, membuka peti yang berisi busana, demikian pula yang diusung oleh binatang-binatang terlatih, yang dikeluarkan oleh para bendahara. Dari segala penjuru para pengemis berkumpul riuh, di antara mereka terdapat Dewa Sakra, Raja Para Dewa, dalam penyamarannya sebagai seorang brahmana tua yang buta.

Brahmana cacat tersebut dengan segera menunjuk mata sang raja; raja dengan belas kasih dan tenang memandangnya seolah hendak merangkul sang brahmana cacat. Para punggawa kerajaan meminta sang brahmana untuk mengutarakan permintaannya, namun mengabaikan mereka, brahmana tersebut terus mendekati raja.

"Aku, seorang brahmana tua yang buta, datang dari tempat yang sangat jauh, Oh Raja Agung, dengan sangat memohon pemberian salah satu mata paduka. Kiranya satu mata cukup untuk mengatur dunia, Oh Baginda Yang Bermata Bagai Bunga Padma, Raja Dunia."

Sang Bodhisattva merasakan kebahagiaan yang meluap: keinginan hatinya telah terpenuhi. Oleh karena keinginan hatinya begitu kuat hingga ia bahkan telah membayangkan. Ingin kembali mendengar permintaan tersebut, ia bertanya; "Siapakah yang menyuruhmu, wahai brahmana mulia, untuk meminta salah satu mataku? Bagaimana dirimu dapat mengira bahwa ada manusia yang bahkan akan sanggup melepaskan benda itu? Siapa yang percaya bahwa aku akan memenuhinya?"

Mengetahui kepedulian raja, samaran Dewa Sakra menjawab; "Dewa Sakralah yang memberi tahu kami. Sebuah arca dewa itu telah berbicara kepada kami, berkata agar kami datang kemari dan memohon kepadamu. Yakin bahwa dia benar serta dapat mengabulkan keinginan terdalam kami; karenanya mohon berilah kami salah satu mata Baginda."

Mendengar nama Sakra, raja berpikir; "Pastilah kekuatan para dewa akan membantu memulihkan penglihatan brahmana ini." Sehingga dengan suara yang mantap dan penuh kegembiraan seraya berkata: "Brahmana, aku akan mengabulkan permintaanmu. Meskipun engkau hanya meminta satu mataku, aku akan memberimu keduanya! Setelah wajahmu dihiasi dengan kedua kuntum padma yang cemerlang ini, kau pergilah jauh; biarlah keajaiban ini membuat kagum setiap orang yang kau temui!"

Penasihat raja terperanjat dan diliputi kecemasan mengetahui bahwa raja bermaksud hendak memberikan matanya. "Sri Baginda," ucapnya, "kemurahan hati baginda telah sampai pada batas ketidakadilan sehingga menjadi sebuah keanehan! Baginda tak boleh memberikan mata Baginda! Hanya demi kebajikan orang yang lahir dua kali ini (dwijati sebutan bagi seorang brahmana), janganlah melupakan kami semua! Paduka akan menyalakan api penderitaan pada kami semua setelah sebelumnya Paduka merupakan sumber dari kenyamanan serta kemakmuran kami.

Uang, permata yang cemerlang, kereta, tandu, gajah tangkas yang mengagumkan, kediaman yang sesuai dengan segala musim, yang bergema oleh suara para penari; pemberian yang demikian sudah pantas. Berikanlah yang demikian, tetapi mohon, jangan berikan mata Paduka, Padukalah mata satu-satunya bagi dunia!

Dan sadarilah hal ini; hanya berkat pengaruh kekuatan para dewalah yang memungkinkan mata seseorang dapat dipindahkan ke orang lain. Meskipun jika hal itu terjadi, mengapa harus mata Baginda? Juga, apa manfaatnya mata itu bagi orang malang sepertinya, bagi dia yang hanya akan menjadi saksi kemakmuran orang lain? Beri saja dia uang, bagaimanapun mohon jangan lakukan tindakan yang tidak tepat itu!"

Sebagai jawaban, raja menatap menterinya dengan kelembutan serta keramahan:

"Ia yang telah berjanji untuk memberi, yang lalu memegangi apa yang akan diberikannya, hanya akan mendapatkan tali keterikatan yang telah dibukanya. Ia yang telah menjanjikan sebuah pemberian, tetapi karena terdorong oleh kepelitan, lalu mengingkari janjinya, harus dianggap sebagai orang yang sangat tercela. Ia yang memberi harapan pada orang yang membutuhkan, lalu memberi mereka penolakan yang kasar, yang demikian tak patut diperlakukan lain kecuali dijauhi.

Mengingat bahwa kekuatan para dewa untuk menimbulkan penglihatan pada mata cangkokan, ketahuilah: Bahkan dewa bergantung pada suatu keadaan untuk menimbulkan pengaruh tertentu. Siapakah di antara kita yang dapat berkata bahwa cara seperti apa yang sesuai dengan apa yang diharapkan pada akhirnya? Jangan, janganlah mencoba menghalangi maksud hatiku. Aku tetap akan memberikan mataku kepadanya."

Menterinya menjawab: "Kami tidak berusaha menghalangi Sri Baginda melakukan perbuatan apa pun yang luar biasa! Kami hanya sekadar menganalisa bahwa. Pemberian benda-benda, hasil bumi atau emas akan lebih sesuai daripada memberikan penglihatan paduka."

"Apa pun yang diminta itulah yang harus diberikan", jawab raja. "Memberikan sesuatu yang tidak diinginkan tak akan membuat senang. Apa gunanya memberi air pada orang yang sedang hanyut? Aku akan memberi orang ini seperti apa yang diinginkannya."

Sebagai reaksi, menteri pertama yang lebih akrab dengan raja dibandingkan para menteri lainnya berbicara hingga melampaui batas tata krama disebabkan kasih sayangnya terhadap sang raja: "Jangan lakukan itu! Dibutuhkan pertapaan yang berat serta meditasi yang lama untuk memperoleh kerajaan seperti ini; kemurahan hati Baginda telah memberi Baginda keagungan serta kemuliaan di antara para dewa. Kerajaan Baginda sebanding dengan kekayaan yang dinikmati oleh Dewa Indra, akankah Baginda mengabaikannya! Kini Baginda ingin memberikan kedua mata Baginda, untuk maksud apa? Di bumi ini hal seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya! Mahkota para raja menghiasi kakimu; pengorbanan Baginda menempatkan Baginda pada kedudukan dewa; kemasyhuranmu bersinar menjangkau hingga ke tempat yang sangat jauh. Apa tujuan yang hendak Baginda raih dengan memberikan matamu?"

Raja menjawab dengan sangat menyentuh: "Aku tidak bermaksud menguasai bumi, ataupun mencapai keagungan; aku tidak menginginkan moksha atau kebahagiaan surgawi. Aku melakukan perbuatan ini semata-mata agar permohonan seorang pengemis dapat terpenuhi, dengan harapan dapat menjadi Pelindung Dunia."

Sambil mengucapkan kata-kata tersebut, raja memerintahkan seorang tabib agar mengeluarkan salah satu matanya, perlahan-lahan dan berhasil. Dengan kegembiraan yang tiada terlukiskan is menggenggam bulatan bola mata tersebut, yang berseri bagai kuntum bunga utpala, lalu memberikannya kepada sang pengemis.

Sakra, Raja Para Dewa, kemudian dengan menakjubkan memasukkan bola mata tersebut ke dalam kelopak mata brahmana tua, hingga raja bersama semua yang hadir menyaksikan sebuah mata yang membuka. Perasaan hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan murni, raja lalu kembali memberikan matanya yang satu lagi.

Wajah raja kini menjadi bagaikan kolam teratai yang kehilangan bunga, dengan raut muka yang memancarkan kegembiraan, perasaan gembira yang tiada dirasakan oleh orang lain, yang hanya melihat bahwa raja telah menjadi buta dan brahmana telah mendapatkan penglihatannya dari raja. Dari dalam ruangan istana, hingga jauh ke wilayah kota, air mata kesedihan telah tumpah, sebaliknya Sakra diliputi oleh rasa penyesalan, mengetahui bahwa raja tak bergeming dari keinginannya untuk mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna.

"Betapa teguhnya!" pikirnya "betapa baiknya ingin menolong makhluk lain! Betapa berbelas kasihnya! Meskipun aku menyaksikannya, sulit bagiku untuk mempercayainya! Sangatlah tidak tepat manusia yang sedemikian baiknya harus mengalami kesulitan lebih lama lagi! Aku akan segera menunjukkan padanya cara memulihkan penglihatannya."

Ketika waktu telah menyembuhkan lukanya, dan telah meredakan kesedihan semua orang di istana serta seluruh penduduk negeri, sang raja bermaksud pergi menyepi, pada suatu hari pergi ke taman kerajaan, duduk bersila di dekat sebuah kolam teratai. Seluruh pohon di sekelilingnya merunduk sarat oleh bunga, riuh oleh dengung suara lebah. Angin sepoi-sepoi bertiup, sejuk serta berbau harum.

Tiba-tiba, raja merasakan ada yang datang. "Siapa itu?" tanyanya. "Sakra, Raja Para Dewa," jawab Sakra. Menyampaikan hormat pada Sakra, raja lalu bertanya apa yang dapat dilakukan baginya. Dewa Sakra menjawab: "Aku datang untuk mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. Sekarang apa yang kauinginkan, wahai Pangeran Suci? Katakan kepadaku, aku akan mengabulkannya."

Raja terperanjat, mengingat bahwa biasanya dialah yang memberi, bukannya menerima.

"Aku telah memiliki harta berlimpah, Oh Sakra, bala tentaraku juga sangat besar dan kuat. Akan tetapi kebutaanku, membuat diriku tak dapat lagi melihat wajah gembira para pengemis setelah aku memberi apa yang mereka inginkan. Karenanya hanya kematianlah yang sesuai bagiku kini. Kematianlah yang kuinginkan."

"Jangan sampai berpikir seperti itu!" ujar Sakra. "Lebih baik, sampaikan kepadaku apa yang sebenarnya kaurasakan, Oh Raja, apa yang kaupikirkan tentang para pengemis, hingga mereka membuatmu begitu menderita. Katakanlah! Katakan kepadaku apa yang ada di dalam hatimu, mungkin engkau akan segera merasa lega."

Sang Raja menjawab: "Mengapa engkau menyangka bahwa hanya dengan memulihkan penglihatanku akan membuatku merasa cukup? Dengarlah ini, bagaimanapun, jika engkau memaksa; sebagaimana kenyataan bahwa kegembiraan seorang pengemis adalah bagaikan berkah bagi pendengaranku, demikianlah hal yang sangat kuinginkan adalah memulihkan kembali salah satu mataku!"

Tak lama setelah raja mengucapkan kata-kata tersebut, berkat kekuatan kebenaran kata-kata serta kebajikannya, salah satu mata sang raja pulih kembali, sebuah kuntum padma yang dilingkari oleh permata indranila. Dengan gembira raja melanjutkan;

"Dan sebagaimana kenyataan kebenaran ketika aku mengetahui betapa bahagianya memberikan kedua mataku kepada orang yang hanya minta satu, untuk itu semoga dengan pasti aku mendapatkan mataku yang satu lagi."

Sekali lagi, setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut tak begitu lama matanya yang satu lagi muncul, keindahannya sebanding dengan yang pertama. Gunung berguncang, samudra bergolak, suara genderang surgawi terdengar dengan jelas dan berirama. Angkasa menjadi terang benderang oleh cahaya matahari bagaikan musim gugur, berbarengan dengan tiada terhingga bunga serta, serbuk cendana terhambur dari angkasa. Para dewa serta makhluk-makhluk surgawi lainnya dengan segera menuju ke tempat tersebut, mata mereka terbelalak menyaksikan apa yang terjadi, hati semua makhluk diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa.

Dari kesepuluh penjuru, nyanyian puji-pujian dilantunkan oleh makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan gaib. Dalam kegembiraan serta kesukacitaan, mereka berkata; "Betapa hebatnya belas kasihnya! Betapa lembut serta murni batinnya! Betapa kecil kepeduliannya pada kebahagiaan pribadi! Hormat padanya, sang pahlawan yang siaga, sebagaimana mata padmamu yang telah pulih, demikianlah dunia kini mendapatkan kembali pelindungnya! Setelah begitu lama, kebajikan menjadi pemenangnya!"

"Bagus, bagus," ucap Sakra memuji. "Disebabkan oleh perasaanmu yang memahamiku dengan baik, Oh Raja Yang Berhati Suci, aku mengembalikan kedua matamu. Dan dengan kedua mata itu engkau kini akan dapat melihat jauh ke segala penjuru, tak akan terhalang bahkan oleh gunung sekalipun." Setelah itu Dewa Sakra menghilang.

Bodhisattva, diiringi oleh para punggawanya yang takjub tertegun, kembali ke istana dalam sebuah arak-arakan. Di sana rakyat menegakkan bendera serta umbul-umbul seolah sedang berlangsung sebuah perayaan. Para brahmana memberkati kerajaannya dengan beribu-ribu kebajikan. Duduk di dalam balai pertemuan di hadapan sejumlah besar Para menteri, brahmana, Para tetua serta rakyat dari kota maupun desa, Bodhisattva mengajarkan Dharma berdasarkan pengalaman pribadinya:

"Siapakah di antara kalian yang kini lemah dalam melakukan amal dana? Mengingat bahwa kalian telah melihat mataku, mata yang memiliki kekuatan dewa, yang diperoleh dari kebajikan beramal dana. Dengan mata ini aku dapat melihat segala sesuatu yang berada sejauh beribu-ribu kilometer; aku dapat melihat melintasi pegunungan tinggi, sejelas aku melihat ruangan balai pertemuan ini. Apakah yang lebih membawa kebajikan kebahagiaan selain kemurahan hati, belas kasih dan disiplin diri? Dengan melepaskan mata manusiaku, aku mendapatkan penglihatan dewa.

Memahami hal ini, Para Shibiku, lipat gandakanlah kekayaanmu dengan menggunakannya dengan benar. Inilah jalan menuju keagungan dan kebahagiaan, baik di dunia ini maupun sesudahnya. Harta sesungguhnya tak berarti begitu saja, hingga ia menjadi kebajikan seseorang; ia dapat diberikan bagi kebajikan yang lain. Hanya dengan sikap yang demikianlah ia akan menjadi harta karun; kepelitan, membuatnya sia-sia."

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana Sang Buddha mendapatkan Dharma dengan menjalani berbagai pertapaan, dan betapa pentingnya mendengarkan Dharma dengan penuh hormat. Mengetahui keagungan Sang Tathagata, serta buah kebajikan semasa hidupnya, orang memuji kemuliaan belas kasihnya serta bangkit rasa hormatnya. Demikianlah, timbunan kebajikan seseorang, memungkinkan dalam hidupnya yang sekarang mendapatkan sesuatu berkat berkembangnya kekuatan agung serta mengalirnya keagungan.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/485
« Last Edit: 18 September 2008, 06:20:24 PM by Hikoza83 »
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #53 on: 19 September 2008, 08:45:58 AM »
UNMADAYANTI JATAKA
KISAH TENTANG UNMADAYANTI
Jatakamala

Orang yang baik senantiasa merasa enggan untuk mengikuti jalan hina. Bahkan pada saat sakit dengan penderitaan berat, keteguhan mendorongnya untuk mempertahankan kegigihannya.

Bodhisattva, dalam berbagai kelahirannya senantiasa berusaha demi kebajikan makhluk hidup melalui sifat-sifat utama; kebenaran, kemurahan hati, keseimbangan dan kebijaksanaan. Saat terlahir sebagai Raja Shibi, sebagai perwujudan Dharma dan pengendalian diri, ia dapat memberikan jaminan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya seperti seorang ayah yang memperhatikan anak-anaknya, mempengaruhi mereka untuk mengembangkan sifat baiknya dan agar berpaling dari perbuatan salah. Sehingga rakyatnya bersukacita baik dalam hidup saat ini maupun selanjutnya.

Raja menyusun keadilan berdasarkan Dharma, memperlakukan sama baik sanak saudara sendiri maupun masyarakat umum. Karena rakyat didorong untuk melaksanakan perbuatan baik serta menghindari jalan yang salah, tangga menuju alam surga berangsur-angsur tercipta.

Menyadari bahwa kesejahteraan dunia bergantung pada kebenaran, raja merasa senang berada di jalan Dharma. Senantiasa bertindak sesuai Dharma, tak membiarkan orang lain mengacaukan aturan tersebut, dengan begitu raja melindungi rakyatnya.

Saat itu secara kebetulan salah seorang pemimpin di kota sang raja, mempunyai seorang anak perempuan yang kecantikannya sangat luar biasa, seorang gadis yang sangat mengagumkan, bahkan ia tampak bagaikan titisan bidadari. Hanya sekilas memandangnya menyebabkan siapa pun tak mungkin tak ingin terus memandanginya, begitu kuatnya daya tarik yang dipancarkannya. Karena alas an inilah, keluarganya memanggilnya Unmadayanti, 'Ia yang membuat pria tergila-gila'.

Tak perlu diceritakan, ayahnya kehabisan waktu menceritakan keadaan putrinya kepada raja. "Sri Baginda," ujarnya, "sebuah mutiara sejati di antara wanita telah muncul di negeri Baginda. Mohon perkenan Baginda untuk menimbang mungkin atau tidak Baginda menerimanya sebagai istri."

Dengan segera raja memerintahkan serombongan brahmana yang sangat memahami tanda-tanda keberuntungan yang terdapat pada seorang wanita, untuk mengunjungi gadis tersebut dan memastikan apakah sesuai atau tidak untuk dijadikan istri. Demikianlah ayah Unmadayanti membawa para brahmana ke rumahnya di mana mereka hendak menemui putrinya. Diminta menemani tamunya, ia lalu mulai menyajikan makanan dengan sikap yang sopan, akan tetapi segera setelah para brahmana memandangnya, para brahmana telah kehilangan pengendalian dirinya, seolah mata serta pikiran mereka telah direnggut oleh minuman yang sangat keras.

Memperhatikan para brahmana tersebut telah kehilangan sama sekali selera makannya, dan bahwa tata karma serta sikapnya yang segera lengah, perumah tangga tersebut menarik putrinya dari pandangan serta melayani brahmana. Saat meninggalkan makan malamnya, para brahmana berbicara di antara mereka:

"Daya tariknya merasuki bagaikan mantra sakti. Sekilas pandang terhadapnya, akan menggugurkan kesucian seorang pertapa yang mengusahakan kebijaksanaan; apalagi terhadap seorang pangeran muda yang hidup dalam kesenangan indriawi'? Sungguh tidak bijaksana bila raja sampai melihatnya, apalagi menjadikannya sebagai permaisuri. Kecantikannya akan membuatnya mabuk kepayang; perhatiannya pada kewajiban, baik agama maupun politik akan lenyap. Tak ada kebaikan yang akan disebabkannya, dan pada akhirnya, rakyatlah yang akan menderita."

Setelah menetapkan sikapnya, mereka lalu melapor kepada raja:

"Baginda, kami telah melihat gadis tersebut. Memang benar adanya bahwa ia sangat menarik dan memiliki kecantikan, tapi tak lebih dari itu; sayangnya, ia memiliki tanda yang tak menguntungkan, bisa menyebabkan kejatuhan serta kemalangan. Sri Baginda sebaiknya jangan sampai melihatnya, apalagi menikahinya. Seorang istri yang buruk adalah kabut bagi keagungan serta kekayaan kedua keluarga, seperti mendung malam yang menyelubungi bulan, mengaburkan keindahan serta keteraturan surga dan juga bumi."

Percaya bahwa gadis tersebut benar-benar menyandang tanda yang tak menguntungkan dan dengan demikian tidak sesuai bagi kedudukannya, raja kehilangan seluruh keinginan untuk memilikinya. Segera setelah itu, perumah tangga tersebut menikahkan putrinya dengan Abhiparaga, seorang pejabat di istana raja.

Beberapa waktu kemudian, raja memutuskan untuk berkeliling menjelajahi kotanya untuk menyaksikan suatu perayaan keagamaan. Ia berjalan menelusuri kota di atas kereta kerajaan, senang pada hiasan serta kemeriahannya. Jalanan telah disiram dan dibersihkan, tanah berwarna putih telah ditaburi dengan bunga berbagai warna, sementara di atas berkibar bendera warna-warni serta panji-panji yang menarik. Di mana-mana terdapat tari-tarian, nyanyian, sandiwara serta gamelan. Aroma harum bunga bercampur dengan berbagai aroma berlimpah dari dupa, serbuk wewangian, minyak wangi serta arak. Barang-barang bagus dijajakan di antara keramaian penduduk yang bersukaria, yang mengenakan busana terbaik mereka.

Dalam perjalanannya raja mendekati rumah Abhiparaga. Di sana Unmadayanti marah terhadap raja karena ia telah menolaknya, 'Yang merupakan tanda kesialan', berdiri di atas atap datar rumah, bermaksud membuatnya takjub melihat dirinya. Ketika kilasan cahaya kilat menerangi awan, membuatnya terlihat dalam pandangan. Dan ia merasa ragu di dalam hatinya bila raja tetap dapat teguh tak tergoyahkan oleh orang yang tak membawa keberuntungan seperti dirinya.

Saat ia memandangnya, mata sang raja tertuju padanya. Saat itu raja telah terbiasa dengan hawa sembarangan kecantikan para selirnya. Ia juga memiliki sikap kesopanan, sangat teguh, dan memiliki rasa malu yang sangat kuat. Terikat pada jalan kebajikan, sehingga benar-benar sangat takut untuk memandang wanita muda yang terikat dengan orang lain, ia sesungguhnya sedang mengalahkan indriawinya sendiri. Namun demikian dirinya bukanlah tandingan dewa asmara. Tak sanggup untuk berpaling, raja lama memandanginya.

"Apakah itu dewi penunggu rumah?" pikirnya. "Apakah ia seorang apsari ataukah ia seorang yaksi? Ataukah ia Kumuda, istri kesayangan Bhatara Candra? Pasti dia bukan manusia." Demikianlah raja terus bertanya-tanya ketika keretanya terus berjalan. Pulang ke istananya seperti orang yang kehilangan kesadaran, ia sama sekali tak memikirkan hal lain kecuali wanita itu, keteguhan hatinya benar-benar hancur. Setelah beberapa hari, ia memanggil kusirnya, Sunanda, untuk menghadap lalu ia bertanya: "Rumah siapakah yang dikelilingi oleh tembok putih itu? Dan siapakah wanita yang kecantikannya bercahaya bagaikan kilat di dalam awan putih itu?"

Sunanda menjawab: "Baginda mempunyai seorang pejabat tinggi bernama Abhiparaga. Itu rumahnya, dan wanita itu istrinya. Dia putri Kiritavaba; orang-orang memanggilnya Unmadayanti, 'Ia yang membuat pria tergila-gila'."

Mengetahui bahwa wanita tersebut adalah istri orang, membuat raja jatuh kecewa. Menarik nafasnya panjang serta dalam, matanya menerawang tak berkedip, ia berkata kepada dirinya sendiri dengan suara yang pelan: "Aduh! Makhluk itu memang sesuai dengan yang dipanggil orang, karena senyum manisnya telah membuat hatiku galau. Di mana kelemahan diriku terhadap istri orang lain ini sama artinya aku sesungguhnya gila. Alangkah menyenangkannya bila aku dapat melupakannya!

Meskipun ia tak jauh dari pikiranku; ia telah menguasai pikiranku. Rasa malu telah meninggalkanku dan demikian pula dengan rasa kantuk. Alangkah menyenangkan bila aku dapat memberikan pada diriku sendiri wujudnya yang menawan, matanya, senyumnya, kecantikannya. Bunyi bende yang berusaha menahanku pada tugas-tugas kerajaan hanya membangkitkan kemarahanku."

Demikianlah raja benar-benar hanyut oleh kekuatan nafsu asmara. Berusaha untuk dapat menata pikirannya, atau menyembunyikan keadaan tersebut, matanya yang menerawang serta tak berkedip, tubuhnya yang kurus dan penampilannya yang merana mengungkapkan isi hatinya, membuat semua orang ingin melihatnya.

Abhiparaga, pejabat istana raja, yang pandai melihat gelagat, segera memahami perubahan sikap rajanya. Menemukan yang menjadi sebab musababnya, dan juga sangat memahami keampuhan kekuatan dewa asmara, ia mengerti akibat buruknya sebelum obat penawarnya ditemukan. Karena ia sangat mencintai rajanya, ia meminta bertemu secara pribadi, mendekati rajanya, ia lalu berkata: "Pada waktu kami berdoa pagi ini, Oh Raja Yang Bermata Padma, seorang yaksa muncul di hadapan kami dan berkata: 'Raja telah jatuh hati pada Unmadayanti. Bagaimana Engkau tak mengetahuinya?' Lalu ia menghilang. Dengan segera aku menghadapmu. Jika yang dikatakannya memang benar, Sri Baginda, mengapa Anda hanya berdiam diri? Berilah kami kesempatan untuk memberikannya."

Raja merasa terhina dan tak sanggup mengangkat pandangannya karena malu. Bahkan, meskipun dirinya telah terjerat oleh genggaman cinta, ia tak membiarkan keteguhannya goyah, berkat kedalaman pengetahuan Dharmanya, serta praktiknya yang gigih dan panjang.

"Tidak, itu tidak boleh," ujarnya pelan. "Lagi pula apa alasannya? Pertama, segala kebajikanku akan musnah, aku tak akan hidup selamanya. Kedua, perbuatan jahatku pada akhirnya juga akan diketahui oleh umum. Dan akhirnya, saat dirimu berpisah dengan istrimu, engkau akan terbakar oleh api kesedihan, api yang akan menghanguskanmu seperti api yang meludeskan rumput kering. Perbuatan yang kauanjurkan akan menyebabkan kesulitan baik dalam hidup saat ini maupun yang akan datang. Meskipun orang bodoh akan menerima pemberianmu, orang bijak akan menolaknya karena alas an tersebut."

Abhiparaga menjawab: "Jangan khawatir Anda akan melanggar ajaran Dharma, Baginda, bukankah Dharma mengajarkan kita menerima pemberian yang diberikan? Karenanya engkau telah menyalahkan kami dengan menolak pemberian dari kami. Baginda menghalangi praktik kemurahan hati kami. Tidak seharusnya Baginda khawatir merusak nama baik Baginda: Ini dilakukan benar-benar hanya di antara kita berdua. Tak perlu orang lain mengetahuinya! Bahkan, kejadian ini merupakan berkah bagi kami, bukannya penderitaan. Kesulitan apakah yang akan menimpa kami bila perasaan puas hati kami yang terbesar adalah melayani raja kami? Kami mohon kepada Baginda, pergilah diam-diam dan penuhilah hasrat hati Baginda. Tak akan ada hal buruk yang akan menimpa kami."

"Diam!" teriak raja. "Jangan teruskan pikiran buruk itu! Keterikatanmu kepadaku telah menghalangimu untuk menilai dengan benar. Tidak setiap pemberian harus diterima. Orang yang bersedia memberikan hidupnya kepadaku benar-benar adalah sahabatku, mengasihiku melebihi apa pun; karenanya, wajib bagiku untuk juga menghargai istrinya. Kesalahan yang kaulakukan juga akan berakibat pada diriku.

Akankah berkurang dosanya bilamana orang lain tak ada yang tahu? Melakukan perbuatan yang tidak ketahuan, berharap menemukan kebahagiaan, sama bodohnya dengan meminum racun yang tak dilihat, berharap, untuk bisa hidup. Baik para dewa yang bermata waskita maupun para pertapa suci yang ada di antara umat manusia tak pernah samar dalam melihat segala sesuatu.

Bahkan, aku bertanya kepadamu: Siapa yang percaya bila dirimu tidak mencintainya atau bahwa dirimu tak akan sedih segera setelah Engkau memberikannya?"

Abhiparaga menjawab: "Engkau adalah pelindung kami, Baginda. Kami hanyalah pelayan Anda, bersama dengan istri dan juga anak kami. Peraturan apakah yang akan rusak bilamana Engkau berbuat sesuka hatimu terhadap pelayan wanitamu? Apa masalahnya bilamana kami harus mencintainya? Pada dasamya, dengan pertimbangan itulah kami bermaksud untuk memberikannya kepadamu! Mereka yang memberi sesuatu yang sangat berharga memperoleh apa pun yang ia inginkan di dunia ini dan kebahagiaan yang lebih besar dalam kehidupan yang akan datang. Untuk itu, mohon terimalah dia."

Namun demikian raja tetap menampiknya. "Jangan berkata begitu! Itu tidak mungkin! Lebih baik bagiku untuk melemparkan diri pada sebilah pedang tajam atau kobaran api daripada melawan Dharma. Mengingat aku senantiasa mengikuti tuntunannya, Dharma sejati sesungguhnya merupakan sumber segala keagungan."

“Bagus sekali," ujar Abhiparaga. "Karena Sri Baginda tak akan dapat memilikinya sebab ia telah menjadi istri kami, kami akan memintanya agar melacurkan diri. Siapa pun dapat menginginkannya, ia akan menjadi milikmu bila diinginkan."

"Apakah engkau sudah gila?" tanya raja. "Untuk mencegah kecuranganmu terhadap istrimu akan membuatku terpaksa menghukummu, perbuatan seperti itu juga menimbulkan belenggu bahkan penuh kesedihan dan derita selama berkali-kali kehidupan. Engkau harus menghentikan semua ini. Arahkan pikiranmu pada sikap adil serta kemurnian."

Abhiparaga menegaskan: "Apa pun akibatnya, kami akan menghadapinya dengan senang hati demi kebahagiaan Baginda, bahkan meskipun perbuatan kami harus berlawanan dengan Dharma, menimbulkan celaan pada kami dan menghancurkan kebahagiaan diri kami. Tiada orang di dunia ini yang lebih pantas selain dirimu untuk dipuja, Oh Penguasa Bumi Termulia. Sebagaimana pemberian, tolonglah bantu kami mengembangkan kebajikan, terimalah istri kami sebagai persembahan kepadamu."

Raja menjawab: "Aku tahu hal ini terjadi akibat perhatianmu yang besar kepadaku hingga mendorongmu mengusahakan kebaikanku tanpa memedulikan benar atau salah. Akan tetapi kecintaan seperti itu membuatku berani mencegahmu lebih jauh. Sama halnya dengan mencela orang lain yang tak dapat dimaafkan. Lihatlah kemari! Barang Siapa yang meninggalkan kebajikan, ia tak mengerti baik celaan di dunia ini dan akibat yang harus ditanggung selanjutnya, memperoleh ketidakpercayaan sekarang dan membuang harapan kebahagiaan selanjutnya. Orang seharusnya tidak mengambil kegembiraan dalam sesuatu yang salah. Keuntungan adalah selalu berubah-ubah dan tak pasti, derita hebat tiada diragukan lagi.

Juga dianggap bahwa kebajikan tidak menyukai segala yang menyenangkan yang didapatkan dengan mengorbankan orang lain. Berdirilah di atas pijakan perbuatan baik, aku sendiri membayarnya dengan mengabaikan kesenangan diri, dengan maksud agar tidak menyebabkan kesedihan bagi orang lain mana pun."

Abhiparaga menanggapi: "Tapi di manakah ketidakadilannya? Tergerak kecintaan kami kepada pelindung kami, kami hanya ingin memberinya persembahan. Setiap orang Shibi, baik dari kota maupun desa, akan mendukung kami untuk bertanya: "Di manakah letak ketidakadilan perbuatan ini? Di manakah kerugiannya? Karenanya berkenanlah menerimanya, Baginda."

"Jelas sekali, engkau telah merasakan kebajikanku di hati. Tetapi hentikan dan pikirkan. Siapa yang memahami Dharma dengan baik di antara seluruh orang Shibi, dirimu atau rajamu?"

Segera Abhiparaga menjawab: "Dalam segala hal, Engkaulah Baginda yang sangat mengerti keadilan, sebanding dengan Dewa Rsi Brhaspati. Ketekunan Baginda belajar, perhatian Baginda yang besar pada pengetahuan serta tradisi suci, dan juga kebijaksanaan hakiki dalam hati Baginda, seluruhnya tiada banding."

Raja menjawab: "Jika demikian, seharusnya kalian jangan memaksaku berbuat salah. Karena ingatlah, jahat atau baiknya rakyat bergantung pada perbuatan pemimpinnya. Dan karena aku senantiasa memikirkan kebajikan rakyatku, aku harus terus mencintai jalan kebajikan, sejalan dengan ketenaranku. Sebagaimana lembu yang mengikuti pemimpin kawanan ke mana pun, benar atau salah, demikianlah agar rakyat meniru pemimpinnya tanpa merasa terpaksa.

Pahamilah ini dengan baik. Jika aku tak sanggup mengatur diriku sendiri, bagaimana aku dapat memimpin rakyatku, siapa yang menginginkan perlindunganku? Begitulah, dari sudut pandang Dharma dan kemasyhuranku yang bebas dari cela, aku tak akan membiarkan diriku menuruti nafsuku: aku adalah pelindung bagi rakyatku, pemimpin bagi bangsaku."

Akhirnya Abhiparaga, abdi raja, menundukkan diri kepada raja, tangannya beranjali penuh hormat. Terhibur oleh ucapan rajanya, ia berkata: "Baginda! Rakyatmu merasa terberkati memiliki raja seperti Anda, raja pelindung sepertimu! Kecintaan pada kebajikan yang hingga mengabaikan kesenangan jarang sekali ada, bahkan di antara hutan para pertapa. Bila kebajikan diberikan pada seseorang yang tanpa kebajikan, itu merupakan suara yang membunuh serta mengecewakan, sebagaimana jika ia merasa puas oleh pujian. Namun padamu, Oh Raja Agung, sebutan 'Agung' adalah perhiasan yang cemerlang. Itulah sebabnya mengapa kami begitu takjub pada kebajikan Baginda, Engkau yang penuh kebajikan sebagaimana samudra yang penuh dengan permata"

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana kebajikan, meskipun di saat menderita kesedihan, berkat praktik Dharmanya yang murni serta lama, keteguhannya tak membiarkannya mengikuti jalan orang yang berpikiran rendah. Memahami hal ini, orang dianjurkan untuk berusaha menjalankan praktik Dharma serta mengembangkan keteguhan.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/553
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #54 on: 19 September 2008, 08:50:13 AM »
SRESHTHI JATAKA
KELAHIRANNYA SEBAGAI PEMIMPIN SUKU

Bahkan meskipun di hadapan bencana yang mengancam, orang yang baik tak akan berpaling dari melakukan amal dana. Siapakah yang kemudian ketika aman dan bahagia, tak mau beramal dana?

Pads suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, ia lahir sebagai putra dari sebuah keluarga yang baik. Diberkati dengan semangat yang tiada terhingga serta keberuntungan, ia menjadi pemimpin sukunya. la memiliki tanah perkebunan yang luas, dan berkat kejujuran serta kepandaiannya dalam berdagang, ia mendapat penghormatan yang tinggi dari semua orang. Singkatnya, ia mempelajari berbagai cabang pengetahuan serta keterampilan, memurnikan pikirannya, menciptakan kemuliaan bersama dengan kemuliaannya, memberi kehormatan baginya bahkan oleh sang raja.

Menekuni ajaran tentang dana, ia terus-menerus berusaha berbagi kekayaan yang dimilikinya bersama-sama masyarakat. Orang miskin memuji-mujinya hingga kemana-mana, menyebarluaskan reputasinya sebagai seorang dermawan ke segala penjuru; mereka sangat mempercayainya, sehingga mau mengutarakan apa saja yang mereka inginkan dengan leluasa kepadanya. Bagi dirinya, yang tak terpengaruh oleh ketamakan, ia tidak lagi mempertahankan hartanya baik untuk kesenangannya sendiri, ataupun untuk menimbulkan pengaruh bagi orang lain karena ia merasa tak mungkin bagi dirinya melihat penderitaan apa pun tapi menolak untuk membantu.

Pada suatu hari, seorang pengemis yang merupakan seorang Pratyekabuddha di mana api pengetahuan telah membakar segala noda nafsunya, mendekati kediaman Bodhisattva. Saat itu keinginan pengemis tersebut hanyalah demi berkembangnya kebajikan Sang Bodhisattva, dan dengan maksud itu ia muncul di pintu gerbang tepat pada saat makan siang, tepat ketika Mahasattva baru saja mandi dan menghiasi dirinya, hendak duduk untuk bersantap siang. Terdapat bermacam-macam makanan dalam jumlah banyak yang telah dipersiapkan oleh juru masak terbaiknya, makanan-makanan yang rupa, aroma, rasa, bentuk serta segala sesuatunya menyenangkan. Pada siang yang tenang itu, sang pertapa berdiri di luar rumah tanpa dipersilahkan ataupun diusir, melihat dengan jelas dan tenang tak berapa jauh di hadapannya, tangannya yang bagaikan bunga padma memegang mangkok kayu pindapatra.

Ketika itu Mara, si jahat, tak tahan melihat Bodhisattva menikmati kesenangan dari memberi dana makanan. Bermaksud hendak menghalangi perbuatan berdananya, Mara menciptakan sebuah neraka yang sangat dalam, dengan lebar beberapa depa, yang menjadi pemisah antara si pengemis dengan gerbang pintunya. Di dalam neraka tersebut, tampak beratus-ratus orang di dalam kobaran api, mengeluarkan gemuruh yang mengerikan: Sungguh-sungguh merupakan pemandangan yang menakutkan.

Akan tetapi Bodhisattva, hanya melihat Pratyekabuddha, kemudian berkata dengan lembut kepada istrinya: "Pergilah, istriku, berilah orang suci itu makanan." Saat itu juga istrinya mendekati pintu dengan membawa sebuah tempayan penuh makanan yang sesuai bagi pengemis. Tetapi di dekat pintu, ia menengok ke arah neraka tersebut, merasakan ketakutan dan berteriak histeris. Begitu takutnya hingga tenggorokannya terkunci saat Bodhisattva bertanya kepadanya apa yang terjadi, ia tergagap tak dapat berbicara.

Tak mau ada orang suci yang pergi dari rumahnya dengan tangan hampa, Bodhisattva tak menghiraukan ketakutan istrinya. Meraih tempayan makanan tersebut dengan tangannya sendiri, ketika akan melewati pintu ia juga melihat neraka yang mengerikan tersebut. Pada saat ia berdiri di situ, keheranan pada apa yang terjadi tersebut, Mara, si jahat, tiba-tiba menampakkan dirinya. Menyamar sebagai seorang dewa agung, Mara keluar dari tembok rumah dan melayang di udara, berbicara yang kedengarannya menyenangkan kepada Bodhisattva:

“Perumah tangga, lihatlah neraka Maharaurava ini, dari situ sungguh sangat sulit untuk membebaskan diri! Ini adalah neraka bagi mereka yang merasa senang terhadap pujian dari para pengemis, mereka yang diliputi nafsu jahat kemurahan hati, dan memberikan seluruh hartanya yang dikumpulkan dengan baik. Di sini mereka akan berdiam selama beribu-ribu tahun.

Harta adalah sebab yang membawa pemurnian bagi ketiga dunia. Jika seseorang memberikan hartanya, bagaimana mungkin ia tidak merusak Dharma? Barang siapa yang merusak harta ia merusak kebenaran. Tidak pantaskah orang yang menghancurkan Dharma, dengan menghancurkan harta, harus pergi ke alam neraka?

Dan neraka ini yang tampak seperti jilatan Narakantaka di tangga pintumu, akan menelanmu karena dosa-dosamu yang tiada terbilang akibat membagi-bagikan hartamu, yang menjadi akar dari segala Dharma. Sejak sekarang hentikan memberi dana, dengan begitu akan menahan kejatuhanmu yang langsung ke dalam jilatan kobaran api ini, berbagi nasib dengan pemberi dana makanan malang itu yang menggeliat kesakitan dan menangis tiada henti.

Kekayaan, sebaliknya, dari mereka, yang mengurangi kebiasaan buruknya memberi, akan mencapai alam para dewa! Bebaskan dirimu dari usaha beramal dana, yang menjadi rintangan kebahagiaan surgawi. Jalankan ketidakpedulian!"

Bodhisattva mengetahui bahwa orang yang mengatakan hal seperti ini pastilah orang yang jahat. "Ini pastilah rintangan kemurahan hatiku," pikirnya. Tetap gigih namun baik, dan sesuai kebajikan, ia menjawab:

"Pada intinya yang telah engkau tunjukkan kepadaku adalah jalan orang-orang jahat. Singkatnya, itu sesuai hingga para dewa harus menunjukkan belas kasihnya melalui perbuatan mereka serta kecakapannya dalam menolong makhluk lain. Bukankah lebih baik mencegah penyakit sebelum ia berjangkit, atau setidak-tidaknya menggunakan obat penawar segera setelah tanda-tanda pertama muncul. Mengingat bahwa jika penanganan yang salah akan membuat penyakitnya semakin berkembang, terlambat menggunakan obat penyembuh hanya akan menyebabkan bencana. Keinginanku untuk berdana telah tumbuh, ketakutanku, jauh melampaui jangkauan pertolongan – karena pikiranku kini tak dapat berpaling dari perbuatan memberi, mengabaikan nasihatmu sungguh suatu sikap yang tepat.

Mengingat bahwa ucapanmu menganggap kemurahan hati sebagai dosa dan harta sebagai kebenaran, aku khawatir kemampuan pemahaman manusiawiku yang lemah tak mampu memahaminya. Bagaimana bisa kekayaan tanpa kemurahan hati, dapat disebut sebagai jalan kebajikan? Katakan kepadaku, jika demikian kapan kekayaan akan membawa kebajikan? Seperti halnya harta karun yang terpendam, barangkali? Atau ketika telah dicuri oleh para pencuri jahat? Atau ketika hilang di dasar laut, atau ketika menjadi bahan bakar api?

Bahkan, dengan berkata bahwa para pemberi dana akan pergi ke neraka dan yang menerima akan pergi ke surga, engkau hanya membuat keinginanku untuk berdana semakin kuat. Semoga kata-kata itu benar adanya! Semoga mereka yang mengemis kepadaku langsung muncul di alam surga! Mengingat bahwa bukan demi kebahagiaanku sendiri aku berdana, tetapi demi kebahagiaan semua makhluk."

Kemudian Mara, si jahat, memeluk Bodhisattva, seperti sahabat karib mengucapkan sesuatu vang menyenangkan di telinganya: "Terserah padamu apakah kata-kataku bohong atau demi kebaikanmu. Lakukan yang kauinginkan. Bersyukur atau menyesal, Engkau tak akan cepat melupakanku."

Bodhisattva menjawab: "Pak, maafkan aku. Atas kemauanku sendiri aku akan menjatuhkan diri ke dalam api neraka yang berkobar dan merasakan jilatan apinya. Daripada memilih mengabaikan kebajikan para pengemis yang telah menunjukkan rasa percayanya pada diriku dengan datang mengemis kepadaku."

Sehingga Bodhisattva, bersandar pada kekuatan keberuntungan yang baik (yang sepenuhnya memahami dengan baik bahwa akibat sesungguhnya dari kemurahan hati bukanlah keburukan), melangkah menuju neraka yang terhampar di hadapannya. Dan dalam melakukannya, hatinya tak tersentuh oleh perasaan takut, dan kehendaknya untuk memberi jauh melampaui yang sebelumnya, mengabaikan pendapat maupun usul dari para sanak keluarga serta para pelayannya.

Berkat kekuatan kebajikan Bodhisattva, bunga padma bermekaran di tengah neraka tersebut; kuntum bunganya melambai-lambai seolah-¬olah menertawakan Mara, membawa Mahasattva menyeberangi samudra api tersebut. Berdiri di hadapan Pratyekabuddha, perumah tangga mengisi mangkok pindapatra sang pertapa dengan makanan, sementara perasaan hatinya sendiri diliputi oleh kebahagiaan dan kesukacitaan.

Pratyekabuddha, memperlihatkan rasa puasnya, terbang tinggi ke angkasa, hujan turun dengan lebatnya, menyala dengan keagungan bagaikan awan yang terang oleh kilasan kilat. Kalah dan kecewa, Mara kehilangan kekuatannya. Tak sanggup menatap wajah Bodhisattva, ia lenyap bersama dengan nerakanya.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang baik tidak surut dari melakukan pemberian, bahkan meskipun berada dalam bahaya; lalu siapakah, yang berada dalam keadaan aman dan bahagia tak melaksanakan amal dana? Orang yang pemberani dan yang berhati mulia, tak akan berjalan melewati jalan yang salah, meskipun dalam ketakutan.

Sumber : http://asia.groups.yahoo.com/group/daunbodhiindonesia/message/480
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline oddiezz

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 325
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • in vain
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #55 on: 19 September 2008, 09:39:02 AM »
betul yg dikatakan bro karuna.  :)
kisah2 jataka dipahat dalam bentuk relief-relief di dinding candi.
untuk jelasnya, bro oddiezz bisa liat di page pertama dr topik ini.
 _/\_


By : Zen

hehe my mistake, maaf atas ketidaktahuan daku..

barusan 17 Agustus berkesempatan mengunjungi Candi Borobudur beserta rombongan kantor.
Sayang sekali ga ada atmosfir religiusnya sama sekali, terlalu rame.
Laen dibandingin dengan Wat- wat yang di Thai, meski menjadi obyek wisata , masi terjaga kesakralannya.

Sampe-sampe aku suruh turun anggota rombongan dari stupa yang terbuka, yang di tengah ada patung Buddhanya, karena dia naik ke atas terus tangannya diacungin di atas patung Buddha membentuk huruf V untuk berfoto...duh...duh..
Dan di stupa stupa lain, kejadian serupa juga terjadi....
Eschew Obfuscation! Espouse Elucidation!

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #56 on: 19 September 2008, 06:39:18 PM »
betul yg dikatakan bro karuna.  :)
kisah2 jataka dipahat dalam bentuk relief-relief di dinding candi.
untuk jelasnya, bro oddiezz bisa liat di page pertama dr topik ini.
 _/\_


By : Zen

hehe my mistake, maaf atas ketidaktahuan daku..

barusan 17 Agustus berkesempatan mengunjungi Candi Borobudur beserta rombongan kantor.
Sayang sekali ga ada atmosfir religiusnya sama sekali, terlalu rame.
Laen dibandingin dengan Wat- wat yang di Thai, meski menjadi obyek wisata, masi terjaga kesakralannya.

Sampe-sampe aku suruh turun anggota rombongan dari stupa yang terbuka, yang di tengah ada patung Buddhanya, karena dia naik ke atas terus tangannya diacungin di atas patung Buddha membentuk huruf V untuk berfoto...duh...duh..
Dan di stupa stupa lain, kejadian serupa juga terjadi....


kalo mengunjungi Candi Borobudur dengan rombongan kantor atau bersama rombongan vihara tentu saja beda rasanya, bro oddiezz.. :)
kembali ke niat dan tujuan kita dalam ber-dharmayatra [melakukan perjalanan untuk tujuan spiritual]..
menurut saya, jika ingin memahami makna religius yang terkandung di Candi Borobudur ini, penting untuk mengajak seseorang / bhante yang paham akan kisah2 di relief2 candi.
jadi bisa memaparkan banyak hal berkaitan dengan candi ini..
agar tujuan kita berkunjung ke sana, tidak hanya untuk melihat tumpukan batu yang tersusun.. :)
 _/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #57 on: 26 September 2008, 06:19:38 AM »
"Walaupun berusaha keras, engkau tidak bisa bertahan. Apa gunanya gemetar dan ketakutan terhadap sesuatu yang tak dapat dihindari?

Demikianlah, bila engkau merenungkan sifat dunia, manusia dipenuhi penyesalan pada saat kematian karena mereka telah melakukan kejahatan dan lalai melakukan kebaikan. Mereka cemas akan penderitaan yang menanti di kehidupan berikutnya, dan rasa takut akan kematian menyelimuti batin mereka.

Sebaliknya, diriku tak dapat mengingat bahwa pernah melakukan perbuatan apa pun selain yang putih.
Hal yang demikian sesungguhnya telah menyatu dengan sifatku.
Barang siapa yang selalu berdiam dalam kebajikan, akankah merasa takut pada kematian?

Sebenarnya, bahkan setelah lama merenungkan, aku tak dapat mengingat bahwa pernah melangkah satu langkah pun dalam kejahatan, sekalipun hanya di angan-angan. Jalan menuju pencerahan terang bagiku; untuk apa aku harus takut mati?"
Bodhisattva Sutasoma
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline tanpa_aku

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 23
  • Reputasi: 7
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #58 on: 29 September 2008, 01:05:30 PM »
Bodhisattva duduk di atas setumpuk rumput kusa, menegakkan tubuhnya dalam sikap bersila, wajahnya menghadap ke arah timur. Dengan kesadaran penuh, Bodhisattva bersumpah dengan suara lantang:

"Disini, di tempat duduk ini tubuhku mungkin akan menyusut, kulitku, tulangku, dan dagingku mungkin akan habis, tapi tubuhku tidak akan beranjak dari tempat ini sampai Aku mencapai pencerahan, yang begitu sulit dicapai selama berkalpa-kalpa."

Bab kesembilan belas Lalitavistara
Berjalan menuju Bodhimanda

Offline tanpa_aku

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 23
  • Reputasi: 7
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #59 on: 29 September 2008, 01:09:24 PM »
"Perbuatan ini akan membesarkan hati mereka yang berusaha untuk menolong dunia, sekaligus menjadi teladan bagi mereka yang lemah dalam berusaha. Perbuatan ini akan membuat kecewa Mara dan menggembirakan para sahabat yang memiliki sifat-sifat Kebuddhaan, membuat malu mereka yang mementingkan diri sendiri, sombong serta penuh nafsu.

Sebagaimana matahari yang memupus kegelapan dan membawa terang, demikian pula semoga perbuatan ini mengakhiri penderitaan dunia, membawa kebahagiaan selama-lamanya.

Aku tidak melakukan ini demi pujian atau harapan akan kedudukan, bukan pula demi ketenaran serta kebahagiaan yang kekal, perbuatan ini semata-mata demi kebajikan seluruh semesta, sehingga kebahagiaannya akan terus berkembang setiap kali kisah ini dituturkan."

Jatakamala

 

anything