//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Modifikasi Cuaca, Cegah Banjir dan Atasi Asap  (Read 1641 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Modifikasi Cuaca, Cegah Banjir dan Atasi Asap
« on: 16 July 2009, 09:29:53 AM »



KOMPAS.com - Diperkenalkan sejak tahun 1977, teknik hujan buatan yang kini disebut teknologi modifikasi cuaca mengalami berbagai pengembangan, baik dari segi bahan penyemai awan atau partikel pencemar di atmosfer maupun sarana pendukung.

Selama ini, teknologi modifikasi cuaca (TMC) menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi berbagai gangguan cuaca, mulai dari mencegah curah hujan tinggi yang berpotensi banjir, mencegah kekeringan, hingga mengatasi pencemaran asap kabut karena pembakaran lahan.

Modifikasi cuaca beberapa tahun terakhir telah menjadi kegiatan rutin tahunan Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (UPTHB-BPPT). Operasi TMC itu terutama untuk mengisi waduk di Jawa, seperti Bendungan Jatiluhur, dan Danau Maninjau dan Singkarak di Sumatera dengan curah hujan dari awan yang disemai.

Teknologi modifikasi cuaca pada era tahun 1990-an hingga tahun 2004 dikerahkan untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan pencemaran asap, terutama di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Sejak awal tahun 2009, tutur Kepala UPTHB BPPT Syamsul Arifin, pihaknya telah diminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatasi kebakaran lahan dan hutan di Nanggroe Aceh Darussalam (Februari) dan Riau (Maret). ”Pekan lalu dalam rapat di Kantor Menko Kesra, BPPT juga telah diminta bersiap-siap mengatasi polusi asap di Riau. Pada bulan ini awan yang terbentuk masih berpotensi disemai untuk memadamkan kebakaran lahan dan hutan di daerah itu,” tutur Syamsul.

Pada bulan-bulan sebelumnya titik api tidak sebanyak saat ini sehingga hanya dikerahkan satu pesawat penyemai awan dari jenis Casa 212 dan penanganannya hanya sekitar enam hingga 10 hari. Namun, kali ini perlu dikerahkan hingga empat pesawat.

”Sayangnya, dari lima pesawat yang dimiliki BPPT, hanya satu yang siap beroperasi,” ujarnya. Karena itu, diperlukan bantuan pihak lain. Sejak tahun 2006, upaya mengatasi kebakaran lahan dan hutan BPPT mendapat bantuan dari TNI AU yang memiliki pesawat Hercules yang telah dimodifikasi untuk itu.

Perkembangan TMC

Penguasaan TMC oleh peneliti BPPT, papar Mahally Kudsy, Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan UPTHB-BPPT dimulai dari belajar pada Thailand yang lebih dulu menguasai teknik itu. Setelah itu, Indonesia mulai melaksanakan TMC di Pulau Jawa tahun 1977.

Apabila dirunut sejarahnya, pengembangan TMC ternyata diperkenalkan oleh seorang Serbia bernama Tesla yang berimigrasi ke AS pada tahun 1890. Ia mengembangkan teknik mengarahkan gelombang magnetik ke udara untuk memengaruhi cuaca. Temuan itu kemudian dipatenkannya tahun 1905.

Mendatangkan hujan kemudian dikembangkan oleh pakar dari Rusia dengan teknik mini siklon. Dengan bantuan satelit, dihidupkan proses ionisasi langsung hingga terkumpul butiran air hingga menghasilkan hujan. Teknik lain yang diperkenalkan ahli dari Universitas Moskwa adalah mendatangkan hujan dengan mengaktifkan muatan elektron statis di laut sehingga terjadi penarikan uap air.

TMC di Indonesia

Teknologi penyemaian awan mengalami beberapa perkembangan di Indonesia. Sejak diaplikasikan tahun 1977, dari sisi penggunaan bahan penyemai, BPPT mencoba beberapa senyawa. Semula dipakai urea yang menyerap uap air. Penggunaan bahan ini ditolak petani karena menyebabkan menguningnya daun.

Kemudian dicoba menggunakan es kering atau CO2 padat. Tujuannya untuk memperbesar curah hujan dan volume awan. Namun, karena bersifat mencemari lingkungan, pilihan pun jatuh pada serbuk garam yang ramah lingkungan. Bahan ini digunakan sampai sekarang, kata Mahally.

Dilihat dari prasarana yang digunakan, yaitu pesawat terbang, ujar Syamsul, penyemaian awan dengan menaburkan garam dilakukan lewat lubang di perut pesawat. Operasi hujan buatan dengan pesawat ini antara lain digunakan untuk mengisi waduk. Cara tradisional ini, tambah Mahally, mengalami pengembangan, yaitu dengan penambahan mesin siklon untuk menyemburkan serbuk garam pada sasaran.

Adapun penggunaan tabung karton berisi garam padat yang disebut flare yang dipasang di bagian belakang sayap pesawat terbang diperkenalkan di Indonesia oleh perusahaan AS yang membantu operasi hujan buatan untuk mengisi waduk di Soroako pada tahun 1996.

Untuk mengurangi ketergantungan pada pihak asing, BPPT membuat sendiri flare beberapa tahun terakhir. Saat ini telah ada enam prototipe flare yang dibuat, papar Mahally. Dalam tabung itu berisi bahan bakar magnesium dan sumber oksigen berasal dari kalium perklorat (KClO4). Adapun bahan semainya adalah garam atau kalsium klorida. ”Penggunaan flare memiliki kelebihan, seperti mudah dan cepat pengoperasiannya serta tidak melibatkan banyak orang dalam penyemaiannya,” ujar Syamsul.

source