16. Vi¤¤àõa¤càyatanam vi¤¤àõa¤càyatanato sa¤jànàti. Vi¤¤àõa¤càyatanam vi¤¤àõa¤càyatanato sa¤¤atvà [PTS Page 003] [\q 3/] vi¤¤àõa¤càyatanam ma¤¤ati. Vi¤¤àõa¤càyatanasmim ma¤¤ati. Vi¤¤àõa¤càyatanato ma¤¤ati. Vi¤¤àõa¤càyatanam me' ti ma¤¤ati. Vi¤¤àõa¤càyatanam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(14)
16. “Ia memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas, [3] ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap landasan kesadaran tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam landasan kesadaran tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
17. âki¤ca¤¤àyatanam àki¤ca¤¤àyatanato sa¤jànàti. âki¤ca¤¤àyatanam àki¤ca¤¤àyatanato sa¤¤atvà àki¤ca¤¤àyatanam ma¤¤ati. âki¤ca¤¤àyatanasmim ma¤¤ati. âki¤ca¤¤àyatanato ma¤¤ati. âki¤ca¤¤àyatanam me'ti ma¤¤ati. âki¤ca¤¤àyatanam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(15)
17. “Ia memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan. Setelah memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kekosongan, ia menganggap landasan kekosongan sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam landasan kekosongan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.[/font]
18. Nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanam nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanato sa¤jànàti. Nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanam nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanato sa¤¤atvà nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanam ma¤¤ati. Nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanasmim ma¤¤ati. Nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanato ma¤¤ati. Nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanam me'ti ma¤¤ati. Nevasa¤¤ànàsa¤¤àyatanam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(16)
18. “Ia memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya] dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
[/font]
19. Diññham diññhato sa¤jànàti. Diññham diññhato sa¤¤atvà diññham ma¤¤ati. Diññhasmim ma¤¤ati. Diññhato ma¤¤ati. Diññham me'ti ma¤¤ati. Diññham abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(17)
19. “Ia memahami yang terlihat sebagai yang terlihat. Setelah memahami yang terlihat sebagai yang terlihat, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terlihat, ia menganggap [dirinya] dalam yang terlihat, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terlihat, ia menganggap yang terlihat sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam yang terlihat. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
[/font]
20. Sutam sutato sa¤jànàti. Sutam sutato sa¤¤atvà sutam ma¤¤ati. Sutasmim ma¤¤ati. Sutato ma¤¤ati. Sutam me'ti ma¤¤ati. Sutam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(18)
20. “Ia memahami yang terdengar sebagai yang terdengar. Setelah memahami yang terdengar sebagai yang terdengar, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terdengar, ia menganggap [dirinya] dalam yang terdengar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terdengar, ia menganggap yang terdengar sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam yang terdengar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
21. Mutam mutato sa¤jànàti. Mutam mutato sa¤¤atvà mutam ma¤¤ati. Mutasmim ma¤¤ati. Mutato ma¤¤ati. Mutam me'ti ma¤¤ati. Mutam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(19)
21. “Ia memahami yang tercerap sebagai yang tercerap. Setelah memahami yang tercerap sebagai yang tercerap, ia menganggap [dirinya sebagai] yang tercerap, ia menganggap [dirinya] dalam yang tercerap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang tercerap, ia menganggap yang tercerap sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam yang tercerap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
22. Vi¤¤àtam vi¤¤àtato sa¤jànàti. Vi¤¤àtam vi¤¤àtato sa¤¤atvà vi¤¤àtam ma¤¤ati. Vi¤¤àtasmim ma¤¤ati. Vi¤¤àtato ma¤¤ati. Vi¤¤àtam me'ti ma¤¤ati. Vi¤¤àtam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(20)
22. “Ia memahami yang dikenali sebagai yang dikenali. Setelah memahami yang dikenali sebagai yang dikenali, ia menganggap [dirinya sebagai] yang dikenali, ia menganggap [dirinya] dalam yang dikenali, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang dikenali, ia menganggap yang dikenali sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam yang dikenali. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
23. Ekattam ekattato sa¤jànàti. Ekattam ekattato sa¤¤atvà ekattam ma¤¤ati. Ekattasmim ma¤¤ati. Ekattato ma¤¤ati. Ekattam me'ti ma¤¤ati. Ekattam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(21)
23. “Ia memahami kesatuan sebagai kesatuan. Setelah memahami kesatuan sebagai kesatuan, ia menganggap [dirinya sebagai] kesatuan, ia menganggap [dirinya] dalam kesatuan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari kesatuan, ia menganggap kesatuan sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam kesatuan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
24. Nànattam nànattato sa¤jànàti. Nànattam nànattato sa¤¤atvà nànattam ma¤¤ati. Nànattasmim ma¤¤ati. Nànattato ma¤¤ati. Nànattam me'ti ma¤¤ati. Nànattam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(22)
24. “Ia memahami keragaman sebagai keragaman. Setelah memahami keragaman sebagai keragaman, ia menganggap [dirinya sebagai] keragaman, ia menganggap [dirinya] dalam keragaman, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keragaman, ia menganggap keragaman sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam keragaman. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
25. Sabbam sabbato sa¤jànàti. Sabbam sabbato sa¤¤atvà sabbam ma¤¤ati. Sabbasmim ma¤¤ati. Sabbato ma¤¤ati. Sabbam me'ti ma¤¤ati. Sabbam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi (23)
25. “Ia memahami keseluruhan sebagai keseluruhan. Setelah memahami seluruhnya sebagai seluruhnya, ia menganggap [dirinya sebagai] keseluruhan, [4] ia menganggap [dirinya] dalam keseluruhan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keseluruhan, ia menganggap keseluruhan sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam seluruhnya. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
Disini para Puthujana sering bermain dalam persepsi keberadaan (eksistensi), bila ia terlahir sebagai Dewa, Brahma atau mahluk apapun juga maka ia akan beranggapan sebagai itu, karena tak menyelami karakteristik dari setiap keberadaan itu. Apakah karakteristiknya? yaitu anicca, dukkha dan anatta. Setiap mahluk hidup yang berada di 31 alam kehidupan tak terlepas dari ketiga karakteristik ini.
Terlahir sebagai Dewa maka ia akan beranggapan bahwa ia adalah suatu kesatuan Dewa, ia berpikir ia adalah dewa, demikian juga bila terlahir sebagai Brahma dsbnya. Dengan demikian pikirannya selalu "memiliki" walau ia terlahir sebagai mahluk apapun, persepsinya selalu melekat dengan eksistensi dimanapun ia berada.
Mengapa? Menurut Sang Buddha karena ia belum sepenuhnya memahami.
Puthujana mungkin mengetahui mengenai tidak melekat, umumnya diantara mereka yang belajar Dhamma, tapi karena tak ada "pengalaman langsung" maka tetap masuk dalam kategori puthujana, yaitu mereka yang belum sepenuhnya memahami.
26. Nibbànam nibbànato sa¤jànàti. Nibbànam nibbànato sa¤¤atvà nibbànam ma¤¤ati. Nibbànasmim ma¤¤ati. Nibbànato ma¤¤ati. Nibbànam me'ti ma¤¤ati. Nibbànam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(24)
(Assutavantaputhujjanaha vaseni pañhamakabhåmi 1 paricchedi2)*
26. “Ia memahami Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah memahami Nibbāna sebagai Nibbāna, ia menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, [4] ia menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam Nibbāna. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
Demikian juga dengan Nibbana, seorang puthujana selalu menganggap bahwa Nibbana adalah sesuatu yang akan ia miliki, ia akan berada dalam Nibbana, atau ia menganggap Nibbana sesuatu yang dialami walaupun terpisah dari dirinya, beranggapan suatu ketika ia akan memiliki Nibbana dsbnya, sehingga ia mencari Nibbana dsbnya, ia hanya mengetahui Nibbana dari teori dan belum pernah mengalami langsung Nibbana jadi Nibbana hanya ada sebagai persepsi baginya.
Bagian selanjutnya tidak diberikan referensi bahasa Palinya karena pengulangan akan membosankan pembaca, selanjutnya akan disingkat, hanya menyertakan inti dan ringkasannya saja.
SEKHA (SISWA DALAM LATIHAN YANG LEBIH TINGGI)
27. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sedang dalam latihan yang lebih tinggi, yang batinnya masih belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah mengetahui tanah sebagai tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia seharusnya tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bergembira dalam tanah. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.
Bagian ini dimaksudkan Sekha Puggala atau seorang Ariya yang belum mencapai tingkat kesucian Arahat, oleh karena itu masih perlu berlatih untuk mencapainya.
Disini perhatikan bahwa tata-bahasanya telah berubah, seorang Ariya telah mengetahui karakteristik dari berbagai fenomena, oleh karena itu Sang Buddha bersabda didahului kata-kata: "Ia seharusnya tidak...."
Mengapa demikian? Seorang Siswa Ariya telah mengetahui sifat dan karakteristik segala fenomena, namun kadang-kadang masih terlibat oleh persepsi bagai Puthujana. Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan: "hendaknya..... tidak menganggap dirinya sebagai tanah, tidak menganggap dirinya dalam tanah, tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, dan tidak menganggap tanah sebagai milikku...."
Lebih gamblangnya Sang Buddha menganjurkan agar Siswa Ariya berusaha "melihat segala sesuatu apa adanya."
28-49. “Ia secara langsung mengetahui air sebagai air … Ia secara langsung mengetahui keseluruhan sebagai keseluruhan.
50. “Ia secara langsung mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bergembira dalam Nibbāna. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.
Hal yang sama juga berlaku untuk unsur-unsur lain, mahluk-mahluk lain, bahkan terhadap Nibbana sekalipun... Disini mungkin tujuan Sang Buddha agar para siswa Ariya tidak kesulitan "mengalami" Nibbana.
karena persepsi terhadap Nibbana akan menghalangi pengalaman Nibbana itu sendiri.
(ARAHANT – I)
51. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bergembira dalam tanah. Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.
`
52-74. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.
Pada seorang Arahat batin tidak lagi mempersepsikan, Arahat setiap waktu dan setiap saat "melihat segala sesuatu apa adanya" Inilah kaitan antara kemelekatan dengan persepsi.
Persepsi dapat menimbulkan kemelekatan, demikian juga kemelekatan juga dapat menimbukan persepsi. seseorang yang melihat segala sesuatu apa adanya tidak lagi mempersepsikan segala sesuatu, karena tidak mempersepsikan segala sesuatu maka batinnya tidak melekat.
(ARAHANT – II)
75. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, [5] secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bergembira dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.
76-98. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.
(ARAHANT – III)
99. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bergembira dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.
100-122. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.
(ARAHANT – IV)
123. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bergembira dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebodohan melalui hancurnya kebodohan
124-146. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebodohan melalui hancurnya kebodohan.
Arahat kedua, ketiga dan ke-empat disini sebenarnya keterangan boleh dikatakan sama dengan yang pertama, tetapi hanya penambahan bahwa seorang Arahat telah menghancurkan ketiga akar kejahatan, yaitu Lobha, dosa dan moha yang menjadi akar timbulnya kemelekatan yang mengakibatkan timbulnya persepsi.
(TATHĀGATA – I)
147. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bergembira dalam tanah. [6] Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.
148-170. “Beliau secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.
(TATHĀGATA – II)
171. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bergembira dalam tanah. Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kegembiraan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan keinginan, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.
172-194. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kegembiraan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan keinginan, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.
Saya rasa disini tidak ada perbedaan yang signifikan antara Tathagata I dan Tathagata II, disini Sang Buddha hanya memberitahukan bahwa seorang Tathagata mengetahui dari berbagai sisi berbagai fenomena yang timbul dan melihat semua efek sebab-akibat dengan sempurna.
(Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.)
Para bhikkhu tak bergembira karena bhikkhu yang hadir belum mencapai kesucian, selain itu Sutta ini dalam dan sulit dimengerti kecuali melalui "pengalaman langsung", oleh karena itu para Bhikkhu tersebut tak bergembira.