//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 580743 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1680 on: 28 May 2013, 01:07:44 PM »
Intinya, sila ke-6 itu adalah menghindari makan di waktu yang salah, dalam hal ini diartikan sebagai "setelah tengah hari".

Kenapa disebut sebagai "waktu yang salah"? kalau saya baca di MN 66, malam hari disebut sebagai waktu yang salah bagi seorang bhikkhu yang mengembara untuk menerima dana makanan  karena:

1. “Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur;

2. mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan,

3. mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan.

4. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’

dan yang terakhir (di sutta sebetulnya disebut pertama kali):

5. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.


yang warna ungu ini saya kurang paham. Mungkin maksudnya tentang kesederhanaan 'makan secukupnya'?

note: link MN 66: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.msg290598.html#msg290598,

__________________________

Berdasarkan sutta itu, hal-hal yang menjadikan malam hari sebagai "waktu yang salah" (nomor 1-4), tidak berlaku bagi umat awam yang sebenarnya tidak mengembara mencari dana makanan.

Tapi IMHO, poin ke-lima yang menjadikan atthasila (tidak makan setelah tengah hari) berlaku bagi umat awam. CMIIW.

Tapi kalo seperti itu, memang jadinya lebih relatif sih. Kadar "secukupnya" bagi setiap orang itu beda-beda. Dan waktunya juga tidak harus sebelum tengah hari..

___________________________

Atau sila ke-6 adalah tentang "meniru para arahat" saja? Karena malam hari adalah waktu yang salah bagi Arahat yang notabene adalah bhikkhu yang mengembara mencari dana makanan di malam hari. Jadi walaupun umat awam, tapi kita meniru para Arahat sehingga kita tidak makan di "waktu yang salah bagi para bhikkhu".
« Last Edit: 28 May 2013, 01:28:52 PM by dhammadinna »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1681 on: 28 May 2013, 01:49:59 PM »
Intinya, sila ke-6 itu adalah menghindari makan di waktu yang salah, dalam hal ini diartikan sebagai "setelah tengah hari".

Kenapa disebut sebagai "waktu yang salah"? kalau saya baca di MN 66, malam hari disebut sebagai waktu yang salah bagi seorang bhikkhu yang mengembara untuk menerima dana makanan  karena:

1. “Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur;

2. mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan,

3. mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan.

4. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’
Senada dengan pendapat saya sebelumnya bahwa latar belakangnya adalah karena masalah keadaan budaya saat itu, bukan berhubungan dengan 'waktu keramat' untuk makan.


Quote
dan yang terakhir (di sutta sebetulnya disebut pertama kali):

5. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.


yang warna ungu ini saya kurang paham. Mungkin maksudnya tentang kesederhanaan 'makan secukupnya'?

note: link MN 66: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.msg290598.html#msg290598,
Kalau merujuk ke sutta lain yang pernah saya baca, Buddha mengatakan bahwa dirinya makan sekali saja dan karena itu ia merasa badannya sehat. Jadi kalau saya pribadi, memang Buddha menganjurkan makan secukupnya hanya untuk kebutuhan, menghindari kerakusan, juga baik untuk kesehatan.

Mengapa satu kali yang dipilih bukan pada siang dan malam? Sudah saya jelaskan juga bahwa itu berlatar-belakang budaya. Di Jambudvipa itu yang menjalankan pertapaan bukan hanya "Sangha Gotama" tapi banyak sangha2 petapa lainnya, dan memang sudah kebiasaan bagi mereka menerima dana makan sebelum tengah hari.


Quote
__________________________

Berdasarkan sutta itu, hal-hal yang menjadikan malam hari sebagai "waktu yang salah" (nomor 1-4), tidak berlaku bagi umat awam yang sebenarnya tidak mengembara mencari dana makanan.

Tapi IMHO, poin ke-lima yang menjadikan atthasila (tidak makan setelah tengah hari) berlaku bagi umat awam. CMIIW.

Tapi kalo seperti itu, memang jadinya lebih relatif sih. Kadar "secukupnya" bagi setiap orang itu beda-beda. Dan waktunya juga tidak harus sebelum tengah hari..

___________________________

Atau sila ke-6 adalah tentang "meniru para arahat" saja? Karena malam hari adalah waktu yang salah bagi Arahat yang notabene adalah bhikkhu yang mengembara mencari dana di malam hari. Jadi walaupun umat awam, tapi kita meniru para Arahat sehingga kita tidak makan di "waktu yang salah bagi para bhikkhu".
Nah, ini dia memang sumber permasalahannya. Kita mengikuti Arahant tidak makan lewat tengah hari, dengan alasan apa? Apa manfaatnya bagi kita, perumah tangga? Atau memang hanya tiru-tiru saja?

Intermezzo aja: Saya barusan kepikiran sesuatu. Anggap tengah hari jam 12, bhikkhu datang menerima dana pukul 11. Umat memberikan makanan kepada bhikkhu dulu, menunggu bhikkhu makan sampai tidak menambah lagi, lalu bhikkhu mengucapkan anumodana, kadang juga ditanya tentang dhamma. Setelah itu bhikkhu pergi, baru umatnya makan. Apa ga lewat jam 12 yah?



Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1682 on: 28 May 2013, 02:42:06 PM »
Ya, saya rasa tujuannya memang meniru arahat. Di link dari sumedho juga dikatakan begitu (dulu arahat berperilaku demikian, maka sekarang saya demikian).


[...]
Nah, ini dia memang sumber permasalahannya. Kita mengikuti Arahant tidak makan lewat tengah hari, dengan alasan apa? Apa manfaatnya bagi kita, perumah tangga? Atau memang hanya tiru-tiru saja?

Intermezzo aja: Saya barusan kepikiran sesuatu. Anggap tengah hari jam 12, bhikkhu datang menerima dana pukul 11. Umat memberikan makanan kepada bhikkhu dulu, menunggu bhikkhu makan sampai tidak menambah lagi, lalu bhikkhu mengucapkan anumodana, kadang juga ditanya tentang dhamma. Setelah itu bhikkhu pergi, baru umatnya makan. Apa ga lewat jam 12 yah?

Berikut ini quote dari Brahmajala Sutta (Digha Nikaya) 1:

Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah.

Kalau HANYA berdasarkan kutipan itu, berarti waktu yang salah adalah di malam hari. Jadi kalau belum gelap, sebenarnya boleh...

Walaupun di catatan kakinya ada tulis:

‘Pada waktu yang salah’ artinya antara tengah hari dan fajar keesokan harinya.

Saya kurang tau, apakah ada referensi lain sebagai acuan catatan kaki tsb, sehingga siang hari setelah jam 12 juga adalah 'waktu yang salah'.
__________________
Note: link DN 1:

http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_1:_Brahmajala_Sutta
« Last Edit: 28 May 2013, 02:46:48 PM by dhammadinna »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1683 on: 28 May 2013, 02:54:43 PM »
Ya, saya rasa tujuannya memang meniru arahat. Di link dari sumedho juga dikatakan begitu (dulu arahat berperilaku demikian, maka sekarang saya demikian).

Berikut ini quote dari Brahmajala Sutta (Digha Nikaya) 1:

Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah.

Kalau HANYA berdasarkan kutipan itu, berarti waktu yang salah adalah di malam hari. Jadi kalau belum gelap, sebenarnya boleh...

Walaupun di catatan kakinya ada tulis:

‘Pada waktu yang salah’ artinya antara tengah hari dan fajar keesokan harinya.

Saya kurang tau, apakah ada referensi lain sebagai acuan catatan kaki tsb, sehingga siang hari setelah jam 12 juga adalah 'waktu yang salah'.
__________________
Note: link DN 1:

http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_1:_Brahmajala_Sutta
Kalo sis Dhammadinna sendiri, seandainya ditanya oleh orang lain apa keuntungan makan sebelum tengah hari bagi perkembangan batin, akan menjawab apa?

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1684 on: 28 May 2013, 03:07:46 PM »
Kalo sis Dhammadinna sendiri, seandainya ditanya oleh orang lain apa keuntungan makan sebelum tengah hari bagi perkembangan batin, akan menjawab apa?

wah sebetulnya saya agak malu menjawabnya.

Dulu saya pernah atthasila, dan setelah selesai mengucapkan sila ke-6 (sebelum lanjut sila ke-7), saya akan bilang begini: "di kantor makan siang jam 12, saya tidak mungkin makan sebelum jam 12, tapi setelah makan siang saya tidak makan lagi". Tapi kalau begini, tidak benar juga ya?

Keuntungannya? hmm.. khusus untuk sila ke-6 saja ya... saya belum begitu merasakannya.

biasanya kalau ada makanan enak, saya biasanya makan lagi walaupun sebenarnya sudah cukup.. tapi waktu atthasila, idealnya kan mengendalikan nafsu itu. Tapi yang sering terjadi, adalah saya tidak makan (walaupun lapar). Saya sering bingung batasan antara menyiksa diri dan teguh menjalani sila*.

Saya cenderung berpatokan ke "waktu keramat", walaupun saya tau itu kurang tepat. Tapi itulah yang terjadi. Intinya, saya tidak makan karena saya sudah mengucapkan 'janji', bukan karena tujuan yang lebih mulia. Ini bagi saya sih, semoga orang lain tidak.

________________________
*Saya pernah baca kisah tentang pelayannya Anathapindika yang meninggal karena bekerja tapi tidak makan (atthasila). CMIIW.
« Last Edit: 28 May 2013, 03:34:57 PM by dhammadinna »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1685 on: 28 May 2013, 04:32:20 PM »
wah sebetulnya saya agak malu menjawabnya.

Dulu saya pernah atthasila, dan setelah selesai mengucapkan sila ke-6 (sebelum lanjut sila ke-7), saya akan bilang begini: "di kantor makan siang jam 12, saya tidak mungkin makan sebelum jam 12, tapi setelah makan siang saya tidak makan lagi". Tapi kalau begini, tidak benar juga ya?

Keuntungannya? hmm.. khusus untuk sila ke-6 saja ya... saya belum begitu merasakannya.

biasanya kalau ada makanan enak, saya biasanya makan lagi walaupun sebenarnya sudah cukup.. tapi waktu atthasila, idealnya kan mengendalikan nafsu itu. Tapi yang sering terjadi, adalah saya tidak makan (walaupun lapar). Saya sering bingung batasan antara menyiksa diri dan teguh menjalani sila*.

Saya cenderung berpatokan ke "waktu keramat", walaupun saya tau itu kurang tepat. Tapi itulah yang terjadi. Intinya, saya tidak makan karena saya sudah mengucapkan 'janji', bukan karena tujuan yang lebih mulia. Ini bagi saya sih, semoga orang lain tidak.

________________________
*Saya pernah baca kisah tentang pelayannya Anathapindika yang meninggal karena bekerja tapi tidak makan (atthasila). CMIIW.
Thanks untuk jawaban & sharingnya. :)

Tapi kalau kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami manfaatnya, hanya mengikuti apa yang tertulis saja, bukankah ini sifat yang dogmatis, sementara *KATANYA* Agama Buddha adalah agama logis dan menyandang semboyan "Ehipasyika"?

Tambahan lagi kalau tidak repot, bagaimana dengan sila 'kursi'? Apa yang dijalankan, dan mengapa?

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1686 on: 28 May 2013, 05:05:59 PM »
Kalo pendapar Bhikkhu S. Dhammika tentang sila ke-6 ini:

Quote
The sixth of the eight Precepts and ten Precepts is Vikala bhojana vermani sikkhapadam samadhiami, I take the precept not to eat at the wrong time. 'Wrong time' (vikala) has long been interpreted to mean after noon or midday, although I know of no place in the suttas where this is specifically stated. The overall purpose of this rule is clear enough – to encourage moderation in eating (Sn.707) and to keep drowsiness due to a full stomach at bay. But the part about not eating after midday is less clear. The origin story in the Vinaya explaining this rule is unconvincing and obviously a later invention. According to this story, a monk was standing at someone's door late at night. As the woman of the house approached the door a sudden flash of lightening illuminated him, frightening the woman half to death, and to prevent this from happening again the Buddha instituted the rule. The only justification the Buddha gives for this rule is that it is good for the health and he does not mention what the 'wrong time' is other than to say the 'evening' or 'night' (ratti). He said, 'I do not eat in the evening and thus I am free from illness and affliction and enjoy health, strength and ease' (M.I,473). But I can see not reason why eating only in the morning should be any more or less healthy than eating only in the afternoon.

I suspect that the rule has its origins in two things. That eating before noon was already a well-established convention amongst wandering ascetics and the Buddha simply asked his monks and nuns to follow this convention. And the reason why this convention evolved in the first place was probably because, then as now, Indian peasant women cooked all the day's food early in the morning and the main meal of the day was in the morning. In other words, the most convenient time to go for alms gathering (pindapata) was in the morning. Noon was probably used as the cut-off point for not eating because it could be known exactly. Its also pretty certain also that monks and nuns only eat one meal a day because, not doing hard physical labour, they did not need that much food. So it is important to understand that noon is not some magical time, after which consuming food becomes a moral failing. It is just a convenient, and at that time a practical, way of dividing the day.

http://sdhammika.blogspot.com/2009/04/commandments-and-precepts_30.html

Just intermezzo ;D
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1687 on: 28 May 2013, 05:14:27 PM »
Thanks untuk jawaban & sharingnya. :)

Tapi kalau kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami manfaatnya, hanya mengikuti apa yang tertulis saja, bukankah ini sifat yang dogmatis, sementara *KATANYA* Agama Buddha adalah agama logis dan menyandang semboyan "Ehipasyika"?

Sebetulnya kita tau manfaatnya. Kita tau berdasarkan logika, dan mungkin dari apa yang pernah kita baca atau dengar. Misalnya, tidak makan setelah jam 12, kita meyakini, ini untuk mengurangi nafsu makan. Maka saya berjuang tidak makan setelah jam 12 pas. Dan saya menanti suatu Hadiah yang disebut “berkurangnya nafsu”.

Tapi saya tidak menikmati proses itu karena ada “keharusan” menepati janji. Lalu lama-kelamaan fokus saya lebih dominan ke ‘janji’ yang harus terpenuhi, atau  hadiah yang saya harapkan.

NOTE: tapi bagi kalian yang bisa menikmati proses itu dan mendapatkan ‘hadiah’ yang kalian harapkan, silakan lanjutkan..

Quote
Tambahan lagi kalau tidak repot, bagaimana dengan sila 'kursi'? Apa yang dijalankan, dan mengapa?

Selama ini saya tidak pernah pelajari detil kriteria kursi mewah, misalnya bahan atau ketinggiannya.

Kalau tempat tidur, setau saya tidak tinggi. Kalau tidur di tempat tidur, biasanya lebih empuk dan tidur berasa lebih nikmat. Kalau di lantai tidak terlalu enak. Tapi kalau sudah terbiasa tidur di lantai, makin lama makin enak-enak saja sih rasanya.
« Last Edit: 28 May 2013, 05:17:40 PM by dhammadinna »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1688 on: 28 May 2013, 05:33:51 PM »
Kalo pendapar Bhikkhu S. Dhammika tentang sila ke-6 ini:
Quote
The sixth of the eight Precepts and ten Precepts is Vikala bhojana vermani sikkhapadam samadhiami, I take the precept not to eat at the wrong time. 'Wrong time' (vikala) has long been interpreted to mean after noon or midday, although I know of no place in the suttas where this is specifically stated. The overall purpose of this rule is clear enough – to encourage moderation in eating (Sn.707) and to keep drowsiness due to a full stomach at bay. But the part about not eating after midday is less clear. The origin story in the Vinaya explaining this rule is unconvincing and obviously a later invention. According to this story, a monk was standing at someone's door late at night. As the woman of the house approached the door a sudden flash of lightening illuminated him, frightening the woman half to death, and to prevent this from happening again the Buddha instituted the rule. The only justification the Buddha gives for this rule is that it is good for the health and he does not mention what the 'wrong time' is other than to say the 'evening' or 'night' (ratti). He said, 'I do not eat in the evening and thus I am free from illness and affliction and enjoy health, strength and ease' (M.I,473). But I can see not reason why eating only in the morning should be any more or less healthy than eating only in the afternoon.

I suspect that the rule has its origins in two things. That eating before noon was already a well-established convention amongst wandering ascetics and the Buddha simply asked his monks and nuns to follow this convention. And the reason why this convention evolved in the first place was probably because, then as now, Indian peasant women cooked all the day's food early in the morning and the main meal of the day was in the morning. In other words, the most convenient time to go for alms gathering (pindapata) was in the morning. Noon was probably used as the cut-off point for not eating because it could be known exactly. Its also pretty certain also that monks and nuns only eat one meal a day because, not doing hard physical labour, they did not need that much food. So it is important to understand that noon is not some magical time, after which consuming food becomes a moral failing. It is just a convenient, and at that time a practical, way of dividing the day.

http://sdhammika.blogspot.com/2009/04/commandments-and-precepts_30.html

Just intermezzo ;D
Nice one. Thanks. :)

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1689 on: 28 May 2013, 05:43:16 PM »
Sebetulnya kita tau manfaatnya. Kita tau berdasarkan logika, dan mungkin dari apa yang pernah kita baca atau dengar. Misalnya, tidak makan setelah jam 12, kita meyakini, ini untuk mengurangi nafsu makan. Maka saya berjuang tidak makan setelah jam 12 pas. Dan saya menanti suatu Hadiah yang disebut “berkurangnya nafsu”.

Tapi saya tidak menikmati proses itu karena ada “keharusan” menepati janji. Lalu lama-kelamaan fokus saya lebih dominan ke ‘janji’ yang harus terpenuhi, atau  hadiah yang saya harapkan.

NOTE: tapi bagi kalian yang bisa menikmati proses itu dan mendapatkan ‘hadiah’ yang kalian harapkan, silakan lanjutkan..
Ada alasan khusus mengapa harus sebelum jam 12? Misalnya seseorang bertekad mengurangi nafsu makan dan hanya makan sekali sehari, dalam porsi secukupnya, tapi orang ini Satpam shift malam yang jadwalnya berbeda dengan orang biasa (seperti contoh yang ada saya berikan sebelumnya), dan dia makan sekali, namun lewat tengah hari. Apakah latihan mengurangi nafsunya itu menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna karena jamnya berbeda? 


Quote
Selama ini saya tidak pernah pelajari detil kriteria kursi mewah, misalnya bahan atau ketinggiannya.
Salah satu yang sangat menarik, bahkan warnanya pun dipermasalahkan. Kalau ada senderan kepala dan kaki yang warnanya merah, tidak boleh. Entah takut diseruduk banteng atau terkait partai tertentu, saya juga kurang paham.


Quote
Kalau tempat tidur, setau saya tidak tinggi. Kalau tidur di tempat tidur, biasanya lebih empuk dan tidur berasa lebih nikmat. Kalau di lantai tidak terlalu enak. Tapi kalau sudah terbiasa tidur di lantai, makin lama makin enak-enak saja sih rasanya.
Setuju. Objek kenikmatan juga sepertinya tiap orang berbeda. Saya juga sudah terbiasa tidur di lantai, maka tidak merasa itu lebih tidak enak atau apa. Lagipula saya juga tidak ketemu pengaruhnya antara tinggi kaki ranjang dengan kenikmatan tidur.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1690 on: 29 May 2013, 07:51:43 AM »
Ada alasan khusus mengapa harus sebelum jam 12? Misalnya seseorang bertekad mengurangi nafsu makan dan hanya makan sekali sehari, dalam porsi secukupnya, tapi orang ini Satpam shift malam yang jadwalnya berbeda dengan orang biasa (seperti contoh yang ada saya berikan sebelumnya), dan dia makan sekali, namun lewat tengah hari. Apakah latihan mengurangi nafsunya itu menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna karena jamnya berbeda?

Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.

Tentang sebelum jam 12, selama ini sih saya pikir, karena ditetapkan begitu ya sudah dijalani. Mungkin untuk melatih kedisiplinan (kalau tidak ditetapkan waktu yang pasti, orang bisa saja mengendorkan diri misalnya dia makan berkali-kali dengan alasan bahwa ia memang butuh). Eh tapi sebenarnya kalau ia serius, tidak mungkin juga seperti itu ya..

Kalau umat awam, hal ini tidak terlalu kaku. Kita bisa memilih apa yang baik menurut diri kita sendiri. Tapi bagaimana dengan bhikkhu yang aturannya tidak boleh suka-suka?

Apakah di vinaya ada tertulis tentang waktu makan ini? Ada disebutkan tentang 'afternoon' atau sebetulnya hanya 'wrong time' saja? atau ada disebutkan 'makan sekali saja dalam sehari'?

Saya liat di access to insight, Pacittiya no.37,

Eating staple or non-staple food in the period from noon till the next dawn is a pācittiya offense.

lalu ada link yang bisa diklik, lalu ditulis:

37. Should any bhikkhu chew or consume staple or non-staple food at the wrong time, it is to be confessed.


tidak tau mana yang benar. Kalo patokannya di MN 66 atau DN 1, kata kuncinya hanya "makan sekali", "malam hari", "waktu yang salah".

Maksud saya, kalau di vinaya ditetapkannya hanya boleh 'before noon', berarti seorang bhikkhu memang harus makan sebelum jam 12, terlepas dari apakah itu tercipta karena budaya saat itu kah, atau alasan lainnya.

Tapi kalau tidak ada batasan waktu yang pasti, mungkin akan muncul definisi berbeda-beda tentang "waktu yang salah" sesuai budaya/lingkungan setempat dimana sekumpulan bhikkhu tertentu berdiam. Apakah ini tidak masalah?
« Last Edit: 29 May 2013, 07:57:55 AM by dhammadinna »

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1691 on: 29 May 2013, 10:24:12 AM »
Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.

Jangan jadi satpam... masa latihan di-sesuai-kan dengan profesi...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1692 on: 29 May 2013, 10:34:28 AM »
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:



Saya membayangkan seorang masokis melaksanakan atthasila... pasti sudah bukan masokis lagi...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1693 on: 29 May 2013, 10:54:09 AM »
Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.
OK.

Quote
Tentang sebelum jam 12, selama ini sih saya pikir, karena ditetapkan begitu ya sudah dijalani. Mungkin untuk melatih kedisiplinan (kalau tidak ditetapkan waktu yang pasti, orang bisa saja mengendorkan diri misalnya dia makan berkali-kali dengan alasan bahwa ia memang butuh). Eh tapi sebenarnya kalau ia serius, tidak mungkin juga seperti itu ya..
Betul, jika orang memang serius dan tahu apa yang dilatih (yaitu pengendalian diri terhadap makanan), maka ia juga akan mengurangi makan walaupun belum tengah hari. Tapi kembali lagi kalau orang memahami sila itu sebagai 'waktu keramat', maka apa yang diperhatikan adalah waktunya. Yang rakus tetap rakus, tidak ada perubahan. Hanya saja rakusnya sekarang dialokasikan di waktu keramat.

Quote
Kalau umat awam, hal ini tidak terlalu kaku. Kita bisa memilih apa yang baik menurut diri kita sendiri. Tapi bagaimana dengan bhikkhu yang aturannya tidak boleh suka-suka?
Ini juga sudah saya singgung, kalau umat awam jaman sekarang profesinya beraneka ragam, maka jam kegiatannya juga variatif. Kalau bhikkhu, semua seragam, dan seharusnya mengikuti aturan ini. Untuk umat awam juga kalau memang dipahami itu sebagai kedisiplinan dan memungkinkan dilakukan, tidak ada salahnya diikuti. Yang terpenting adalah pandangan benar saat melakukannya.


Quote
Apakah di vinaya ada tertulis tentang waktu makan ini? Ada disebutkan tentang 'afternoon' atau sebetulnya hanya 'wrong time' saja? atau ada disebutkan 'makan sekali saja dalam sehari'?

Saya liat di access to insight, Pacittiya no.37,

Eating staple or non-staple food in the period from noon till the next dawn is a pācittiya offense.

lalu ada link yang bisa diklik, lalu ditulis:

37. Should any bhikkhu chew or consume staple or non-staple food at the wrong time, it is to be confessed.


tidak tau mana yang benar. Kalo patokannya di MN 66 atau DN 1, kata kuncinya hanya "makan sekali", "malam hari", "waktu yang salah".

Maksud saya, kalau di vinaya ditetapkannya hanya boleh 'before noon', berarti seorang bhikkhu memang harus makan sebelum jam 12, terlepas dari apakah itu tercipta karena budaya saat itu kah, atau alasan lainnya.
"Waktu salah" ini dulu tidak ada. Ketika keluar larangan makan siang, maka makan siang jadi 'waktu salah'. Ketika keluar larangan makan malam, maka malam jadi 'waktu salah' juga. Jadi untuk bhikkhu, setelah keluar peraturan terakhir, memang sama saja antara "afternoon" dan "waktu salah".

Kalau di 'rumus' yang berulang dalam sutta, bunyinya "ekabhattiko hoti rattūparato, virato vikālabhojanā", secara literal "praktik sekali, pengendalian waktu malam, meninggalkan makanan di waktu salah". Saya kurang paham juga kenapa dalam atthasila 'ekabhattika'-nya hilang, padahal menurut saya, itu point utamanya. 


Quote
Tapi kalau tidak ada batasan waktu yang pasti, mungkin akan muncul definisi berbeda-beda tentang "waktu yang salah" sesuai budaya/lingkungan setempat dimana sekumpulan bhikkhu tertentu berdiam. Apakah ini tidak masalah?
Entahlah. Saya juga sudah singgung contoh ekstrem kalau kehidupan di kutub, siang dan malam juga tidak seperti di daerah tropis. Beda tempat, beda pula ukuran waktunya.

Dari kasus ini, saya ingin membahas bahwa dhamma secara esensi, selalu relevan. Namun secara bentuk praktiknya, itu relatif dan bisa berubah. Jika kita mempertahankan praktik luarnya, tapi bukan esensinya, maka praktik itu adalah sia-sia. Namun jika esensinya yang kita pertahankan, walaupun praktik luarnya sudah tidak sama persis, tetap akan bermanfaat.

Untuk topik ini, buat saya sudah cukup pembahasannya, jadi tidak melanjutkan lagi. Jawaban dari sis dhammadinna juga sudah cukup memuaskan bagi saya. Kalau mau memberikan kesimpulan penutup, silahkan. Saya teringat beberapa waktu lalu di satu forum luar negeri, seorang member mengatakan bahwa membahas dhamma di antara para fundamentalist adalah kesia-siaan.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
[Note] Meniru Perilaku "Dewa"
« Reply #1694 on: 29 May 2013, 11:34:24 AM »
Pada saat perang dunia II, penduduk asli di Pulau Tanna, hampir tidak pernah bertemu dengan orang luar. Ketika tempat itu dipakai sebagai pangkalan militer AS, maka mereka melihat banyak 'keajaiban' dari 'orang putih', barang-barang pabrik, kendaraan, sampai pesawat terbang. Namun sepertinya yang paling mengesankan mereka adalah bagaimana para 'utusan tuhan' ini melakukan ritual yang mendatangkan berkah dari langit berupa kotak berisi barang-barang kebutuhan mereka.

Setelah perang selesai, militer keluar dari sana, namun keyakinan dan kepercayaan mereka tetap kuat. Mereka melakukan tarian seragam (seperti para tentara berlatih dan berbaris) sambil memegang kayu panjang (seperti senapan), menulis lambang yang dipakai oleh 'deva' mereka ("USA"), mereka membangun panggung tinggi (seperti menara kontrol), memahat kayu untuk diletakkan di telinga (menyerupai headset dan telepon satelit), dan mengucapkan 'doa'. Mereka mengharapkan datangnya berkah kotak dari langit (cargo).


[Baris-berbaris dengan simbol "USA"]


[Tarian dan "replika" pesawat terbang]


["Menara radio" dan klinik]


["Gergaji mesin"]

Namun tentu saja pada kenyataannya, berkah itu dari langit itu tidak datang, sebab mereka hanya meniru bentuk yang tampak saja, bukan memahami apa yang dilakukan oleh para 'utusan deva' itu.