Saya tahu bahwa sebagai manusia, kita masih membutuhkan bantuan orang lain. Semua keberhasilan yang dapat kita raih pada dasarnya dibantu pula oleh orang lain.
Namun maksud saya, yang bisa membantu diri sendiri untuk merealisasi Pencerahan adalah diri sendiri tentunya. Sang Buddha hanya sebagai guru dan penunjuk jalan.
Diri yang mana? Kukira anda juga bersepakat kalau diri itu pada prinsipnya adalah anatta?
Oleh karena itu, saya kurang mengerti dengan konsep Mahayanis yang menyatakan :
"...saya baru akan mau menjadi Buddha setelah semua makhluk terbebas dari penderitaan..."
Cobalah membuka diri, anda pasti akan mengerti....
Tekad dan semangatnya sangat baik dan positif. Namun satu hal yang kurang pas di akal sehat saya adalah nilai logisnya.
Akal sehat dan logika tidak akan membantu seseorang merealisasikan nirvana, justru dengan tekad dan semangat yang positif Sang Buddha akhirnya merealisasi nirvana
Karena :
- Kita tidak mungkin mampu menolong semua makhluk.
- Seandainya semua makhluk sudah terbebas, akhirnya tinggal kita yang belum terbebas. Saat itu bila kita membutuhkan pertolongan, maka tidak ada satu makhluk pun yang ada untuk mau / mampu menolong kita.
Jika anda melihat semua makhluk secara kuantitas belaka.... Eihh... kalau nggak salah ada nada takut sendirian di sini? Ketakutan jika tidak ada yang menolong nanti kalau sendirian bro? Bukankah kalau sendirian bisa dengan usaha sendiri, setidaknya menurut keyakinan bro demikian kan?
- Jumlah makhluk hidup di samsara ini tidak terhitung. Kalau semua orang kerjanya hanya menunda, ujung-ujungnya hanya ada hukum timbal-balik antara penunda dengan orang yang ditunggu. Alias berjalan di tempat.
Kalau pada dasarnya nibbana sudah ada di sini, saat ini, maka sebenarnya nggak ada yang menunda-nunda ataupun yang ditunggu...
- Menurut saya (ini menurut saya yha...), samsara ini selalu ada... Jadi tidak mungkin samsara ini kehabisan penghuninya / makhluk hidup.
Ucapan singa! Saya pikir ini tidak berdasarkan logika, tapi lebih berdasarkan keyakinan bukan?
- dan kalau semua poin itu benar, maka tekad 'menolong makhluk lain' ini hanya menjadi aksi kebaikan yang merugikan diri sendiri - ibarat memberi makan pada semua pengemis di dunia, tapi diri sendiri akhirnya mati kelaparan.
- dll..
Barang siapa yang takut merugikan diri sendiri, silahkan saja mempertahankan pikiran demikian. Saya pingin tahu apa yang masih mempertahankan pikiran ‘takut merugikan diri sendiri’ bisa menghilangkan klesa... Selama seseorang masih mempertahankan pikiran untung dan rugi saya nggak tahu apa yang bisa dicapainya... mungkin sukses dalam berdagang kali..
1) Anda tidak perlu memainkan tendensi kata-kata.
Saya rasa Anda sudah paham siapa itu
diri sendiri yang saya maksud.
2) Saya sudah bisa menerimanya dari dulu. Tapi hanya sebatas kalimat motivasi, bukan filsafat realitas.
3) Akal sehat dan logika memang bukan hal utama yang dibutuhkan untuk merealisasikan Nirvana. Namun bila kita berangkat tanpa akal sehat dan logika, kita mudah sekali dibutakan oleh dunia. Ini ibarat Anda menyatakan : "tidak perlu akal sehat dan logika, yang kau butuhkan hanyalah tekad dan semangat untuk dapat menghentikan revolusi Bumi."
4) Anda tidak perlu memainkan kontekstual makna dalam kalimat saya.
Saya mengajukan pertanyaan yang saya ambil dari pemahaman Mahayana saya yang masih dangkal. Maksudnya, saya ingin menerka masa depan samsara ditinjau dari pandangan Mahayana. Jikalau semua makhluk sudah terbebas dari penderitaan, lantas apa yang akan dilakukan oleh 'sang juru selamat' setelah itu...?
5) Nirvana bisa direalisasikan di hidup ini, bukannya sudah ada di sini. Kata "di sini" yang Anda pakai saja secara implisit menunjukkan pemahaman Anda bahwa Nirvana adalah sebuah tempat. Dan satu lagi... Kalau tidak ada yang perlu ditunda atau ditunggu, kenapa bodhisatva dengan lantang menyerukan "...saya tunda pencapaian kebuddhaan saya, karena...", ...?
6) Kan sudah saya bilang, ini menurut saya. Alasan saya menyatakan demikian karena samsara itu tiada berawal. Jadi akan menjadi terlalu berspekulasi kalau saya menyatakan bahwa samsara juga akan lenyap. Kalau menurut Anda sendiri, bagaimana?
7) Tidak mementingkan keuntungan diri sendiri, memberi keuntungan pada orang lain; adalah tindakan terpuji. Tapi bukan berarti lebih baik menjadi orang baik hati yang bodoh. Di sinilah letak kebijaksanaan berperan, apakah seseorang ingin melakukan kebaikan dengan cara yang arif atau monoton...