Tepatnya analogi bagi apa? Apakah yakkha Vajirapani sesungguhnya adalah "centeng" atau umat2 yang kebetulan hadir di sana dan membawa sebuah gada atau pentungan? Dan mereka akan langsung "bak buk" main hajar kalau Ambattha tak mau menjawab untuk kali ketiga?
Maksud saya, mungkin yakkha di kisah itu hanyalah gambaran karakter dari si penulis Sutta. Dalam banyak kisah Sutta Theravada, gaya cerita analogi ini sering ditemukan. Salah satunya adalah gaya cerita tentang Mara, yang maksudnya adalah gejolak batin sendiri.
NB: Mara memang makhluk. Tapi ada beberapa kisah yang memakai Mara sebagai wujud kotoran batin.
Jadi kalau ternyata Ambattha tidak mau menjawab, maka Buddha akan mencegah Vajirapani mengayunkan gadanya? Penjelasan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa orang yang tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha untuk kali ketiga akan remuk kepalanya menjadi tujuh bagian. Kalau toh Buddha pada akhirnya akan mencegahnya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, maka pernyataan sebelumnya adalah "bohong," karena toh Buddha akan "mengampuni" dan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya. Jadi seolah-olah tetap ada ancaman bukan? Terbukti Ambattha katanya sampai "tegak seluruh rambutnya."
Sang Buddha sudah tahu kalau Ambattha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya setelah ditegur. Makanya Sang Buddha tidak 'khawatir' dan berusaha mencegah yakkha memukul kepala Ambatha.
Sama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.
Banyak bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Tapi mereka berusaha bertindak-tanduk dalam kebenaran (Dhamma). Dan mereka semua berusaha meneladani tindak-tanduk Sang Buddha. Apakah itu adalah kesalahan? Jadi mereka semua masuk Neraka Avici ya?
Oooo... begitu toh.
Rupanya ada pembunuhan dengan kasus tertentu yang dapat dinyatakan sebagai kebaikan?
Rupanya masih mungkin bagi orang Yang Tercerahkan untuk dapat membunuh?
Berarti tanpa meniru pun, para teroris nun jauh di sana punya bekal-bekal Pencerahan seperti ini.
Mengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.
Tidak ada maksud begitu. Saya hanya ingin mengetahui apakah maksudnya Sang Buddha lupa menyisipkan uraian mengenai perihal itu dalam penjelasan mengenai garuka kamma. Rupanya sudah jelas sekarang...
Kanon Mahayana itu seringkali mengandung wejangan-wejangan dari para Bhiksu sesepuh. Pantas saja banyak isi ajaran Buddhisme yang bertolak-belakang jika dibandingkan antar-sektenya.
Pernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.
Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.
Amiduofo,
Tan
Apakah Sang Buddha menghardik dengan ucapan dan atau perlakuan yang bersifat kekerasan?
Mungkin 'kekerasan' di Ajaran Zen tidak terlalu parah.
Tapi kenapa Sang Buddha tidak memberi pengajaran dengan bumbu 'kekerasan' seperti itu?
Apakah maksudnya 'kekerasan' itu adalah metode mutakhir untuk mengajarkan Dharma?
Atau metode Sang Buddha itu kuno, jadi perlu direvisi?