Petunjuk sudah diberikan oleh sang guru, apakah keBuddhaan dapat dimunculkan oleh kehendak kekuatan manusia atau malah sebaliknya hanya perlu penundukan diri (penanggalan atta diri yang dianggap aku sejati) dan selaras dengan sifat dan kondisi yang memang sudah dari sononya tidak dapat disangkali bahkan diubahkan (tak dimunculkan atau dimusnahkan) oleh kehendak/keinginan semua makhluk/duniawi.
kepada apa? rahasianya udana VIII.3. Apakah siddharta bisa mencapai keBuddhaan bila tidak menyadari rahasia udanna VIII.3 ini? klo belum menyadari itu berarti jalan dunia sebatas hukum karma/tabur tuai.
Sdr. Coedabgf, ketika saya mematahkan anggapan anda mengenai keberadaan Atta Sejati dengan memberikan uraian dalam Lankavatara Sutra, anda menyatakan bahwa uraian saya hanyalah dalam tataran filosofi semata. Tetapi anehnya Sdr. Coedabgf, anda begitu giat mengeluarkan sutta dan sutra untuk mendukung opini anda sendiri. Ini berarti anda masih berada dalam tataran filosofi semata.
Sekarang mari kita lihat pertanyaan anda, Sdr. Coedabgf.
“Apakah keBuddhaan dapat dimunculkan oleh kehendak kekuatan manusia atau malah sebaliknya hanya perlu penundukan diri….”
Jawab: Sebenarnya dalam pertanyaan anda ini tidak memberikan 2 pilihan karena baik kehendak dan penundukan diri adalah hal yang diperlukan. Sebuah penundukan diri pastilah diawali oleh suatu kehendak yang kuat.
“Apakah siddharta bisa mencapai keBuddhaan bila tidak menyadari rahasia udanna VIII.3? klo belum menyadari itu berarti jalan dunia sebatas hukum karma/tabur tuai.” (Sebuah pertanyaan yang menjebak diikuti oleh opini pribadi).
Jawab: Mereka yang mencapai keBuddhaan maka ia “melihat” jernih tanpa rahasia terhadap apa yang diungkapkan dalam Udana VIII.3 (mengenai Nibbana), dan mereka yang telah “melihat” jernih tanpa rahasia terhadap apa yang diungkapkan dalam Udana VIII.3 (mengenai Nibbana) pastilah Ia adalah Bhagava, Arahat, Sammasambuddha.
Saya rasa cukup jelas.
[at] kelana
sinkretisme? (pikiran adalah pelopor, kata ini muncul karena sudah adanya (gambar) kecurigaan karena dibentuk oleh/berasal dari (kesaksian) bentukan dunia juga)
oh tidak..., saya punya iman saya sendiri, dan yang saya coba jelaskan adalah proses menuju kepada pengalaman keMutlakan. (dan itu bukanlah hal yang salah)
Kecurigaan?? Lebih tepatnya kewaspadaan.
Anda bisa mengklaim apa saja, Sdr. Coedabgf, itu adalah hak anda dan itu juga berdasarkan pikiran anda sendiri. Ingat pikiran adalah pelopor iya kan.
Bagi pikiran saya yang sederhana ini, jelas tulisan anda berada dalam konsep eksperimen sinkretisme. Loh tau dari mana?? Dari Pengalaman dari berdiskusi dengan beragam orang sehingga saya bisa melihat pola kejanggalan dan kontradiksi. Dan perlu dicatat bahwa saya tidak menilai langsung pribadi anda sebagai seorang sinkretisme, tetapi tulisan anda yang berkonsep seperti itu. Di dunia maya ini siapapun bisa menulis apapun yang berbeda dari apa yang sesunguhnya, iya toh.
Jika anda memiliki iman sendiri, misalnya, andaikan, umpama iman seorang Kristiani, Muslim, Hindu atau lainnya mengapa anda memerlukan Sutta dan Sutra Buddha untuk mendukung opini, pendapat, atau apapun juga klaiman anda? Mengapa tidak menggunakan Injil, Al Quran, Veda, dll sesuai dengan iman anda? Apakah anda kehilangan iman terhadap kitab tersebut? Atau memang kitab tersebut tidak menampung hasil opini atau pengalaman anda? Sayangnya sutta ataupun sutra juga menepis opini atau pengalaman anda? Atau apakah ada motif lainnya? <---kecurigaan?? Bukan, tapi kewaspadaan.
Dan perlu dicatat juga Sdr. Coedabgf, disadari atau tidak, seseorang yang masuk dalam sinkretisme juga membentuk kepercayaan tersendiri, bahkan bisa membentuk iman dan kitab tersendiri. Sekali lagi, disadari atau tidak.
seperti saya ada tuliskan pada blog saya atau forum lain :
Pengenalan akan yang Mutlak.
Tahap/dimensi 1 : Hati yang murni (bebas dari kekhayalan/atta diri) dan kasih (pintu gerbang keBuddhaan/keTuhanan)
Tahap/dimensi 2 : Masuk dalam kondisi yang Mutlak (Nibanna)
Tahap/dimensi 3 : Hidup didalam sifat yang Mutlak
Terakhir : Pada akhirnya pengenalan kepada yang Mutlak (pribadi).
Seperti yang pernah saya sampaikan bahwa sejatinya tidak ada Pribadi/Atta/Atman Sejati. Karena tidak ada Pribadi/Atta/Atman Sejati maka “diakhir” tidak ada pengenalan kepada Pribadi/Atta/Atman Sejati yang mutlak. Kita tidak bisa mengenal sesuatu yang memang tidak pernah ada.
sebagaimana guru Buddha hanyalah memberi petunjuk jalan menuju tahap 3 dan tidak menceritakan tentang pengalaman yang terakhir.
Kita sudah sampai atau berada ditahap mana?
Jika yang anda maksud dengan pengalaman yang terakhir adalah pencapaian Nibbana, jelas Sang Buddha telah menceritakannya. Beliau sudah menjelaskan bahwa Nibbana adalah akhir dukkha, tanpa Atta, padamnya keinginan, semua hal mengenai Nibbana (silahkan anda membaca lagi sutra atau sutta). Sayangnya anda menolak apa yang dijelaskan oleh Sang Buddha bahwa tidak ada Atta, dan itu adalah hak anda untuk menolak. Lalu anehnya apa dasarnya anda mengatakan Sang Buddha tidak pernah menceritakan pengalaman terakhir??
Jika semua yang anda katakan adalah berdasarkan pada pengalaman pribadi, pertanyaannya adalah sudah sampai tahap mana pengalaman anda tersebut? Apakah sudah mencapai tahap 3 atau tahap akhir? Jika belum bagaimana anda bisa memastikan ada tahap akhir berupa pengenalan kepada yang Mutlak (pribadi)? Bukankah ini justru merupakan hayalan atau ilusi anda belaka? Hanya pada tataran teori, filosofis saja? Sdr. Coedabgf, ada 2 orang yang bisa menceritakan pengalaman akhir pribadinya yaitu seseorang yang mengalami langsung dan seorang pembual.
Jika memang benar berdasarkan pengalaman batin anda, mengapa anda memerlukan sutra dan sutta yang jelas-jelas menepis pengalaman anda (misalnya mengenai adanya Atta Sejati)?
Nah, Jika memang benar berdasarkan pengalaman batin anda silahkan anda berdiskusi dengan mereka yang juga mengisahkan pengalaman batin mereka sehingga ada keseimbangan (dipengalaman meditasi misalnya), karena saya pribadi tidak memiliki kapasitas untuk itu. Dan anggaplah apa yang saya utarakan hanyalah celoteh orang yang tertidur.
Saya pribadi hanyalah mengacu pada pengalaman Sang Buddha yang tertuang pada Sutta dan Sutra.
Saya rasa cukup penjelasan saya. Selanjutnya no comment.