//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?  (Read 4974 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Vincent Theonardo

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 28
  • Reputasi: 0
  • Gender: Male
Namo Buddhaya,
Menurut temen" DC
Sebenarnya siapa sih Brahma di Kevadha Sutta? Bukannya Buddhisme menolak tentang adanya pencipta, lalu mengapa si Brahma dalam Kevadha Sutta mengatakan "Bhikkhu, aku adalah Brahma, Brahma Agung, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, raja, SANG PENCIPTA,Penguasa, Pengambil keputusan, dan pemberi perintah, AYAH dari semua yang ada." Mohon penjelasannya Thanks
Semua makhluk:
Memiliki karmanya sendiri
Mewarisi karmanya sendiri
Lahir dan karmanya sendiri
Berhubungan dengan karmanya sendiri
Terlindung oleh karmanya sendiri.
Apa pun karma yang diperbuatnya
Baik atau buruk,
Itulah yang akan diwarisinya.

Offline will_i_am

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.163
  • Reputasi: 155
  • Gender: Male
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #1 on: 22 June 2013, 01:53:51 PM »
kalo baca Brahmajala Sutta dulu, pasti ngerti...
hiduplah hanya pada hari ini, jangan mengkhawatirkan masa depan ataupun terpuruk dalam masa lalu.
berbahagialah akan apa yang anda miliki, jangan mengejar keinginan akan memiliki
_/\_

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #2 on: 22 June 2013, 02:55:46 PM »
nah ayo baca dulu DN.1
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline Vincent Theonardo

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 28
  • Reputasi: 0
  • Gender: Male
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #3 on: 22 June 2013, 03:18:22 PM »
Oh... Ternyata si Brahma itu hanya lah makhluk yang terlahir di istana Brahma karena kegelisahan akan makhluk lain yang bs terlahir dialam itu makanya menganggap dirinya sang pencipta dsb...
Thanks buat temen" DC yg reply sangat mencerahkan saya dari pandangan salah
Sekali lagi Thanks :D
Semua makhluk:
Memiliki karmanya sendiri
Mewarisi karmanya sendiri
Lahir dan karmanya sendiri
Berhubungan dengan karmanya sendiri
Terlindung oleh karmanya sendiri.
Apa pun karma yang diperbuatnya
Baik atau buruk,
Itulah yang akan diwarisinya.

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #4 on: 23 June 2013, 06:27:38 AM »
ngaku2 sebagai pencipta !, boleh aja.. :)
apalagi di gadang-gandang sebagai sang penguasa dan sang pencipta, lebih besar kepala  ;D
« Last Edit: 23 June 2013, 06:34:14 AM by adi lim »
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Syair dalam DN 11 Kevaddha Sutta
« Reply #5 on: 11 August 2013, 04:18:53 PM »
Sundul gan, ini masih sehubungan dengan Kevaddha Sutta, jadi saya tanyakan di sini saja:

Dalam bagian terakhirnya terdapat pertanyaan yang dijawab dengan syair2 sbb:

    ‘Di manakah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasannya?
    Di manakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa –
    Di manakah ”batin dan jasmani” dihancurkan seluruhnya?’[10]

Dan jawabannya adalah:

    ‘Di mana kesadaran adalah tanpa gambaran,[11] tidak terbatas, cerah-cemerlang,[12]
    Di sanalah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasan,
    Di sanalah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa-
    Di sana “batin dan jasmani” dihancurkan seluruhnya.
    Dengan lenyapnya kesadaran, semuanya dihancurkan.’”’[13]


Ini adalah syair yang terkenal yang menggambarkan ttg Nibbana. Pertanyaannya:

1. Apakah Nibbana sama dengan "kesadaran yang tanpa gambaran, tidak terbatas, cerah-cemerlang"? Apakah yang dimaksud dengan kesadaran ini?

2. Apakah yang dimaksud dengan baris terakhir "Dengan lenyapnya kesadaran, semuanya dihancurkan"? Apakah berarti lenyapnya kesadaran tsb (kesadaran dlm pertanyaan no.1) berarti Parinibbana seorang Arahat adalah kelenyapan sepenuhnya/ketiadaan (nihilisme)?
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #6 on: 11 August 2013, 06:15:20 PM »
Aku pernah baca kemaren..entah dimana...kemungkinan di parayanavagga...tp kok ga nemu..kira2 beginin kata2nya " dgn lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula kata2 untuk menjelaskannya" ini mengenai kondisi kesadaran dan hubnya dgn nibanna
...

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #7 on: 11 August 2013, 06:20:09 PM »
6. PERTANYAAN UPASIVA

Kemudian siswa brahmana Upasiva mengajukan pertanyan:

1.   ‘Manusia Sakya,’ katanya, ‘tidaklah mungkin bagi saya untuk menyeberangi samudra yang amat luas sendirian, dan tanpa bantuan. Engkau adalah mata yang melihat segalanya, beritahukanlah apa yang dapat digunakan untuk membantu saya menyeberangi samudra.’   (1069)
2.   Sang Buddha berkata kepada Upasiva: ‘Gunakanlah dua hal ini untuk membantumu menyeberangi samudra: persepsi (pemahaman) tentang Kekosongan1 dan kesadaran bahwa ‘tidak ada apa pun’. Tinggalkanlah kenikmatan-kenikmatan indera dan bebaskanlah dirimu dari keraguan, sehingga engkau mulai melihat dan merindukan akhir dari nafsu keinginan.’   (1070)
3.   ‘Yang Mulia,’ kata Upasiva, ‘jika orang telah terbebas dari kemelekatan terhadap segala kesenangan dan tidak bergantung lagi pada apa pun, dan dia lepaskan juga apa pun lainnya, maka dia bebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Tetapi apakah dia abadi berada di sana dan tidak akan kembali lagi?’   (1071)
4.   ‘Jika seseorang telah terbebas,’ kata Sang Buddha, ‘dari semua kesenangan indera dan tidak bergantung pada apa pun, dia terbebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Dia akan tinggal di sana dan tidak kembali lagi.’   (1072)
5.   ‘Yang Mulia, Engkau memiliki mata yang melihat segalanya,’ kata Upasiva. ‘Jika orang ini tinggal bertahun-tahun di dalam keadaan ini tanpa kembali, apakah dia akan menjadi dingin dan terbebas di sana sendiri? Katakanlah, apakah kesadaran masih ada bagi orang seperti ini.’   (1073)
6.   ‘Ini bagaikan lidah api yang tiba-tiba diterpa hembusan angin,’ kata Sang Buddha. Dalam sekejap ia lenyap dan tidak ada lagi yang diketahui tentangnya. Sama halnya dengan orang bijaksana yang terbebas dari keberadaan mental: dalam sekejap dia telah pergi dan tidak ada yang dapat diketahui tentang dia.’   (1074)
7.   ‘Tolong terangkanlah hal ini secara jelas, Tuan,’ kata Upasiva, ‘Engkau manusia bijaksana yang tahu secara tepat cara hal-hal bekerja: apakah orang itu telah lenyap, apakah dia hanya sekadar tidak ada, ataukah dia ada dalam kesejahteraan yang abadi?   (1075)
8.   Jika seseorang telah pergi, maka tidak ada apa pun yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Sesuatu yang dapat dipakai untuk membicarakannya tidak lagi ada baginya; kamu tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak ada. Bila semua cara untuk ada sudah hilang, berarti seluruh fenomena hilang, maka seluruh cara menjelaskannya juga lenyap.’   (1076)
...

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #8 on: 11 August 2013, 09:15:32 PM »
6. PERTANYAAN UPASIVA

Kemudian siswa brahmana Upasiva mengajukan pertanyan:

1.   ‘Manusia Sakya,’ katanya, ‘tidaklah mungkin bagi saya untuk menyeberangi samudra yang amat luas sendirian, dan tanpa bantuan. Engkau adalah mata yang melihat segalanya, beritahukanlah apa yang dapat digunakan untuk membantu saya menyeberangi samudra.’   (1069)
2.   Sang Buddha berkata kepada Upasiva: ‘Gunakanlah dua hal ini untuk membantumu menyeberangi samudra: persepsi (pemahaman) tentang Kekosongan1 dan kesadaran bahwa ‘tidak ada apa pun’. Tinggalkanlah kenikmatan-kenikmatan indera dan bebaskanlah dirimu dari keraguan, sehingga engkau mulai melihat dan merindukan akhir dari nafsu keinginan.’   (1070)
3.   ‘Yang Mulia,’ kata Upasiva, ‘jika orang telah terbebas dari kemelekatan terhadap segala kesenangan dan tidak bergantung lagi pada apa pun, dan dia lepaskan juga apa pun lainnya, maka dia bebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Tetapi apakah dia abadi berada di sana dan tidak akan kembali lagi?’   (1071)
4.   ‘Jika seseorang telah terbebas,’ kata Sang Buddha, ‘dari semua kesenangan indera dan tidak bergantung pada apa pun, dia terbebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Dia akan tinggal di sana dan tidak kembali lagi.’   (1072)
5.   ‘Yang Mulia, Engkau memiliki mata yang melihat segalanya,’ kata Upasiva. ‘Jika orang ini tinggal bertahun-tahun di dalam keadaan ini tanpa kembali, apakah dia akan menjadi dingin dan terbebas di sana sendiri? Katakanlah, apakah kesadaran masih ada bagi orang seperti ini.’   (1073)
6.   ‘Ini bagaikan lidah api yang tiba-tiba diterpa hembusan angin,’ kata Sang Buddha. Dalam sekejap ia lenyap dan tidak ada lagi yang diketahui tentangnya. Sama halnya dengan orang bijaksana yang terbebas dari keberadaan mental: dalam sekejap dia telah pergi dan tidak ada yang dapat diketahui tentang dia.’   (1074)
7.   ‘Tolong terangkanlah hal ini secara jelas, Tuan,’ kata Upasiva, ‘Engkau manusia bijaksana yang tahu secara tepat cara hal-hal bekerja: apakah orang itu telah lenyap, apakah dia hanya sekadar tidak ada, ataukah dia ada dalam kesejahteraan yang abadi?   (1075)
8.   Jika seseorang telah pergi, maka tidak ada apa pun yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Sesuatu yang dapat dipakai untuk membicarakannya tidak lagi ada baginya; kamu tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak ada. Bila semua cara untuk ada sudah hilang, berarti seluruh fenomena hilang, maka seluruh cara menjelaskannya juga lenyap.’   (1076)

Great  :jempol: :jempol: :jempol:
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Siapakah sebenarnya Brahma di dalam Kevadha Sutta Digha Nikaya?
« Reply #9 on: 11 August 2013, 09:34:52 PM »
Untuk pertanyaan pertama tentang kesadaran yang tanpa gambaran, tidak terbatas, cerah-cemerlang, belum terjawab. Tetapi dari hasil googling, saya mendapatkan artikel Bhikkhu Sujato tentang hal ini: Nibbana is not vinnana

Quote
In fact the Buddhist passage appears in a specifically Brahmanical context. The text is the Kevaddha Sutta (Digha Nikaya 11: text here, translation here, parallels here.) A monk wants to find out where the four Great Elements (mahābhūta) end, and goes to Brahma for the answer. Brahma, however, doesn’t know, and he sends the monk back to the Buddha. The Buddha rejects the original question, and tells the monk how it should be reformulated.

The basic idea is clear enough. Brahma’s realm extends as far as jhana, as Buddhists assume that the Brahmanical philosophy was based on jhanic experience (at best). So Brahma doesn’t know what lies beyond this, while the Buddha does.

The problem is that, apparently, what lies beyond is a kind of consciousness. Given the evident connections between this description and the Brahmanical conception of the higher atman as a form of infinite consciousness, the most obvious inference is that it refers to the formless attainments, specifically that of ‘infinite consciousness’, where the ‘four great elements’ don’t find a footing.

It is in the next lines of the verse, which are usually overlooked by the viññāṇa = Nibbana school, that the Buddha’s true position is stated. With the cessation of viññāṇa all this comes to an end. The ‘infinite consciousness’ is merely the temporary escape from the oppression of materiality, but true liberation is the ending of all consciousness.

[...omitted]

It is simpler and more natural to read the verses as asking two questions, with the verb uparujjhati (ceases) acting as a ‘lamp’ to apply to both the preceding clauses. In that case the syntax of the answer would be expressed thusly:

    Water, earth, fire, air do not find a footing in viññāṇa that is non-manifest, infinite, radiant all-round.

(i.e., the four material elements cease temporarily in the formless attainments, which is the highest reach of the Brahmanical teachings – even this much Brahma, being a deity of the form realm, did not know.)

    Long and short, small, gross, fair and ugly, name and form cease without remainder with the cessation of viññāṇa. This is where this all ceases.

(i.e., the Buddha’s real teaching is not to temporarily escape materiality, but to reach an ending of suffering. And since all forms of viññāṇa (yaṁ kiñci viññāṇaṁ…) are said countless times to be suffering, even the infinite consciousness has to go.)

In this reading, the reason for the Buddha’s reformulation of the original question becomes clear. The errant monk had asked where the ending of the four elements was – which is of course the formless attainments. But the Buddha said the question was wrongly put, as this would merely lead beyond the form realm of Brahma to the formless realms. The real question is what lies beyond that, with the cessation of consciousness. It is not enough for matter to be transcended, one must also transcend mind as well. If not, one ends up, apart from all the other philosophical problems, with a mind/body dualism.

Jadi, menurut Bhikkhu Sujato, kesadaran yang dimaksud di sini menunjuk pada kesadaran yang dapat dicapai dalam landasan tak berbentuk (arupa jhana) dari kesadaran tanpa batas, sedangkan lenyapnya kesadaran ini adalah pencapaian Nibbana yang melampaui kesadaran arupa jhana tsb (mungkin menunjuk pada pencapaian lenyapnya perasaan dan persepsi/nirodhasamapatti).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything