Terlepas dari tujuan TS,
saya hanya ingin meluruskan pandangan mengenai Dalai Lama adalah "reinkarnasi Buddha." Yang benar memang adalah DL selama ini diyakini sebagai emanasi Avalokitesvara. Sedangkan Avalokitesvara itu sendiri adalah emanasi dari welas asih Buddha Amitabha; yang "dilahirkan" dari mata Buddha Amitabha tatkala menyaksikan penderitaan makhluk hidup
Jadi, bukan Buddha Amitabha yang bereinkarnasi (atau terlahir kembali) sebagai Avalokitesvara, lalu kemudian Avalokistesvara terlahir kembali sebagai Dalai Lama. Kata yang dipilih adalah 'emanasi' yang berarti 'muncul dari satu sumber' layaknya harum bunga yang muncul dari bunga yang mekar sebagai sumbernya. Bedakan antara kata 'reinkarnasi' dan 'emanasi'. Kata 'emanasi' hanya berarti bahwa seseorang memiliki kualitas yang sama dengan sumber yang dikatakan dari mana kualtas itu berasal. Karena itu tidak heran, maka Buddha Amitabha dan Avalokitesvara selalu digambarkan berdampingkan, dan dalam sutra-sutra Mahayana keduanya kadang-kadang bercakap-cakap. Hal mana penggambaran demikian tidak mungkin terjadi kalau Avalokitesvara adalah reinkarnasi dari Buddha Amitabha.
Tatkala Tsongkhapa menyebutkan bahwa Gendun Drup adalah emanasi Avalokitesvara, maka maksudnya tidak lain adalah bahwa muridnya memiliki kualitas welas asih yang identik dengan Bodhisattva tersebut (CMIIW). Dikarenakan Avalokitesvara adalah emanasi dari Buddha Amitabha, maka tidak heran maka ada yang menyebutkan Dalai Lama sebagai: "emanasi dari welas asih Sang Buddha (Amitabha)." Sekali lagi, emanasi tidak sama dengan reinkarnasi.
Seingat saya, dalam Mahayana pun, Buddha tidak bereinkarnasi lagi. Yang ada adalah 'emanasi', yaitu kualitas-kualitas dari Dharmakaya Buddha sebagai sumber sejati yang terus 'bergaung' dalam batin makhluk hidup yang membangkitkan Bodhicitta, bukan figur-nya yang terlahir lagi. Membangkitkan Bodhicitta berarti memasuki jalan di mana kualitas Buddha tersebut 'dibangkitkan' kembali, yang sama sekali tidak berarti bahwa orang tersebut adalah reinkarnasi dari 'Buddha A' atau 'Buddha B'.
Jadi, menurut saya, kalau ada orang yang mengaku sebagai titisan dari Bodhisattva A, B, C atau Buddha X, Y, Z, maka kita harus menanggapi pengakuan demikian dengan lebih hati-hati. Lagipula, tidak ada gunanya bagi seorang praktisi Buddhadharma ikut2an mengesahkan atau menolak pengakuan demikian, karena, sekali lagi, yang penting bagi seorang praktisi Buddhadharma adalah menjalankan praktiknya dengan giat, berfokus pada metodenya, tanpa diganggu oleh seorang 'Buddha', 'Bodhisattva', 'Deva' atau makhluk apapun yang mendatanginya hanya untuk minta diakui. i