[at] Ryu:
kalau soal manfaat membaca sutra, rasanya sama saja, racun yang dimaksud adalah kekotoran batin. Tapi ini tafsiran saya loh.
Tapi, kita sulit sekali mengandaikan apa yang diperbuat oleh Sang Buddha dan Para Arahat sebagai ukuran untuk kita sendiri. Selain itu, saya yakin kalau Buddha-dharma tidak mengajarkan umat Buddha melakukan bullying.
[at] DragonHung:
Mungkin saja demikian
[at] DeNova:
Saya dulu juga sering mengalami bullying. Bayangkan seorang Cina kafir yang bersekolah di sekolah negeri di sebuah kota yang bangga dengan iman agamanya, dari SD-SMA, 12 tahun lamanya
Bullying adalah santapan sehari2, dari siapa saja dan di mana saja
. Tapi sebagai korban bullying yang survive, saya belajar untuk bersikap santai dengan cemoohan, memandangnya enteng, dan tidak terlalu ambil pusing. Meskipun demikian, saya masih mengingat bullying adalah perbuatan yang menyakitkan. Kita boleh memaafkan, tapi tidak boleh melupakan (forgive but not forget). Dengan mengingatnya, saya menjadikan pengalaman saya sebagai guru. Sebagai korban bullying pun saya memiliki potensi untuk menjadi bulliers, itu yang selalu kuwaspadai. Benar katamu, sis DeNova, perbuatan yang tidak kita sukai jangan diperbuat pada orang lain. Pandangan demikian, menurutku adalah kata kunci untuk hubungan yang saling empatik dan menghormati.
[at] Dilbert:
Bedanya tipis antara bullying di dunia nyata dan dunia maya, yang satu melibatkan pertemuan fisik yang satunya lagi tidak. Yang penting adalah sama-sama adalah perbuatan yang menyakitkan bullying. Saya tidak membatasi bullying hanya pada kasus-kasus spesifik. "Sok pinter" ataupun "sok bodoh" atapun tidak sok sama sekali, sebaiknya kita tidak membenarkan perbuatan bullying. Saya percaya, dalam kasus bullying, seperti dalam kasus kekerasan di manapun, persoalannya selalu ada pada pelakunya, bukan pada korbannya.