Selain itu, bukankan citta yang muncul ketika persepsi adalah kiriya citta yang merupakan resultant citta (result dari kamma?) jadi kalau kita melihat hal yang menyenangkan itu hasil dari kamma baik dan sebaliknya. Untuk menghilangkan persepsi hanya bisa lewat nirodda-samapatti yang memerlukan kemampuan seorang arahat yang telah mencapai arupa jhana bukan pencerapan pun bukan bukan pencerapan.
Dalam bukunya, “The Concept and Reality”, Bhikkhu Katukurunde Ñānananda, salah seorang guru meditasi di Sri Lanka, telah membagi proses pikiran yang tercatat dalam MadhupiṇḍikaSutta (pernyatan yang sy kutip di atas berasal dari sutta ini) menjadi tiga:
1. Organ-organ indera, 6 macam kesadaran dan kontak yang muncul dari ketiga gabungan merupakan hasil otomatis proses pikiran. Seseorang tidak bisa berbuat apa2 terhadap mereka.
2. Vedana, saññā, vitakka dan papañca sudah mengikut-campurkan batin yang aktif. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata vedeti, sañjānati, vitakketi dan papañceti yang merupakan bentuk orang pertama tunggal yang kalau diartikan menjadi “ia merasa, ia mencerap, ia berpikir dan ia berpikir berulang-ulang (mentally proliferates).
3. Papañcasaññāsaṇkha (pikiran yang berulang-ulang dan persepsi2) yang merupakan hasil dari keseluruhan proses pikiran adalah akibat dari proses pikiran tersebut.
Jika kita menerima pendapat nomor dua, tentu, vedana dan saññā juga merupakan batin yang aktif. Mereka juga merupakan resultant consciousness / hasil dari citta, namun juga merupakan penyebab munculnya alktifitas batin yang baru.
Namun saya pernah mendengar dari Bapak Hudoyo, guru meditasi di Indonesia, bahwa menurut Bhikkhu Bodhi dalam salah satu bukunya mengenai Mūlapariyaya Sutta (saya belum pernah membacanya), vedana dan saññā merupakan hasil natural atau otomatis proses pikiran yang kita tidak bisa berbuat apa2 terhadapnya.
Anda sangat benar bahwa dalam Nirodhasamapatti, saññā telah lenyap. Namun menurut pendapat saya, ini benar jika dipandang dari segi jhana (samatha). Dalam vipassana pun, vedana dan sañña bisa lenyap. Contohnya, dalam Dvayatānupassanāsutta dari Suttanipāta, Sang Buddha menasehati para muridnya untuk selalu merenungkan bahwa apapun penderitaan muncul karena perasaan2 dan dikondisikan karena perasaaan2, dan melalui total pelepasan dan pelenyapan perasaan2 di sana tidak muncul penderitaan (Yaṃ kiñci dukkhaṃ sambhoti sabbaṃ vedanāpaccayāti, ayamekānupassanā. Vedanānaṃ tveva asesavirāganirodhā natthi dukkhassa sambhavoti). Jika perasaan lenyap karena kontemplasi (saya melihat cara ini sebagai vipassana juga), maka tanpa keraguaan, persepsi juga lenyap karena persepsi muncul setelah perasaan. Dalam Madhupiṇḍikasutta sendiri dikatakan bahwa persepsi muncul hanya setelah ada perasaan.
Apa Sdr. Peacemind punya keterangan tambahan tentang ketika melihat hanya melihat ini, dari komentar atau pengalaman pribadi.
Sebenarnya kutipan di atas saya ambil dari Bahiya Sutta dari Udana. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
“Tasmātiha te, bāhiya, evaṃ sikkhitabbaṃ – ‘diṭṭhe diṭṭhamattaṃ bhavissati, sute sutamattaṃ bhavissati, mute mutamattaṃ bhavissati, viññāte viññātamattaṃ bhavissatī’ti. Evañhi te, bāhiya, sikkhitabbaṃ. Yato kho te, bāhiya, diṭṭhe diṭṭhamattaṃ bhavissati, sute sutamattaṃ bhavissati, mute mutamattaṃ bhavissati, viññāte viññātamattaṃ bhavissati tato tvaṃ, bāhiya, na tena; yato tvaṃ, bāhiya, na tena tato tvaṃ, bāhiya, na tattha; yato tvaṃ, bāhiya, na tattha, tato tvaṃ, bāhiya, nevidha na huraṃ na ubhayamantarena. Esevanto dukkhassā’’ti”
“Oleh karena itu, O, Bahiya, hendaknya engkau berlatih – ‘Ketika melihat itu ini hanya sekedar melihat, ketika mendengar ini hanya sekedar mendengar, ketika merasa ini hanya sekedar merasa, ketika mengenal ini hanya sekedar mengenal. Demikianlah, O, Bahiya, hendaknya engkau melatih diri. Jika, O, Bahiya, engkau melatih demikian ‘Ketika melihat itu ini hanya sekedar melihat, ketika mendengar ini hanya sekedar mendengar, ketika merasa ini hanya sekedar merasa, ketika mengenal ini hanya sekedar mengenal’ maka engkau tidak bisa dikaitkan dengan itu; karena engkau tidak bisa dikaitkan dengan itu, maka engkau tidak di sana; karena engkau tidak di sana, maka engkau bukan di sini, bukan di sana dan bukan di antaranya. Inilah, akhir dari penderitaan”.
Sutta ini merupakan andalan para guru meditasi khususnya vipassana. Latihan ini bisa dipraktikkan siapa saja. Sang Buddha sendiri mengatakan sikkhitabbaṃ (harus dilatih). Jadi hal ini bukan sesuatu beyond manusia. Sebenarnya, dalam Vipassana, ketika pikiran tidak bereaksi dengan muncul dan lenyapnya fenomena2 yang silih berganti, ketika pikiran berada pada total surrendering, ketika pikiran menerima apapun obyek yang muncul tanpa complain, di situlah praktik yang sesuai dengan Bahiyasutta di atas terwujud. Latihan inilah yang sesungguhnya mengantarkan kita pada pengetahuan dan penglihatan segala sesuatu sebagaimana adanya (yathabhūta ñānadassanaṃ). Tentu, keadaan “maka engkau tidak bisa dikaitkan dengan itu; karena engkau tidak bisa dikaitkan dengan itu, maka engkau tidak di sana; karena engkau tidak di sana, maka engkau bukan di sini, bukan di sana dan bukan di antaranya, inilah, akhir dari penderitaan” hanya dicapai mereka yang telah merealisasi nibbāna. Namun, latihan itu sendiri masih bisa dipraktikkan oleh siapa saja.
Dalam kitab Abhidhamma dan juga kitab komentar, ada tiga macam definisi yang diberikan ketika mendefinisikan beberapa dhamma. Sebagai contoh, citta atau pikiran didefinisikan sebagai berikut:
1. Kattusadhāna (definisi menurut pelaku) – cinteti’ti cittaṃ (‘ini berpikir’, oleh karenanya disebut pikiran).
2. Karanasadhāna (definisi menurut instrumental) – cinteti’ti tena cittaṃ (‘karena melalui ini, ia berpikir’ maka disebut sebagai pikiran).
3. Bhavasadhāna (definisi yang sesungguhnya) – cintanamattaṃ cittaṃ (sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran).
Menurut kitab2 ini, dua definisi yang pertama bukan merupakan arti yang sesungguhnya karena mereka masih mencampur-ikutkan keberadaan pelaku / doer. Kedua definisi ini digunakan hanya untuk mempermudah pengertian. Akan tetapi, definisi yang ketiga dikatakn sebagai definisi yang sesungguhnya karena di sini tidak ada pelaku atau entitas yang turut campur. Definisi ketiga inilah yang sesungguhnya sangat releven dengan praktik dan sesuai dengan Bahiya Sutta. Ketika fenomena pikiran muncul, seseorang hendaknya tidak berusaha mengidentifikasikan pengalaman pikiran tersebut dengan aku, diri atau entitas apapun. Tapi lihatlah pikiran hanya sekedar pikiran, seperti ketika seseorang melihat, itu hanya sekedar melihat, mendengar hanya sekedar mendengar, dst.
About your question as to whether or not, I personally experience, I prefer not to speak from personal experience but from what the Buddha said preserved in the Buddhist scriptures or from competent and leading meditation teachers.
May u be happy.