krn wnya merasa bertambah wawasan, jadi wnya postkan yoo...
setelah baca buku ini, wnya jadi lbh jelas ttg uposatha...^^/
w hanya post bagian tanya jawabnya aja yoo... ^^/
klo misalnya repost, silahkan diapa2in threadnya yoo mod2...
sumber: Uposatha-Sila Pengamalan delapan sila karya Somdet Phra Buddhaghosacariya(Nanavara Thera)
T. Apakah arti kata Uposatha?
J. Artinya hari pengamalan (dgn berpuasa)*
*[editor]Umumnya Uposatha bisa diartikan sebagai hari Uposatha, Uposatha-sila & pengamalan Uposatha sila pada hari Uposatha.
T. Secara ringkas apa saja kedelapan sila Uposatha?
J. Mereka adalah :
1. Tidak membunuh
2. Tdk mengambil barang yg tdk diberikan
3. Tdk melakukan hub. seks
4. tdk berbohong
5. Tdk mengkonsumsi minuman beralkohol
6. Tdk makan pada waktu yg salah
7. Tdk bernyanyi, menari atau menonton hiburan. Dan tdk memakai perhiasan, kosmetik atau parfum
8. Tdk duduk atau berbarting di tempat duduk atau tempat tidur yg besar atau tinggi
T. Apakah makna Sutta ini mirip dgn
paccavekkhana (perenungan) yg dibaca umat setiap sore hari-
dhammassavana(mendengarkan Dhamma)?
J. Ya.
T. Bila seseorang mengetahui arti dari apa yg dibacakan, dan pada saat pembacaan memusatkan pikiran pada maknanya, itu akan membuat pikirannya menjadi tenang dan diliputi sifat kebaikan (
kusala-dhamma) serta mendatangkan manfaat yg besar sekali. Mungkin praktek ini akan membuat pelaksana sesaat terbebas dari berbagai rintangan (
tadangapahana) : apakah ini dapat dianggap sbg pelaksanaan
silanussati, perenungan atas moralitas?
J. Ya.
T. Secara singkat, ada berapa kemungkinan dalam pelanggaran kedelapan sila Uposatha?
J. Ada dua kemungkinan : melalui badan jasmani dan melalui ucapan. Dari kedelapan sila, jika seseorang melanggar satu sila, maka itu dilakukan melalui badan jasmani. Jika seseorang menyuruh org lain melakukannya, maka pelanggaran sila itu dilakukan melalui ucapan.
Pelanggaran sila yg dilakukan atas usaha diri sendiri dikenal sebagai
sahattikapayoga. Menyuruh org lain melakukan tindakan yg melanggar sila disebut
anattikapayoga.Seseorang yg berhati2 dan tdk menyimpang dari siula adalah org yg bermoral (bajik). Kaum bijak berkata bahwa
sila, atau pengamalan sila merupakan sarana di mana badan jasmani dan ucapan dapat dimurnikan. Itu merupakan suatu cara utk memusnahkan kekotoran batin (
kilesa) yg kasar yg menyembul melalui badan jasmani dan ucapan.
T. Dgn mempertimbangkan semua sila uposatha, dlm hal pelanggarannya ada berapa jenis kesalahan? Apa saja?
J. Yg pertama disebut
lokavajja**, atau kesalahan duniawi (dicela dunia) yg seyogianya dihindari semua umat. Yg kedua disebut
pannattivajja.Terlepas dari apakah org2 sedang berupaya mengamalkan sila2 tsb atai tdk apabila mereka melakukan sesuatu yg bertentangan dgn sila pertama(tdk membunuh), kedua(tdk mencuri), keempat(tdk berbohong) dan kelima(tdk mabuk2an), hal itu disebut
lokavajja. Dalam hal ini diri sendirilah yg rugi dan dunia akan mencela/menghukumnya. Sedangkan utk sila ketiga(tdk melakukan perbuatan yg tdk suci/asusila) dan ketiga sila terakhir(tdk makan lwt tengah hari, tdk nyanyi, nari, nonton, menggunakan kosmetik, bunga2an, perhiasan, wangi2an dgn tujuan mempercantik diri, tdk duduk atopun berbaring di tempat duduk/tidur yg tinggi atopun mewah), jika dilanggar disebut
pannattivajja. Hal ini terjadi bila seseorang berniat utk melanggar janji yg telah diucapkannya. Jika tdk ada maksud utk melanggar janji tsb, maka tdk ada kesalahan.
<Juga ada apatti (pelanggaran) yg dikenal sbg lokavajja (kesalahan duniawi), di mana org awam yg bukan bhikkhu dapat pula melakukan kesalahan demikian, dan akibatnya akan ditanggung mereka sendiri, misalnya mencuri, membunuh, dan bahkan tindakan salah lainnya yg lbh ringan, misalnya memukul, mencaci maki, menyiksa, dan sebagainya
(the Entrance to the Vinaya, Vol. I, hal. 15)
T. Ada berapa jenis akibat buruk yg timbul dlm pelanggaran sila, dan apa saja?
J. Ada dua jenis : 1. Menimbulkan akibat buruk (
vera)
2. Tdk menimbulkan akibat buruk (secara langsung)
Pelanggaran sila pertama, kedua, keempat, dan kelima menimbulkan akibat buruk bagi si pelanggar, yaitu : buah/hasil perbuatannya akan berbuah di masa mendatang, misalnya berusia pendek. Sedangkan pelanggaran sila ketiga dan ketiga sila terakhir tdk menimbulkan akibat buruk dari perbuatan itu sendiri. [Editor: tetapi ada pelanggaran terhadap janji yg telah diucapkan.]
T. Dalam sila pertama dinyatakan bahwa seseorang harus meletakkan tongkat pemukul dan senjata tajam, apa artinya?
J. Itu semata2 berarti seseorang telah meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, dan bukan seorang pembunuh. Misalnya, jika seseorang membunuh dgn menggunakan alat (senjata), maka apabila ia meletakkan atau mencampakkan alat tsb (senjata), pembunuhan takkan terjadi. Menurut sutta ini, ada dua jenis senjata : tumpul dan tajam. Jika alat tsb tumpul, maka dikategorikan sbg tongkat pemukul. Jika alatnya tajam, maka itu termasuk kategori senjata tajam. Ada banyak jenis alat yg digunakan utk membunuh, namun secara umum bisa dikategorikan menjadi dua jenis: tajam dan tidak tajam.
T. Sila kelima berkenaan dgn minuman beralkohol (
sura dan
meraya). Ada berapa jenis minuman beralkohol dan apa saja?
J. Ada sepuluh jenis minuman beralkohol, lima jenis
sura dan lima jenis
meraya.
Minuman keras jenis
sura: minuman beralkohol yg
1. Terbuat dari tepung terigu.
2. Terbuat dari penganan.
3. Terbuat dari beras.
4. Terbuat dari ragi.
5. Terbuat dari kombinasi bahan2 (di atas).
Minuman keras jenis
meraya : minuman beralkohol yg
1. Terbuat dari bunga
2. Terbuat dari buah
3. Terbuat dari madu
4. Terbuat dari tebu
5. Terbuat dari kombinasi bahan2 (diatas).
T. Dalam sila kelima tdk disebutkan obat terlarang spt candu dan marijuana. Apabila seseorang mengamalkan uposatha-sila atau
nicca-sila (lima sila sebagai latihan permanen) dan menggunakan zat2 ini, apakah ia melanggar sila?
J. Pelanggaran terjadi apabila ia menggunakan candu atau marijuana. Brandy, champagne dan minuman beralkohol lainnya (walaupun tdk disebutkan secara khusus) tercakup dalam
sura dan
meraya. Namun jika digunakan utk tujuan medis/pengobatan dalam jumlah kecil dan tdk menimbulkan kemabukan, maka tdk terjadi pelanggaran sila.
T. Pada sila keenam (dalam
Uposatha-Sutta) dinyatakan makan hanya sekali sehari, apakah salah jika makan lebih dari satu kali?
J. Sebelum pertanyaan ini dapat dijawab, harus diketahui "waktu" (
kala) terlebih dahulu. Waktu makan ada dua :
1.
Purebhatta-kala : sebelum waktu makan
2.
Pacchabhatta-kala : sesudah waktu makan.
Waktu dari subuh/dinihari hingga tengah hari dinamakan
Purebhatta-kala. Seseorang boleh makan lebih dari sekali pada periode pertama. Dari senja hingga subuh/dinihari berikutnya disebut
ratti (malam), dan tdk diperbolehkan makan dalam jangka waktu ini. Inilah maksud dari kata2 yg tercantum dalam sila tersebut agar org tdk makan pada waktu malam hari.
T. Dalam sila keenam, dinyatakan bahwa seseorang akan menahan diri dari makanan pada waktu
vikala. Kapankah
kala dan kapankah
vikala?
J. Dari subuh/dinihari [Editor: patokannya adalah tanpa menggunakan lampu org dapat melihat garis tangannya sendiri] hingga tengah hari [Editor: matahari berada di titik kulminasi tertinggi] disebut
kala (waktu yg sesuai) atau waktu di mana para Buddha dan Ariya menyantap makanan. Dari tengah hari hingga subuh/dinihari pada keesokan harinya adalah
vikala atau waktu yg tdk sesuai utk makan.
T. Sila ke-7 menyatakan agar menahan diri utk tdk menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Apakah patut bila seseorang menyuruh org lain menyajikan pertunjukan kemudian ia menontonnya?
J. Itu tdk patut.
T. Jika demikian halnya, maka sila ketiga hingga kedelapan hanya dilanggar bila itu adalah niat org itu sendiri dan tdk dilanggar bila seseorang menyuruh org lain utk melakukannya. Betulkah demikian?
J. Jika A membuat/menyuruh B menari atau menyanyi, dan ia tdk menonton atau mendengarkannya. Dlm hal ini sila tdk dilanggarnya, walaupun bukan atas perintah mereka utk menyanyi/menari. Bahkan bagi seseorang yg menyuruh org lain menonton kegiatan tsb, ia tdk melanggar sila tersebut.
T. Dlm sutta di atas hanya disebut "menonton (pertunjukan)". Dalam hal ini, apakah mendengarkan musik tdklah patut bagi mereka yg ber-uposatha?
J. Mendengarkan musik tdklah patut bagi mereka yg ber-uposatha. Para Acariya
Atthakatha (Guru2 penulis komentar sutta) berpendapat, "mendengarkan" termasuk dalam "menonton (pertunjukan)"
T. Mengapa para Acariya memasukkan pengertian "mendengarkan" ke dalam "menonton (pertunjukan)"?
J. Menurut para
Acariya, pelanggaran sila terltk pd usaha yg dilakukan utk pergi menonton pertunjukan. Jika kita sedang berdiri, duduk, atau berbaring di kediaman kita, yaitu jika kita tdk berusaha utk pergi dan menonton, dan jika pertunjukan atau hiburan datang kepada kita atau lewat di hadapan kita, itu bukanlah suatu pelanggaran, walaupun sila akan menjadi goyah. Tetapi dlm situasi manapun, tdk mendengarkan atau menonton adalah yg terbaik. Mendengarkan lagu atau bernyanyi adlh pelanggaran sila, kecuali utk balada yg berisikan Dhamma yg dpt membangkitkan keyakinan/ iman dan membangkitkan perasaan letih terhadap penderitaan hidup. Misalnya, suatu ketika seseorg bhikkhu senior (Thera) mendengar seorang budak wanita bersenandung ttg kesusahan hidup. Ketika Sang Thera mendengar ini, tampak olehnya penderitaan yg berkepanjangan dan ia segera meraih
Magga-Phala (tingkat kesucian). Lagu jenis demikian boleh didengarkan dan tdk berakibat buruk.
T. Apakah sila ke-7 dilanggar bila seseorang menggunakan bedak kosmetik bukan demi kecantikan diri melainkan utk menolak penyakit?
J. Sila tdk dilanggar. Yg terpenting dari sila tsb adalah menghindari benda kosmetik yg bertujuan utk mempercantik diri dan bukan yg bersifat pengobatan.
T. Sila ke-8 tdk membolehkan penggunaan tempat tidur yg tinggi atau besar. Belum jelas apa yg dimaksudkannya. Mungkin bahkan org yg mengamalkan sila inipun tdk memahaminya betul. Apakah yg dimaksud dgn tempat tidur besar, dan apa kriteria yg membuat tempat tidur besar tdk diperbolehkan?
J. Tempat tidur dan bangku, terbuat dari papan, rotan atau kain, boleh memiliki kaki yg lurus atau melengkung. Tempat tidur tdk boleh lbh tinggi dari 8 inci-
sugata* (kira2 20 inci modern) diukur dari dasar/alas papan ke bwh. Tempat tidur yg melebihi ketinggian tsb tdk diizinkan. Utk bangku persegi, bahkan jika kakinya sedikit melebihi 8 inci-
sugata masih diperbolehkan. Utk tempat tdr yg mempunyai sandaran blkng atau samping, jika sedikit melebihi ukuran tsb di atas juga diizinkan. Tempat tidur atau bangku yg pjg kakinya lbh dari yg diperbolehkan namun tak dpt dipindah2kan juga dibenarkan. Tempat tidur tanpa kepala blh ditinggikan dgn meletakkan kayu di bawah kakinya namun tdk boleh melebihi 8 inci-
sugata. Tempat tidur dan tempat duduk tinggi cenderung menimbulkan kesombongan dan kesenangan. Jadi tujuan utk tdk duduk atau berbaring di tempat tidur atau tempat duduk tinggi adalah utk menghindari kemungkinan terjadinya hal2 tsb yg mengarah pada timbulnya nafsu2 inderawi.
*[Editor] Oleh Bhikkhu Thanissaro, dlm bukunya yg berjudul "The Buddhist Monastic Code" dikatakan bahwa 1 inci-sugata adalah 2,08 cm. Para pembaca dpt merujuk ke buku tsb utk mengetahui alasan2nya.
T. Apa saja ciri2 tempat tidur dan bangku ?
J. Tempat tidur btknya panjang dan utk berbaring. Bangku adalah utk diduduki dan bisa berbtk (bersisi) bulat atau segi empat.
T. Dgn ukuran berapa hastakah yg diperbolehkan utk tempat duduk/tidur agar tdk termasuk terlalu besar?
J. Tempat duduk/tidur tdk diukur dgn cara demikian. Istilah "besar" di sini merujuk pada penutup dan dekorasi yg seyogianya tdk digunakan.
Para Acariya
Atthakatha telah menguraikan 19 ciri yg dpt dikategorikan sbg "besar" :
1. Tempat duduk/tidur yg dihiasi dgn gbr binatang buas spt harimau, buaya dan sebagainya.
2. Kulit binatang dgn bulu2 pjg (melebihi 4 inci).
3. Penutup yg terbuat dari wol, penuh dgn sulaman yg rumit (tdk sederhana).
4. Penutup yg terbuat dari wol dgn desain rumit (tdk sederhana).
5. Penutup yg terbuat dari wol dgn gbr2 bunga.
6. Penutup yg terbuat dari wol dgn gbr2 rumit dari berbagai jenis hewan.
7. Penutup yg terbuat dari wol, dgn bulu2 di kedua sisi.
8. Penutup yg terbuat dari wol, dgn bulu2 di satu sisi.
9. Penutup yg terbuat dari kulit harimau.
10. Kain penutup berwarna merah.
11. Pengalas dari kulit gajah.
12. Pengalas dari kulit kuda
13. Pengalas kereta kuda.
14. Penutup yg ditenun dari benang emas dan sutra lalu dilipit (dijahit-pinggir) dgn benang emas.
15. Penutup tenunan sutra dan dilipit dgn benang emas.
16. Penutup dari wol yg cukup luas bagi 16 penari utk menari di atasnya.
17. Penutup yg terbuat dari kulit musang kesturi.
18. Tempat tidur dgn bantal merah pada kedua ujungnya.
19. Matras yg diisi dgn kapuk saja.
Penjelasan lain dari istilah "besar" atau "luas" di sini merujuk pada tempat tidur yg cukup besar utk dua org atau lbh. Mereka yg mengamalkan sila uposatha menjauhi tenpat tidur demikian.
T. Apa saja isi matras/tilam yg diperkenankan?
J. Mereka adalah :
1. Matras/tilam yg diisi dgn kain.
2. Matras/tilam yg diisi dgn kulit pohon.
3. Matras/tilam yg diisi dgn rumput.
4. Matras/tilam yg diisi dgn daun, kecuali daun
Borneo camphor. Daun
Borneo camphor, Jika dicampur dgn dedaunan lain diperbolehkan. Matras yg tsb di atas diperkenankan oleh Sang Buddha.
T. Menurut Sutta, tdk diperkenankan berbaring di tempat tidur yg besar dan tinggi. Apakah duduk di atas tempat tidur yg besar dan tinggi dianggap melanggar sila?
J. Walaupun Sutta hanya menyebut berbaring, duduk tercakup juga di dlmnya oleh para Acariya
Atthakatha. Ini mirip dgn sila ke-7, di mana para Acariya
Atthakatha juga memasukkan "mendengarkan" dlm larangan menonton tarian, nyanyian dan sbgnya. Berdiri atau berjalan di atas tempat duduk atau tempat tidur tdk dilarang.
T. Jika seseorang tdk memahami kerumitan (dlm menaati sila) sebagaimana yg diterangkan di sini, apakah mungkin bagi seseorang utk terhindar dari berbagai pelanggaran dan mampu menahan diri dgn baik sehubungan dgn sila?
J. Ini sama saja halnya dgn kasus seorang penukar uang yg tdk bisa membedakan uang kertas asli dgn yg palsu. Mungkin saja ia akan menyimpan uang kertas palsu dan membuang uang kertas asli, atau secara kebetulan menyimpan yg asli dan membuang yg palsu. Dlm situasi apapun org lain tdk berani mempercayai keaslian dari uang org ini. Atau spt peralatan sang perajin emas, jika dia tdk tahu berapa byk palu, pengikir dan peralatan lain yg dimilikinya dgn ukuran segini atau segitu. Dan jika peralatannya hilang, dicuri atau ditukar dgn alat yg jelek, bagaimana ia mengetahuinya? Pada saat ia sadar akan hal ini, kebykan dari peralatannhya tlh hilang. Apabila peralatan sang perajin emas jelek maka pekerjaannya pun akan jelek. Demikian pula halnya dgn sila Uposatha.
segini dulu yoo yg wnya postin...^^""
msh byk lagi sih sebenarnya...^^"
tapi wnya, dah capee nihh...-_-/"""
moga bermanfaat.... dan menambah wawasan pembaca sekalian...\
/
Metta cittena,
Citta