Saya punya pendapat yang berbeda dengan Anda. Sejak awal tidak ada tujuan apa pun, oleh karena itu tidak ada jalan. Yang ada hanyalah sadar akan saat sekarang, sadar akan corak kehidupan yang tidak pernah memuaskan (dukkha), tanpa mengharapkan apa pun, oleh karena si aku tidak mungkin melenyapkan dukkha, yang adalah dirinya sendiri. Sadar itu sendiri membawa perubahan radikal; tidak perlu menempuh jalan apa pun, yang hanya merupakan impian si aku. Masalahnya adalah banyak orang yang tidak mau sadar, karena asyik melekat pada si aku dan milikku dan agamaku, yang dianggapnya membahagiakan dan kekal. Di samping itu, ada pula orang yang sudah mulai sadar akan dukkha karena dia belajar agama Buddha sedikit, tapi tidak sadar bahwa dukkha bersumber pada si aku, sehingga si aku mencari jalan untuk keluar dari dukkha, si aku ingin mencapai kebahagiaan abadi, mencapai nibbana, yang adalah mustahil, karena pada dasarnya si aku itu sendiri adalah dukkha. Tanpa mengenali si aku, Jalan Mulia Berunsur Delapan di dalam agama Buddha hanyalah narkoba yang membuat umat Buddha puas diri, dan tidak benar-benar sadar. Itu bukan ajaran Sang Buddha.
Ya Pak Hud pendapat kita memang berbeda, mungkin dari sudut pandang yang berbeda. Dalam penjelasan Pak Hud sendiri di atas, sangat jelas bagi saya bahwa adanya tujuan dan “Sang Jalan”. Ketika Pak Hud mengatakan “Masalahnya adalah banyak orang yang tidak mau sadar, karena asyik melekat pada si aku dan milikku dan agamaku”, maka tujuannya tidak lain adalah menjadi sadar, dan jalannya adalah cara dari tidak sadar menjadi sadar (termasuk cara “tanpa niat” “tanpa viriya” “tanpa mencatat”). Melekat pada si aku dan milikku dan agamaku, inilah mereka yang masih berada dalam jalan dan terlalu asyik melihat jalan itu, mereka belum melangkah lebih jauh atau keluar dari ujung jalan.. Ini dari yang saya pahami apa adanya Pak Hud (ini bukan berarti saya telah Yathabhutam Nyanadassanam loh Pak Hud).
"Tujuannya adalah sadar"? ... hehehe, 'sadar' jangan dijadikan "tujuan", seperti 'nibbana' adalah tujuan Anda. ... Kalau 'sadar' dijadikan "tujuan", maka Anda tidak akan pernah sadar. ... 'Sadar' itu harus ada SEKARANG, pada SAAT KINI, biarpun hanya sebentar, hanya sementara. ... Dan apa yang 'ada sekarang' tidak bisa dibilang "tujuan".
Mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Seperti kita ketahui bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan berada dalam naungan Empat Kebenaran Arya. Dan seperti yang pernah Pak Hud sampaikan bahwa dalam Dhammacakkapavatana Sutta, Sang Buddha melihat apa adanya, Yathabhutam Nyanadassanam, tentang Empat Kebenaran Arya. Dengan demikian Empat Kebenaran Arya adalah terlihat dari/dalam pemikiran yang murni, jelas, tanpa bias. Point ke-4 Empat Kebenaran Arya adalah Jalan menuju Akhir Dukkha yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan demikian secara otomatis Jalan Mulia Berunsur Delapan terlihat dalam Yathabhutam Nyanadassanam. Jadi jika dalam pemahaman Yathabhutam Nyanadassanam menyatakan/terlihat adanya jalan maka ada jalan.
Apa yang Anda katakan itu adalah AJARAN agama Buddha. Jangan dicampuradukkan dengan KEBENARAN. Kebenaran--yang bukan milik Buddha, bukan milik siapa pun--ada di balik 4KM/JMB-8 itu. -- Ketika Sang Buddha mencapai pencerahan, ia melihat apa adanya (yathabhutam nyanadassanam), yaitu KEBENARAN, lalu mengajarkan SESUATU yang kemudian berkembang menjadi agama Buddha dan dikenal sebagai AJARAN 4KM/JMB-8. Tetapi 4KM/JMB-8 itu bukanlah Kebenaran itu. Kebenaran bukanlah rumusannya; karena Kebenaran itu satu dan rumusan kebenaran itu banyak. The word is not the thing. -- Saya pribadi tidak lagi menganut 4KM/JMB-8 sebagai rumusan kebenaran. Saya pribadi merasa lebih cocok dengan sabda Sang Buddha: "Para bhikkhu, saya hanya mengajarkan dukkha dan lenyapnya dukkha." Titik. Tidak ada JMB-8 di situ. Bagi saya, sabda Sang Buddha itu lebih cocok dengan pengalaman vipassana saya; tidak terlalu banyak kata-kata, pikiran digunakan di situ seperti dalam 4KM/JMB-8. -- Bahkan saya lebih cocok lagi dengan sabda Sang Buddha, "Pafra bhikkhu, seperti samudra mempunyai satu rasa yakni rasa asin, begitu pula Dhamma ini mempunyai satu rasa, yakni rasa pembebasan." Dhamma adalah pembebasan, dan pembebasan adalah sadar. Titik. Tidak bertele-tele dengan kata-kata, rumusan, bahasa.
Nah, Pak Hud, dari kedua alasan di atas (alinea 1 dan 2) saya sebagai puthujjana yang masih suka kue putu, berpendapat bahwa adanya jalan.
Silakan. Sikap saya sudah jelas dalam thread ini. Kalau sadar itu terjadi pada saat sekarang, tidak ada tujuan di masa depan, dan tidak ada jalan untuk mencapai tujuan itu.
Pak Hud mengatakan “Tanpa mengenali si aku, Jalan Mulia Berunsur Delapan di dalam agama Buddha hanyalah narkoba….”. Saya sependapat dengan Pak Hud, JIKA kalimat “tanpa mengenal si aku” tidak terlepas dari kalimat “Jalan Mulia Berunsur Delapan di dalam agama Buddha hanyalah narkoba”. Tanpa ketelitian gabungan kalimat Pak Hud ini akan membuat orang tanpa harapan. Di lain sisi, setahu saya dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan sendiri ada cara mengenali si Aku. Pandangan Benar, Pikiran Benar dan Samadhi Benar adalah jalan mengenal si Aku. Oleh karena itu tanpa ketiganya yang merupakan jalan mengenal si aku maka tidak akan ada Jalan Mulia Berunsur Delapan, dimana kelima ruas yang lain akan menjadi norma-norma biasa yang bisa menjadi narkoba. Tapi saya yakin kelima norma/ruas jalan itu meskipun dikatakan narkoba tapi jika penggunaannya benar dan tidak melekat sehingga kecanduan, maka akan memiliki dampak baik. Seperti halnya Narkoba yang dipergunakan untuk kesehatan yaitu mengurangi sakit, dan kelima norma/ruas jalan itu pun dapat mengurangi beban, sakit, dukkha.
Bila Anda benar-benar mengenali aku, tidak ada lagi konsep-konsep "pandangan benar, pikiran benar, samadhi benar" dll itu, Bahkan tidak ada lagi konsep "BENAR" (SAMMA-) dan "TIDAK BENAR" (MICCHA-). Tidak ada lagi 4KM/JMB-8.
Perkara 'narkoba', silakan saja main-main dengan narkoba. Saya tidak.
Salam,
hudoyo