4. JEBAKAN-JEBAKAN DALAM KENIKMATAN INDRIA(1) Memotong Segala Urusan[Perumah-tangga Potaliya bertanya kepada Sang Bhagavā:] “Yang Mulia, bagaimanakah terpotongnya urusan-urusan [3] dalam Disiplin Yang Mulia tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara? Baik sekali, Yang Mulia, jika Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku, menunjukkan kepadaku bagaimana terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara.”
“Maka dengarkanlah, perumah-tangga, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”
“Baik, Yang Mulia,” Potaliya si perumah-tangga menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
15. “Perumah-tangga, misalkan seekor anjing, yang dikuasai oleh rasa lapar dan lemah, sedang menunggu di dekat sebuah toko daging. Kemudian seorang tukang daging terampil atau pelayannya akan melemparkan tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Akankah anjing itu terpuaskan lapar dan lemahnya dengan menggerogoti tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih itu?”
“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena itu adalah tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih. Akhirnya anjing itu akan menemui keletihan dan kekecewaan.”
“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai tulang-belulang oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menghindari keseimbangan yang beragam, berdasarkan pada keberagaman, dan mengembangkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada keterpusatan, [4] di mana kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.
16. “Perumah-tangga, misalkan seekor burung nasar, seekor burung bangau, seekor burung elang menyambar sepotong daging dan terbang, dan kemudian sekumpulan burung nasar, sekumpulan burung bangau dan sekumpulan burung elang lainnya mengejarnya dan mematuk dan mencakarnya. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Jika burung nasar, burung bangau, atau burung elang itu tidak segera melepaskan sepotong daging itu, bukankah dengan cara itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena daging itu?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai sepotong daging oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.
17. “Perumah-tangga, misalkan seseorang membawa obor rumput menyala dan pergi melawan arah angin. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Jika orang itu tidak segera melepaskan obor rumput menyala itu, bukankah obor rumput menyala itu akan membakar tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, sehingga ia dapat mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena obor rumput menyala itu?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai obor rumput oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.
18. “Perumah-tangga, misalkan terdapat sebuah lubang bara api sedalam tinggi seorang manusia penuh dengan bara api tanpa api atau asap. Kemudian seseorang datang menginginkan kehidupan tidak menginginkan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang bara api tersebut. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Apakah orang itu akan menggeliatkan tubuhnya ke sana dan kemari?”
“Benar, Yang Mulia. Mengapakah? Karena orang itu mengetahui bahwa jika ia jatuh ke dalam lubang bara api itu, maka ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan karenanya.”
“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai lubang bara api oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.
19. “Perumah-tangga, misalkan seseorang bermimpi tentang taman-taman yang indah, hutan-hutan yang indah, padang rumput yang indah, dan danau yang indah, dan ketika terbangun ia tidak melihat apa-apa. Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai mimpi oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.
20. “Perumah-tangga, misalkan seseorang meminjam barang-barang – sebuah kereta indah dan anting-anting permata yang bagus – dan dengan barang-barang pinjaman itu ia pergi ke pasar. Kemudian orang-orang, ketika melihatnya, akan berkata: ‘Tuan-tuan, itu ada orang kaya! Itu adalah bagaimana orang kaya menikmati kekayaannya!’ kemudian pemilik barang-barang itu, ketika melihatnya, akan mengambil kembali barang-barang itu. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Cukupkah hal itu untuk membuat orang itu bersedih?”
“Benar, Yang Mulia. Mengapakah? Karena pemilik barang-barang itu mengambil kembali barang-barang miliknya.”
“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai barang-barang pinjaman oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.
21. “Perumah-tangga, misalkan terdapat sebuah hutan lebat tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, di dalamnya terdapat sebatang pohon yang penuh buah-buahan tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Kemudian seseorang datang memerlukan buah, mencari buah, mengembara mencari buah, dan ia memasuki hutan dan melihat pohon itu yang penuh buah-buahan. Kemudian ia berpikir: ‘Pohon ini penuh dengan buah tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Aku tahu cara memanjat pohon, aku akan memanjat pohon ini, memakan buah sebanyak yang kuinginkan, dan memenuhi tasku.’ Dan ia melakukan hal itu. Kemudian seorang lainnya datang memerlukan buah, mencari buah, mengembara mencari buah, dan dengan membawa kapak tajam ia memasuki hutan dan melihat pohon itu yang penuh buah-buahan. Kemudian ia berpikir: ‘Pohon ini penuh dengan buah tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Aku tidak tahu cara memanjat pohon, aku akan menebang pohon ini di akarnya, memakan buah sebanyak yang kuinginkan, dan memenuhi tasku.’ Dan ia melakukan hal itu. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga, jika orang pertama yang telah memanjat pohon itu tidak segera turun ketika pohon itu tumbang, apakah tangan atau kaki atau bagian tubuh lainnya akan patah, sehingga ia dapat mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena hal itu?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai buah-buahan di atas pohon oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menghindari keseimbangan yang membeda-bedakan, berdasarkan pada keberagaman, dan mengembangkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada keterpusatan, di mana kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.”
(dari MN 54: Potaliya Sutta; I 364-66)
(2) Demam Kenikmatan Indria10. “Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. [5] Aku memiliki tiga istana, satu untuk musim hujan, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim panas. Aku menetap di istana musim hujan selama empat bulan musim hujan, menikmati para musisi, tidak ada yang laki-laki, dan Aku tidak turun ke istana yang lebih rendah. [6]
“Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu pada kenikmatan indria dilahap oleh nafsu pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. [7] Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.
11. “Misalkan, Māgandiya, seorang perumah-tangga atau putera perumah-tangga kaya, berlimpah, dengan banyak harta kekayaan, dan memiliki lima utas kenikmatan indria, ia menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Setelah berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mungkin muncul kembali di alam bahagia, di alam surga di antara para pengikut para dewa Tiga Puluh Tiga; dan di sana, dengan dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, [8] ia menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi. Misalkan ia melihat seorang perumah-tangga atau putera perumah-tangga menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria [manusiawi]. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah dewa muda itu yang dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, yang menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi, iri pada perumah-tangga atau putera perumah-tangga atas lima utas kenikmatan indria manusia atau apakah ia akan tertarik pada kenikmatan indria manusia?”
“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena kenikmatan indria surgawi adalah lebih unggul dan lebih luhur daripada kenikmatan indria manusiawi.”
12. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria dilahap oleh nafsu pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.
13. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke manapun yang ia sukai. Kemudian ia mungkin melihat penderita penyakit kusta lainnya dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu iri pada penderita kusta itu karena lubang bara api menyala atau pengobatannya?”
“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena ketika ada penyakit, maka ada kebutuhan akan obat-obatan, dan ketika tidak ada penyakit, maka tidak ada kebutuhan akan obat-obatan.”
14. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga … (seperti pada §12) … Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.
15. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan membuatkan obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke manapun yang ia sukai. Kemudian dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang bara api menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu akan menggeliatkan badannya ke sana dan ke sini?”
“Benar, Guru Gotama. Mengapakah? Karena api itu sungguh menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar.”
“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah hanya pada saat ini api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, atau sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar?”
“Guru Gotama, api itu pada saat ini menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, dan sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Karena ketika orang itu adalah seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, maka indria-indrianya terganggu; demikianlah, walaupun api itu sesungguhnya menyakitkan ketika disentuh, namun ia memperoleh persepsi salah sebagai menyenangkan.”
16. “Demikian pula, di masa lalu kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; di masa depan kenikmatan indria akan menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; dan sekarang pada masa kini kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Tetapi makhluk-makhluk ini yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, memiliki indria-indria yang telah rusak; demikianlah, walaupun kenikmatan indria sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, namun mereka memperoleh persepsi keliru menganggapnya sebagai menyenangkan. [9]
17. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala; semakin ia menggaruk bagian kulitnya yang melepuh dan semakin ia membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala, maka luka-lukanya itu akan menjadi semakin membusuk, semakin bau, dan semakin terinfeksi, namun ia memperoleh suatu kepuasan dan kenikmatan dalam menggaruk luka-lukanya itu. Demikian pula, Māgandiya, makhluk-makhluk yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh nafsu akan kenikmatan indria, yang terbakar oleh demam akan kenikmatan indria, masih menuruti kenikmatan indria; semakin makhluk-makhluk itu menuruti kenikmatan indria, maka semakin meningkat pula keinginan mereka akan kenikmatan indria dan semakin mereka terbakar oleh demam mereka terhadap kenikmatan indria, namun mereka memperoleh kepuasan dan kenikmatan dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria.”
(dari MN 75: Māgandiya Sutta; I 504-8)