Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Theravada

45 tahun Sang Buddha

<< < (2/6) > >>

Indra:
Usaha yang Keliru

Kesulitan yang ditemukan dalam beberapa kasus adalah kekeliruan, walaupun bermakna benar, usaha yang bingung akan fungsi satu Kebenaran dengan Kebenaran lainnya. Tentu saja, ini menghasilkan lebih banyak, bukan lebih sedikit, kesulitan atau Dukkha. Contohnya dapat dilihat dalam kasus-kasus mereka yang dikuasai oleh kesedihan karena kekecewaan. Karena putus asa, mereka bahkan melakukan bunuh diri, secara naif menyimpulkan bahwa hal itu jalan keluar yang lebih baik, atau bahkan yang terbaik. Kebodohan mereka atas fakta bahwa tubuh yang akan mereka bunuh bukanlah penderitaan sebenarnya, melainkan, itu termasuk, sejauh pembahasan pada usia tua, penyakit, dan kematian, dalam manifestasi Dukkha atau Penderitaan, yang harus ditetapkan demikian, tidak boleh dihancurkan atau dibunuh. Apa yang harus dibunuh atau dilenyapkan adalah Penyebab atau Asal-mula Dukkha yaitu Keinginan dalam berbagai bentuk dan tingkat. Secara kolektif, adalah apa yang oleh naskah-naskah disebut Kilesa atau Kekotoran, yang dalam satu pengertian dikelompokkan sebagai Keserakahan (atau Nafsu), Kebencian dan Kebodohan. Untuk mengulangi, semua ini melekat pada pikiran seseorang. Untuk melenyapkan, atau minimal mengurangi, gejala Dukkha, adalah keharusan bagi  seseorang untuk menanggulangi langsung dari sumbernya, yang adalah Keinginan yang dibiarkan berkeliaran bebas, - yang merusak dirinya.

Bahwa banyak perselisihan sering kali berakhir dengan kekerasan kriminal sebagai penyerangan atau pembunuhan adalah contoh lain dari suatu diagnosa keliru, yang diikuti sebagai akibat dari penanganan yang keliru, dalam arti kiasan. Kedua belah pihak telah meningkatkan Dukka mereka dan melepaskan kemarahan mereka pada pihak lainnya, yang bukan merupakan penyebab dari perselisihan itu. Apa yang seharusnya mereka kalahkan, atau bahkan bunuh, adalah kemarahan atau kebencian mereka sendiri dalam pikiran mereka sendiri, yang adalah Samudaya atau penyebab sesungguhnya dari Dukkha dalam kasus mereka.

Sehubungan dengan Nirodha atau Padamnya Dukkha, disarankan bahwa ketika seseorang telah maju dalam praktiknya hingga mereka mampu menenangkan pikirannya hingga tingkat tertentu, maka pertama-tama ia harus mempertahankan dan memeliharanya. Setelah itu ia harus memperkuat atau meningkatkan intensitasnya hingga kokoh. Akan tetapi, sungguh disesalkan bahwa sebagian besar orang hanya sedikit mempedulikan ketenangan batin. Meskipun faktanya kondisi batin demikian lebih kurang dapat tercapai, walaupun pada saat-saat yang tidak mereka sadari. Kekotoran sebagai Keinginan demikian tidak secara aktif menguasai batin selamanya, kalau tidak maka batin, yang tanpa istirahat, akan sangat terbebani dan tak mampu bertahan. Orang-orang kadang-kadang dapat bersantai dan mendapatkan istirahat berkat saat-saat ‘istirahat’ di sela-sela waktu-waktu sibuk itu. Ini adalah fakta yang para umat Buddha harus perhatikan pertama-tama dan kemudian berusaha untuk ‘menyelipkan’ lebih banyak dan lebih lama saat-saat santai tersebut ketika ketenangan atau kedamaian dapat menggantikan kekotoran tersebut. Singkatnya, mereka dianjurkan untuk dengan penuh perhatian mempertahankan saat-saat santai yang muncul secara alami dan dengan tekun meningkatkan intensitas dari ketenangan yang diperoleh melalui usaha yang gigih.

MAGGA atau Sang Jalan adalah yang terakhir dari Empat Kebenaran Mulia, tetapi bukan yang paling tidak penting. Seberapa baik ini berfungsi bagi seseorang biasanya bergantung pada seberapa jauh ia telah mengembangkannya – dalam batinnya. Ini menuntut adanya pengamatan-diri yang tulus, menentukan seberapa banyak, atau seberapa kuat, tubuh dari delapan unsur, yaitu, Pandangan Benar, Kehendak Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar. Pengamatan-diri ini harus diikuti dengan koreksi-diri dan perbaikan-diri. Akan tetapi, sering ditemukan dalam banyak kasus di mana umat Buddha yang lebih suka mengamati dan mengoreksi apa yang mereka percaya dalam kelemahan dan kekurangan orang lain. Ini sangat tidak dianjurkan, khususnya sejauh berhubungan dengan aspek praktik Buddhisme. Jika mereka harus mengkritik, adalah kualitas batin mereka sendirilah yang harus dikritik. Setelah itu, mereka dituntut untuk mengemban dua tugas, yang negatif aspek melepaskan di satu pihak dan, yang positif aspek melatih di pihak lain, untuk memenuhi apa yang diharapkan dari mereka.

Fungsi demikian disebut Kiccanana, Pandangan Terang ke dalam fungsi atau komitmen sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran.

Ketika fungsi-fungsi itu telah siap diterima sebagai tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan semaksimal mungkin olehnya, maka akan tiba saatnya di mana muncul dalam diri mereka Katanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang telah dilakukan, yaitu pemenuhan sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia. Adalah melalui pemenuhan demikian maka Sang Buddha mampu menyatakan diriNya demikian, dengan segala manifestasi Dukkha terdeteksi dan dikenali, yang asal-mulanya telah ditinggalkan dan dicabut, yang Padamnya telah tercapai, dengan sarana untuk mencapainya telah dikembangkan dengan sempurna.

Ringkasan Ajaran

Empat Kebenaran Mulia ini adalah ringkasan, atau inti, dari semua tema lain dari AJaran Buddha seperti pada perumpamaan bahwa jejak kaki gajah menutupi jejak semua binatang lainnya. Berdasarkan fungsinya terdapat empat jenis dari apa yang harus dilakukan, sebagai berikut:

1)   Parinneyyadhamma (Apa yang harus diketahui atau dikenali). Ini merujuk pada fenomena Dukkha dalam Kebenaran Mulia Pertama, termasuk segalanya yang ditakdirkan untuk terlahir, mengalami kemunduran dan mati atau lenyap seperti Khandha (kelompok-kelompok unsure kehidupan), âyatana (pintu-pintu indria dan obyek-obyek indria), Dhatu (apa yang disebut ‘unsur-unsur’ atau sifat-sifat materi).

2)   Pahatabbadhamma (apa yang harus ditinggalkan atau dicabut). Ini adalah segala Kilesa (Kekotoran), apapun nama untuk menyebutkannya (Dalam Pali atau Bahasa Indonesia). Demikianlah segala kualitas-kualitas tidak bermanfaat seperti Tiga Akar Kejahatan, Lima Rintangan Batin, Sembilan Polusi dan Enam belas Kekotoran termasuk dalam kelompok ini.

3)   Sacchikatabbadhamma (apa yang harus dicapai) yaitu, hasil praktik dan usaha yang selaras dengan Ajaran Buddha seperti ketenangan batin.

4)   Bhavetabbadhamma (apa yang harus dikembangkan atau dilatih). Ini menunjuk pada praktik kualitas-kualitas bermanfaat seperti apa yang dijelaskan dalam Kelompok Dua, Tiga, dan seterusnya (dalam buku kecil yang berjudul ‘Khotbah Dasar Bertingkat atau Navakovada oleh Pemimpin Tertinggi H.R.H. Prince Vajirananavarorasa).


Apa yang harus dicatat sebagai tambahan adalah bahwa dalam Khotbah Pertama ini fenomena Dukkha digambarkan dengan tidak merujuk pada penyakit, mungkin dengan alasan bahwa penyakit dijelaskan belakangan dalam kata majemuk “Soka-parideva-dukkha-domanassa-upayasa”, di mana kata ‘dukkha’ yang di tengah dimaksudkan merujuk pada penyakit jasmani. Akan tetapi, dalam sumber lain, hanya penderitaan jasmani yaitu, lahir, usia tua, penyakit, dan kematian  disebutkan secara lengkap, dengan padanannya dalam sisi batin yaitu Soka, Kesedihan dan lainnya dihilangkan.

Setelah Khotbah pertama, tercatat bahwa muncul ‘Mata Dhamma’ pada Kondanna, pemimpin dari Lima Petapa, mencerahkannya pada Kebenaran bahwa segala sesuatu yang dilahirkan pasti mengalami kematian atau lenyap. Ini menyiratkan fakta bahwa ia mampu mencapai atau menembus implikasi dari makna Dukkha yaitu segala sesuatu tidak dapat senantiasa stabil atau kokoh. Demikianlah kelahiran akan menuju kematian, kelahiran tidak dapat senantiasa kokoh atau kebal terhadap kematian. Setelah memperoleh Mata-Dhamma, Kondanna memohon penahbisan dari Sang Buddha, yang kemudian memberikannya dengan formula yang dimulai dengan Ehi, yang berarti “Mari, jadilah Bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan sempuna. Semoga engkau berlatih demi Padamnya Dukkha.” Dengan kata tersebut, ia menerima penahbisan dari Sang Buddha sendiri. Cara penahbisan seperti ini disebut Ehibhikkhu-Upasampadà, penahbisan oleh Sang Buddha dengan ucapan yang dimulai dengan ‘Ehi Bhikkhu’.

Khotbah ini disebut Dhammacakkappavattana Sutta, Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Ini sebanding, namun tidak sama, dengan Roda Pusaka dari seorang Cakkavati atau Raja Dunia, yang dipercaya memiliki tujuh pusaka yaitu Roda (sesuatu yang menyerupai Rudal Kendali Balistik), gajah, kuda, permata, perempuan (yaitu ratu), hartawan dan kecakapan, semuanya berfungsi sebagai menteri utama. Ini dikatakan sebagai faktor-faktor pendukung yang tidak bisa habis, atau tanda kebesaran dari individu mulia tersebut. Ini adalah cita-cita dari mereka yang ambisius, puncak dari pencapaian sementara, sejak zaman dulu hingga sekarang, perbedaannya hanya pada cara-cara dan sarana yang digunakan. Dari ketujuh pusaka, Cakka atau roda (yang sebanding dengan rudal kendali balistik) dipercaya sebagai yang paling utama, mungkin karena memberikan kekuasaan mutlak kepada pemiliknya yang dengannya lebih banyak wilayah dapat dikuasai atau ditaklukkan. Sekarang, dalam hal Sang Buddha, Khotbah Pertama-Nya dapat dianggap sebagai meletakkan dasar untuk membangun kerajaan Buddhis dan dengan demikian berfungsi sebagai Pusaka Roda dari Raja Dunia. Akan tetapi Kerajaan Buddha tidak dibangun atau diperluas dengan cara-cara kekerasan atau kekuatan sementara. Namun berdasarkan pada DhammaNya yang damai dan penuh kebahagiaan.

EMPAT KEBENARAN MULIA

Empat ‘Sacca’ Sang Buddha
Pertama-tama harus dicapai
Agar mereka menjadi Ariya
Bagi mereka yang mampu

Menanggung sakit untuk melatih
Ketenangan-Pandangan Terang
Maka dengan itu melenyapkan
Keinginan dengan segala kekuatan mereka

Tentu saja ini termasuk
Ketidak-senangan sebagai lawannya
Dari koin kebenaran yang sama
Keduanya harus ditaklukkan pertama kali

Juga pasangan kembarnya
Kemelekatan-Kejijikan,
Keduanya sebagai kerabat terdekat,
Penggoda dan penjahat.

Tiga gerakan spiral
Dengan masing-masing Kebenaran mencakup tiga kali
Dengan pendakian memutar
Dengan seluruh Empat Kebenaran tercapai.

Mengetahui seperti apa masing-masingnya
Kemudian apa yang harus dilakukan,
Setelahnya bagaimana mengatasinya
Cara-cara yang benar terus-menerus.

Semoga kita para umat Buddha menanggung sakit
Berjuang demi Mata-Dhamma,
Yang adalah keuntungan besar
Yang dengannya kita menguji

Bagaimana Ajaran Buddha kita
Yang tanpa banding, tanpa batas waktu,
-   pelindung bagi semua makhluk,
melalui kita sebagai SaksiNya.

- Bab 2 selesai -

Indra:
ANNATTALAKKHANASUTTA
(Khotbah tentang Karakteritik Bukan-diri)
Yang Mulia Kondanna setelah memperoleh Mata-Dhamma dan diterima menjadi Bhikkhu pertama dalam Buddhisme, Sang Buddha melanjutkan mengajar keempat petapa lainnya dengan berbagai tema Dhamma hingga kedua petapa lainnya, Vappa dan Bhaddiya, juga memperoleh Mata-Dhamma, kemudian memohon penahbisan dan diterima oleh Sang Buddha. Setelah itu ketiga petapa, sekarang telah menjadi para bhikkhu yang telah ditahbiskan, pergi mengumpulkan dana makanan untuk kelompok enam. Beberapa lama kemudian, Petapa Mahanama dan Assaji juga menjadi Pemenang-Arus dan menerima penahbisan dengan cara yang sama dengan tiga petapa lainnya. Menurut Komentar, tercatat bahwa Petapa Vappa memperoleh Mata-Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha pada hari pertama paruh ke dua, Bhaddiya pada hari ke dua, Mahanama pada hari ke tiga dan Assaji pada hari ke empat. Ini agak berbeda dengan sumber Pali, yang menggambarkan masing-masing pasang memperoleh Mata-Dhamma dan ditahbiskan pada hari yang sama seperti disebutkan di atas.

Sekarang, pada hari ke lima paruh ke dua bulan lunar Savana, yang sama dengan hari ke lima paruh ke dua bulan ke delapan lunar di Thailand, Sang Buddha membabarkan kepada para bhikkhu Khotbah ke dua yang disebut Anattalakkhana Sutta, secara literal berarti Khotbah tentang (bagaimana menentukan) karakteristik bukan-diri, yang dapat diringkas sebagai berikut:

Bagian Pertama: Sang Buddha menjelaskan kelima kelompok unsur kehidupan (Khandha) yaitu Bentuk (Jasmani), Perasaan, Persepsi, Pengondisi Pikiran dan Kesadaran sebagai bukan-diri. Karena jika hal-hal itu adalah diri, tentu tidak akan menjadi sakit dan mungkin seseorang dapat berkeinginan agar kelima itu: semoga seperti ini, dan tidak seperti itu, tetapi karena kelima itu bukan-diri, maka kelima itu dapat menjadi sakit dan tidak mungkin seseorang berkeinginan: semoga seperti ini, dan tidak seperti itu.

Bagian Ke dua: Untuk menguji seberapa jauh mereka mampu menerima instruksinya, Sang Buddha bertanya kepada mereka apakah kelima kelompok unsur kehidupan adalah kekal atau tidak kekal. Yang mana mereka memberikan jawaban negative. Ketika sekali lagi ditanya apakah segala sesuatu yang tidak kekal boleh dianggap kebahagiaan atau tidak, seperti sebelumnya mereka memberikan jawaban negative. Ke tiga, Sang Buddha bertanya kepada mereka apakah mereka menganggap segala sesuatu yang tidak kekal, menjadi sumber bagi penderitaan dan tunduk pada perubahan dan kemunduran sebagai diri atau bukan. Dengan cara yang sama mereka menjawab tidak demikian.

Bagian Ke tiga: sebagai penutup, Sang Buddha memberikan kepada mereka peninjauan secara keseluruhan terhadap kelima kelompok unsur kehidupan, dengan mengatakan bahwa segala kelompok unsur kehidupan, apakah di masa lalu, di masa depan atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, jahat atau baik, dan jauh atau dekat, hanyalah kelompok unsur kehidupan – Bentuk, Perasaan, Persepsi, Pengondisi Pikiran dan Kesadaran, yang harus dianggap, melalui Pengetahuan Benar bahwa semua itu bukan milik kita, bahwa kita bukanlah kelompok-kelompok itu, dan bahwa semua itu bukan diri kita.

Bagian Ke empat: Dengan mengilustrasikan akibat dari Pengetahuan Benar yang disebutkan di atas, Sang Buddha melanjutkan mengatakan bahaw seorang Siswa Mulia, setelah meyakini demikian, maka ia terberkahi dengan Nibbida, yaitu, kekecewaan terhadap kelompok-kelompok itu. Dengan kekecewaan muncullah kebosanan, yang membawa kebebasan, bersama dengan Pandangan Terang yang memahami Kebebasan itu. Selanjutnya muncul Pengetahuan bahwa kelahiran telah dilenyapkan, kehidupan suci telah disempurnakan dan apapun yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk (pencapaian) ini.

Menurut para penyusun naskah Pali, ada disebutkan bahwa di akhir Khotbah ini kelima Bhikkhu tersebut, setelah mendengarkan khotbah ini, semuanya terberkahi dengan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa, sehingga batin mereka menjadi terbebas dari segala kekotoran. Mereka semuanya menjadi Arahant yaitu Yang Terbebaskan Sempurna.

Demikianlah ringkasan dari Khotbah ke Dua, makna lebih mendalam akan dibahas sebagai berikut:

Khotbah ini membahas tentang Anatta, yang dapat diterjemahkan tanpa-diri atau bukan-diri. Mungkin ini karena kepercayaan yang ada sehubungan dengan ‘diri’, yang mana terdapat dua aliran utama yaitu Sassataditthi: kepercayaan akan kekekalan atau keabadian, dan Ucchedaditthi: kepercayaan akan ketiadaan atau pemusnahan. Menurut yang pertama yaitu Doktrin Keabadian, terdapat dalam hidup ini sesuatu yang disebut Atta atau diri, yang tetap ada bahkan setelah kematian. Diri ini kekal dan abadi. Yang ke dua yaitu Doktrin Pemusnahan menganggap Atta hanya ada dalam kehidupan ini, tidak ada yang bertahan tetap ada setelah kematian.

Buddhisme memperkenalkan sebuah jalan tengah antara kedua ‘ekstrim’ tersebut dengan memperlihatkan bahwa keduanya memiliki cacat. Maka dalam Buddhisme tidak ada penekanan pada apapun yang disebut Atta atau diri, yang senantiasa menjadi tempat bersandarnya Upadana atau Kemelekatan. Di mana ada Kemelekatan, demikian menurut Buddhisme, maka padamnya Kekotoran dan Penderitaan tidak akan dapat tercapai. Ini karena Kemelekatan itu juga adalah sejenis Kekotoran.

Akan tetapi, dalam Paticcasamuppada atau Sebab-akibat yang saling bergantungan, digambarkan suatu rantai dengan mata rantai yang saling berkaitan seperti ada, misalnya, Kebodohan, ada pendamping-pendampingnya seperti kelahiran. Dengan padamnya Kebodohan maka padam pula kelahiran. Akan tetapi, tidak disebutkan apakah ini secara khusus merujuk pada kelahiran di masa lampau, masa sekarang atau masa depan. Mungkin ini menyiratkan fakta bahwa selama ada mata-rantai yang saling berkaitan itu yang berfungsi sebagai sebab dan akibat satu sama lain, maka selama itu prose situ akan berlanjut. Itulah maka penekanan ditujukan pada fungsi sebab akibat, tanpa menyebutkan waktu yaitu ‘kapan.’

Sehubungan dengan kemelekatan pada konsep Atta atau diri, apakah Atta pada kehidupan sekarang atau Atta yang tetap ada setelah kematian, tidak dapat dihindari bahwa pasti ada definisi Atta yang mendasari kepercayaan itu. Karena konsep itu berdasarkan pada salah satu dari lima kelompok unsur kehidupan atau Khandha, yang menunjuk salah satu darinya sebagai ‘diri’.

Indra:
Dasar bagi konsep-diri
 
Kelompok unsur kehidupan pertama Rupa atau Bentuk. Ini merujuk pada tubuh dan manifestasinya yang secara totan berjumlah tiga puluh dua seperti tertulis pada naskah-naskah atau lebih dari itu jika diuraikan dalam fisiologi modern. Menurut penjelasan dari naskah-naskah, terdapat Mahabhutarupa, yaitu, apa yang disebut karakteristik utama yaitu sifat-sifat materi (padat, cair, angin dan panas), bersama dengan Upadayarupa atau fungsi-fungsi pendamping seperti sistem syaraf. Semua ini disebut kelompok unsur bentuk atau Rupakhandha, yang terdiri dari beberapa bagian yang bekerja bersama-sama. Dari legenda etimologis, kita mengetahui bagaimana telah diamati bahwa, ketika masih ada denyut nadi, atau jantung, maka masih ada akibat Jãva (vitalitas) atau Atta. Tanpa adanya denyut atau nafas maka Jãva tidak aka nada dan Atta secara otomatis hilang. Demikianlah nafas disebut Atta dalam Bahasa Pali, atau Atman dalam Sanskrit. Kata Atman bersesuaian dengan kata kerja yang sama dalam Bahasa Jerman yang berarti nafas. Ini menunjukkan bahwa terdapat pemahaman umum bahwa ‘Atta’ terletak pada nafas. Ini adalah bagaimana Atta atau diri dihubungkan dengan Jasmani atau ‘Bentuk.’

Terdapat konsep lainnya yang menyamakan Atta dengan Vedana (Sensasi atau Perasaan), yang terbagi dalam tiga jenis yaitu menyenangkan,b tidak menyenangkan dan netral. Ini adalah disebabkan oleh fakta bahwa, dengan pemikiran yang lebih mendalam, orang dapat mengamati bahwa, bahkan dengan Bentuk atau tubuh yang masih bernafas, namun tubuh tidak dapat aktif tanpa Vedana. Karena itu adalah Vedana yang merupakan faktor yang menentukan kehidupan, yang mengalami atau ‘memakan’ perasaan-perasaan itu. Demikianlah implikasi lain dari Atta, yang berarti ‘pemakan’ kebahagiaan dan penderitaan.

Kemudian terdapat pengertian lain, kali ini menunjuk pada kelompok unsur Sanna, yang dapat diterjemahkan sebagai Persepsi atau, dalam pengertian yang lebih sederhana, faktor penentu atau yang membedakan yaitu ingatan. Gagasannya adalah bahwa tindakan ‘memakan’ itu, sekali ia muncul dan kemudian lenyap seluruhnya, tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada kemampuan untuk mengingatnya kelak. Ini adalah pengertian dari Sanna yang mengarah kepada kekekalan dan ketidak-berubahan.

Pemikiran analitis tidak berakhir di sini. Terdapat suatu percabangan yang menentukan bahwa hanya Sanna seperti yang disebutkan di atas adalah penggunaan yang kurang praktis tanpa pemikiran (dan emosi) yang diakibatkan yang mengondisikan atau mewarnai apa yang telah diingat. Oleh karena itu adalah ‘pengondisi’ ini yang menambahkan nilai dan ‘warna’ di sana. Karena itu Atta atau diri disamakan dengan fungsi ini, yang merupakan implikasi dari kelompok unsur Sankhara.

Tetapi ini juga belum berakhir. Masih ada sudut pandang lain yang muncul mengambil bagian, menetukan Vinnana sebagai tempat yang paling mungkin bagi Atta. Akan tetapi, kata Vinnana mengandung lebih dari satu makna. Dalam satu pengertian, kata ini berarti apapun yang mengalami kelahiran kembali setelah kematian jasmani, sedangkan pengertian lain menyiratkan kesadaran melalui pintu-pintu indria yang disebut kesadaran-mata, kesadaran-telinga dan seterusnya. Alasan bagi konsep ini adalah bahwa kesadaran adalah bebas dan tidak terbatas, karena mampu bepergian kemanapun ia menginginkan. Jasmani mungkin saja berada di sini, misalnya, tetapi Vinnana dapat berada di mana saja, kapan saja, dalam sekejap. Konsep ini didukung oleh pemahaman bahwa Vinnana adalah alat untuk mengalami kelahiran kembali yang berfungsi untuk menegaskan bahwa adalah pasti Vinnana ini yang disebut Atta atau diri. Harus diperhatikan juga bahwa konsep ini dapat diterima oleh sebagian besar orang, yang menerimanya mentah-mentah bahwa Vinnana adalah suatu entitas yang bebas bepergian kemanapun ia menginginkan dan ditakdirkan untuk mengalani kelahiran kembali.

Alasan logis dan dapat dipahami atas ‘diri’

Sekarang seorang manusia hidup jelas tersusun dari kelima kelompok unsur kehidupan ini, yang menjadi tempat bersandar atau landasan bagi pemahaman akan diri. Selama kelima ini berada dalam kondisi sempurna, maka dapat dimengerti bahwa diri juga berada dalam kondisi sempurna. Jika salah satunya lemah atau menjadi cacat, maka ‘diri’ dianggap cacat atau pincang. Demikianlah, jika seseorang menjadi buta, tuli, atau tidak dapat mencium, tidak dapat mengecap, menyentuh atau bergerak, maka ‘diri’ adalah sangat lemah. Dalam hal jasmani yang jatuh pingsan, maka ‘diri’ secara praktis hilang. Ini menunjukkan betapa pentingnya bahkan hanya jasmani saja pada konsep diri, karena jasmani adalah manifestasi yang paling jelas dan paling nyata di mana gagasan diri berpijak. Empat lainnya, walaupun tidak begitu nyata, namun tidak kalah penting. Melalui Vedana berbagai perasaan dialami dan seseorang merasakan kebahagiaan atau penderitaan. Sekali lagi, adalah dengan Sanna maka kekuatan pengenalan atau ingatan dapat muncul dan dengan Sankhara muncullah pikiran-pikiran dan emosi yang mengondisikan. Melalui Vinnana seseorang dapat menyadari dunia luar melalui pintu-pintu indria. Jika salah satunya tidak ada, maka jasmani menjadi tidak sempurna dalam hal reaksinya terhadap obyek-obyek indria. Jika seluruhnya tidak ada, maka tidak ada kesadaran sama sekali. Bahwa seseorang masih merasakan tubuhnya, dengan kekuatan vitalitas yang berfungsi secara normal, adalah karena kelima kelompok unsur kehidupan masih dapat bekerja secara harmonis sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu cukup logis untuk menganggap seluruh kelompok unsur kehidupan ini sebagai diri atau Atta. Tanpa adanya kelima ini yang bergabung maka tidak aka nada apapun yang dilekati; juga tidak ada pikiran kelemekatan. Demikianlah logika yang berlaku sepanjang waktu, apakah sebelum, selama dan setelah masa Sang Buddha. Sehubungan dengan kelima petapa, tentu mereka juga terpengaruh oleh konsep itu. Itulah sebabnya mengapa Kondanna menjadi satu-satunya yang memperoleh Mata-Dhamma di akhir Khotbah Pertama. Dan ketika keempat lainnya lebih jauh lagi menerima berbagai tema maka mereka juga memperoleh Mata-Dhamma. Akan tetapi, itu hanyalah penembusan Kebenaran Dukkha, batu loncatan pertama pada pemahaman yang lebih mendalam yang memuncak pada penembusan Kebenaran Anatta di akhir Khotbah ke Dua.

Indra:
Penjelasan lebih lanjut mengenai Lima Kelompok Unsur Kehidupan

Perlu dicatat bahwa masing-masing dari kelima Khandha dibahas sebagai suatu kata benda kolektif, dengan sebutan ‘kelompok’ yaitu hal-hal yang digabungkan dan dianggap sebagai sekelompokj. Demikianlah asal nama-nama dari kelompok unsur Rupa, Vedana, Sanna, Saïkhara dan Vinnana. Semua itu adalah kata yang paling sering digunakan dalam naskah-naskah.

Dalam bahasa normal sehari-hari, tentu saja ‘diri’ biasanya pasti merujuk pada kumpulan kelima kelompok ini, yang tanpanya maka tidak ada apapun yang dirujuk. Adalah kelompok-kelompok ini yang menjadi anggapan, pemahaman, dan tempat bersandar bagi kemelekatan pada apa yang disebut ‘diri’. Karena itulah kata lain dengan awalan ‘Upadana’ ditambahkan pada kata itu, yang menjadi Upadanakkhandha’, Kelompok-kelompok sebagai tempat bersandarnya Kemelekatan. Dengan penomoran ‘panca’ berarti ‘lima’ ditambahkan sekali lagi, kata itu menjadi ‘Pancaupadanakhandha’, Lima Kelompok Unsur sebagai tempat bersandarnya Kemelekatan (sebagai Atta).

Dalam Sutta ini Sang Buddha menunjukkan kelima kelompok unsur kehidupan sdebagai bukan-diri atau Anatta. Ini jelas bertentangan dengan kepercayaan umum dan kelima petapa itu. Alasannya, Beliau melanjutkan, adalah bahwa jika kelompok-kelompok itu adalah Atta, maka kelompok-kelompok itu tidak akan mendatangkan ‘penyakit’ dan memenuhi keinginan seseorang sehubungan dengan kelompok-kelompok itu: semoga kelompok-kelompok itu seperti ini dan tidak seperti itu. Tetapi, karena kelompok-kelompok itu mendatangkan ‘penyakit’ dan tidak sesuai dengan kepercayaan umum dan kelima petapa itu, alasannya, Beliau melanjutkan, adalah bahwa karena kelompok-kelompok itu adalah Anatta, yaitu tidak dapat dianggap sebagai diri.

Frasa ‘mendatangkan penyakit’ dapat diartikan secara literal maupun secara konotatif. Dalam kasus pertama, maknanya cukup jelas. Akan tetapi dalam kasus ke dua, kata ini dapat diartikan sebagai ‘terpapar, dan tunduk pada, mencelakai atau unsur-unsur yang menghancurkan.’ Melalui konotasi ini, adalah mungkin memperluas maknanya, menunjukkan fakta bahwa kelima kelompok unsur ini, begitu terlahir, akan terpapar pada kekuatan penghancur usia tua, penyakit dan kematian. Dengan kata lain, kelahiran diikuti oleh kehancuran, kemunduran dan kelenyapan  sebagai akibatnya. Tidak kebal dari sambutan kekuatan-kekuatan penghancur tersebut.

Dengan secara khusus merujuk pada kelompok unsur Bentuk atau jasmani, terlihat jelas bagaimana jasmani mengalami tingkatan perubahan dan kerusakan. Bahwa jasmani tidak lenyap walaupun mengalami perubahan itu adalah karena pertumbuhan yang dihasilkan dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Adalah proses ini yang berkontribusi pada kelangsungannya. Pengetahuan medis modern juga menegaskan bahwa bahkan bagian yang paling keras dari tubuh yaitu tulang juga tidak terlepas dari fakta ini. Dapat dikatakan bahwa tulang-belulang ketika seseorang baru lahir dan tulang-belulang ketika ia dewasa adalah sama sekali berbeda. Apalagi bagian lainnya, yang lebih lunak seperti kulit dan daging, proses regenerasi dari bagian-bagian itu tentu saja terjadi lebih cepat lagi. Ini menunjukkan bagaimana kelompok unsur Rupa telah mengalami kelahiran dan kematian terus-menerus. Dan karena kontinuitas inilah, yang disebut Santati dalam Bahasa Pali, bahwa jasmani terlihat hidup walaupun berubah-ubah dan bertransformasi.

Kelompok unsur Vedana, sebutlah Sensasi atau Perasaan, walaupun bukan bersifat materi, terbukti lebih nyata dan lebih cepat dalam hal ini. Coba ingat-ingat berapa kali suatu sensasi bahagia muncul dan lenyap, digantikan oleh perasaan menderita, yang kemudian digantikan oleh perasaan netral, yang pasti akan lenyap tidak lama kemudian. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok-kelompok non-materi lainnya, yaitu, Sanna, Saïkhara dan Vinnana. Ingatan atau kekuatan pengenalan kita muncul dan lenyap, kadang-kadang menipu kita. Saïkhara juga tidak kalah cepatnya. Satu pikiran muncul, segera digantikan oleh pikiran lain dalam sekejab. Bahkan Vinnana sebagai kelompok unsur juga mengalami nasib yang sama.

Sekarang, kata Vinnana layak mendapat perhatian khusus. Seperti disebutkan sebelumnya, kata ini memiliki berbagai interpretasi, kadang-kadang berarti pikiran, kadang-kadang berarti sebagai apapun yang mengalami kelahiran kembali, dan kadang-kadang juga berarti kesadaran melalui pintu-pintu indria, misalnya, kesadaran-mata,m kesadaran-telinga. Ini bergantung konteks di mana kata itu digunakan. Umumnya dipahami bahwa kata ini merujuk pada apa yang terlahir kembali. Ini muncul di beberapa tempat dalam naskah-naskah Buddhis dalam kasus-kasus cerita. Ini membuat pemahaman menjadi cukup logis. Akan tetapi, sebagai kelompok unsur ke lima, Vinnana memiliki makna berbeda. Kata ini merujuk pada kesadaran yang dihasilkan karena mata yang bereaksi pada pemandangan dan karena itu disebut Cakkhu Vinnana atau Kesadaran-mata. Melalui pintu-pintu indria lainnya seperti telinga, sebagai reaksi telinga atas suara-suara, disebut Sota Vinnana atau Kesadaran-telinga. Dengan cara yang sama, reaksi atau kesadaran melalui pintu-pintu indria lainnya, yaitu, antara hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan kontak disebut Ghana Vinnana (Kesadaran-hidung), Jivha Vinnana (Kesadaran-lidah), Kaya Vinnana (Kesadaran-badan). Yang terakhir disebut Kesadaran-pikiran atau Mano Vinnana, sebagai reaksi pikiran atas tema atau topik pikiran. Dalam makna ini Kelompok unsur Vinnana dapat dilihat sebagai bentuk jamak dengan jumlah banyak jika dipandang dari jalur-jalur kemunculannya. Seperti juga kelompok-kelompok lainnya, Vinnana dalam makna ini juga tidak terkecuali mengalami kemunculan dan kelenyapan terus-menerus yaitu lahir dan mati.

Demikianlah bagaimana kelima kelompok unsur kehidupan terpapar pada ‘penyakit’, karena tunduk pada usia tua, kemunduran, kematian atau kemunculan dan pelenyapan. Kelompok-kelompok ini tidak tunduk di bawah perintah atau keinginan atau apapun atau siapapun, baik dalam hal positif maupun negatif. Kelompok Rupa, misalnya, terus-menerus berubah tanpa henti, tida pernah menetap pada titik di mana seseorang menginginkannya. Vedana juga demikian dalam kondisi berubah terus-menerus. Kebahagiaan, waklaupun kita menginginkannya agar tetap stabil, dan penderitaan, walaupun kita menginginkannya agar lenyap, mengikuti perjalanan alaminya dan bukan mengikuti keinginan dan ketidak-inginan kita. Sanna (atau disebut juga persepsi atau ingatan), Sankhara (pikiran yang terkondisi) dan Vinnana (Kesadaran indria) juga berada dalam perahu yang sama. Karena semua itu ‘terlahir bebas’, karena tidak bergantung pada keinginan atau kendali siapapun, mengikuti bahwa semua itu, dalam makna Buddhis, ‘terpapar pada penyakit’. Karena senantiasa berubah dan terpapar pada penyakit, maka dianggap bukan-diri atau Anatta, bukan diri siapapun dan bukan milik siapapun.

Oleh karena itu, jika ada yang layak untuk dianggap sebagai Atta, maka ia tidak akan terpapar pada ‘penyakit’ dan seharusnya tunduk di bawah kendali seseorang. Sebaliknya, maka tidak dapat disebut Atta atau diri. Demikianlah maka kelima kelompok unsur ini bukanlah Atta.

Indra:
Ujian Pertama

Setelah menunjukkan bagaimana karakteristik Anatta dapat dikenali, Sang Buddha menguji pemahaman kelima petapa dan penerimaan mereka atas kebenaran itu, menanyakan kepada mereka apakah kelima kelompok unsur kehidupan adalah kekal atau tidak. Mereka memberikan jawaban negatif. Beliau menanyakan lebih jauh apakah yang tidak kekal itu dapat dianggap mengakibatkan kebahagiaan atau penderitaan. Mereka mengakui bahwa itu mengakibatkan penderitaan. Pada ke tiga kalinya, Sang Buddha mempertanyakan sikap mereka, dengan menanyakan, sehbungan dengan apa yang menimbulkan penderitaan dan tunduk pada kemunduran dan kerusakan, apakah layak menganggapnya sebagai Atta atau diri. Mereka memberikan jawaban seperti sebelumnya, negatif.

Itu dapat dianggap sebagai ujian pertama yang terjadi pada pengajaran Buddhis, sebagai ujian persis setelah instruksi disampaikan. Pertanyaan ujian di sini adalah berdasarkan pada ketiga karakteristik yaitu, perubahan, kehancuran dan corak tanpa inti atau bukan-diri. Adalah setelah Sang Buddha selesai menjelaskan karakteristik-karakteristik dari kelompok-kelompok unsur, maka Beliau menyimpulkan apa yang telah Beliau instruksikan sejauh ini, mempertanyakan sikap mereka terhadap kelompok-kelompok unsur ini. Setelah memahami karakteristik-karakteristik tersebut, mereka siap menerima perubahan atas dasar bahwa kelompok-kelompok unsur itu tunduk pada ‘penyakit’ dan dengan demikian tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, selanjutnya, bahwa kelompok-kelompok itu menghasilkan Dukkha, -- apa yang tidak dapat selalu stabil atau tidak tak-terhancurkan. Ini disebut Viparinama-dhamma, apa yang bersifat bergerak dan berubah. Kata ini banyak terdapat dalam naskah-naskah. Karena itu tidaklah layak untuk menganggap kelompok-kelompok itu sebagai ‘Etaÿ mama’ – ini milikku, ‘Eso hamasmi’ – ini aku, ‘Eso me atta’ – ini diriku.

Setelah bertanya kepada kelima petapa dan mengetahui sikap mereka, Sang Buddha merangkum instruksinya, menuntun mereka menuju kesimpulan yang mencakup segalanya bahwa semua kelompok unsur kehidupan, apakah di masa lalu, di masa sekarang atau di masa depan, internal atau eksternal, kasar atau halus, baik atau buruk, jauh atau dekat, adalah sekadar kelompok Rupa, Vedana, Sanna, Sankhara dan Vinnana. Tidak untuk dianggap, dengan sikap batin yang benar, bahwa kelompok-kelompok itu adalah milik seseorang, bahwa seseorang bukanlah kelompok-kelompok itu dan bahwa kelompok-kelompok bukanlah diri seseorang.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan membabarkan kepada mereka sehubungan dengan hasil dari penembusan itu yang mengakibatkan bahwa seorang siswa mulia, setelah mendengar, yaitu setelah memiliki pengetahuan benar demikian, menjadi kecewa terhadap kelima kelompok unsur kehidupan. Dengan kekecewaan itu muncullah kebosanan (viraga). Selanjutnya muncul kebebasan (Vimutti).  Kemudian dalam rangkaian itu muncullah pandangan terang yang memahami kebebasan itu. Ini adalah hasil Lokuttara yang terdiri dari Sammappanna (Pengetahuan Benar), Nibbida (Keletihan yang mengecewakan), Viraga (Kebosanan), Vimutti (Kebebasan) dan Vimuttinanadassan (Pandangan terang yang menembus kebebasan itu).

Ini adalah bagaimana Pengetahuan Benar yang melibatkan kelima kelompok unsur kehidupan adalah batu loncatan yang menuntun menuju pencapaian yang lebih tinggi, yang memuncak pada Pandangan terang yang menembus semua pencapaian sebelumnya. Ini layak diperhatikan demi pemahaman yang lebih baik atas instruksi-instruksi pada tahap ini dalam naskah dan khotbah lainnya.

‘Mengenali wajah-wajah’

Akan kita lihat bagaimana pentingnya bagi umat Buddha untuk ‘mengenali wajah-wajah’ dalam arti kiasan, dari kelima kelompok unsur kehidupan ini setiap saat kelima itu muncul dalam batin. Ini sebagai tambahan dari mengingat namanya. Karenanya adalah penting untuk mengetahui sifatnya, yaitu, ketiga karakteristik yang olehnya kelompok-kelompok itu dikendalikan, yaitu, perubahan, kehancuran dan sifat tanpa-inti atau bukan-diri. Ini akan jauh lebih bermanfaat daripada mengetahuinya melalui Sanna yaitu dengan cara menghapalkan namanya. Adalah dengan mengetahui, yaitu, mengenali sifatnya, setelah mengenali ‘wajahnya’, maka batu loncatan pertama menuju hasil Lokuttara, yaitu Nibbida (keletihan yang mengecewakan atau kekecewaan) dapat muncul. Seorang Buddhis yang memahami proses ini berada dalam posisi untuk memahami kebenaran yang lebih mendalam dari praktik ini.

Menurut Sutta, kelima petapa itu setelah mendengarkan instruksi Sang Buddha, batin mereka diliputi oleh kegembiraan meluap, yang berakibat mereka menjadi sama sekali terlepaskan dari segala kekotoran tersembunyi yang melekat di sana. dengan demikian itu adalah saat di mana terdapat enam Arahant di dunia ini, dengan Sang Buddha sendiri sebagai yang pertama dalam kelompok itu. Dengan pencapaian itu maka pada hari itu muncullah tiga permata dalam makna tertinggi dari kata ini. Yaitu Sang Buddha, Dhamma dan pada saat ini, Sangha dalam sosok kelima petapa. Disebutkan bahwa hari itu adalah hari ke lima paruh ke dua pada bulan Lunar Savana, yang sama dengan hari ke lima bulan lunar ke delapan Thailand.

Sehubungan dengan hari purnama lima hari sebelumnya, ketika Sang Buddha membabarkan Khotbah Pertama, hanya Petapa Kondanna yang memperoleh Mata-Dhamma, menjadi seorang Pemasuk-arus, masih belum menjadi seorang Arahant, ini dapat dianggap sebagai hari di mana batu-loncatan pertama menuju Kearahatan diletakkan. Adalah lima hari kemudian, ketika kelima petapa menjadi saksi penuh atas Pencerahan Sang Buddha, maka Kerajaan Buddhisme untuk pertama kalinya dibangun dengan kokoh di dunia.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version