Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Theravada

45 tahun Sang Buddha

<< < (3/6) > >>

Indra:
KETIGA KARAKTERISTIK

Adalah perlu
Untuk mengenali ‘wajah-wajah’
Jika seseorang ‘melihat’
Masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan

Ini akan mendorong
Perenungan mereka
Menjadi jauh lebih produktif
Menghasilkan buah yang lebih pasti

Daripada sekadar menghapalkan
Hanya mengetahui nama-namanya,
Tidak mengetahui ukuran,
Dan wajah, and bentuk dan popularitas.

Khandha Vinnana
Adalah seperti penyihir
Dikatakan oleh Sang Buddha
Dalam salah satu khotbahNya

Popularitas dan pengaruhnya
Menguasai ketiga alam
Dengan semua individu
Berada dalam jajahannya

Bagaimana semua kelompok unsur ini
Bergabung dalam jasmani-dan-batin
Lahir, berlangsung dan lenyap
Dengan kemelekatan terjalin

Seorang yang bercita-cita harus ‘melihat’
Berdasarkan pada perenungan pada
Tiga Karakteristik
Tanpa Keinginan untuk melekat

Dengan masing-masing ‘wajah’ diingat
Dan semua tipuan dikenali
Tidak ada beban yang dipikul
Juga kemelekatan oleh sang bijaksana

Demikianlah batu loncatan
Minimal bagi Pemasuk-arus,
Benih mulia telah ditanam
Tidak ada langkah mundur selamanya.


Kelompok-Kelompok unsur Terprogram

Semua kelompok unsur telah terprogram
Oleh kelompok Tiga ‘Tilakkhana’
Keberadaannya hanyalah sekadar kepura-puraan
Ini dinyatakan oleh Sang Buddha.

Demikianlah tidak ada apapun yang dapat dimiliki
Yang ada hanyalah hal-hal yang ‘dipinjamkan’
Suatu hari hal-hal itu harus ditinggalkan
‘Dikembalikan’ dengan pelepasan

Semoga umat-umat Buddha tidak mengidengtifikasikan
Diri mereka sebagai kelompok unsur apapun
Melekatinya sebagai “Aku, diriku, milikku.”
Ini agar mereka dapat menurunkan beban

Hal itu menguasai kehidupan dan batin mereka
Selanjutnya mereka akan terberkahi oleh
Mata batin mereka tidak lagi buta
Tugas-tugas mereka selesai


- Bab 3 Selesai -

Indra:

Bab 4
Yang Mulia Yasa

Pada saat itu di Kota Benares terdapat putera seorang perumah tangga kaya bernama Yasa, yang merupakan putera kesayangan orang tuanya. Orang tuanya yang sangat mengasihinya telah (seperti dalam kasus Sang Buddha) membangun tiga tempat tinggal untuknya, satu untuk setiap musim. Sejak lahir ia selalu mendapatkan apapun yang diinginkan oleh seorang anak atau pemuda seusianya. Ia menjalani kehidupan yang nyaman dan menyenangkan di tengah-tengah kenikmatan musik dan hiburan yang disajikan kepadanya oleh gadis-gadis muda. Hari terpenting dalam hidupnya adalah pada suatu malam ketika ia, setelah pergi tidur paling awal, terbangun pada larut malam, dan menyaksikan apa yang menjadi batas kehidupannya. Ini adalah pemandangan dari selir-selirnya yang sedang tidur di kamarnya dalam berbagai posisi yang tidak senonoh. Pemuda ini seketika dikuasai oleh perasaan jijik, yang memicunya menyerukan, “betapa kotornya tempat ini! Betapa menyedihkannya!” terdorong oleh perasaan jijik demikian ia pergi keluar menuju kegelapan malam, secara kebetulan ia berjalan ke arah Taman Rusa Isipatana, di mana Sang Buddha sedang bermeditasi jalan. Mendengar pemuda itu masih mengeluhkan ketidak-senangannya, Sang Buddha memanggilnya dengan berkata, “Tempat ini tidak kotor, juga tidak menyedihkan …” Setelah mendengar kata-kata itu, sang pemuda gembira, dan berkata kepada diri sendiri, “Baik sekali jika tempat ini tidak kotor juga tidak menyedihkan.” Ia duduk di depan Sang Buddha, yang kemudian membabarkan Khotbah tentang Lima Tema Penting Bertingkat. Ini dalan Bahasa Pali disebut Anuppubãkathà. Instruksi ini diikuti dengan Khotbah tentang Empat Kebenaran Mulia, yang pada akhirnya sang pemuda terberkahi dengan Mata-Dhamma, yang dengan demikian mentransformasinya menjadi seorang Sotàpanna atau Pemenang-arus.

Sang pemuda menghilang ketika si ibu pergi menemuinya di pagi hari dan tidak menemukannya di kamarnya. Ia memberitahukan kepada sang ayah, yang segera membentuk tim pencari ke segala penjuru. Dan dirinya sendiri mencari ke arah Isipatana, ia melihat sandal puteranya dan, mengikuti jejaknya, ia mendekati Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau apakah Beliau melihat puteranya. Sang Buddha memintanya untuk duduk agar ia dapat melihat puteranya. Kemudian Sang Buddha membabarkan kepadanya Lima Tema Penting Bertingkat dan Empat Kebenaran Mulia seperti yang Beliau babarkan kepada Yasa. Di akhir khotbah itu ayah Yasa menjadi seorang Pemasuk-arus dan menyatakan dirinya sebagai seorang Upàsaka atau siswa awam laki-laki, menerima perlindungan dari Buddha, Dhamma, dan Sangha seumur hidupnya. Ia adalah siswa awam laki-laki yang pertama yang mengambil Tiga Permata sebagai perlindungannya.

Apa yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa, sewaktu Sang Buddha sedang memberikan instruksi kepada ayah Yasa, sang pemuda juga mendengarkan khotbha yang sama, meninjau kembali dan meningkatkan intensitas pemahamannya akan Dhamma selagi duduk di dekat sana (Baik si ayah maupun putera tidak saling melihat). Di akhir khotbah itu, sang pemuda dengan penembusannya yang diperdalam mampu mencapai Kearahatan, dan karena itu menjadi seorang Arahant. Pada saat itulah sang ayah dapat melihat puteranya dan menyuruhnya untuk segera pulang agar ia dapat menyelamatkan hidup ibunya, yang meratapi kehilangannya. Kemudian Sang Buddha memberitahukan kepada sang ayah bahwa puteranya telah mencapai Kearahatan dan oleh karena itu tidak berada dalam posisi untuk kembali kepada kehidupan awam seperti sebelumnya. Kemudian ayah Yasa memberikan penghormatan dan mengundang Sang Buddha, bersama dengan Yasa sebagai bhikkhu pelayan, untuk makan di rumahnya. Kemudian ia pulang untuk memberitahukan kabar gembira itu kepada istrinya, sementara Yasa memohon penahbisan dari Sang Buddha, -- yang diberikan oleh Sang Buddha dengan cara seperti sebelumnya yang disebut penahbisan Ehi Bhikkhu.

 Pagi harinya Sang Buddha dan Yang Mulia Yasa sebagai Bhikkhu pelayan pergi ke rumah Yang Mulia Yasa untuk makan. Di sana Beliau membabarkan khotbah kepada Ibu Yasa dan mantan istrinya, yang dalam Bahasa Pali di sebut Purànadutiyika, perempuan yang dulunya adalah istrinya. Keduanya menjadi Pemasuk-arus melalui khotbah yang sama tentang Lima Tema dan Empat Kebenaran Mulia. Kedua perempuan itu menyatakan diri mereka sebagai Upàsikà, umat awam perempuan yang mengambil Perlindungan di dalam Tiga Permata seumur hidup mereka. Mereka adalah umat awam perempuan pertama dalam Buddhisme.

Kemudian empat teman Yang Mulia Yasa. Mereka adalah juga para putera keluarga kaya yang telah lama bersahabat satu sama lain. Setelah mendengar pelepasan keduniawian Yasa, mereka datang dan mendekati Sang Buddha, yang membabarkan khotbah yang sama dan ditahbiskan dengan cara yang sama, setelah semuanya menjadi Arahant. Demikianlah pada saat itu terdapat sebelas Arahant di dunia. Kemudian lagi sekelompok yang berjumlah lima puluh orang teman yang Mulia Yasa, Setelah mendengar pelepasan keduniawian teman-teman mereka dan menyimpulkan bahwa itu tentu berdasarkan pada tujuan mulia dan dianugerahi dengan pencapaian mulia pula, mereka datang menghadap Sang Buddha, yang kemudian membabarkan instruksi yang sama diikuti dengan berbagai khotbah dan akhirnya mencapai Kearahatan seperti sebelumnya, dengan demikian jumlah Arahant menjadi enam puluh satu. Dengan jumlah yang cukup banyak ini, Sang Buddha memanggil mereka dan memberikan instruksi khusus kepada mereka, dengan mengatakan:

“Sang Tathagata terbebaskan dari segala belenggu, baik surgawi maupun manusiawi. Demikian pula kalian semua. Sekarang pergilah demi manfaat, keuntungan dan kebahagiaan banyak makhluk, dewa serta manusia. Jangan ada dua orang pergi bersama pada arah yang sama. Pergilah sendiri-sendiri, pada arah tertentu. Babarkanlah Dhamma, yang indah di awal, di pertengahan, dan di akhir, baik dalam makna maupun kata-katanya, nyatakanlah kehidupan suci yang murni dan sempurna. Ada makhluk-makhluk yang mata-kebijaksanaannya tidak terlalu tertutup oleh debu kekotoran. Makhluk-makhluk itu, jika tidak mendengarkan Dhamma, akan kehilangan pencapaian. Demikianlah terdapat makhluk-makhluk yang mampu memahami Dhamma. Sedangkan Sang Tathagata, Aku akan pergi ke wilayah Uruvela untuk membabarkan Dhamma.”

Demikianlah pertama kali Sang Buddha mengutus para siswa Arahant untuk memulai misi mereka, dengan masing-masing mengambil satu arah dan tujuan.

Setelah mengutus dengan cara yang telah dijelaskan sebelumnya. Para siswa Arahant pergi ke arah dan tujuan berbeda dan berhasil dalam menginspirasi serta mengesankan orang-orang di berbagai negeri dengan Dhamma yang mereka babarkan. Akan tetapi, ketika dimohon penahbisan, mereka terpaksa membawa orang-orang itu kepada Sang Buddha agar mereka dapat ditahbiskan menjadi bhikkhu secara resmi. Ini menghabiskan banyak waktu dan banyak kesulitan karena mereka harus melakukan perjalanan jauh. Sang Buddha melihat hal ini kemudian memberikan mandatnya kepada para bhikkhu agar mereka berkuasa untuk memberikan penahbisan. Ini dilakukan dengan jenis lain penahbisan yang disebut Tisaraõagamanupasampada. Dengan cara ini seorang calon harus terlebih dulu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah Kàsàya dengan menutup satu bahunya. Kemudian ia bersujud di kaki Bhikkhu gurunya, berlutut dan merangkapkan tangan sebagai penghormantan, kemudian membacakan kata-kata yang mengungkapkan keyakinannya pada Tiga Permata tiga kali. Demikianlah penahbisan cara ke dua yang resmi.

Indra:
Anupubbikatha: Lima Tema Penting Bertingkat
 
Berikut ini adalah penjelasan atas apa yang disebut Lima Tema Penting Bertingkat dan Empat Kebenaran Mulia yang dengannya Sang Buddha memberikan instruksi kepada Yasa dan para siswa lainnya.

Anupubbikatha, secara literal berarti topik-topik penting bertingkat, yang berjumlah lima, adalah: Dana (Kedermawanan), Sila (Aturan-aturan moralitas), Sagga (Alam surga), Kamadinava (cacat dari kenikmatan indria) dan Nekkhammanisansa (Manfaat dari pelepasan yaitu melepaskan kenikmatan indria).

Dàna memiliki dua makna yaitu yang merujuk pada materi, ini berarti benda-benda materi yang diberikan atau dilepaskan, sedangkan yang merujuk pada Cetanà berarti niat untuk memberi atau turut mengambil bagian. Tujuan dari Dàna dalam Buddhisme adalah mendorong orang-orang untuk bergembira dalam memberi, yang kadang-kadang dapat berupa memberikan bantuan dan kadang-kadang dalam bentuk puja. Akan tetapi, kedua kasus dimaksudkan untuk mengurangi keserakahan dan kekikiran yang mengotori batin dan pada saat yang sama berbagi harta kekayaan seseorang dengan orang lain. Ini sama dengan berbagi kebahagiaan seseorang, tidak menyimpannya semua untuk diri sendiri.

Akan tetapi, agar suatu tindakan kedermawanan memberikan hasil maksimum, ada tiga faktor yang terlibat. Pertama adalah Vatthusampatti, kesempurnaan benda-benda yang diberikan, yang harus bermanfaat bagi yang menerima hingga batas tertentu, bukan, misalnya, racun. Ke dua adalah Cetanàsampatti, kesempurnaan niat atau kehendak. Ini merujuk pada kehendak yang benar dan tidak egois sebelum, pada saat, dan setelah tindakan kedermawanan itu. Ke tiga adalah Pañigàhakasampatti, kesempurnaan pada pihak si penerima. Ini berarti bahwa si penerima juga harus, memiliki kualitas, yang layak untuk diberikan kedermawanan, misalnya seseorang yang membutuhkan atau seorang yang layak dipuja. Dari sini, jelas bahwa kedermawanan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah yang berdasarkan pada kebijaksanaan penyelidikan. Dengan kata lain, harus selektif dan analitis, tidak dilakukan secara acak. Seperti disebutkan sebelumnya, orang yang memberikan kedermawanan harus memilih benda-benda untuk diberikan, menganalisa kehendaknya sendiri dan memperhatikan si penerima dengan saksama. Ini untuk mencegah agar si pemberi tidak menyesal atau mengalami kesulitan kelak. Demikianlah yang pertama dari lima tema penting bertingkat.

Ke dua dalam rangkaian ini adalah Sila, Aturan-aturan atau Moralitas, secara literal berarti ‘normal’. Kata ini merujuk pada kondisi jasmani, ucapan dan pikiran normal dalam arti bahwa tidak dikuasai oleh kekotoran atau Kilesa, sehingga tidak melakukan kejahatan melalui ucapan, perbuatan dan pikiran. Untuk mencapai ini, harus ada apa yang disebut Viratticetana, niat untuk menghindari tindakan demikian. Sila dalam Buddhisme terdiri dari berbagai jenis dan tingkat, seperti Lima Aturan, niat untuk menghindari lima jenis perbuatan mencelakai makhluk lain. Demikianlah Lima Aturan adalah kondisi tidak mencelakai atau tidak dalam posisi membahayakan makhluk lain. Untuk melaksanakan Aturan-aturan berarti sama dengan memberikan Dàna keselamatan kepada semua makhluk hidup. Pelaksana-aturan sendiri juga menikmati manfaat dari tidak dibenci atau tidak membahayakan diri mereka sendiri dari makhluk-makhluk lain. Ini adalah Tema Penting Bertingkat yang ke dua.

Berikutnya adalah Tema Sagga atau alam surga. Akar etimologis dari kata ini layak diperhatikan, karena kata ini dapat diinterpretasikan sebagai berarti belenggu atau kenikmatan luar biasa. Umumnya dipahami bahwa alam surga adalah alam atau dimensi lain dari kehidupan saat ini di sini. Ini dicapai setelah hancurnya jasmani dari mereka yang telah mengumpulkan jasa dalam kehidupan ini. Ada beberapa rujukan dalam naskah Pali seperti Cha-kamavacara Sagga yaitu enam alam surga kenikmatan indria. Konsep ini berasal dari masa sebelum Buddhisme. Konsep ini sebagian masuk ke dalam Buddhisme pada masa setelahnya.

Dalam makna lain, Tercatat bahwa Sang Buddha menginterpretasikan makna ‘alam kebahagiaan’ (dalam Saÿ. Saëa 18/159/215), berkonsentrasi pada kondisi-kondisi saat-saat pikiran yang jelas, yang menghasilkan,

“Ketika muncul pengalaman yang nikmat dan menyenangkan, melalui mata, itu adalah Phassayatana (kontak melalui pintu-pintu indria) alam surga melalui pemandangan.

“Ketika muncul pengalaman yang nikmat dan menyenangkan, melalui telinga, itu adalah Phassayatana  alam surga melalui suara-suara.

“Ketika muncul pengalaman yang nikmat dan menyenangkan, melalui hidung, itu adalah Phassayatana  alam surga melalui hidung.

“Ketika muncul pengalaman yang nikmat dan menyenangkan, melalui lidah, itu adalah Phassayatana  alam surga melalui lidah.

“Ketika muncul pengalaman yang nikmat dan menyenangkan, melalui badan, itu adalah Phassayatana  alam surga melalui badan.

“Ketika muncul perenungan melalui pikiran yang nikmat dan menyenangkan, melalui mata, telinga, dan seterusnya, itu adalah Phassayatana  alam surga melalui Dhamma (di sini berarti pikiran).”

Kata-kata Sang Buddha di atas menunjukkan  makna secara umum dan menyeluruh dari kata ‘surga’ atau ‘alam surga’, karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu dapat merujuk pada masa sekarang atau masa depan, di sini atau setelah kehidupan ini. Ketika muncul pengalaman demikian, maka itu dapat diinterpretasikan sebagai Sagga atau surga karena hal tersebut merupakan jenis atau tingkatan yang tinggi dank arena hal tersebut juga merupakan tempat bersandarnya kemelekatan pada tingkat yang cukup kuat, sebagai terpenuhinya keinginan seseorang. Akan tetapi, alam surga dalam makna yang dirujuk di atas adalah berdasarkan pada perbuatan baik Dàna atau kedermawanan yang diikuti oleh seseorang yang menjalankan aturan-aturan atau Moralitas yaitu Sila. Dalam konsep praktis saat ini, penjelasan Sang Buddha bukanlah tidak masuk akal. Jika orang-orang bergembira dalam membagi apa yang mereka miliki sebagai suatu cara untuk berbagi kebahagiaan dan jika mereka kokoh dalam Aturan-aturan moralitas, tidak melakukan praktik mencelakai atau kekerasan dalamn bentuk apapun, melainkan siap memaafkan dan melupakan, maka mereka pasti dapat menjalani kehidupan yang harmonis dan bersahabat. Ke arah manapun mereka berpaling, jelas bahwa mereka akan selalu terberkahi dengan pengalaman-pengalaman yang damai dan menyenangkan melalui semua pintu indria, baik melalui mata, telinga dan seterusnya. Mereka tidak akan pernah mengalami kesulitan atau penderitaan sebagai akibat dari mengambil keuntungan secara curang dari orang lain, yang dapat menanamkan benih kemarahan, kebencian atau kekerasan. Demikianlah karakteristik praktis dan nyata dari kehidupan di ‘alam surga’. Ini adalah Tema Penting Bertingkat yang ke tiga.

Indra:
Tema ke empat disebut Kamadinava, cacat atau bahaya dari kenikmatan indria. Bahwa alam surga disebut Kama atau alam kenikmatan indria adalah karena masih terselimuti dalam kenikmatan indria-indria yang sangat memuaskan, memenuhi-keinginan. Kata ‘Kama’, yang secara literal diterjemahkan menjadi kenikmatan-indria, dapat digunakan untuk merujuk pada obyek-obyek eksternal yang menghasilkan kenikmatan atau pada perasaan nikmat yang disebabkan oleh obyek-obyek tersebut. Sesungguhnya, apa yang menghasilkan perasaan nikmat dalam obyek-obyek eksternal bukan lain adalah kekotoran yang melekat pada pikiran itu sendiri. Oleh karena itu faktor internal inilah yang menjadi penyebab sebenarnya dari kenikmatan itu. Tanpa adanya kekotoran demikian dalam pikiran maka obyek-obyek eksternal itu akan menjadi netral. Oleh karena itu, bagi kaum duniawi, ke manapun mereka pergi dan menetap, tempat-tempat tersebut dapat memberikan sesuatu yang menyenangkan indria. Sebaliknya, bagi para Arahant, yang telah mencabut seluruh keinginan dalam kenikmatan indria, mereka tidak akan menemukan apapun yang dapat memunculkan kenikmatan indria, yang telah mereka singkirkan untuk selamanya. Adalah karena fakta inilah maka kata Kàmà dapat digunakan untuk merujuk baik pada obyek-obyek eksternalo maupun pada kekotoran dalam batin walaupun dalam banyak kasus makna pertama lebih sering disiratkan.

Sekarang alam surga Sagga, betapapun besar dan halusnya kenikmatan yang ditawarkan, namun itu tetap adalah kenikmatan indria. Oleh karena itu tunduk pada perubahan dan kemunduran, karena berada dalam lingkaran kelahiran dan kematian, tidak peduli betapa lambatnya proses perubahan itu dibandingkan dengan alam manusia. Dengan keinginan dan akibat kemelekatan pada makhluk0makhluk itu yang memberikan banyak kenikmatan dan kesenangan, dapat dipastikan bahwa, ketika tiba saatnya bagi mereka untuk mengalami penderitaan yang tak terhindarkan dari kemunduran dan kelenyapan, kesedihan dan dukacita sebagai akibat dari keinginan yang kuat dan kemelekatan juga pasti menjadi kuat dan tajam. Oleh karena itu, ini adalah cacat dan bahaya dari kenikmatan indria, yang menjadi tema ke empat dari Lima Tema Penting Bertingkat.

Terakhir adalah Tema Nekkhamma, manfaat dari melepaskan keinginan dan kemelekatan terhadap kenikmatan dalam obyek-obyek indria itu. Ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis yaitu, jasmani dan batin. Kelompok jasmani menyiratkan pelepasan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, sedangkan kelompok batin merujuk pada usaha untuk menenangkan dan memusatkan pikiran, sehingga bebas dari kualitas-kualitas tidak baik, yaitu pikiran-pikiran dan emosi yang tidak terampil. Sebagai akibat dari ini, batin menjadi diliputi oleh kebahagiaan dan kedamaian, karena terlepas dari kemelekatan pada ‘kenikmatan’ yang dianggap dihasilkan dari obyek-obyek ‘kenikmatan’ itu. Ini adalah tema ke lima dari rangkaian yang disebut Anupubbikathà.

Adalah ketika Sang Buddha melanjutkan hingga titik ini Beliau mengamati (secara batin) bahwa batin para pendengarNya telah terberkahi dengan sinar, dan karenanya bebas dari rintangan-rintangan batin dan dengan demikian siap untuk menerima instruksi lebih lanjut. Ini bagaikan sehelai kain yg noda-nodanya tercuci, siap untuk menyerap pewarna. Kemudian Beliau melanjutkan dengan memberikan instruksi lebih lanjut kepada mereka tentang Empat Kebenaran Mulia, menunjukkan kepada mereka Kebenaran tentang Dukkha, Penyebabnya, Padamnya dan Jalan menuju ke sana, semua ini dengan cara yang telah dijelaskan dalam Khotbah Pertama. Tema tentang Empat Kebenaran Mulia ini disebut Samukkansika dhammadesana yaitu Khotbah yang dibabarkan kepada orang-orang yang telah Beliau tembus sendiri melalui PencerahanNya. Biasanya, setelah Sang Buddha membabarkan tema-tema ini satu demi satu kepada para pendengarNya, para pendengarNya akan, menuruti aturan, mencapai Mata-Dhamma yang disebut Jalan Pemenang-Arus atau Sotapanna.

Yang juga harus diperhatikan adalah bahwa Kelima Tema Penting ini yang diikuti dengan Empat Kebenaran Mulia dibabarkan oleh Sang Buddha hanya kepada manusia yang adalah orang awam. Tidak pernah tercatat pernah dibabarkan kepada para bhikkhu atau para dewa. Terlebih lagi, orang-orang awam itu harus telah dilihat (melalui mata batin) cukup matang untuk diberkahi dengan cahaya batin dan kegembiraan setelah mendengarkan khotbah. Sebagai akibatnya, khotbah itu tidak pernah gagal memberikan hasil seperti yang telah diramalkan: pencapaian Mata-Dhamma atau Pemenang-arus oleh pendengar.

Kata Dhammacakkhu digunakan untuk menyiratkan pencapaian kebenaran bahwa apapun yang dilahirkan pasti mengalami kemunduran atau lenyap. Karena hal ini mengkarakteristikkan kondisi dari seorang Sotàpanna, maka, tidak peduli melalui khotbah apapun orang itu menerima instruksi, jika ia mampu memenangkan tahap pencapaian ini, maka ia pasti memperoleh penembusan ini. Atas dasar ini maka dapat diduga bahwa hal ini bukan lain adalah penembusan ke dalam kebenaran-kebenaran sehubungan dengan penderitaan. Karena memahami kelahiran dan kemunduran berarti memahami penderitaan, dan sebaliknya.  Dalam kasus kaum duniawi, hanya kelahiran yang dapat diketahui yaitu dikenali atau diterima karena itu adalah proses yang telah dijalani. Akan tetapi, masih belum ada pengenalan atau penerimaan atas kemunduran atau kematian, karena bagi mereka hal tersebut masih berada di masa depan, masih belum terjadi pada mereka. Ini berarti pengenalan sebagian atau satu-sisi. Ini adalah pengetahuan  separuh, karena kehilangan separuh lainnya, yang menjadi tambahan atau pelengkapnya. Demikianlah Mata-Dhamma, seorang yang melihat Dhamma atau Kebenaran, harus menyiratkan kedua sisinya, aspek yang tidak terpisahkan: Kelahiran dan kematian yang bergantian dalam suatu proses tanpa akhir. Adalah ketika seseorang mampu melihat keseluruhan proses ini secara terus-menerus yaitu tanpa terputus maka tahta kekotoran dapat diturunkan, karena tidak ada landasan di mana ia dapat bersandar. Untuk selanjutnya tidak ada tempat bagi cinta dan benci, atau bagi keinginan dan ketidak-senangan, yang keduanya tumbuh subur di atas konsep bahwa ada sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Tanpa ada sesuatu yang terlihat ada, maka tidak aka nada apapun sebagai tonggak atau landasan bagi kekotoran untuk bergantung atau bersandar.

Indra:
Karena alasan ini, kaum duniawi tidak dapat dikatakan telah menembus Kebenaran Penderitaan. Jika mereka  melihat atau mengenalinya, itu hanyalah sebagian, -- hanya pada tingkat yang sepele. Karena agar Mata-Dhamma dapat muncul, seseorang harus melihat atau mengenali prose situ secara menyeluruh, memahami kemunduran dan kematiannya secara bersamaan yaitu pada saat kelahiran terlihat. Ini disebut masa kini, seperti meneropong kedua aspek kebenaran dan menyelaraskannya ke dalam satu saat pada saat ini, ketika kekotoran kehilangan tonggak atau landasannya. Ini adalah apa yang dimaksud dengan Mata-Dhamma. Oleh karena itu, tidak peduli apapun tema khotbah yang disampaikan, apakah awalnya, pertengahannya, dan akhirnya. Dengan kata lain, tidak ada penekanan pada kemampuan untuk menghapalkan khotbah atau instruksi itu kata demi kata. Tujuannya di sini hanyalah makna yang disiratkan oleh kata-kata itu, yang bervariasi sesuai konteksnya, dan dengan akibat pemahaman itu, yang berarti pemahaman mendalam atas kata-kata itu dimaksudkan untuk menuntun seseorang. Pencapaian pertama dalam Buddhisme adalah pencapaian Mata-Dhamma ini, yang merupakan batu-loncatan menuju pencapaian yang lebih tinggi atau yang tertinggi, melalui beberapa instruksi lainnya yang dilihat oleh Sang Buddha sesuai bagi orang tersebut.


Dhamma bukanlah sebuah jurang
Sebaliknya, Dhamma adalah lembah yang landai
Dengan sistem praktik setahap demi setahap
Bagi kita semua agar memiliki harapan

Seandainya saja kita bias bersungguh-sungguh
Memperbaiki kekurangan kita,
Tidak mundur oleh ketakutan,
Berusaha untuk naik setahap demi setahap.

Selagi menikmati kenikmatan indria
Jangan sampai terbawa arusnya
Penuh perhatian akan bahayanya
Agar kita dapat melepaskannya suatu hari

Merenungkan Kebenaran Mulia,
Kita akan menunaikan pendakian kita,
Memenangkan yang mutlak
Terberkahi dengan Pencerahan.

Proses ini telah dijalankan
Dengan batin yang teguh dan berani.
Mereka tidak putus harapan merasakan kesedihan
Melainkan berjuang hingga mereka menemukan

Minimal hingga pada ‘Arus’
Di mana seseorang tidak akan mundur –
Langkah pertama menuju kebahagiaan tertinggi –
Sebagai patokan, puncak keberhasilan.

Ini tidak dapat dimonopoli,
Karena meupakan panggilan batin
Yang mengisyaratkan kita untuk mengukur ketinggiannya
Dan memenangkan kebahagiaan tertinggi dari segalanya.

-Bab 4 Selesai –

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version