//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST  (Read 16180 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« on: 28 July 2007, 12:46:41 PM »
Mau tanya kepada teman2, bagaimana pendapat kalian tentang hukuman mati?

Dalam suatu negara pastinya ada hukuman mati, apa dibenarkan dalam agama Buddha?

Apapah ada gunanya atau tidak?

Sekian....

Thanks...
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #1 on: 28 July 2007, 12:54:56 PM »
Demi keamanan nusa dan bangsa (orang banyak) berarti DEAL, Nehi problemo...,

Namun... ada pertanyaan baru...
Apakah keamanan dan segala macem alasan tadi hanya bisa dicapai via Hukuman mati ?

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #2 on: 28 July 2007, 12:58:51 PM »
HUKUMAN MATI DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA

Pendahuluan

Perdebatan mengenai masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati pada dewasa ini belum sampai pada titik tuntas, dan kiranya masih akan berkembang terus untuk waktu yang lama. Para ahli, negarawan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang pro dan kontra terhadap hukuman mati itu mengemukakan argumentasinya dari berbagai sudut pendekatan, yaitu dari sudut ilmu hukum, ilmu jiwa, ilmu kemasyarakatan, kriminologi, dan sebagainya.

Di negara Indonesia dan juga di negara-negara lain, perdebatan masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati masih belum selesai. Agaknya pandangan manusia terhadap hukuman mati mengalami proses perkembangan evolusioner. Di negara Inggris, beberapa abad berselang, seseorang yang mencuri ayam dapat dihukum gantung. Pada dewasa ini hukuman mati telah dihapuskan sepenuhnya di sabagian besar negara-negara maju. Sebaliknya, di beberapa negara bagian Amerika serikat, hukuman mati yang pernah dihapuskan kini diberlakukan kembali dengan pertimbangan tertentu.

Masalah hukuman mati di Indonesia diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 11 yang berbunyi, ? Hukuman mati yang dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. ?

Ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung sebagaimana tersebut dalam pasal 11 KUHP dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan jiwa revolusi Indonesia. Oleh sebab itu, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Pnps tahun 1964, pelaksanaan pidana mati di Indonesia tidak lagi dilaksanakan dengan cara digantung, tetapi dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Di Amerika, ada negara-negara bagiannya yang memakai kursi listrik atau gas beracun untuk melaksanakan hukuman matinya. Sedangkan di Perancis, pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan pemenggalan kepala dengan memakai alat yang disebut ? quilotine ?.

Di Indonesia, sejak pemulihan kedaulatan sampai sekarang telah empat kali dijatuhkan hukuman mati oleh Pengadilan Negeri di Indonesia, yaitu atas perkara terdakwa Hamzah dalam peristiwa pembunuhan Ali Bajened, atas tiga orang terdakwa Saadon bin Mochamad, Ismail bin Husein, dan Tasrif bin Yusuf dalam peristiwa Cikini, atas terdakwa Allen Lawrence Pope dalam peristiwa pemboman di Ambon, dan atas terdakwa Kusni bin Kasdut dalam perkara perampokan di musium. Hukuman Hamzah belum dilaksanakan, karena terdakwa telah melarikan diri. Hukuman tiga orang terdakwa peristiwa Cikini (percobaan pembunuhan terhadap mantan presiden Soekarno di sebuah sekolah di Cikini) telah dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1960 secara Hukum Acara Pidana Militer, ialah dengan jalan ditembak. Sedangkan, hukuman terdakwa Allen Lawrence Pope belum dilaksanakan, karena naik banding ke Pengadilan yang lebih tinggi.

Penghukuman mati atas diri Kusni Kasdut telah dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan hukuman mati, Kusni Kasdut telah diberitahu terlebih dahulu oleh jaksa tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut.

Sesungguhnya, tujuan pemidanaan di Indonesia yang berazaskan Pancasila itu pada dasarnya bertitik berat pada unsur pendidikan. Jadi, pidana mati masih perlu dipertahankan. Hanya penjatuhannya harus sehemat mungkin, dan sebaiknya hanya dijatuhkan apabila sudah diyakini bahwa penjatuhannya itu adalah yang terserasi pada saat penjatuhan tersebut.

Dengan melihat unsur pendidikannya, hukuman mati masih diberlakukan di negara Indonesia. Demikian pula dengan negara-negara Buddhis, misalnya Thailand, yang masih tetap melaksanakan hukuman mati terhadap siapa saja yang melanggar hukum negara seperti tindakan kejahatan yang berat. Sesungguhnya, di kalangan umat Buddha juga terdapat golongan-golongan yang pro dan yang kontra terhadap hukuman mati.

Tinjauan secara agama Buddha

Agama Buddha atau Buddha Dhamma memang tidak secara langsung mengurusi masalah-masalah kemasyarakatan. Agama Buddha tidak mengurusi masalah perkawinan, perceraian, warisan, perdagangan, hukum, pemerintahan, peperangan, dan sebagainya. Ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan secara perorangan. Lalu, dengan jalan ini secara tidak langsung ketentraman dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Kemudian, lebih dari pada itu, ajaran Sang Buddha bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, baik di dunia ini maupun di alam lain.

Namun, sejak ajaran Sang Buddha dianut bersama-sama oleh orang banyak atau kelompok-kelompok individu atau masyarakat, bangsa-bangsa, atau negara-negara, ajaran Beliau mengalami banyak perubahan dengan bentuk-bentuk yang kiranya disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, kebutuhan, atau kecenderungan orang-orang yang menganutnya. Dalam hai ini, ajaran Sang Buddha (Buddha Dhamma) mendapat perubahan sebutan menjadi agama Buddha, yang kemudian penganutnya pecah menjadi kelompok-kelompok yang sampai saat ini merupakan sekte atau aliran-aliran yang sangat beraneka ragam. Oleh sebab itu, tidaklah jarang ditemui bentuk-bentuk agama Buddha atau aliran agama Buddha yang kompleks, yang bercampur baur dengan bermacam-macam paham kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat atau tradisi yang dimasukkan ke dalam perkembangan agama Buddha itu. Bahkan, ada kalanya dijumpai dalam beberapa aliran itu, bahwa adat istiadat atau tradisi jauh lebih menonjol dari pada ajaran Sang Buddha yang sebenarnya. Dalam hal demikian, mereka masih tetap taat dan kukuh menyebut sebagai agama Buddha dan menyatakan dirinya orang Buddhis, masyarakat Buddhis, negara Buddhis, dan lain-lain. Mengenai hal ini, umat Buddha tak dapat berbuat apa-apa selain dari pada berusaha mengembangkan pengertian dan kesadaran masing-masing dan mengharapkan pengertian bersama dalam lingkungan hidup bersama.

Mengenai hukuman mati, memang sebenarnyalah dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukum tata negara, apalagi pelaksanaan hukumam mati. Demikian pula, dalam ajaran Sang Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak dibicarakan dengan tegas dan tandas ialah proses sebab dan akibat yang disebut hukum karma.

Dalam Samyutta Nikaya I : 227, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :

Sesuai dengan benih yang telah ditabur,
Begitulah buah yang akan dipetiknya,
Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan,
Pembuat kejahatan akan dimemetik kejahatan pula,
Taburlah biji-biji benih dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.

Hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat dari perbuatan. Jika orang berbuat baik, maka keadaan yang menyenangkanlah yang akan dialaminya. Sebaliknya, jika orang berbuat jahat, maka keadaan yang tidak menyenangkanlah yang akan diterima. Keadaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang merupakan akibat dari perbuatannya itu dapat timbul atau datang dari bermacam-macam segi, misalnya datang dari dirinya sendiri, dari alam lingkungannya, dari makhluk ? makhluk halus, dari orang lain, dari pemerintah, dan lain ? lain.

Umpamanya, ada kalanya seseorang yang setelah berbuat jahat lalu menyesali perbuatannya atau merasa malu, takut, sedih, dan lain ? lain, kemudian menyiksa dirinya atau ada juga yang sampai membunuh dirinya sendiri. Ini merupakan akibat dari perbuatannya yang jahat. Demikian pula, jika orang berbuat jahat yang merugikan makhluk lain atau orang lain, merugikan masyarakat atau negara atau yang lainnya, maka ia juga dapat menerima akibat atau ganjalan yang datangnya dari obyek ? obyek yang dirugikan atau dari salah satu pihak yang tersebut diatas. Jadi, keadaan yang tidak menyenangkan bagi orang yang berbuat jahat itu wajar diterimanya, apakah itu merupakan hukuman yang ringan, sedang, atau berat, atau hukuman mati, sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukannya.

Selanjutnya, apakah hukumannya itu datang dari dirinya sendiri, dari alam, dari orang lain, atau dari negara, itu tergantung pada waktu atau keadaan, tempat, sasaran, berat ringan atau ruang lingkup dari kejahatan yang dilakukan. Demikian pula, bentuk dari hukuman itu tergantung pada unsur ? unsur tersebut diatas, yang mungkin berupa hukuman denda, kurungan badan, kerja paksa, siksaan, atau hukuman mati. Terjadinya hal ini kiranya sangat sukar ditentukan sebelumnya, kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu, karena hal ini tergantung pada banyak seperti tersebut diatas. Jadi, pada hakekatnya akibat dari perbuatan jahat itu wajar dan patut diterima oleh para pelakunya, baik itu merupakan hukuman ringan, hukuman berat, maupun hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.

Sebenarnya, apa yang disebut ? hukuman ? yang harus diterima oleh orang yang berbuat jahat itu, terutama yang datangnya dari negara atau pemerintah itu tidak lain dari pada suatu bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menyadarkan orang yang jahat agar berhenti berbuat kejahatan. Oleh karena itu, hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh kejahatannya.

Setiap orang jahat pasti pada suatu saat akan menerima hukuman itu, baik hukuman yang berat maupun yang ringan, ataupun hukuman mati, karena hukuman itu sebenarnya memang dibutuhkan oleh mereka dalam perjalanan kehidupannya untuk perkembangan batinnya menuju kebaikkan dan kesempurnaan. Dengan adanya hukuman yang bersifat mendidik itu, mereka menjadi sadar akan kesalahannya dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu pada masa ? masa mendatang. Mereka ikhlas menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya dan berusaha tetap tenang pada saat menjalani hukuman itu. Mereka yang dijatuhi hukuman mati berusaha bersikap dewasa. Pada saat eksekusi atau pelaksanaan hukuman mati, mereka berusaha memusatkan pikiran ke arah yang baik agar mereka dapat meninggal dengan pikiran yang tenang. Dengan ketenangan pikiran itu, mereka dapat bertumimbal lahir di alam yang lebih baik.

Sesungguhnya, hukuman atau penderitaan itu memang sudah ada, yang pada hakekatnya diciptakan oleh orang ? orang jahat itu sendiri melalui karmanya yang jahat. Ya? orang jahat pasti akan menerima akibat dari perbuatan jahatnya itu. Ia akan sedih dan menderita.

Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 15, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :

Di dunia ini ia bersedih hati,
Di dunia sana ia bersedih hati,
Pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia ini.
Ia bersedih hati dan meratap
Karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih.

Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 17, Sang Buddha kembali bersabda sebagai berikut :

Di dunia ini ia menderita,
Di dunia sana ia menderita,
Pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu.
Ia akan meratap ketika berpikir,
? Aku telah berbuat jahat, ?
dan ia akan lebih menderita lagi
ketika berada di alam sengsara.

Selanjutnya, apakah orang yang melakukan tugas negara untuk membunuh penjahat itu akan mendapat akibat karma yang tidak baik ? Di sini harus dilihat dari cetana atau kehendak si algojo itu. Jika algojo itu mempunyai rasa benci yang amat besar terhadap si penjahat pada saat ia membunuhnya, maka algojo tersebut akan mendapat akibat karma buruk yang berat . Namun, jika algojo itu tidak mempunyai rasa benci terhadap si penjahat pada saat ia membunuhnya, yang berarti bahwa tugas itu dilakukannya dengan terpaksa, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang lebih ringan.

Demikian pula halnya dengan hakim yang menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap si terdakwa. Jika hakim itu mempunyai rasa benci yang amat besar terhadap si terdakwa pada saat ia menjatuhkan vonis hukuman mati, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang berat. Namun, jika hakim itu tidak mempunyai rasa benci terhadap si terdakwa pada saat ia menjatuhkan vonis hukuman mati itu, tetapi semata ? mata untuk menjalankan tugas negara yang berarti hukuman mati itu diadakan dengan tujuan baik, yaitu agar masyarakat, bangsa, dan negara itu aman, sejahtera, damai, dan bahagia lahir dan batin, maka ia akan mendapat akibat karma buruk yang lebih ringan.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jika di lihat dari tujuan pemerintah mengadakan hukuman mati dan bahwa hukuman itu pasti pada suatu saat akan diterima oleh orang yang berbuat jahat, maka tindakan pemerintah mengadakan hukuman mati itu dapat dibenarkan. Ini juga merupakan alasan bagi golongan umat Buddha yang pro terhadap hukuman mati.

Di kalangan umat Buddha juga terdapat golongan umat Buddha yang kontra terhadap hukuman mati. Mereka tentu saja tidak dapat membenarkan adanya hukuman mati dalam situasi apapun. Mereka mengemukakan argumentasinya dari sudut metta yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Metta atau maitri berarti cinta kasih tanpa pamrih. Suatu ketika Sang Buddha pernah memberikan nasihat sebagai berikut : ?Persis laksana seorang ibu melindungi anaknya yang tunggal, walaupun sampai mengorbankan kehidupannya, demikianlah juga seharusnya seseorang memelihara welas asih yang tak terbatas itu kepada semua makhluk. ? Di sini, yang dimaksudkan bukanlah perasaan cinta kasih yang berdasarkan nafsu kemilikan dari seorang ibu terhadap anaknya, tetapi yang dimaksudkan adalah keinginan yang murni atau suci dari seorang ibu untuk mencapai kesejahteraan anaknya.

Metta bukanlah hanya terbatas dalam perasaan bertetangga atau bersaudara kandung. Metta bukan pula persaudaraan yang berdasarkan kesamaan politik, suku bangsa, kebangsaan, atau agama. Metta lebih luas dan lebih mulia dari segala macam persaudaraan yang sempit itu. Metta tanpa batas dalam bidang ? bidang dan peraturan. Metta tidak mempunyai rintangan atau penghalang, juga tidak mengadakan perbedaan. Metta yang luhur ini memancarkan berkahnya yang halus dan tenang itu sama rata terhadap yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang kaya dan yang miskin, yang baik dan yang buruk, yang jahat dan yang bajik, pria dan wanita, manusia dan binatang.

Demikian juga halnya dengan Sang Buddha. Beliau memiliki metta yang tak terbatas. Beliau ? bekerja ? dengan tanpa pamrih untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua mahkluk, baik orang ? orang yang mencintainya maupun yang membencinya atau yang mencoba membunuhnya. Beliau memancarkan metta- nya yang sama terhadap puteranya Rahula, terhadap Devadatta yang memusuhinya, terhadap Ananda siswanya yang tersayang, terhadap orang ? orang yang pro dan kontra, dan terhadap semua makhluk.

Orang yang memiliki metta pasti suka melakukan Abhaya Dana ( berdana dalam bentuk pemberian maaf). Mereka suka memberikan maaf terhadap orang-orang jahat, karena mereka memnyadari bahwa orang-orang jahat yang belum mencapai kesucian itu pasti masih bisa berbuat salah. Mereka tidak membenci orang-orang jahat itu. Mereka memancarkan cinta kasih kepada orang-orang jahat itu. Mereka berusaha membantu menyadarkan orang-orang jahat itu agar menghentikan perbuatan jahatnya. Mereka berusaha membimbing orang-orang jahat itu ke jalan yang benar.

Dalam prakteknya, metta yang diajarkan oleh Sang Buddha, juga harus disertai dengan panna. Panna adalah kebijaksanaan luhur, yang akan mengusir semua kegelapan. Sang Buddha mengajarkan agar umat Buddha dapat menjadi orang yang bijaksana. Umat Buddha harus dapat memilih yang terbaik untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Sumber :
BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA ( Kumpulan Tulisan)
Oleh : Mettadewi W., S.H., Ag.
Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta
Cetakan pertama, Juli 1999

kembali
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline langitbiru

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 547
  • Reputasi: 23
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #3 on: 28 July 2007, 01:29:09 PM »
menurut aku sih, mendingan hukuman seumur hidup. kl dlm buddhist kan pembunuhan itu tdk diperkenankan.
oni... kao titi bobo... gigi...

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #4 on: 28 July 2007, 01:44:04 PM »
menurut aku sih, mendingan hukuman seumur hidup. kl dlm buddhist kan pembunuhan itu tdk diperkenankan.

emang tujuan hukuman mati itu apa ? tegaknya keadilan ato terlampiaskannya emosi/kemarahan, apa bs menjamin bahwa kejahatan akan berkurang ? apakah biar kejahatan yg dilakukan oleh seseorang hilang ? tidak, mungkin untuk 1 pelaku yg mati itu iya, tp tidak untuk yg lain. hukuman mati tidak akan memberikan efek apa2 selain kesan kebengisan, kengerian masyarakat, cela-cercaan dan sebagainya...

seberat apa pun kejahatan dia, apa pantas ia mati ? tidak... kita hanya menciptakan perbuatan yg baru yaitu ada pembunuhan dan permasalahan tidak akan stop disana... gw setuju ma cik LB, menjatuhkan hukuman seumur hidup jauh lebih baik, selama hukuman itu tidak di toleransi/ada nya kebijakan2 tertentu yg bs meringankan, kecuali ada perubahan nyata dalam sikap si terdakwa hukuman mati...

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #5 on: 28 July 2007, 01:58:13 PM »
Nice article sdr Hedi.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #6 on: 29 July 2007, 12:18:00 PM »
Nice article sdr Hedi.

Nice comment bro Ryu...

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #7 on: 29 July 2007, 12:32:13 PM »
Nice reply sdr dhanu.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #8 on: 29 July 2007, 01:50:07 PM »
Nice reply sdr dhanu.

Nice respon bro Ryu...

oi, ga abis2 nih, bakal nyambung mulu  :)) [mode kidding off, jd di-stop-kan dulu puji memujinya]  ;D

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #9 on: 29 July 2007, 02:07:58 PM »
Yess sirr!!!
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline lim

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 113
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #10 on: 01 August 2007, 08:33:19 PM »
nggak stuju ah.. sadizz ky di agama sebelah pake hukum gantung ma rajam  :-SS

Offline Fei Lun Hai

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 686
  • Reputasi: 24
  • Gender: Female
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #11 on: 09 August 2007, 12:29:51 PM »
Nggak setuju dengan hukuman mati karena setiap orang berhak untuk hidup sekalipun dia itu seorang penjahat. Kita sama sekali tidak berhak untuk menghilangkan nyawa orang lain. Lagipula bukankah pembunuhan itu tidak mencerminkan maitri karuna yg merupakan sifat2 luhur dalam Buddhist? Jadi saya sependapat dengan jendral LB & aa' tono untuk memberlakukan hukuman seumur hidup saja untuk kejahatan tingkat berat.
« Last Edit: 09 August 2007, 12:32:52 PM by maitri »
your life simple or complex is depend on yourself

Offline hexel

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 451
  • Reputasi: -1
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #12 on: 04 March 2015, 08:28:38 PM »
Lagi rame ramenya berita tentang eksekusi mati, jadi kepingin baca artikel ini rame rame. Hehehe

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #13 on: 05 March 2015, 07:51:16 AM »
Artikel lain tentang hukuman mati dalam pandangan Buddhis dari http://filsafat.kompasiana.com/2015/02/22/pandangan-ajaran-buddha-terhadap-hukuman-mati-703006.html:

Hukuman Mati dalam Pandangan Buddhis

Akhir-akhir ini perdebatan pro dan kontra tentang hukuman mati kembali mencuat setelah pemerintah melalui Kejaksaan Agung mengeksekusi 6 orang terpidana kasus narkoba tanggal 18 Januari 2015 yang lalu dan dalam bulan Februari ini pemerintah kembali akan mengeksekusi 10 orang terpidana kasus narkoba yang menyebabkan hubungan diplomatik Indonesia dan beberapa negara sahabat meregang. Umumnya pihak-pihak yang menyuarakan pro hukuman mati berpegang pada alasan untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan yang dianggap di luar batas kemanusiaan (extraordinary crime), termasuk kasus narkoba yang setiap harinya merengut banyak nyawa dan merusak generasi masa depan suatu bangsa. Sementara itu, mereka yang kontra hukuman mati berpegang pada prinsip kemanusiaan bahwa hak asasi manusia untuk hidup dan mempertahankan hidup tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun dan mempertimbangkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih memiliki kelemahan sehingga bisa terjadi kesalahan proses hukum di mana mereka yang tidak bersalah dapat menjadi terhukum.

Oleh sebab itu, melalui tulisan ini penulis berusaha mengkaji bagaimana ajaran Buddha bersikap terhadap penerapan hukuman mati dari berbagai kotbah Sang Buddha (sutta) yang mewakili bentuk ajaran Buddha yang lebih awal. Walaupun ajaran Buddha awal hanya bertujuan pada pelenyapan penderitaan (dukkha) sepenuhnya dan tidak memiliki ajaran khusus yang berhubungan dengan hal-hal duniawi dan sekuler seperti aturan pernikahan, sistem pemerintahan, dan sistem hukum, namun kita dapat menemukan beberapa petunjuk tentang bagaimana pandangan ajaran Buddha terhadap hukuman dalam pemerintahan dalam sutta-sutta awal.

Secara umum ajaran Buddha memandang penerapan hukuman dalam pemerintahan tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru menyebabkan tingkat kejahatan akan semakin meningkat, seperti yang dikemukakan dalam Kutadanta Sutta (Digha Nikaya 5) di mana seorang brahmana kerajaan (yang tak lain adalah Bodhisatta Gotama pada kehidupan lampau) memberikan nasehat kepada seorang raja masa lampau yang akan mengadakan upacara pengorbanan besar sebagai berikut:

Quote
“Negeri Baginda diserang oleh para pencuri, dirusak, desa-desa dan kota-kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda mengutip pajak atas wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda berpikir: ‘Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi dan hukuman penjara, atau dengan menyita, mengancam, dan mengusir’, gangguan ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri Baginda. Namun dengan rencana ini, engkau dapat secara total melenyapkan gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini, yang bermata pencaharian bertani dan beternak sapi, Baginda akan membagikan benih dan makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, akan diberikan modal; yang bekerja melayani pemerintahan akan menerima upah yang sesuai. Maka orang-orang itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Penghasilan Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira, akan bermain dengan anak-anak mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang terbuka.”

Jadi, penyelesaian permasalahan banyaknya kejahatan dalam suatu negara bukanlah dengan menerapkan hukuman apa pun (termasuk hukuman mati), melainkan dengan mencari akar penyebab kejahatan tersebut dan mencegahnya melalui perbaikan ekonomi sehingga kehidupan rakyat lebih makmur dan sejahtera. Untuk kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba, akar permasalahannya lebih rumit dari sekedar persoalan ekonomi dan memerlukan kajian yang lebih mendalam, tetapi pada prinsipnya ajaran Buddha lebih menyarankan penyelesaian kasus narkoba dengan menyelesaikan akar permasalahannya alih-alih dengan penerapan hukuman mati.

Namun demikian, cara yang salah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat justru meningkatkan kejahatan alih-alih menurunkan tingkat kejahatan tersebut. Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan seorang keturunan raja dunia (cakkavati: raja pemutar roda) generasi ketujuh pada zaman dahulu seperti yang dikisahkan Sang Buddha dalam Cakkavati-sihanada Sutta (Digha Nikaya 26) berikut:

Quote
Kemudian seseorang mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, engkau harus tahu bahwa Pusaka-Roda suci telah lenyap.” Mendengar kata-kata ini, Raja berduka dan bersedih. Tetapi raja itu tidak mendatangi Raja Bijaksana dan menanyakan tentang tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Sebaliknya, ia memerintah rakyatnya sesuka hatinya sendiri, dan, karena diperintah dengan cara demikian, rakyat tidak menjadi makmur seperti pada masa raja sebelumnya yang melakukan tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Kemudian para menteri, penasihat, pejabat keuangan, pengawal dan penjaga pintu, dan para pembaca mantra mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, sejak engkau memerintah rakyat dengan sesuka hatimu, dan dengan cara yang berbeda dengan bagaimana kami diperintah oleh raja pemutar-roda sebelumnya, rakyat menjadi tidak makmur. Baginda, ada menteri-menteri … di dalam wilayahmu, termasuk kami, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana seorang raja pemutar-roda memerintah. Tanyalah kami, Baginda, dan kami akan memberitahukan kepadamu!”

Kemudian Raja memerintahkan semua menteri dan yang lainnya berkumpul, dan berkonsultasi dengan mereka. Dan mereka menjelaskan kepadanya tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Dan, setelah mendengarkan mereka, Raja melakukan penjagaan dan perlindungan, tetapi tidak memberikan persembahan kepada yang membutuhkan, dan sebagai akibatnya, kemiskinan berkembang. Dengan meningkatnya kemiskinan, seseorang mengambil apa yang tidak diberikan, dengan demikian melakukan apa yang disebut pencurian. Mereka menangkapnya, dan membawanya ke hadapan raja, dan berkata: “Baginda, orang ini mengambil apa yang tidak diberikan, yang disebut pencurian.” Raja berkata kepadanya: “Benarkah bahwa engkau mengambil apa yang tidak diberikan - yang disebut pencurian?” “Benar, Baginda.” “Mengapa?” “Baginda, aku tidak memiliki apa pun untuk bertahan hidup.” Kemudian Raja memberikan orang itu harta, dan berkata: “Dengan ini, rakyatku, engkau dapat mempertahankan hidupmu, menyokong orang tuamu, istrimu, dan anak-anakmu, jalankan usaha dan berilah persembahan kepada para petapa dan Brahmana, yang akan memajukan kesejahteraan spiritualmu dan mengarah menuju kelahiran kembali yang bahagia dengan hasil yang menyenangkan di alam surga.” “Baiklah, Baginda,” jawab orang itu.

Dan hal yang sama terjadi pada orang lainnya.

Kemudian orang-orang mendengar bahwa Raja memberikan harta kepada mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan, dan mereka berpikir: “Bagaimana jika kita melakukan hal yang sama?” Dan kemudian seorang lainnya mengambil apa yang tidak diberikan, dan mereka membawanya ke hadapan raja. Raja menanyakan mengapa ia melakukan hal itu, dan ia menjawab: “Baginda, aku tidak memiliki apa pun untuk bertahan hidup.” Kemudian Raja berpikir: “Jika aku memberikan harta kepada setiap orang yang mengambil apa yang tidak diberikan, pencurian akan semakin meningkat. Lebih baik aku mengakhirinya, menghukumnya selamanya, dan memenggal kepalanya.” Maka ia memerintahkan orangnya: “Ikat kedua tangan orang ini di punggung dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan arak dia dengan tabuhan genderang melalui jalan-jalan dan lapangan dan keluar melalui gerbang selatan, dan di sana hukum dia dengan hukuman terberat dan penggal kepalanya!” Dan mereka melakukan hal itu.’

Mendengar hal ini, orang-orang berpikir: “Sekarang mari kita mengambil pedang tajam, dan kemudian kita dapat mengambil apa yang tidak diberikan dari siapa saja [yang disebut pencurian], kita akan mengakhiri mereka, menghukum mereka selamanya dan memenggal kepala mereka.” Demikianlah, setelah mendapatkan pedang tajam, mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa-desa dan kota-kota, dan pergi menjadi perampok jalanan, membunuh korban mereka dengan memenggal kepala mereka.

Dari kutipan sutta di atas juga terlihat bahwa penerapan hukuman mati justru membuat para pelaku kejahatan lain yang belum tertangkap berlaku lebih kejam dan sadis dalam melakukan kejahatannya.

Selain sutta-sutta di atas, terdapat juga beberapa ucapan Sang Buddha yang tercatat dalam Dhammapada, salah satu bagian tertua dari Khuddaka Nikaya, yang menyatakan penolakan terhadap penerapan hukuman dalam bentuk apa pun sebagai ancaman terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang, seperti dalam bab X Danda Vagga (Bab tentang Hukuman) syair 129-130 sebagai berikut:

Quote
Semua gentar terhadap hukuman.
Semua takut terhadap kematian.
Dengan mengumpamakan orang lain sebagai diri sendiri,
seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan pembunuhan.

Semua gentar terhadap hukuman.
Semua mencintai kehidupan.
Dengan mengumpamakan orang lain sebagai diri sendiri,
seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan pembunuhan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ajaran Buddha menolak penerapan hukuman mati karena hal tersebut bukanlah solusi yang tepat atas permasalahan kejahatan yang muncul dalam masyarakat dan justru dapat meningkatkan terjadinya kejahatan yang lebih sadis. Selain itu, hukuman dalam bentuk apa pun adalah tidak dianjurkan karena semua orang tanpa kecuali takut akan hukuman dan kematian serta mencintai kehidupannya masing-masing. Demikianlah pandangan Buddhis terhadap hukuman mati yang ditinjau dari beberapa teks-teks ajaran Buddha tertua yang dipertahankan dalam Tipitaka Pali.
« Last Edit: 05 March 2015, 07:55:12 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.153
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: HUKUMAN MATI MENURUT BUDDHIST
« Reply #14 on: 05 March 2015, 01:20:59 PM »
wa setuju hukuman mati dgn syarat bila melakukan kejahatan yang sangat berat misalnya seperti pembunuh berantai atau pembunuh berseri, dgn maksud hukuman mati ini untuk membuat dia tidak dapat melakukan pembunuhan lagi bila di lepas kembali ke masyarakat.

Bila melihat satu sisi metta memang seperti itu, tapi harus juga melihat metta dari sisi korban dan calon korban berikutnya bila dia tidak di hukum mati, kesalahan siapakah membiarkan pelaku kejahatan sangat berat kembali ke masyarakat dan melakukan pembunuhan (kejahatan sangat berat) kembali?

bukan kah ada cerita nya ketika masih menjadi bodhisatva melakukan pembunuhan kepada penjahat yang menyamar agar penjahat tersebut tidak melakukan kejahatan lebih besar dgn membunuh seisi perahu yang berisi banyak bhodisatva.
« Last Edit: 05 March 2015, 01:36:51 PM by kullatiro »

 

anything