Tanggapan untuk berita di bawah ini. Para sahabat yang kebetulan hadir, silahkan untuk berbagi pengalam ketika berada di sana sehingga beritanya berimbang
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/12/07341977/demo.buddha.bar.tak.mencerminkan.nilai.buddhismeSemoga anda semua dalam keadaan sehat, damai dan bahagia
Apakah saya mau pergi ke dialog "Kontroversi Buddha Bar" atau ke Gramedia
karena sedang ada diskon 30%? Ternyata kaki melangkah juga ke acara "dialog"
tersebut. Bertiga dengan dua orang sahabat saya, kita meluncur ke hotel
Borobudur sambil banyak bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal.
Masuk ke pelataran hotel Borobudur, ada sebuah spanduk besar menyambut
kedatangan peserta. Spanduk berwarna gambar daun pohon Bodhi berwarna hijau
yang disekelilingnya diberi lis bendera Buddhis memberikan kesan bahwa
kegiatan ini adalah kegiatan besar.
Ketika kami sampai, acara baru saja dimulai. Seorang wanita bertubuh agak
besar sedang berbicara di podium, mungkin dia adalah ketua panitia.
Disusul oleh MC yang memperkenalkan moderator, dan moderator memperkenalkan
nara sumber. 1 nara sumber dari DIRJEN HAKI (maaf kalau salah karena tidak
detil memperhatikan jabatan ketika diperkenalkan) satu lagi adalah Ketua
Dewan Pembina DPP GemaBudhi (Lius Sungkarisma)
Sebuah kejanggalan mulai terasa. Apa saja itu?
a. Ketika kita memdengar kata dialog? Apa yang ada di benak anda?
Bukankah dialog adalah sebuah proses diskusi yang bersifat dua arah?
Ternyata tidak? Sesi pertama disampaikan oleh pak Lius yang berbicara
tentang bukan tentang kontroversi Buddha Bar itu sendiri, tetapi lebih
menyerang teman-teman yang ada di FABB (Forum Anti Buddha Bar). Sebagian
nama yang tersebut adalah CALEG-CALEG Buddhis yang berasal dari Partai PDS,
PKB Muhaimin, dan Demokrat. Bahwa mereka menunggani umat Buddha melalui
Forum ini agar mereka bisa mendapatkan simpati dari umat Buddha. Ponijan
Liaw yang menuliskan pandangannya di koran Kontan juga kebagian porsi
disebut sebagai orang yang takut periuk nasinya hilang karena mendukung
GemaBudhi mendukung Buddha Bar. Kenapa surat-surat dari WALUBI yang
menyatakan menolak Buddha Bar serta surat dari Budiman Sudharma yang
mendukung Buddha Bar tidak dibahas? Bukankah kabarnya, tanggal surat
tersebut hanya selisih satu hari. Namanya juga dialog kontroversial,
bukankah kedua surat tersebut kontroversial?
b. Tidak ada unsur dari FABB, atau dari Buddha Bar sendiri. Jadi, jelas
bahwa acara yang namanya dialog ini ternyata bukan dialog. Orang-orang yang
berada di panggung tersebut mendapatkan waktu untuk menyampaikan
pandangannya dan yang mendengar boleh bertanya. Sebenarnya pertanyaan yang
lebih mendasar adalah bagaimana kedua nara sumber bisa menjadi nara sumber.
Untuk nara sumber dari Dirjen Haki, kita tidak perlu banyak bertanya karena
memang sudah menjadi tugas pemerintah untuk memberikan pengertian kepada
rakyatnya. Dalam kapasitas beliau memberikan penjelasan, terlihat bahwa
memang yang disampaikan adalah apa yang beliau ketahui. Pertanyaan kedua
layak diajuka kepada pak Lius sebagai nara sumber kedua yang mengatakan
bahwa ia sampai harus turun gunung untuk membantu masalah ini. Adik-adik di
GEMABUDHI meminta bantuan beliau untuk hadir dan membantu. Ini sebuah
keanehan tetapi memang sungguh keajaiban. DPP Gemabudhi yang menyelenggarkan
dialog ini sekali lagi menujukkan keberpihakkan yang sangat mendalam
terhadap Buddha Bar karena nara sumber yang diundang selama menyampaikan
pandangannya lebih membela Buddha Bar daripada bersikap netral. Tidak ada
nara sumber yang disiapkan untuk membahas masalah ini dari dua sisi yang
berbeda membuat minoritas anti Buddha Bar hanya bisa diam ketika provokasi
tepuk tangan membahana tatkala pak Lius membela Budha Bar. Lebih hebat lagi,
ternyata ada saudara kita Budiman Sudharma yang hadir disana tetapi malah
hanya menjadi pendengar. Jika ini adalah sebuah dialog, mengapa dia tidak
dihadirkan sebagai nara sumber dan panitia bisa dengan sedikit kerja keras
mengundang FABB agar dialog ini menjadi berbobot.
c. Kelucuan lain adalah salah satu orang GEMABUDHI (saya lupa namanya
tapi ia sukses di Prudential) berargumen dengan mengambil contoh Thailand
sebagai negara Buddhis dan apa saja yang maksiat bisa ditemukan di Thailand.
Lucu bukan, sebagai Buddhis, ia bangga negara Buddhis menjadi sarang maksiat
dan menjadikanya contoh di sebuah dialog yang menentang kehadiran sebuah Bar
bermerk Buddha.
d. Siapa saja yang pernah menginap di hotel Borobudur tentu saja tahu
berapa dolar yang harus dikeluarkan untuk bisa menikmati surga disana. Salut
kepada teman-teman di Gemabudhi yang sudah mampu membuat sebuah acara yang
begitu "meriah" di hotel yang begitu mewah. Mengapa hotel Borobudur yang
dipilih? Tidakkah ada kelucuan dan kecurigaan disana? Mampukah Gemabudhi
membiayai ini semua?
e. Salah satu rekomendari dari pak Lius adalah menempuh jalur hukum.
Ini tentu saja sebuah solusi yang baik karena kita semua tahu Buddha
mengajarkan kita untuk selalu bersikap non kekerasan. Dirjen Bimas Buddha,
menurut Beliau, harus berperan aktif dalam hal ini. Nah, siapa saja tentu
tahu ini bukan butuh waktu satu atau dua hari. Nara sumber dari Dirjen HAKI
mengatakan bahwa penggunaan merek Buddha Bar bisa digugat dengan melayangkan
surat protes ke pemegang lisensi Budha Bar di Perancis. Bisa kita bayangkan
lucunya berapa lama proses ini akan berlangsung dan berapa biaya yang
dikeluarkan. Selama proses itu pula, Budha Bar akan terus beroperasi. Nah,
selama Buddha Bar beroperasi, selama itu pula simbol-simbol agama Buddha
akan terus dilecehkan.
f. "Buddha itu anak raja. Buddha banyak dihina orang dan dia bisa saja
meminta bapaknya yang raja itu untuk menghabisi orang yang menghinanya?"
Sekali lagi kita boleh tertawa karena nara sumber kita ternyata belum
mengerti dan mengenal Buddha. Jika Buddha dihina dan langsung meminta
ayahnya untuk menghabisi siapa saja yang menghinanya, kita boleh bertanya
apakah benar Siddharta Gautama telah menjadi Buddha. Sebagai orang suci yang
batinnya sudah tenang dan damai, Buddha tidak dengan mudah bereaksi seperti
kita. Tetapi ketika Buddha difitnah dan dicaci oleh Cinca, apakah murid
Buddha diam saja. Cinca adalah pelacur yang menfitnah Buddha dengan
berpura-pura hamil. Ia mengikatkan sesuatu di perutnya dan berpura-pura
hamil dan menuduh Buddha telah menghamilinya. Biksu Mogalana yang memiliki
kesaktian menciptakan tikus-tikus untuk mengerogoti tali yang mengikat benda
untuk menunjukkan Cinca hamil. Ketika tali itu terputus, terbukti bahwa
Cinca tidak hamil. Masihkah kita tertawa mendengar seorang nara sumber yang
mengaku Buddhis tetapi tidak mengenal Buddha. Ia malah meminta para biksu
untuk mengajarkan dharma yang lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi
lagi. Sayang sekali, sepertinya beliau belum mendengar, apalagi membaca,
apalagi mempraktikkan Mahasatipatana sutta. Hiks sungguh sayang. Sulit bagi
saya untuk percaya kepada nara sumber seperti ini.
g. "Apa kata hati nurani anda?" demikian tanya ibu Ernawati Sugondo, (
saya tidak tahu beliau adalah CALEG atau sudah menjadi anggota Dewan).
Sayang jawaban dari sang nara sumber tidak terdengar dan moderator sudah
menutup sesi pertama dan dilanjutkan dengan sesi break. Sayang pulang saya
tida bisa ikut acara hingga karena memang hasil akhirnya sudah diketahui
sebelum pertandingan dimulai.
h. Bagaimana reaksi bangsa Indonesia jika ada yang bar yang bernama
"Lius Bar." Lebih ekstirm lagi, Soekarno Bar, GusDur Bar, dan sederet nama
tokoh yang bisa saya tuliskan disini untuk menjadi nama bar. Bukanhah hati
kita akan terusik. Pantaskah nama pahlawan, misalnya, Sudirman dibuat
menjadi nama sebuah bar? Sebagai umat Buddha, lucu rasanya melihat ada orang
yang juga mengaku beragama Buddha tidak keberatan nama agung junjungannya
dijadikan merek dagang. Bukan sekedar merek dagang, tetapi merek dagang yang
bertolak belakang dengan hakikat sejatinya.
Semoga tulisan ini bisa membuka wawasan banyak orang. Semoga bermanfaat
Jakarta 11 Maret 2009
Lim Hendra, S.S