mau nanya soal meditasi nih... dari dulu sampai sekarang udah dipraktekin tapi masih bingung koq waktu praktek ma baca buku beda...
1. Bagaimana mengetahui kemajuan meditasi yang kita lakukan? parameter apa yang bisa dipakai untuk mengukur kemajuannya? dari ketenangan pikiran yang tercapai waktu meditasi? ataukah hilangnya kemelekatan setelah sekian lama meditasi...
IMO, kalo menilai sendiri mungkin agak sulit, melainkan dari orang lain yang melihat bahwa kita setelah berlatih meditasi sekian lama menjadi sosok yang lebih baik, tidak mudah marah, lebih sabar, tenang, bijaksana, dst...
2. Kadang ada bbrp orang yang mengatakan dirinya udah mencapai jhana? bagaimana mengetahui bahwa waktu kita meditasi udah mencapai tingkatan tersebut? karena saya takut bahwa yang sebenernya dicapai bukan jhana cuma baru tingkat tenang?
Biasanya kalo dalam retreat ada guru pembimbing yang bisa menilai apakah muridnya telah mencapai jhana setelah melakukan tanya-jawab terhadap muridnya.
3. dalam Dhammapada 166 kisah Atthadatta Thera dikatakan " jangan karena katena kesejahteraan org lain, seseorg melalaikan kesejahteraannya sendiri... sebenarnya apakah maksudnya? bukankah memang kita selalu diajarkan mendahulukan kepentingan org lain/banyak diatas kepentingan sendiri tapi sutta itu nampaknya terbalik
mohon pencerahannya... trims
Dalam Anguttara Nikaya 4.95 dikatakan:
“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.
(1) “Misalkan, para bhikkhu, sebatang kayu kremasi terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di bagian tengahnya: kayu itu tidak dapat dipergunakan sebagai kayu baik di desa atau pun di hutan. Persis seperti halnya kayu ini, Aku katakan, adalah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.
(2) “Para bhikkhu, seorang di antara mereka yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara kedua orang [pertama] ini.
(3) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara ketiga orang [pertama] ini.
(4) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini.
“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”
Dengan demikian, seseorang seharusnya (lebih bagus) berlatih demi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain, tidak hanya memperhatikan kesejahteraan orang lain saja atau kesejahteraan diri sendiri saja.