Oh, ada defenisi koreksi baru untuk kamma: "hanya rangkaian sebab-akibat, tidak ada kusala dan akusala kamma"
Anda menerima konsep kamma, konsep sebab-akibat, namun tidak menerima konsep ada kamma yg bermanfaat dan ada kamma yg merugikan
Anda kan yg pertama menulis bahwa para puthujjana hanya mengetahui baik-buruk secara dogmatis semata, sementara anda 'beda'.. anda melihat segala sesuatu sebagaimana adanya
Reply #27
Saya hanya mencoba mengemukakan bahwa prasangka anda bisa saja salah, bahwa pandangan mereka ternyata cocok dengan kitab, bukan berarti mereka dogmatis.. juga mencoba menyadarkan anda dengan kemungkinan bisa saja anda masih puthujjana seperti yg lain disini... coba renungkan baik2 dulu..
Dan kenapa anda bisa menilai saya (dan yg lainnya) sebagai orang dogmatis, kan anda dan sy hanya terkoneksi dengan kata2 di dunia maya saja?
Dari mana anda bisa menilai bahwa yg lain2 disini hanya teoritis?
Apakah krn kata2 mereka sesuai dengan kitab, sehingga dijustifikasi sebagai teoritis?
Dan untuk tampil non-teoritis harus berbeda dari kitab, begitu?
Ukuran penilaian anda sangat lucu
Tidak hanya boddhisatva, manusia biasa juga harus mempunyai niat yg lurus dan kuat <--- anda kelihatan menghindari menggunakan kata baik-buruk, anda menggantikan dengan kata lurus/tidak lurus
Gpp Bro, yg sy maksud dengan baik-buruk itu sama dengan yg anda maksud lurus/tidak lurus
Hanya beda kata2 diranah konsep, samalah kita bro: anda ternyata juga masih dualitas: lurus-tidak lurus
Betul..
Dan si Dendam-Membara melakukan pembunuhan ini, menimbulkan kamma apa Bro?
Kamma tidak-lurus 'kan?
Ok, setuju
Baik-Buruk: adalah dualitas
Bagaimana dengan istilah anda: lurus-tidak lurus? Dualitas juga bukan?
Sama dong kita
::
Rekan William yang budiman, dalam dunia ini tidak selamanya sesuatu hal itu mutlak, karena banyak faktor yang terkait satu dengan lainnya.
Ambil contoh, ketika menjelaskan suatu hal kepada anak sekolah TK, dimana usia mereka masih terlalu dini untuk mengerti. Maka kita bisa menjelaskan; racun, api, kaca, dlsb sebagai benda berbahaya, jangan dimainkan. Beda halnya jika bicara dengan orang yang sudah mengerti, dewasa atau memang bergerak di bidang yang terkait dengan hal-hal tersebut; racun bisa jadi obat, api bisa jadi teman ketika kecil, api bisa jadi pertunjukan bagus (kembang api), dst... Beda tingkat pemahaman, bisa beda isi dialog.
Sama halnya dengan karma, dalam tingkatan awam masih melihatnya sebagai dualitas (baik dan buruk, bermanfaat tidak bermanfaat), sedang dalam tahap hakiki hanya melihat sebagai rentetan sebab dan akibat yang saling berkaitan dan berkesinambungan.
Dogmatis bukan karena cocok dengan kitab, tapi dicocok-cocokkan. Kesimpulan saya juga banyak yang sesuai dengan kitab, tapi bukan berarti saya dogmatis, sebab saya menelaah dan meneliti dulu, baru melihat apakah memang benar seperti ini yang diajarkan dalam kitab. Membuktikan dan melihat dulu, bukan sebaliknya membaca kitab dulu baru dijadikan pedoman dan acuan, ini akan menjadi semacam sugesti-keimanan (yang mana tidak sesuai lagi dengan prinsip
ehipassiko yang diajaran Buddha Gautama).
Bila Anda tidak merasa dogmatis, maka Anda bisa menjelaskan bagaimana selama ini Anda mengetahui suatu konsep dalam ajaran Buddha, dan meyakininya, tanpa pernah (mungkin) membuktikannya. Saya dan rekan-rekan lain tentu ingin mengetahuinya; dari Anda membuktikannya dulu, baru menemukannya sesuai dengan yang diajarkan Buddha (bukan sebaliknya; membaca/mendengar dulu baru berusaha membuktikan atau mencocokkan).
Niat lurus Bodhisattva dalam hal ini harus bebas LDM lho, apa ini dimiliki manusia biasa (awam)?
Anda yang menyamakan lurus tidak lurus dengan baik dan buruk, bukan saya.
Lurus disini artinya niatnya murni hanya untuk perbuatan, bukan soal baik atau buruk. Jika ini Anda artikan lain, tentu saja maksud dari kata tersebut jadi tidak terakomodir dengan baik.
Dendam membara tentu menimbulkan karma yang lebih kuat dari pembunuhan tanpa direncanakan, apalagi tidak diniatkan atau tidak disengaja. Kalau Anda mau melabeli ini sebagai karma buruk, itu boleh-boleh saja, itu hak Anda.
Saya sendiri tetap pada penilaian dan pandangan saya, bahwa karma hanya konsekuensi dari sebuah perbuatan. Mau dinamakan buruk atau baik, tidak pengaruh. Yang jelas berbuat ini dapat ini, berbuat itu dapat itu (yang tahu tepatnya adalah seorang Buddha). Semua perbuatan menuai hasilnya, tanpa perlu dilabeli ini karma baik atau buruk.
Ada sebuah cerita asal Tiongkok. Seorang petani membeli seekor kuda. Suatu hari kuda tersebut lepas dan lari ke hutan. Petani ini sedih. Dia menganggap ini sebuah ketidak-beruntungan. Tak berapa lama, ternyata kuda ini kembali, dan bersamanya datang sekawanan kuda liar. Petani ini senang dan menganggap ini rejekinya.
Suatu hari anaknya menunggang salah satu kuda liar, dan terjatuh hingga kakinya patah. Petani ini langsung berkata, bahwa kuda ini membawa petaka/sial bagi keluarganya.
Tidak berapa lama kemudian, ada pengumuman kerajaan bahwa pemuda seusia anaknya diwajibkan ikut perang, dan setiap orang tua merasa sedih dan khawatir sebab rata-rata yang pergi berperang pulang tinggal nama (meninggal/gugur).
Tentu saja petani ini gembira, sebab dalam peraturan kerajaan pemuda cacat dan tidak mampu secara fisik tidak diwajibkan ikut ke medan perang.
Cerita ini berlanjut dan temanya masih sama; setiap kejadian selalu dipandang sebuah kesialan atau sebuah keberuntungan.
Sama seperti karma, baik ataupun buruk adalah persepsi manusia (makhluk) belaka, yang sejati dan nyata adalah kita menjalani setiap pengalaman hidup berdasarkan perbuatan-perbuatan kita sebelumnya. Baik-buruk hanya labelisasi, bukan substansi inti dari fenomena ini.
Amati dan jalani saja kehidupan Anda, semua yang kita alami persis seperti makna dari cerita petani dan kuda tersebut; ada kalanya beruntung, lalu kita sebut karma baik. Ada kalanya keberuntungan ini membuahkan ketidak-beruntungan, maka pikiran kita lalu menyesali keberuntungan yang kita dapat sebelumnya, dan seterusnya akan begitu. Hidup sejatinya hanya sebuah pengalaman yang berlalu, sedang kita jalani satu persatu sekarang. Ada yang bisa bantah ini?
Salam damai sejahtera dalam dharma.