Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?
Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.
Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Kalau menurut saya, menjadi ambisius atau tidak adalah pilihan, bukan sebuah jalan yang pasti dilalui oleh seorang umat awam. Memang kondisi setiap orang beda-beda, tapi saya ada teman yang sangat tidak ambisius tapi kerjanya benar, malah diangkat untuk posisi penting walaupun dia sendiri justru minta agar tidak diberikan posisi itu.
Orang ambisius sikut kiri-kanan memang kadang (bukan selalu) lebih mendapatkan kesempatan, tapi menurut saya, keuntungan yang didapat tidaklah sebanding dengan karakter buruk yang dibangun. Belum lagi kita perhitungkan kamma.
Bertentangan dengan banyak pendapat umum yang sering saya dengar bahwa berlatih itu adalah sewaktu kita meditasi*, saya berpendapat bahwa kita berlatih dalam keseluruhan hidup kita. Tidak akan terjadi kita menikmati kesenangan indriah di siang hari, lalu berdiam dalam jhana di malam hari. Sepanjang hari, senantiasa adalah latihan kita. Meditasi 'hanyalah' refleksi jernih atas apa yang kita lakukan sehari-hari. Jadi kalau ditanya apakah bisa misalnya orang mengalami kemajuan dengan meditasi di satu waktu dan mengembangkan ego di waktu lain, menurut saya tidak bisa. Ketika ia meninggalkan egonya, barulah bisa mengalami kemajuan dalam latihan.
*Beberapa orang berpendapat dirinya telah mahir dalam meditasi setelah jam terbang meditasi atau retret meditasi tertentu, namun perilaku kesehariannya adalah mengumbar ego, tidak ada bedanya atau bahkan lebih buruk dibanding dengan orang biasa.