Iya, kalo zaman dulu kan masi belum berkembang pemikiran. Jadi, yang namanya moralitas katanya adalah perintah agama. Padahal cukup dengan bersekolah saja sebenarnya kita bakal tau prosedur-prosedur moralitas yang disokong oleh hukum. Contohnya : Singapore, USA, UK . Mereka kebanyakan kasus kriminalnya daripada HAM. Bandingkan dengan salah satu negara beragama yang karena kekakuannya justru malah mudah terprovokasi dan menjadi tidak tahu menahu dengan moralitas lagi (kalangan menengah ke bawah).
Saya rasa bukan karena belum berkembang pemikirannya, tapi karena sudah terindoktrinasi (bahwa agamanya paling 'wah' dan mengajarkan kebenaran), maka tidak bisa berpikir dengan akal sehat. Kalau kita lihat anthropologi, tanpa agama pun budaya manusia berkembang sehingga melahirkan adat dan tata cara yang juga mirip dengan aturan moralitas. Ini adalah proses sebab akibat yang alami. Misalnya mencuri, tanpa agama pun orang tahu perbuatan mencuri itu menyebabkan ketidak-teraturan dalam masyarakat. Yang kerja tidak makan, yang tidak kerja tapi mencuri, justru bisa makan. Maka mencuri dihindari.
Agama itu sebetulnya tambahan yang sifatnya netral saja. Di masyarakat yang memang mengutamakan kebaikan, maka agama apapun yang masuk, perilakunya tetap baik. Sedangkan di masyarakat yang memang bodoh dan brutal, agama apa pun yang dipeluk, perilakunya tetap saja tidak keruan, ajaran baik juga diolah-tafsir untuk memenuhi nafsu mereka saja.
Btw, pandangan benar tentang dukkha sama pandangan benar yang didapat dari pengalaman hidup dan pendidikan beda kan ya ?
Pengalaman hidup dan pendidikan/ajaran orang lain, sebetulnya sama-sama hanyalah input. Pandangan benar bisa timbul jika kita memahami input itu dengan benar, tidak masalah inputnya dialami langsung atau lewat ajaran orang lain, sama saja. Menurut saya begitu.