saya juga setuju dengan anda, akan tetapi ada beberapa hal yah menurut saya relatif..Betul, memang semua itu relatif. Karena itu juga saya berusaha tidak kaku dan tidak menerapkan 1 cara untuk semua orang. Ada orang yang dibilangin baik-baik bisa belajar, ada yang harus diberi tahu dengan tegas, ada juga yang sudah dikasarin masih tidak mengerti. Tetapi memberitahu secara baik-baik selalu jadi pilihan pertama saya.
saya ingat milinda panha, apabila seseorang berdiskusi mencari pembenaran, maka semua menjadi susah...
akan tetapi mencari kebenaran maka relatif cara-nya...
dalam sutta "penyerangan" yang dimaksud Buddha itu seperti apa dulu....
dalam Upali Sangbuddha langsung memberikan pertanyaan berupa inti dan langsung ke kenyataan.
dalam upali sutta sendiri, guru upali "muntah darah" jadi apa bisa dikatakan Upali melakukan "penyerangan"?
maka dari itu saya katakan semua itu relatif,
sangBuddha juga pernah berdebat dengan seorang pertapa masalah jasmani adalah "aku"
dalam berdiskusi maupun berdebat kita tidak mungkin bisa merubah langsung pemikiran orang dengan kehendak kita.....Seperti saya katakan, mengatakan kebenaran juga ada caranya, ada waktunya. Saya tidak protes niat baik anda mengenalkan dhamma ke orang lain, tapi saya protes caranya.
kita semua hanya memperlihatkan bukti-bukti dan pandangan yang nyata di terapkan.
apabila mereka menerima ataupun menolak itu merupakan hak mereka.......
dan tidak mungkin kita memaksakan saat itu...
ibarat kita memperlihatkan barang bagus merek buddha, terserah mereka mau tertarik atau tidak.
dari pada tidak ada usaha sama sekali,bukankah hal itu juga berbuat baik.^^
yah relatif saja, tergantung dari lawan bicara....Jika seseorang tidak mengembangkan dendam atau kebencian karena satu diskusi, itu sudah win-win solution bagi saya. Masalah orang itu cari pembenaran, masuk telinga kanan keluar telinga kiri, itu sudah masalah lain. Kalau seseorang memang ingin berdana dhamma, sudah sewajarnya bertahan dari orang-orang macam itu.
dan juga jika lawan bicara memang mencari kebenaran.....kalau mencari pembenaran yah sebaiknya di stop....kadang-kadang win-win solution itu tidak ada...^^ relatif saja...
betul yang anda bilang, saya juga sependapat.
hanya memperlihatkan barang merek buddha, terserah mereka tertarik atau tidak........
masalah semoga semua makhluk berbahagia.Bagaimana saya bisa mengatakan seseorang "dibohongi" sementara saya sendiri belum merealisasikan ajaran, juga tidak mampu membuktikan "kebohongan" ajaran lain?
saya balik bertanya pada anda...
apakah anda setuju melihat orang yang senang dan gembira karena dirinya dibohongi...
jadi semoga semua makhluk berbahagia itu artinya seperti apa....^^Sama seperti jawaban di atas. Setiap mahluk terbelenggu keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Bagi yang bisa melihat dhamma, saya harapkan ia berkesempatan mengenalnya. Bagi yang tidak bisa melihat dhamma, semoga ia tidak menambah keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang sudah ada dengan cara memuaskan ego diskusinya.
saya tidak meminta atau berharap semua beragama buddha, akan tetapi semua berprilaku sesuai buddha dhamma......
dan itu tidak akan tercapai tanpa usaha bukan...setidaknya seperti apa yang saya katakan,
lihat barang saya, lihat barang kamu mana kualitas bagus anda memilih.
dibanding barang kita tidak dilihat sama sekali...tentu pilihan cuma 1. ^^
masalah menyinggung atau menyerang, sebaik-nya dibicarakan dari awalSetahu saya, "korban-korban" muntah darah itu bukan karena berdebat dengan Buddha, tetapi kehilangan murid (Nigantha Nataputta yang kehilangan Upali; Sanjaya Belatthaputta yang kehilangan Sariputta & Moggallana). Buddha selalu mengajar dengan belas kasih, bukan menimbulkan bencana bagi orang lain. Seperti saya katakan, Buddha mengajarkan 5 syarat mengajar dhamma, dan sejauh yang pernah saya baca, Buddha sendiri tidak pernah melanggar ajarannya sendiri.
karena kalau bicara konsep berbeda sudah pasti akan ada kemungkinan emosi keluar....
sangBuddha mengajarkan Dhamma ada kan korbannya, hitung-hitung sudah cukup banyak yang muntah darah...jadi walau kita berbicara sebaik mungkin, tidak menutup ada pertengkaran yang keluar dikarenakan perbedaan....hanya saja jika dibicarakan dari awal setidaknya masih lebih baik
maka dari itu
cari pembenaran / kebenaran?
1. apa reinkarnasi dalam agama Buddha sama artinya dengan mengenal konsep anatta/tanpa inti/roh toh?Jika seseorang mengaitkan konsep Anatta atau tanpa diri, hanya dengan teori kelahiran kembali, maka selalu terjadi kebinungan. Anatta berlaku sekarang, bukan hanya pada saat kematian/kelahiran kembali. Walaupun sekarang kita bisa berpikir, merasakan, dan lain-lain, tetap tidak ada sesuatu yang bisa ditunjuk sebagai inti diri yang kekal dan tidak berubah.
2. Sewaktu kehidupan Sang Buddha tidak ada rupang, apakah para Sangha telah melakukan kebaktian seperti kita sekarang ini?Ini saya tidak tahu.
3. .SAKYAMUNI BUDDHA meninggal karena apa rekan rekan toh, saya sedang membaca sedikit sedikit ajaran buddha, jadi yang saya ingin tanyakan , segera saya tanyakan toh.Meninggal karena umur kehidupannya memang sudah habis.
4. .Untuk masuk agama buddha toh (misal ada yang mau pindah agama ke buddha) apakah ada syaratnya toh? misal kalo di I**** kan ada pengucapan dua kalimat syahadat baru "resmi" jadi islam. Di buddha ada juga kagak?Dalam dhamma, tidak ada yang disebut "Buddhis" atau "non-Buddhis". Setahu saya, Buddha hanya membedakan seseorang berdasarkan caa pandang dan perilakunya. Cara pandang dan perilaku yang dianjurkan Buddha adalah menjaga kemoralan (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak bicara tidak benar, tidak mabuk2an), mengembangkan konsentrasi (menghancurkan penghalang berupa kemalasan, keraguan, kegelisahan, pikiran kejam, nafsu indriah) dan kebijaksanaan (melihat segala fenomena sebagaimana adanya).
Bro apa yang harus dilakukan pemula toh dalam belajar agama budha toh? walaupun saya toh bukan budhis?kayaknya seh gak masalah ya bro karena agama adalah kebebasan Anda..
Bila saya toh, ingin belajar dhama, tapi saya toh tetep dalam agama saya toh, apa itu toh bisa bermasalah toh?
Bro apa yang harus dilakukan pemula toh dalam belajar agama budha toh? walaupun saya toh bukan budhis?
Bila saya toh, ingin belajar dhama, tapi saya toh tetep dalam agama saya toh, apa itu toh bisa bermasalah toh?
hukum tabur tuai pun ada di kr****n ;D
Postingan kainyn sungguh mencerahkan...
Boleh tanya pak?
Bagaimana pandangan om kainyn mengenai "aliran2 kontroversi"??
Dan bagaimana om menyikapinya.
Kamsia
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik. ^:)^
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik. ^:)^
BUDDHA dhamma nya versi yang mana? ;Dada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik. ^:)^
ya itu BUDDHA DHAMMA, emang ada yang lain lagi ?
_/\_
Kalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.
Bagaimana kalau, memang agamanya mengajarkan begitu ? ;Dada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik. ^:)^
Ya, kira-kira begitu. Kalau kita lihat seseorang sejak punya agama "baru" jadi lebih baik, damai, peduli dengan orang lain, maka kita bilang "agama"-nya itu bermanfaat. Kalau kita lihat orang semenjak punya agama "baru" sering menimbulkan keresahan, nakut2in orang, tukang berantem, maka boleh dibilang ajaran "agama"-nya kurang bermanfaat.
Betul, tapi tidak semua orang bisa cocok dengan ajaran itu iya tohhh (Samita mode=on) ;DQuoteKalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.
Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?
QuoteKalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.
Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?
Ya, kira-kira begitu. Kalau kita lihat seseorang sejak punya agama "baru" jadi lebih baik, damai, peduli dengan orang lain, maka kita bilang "agama"-nya itu bermanfaat. Kalau kita lihat orang semenjak punya agama "baru" sering menimbulkan keresahan, nakut2in orang, tukang berantem, maka boleh dibilang ajaran "agama"-nya kurang bermanfaat.Bagaimana kalau, memang agamanya mengajarkan begitu ? ;D
QuoteKalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.
Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?
Dari yang saya pernah baca, saya menafsirkan bahwa yang "satu" berlaku bagi semua orang adalah kenyataan tentang Dukkha, juga berhentinya Dukkha.
Setiap orang pasti tahu bahwa dirinya akan "mati". Tetapi seberapa orang yang sadar (mindful) akan kenyataan tersebut? Ada lagi yang tidak bisa menerima kenyataan tentang perubahan, maka mencari suatu "kekekalan". Itu sebabnya tidak semua orang menerima dan menjalankan dhamma. Sama seperti anak yang mulai tumbuh dewasa diajarkan orang-tuanya, "Santa Claus tidak ada, semua hanya rekayasa". Sebagian anak bisa menerima, sebagian anak yang begitu melekatnya pada Santa Claus belum bisa menerima dan tetap "memelihara" Santa Claus agar tetap hidup di pikirannya.
Bagaimana saya bisa mengatakan seseorang "dibohongi" sementara saya sendiri belum merealisasikan ajaran, juga tidak mampu membuktikan "kebohongan" ajaran lain?saudara kaiyin,
Kalau dari sudut pandang saya, ada dua jenis orang: yang bisa melihat dhamma dan yang tidak bisa melihat dhamma. Jika seseorang bisa melihat dhamma, alangkah baiknya dia mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang ia lihat. Bagi yang tidak bisa melihat dhamma, alangkah baiknya dia tidak menambah keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang sudah ada.
Jadi, jika seseorang tidak bisa melihat suatu kebenaran sebagai kebenaran, ia akan bergembira dalam kebohongan dan ilusi. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang hal itu. Tetapi setidaknya jika ia berbahagia dan tidak menambah kebencian dan dendam, saya pun berbahagia untuknya, ketimbang ia bergembira dalam kebohongan dan ilusi ++ benci & dendam.
kalau ada yg tanya pada Mr. Johnz,karena ini thread berbobot
apakah Su Ma Ching Hai itu cantik ?
bagaimana pula jawaban bro Johnz ? :)
(yg lain mau jawab.... silahkan)
"apakah yg satu" pernah ditanyakan kepada arahat yg baru berumur 7 tahun yaitu sopaka...jawabannya adalahSaya tidak tahu apakah kedua pertanyaan itu merujuk pada konteks yang sama, karena yang saya pernah baca bahwa Kundala Kesa pun awalnya ingin menjawab hal tersebut (mahluk terdiri dari 4 unsur yang ditunjang makanan, dst dst) namun tetap merasa jawaban itu tidak tepat. Kalau tidak salah karena ada mahluk yang tidak memiliki rupa (Arupa-Brahma). Tapi saya tidak ingat. Thanx untuk rujukannya, nanti saya coba baca-baca.
"What is one?"
All beings subsist on food. [There are these four nutriments for the establishing of beings who have taken birth or for the support of those in search of a place to be born. Which four? Physical food, gross or refined; contact as the second, intellectual intention the third, and consciousness the fourth. -- SN XII.64" http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1515.0.html
Tulisan bro paragraf kedua--- Artinya dan sebenarnya kebenaran itu sendiri tidak subjektif tapi orangnya yg subjektif karena persepsinya sendiri berada dalam pandangan yang salah karena kotoran batin yg membelenggunya dan ia tidak bisa melihat kenyataan. Kebenaran itu adalah kenyataan itu sendiri. Oleh karena itu Dhamma memiliki dasar dan acuannya. Acuannya adalah seperti yg diajarkan Sang Buddha.Kebenaran mutlak, secara teori, memang tidak subjektif. Itulah yang berusaha direalisasikan dan memang bisa direalisasikan oleh semua orang-orang yang mencari kebenaran. Mengapa saya bilang secara teori? Karena saya belum mencapainya.
saudara kaiyin,Saya tidak setuju dengan cara anda membahas kelemahan agama orang lain ketika orang lain bertanya tentang agama anda. Kalau anda tidak terima, tinggal diabaikan saja. Saya tidak ingin dan memang tidak bisa memaksakan apapun.
kalau anda belum merealisasikan itu hak anda, tapi kenapa anda bisa mengatakan protes akan cara saya?...kalau bs sebagai bahan koreksi saya minta kutipan dari cara saya yang salah dimata anda.
masalah kutipan "semoga semua makhluk berbahagia"Seperti saya bilang, ada cara dan waktunya. Mungkin cara anda menyampaikan dan pemilihan waktunya memang demikian, yah tidak masalah. Seperti saya bilang, saya menyampaikan, tidak memaksa. Saya memperlakukan anda dan umat lain dengan cara yang sama demikian.
memang betul kata anda, tetapi sekarang mungkin posisi saya dan anda berbeda...saya mungkin merealisasikan beberapa kebenaran sebagai kebenaran dan ilusi sebagai ilusi...
jika anda sebagai saya, mengetahui seseorang itu berbahagia karena di bohongi...
salahkah jika berniat mengutarakan kebenaran pada dirinya? > saya rasa tidak salah...tergantung sikon (situasi dan kondisi pada waktu itu)
saya jadi teringat percakapan buddha dengan pangeran ( well walau tidak seperti asli nya, ini kira-kira lah soalnya juga lupa-lupa ingat ), mengenai bayi...Percakapan Buddha dengan Pangeran Ajatasattu tersebut adalah mengenai "penderitaan yang memang harus dilalui untuk perubahan yang lebih baik". Kalau tidak salah, berkenaan dengan kasus Devadatta di Abhayarajakumara Sutta. Buddha Gotama di sini, mengetahui bahwa perkataannya pada Devadatta menyebabkan Devadatta ditelan bumi, namun dengan perkataan itu juga, menyebabkan Devadatta menyadari kebenaran. Menurut Milinda Panha, Devadatta akan menjadi Pacceka Buddha bernama Athissara (kalau tidak salah).
jika ada Bayi menelan sebuah biji besar yang dapat membuat nya mati menderita, dengan cara apakah pangeran menolong-nya....
dengan memasukkan jari atau tangan saya..
kemudian buddha berkata, tetapi itu akan membuat bayi tersebut menderita....
pangeran kemudian berkata, tetapi saya lakukan itu bukan dengan kebencian, tetapi sebagai metta.
buddha pun berkata,...........................
kadang-kadang seperti terjadi pada upali dan nigantha,upali memang tidak berniat mencelakai guru-nya....akan tetapi karena pandangan konsep yang bertolak belakang....kadang memang tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal itu..Memang betul, kadang konflik tidak terhindarkan. Tetapi seperti saya katakan, saya tetap memprioritaskan yang "tanpa konflik".
sama hal nya membahas dhamma dan ajaran lain.....walau katanya telah mencari kebenaran bukan pembenaran tidak menutup adanya emosi atau lainnya keluar..
akan tetapi dilakukan itu bukan semata-mata demi kesombongan....
jadi yang anda katakan bahwa tidak berbuat apa-apa...oke-oke saja..Kalau begitu, silahkan mengenalkan dhamma dengan cara anda. Saya minta maaf telah mengkritik anda.
tetapi yang saya katakan bahwa berbuat sesuatu...saya rasa oke-oke saja.....
saudara kaiyin,perumpamaan anda tentang pelangi itu perumpamaan secara samuthi...jelas saja bagi semua orang berbeda-beda....
saya sependapat dengan saudara bond,
salam metta.
saudara kaiyin,saudara kaiyin,Saya tidak setuju dengan cara anda membahas kelemahan agama orang lain ketika orang lain bertanya tentang agama anda. Kalau anda tidak terima, tinggal diabaikan saja. Saya tidak ingin dan memang tidak bisa memaksakan apapun.
kalau anda belum merealisasikan itu hak anda, tapi kenapa anda bisa mengatakan protes akan cara saya?...kalau bs sebagai bahan koreksi saya minta kutipan dari cara saya yang salah dimata anda.
saudara kaiyin,Kalau saya pribadi, lebih memilih mengosongkan cangkir A itu dengan anjuran, bukan menunjukkan kelemahannya. Ada banyak cara mengarahkan pandangan seseorang, dan itu tidak selalu memerlukan pernyataan bahwa "ajaranmu ada yang salah".
yang saya maksudkan disitu ketika seseorang mengisi cangkirnya dengan A...
maka ketika kita menyebutkan kelemahan/kesalahan pada konsep-nya....setidaknya A itu bisa berkurang...
seperti biasa umat nasran1 biasanya mengatakan mr.T adalah awal.....kalau sudah tertanam konsep ini....mau bilang A b c pun semua nya jadi sesuai pandangannya...Bagi saya, menyimak pembicaraan umat lain tentang kepercayaannya juga penting, karena dengan begitu kita bisa lebih mengenal pola pikirnya. Dengan mengetahui pola pikir seseorang, maka kita bisa memilah kira-kira topik dhamma apa yang sesuai, yang dapat diterima olehnya. Kalau kita mau berdana dhamma, kita tidak bisa menuntut orang yang mengerti omongan kita, tetapi harus kita yang mencoba mengerti bagaimana mereka berpikir. Walaupun satu agama, satu gereja/vihara, satu kelompok sel, tetap saja dua orang memiliki 2 pandangan berbeda.
kadang saya menggunakan sedikit pemutar balik kata guna menyadarkan kalau mr.T awal itu adalah bertabrakan dengan kenyataan.
ada jg kadang saya menggunakan kata "maha-pengasih" sebagai penyadar....contoh nya sudah pernah sy post.
well, ada kasus tertentu saya bisa membuat pikiran lawan diskusi menjadi sedikit open mind dan akhirnya mulai lah berpikir kritis ttg kepercayaan di anut-nya......Ya, dengan orang dan kondisi berbeda, hasilnya pasti juga berbeda.
tetapi ada juga yg tidak.....sy rasa mencoba tidak ada salah-nya...selama sikon masih bisa....
ada juga beberapa kasus kalau lawan bicara kita orang termuka, mau tidak mau kita angguk kepala saja apa yg di katakannya.....
relatif lah...
terima kasih banyak,anda mau mengkritik saya...setidak nya bisa menjadi masukan bagi saya sendiri....
salam metta.
1. apakah ituSaya rasa ketiga hal itu adalah sama. Semuanya adalah segala sesuatu yang dipersepsi oleh enam indera.
kenyataan (fact)
kebenaran (truth)
realitas (reality)
dlm ajaran/pandangan Buddha Gautama... ?
2. adalah perbedaan kebenaran dgn kebenaran absolute?
Nanya lg,
bagaimana pandangan om kainy tentang kesunyataan mulia yg dibolak balik urutannya,demi sebuah kepentingan "marketing"
dan itu dilakukan oleh bhikku yg di yakini telah mencapai anagami.
Maaf jika terkesan terlalu vulgar
Kamsia.
kebenaran relatif itu kebenaran yang terikat waktu dan tempat...Itu adalah teori dari kebenaran mutlak. Memang benar. Tetapi sebelum kita mencapai kesucian, maka kita hanya memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang kebenaran relatif. Sama seperti unsur Tilakkhana lainnya juga demikian.
misalkan,
apakah warna merah itu merah delima atau merah muda......
apakah makanan pangsit itu enak atau tidak enak....
batu tenggelam di dasar kolam....( karena di bumi.)
kebenaran ini pasti menimbulkan beberapa pandangan.......
kebenaran absolut seperti...
semua yang terbentuk tidaklah kekal......baik dibulan di bumi atau diplanet lain semua sama..
manusia terdiri dari 5 khandha.
tetapi hendaknya bisa dimengerti...
misalkan "semua binatang sama yakni terdiri dari jasmani dan batin" ( paramatha ) disini bisa saja di salah artikan menjadi kambing = anjing.
padahal dalam samuthi kambing tidak sama dengan anjing....
harap kedua kebenaran ini bisa di pahami.^^
metta.
Nanya lg,
bagaimana pandangan om kainy tentang kesunyataan mulia yg dibolak balik urutannya,demi sebuah kepentingan "marketing"
dan itu dilakukan oleh bhikku yg di yakini telah mencapai anagami.
Maaf jika terkesan terlalu vulgar
Kamsia.
Ini saya pernah bahas. Saya tidak setuju sama sekali, karena memang jadi tidak "nyambung".
Saya pernah berikan perumpamaan peta bagi yang mau pergi dari kota A ke kota B.
Buddha memberikan urutan peta dari pintu kota A, perjalanan, lalu akhirnya menuju pintu kota B.
Sementara Bhikkhu yang diyakini Anagami (bahkan sebagian lain meyakini sebagai Arahat) memberikan peta dimulai dari pintu masuk kota B, jalan mundur ke pintu A.
Seandainya anda dari perempatan Grogol mau ke Mega Mall Pluit buat KopDar, tapi anda tidak tahu jalan.
A memberikan petunjuk: Depan Mega Mall ada sungai, sebelum ke Mega Mall ada perempatan, sebelumnya lagi ada perempatan di mana sebelah kiri ada Pluit Junction dan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta.
B memberikan petunjuk: di perempatan Grogol ada 4 jalan, ambil arah di mana sebelah kiri anda Mal Ciputra dan sebelah kanan anda, jauh di seberang ada Universitas Tarumanegara.
Saya tanya anda, yang mana yang lebih memudahkan anda sampai di tujuan?
Jadi, Sang Buddha mengajarkan:kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).
Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,kebenaran relatif itu kebenaran yang terikat waktu dan tempat...Itu adalah teori dari kebenaran mutlak. Memang benar. Tetapi sebelum kita mencapai kesucian, maka kita hanya memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang kebenaran relatif. Sama seperti unsur Tilakkhana lainnya juga demikian.
misalkan,
apakah warna merah itu merah delima atau merah muda......
apakah makanan pangsit itu enak atau tidak enak....
batu tenggelam di dasar kolam....( karena di bumi.)
kebenaran ini pasti menimbulkan beberapa pandangan.......
kebenaran absolut seperti...
semua yang terbentuk tidaklah kekal......baik dibulan di bumi atau diplanet lain semua sama..
manusia terdiri dari 5 khandha.
tetapi hendaknya bisa dimengerti...
misalkan "semua binatang sama yakni terdiri dari jasmani dan batin" ( paramatha ) disini bisa saja di salah artikan menjadi kambing = anjing.
padahal dalam samuthi kambing tidak sama dengan anjing....
harap kedua kebenaran ini bisa di pahami.^^
metta.
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.QuoteJadi, Sang Buddha mengajarkan:kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).
Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^
salam metta.
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?
salam metta.
Kainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.
Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?
udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.
Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.
bagaimana menurut yg lain ?
QuoteKainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.
Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?
udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.
Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.
bagaimana menurut yg lain ?
apakah karena dunia sudah berubah(sebenarnya pola pikir manusia yg berubah)..QuoteKainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.
Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?
udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.
Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.
bagaimana menurut yg lain ?
Sang Buddha bertanya kepada Nanda, "Siapakah yang lebih cantik, putri Janapadakalyani atau para dewi yang berdiri di hadapanmu itu?"Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.QuoteJadi, Sang Buddha mengajarkan:kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).
Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^
salam metta.
Mengenai kisah Thera Nanda, sepupu Buddha yang dijanjikan bidadari kaki merah, yang menyebabkan perubahan adalah rasa malu dari Nanda. Rasa malu yang ditimbulkan dari penghinaan rekan-rekan bhikkhu begitu besar sehingga menekan nafsunya. Jadi memang bukan karena mengejar-ngejar bidadari (kebahagiaan) itu, lalu tiba-tiba nafsu hilang dan jadi arahat. Ketika seseorang menyadari dukkha, maka penghentian nafsu adalah mungkin. Ketika penghentian nafsu ada, maka keengganan dan kebebasan dari belenggu adalah mungkin.
Dan kembali lagi, kapasitas saya dalam dhamma, dibandingkan dengan Buddha, setetes air banding samudera pun masih kurang cocok perbandingannya. Oleh karena itu saya tidak memberikan dhamma dengan menyuruh orang menghadap matahari, mengusap wajah sambil berkata "Rajoharanam" kemudian membenarkan metode itu dengan mengatakan, "Buddha juga dulu begitu".
saudara kaiyin,kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?
salam metta.
Saya berikan contoh Kisa Gotami, salah satu kisah favorit saya.
Apakah dalam kisah Kisa Gotami, ia hanya satu-satunya orang yang tahu bahwa semua orang pasti mati? Jelas tidak. Semua orang juga tahu (makanya menertawakan dia). Lalu mengapa hanya Kisa Gotami yang merealisasi Sotapatti-phala?
Sekarang saya tahu, anda juga tahu, bahwa semua orang pasti mati, tanpa perlu cari biji sawi keliling kota. Anda sudah Sotapanna? Kalau anda memang Sotapanna, berarti lupakan saja semuanya karena saya memang tidak seharusnya berdebat dengan anda.
Tetapi kalau anda belum Sotapanna, saya mau bertanya: anda tahu dhamma yang sama juga dimengerti oleh Kisa Gotami, mengapa Kisa Gotami saat itu mencapai Sotapanna, sedangkan anda tidak?
apakah karena dunia sudah berubah(sebenarnya pola pikir manusia yg berubah)..
Sehingga jika anda sekarang meletakan dukha di point 1,maka anda akan dicemooh,dan di vonis pemistik...
Makanya si bhikku barat ini meletakan kebahagian dipoint 1,
agar dapat memberikan kesan pertama yg menarik(karena tuntutan zaman),
Apalagi individu zaman sekarang,lebih mengejar sesuatu yg lebih real,yg langsung dapat dirasakan,lebih mengutamakan kebahagian duniawi..ambil contoh pratek perdukunan,walaupun zaman sekarang perkembangan teknologi sudah sangat maju(bayi tabung,cloning,dll) dan beberapa agama dgn tegas mengharamkan pratek perdukunan
tapi hal2 yang masi berbau mistis;santet,pasang susuk,pesugihan,mak erot... Masi menjamur di masyarakat,
jadi kesimpulannya si bhikku barat itu cuma mengikuti perkembangan zaman,alias beradaptasi dgn lingkungan...
Tapi kenyataannya perkembangan buddhis di dunia barat berkembang pesat,jika dibandingan perkembangan buddhis diasia...
CMIIW
menurut saya relatif sekali pandangan AjahnBrahm,
disitu Ajahn memakai cara agar dunia barat lebih gampang menerima buddhis mengenai dukkha.
sama seperti Buddha memakai cara memperlihatkan dan menawarkan bidadari cantik...
tetapi sei-iring orang belajar buddha dhamma, mereka sendiri akan mengetahui.....
kalau pandangan anda bahwa Ajahn mengajarkan secara terbalik yah itu hak anda....yah moggo.
kalau saya berpandangan dimana Ajahn berusaha membuat dunia barat tertarik belajar buddhism.....
dan ketika se-iring belajar disitu mereka akan mengetahui yg sebenarnya.
salam metta.
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..
andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?
apakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.
masalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"
tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?
orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...
btw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"
garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.
kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.
ada 10 belenggu yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9 nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.
jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....
salam metta.
Ehm...
What ever you may said, but for me, ajahn brahm has so much metta...
Ehm...
What ever you may said, but for me, ajahn brahm has so much metta...
I never said he is a bad person. In fact, I helped my friends translating his talk and recommend his book.
Doesn't mean I have to agree with him for all he said, or to prefer his teaching than Buddha's teaching. The same way I do towards other great bhikkhus.
Sory koreksi dikit bro Kainyn :)kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?
salam metta.
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'QuoteKainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.
Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?
udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.
Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.
bagaimana menurut yg lain ?
aduh, anda tidak mengerti yah...^^menurut saya relatif sekali pandangan AjahnBrahm,
disitu Ajahn memakai cara agar dunia barat lebih gampang menerima buddhis mengenai dukkha.
sama seperti Buddha memakai cara memperlihatkan dan menawarkan bidadari cantik...
tetapi sei-iring orang belajar buddha dhamma, mereka sendiri akan mengetahui.....
kalau pandangan anda bahwa Ajahn mengajarkan secara terbalik yah itu hak anda....yah moggo.
kalau saya berpandangan dimana Ajahn berusaha membuat dunia barat tertarik belajar buddhism.....
dan ketika se-iring belajar disitu mereka akan mengetahui yg sebenarnya.
salam metta.
Ya, seperti dulu pernah saya bahas. Kalau saya nanti nyebarin Buddhisme di kaum Gypsy, mata pencaharian benar saya taruh di nomor 8, sila ke 2 pancasila saya taruh di sila ke 6 (hanya dilakukan saat athasila).
Kalau saya menyebarkan dhamma di kalangan penjagal, maka samma sankappa saya taruh di nomor 8, sila pertama pancasila, saya taruh di nomor 6 (lagi2 hanya pada saat athasila).
Bagaimana? Mungkin sekalian di kalangan orang-orang yang membenci tubuh mereka sendiri, diajarkan Jhana mundur dari Arupa-Jhana ke Rupa-Jhana?
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..
andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?
Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".Quoteapakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.Quotemasalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"
tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?
orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...Quotebtw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"
garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.
kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).Quoteada 10 belenggu yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9 nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.
jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....
salam metta.
Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.hak anda...silahkan..
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.
Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.
Sory koreksi dikit bro Kainyn :)kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?
salam metta.
IMO, kurang cocok yah pemakaian bahasanya. Seolah2 merealisasikan Buddha dhamma adl eksklusif bagi para ariya. Saat orang awam merealisasikan Buddha-dhamma itulah orang tsb adalah ariya. Jadi bukan karena ariya maka bisa merealisasikan Buddha-dhamma, melainkan merealisasikan Buddha-dhamma maka disebut ariya.
_/\_
Agree, just like ajahn chan call insect exterminator to kill insect, not the action that seems wise (pake google translate nih ;D =)) )
Om kainy
anumodana atas pandangan om tentang 4kesunyataan mulia diatas,jangan diperpanjang lagi...
Pertanyaan selanjutnnya,
kita tahu bahwa sang buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk meminta2,tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi pengemis,dan sang buddha selalu mengajarkan kita untuk mengandalkan diri sendiri,
kenyataannya,di sebagian besar kalanggan buddhis masih terjadi praktek meminta-minta...
Parahnya,praktek meminta-minta ini diajarkan oleh guru2 besar,sehingga praktek meminta(make a wish) ini sudah menjadi bagian dari buddhisme..
Yang jadi masalah,jika kita coba memberi pengertian kepada mereka,mereka malah menyerang balik,dengan mengatakan kita fanatik,sampai menyerang aliran buddhis tertentu...
Bagaimana pandangan om kainy mengenai masalah ini...
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'
Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'
Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.
Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.
jadi teringat cerita "nanti saya akan bahagia" ^^Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'
Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'
Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.
Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.
Ya, cocok sekali. Hampir semua ajaran yang pernah saya temui juga menjanjikan "kebahagiaan". Ketika saya bertanya, "mana kebahagiaan yang dimaksud?" maka dijawab "nanti" dengan seribu satu alasan dan prosedur yang panjang. Kalau semua ajaran yang ajarin "nanti" saya cobain satu-satu, mau sampai berapa kali saya mati supaya tahu yang benar?
Berbeda dengan ajaran Buddha yang bisa menunjukkan "dukkha" saat ini. Disayangkan sekali justru malah kualitas istimewa ini dibuang.
aduh, anda tidak mengerti yah...^^Analogi ini tidak tepat.
begini saja...saya analogikan begini..
ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...
orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...
tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.
salam metta.
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....Menurut saya sudah, itulah sebabnya mereka tidak bisa lagi "mundur". Bedanya, karena masih ada belenggu lainnya, maka mereka masih terkondisi kelahiran kembali.
karena belum mencapai arahat....
Coba panggil 10 orang sakti, suruh makan garam banyak-banyak. Nanti anda lihat apa itu paramatha dhamma versi anda tetap paramatha.QuoteRasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"
rasa garam itu relatif? coba panggil 10 orang...dan suruh makan garam banyak-banyak....pasti terjadi dehidrasi bukan....
disitu lah yg dimaksud paramatha......tidak mungkin ada manusia memakan garam seperti nasi putih.
contoh anda makin ngaco..... ;)
Ya, berarti sampai dia sendiri mati, baru jadi Sotapanna.QuoteLalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
masalah pembahasannya adalah ketika berhadapan dengan realita di depan dengan yang dipikirkan atau yang belum terpikirkan itu berbeda rasa.
sama halnya kadang orang suka ngebut liar....walau mendengar banyak kecelakaan karena ngebut liar....tetap suka ngebut liar..
akan tetapi ketika telah mendapat-kan masalah misalkan jatuh atau cacat, disitu lah baru berhenti ngebut liar....
inilah point-nya..
hak anda...silahkan..
kalau saya, yang telah saya pahami saya bagikan kepada orang lain.
yang belum saya pahami ,maka saya belum bagikan kepada orang lain.
kalau anda berpendapat lain/sebaliknya, mengapa anda masih bisa berkata-kata disini? mengapa anda memberikan nasihat kepada user lain yg membutuhkan?
kalau anda telah menembus arahat, maka saya tidak memiliki kapasitas lagi bertukar pendapat..Karena yang saya bagikan ke orang, bukan berkenaan dengan paramatha dhamma, tetapi masih yang relatif. Oleh karena itu seringkali saya bilang kecocokan, kalau tidak cocok ya ga usah dihiraukan.
tetapi jika belum, mengapa anda mengajarkan beberapa saran/nasehat? bukankah anda belum merealisasikan paramatha dhamma.
apakah anda mau menyesatkan orang lain , karena diri sendiri saja belum merealisasikan....jadi anda sendiri tidak tahu yang anda pegang itu benar atau salah...
saya rasa tidak demikian bukan ;) kita disini pasti telah menembus suatu paramatha,akan tetapi paramatha yg gampang di pahami dan diselami.
marah marah kepada orang lain tidak baik,karena bisa menyebabkan kesehatan memburuk bagi yg marah >> ini juga paramatha.
kalau semua menurut anda semua ini relatif, buat apa anda memberi masukan kepada orang lain yang anda pegang/pandangan sendiri masih tidak diketahui "benar" atau "ilusi" bukankah bisa saja menjadi relatif maksud saya berubah menjadi buruk/salah.
saya harap bisa dipahami maksud saya...no offense _/\_ murni diskusi open mind.
tidak perlu lah membahas paccekabuddha atau sammasambuddha terlalu jauh de...Ini tidak saya jawab karena tidak sesuai dengan pandangan saya akan kebenaran mutlak & relatif. Saya bilang itu semua relatif, dan anda bilang mutlak, jadi tidak mungkin nyambung.
mari bahas dekat-dekat saja...seperti yg saya katakan..
mengapa anda mau memberi nasehat kepada orang padahal anda sendiri tidak "Yakin"/relatif dengan kebenaran yg anda beri.
kalau ternyata anda beri itu sebuah ke-sesatan.?
apakah perlu mencapai arahat baru bisa menasehati seseorang untuk tidak mencuri?
justru ketika kita tahu perbuatan mencuri itu tidak baik dan membawa kepada masalah...maka kita menembus paramatha...
salam metta.
saudara kaiyin, apakah anda tahu persis mental Ajahn mengubah disitu? tidak bukan.aduh, anda tidak mengerti yah...^^Analogi ini tidak tepat.
begini saja...saya analogikan begini..
ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...
orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...
tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.
salam metta.
Kebenaran Mulia bukan diubah kemasannya, tetapi diubah isinya, yaitu urutannya.
Anda tidak tepat menganalogikan "appetizer - main course - dessert" yang diubah menjadi "dessert - main course - appetizer" dengan perumpamaan "appetizer kemasan dessert - main course - dessert kemasan appetizer".
Kalau mengubah kemasan itu seperti ini:
tidak bahagia - sebab ketidakbahagiaan - akhir penderitaan - jalan menuju akhir penderitaan. Di sini analogi anda tepat. Dan jika memang begitu, saya rasa tidak masalah.
Kebenaran mulia: dari dukkha menuju akhir dukkha
Bagi orang yang ga suka "pesimis", diganti kebahagiaan (akhir dukkha) mundur ke dukkha
Urutan jhana: dari rupa menuju arupa
bagi orang yang "pembenci keterbatasan tubuh", diganti arupa mundur ke rupa.
Apa bedanya? Seberapa manis anda katakan alasannya, menurut saya itu tetap menjadi urutan mundur.
Menurut saya sudah, itulah sebabnya mereka tidak bisa lagi "mundur". Bedanya, karena masih ada belenggu lainnya, maka mereka masih terkondisi kelahiran kembali.
Quotesaudara kaiyin,Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..
andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?
Coba panggil 10 orang sakti, suruh makan garam banyak-banyak. Nanti anda lihat apa itu paramatha dhamma versi anda tetap paramatha.sy berbicara sesuai keadaan saja, silahkan anda yang pilih orang sakti-nya....nanti saya yang beri garam-nya..
Definisi anda sih lain dengan yang saya baca.silahkan dibaca ulang,
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"
tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?
orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...
Karena relatif itu bukan berarti "selalu berbeda". Cantik itu relatif, orang-orang bilang. Tetapi bukan berarti tiap orang pasti berbeda pendapatnya. Kalau saya bilang "cantik" anda bilang "cantik", itu yang saya bilang cocok. Tapi kalau saya bilang "cantik" anda bilang "jelek", yah tidak apa, itu namanya tidak cocok. Saya bisa katakan alasannya saya bilang cantik, anda pun bisa katakan alasannya anda bilang jelek. Tapi tidak perlu saling memaksakan pandangan, bukan?gini aja, "perbuatan mencuri itu perbuatan tercela" >> apakah pernyataan ini disebut kebenaran relatif?
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...ada 2 jawaban
terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)
tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...Justru harusnya, berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan tertinggi lho
terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)
tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
A bertemu dengan B menanyakan tentang ajaran Buddha.percakapan ini bisa terjadi ketika seseorang berniat membahas buddhism.
A: Benarkah Buddha mengajarkan hidup ini adalah dukkha?
B: Benar
A: Banyak yang bisa dilakukan dalam hidup, bukankah mengatakan hakikat hidup adalah dukkha adalah pandangan pesimis?
B: Apa kerjaan anda?
A: Saya seorang manager perusahaan
B: Untuk apa anda bekerja?
A: Untuk mendapatkan uang, memenuhi kebutuhan
B: Setelah dapat uang cukup, lalu apa yang anda lakukan?
A: Saya akan mencari istri yang sesuai, punya keluarga, dan membahagiakan mereka
B: Setelah itu?
A: Saya akan mempertahankan kebahagiaan itu seumur hidup
B: Dengan begitu, anda katakan hakikat hidup adalah bahagia?
A: Ya, hidup saya bahagia
B: Jika pada dasarnya, hidup anda adalah kepuasan, mengapa engkau masih mencari uang untuk mengejar pemuasan kebutuhan?
A: ...
B: Jika pada dasarnya, hidup anda ini adalah kebahagiaan, mengapa anda membutuhkan seorang istri dan keluarga untuk melengkapi kekosongan?
A: ...
B: Jika pada dasarnya, hidup ini adalah bukan dukkha, mengapa kita masih saja selalu mengejar kebahagiaan?
A: ...
----
Ketika orang mengabaikan kebaikan dalam satu fakta, maka orang itu disebut pesimisik. Jika seseorang mengabaikan risiko dalam satu fakta, maka orang itu disebut optimistik.
Orang pesimis tidak mampu berkembang karena tidak bisa melihat kesempatan, sedangkan orang optimis berada di ambang kejatuhan.
Seorang yang bisa melihat kenyataan bukanlah seorang optimis maupun pesimis; tetapi ia tahu kapan untuk maju ketika ada kesempatan dan kapan untuk menahan diri ketika ada bahaya mengancam.
Marcedes ....
orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)
tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
sulit dijelaskan dengan kata-kata mengenai standard tersebut,akan tetapi bisa di gambarkan/di renungkan mengenai "sifat-sifat" bikkhu yang berlatih selama beberapa tahun.QuoteMarcedes ....
orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...
Bagaimana kalau kita ngajak orang barat itu party dulu....
nanti baru diajarkan dhamma apa juga boleh ?
sejauh manakah boleh diperbuat (dipromosikan) utk mencapai tujuan ?
sulit dijelaskan dengan kata-kata mengenai standard tersebut,akan tetapi bisa di gambarkan/di renungkan mengenai "sifat-sifat" bikkhu yang berlatih selama beberapa tahun.QuoteMarcedes ....
orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...
Bagaimana kalau kita ngajak orang barat itu party dulu....
nanti baru diajarkan dhamma apa juga boleh ?
sejauh manakah boleh diperbuat (dipromosikan) utk mencapai tujuan ?
you know saja lah ,what i mean. :P
mana ada para bikkhu party ^.^
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)
tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
Kebahagiaan sepertinya terlalu bersifat duniawi dhe.Kebahagiaan indentiknya senang, kebahagiaan juga sifatnya terkondisi dhe.dan sepertinya dimana ada kebahagian disitu ada kesedihan.cmiiw..
Gimana kalo diganti dgn
berakhirnya dukha=perasaan tawar(netral)
nah..kalo perasaan tawar(netral) itu terkesan cocok untuk mengambarkan lenyapnya dukha,karena perasaan tawar ini bebas dari kondisi sedih maupun senang,dan sifat tawar(netral) ini bebas dari segala sensasi
Dan kalo ga salah ciri seorang arahat adalah tidak penah tertawa,
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia,jadi 'tidak tertawa' disini mengambarkan perasaan tawar(netral) sang arahat
harap dikoreksi
^
^
dan kalo terkesan konyol,jangan dianggap serius ya,lagi ga konsentrasi ni,jadi asbun/asal bunyi dhe
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...
terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)
tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
saudara kaiyin, apakah anda tahu persis mental Ajahn mengubah disitu? tidak bukan.Kembali lagi, saya seringkali "mengenalkan" dhamma kepada orang lain tanpa perlu menonjolkan embel2 Buddhisme, terutama bagi mereka yang saya tahu ada "pengalaman buruk" dengan Buddhisme.
jadi apabila yang dimaksudkan Ajahn mengubah untuk merangsang dunia barat "mau" memegang buku buddhis saja dan membacanya itu sudah bagus..
ketimbang baru melihat buku buddhis malah langsung di simpan tanpa dibuka.
jadi kalau saya berpikir bahwa Ajahn berusaha membuat seseorang mencicipi rasa dari buddhism, terkait suka atau tidak suka urusan belakang.
ketimbang baru berbicara ttg buddhism, orang sudah menolak mencoba...bukankah sayang.
loh,dari tadi saya katakan apabila seseorang menghancurkan 1 belenggu,Seperti saya katakan, saya tidak melihat 10 belenggu sebagaimana anda menilainya. Bagi saya, ketika seseorang melihat paramatha dhamma, maka ia tidak bisa mundur lagi, dan akhirnya terlepas dari kelahiran kembali.
memangnya belenggu setelah dihancurkan bisa timbul lagi?.......
jadi ketika seseorang telah menghancurkan 1 belenggu,orang itu juga telah merealisasikan paramatha dhamma.
ketika anda tidak setuju dengan kata contoh saya,sekarang anda mengatakan "tidak bisa mundur" atau dengan kata lain anda setuju....^^
sy berbicara sesuai keadaan saja, silahkan anda yang pilih orang sakti-nya....nanti saya yang beri garam-nya..Terserah anda saja. Anda mau bilang kebenaran seperti itu adalah Paramatha Dhamma, silahkan. Saya menghormatinya. Saya tidak melanjutkan lagi tentang ini.
kita lihat hasilnya apa makan garam itu bisa dehidrasi-kehausan, atau kekenyangan dan bertenaga seperti makan nasi putih yg notabane nya karbohidrat. :P
percakapan ini bisa terjadi ketika seseorang berniat membahas buddhism.Karena pengalaman setiap orang berbeda, maka mengenalkan dhamma pun harus dengan cara yang sesuai, dan mungkin berbeda bagi tiap orang. Ajahn memilih membolak-balik 4 Kebenaran Mulia, itu haknya. Anda mau bolak-balik juga tidak apa.
akan tetapi kalau dengar buddha saja sudah enggan membahas?...apa yg mau d bahas?
untuk itu Ajahn mungkin saja berniat membuat pemicu terjadi percakapan membahas buddhism.
karena saya juga dulu demikian, dulu berpikir bahwa di vihara itu juga mengenal mr.T....seperti mr.T dalam nasran1Berbeda dengan anda, saya tidak melakukan sesuatu dengan tolok ukur diri saya sendiri.
akan tetapi begitu dengar tidak mengenal mr.T, tanpa bertanya mengapa dan bagaimana sy langsung pergi dan men-cap agama sesat......
andaikata orang tersebut berkata mengenal mr.T akan tetapi sedikit berbeda..^^ dan begini-begitu saya jadi lebih cepat lagi mengenal the real buddhism, bukan perlu 2-3 tahun mengembara di aliran maitrey4. ^^
tetapi kalau anda berpikir Ajahn keliru,yah itu hak anda jg, saya hanya mengeluarkan pendapat saya juga...
oke...cukup de.
----------------------------------------
saudara kaiyin, masalah kecocokan...
ketika anda memberikan orang sebuah nasehat, misalkan jangan mencuri apakah anda yakin ini benar 100% ( sudah absolut/paramatha )
atau hanya 50% ( masih relatif ) dimata orang lain, karena bisa saja pencuri bilang benar.
sy tunggu jawaban anda. ^^
apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
Kebahagiaan sepertinya terlalu bersifat duniawi dhe.Kebahagiaan indentiknya senang, kebahagiaan juga sifatnya terkondisi dhe.dan sepertinya dimana ada kebahagian disitu ada kesedihan.cmiiw..
Gimana kalo diganti dgn
berakhirnya dukha=perasaan tawar(netral)
nah..kalo perasaan tawar(netral) itu terkesan cocok untuk mengambarkan lenyapnya dukha,karena perasaan tawar ini bebas dari kondisi sedih maupun senang,dan sifat tawar(netral) ini bebas dari segala sensasi
Dan kalo ga salah ciri seorang arahat adalah tidak penah tertawa,
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia,jadi 'tidak tertawa' disini mengambarkan perasaan tawar(netral) sang arahat
harap dikoreksi
^
^
dan kalo terkesan konyol,jangan dianggap serius ya,lagi ga konsentrasi ni,jadi asbun/asal bunyi dhe
Ada yang saya mau tanyakan pada kainyn, dari dulu kita tidak pernah sepakat nih, bagaimana tentang pimpinan / pendiri / guru ajaran (agama) yang ternyata ajarannya juga perilakunya tidak sesuai dan tidak menuju pengikisan LDM.
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?Ada yang saya mau tanyakan pada kainyn, dari dulu kita tidak pernah sepakat nih, bagaimana tentang pimpinan / pendiri / guru ajaran (agama) yang ternyata ajarannya juga perilakunya tidak sesuai dan tidak menuju pengikisan LDM.
Seorang guru yang ideal adalah yang perbuatan dan tingkah lakunya sempurna, mengetahui fenomena dan dapat mengajarkannya pada orang lain. Menurut teorinya, manusia demikian hanyalah Samma Sambuddha seorang.
Seandainya, sekarang ini muncul seorang Samma Sambuddha, kita melihat sepak-terjangnya dan hasil ajarannya yang nyata, tetapi kita berpaling mencari guru yang tidak sempurna perbuatan dan tingkah lakunya, serta tidak sempurna mengajarkan dhamma, maka saya bilang perbuatan seperti itu sangat sangat mubazir. (Istilah Maha Kacayana: seperti orang yang mencari kayu di hutan, bertemu kayu jati, tetapi bukan mengambil inti batangnya, malah mengambil rantingnya.)
Nah, setahu saya, sekarang ini saya tidak melihat adanya Samma Sambuddha (kecuali beberapa yang gadungan), yang sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya. Maka yang dapat kita peroleh hanyalah guru-guru yang bukan guru "sejati" (=sudah tidak ada rotan, hanya akar saja).
Di antara guru-guru yang ada sekarang ini, -namanya juga orang biasa- pasti ada saja "noda" dalam ajaran dan perbuatannya. Tetapi bukan karena hal demikian, lalu kita tolak mentah-mentah semua ajaran dari guru itu.
Saya kasih contohnya, seorang bhikkhu ataupun romo bisa saja masih diliputi kebencian dan hawa nafsu. Kemudian misalkan ada umat non-Buddhis yang telah mencapai jhana, dan oleh karena itu, dalam hal sila, ia lebih tinggi daripada bhikkhu atau romo tersebut. Apakah karena hal itu, otomatis romo/bhikkhu itu tidak pantas jadi guru orang tersebut? Apakah juga dengan sendirinya romo atau bhikkhu itu berarti tidak bisa mengajarkan/mengenalkan Buddha-dhamma? Tidak juga, bukan?
Kalau saya pribadi, saya percaya dengan adanya mahluk sempurna yang disebut Samma Sambuddha, tetapi saya tidak/belum beruntung menemukannya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, semua orang yang berpotensi membagikan sesuatu pada saya, saya hormati juga sebagai guru, terlepas dari segala macam kekurangannya.
Bagi orang yang mau mencari guru, saya sarankan terimalah kekurangannya, tetapi jangan ditiru. Kembali lagi, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam diri, bukan bergantung pada orang lain. Dengan begitu, kita bisa lihat "bagus sebagai bagus; jelek sebagai jelek". Juga jangan mengkultuskan seorang guru. Bahkan dalam Sutta pun, Buddha tidak pernah menyuruh para murid mengkultuskan dirinya.
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?Nyela.. Kalo nurut saya susah yah.. dr yg salah gmn bisa timbul yg benar? sebuah deviasi bersudut kecil dari garis lurus, akan menjadi perbedaan yg besar pd satu jarak tertentu, meski di awal pembelokannya perbedaan tsb tidak terlihat signifikan.
Nah makanya dari situ bisa di ambil kesimpulan semua agama tidak sama, karena dari ajaran, goalnya pun sudah berbeda, kebenarannya pun berbeda ;DOk, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?Nyela.. Kalo nurut saya susah yah.. dr yg salah gmn bisa timbul yg benar? sebuah deviasi bersudut kecil dari garis lurus, akan menjadi perbedaan yg besar pd satu jarak tertentu, meski di awal pembelokannya perbedaan tsb tidak terlihat signifikan.
Contoh kasus: Y.A Sariputta sendiri tdk mengalami kemajuan yg berarti dibawah ajaran Sanjaya. Hanya dari keterbukaan dia mendengar sebait dhamma dari Y.A Assaji, barulah terealisasikan sebuah pandangan benar. Sesudahnya beliau tdk 'kekeuh' tetap memelihara pandangan benarnya dibawah ajaran Sanjaya yg berpandangan keliru. Tapi tidak berarti beliau tdk lagi menaruh hormat pd mantan gurunya. Malah Y.A Sariputta mencoba mengajak gurunya utk mengambil perlindungan dlm Buddha sasana.
Saya rasa itu pula sebabnya pandangan benar diletakkan sebagai dasar dlm Jalan Mulia Berunsur 8.
Demikian pula deviasi yg terjadi dlm ajaran Mr.J. Ungkapan yg cukup mengena 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari.'
Apa yg baik belum tentu benar. Dan menyikapi kebenaran ini pun hendaknya berhati-hati, krn jika tidak akan menjadi fanatisme yg tdk membawa kemajuan pula.
saudara kaiyin, masalah kecocokan...
ketika anda memberikan orang sebuah nasehat, misalkan jangan mencuri apakah anda yakin ini benar 100% ( sudah absolut/paramatha )
atau hanya 50% ( masih relatif ) dimata orang lain, karena bisa saja pencuri bilang benar.
sy tunggu jawaban anda. ^^QuoteSaya tidak pernah menganggap kebenaran demikian adalah absolut.
Saya juga tidak memberikan nasihat dengan mengatakan "ini kebenaran absolut", "saya sudah realisasi/punya pengalaman langsung" atau lain-lain sebagainya. Saya berikan orang lain nasihat sebagaimana layaknya teman, bukan menggurui. Teman boleh menerima atau menolak nasihat temannya, tergantung kecocokannya.
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?
bukan spekulasi, bisa dilihat koq di kitab mengenai ajaran dan prilakunya khan ;DOk, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?
Wah, kalau sampai sejauh itu sih saya tidak tahu yah. Kalau mau dispekulasikan juga sudah terlalu luas.
Tapi kalau saya 'kan percayanya setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan harus bergantung pada guru untuk mencapai kemajuan. Jadi bisa saja bagi mereka yang tidak ketemu ajaran Buddha, tetap mengambil jalur Pacceka Buddha.
anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....Saya tidak menerapkan standard "ini kebenaran, ini bukan kebenaran". Ketika saya sharing, saya lebih membahas apakah suatu perbuatan bermanfaat baginya atau tidak.
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P
jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?
salam metta.
bukan spekulasi, bisa dilihat koq di kitab mengenai ajaran dan prilakunya khan ;D
IMO justru ajaran itu paling berpengaruh lho, kalau dari ajarannya saja sudah tidak benar apalagi yang prakteknya, memang betul ajaran benar belum tentu yang prakteknya benar, tapi bukankah lebih baik ajarannya dahulu yang benar khan ;Dbukan spekulasi, bisa dilihat koq di kitab mengenai ajaran dan prilakunya khan ;D
Kalau hanya dari buku, saya pikir tidak ada artinya. Kalau dari sisi Buddhisme, pasti melihat dari sudut LDM, sedangkan kalau dari sisi "seberang" pasti lihatnya dari sisi lain, misalnya Buddha hanya manusia biasa yang mati lalu selesai, sedangkan Mr. J ini bisa bangkit dari kematian. Tidak ada habisnya.
Bagaimana seorang melihat satu ajaran itu sangat relatif sekali. Misalnya ajaran Buddha yang sudah jelas-jelas menentang pembunuhan, tapi kita tahu ada orang yang menyikapinya dengan "ada pembunuhan yang diperbolehkan", semacam pembunuhan suci begitu. Jadi kalau saya bilang, ajaran, walaupun memang sangat berpengaruh bagi perkembangan seseorang, bukanlah hal yang utama. Hal yang paling utama dan terpenting adalah dari diri orang itu sendiri. Terlepas dari ajaran agama, umat agama apa pun pasti ada yang baik, ada yang bejad.
IMO justru ajaran itu paling berpengaruh lho, kalau dari ajarannya saja sudah tidak benar apalagi yang prakteknya, memang betul ajaran benar belum tentu yang prakteknya benar, tapi bukankah lebih baik ajarannya dahulu yang benar khan ;D
bukan itu yg saya maksudkan, lebih dari pada diri anda.anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....Saya tidak menerapkan standard "ini kebenaran, ini bukan kebenaran". Ketika saya sharing, saya lebih membahas apakah suatu perbuatan bermanfaat baginya atau tidak.
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P
jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?
salam metta.
bukan itu yg saya maksudkan, lebih dari pada diri anda.
pegangan mana yg anda ancungkan sebagai hal pasti.
pencuri share ke sesama mereka dengan mengatakan bahwa mencuri adalah baik. > mereka anggap bermanfaat.
anda share ke sesama teman, mencuri di anggap tidak bermanfaat.
nah standar apa yg anda pakai dalam menembus realita dhamma bahwa mencuri itu tidak bermanfaat?
sekedar cocok tidak cocok saja kah? ^^
salam metta.
bukan itu yg saya maksudkan, lebih dari pada diri anda.
pegangan mana yg anda ancungkan sebagai hal pasti.
pencuri share ke sesama mereka dengan mengatakan bahwa mencuri adalah baik. > mereka anggap bermanfaat.
anda share ke sesama teman, mencuri di anggap tidak bermanfaat.
nah standar apa yg anda pakai dalam menembus realita dhamma bahwa mencuri itu tidak bermanfaat?
sekedar cocok tidak cocok saja kah? ^^
salam metta.
Ya. Hanya cocok-cocokan saja.
Saya tidak menawarkan doktrin, apalagi dogma. Hanya berbincang-bincang saja.
Dengan menempatkan "standar saya sudah benar" dalam satu perbincangan, maka yang ada hanya pemaksaan ide kepada orang lain. Hal itu juga tidak bermanfaat bagi diri sendiri karena dengan menggenggam pola pikir demikian, seseorang tidak akan merasa dirinya salah. Kalau memang dia benar, itu bagus. Tapi kalau ternyata dia sendiri salah, sampai kapan bisa berubah?
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...
terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)
jadi bisa saya simpulkan menjadi..........
"pernyataan mencuri adalah baik" merupakan pemaksaan ide dari orang yg hidup sesuai sila kepada pencuri.
apa begitu?
salam metta.
aduh, sekali lagi bukan point yg saya maksudkan disitu...jadi bisa saya simpulkan menjadi..........
"pernyataan mencuri adalah baik" merupakan pemaksaan ide dari orang yg hidup sesuai sila kepada pencuri.
apa begitu?
salam metta.
Maksudnya "pernyataan mencuri adalah tidak baik"?
Ya, betul. Pemaksaan ide tersebut cocoknya untuk anak kecil yang belum ngerti apa-apa, atau orang dewasa tipe "bayi" (yang saya bahas dengan ryu di atas).
Bagi orang yang mengutamakan pengertian, maka pernyataan demikian tidak berarti apa pun selain suatu "pemaksaan ide". Yang berarti bagi orang "dewasa" adalah analisa, bukan kesimpulan orang lain.
Buddha sendiri dalam mengajar, jika ingin membuat orang itu mengerti, mengajak menganalisa satu masalah bersama-sama, BUKAN menawarkan kesimpulan.
anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....Saya tidak menerapkan standard "ini kebenaran, ini bukan kebenaran". Ketika saya sharing, saya lebih membahas apakah suatu perbuatan bermanfaat baginya atau tidak.
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P
jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?
salam metta.
Saya beri contoh yang terakhir, yang semoga bisa nyambung.
Anda katakan mencuri perbuatan tercela = kebenaran mutlak. Atas dasar apakah?
Di sini kita melihat orang mencuri, ada yang tertangkap dan dipenjara, dihina, dipukuli bahkan mati dihakimi massa; ada juga yang tidak ketahuan dan bisa menikmati hasil curian secara sembunyi-sembunyi; ada lagi yang walaupun ketahuan mencuri, tetap bisa bebas karena kekuasaan yang dimilikinya, bahkan dipuji oleh orang lain.
Dari fakta seperti ini, anda mau bagaimana bilang mencuri itu PASTI berakibat buruk bagi semua orang?
Paling-paling anda kembali pada teori kamma yang berbuah di kehidupan mendatang. Itu pun KALAU berbuah 1 kehidupan sesudahnya. Terlebih lagi, itu pun KALAU yang anda ajak bicara percaya tumimbal lahir dan teori kamma. Ujung-ujungnya spekulasi juga.
Bagi saya, hal seperti itu adalah tidak mutlak. Namun kembali lagi anda mau bilang hal itu adalah kebenaran mutlak, tidak masalah bagi saya. Saya hargai kalau anda juga tidak memaksakan pandangan itu ke saya.
dear Kai,
kalau saya boleh masuk, Kamma bukanlah TEORI mengenai vipaka yang akan menimpa melainkan sebenarnya setelah dilakukan, sudah berdampak langsung ke batin (silahkan baca tulisan bro william di perpus DC mengenai KAMMA CASH BASIS) dimana ini sesungguhnya selaras dengan apa anda sebut bermanfaat atau tidak
Sedikit penjelasan
Saat 1 perbuatan dilakukan, saat itu juga sebenarnya ada proses yg sama di dalam batinnya.
Jika melakukan perbuatan akusala maka secara batin, akan masuk trend baru yg akusala juga
demikian juga jika melakukan perbuatan kusala, di batin masuk trend yg kusala
Jadi secara buddhism (dan secara logika juga), sudah jelas bahwa itu bukanlah spekulasi
End of Selingan dikit
Dear Kai,
Saat org masih senang dgn akusala, batinnya biasanya jadi miccha ditthi. Miccha ditthi adalah lobha/ignorance/ketidak tahuan yg dilekati
Betul kebenaran itu adalah relatif (pannati dhamma) namun kebenaran relatif pada org yg batinnya miccha ditthi, hasilnya juga akan "menyakitkan" bagi dia, secara batin loh
Mungkin dia merasa perbuatan mencurinya benar, tetapi mgkn dia akan sakit hati sewkt anaknya diejek sebagai anak pencuri
Atau misal istrinya yg ga bs berbelanja di warung sebelah krn dibilang uang hasil curian
Perbuatan mungkin bisa dianggap benar tapi batinnya tetap akan terasa "sakit"
Saya rasa hendaknya mengingat kita berbicara di forum buddhis, marilah kita semua melihatnya dari sudut pandang buddhism juga karena sesuatu yg "relatif" itu, akan relatif juga untuk didiskusikan alias muter2
metta
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
^
^ ga usah punya mata aja om,biar ga keliatan ;D
kadang lingkungan juga ikut berperan,
contoh,kita lg ngerjain sesuatu dgn serius,tiba2 teman disebelah tepok2 punggung kita,dan ngmg "ada setan lewat..."
Om kainy, sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
Apakah solusi dgn kataTergantung diri masing-masing, tetapi memang bisa.
menghindarin
dpt diganti dgn kata
melampauin ?
;D
Ya, memang jelas Sariputta di sini memiliki kekaguman dan keyakinan terhadap Assaji. Nah, yang jadi pertanyaan adalah:
Bila seseorang memiliki kebijaksanaan yang cukup, mendengarkan dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, akankah dhamma itu memberi manfaat baginya?
Jangan disalah-artikan pernyataan saya sebagai "para ariya belum tentu punya Saddha". Siapa pun yang sudah merealisasikan dhamma, sudah pasti memiliki Saddha minimal kepada dhamma. Dengan begitu, secara tidak langsung, ia akan memiliki Saddha kepada "pembabar dhamma" (Buddha) dan "rekan lain yang juga merealisasi" (Sangha), JIKA ia cukup beruntung menemukannya.
Saya ibaratkan bahwa saya seorang dari masyarakat yang terisolasi, sedang mencari jawaban atas pergerakan benda. Lalu entah bagaimana ada kertas yang terbang nyasar entah dari mana, yang isinya hukum Newton, "mendarat" dekat saya. Kemudian, saya mengikuti teori di kertas itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan berhasil. Dengan begitu, saya punya keyakinan bahwa "kertas" itu mengandung kebenaran. Dengan sendirinya, secara tidak langsung keyakinan bahwa "ada guru yang mengajarkan hal itu" atau "ada orang lain yang juga mengerti", timbul di pikiran.
Pertanyaan saya sederhana. Apakah kalau saya tidak tahu siapa itu Newton, tidak percaya ia adalah fisikawan besar, maka saya tidak bisa mengerti teorinya?
Memang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).
Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.
Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?
Saya ingin melanjutkan diskusi tentang Saddhā : Fanatisme Dalam Eufemisme? (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11027.msg183922.html#msg183922) di sini dengan Bro Kainyn_Kutho... :)Silahkan lanjut :) Udah lama ga kelihatan...
Quote from: Kainyn_KuthoYa, memang jelas Sariputta di sini memiliki kekaguman dan keyakinan terhadap Assaji. Nah, yang jadi pertanyaan adalah:
Bila seseorang memiliki kebijaksanaan yang cukup, mendengarkan dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, akankah dhamma itu memberi manfaat baginya?
Seseorang yang memiliki kebijaksanaan yang cukup, bila mendengarkan Dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, sebenarnya bisa memetik manfaat dari Dhamma itu bagi dirinya.
Ya, kira-kira begitu. Jika seseorang telah melihat kebenaran tetapi tidak bertemu dengan guru sejati yang mengajarkan kebenaran, maka tentu tidak ada semacam keyakinan terhadap guru. Namun jika seseorang telah melihat kebenaran dan bertemu guru dan ajaran yang mengajarkan kebenaran juga, sudah pasti ia memiliki keyakinan pada guru tersebut.Quote from: Kainyn_KuthoJangan disalah-artikan pernyataan saya sebagai "para ariya belum tentu punya Saddha". Siapa pun yang sudah merealisasikan dhamma, sudah pasti memiliki Saddha minimal kepada dhamma. Dengan begitu, secara tidak langsung, ia akan memiliki Saddha kepada "pembabar dhamma" (Buddha) dan "rekan lain yang juga merealisasi" (Sangha), JIKA ia cukup beruntung menemukannya.
Saya ibaratkan bahwa saya seorang dari masyarakat yang terisolasi, sedang mencari jawaban atas pergerakan benda. Lalu entah bagaimana ada kertas yang terbang nyasar entah dari mana, yang isinya hukum Newton, "mendarat" dekat saya. Kemudian, saya mengikuti teori di kertas itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan berhasil. Dengan begitu, saya punya keyakinan bahwa "kertas" itu mengandung kebenaran. Dengan sendirinya, secara tidak langsung keyakinan bahwa "ada guru yang mengajarkan hal itu" atau "ada orang lain yang juga mengerti", timbul di pikiran.
Pertanyaan saya sederhana. Apakah kalau saya tidak tahu siapa itu Newton, tidak percaya ia adalah fisikawan besar, maka saya tidak bisa mengerti teorinya?
Baik sekali. Kali ini akan saya perjelas...
Saddha diartikan sebagai kepercayaan. Dalam Buddhisme, saddha (kepercayaan) ini adalah percaya setelah mempraktikkan; atau percaya setelah melihat dan mengalaminya sendiri. Karena itu, kontekstual saddha dengan sendirinya akan beridiri dalam pilar-pilarnya masing-masing; antara Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Savaka Buddha.
Dalam kontekstual Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, saddha yang berkembang adalah saddha (kepercayaan) pada Dhamma. Karena 2 tipe Buddha ini adalah tipe otodidak; yakni menembus Dhamma (Kebenaran) dengan usaha sendiri.
Sedangkan dalam kontekstual Savaka Buddha, saddha yang berkembang adalah saddha (kepercayaan) pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Karena tipe Buddha ini adalah tipe pelajar; yakni menembus Dhamma (Kebenaran) dengan mendapat instruksi maupun mempelajari ajaran dari "sang penemu" (Sammasambuddha).
Kembali ke pertanyaan Anda, maka jawabannya adalah...
Jika Anda tidak mengenal siapa itu Isaac Newton, tidak pula percaya bahwa ia adalah Fisikawan besar, sebenarnya Anda bisa memahami teorinya.
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.Quote from: Kainyn_KuthoMemang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).
Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.
Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?
Saya sependapat dengan Anda. Saddha pada hakikatnya adalah kepercayaan setelah mengalami kebenaran dari praktik Dhamma. Oleh karena itu, jika putthujjana percaya akan adanya 31 Alam Kehidupan namun belum melihatnya sendiri, itu namanya bukan saddha. Lebih tepatnya itu adalah wujud dari kepercayaan awam.
Benar. Setelah Anda mengerti arti dari secarik kertas itu, seharusnya keyakinan Anda pada ajaran Isaac Newton tidak lagi bisa digoyahkan. Namun... meski Anda tidak mengenal siapa itu Isaac Newton dan tidak pula mengenal fisikawan lainnya yang sudah mengerti ajarannya, Anda bukanlah tipe otodidak. Anda hanyalah seorang fisikawan tipe pelajar. Dan karena Anda adalah seorang tipe pelajar, secara tidak langsung Anda turut mengembangkan keyakinan pada Isaac Newton (guru) dan fisikawan lain (rekan lain yang sudah mengerti).Kalau dipaksakan fisika itu ke dhamma, memang benar, itu masih cenderung pada kapasitas Savaka.
Ini yang perlu diingat. Ketika kita berdiri di atas pilar sebagai pelajar / murid, maka dalam proses pembelajaran sampai penembusan Dhamma, saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha akan berkembang dengan sendirinya.
thank,atas pandangannya om..Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
Kalau menjelaskan pikiran itu, rada susah, karena pikiran itu tidak tetap, jadi cara menyikapinya yang cocok, juga berbeda.
Buat saya, intinya, kalau perasaan melekat itu sangat kuat, hindari kontak apapun juga (baik melihat, mendengar, sentuhan, dsb, terutama kontak dengan pikiran). Jangan memfasilitasi terjadinya kontak-kontak tersebut. Dengan tidak dipupuknya pikiran2 serakah, maka perlahan pun kemelekatan itu berkurang. Kontak dengan pikiran adalah yang terpenting, karena kalau kita menghindari melihat, mendengar, sentuhan, aroma yang menyenangkan dari wanita, tetapi tidak menghindari pikiran menyenangkan itu, maka jadilah kita orang ekstrim yang munafik. Oleh sebab itu, pikiran selalu yang terutama.
Jika sudah lumayan terbiasa, maka sikap ekstrim itu kita tinggalkan, lalu kita ubah pola pikir kita. Tidak usah yang hebat-hebat dulu macam "tubuh adalah kotor" atau "pemadaman nafsu" dan lain-lain. Dimulai dari mengganti pola pikir dengan moralitas seperti komitmen pada satu istri, bersikap selalu sopan dan menghargai wanita tidak sebagai objek seksual, atau mengutamakan kesehatan dengan mengecilkan risiko penularan penyakit kelamin dari gonta-ganti pasangan, dan lain sebagainya. Dengan pola pikir demikian yang berkembang, maka kontak dengan wanita, tidak pada kecenderungan menimbulkan nafsu.
Pola pikir yang bermanfaat ini biasa didapatkan dari belajar (mulai dari spiritualisme, sains, sosial-budaya, dan lain-lain), juga lingkungan dan pergaulan yang baik.
Nanya lg om,Karena saya bukan seorang ariya, jadi yang saya bahas adalah masih porsi "orang biasa".
*menurut anda apa rumus bijaksana dalam praktek kehidupan sehari-hari...
*apa tolak ukur sehingga seseorang dikatakan bijaksana(dlm praktek sehari-hari)..
*bagaimana cara melatih diri agar menjadi seseorang yg bijaksana...
"Tidak sulit menjadi orang baik,tapiBetul. Tetapi memang menjadi orang baik dan bijak juga ada prosesnya. Ada orang baik yang tidak bijak, tetapi tidak ada orang bijak yang tidak baik. Oleh karena itu, prosesnya memang dimulai dengan menjadi orang baik dulu, lalu melalui banyak pengalaman yang dialami, yang dilewati dengan perhatian, bukan acuh tak acuh, maka seseorang belajar untuk memperbaiki dan berangsur-angsur menjadi bijaksana.
sangat sulit untuk menjadi seorang baik yang bijak.."<-- itu yg sy temukan di praktek kehidupan sehari-hari..
Dan ketika harus mengambil keputusan(diantara 2 pilihan)..hal2 apa yang harus dipertimbangkan sehingga dapat mengambil keputusan dgn bijak...Yang menimbulkan kerugian minimal, dan memberikan manfaat maksimal bagi, terutama bagi diri sendiri dan ke dua untuk orang lain. Kadang juga keputusan pasti ada "biaya"-nya. Bisa merugikan diri sendiri, tapi menguntungkan banyak orang, misalnya. Pilihlah keputusan yang sesuai dengan kerelaan dan keikhlasan kita. Jika kita berkorban demi orang lain dengan ikhlas, maka itulah "dana" yang sebenarnya.
________Iya, betul. :)
iya om,kalo ga salah kita ketemu di thread pembahasan soal buddha bar ya?
QuoteYa, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.Quote from: Kainyn_KuthoMemang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).
Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.
Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?
Saya sependapat dengan Anda. Saddha pada hakikatnya adalah kepercayaan setelah mengalami kebenaran dari praktik Dhamma. Oleh karena itu, jika putthujjana percaya akan adanya 31 Alam Kehidupan namun belum melihatnya sendiri, itu namanya bukan saddha. Lebih tepatnya itu adalah wujud dari kepercayaan awam.
nimbrung dikit ye ... jgn di tendang ;DYa, begitu. Sebelum kita sendiri merealisasinya, semua masih dalam cakupan teori dan konsep.
kalo gitu nibbana itu jg faktor kecocokan ya ... kita kan blon membuktikan sendiri ?
tp apakah yg dimaksud dgn kecocokan ?Definisi bakunya saya tidak tahu, tetapi kira-kira diartikan bahwa adanya kesamaan dan kesesuaian antara subjek dan objek, dalam hal ini adalah pola pikir seseorang dan objek ajaran.
apakah, karena selama ini ajarannya banyak yg dibuktikan bener adanya, maka dianggap cocok ?
walaupun bisa aja di balik, pasti ada kesalahannya, (kesalahan bisa dari berbagai sumber), tp tetep masi lebih bener dari pada yg lain?
Ya, ini seperti dalam kisah Pukkusati yang tidak mengetahui lawan bicaranya adalah Buddha Gotama, tetapi mendengarkan uraian tentang unsur dan mencapai Anagami-phala.
Beberapa brahmana juga kadang datang ke Buddha untuk "cari ribut" menganggap Buddha sebagai musuh. Tetapi karena memang kebijaksanaan mereka cukup, maka mendengar jawaban dari Buddha, baru mereka mengerti dan berbalik menghormati Buddha.
Ya, kira-kira begitu. Jika seseorang telah melihat kebenaran tetapi tidak bertemu dengan guru sejati yang mengajarkan kebenaran, maka tentu tidak ada semacam keyakinan terhadap guru. Namun jika seseorang telah melihat kebenaran dan bertemu guru dan ajaran yang mengajarkan kebenaran juga, sudah pasti ia memiliki keyakinan pada guru tersebut.
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.
Kalau dipaksakan fisika itu ke dhamma, memang benar, itu masih cenderung pada kapasitas Savaka.
Dan lagi-lagi saya setuju. Kita tidak perlu semacam usaha khusus untuk mengembangkan "saddha" yang tanpa dasar, atau hanya karena dengar-dengar Buddha-Dhamma-Sangha hebat. Nanti malah hanya akan jadi orang fanatik buta. Dengan menjalankan hidup sesuai dhamma, membuktikan sendiri kebenarannya, otomatis suatu keyakinan yang kuat pada Buddha-Dhamma-Sangha pasti akan tumbuh.
Om kainybermeditasi obyek asubha
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".betul,pandangan seperti itu adalah bijaksana
Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.
Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.
Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.
Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)
Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.
Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.
Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".
Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.
Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.
Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.
Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)
Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.
Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.
Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.
Itu kisah penjelasan dari Vinaya Pitaka, Cv.V.33.3, tentang aturan bhikkhu mengenai "jimat" dan "tanda-tanda".
Itu kisah penjelasan dari Vinaya Pitaka, Cv.V.33.3, tentang aturan bhikkhu mengenai "jimat" dan "tanda-tanda".
rewarded, sorry...
Om mau tanya pendapat om lg ni...kalau saya sih, pertama kita coba menutup semampu kita peluang kesempatan melakukan tindakan kriminal nya, misalkan dengan menambah lapisan pintu,
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..
*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..
Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
kalau saya sih, pertama kita coba menutup semampu kita peluang kesempatan melakukan tindakan kriminal nya, misalkan dengan menambah lapisan pintu,
kemudian tidak terlalu banyak menaruh barang di depan toko, kalau toko kelihatan ramai yah jelas pasti jadi sasaran empuk.waduh!!memajang barang di depan toko salah satu jurus marketing om,untuk menarik pelangan..
kalau mau yah bisa juga menyewa jasa security seperti satpam atau minta kepada kepolisian setempat sering patrol [ memang pasti ujung-ujung nya biaya ]
sy jadi teringat Anathapdindika yang sering pergi ke kota-kota demi usaha dagang...maksud 'melawan' disini bukan sekonyong-konyong ketika ditodong senjata langsung melawan(bukan keluarin jurus kungfu panda) tapi mencari kesempatan untuk mencari bantuan(berteriak)
dan kadang harus melewati malam di hutan,....
SangBuddha menasehati nya untuk selalu waspada dan sering berpindah-pindah,
jangan menunjukkan kepahlawan palsu. liat-liat sikon lah...[situasi dan kondisi]
jangan jadi jagoan, malah jadi buntung.
salam metta.
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..
*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..
Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..
*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..
Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
Yang namanya membunuh itu tidak dibenarkan, mau alasan apapun tetap yang namanya membunuh itu salah.Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..
*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..
Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
jika tindakkan preventif sudah tidak efektif menurut saya tentu kita harus melawan bila perlu bunuh dia daripada kita yg mati tp harus dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa dan tanpa kebencian.karena kita harus berfikir bahwa kalo kita mati bgm dg sanak keluarga kita?bgm anak kita?
dan klo tidak dilawan penjahat itu akan besar kepala dan makin merajalela,dia akan mengulangi perbuatannya lg dan makin banyak jatuh korban2 yg tidak berdosa
dr sudut pandang hukum karma kerampokan adalah karma buruk yg menguatkan karma kita untuk mati dibunuh oleh perampok tp kita bisa menumpas kondisi itu dg membunuh perampok dan membikin karma buruk baru lagi(yg diusahakan tidak sekuat karma sebelumnya).karena waktu kita membunuh tidak melibatkan LDM maka karma kita jd tidak lengkap(lihat syarat2 karma lengkap"karma theory by dagpo rinpoce")
sama dg suatu alasan berperang bila diinvasi
^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy
memang si membunuh melanggar sila..^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy
Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
memang si membunuh melanggar sila..^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy
Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
Thanks dhe om..
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..
*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..
Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
jika tindakkan preventif sudah tidak efektif menurut saya tentu kita harus melawan bila perlu bunuh dia daripada kita yg mati tp harus dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa dan tanpa kebencian.karena kita harus berfikir bahwa kalo kita mati bgm dg sanak keluarga kita?bgm anak kita?
dan klo tidak dilawan penjahat itu akan besar kepala dan makin merajalela,dia akan mengulangi perbuatannya lg dan makin banyak jatuh korban2 yg tidak berdosa
dr sudut pandang hukum karma kerampokan adalah karma buruk yg menguatkan karma kita untuk mati dibunuh oleh perampok tp kita bisa menumpas kondisi itu dg membunuh perampok dan membikin karma buruk baru lagi(yg diusahakan tidak sekuat karma sebelumnya).karena waktu kita membunuh tidak melibatkan LDM maka karma kita jd tidak lengkap(lihat syarat2 karma lengkap"karma theory by dagpo rinpoce")
sama dg suatu alasan berperang bila diinvasi
;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;Dmemang si membunuh melanggar sila..^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy
Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
Thanks dhe om..
Sama2, senang kalau bisa membantu.
Tapi itu pendapat saya lho, sekadar masukan, bukan berarti yang terbaik dan sesuai dengan dhamma. Yang tahu situasinya 'kan anda sendiri, jadi ambillah keputusan yang menurut Mr.Jhonz paling baik.
^ kejadiaannya si ga ampe kantor polisi,cuma maling ga ketangkap..aye yg di marahin(seakan2 tersangka).. ;Dooh.. beda kasus lah.. bukan soal kemalingan yg aye mah ;D
;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D
masa depan memang ga bisa ditebak..baru saja minggu lalu membahasnya..
Sekarang gw udah menjadi saksi mata..
Tapi celakanya aye seakan jadi saksi,tersangka sekaligus korban...
Aye ga tahu mau nangis apa mau tertawa...
Tiba2 teringat sebuah cerita yg ku dengar, tapi lupa namanya...
So pakai karang2 aja ya....:D
Di jaman kerajaan Cina dulu ada seorang raja yg mempunyai 2 putera, yg pertama namanya Pangeran A & kedua namanya Pangeran B. Ratu sangat membenci anak pertamanya Pangeran A, karena waktu melahirkan Pangeran A, ratu sakit2an. Setiap hari Ratu hanya mengatakan bertapa rajin, pintar & hebatnya Pangeran B.
Setelah sang Raja meninggal dunia, Raja mengwariskan tahta ke putera pertamanya, Pangeran A. Karena Pangeran B bukanlah seorang yg bijaksana. Lalu sang Ratu meminta pangeran A memberikan sebuah kota yg sangat penting ke Pangeran B. Walau keberatan Pangeran A tetap menuruti permintaan Ibunya.
Pangeran B tidak puas dengan sebuah kota saja, dia memperkuat tentaranya dan merampas kota2 Pangeran A. Karena sangat berbakti kepada ibunya Pangeran A hanya bisa diam2 saja.....
Daerah Kekuasaan Pangeran B semakin lama semakin besar, tentaranya juga semakin banyak.Lalu Sang Ratu menulis sebuah surat kepada Pangeran B, dia menyuruh Pangeran B menyerang ibu kota, tempat tinggalnya Pangeran A, & dia akan membantu dari dalam. Sehingga Pangeran B bisa menjadi Raja.
Berita tersebut sampai ke telinga Pangeran A, Pangeran A cepat2 menyiapkan tentara untuk melawan serangan Pangeran B. Setelah pertempuran yg dasyat, tentara Pangeran A dapat memukul mundur tentara Pangeran B.
Pangeran A memanggil Ibunya, tapi Sang Ratu sama tidak merasa bersalah. Karena sangat marah, Pangeran A mengusir ibunya keluar dari istana dan bilang kita tidak akan bertemu sebelum sampai ke akhirat.
Setelah beberapa waktu, Pangeran A merasa sedih karena telah mengusir ibunya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa2, karena perkataan seoranga raja tak bisa di tarik.
& Para pejabat juga tidak setuju, karena kehadiran Sang Ratu sangat membahayakan negara.
Menurut teman2 berdosakah Pangeran A yg mengusir ibunya????
Saya rasa sih tidak, karena Ibunya sangat keterlaluan. Dia sudah menuruti semua permintaan ibunya, tetapi ibunya mesih tega mau mencelakan dia. Lagipun sebagai seorang Raja tentu dia harus mengutamakan kepentingan negara, Right??
Om kainy,mau tahu pendapat om dan teman2 soal ini,Quote from: rj_tan;45022Tiba2 teringat sebuah cerita yg ku dengar, tapi lupa namanya...
So pakai karang2 aja ya....:D
Di jaman kerajaan Cina dulu ada seorang raja yg mempunyai 2 putera, yg pertama namanya Pangeran A & kedua namanya Pangeran B. Ratu sangat membenci anak pertamanya Pangeran A, karena waktu melahirkan Pangeran A, ratu sakit2an. Setiap hari Ratu hanya mengatakan bertapa rajin, pintar & hebatnya Pangeran B.
Setelah sang Raja meninggal dunia, Raja mengwariskan tahta ke putera pertamanya, Pangeran A. Karena Pangeran B bukanlah seorang yg bijaksana. Lalu sang Ratu meminta pangeran A memberikan sebuah kota yg sangat penting ke Pangeran B. Walau keberatan Pangeran A tetap menuruti permintaan Ibunya.
Pangeran B tidak puas dengan sebuah kota saja, dia memperkuat tentaranya dan merampas kota2 Pangeran A. Karena sangat berbakti kepada ibunya Pangeran A hanya bisa diam2 saja.....
Daerah Kekuasaan Pangeran B semakin lama semakin besar, tentaranya juga semakin banyak.Lalu Sang Ratu menulis sebuah surat kepada Pangeran B, dia menyuruh Pangeran B menyerang ibu kota, tempat tinggalnya Pangeran A, & dia akan membantu dari dalam. Sehingga Pangeran B bisa menjadi Raja.
Berita tersebut sampai ke telinga Pangeran A, Pangeran A cepat2 menyiapkan tentara untuk melawan serangan Pangeran B. Setelah pertempuran yg dasyat, tentara Pangeran A dapat memukul mundur tentara Pangeran B.
Pangeran A memanggil Ibunya, tapi Sang Ratu sama tidak merasa bersalah. Karena sangat marah, Pangeran A mengusir ibunya keluar dari istana dan bilang kita tidak akan bertemu sebelum sampai ke akhirat.
Setelah beberapa waktu, Pangeran A merasa sedih karena telah mengusir ibunya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa2, karena perkataan seoranga raja tak bisa di tarik.
& Para pejabat juga tidak setuju, karena kehadiran Sang Ratu sangat membahayakan negara.
Menurut teman2 berdosakah Pangeran A yg mengusir ibunya????
Saya rasa sih tidak, karena Ibunya sangat keterlaluan. Dia sudah menuruti semua permintaan ibunya, tetapi ibunya mesih tega mau mencelakan dia. Lagipun sebagai seorang Raja tentu dia harus mengutamakan kepentingan negara, Right??
*nb,ini pertanyaan rekan forum sebelah
Thank jawabannya,
sy pikir masalah ini tidak ada pemecahannya,ternyata om kainy mengemasnya dgn sederhana,
mohon izin,sy sampaikan sebelah ;D
Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.
saudara hokkben,Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.
Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?
Dan juga berbohong demi kebaikan?
sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?Untuk ini, saya tidak punya jawaban langsung. Tergantung keadaan.
Dan juga berbohong demi kebaikan?Contohnya bagaimana?
sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?Bukan tidak salah. Pembunuhan tetap pembunuhan, namun pembunuhan karena benci dan pembunuhan karena terpaksa, dalam agama Buddha tidak sama.
QuoteDan juga berbohong demi kebaikan?Contohnya bagaimana?
Quotesama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?Bukan tidak salah. Pembunuhan tetap pembunuhan, namun pembunuhan karena benci dan pembunuhan karena terpaksa, dalam agama Buddha tidak sama.
contohnya misal seperti yg ditulis oleh bro marcedes...
seorang biku yang ditanya oleh sekawanan orang yg sedang emosi mengenai orang yg bersembunyi. sedangkan biku yang bersangkutan tau lokasi persembuyian orang tsb.
berarti karma buruk dari perbuatan membunuhnya tetap ada, tetapi mungkin buahnya akan berbeda?Ya, tentu saja sangat berbeda. Buah kamma ditentukan oleh subjek (si pelaku) dan objek (si penderita).
Sebenarnya terjemahan Pancasila kan 'Aku bertekad untuk melatih diri ....', bukan 'tidak boleh...'?
Ketika seseorang mulai memunculkan gagasan "ah, gue praktisi, ente teoris" atau "saya cuma tau teori, anda kan praktisi", nah saat itu sebenarnya sudah muncul keangkuhan, yang dipicu oleh sikap membanding2kan, sebagai buddhis hendaknya kita berusaha untuk menghindari ini.
Ada seorang mahasiswa yang setiap harinya diisi dengan belajar berbagai disiplin ilmu. Pelajaran yang sangat disukainya adalah tentang berburu kijang. Begitu tekunnya sang mahasiswa sampai-sampai dia mengetahui untuk menembak seekor kijang jarak idealnya adalah x meter. Bagian tubuh yang paling tepat untuk dijadikan sasaran tembak pun diketahui di luar kepala. Intinya sang mahasiswa mengetahui apapun yang terbaik untuk berburu kijang. Tetapi dia jarang sekali (baca:malas) berlatih untuk menembak binatang buruannya.
Di sisi lain ada seorang pemburu. Setiap hari kerjanya hanya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan yang paling sering diburu adalah kijang. Selain dagingnya enak dimakan, tanduk dan kulitnya dapat dijual dengan harga tinggi. Berbeda dengan mahasiswa, sang pemburu tak pernah belajar cara berburu yang terbaik untuk berburu seekor kijang. Semua ilmu diperolehnya melalui pengalaman. Bukan di bangku kuliah ataupun dalam pelatihan berburu kijang.
Suatu ketika ada seseorang yang meminta sang mahasiswa bertarung dengan pemburu untuk menangkap seekor kijang dalam keadaan hidup. Sang mahasiswa tahu betul apa yang harus dilakukan. Dia tahu semua prosedur yang memungkinkannya untuk dapat menangkap kijang dengan cara yang sangat efektif. Sang pemburu tak mau kalah, dengan berbekal segudang pengalaman, dia pun maju untuk bertanding dengan mahasiswa tadi.
Pertandingan dimulai. Sesuai dugaan, sang pemburu berhasil menangkap kijang tetapi kijang sudah dalam keadaan mati dengan banyak luka tembak di sekujur tubuhnya. Akhirnya tidak ada yang memenangan pertandingan.
Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik cerita di atas. Dalam kasus pertama sebenarnya sang mahasiswa begitu paham apa yang seharusnya ia lakukan untuk menangkap kijang itu dalam keadaan hidup. Tetapi ia tak bisa menembak. Kurang latihan adalah salah satu yang menjadi penghalangnya. Sedangkan pada kasus kedua, walaupun sang pemburu berhasil menangkap kijang, tetapi kijang sudah tidak dalam keadaan hidup lagi. Sang pemburu hanya mengandalkan pengalamannya saja. Tentu saja kita tidak dapat mengatakan bahwa belajar dari pengalaman itu tidak baik, tetapi bukanlah lebih bijaksana jika kita belajar dari pengalaman orang lain. Jika kita telah belajar dari pengalaman orang lain -bisa dengan bertanya ataupun membaca di buku- kita tidak perlu untuk selalu memulai pekerjaan dari tangga ke-nol.
Jika saja sang mahasiswa sering berlatih tentu dia akan dapat memenangkan pertandingan; dan jika saja sang pemburu mau belajar selain dari pengalamannya sendiri, tentu ia akan berburu dengan lebih efektif dan dapat menangkap kijang dalam keadaan hidup.
[...]Jadi ingat thread sebelah tentang relevansi moral dan kesucian. :)
Mereka yang menganggap bahwa praktek-praktek moral merupakan yang tertinggi akan mengatakan: 'Kesucian datang melalui pengendalian diri. Setelah menjalani praktek kesucian, marilah kita berlatih di dalamnya. Dari situlah kesucian muncul.' Tetapi mereka yang disebut ahli itu pun masih tetap terbenam dalam Samsara.
Setelah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin yang dahulu ada, dan tidak menyebabkan timbulnya yang baru serta tidak menjadi pengikut, dia terbebas dari pandangan-pandangan dogmatis. Karena bijaksana, dia tidak melekat pada dunia, serta tidak menyalahkan diri sendiri.
Dengan mengatasi semua teori yang berdasar pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana yang telah menaruh bebannya dan telah terbebas. Dia tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apa pun juga -- demikianlah Sang Buddha berkata.
bukan khayalan koq, memang pada mulanya kebenaran secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan harus dijalankan, nah setelah berjalan dengan sendirinya semoga saja kebijaksanaan dapat muncul ;D[...]Jadi ingat thread sebelah tentang relevansi moral dan kesucian. :)
Mereka yang menganggap bahwa praktek-praktek moral merupakan yang tertinggi akan mengatakan: 'Kesucian datang melalui pengendalian diri. Setelah menjalani praktek kesucian, marilah kita berlatih di dalamnya. Dari situlah kesucian muncul.' Tetapi mereka yang disebut ahli itu pun masih tetap terbenam dalam Samsara.QuoteSetelah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin yang dahulu ada, dan tidak menyebabkan timbulnya yang baru serta tidak menjadi pengikut, dia terbebas dari pandangan-pandangan dogmatis. Karena bijaksana, dia tidak melekat pada dunia, serta tidak menyalahkan diri sendiri.
Dengan mengatasi semua teori yang berdasar pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana yang telah menaruh bebannya dan telah terbebas. Dia tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apa pun juga -- demikianlah Sang Buddha berkata.
Juga tentang pandangan-pandangan tentang kebenaran yang "dikhayalkan" secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, sebagai kebenaran sejati. Semakin seorang mempertahankan pandangannya, maka semakin jauh dirinya dari kedamaian.
Inilah Buddha-Dhamma.
Bro Kainyn,intinya
Apakah ini berarti
Inti yang terdalam pemahaman antara teori dan praktek Buddha Dhamma adalah MENYATU ATAU MELEBUR. Inilah Kebenaran Sejati.
Dalam pemahamannya berarti kebenaran sejati tersebut, jika boleh diperumpamakan adalah :
Misalnya ;
Contoh ungkapan dalam Taoism dikatakan “Tao adalah alam semesta, Alam semesta adalah Tao. Menpertanyakan Tao berarti anda belum memahami Tao.
Dalam cerita silat, pernah dikatakan bahwa untuk menjadi ahli dalam ilmu pedang berarti kita harus sampai taraf “Badan adalah Pedang, dan Pedang adalah Badan”, yang artinya setiap gerakan merupakan kesatuan dengan antara badan dan pedang. Gerakan pedang yang baik tanpa memikirkan jurus berikutnya, berarti telah mencapai taraf tersebut.
Dalam Dhamma berarti setiap pikiran, ucapan dan perbuatan adalah Dhamma, jika telah menyatu dan melebur Dhamma. Maka seperti perumpanaan Rakit akan ditinggalkan, jika telah mencapai seberang, berarti kita telah melebur bersama rakit/Dhamma,.sehingga rakit tersebut ditinggalkan.
Benarkah pendapat ini ?
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?
mo nanya dunk om, bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?
mo nanya dunk om, bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?
Bagaimana menjelaskan anatta kepada anak SD ?
trims sebelumnya
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?
mo nanya dunk om, bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?
Bagaimana menjelaskan anatta kepada anak SD ?
trims sebelumnya
pakai ilustrasi batang pohon pisang atau bawang
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?
mo nanya dunk om, bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?
Bro Kainyn,
Apakah ini berarti
Inti yang terdalam pemahaman antara teori dan praktek Buddha Dhamma adalah MENYATU ATAU MELEBUR. Inilah Kebenaran Sejati.
Dalam pemahamannya berarti kebenaran sejati tersebut, jika boleh diperumpamakan adalah :
Misalnya ;
Contoh ungkapan dalam Taoism dikatakan “Tao adalah alam semesta, Alam semesta adalah Tao. Menpertanyakan Tao berarti anda belum memahami Tao.
Dalam cerita silat, pernah dikatakan bahwa untuk menjadi ahli dalam ilmu pedang berarti kita harus sampai taraf “Badan adalah Pedang, dan Pedang adalah Badan”, yang artinya setiap gerakan merupakan kesatuan dengan antara badan dan pedang. Gerakan pedang yang baik tanpa memikirkan jurus berikutnya, berarti telah mencapai taraf tersebut.
Dalam Dhamma berarti setiap pikiran, ucapan dan perbuatan adalah Dhamma, jika telah menyatu dan melebur Dhamma. Maka seperti perumpanaan Rakit akan ditinggalkan, jika telah mencapai seberang, berarti kita telah melebur bersama rakit/Dhamma,.sehingga rakit tersebut ditinggalkan.
Benarkah pendapat ini ?
bukan khayalan koq, memang pada mulanya kebenaran secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan harus dijalankan, nah setelah berjalan dengan sendirinya semoga saja kebijaksanaan dapat muncul ;D
kalau saya pribadi merasa penjelasan tentang karakteristik anatta itu tidaklah terlalu rumit atau membutuhkan filosofi tinggi. Hanya saja ketika di coba di elaborasi dengna pemikiran2x "kreatif" jadilah makin ribet dan jauh dari intinya. Strategi Sang Buddha itu Anatta langsung, tidak perlu mencari2x atta yg bahkan memang tidak ada.
dalam Anatta-Lakkhana Sutta (http://dhammacitta.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html), menurut saya sangat pendek tapi "nendang" sekali. Sisanya tinggal "melihat" apa isi penjelasan karakteristik tersebut saja.
Sudah saya pernah coba koq beberapa kali. Yah tidak berakhir dengn mereka langsung menerima karena yah memang masih belum siap saja. Yah hal serupa sama seperti ketika antara melepas tuhan, buat saya sendiri yg dari kecil telah terkondisi membutuhkan waktu lama sampai saya benar2x lepas.kalau saya pribadi merasa penjelasan tentang karakteristik anatta itu tidaklah terlalu rumit atau membutuhkan filosofi tinggi. Hanya saja ketika di coba di elaborasi dengna pemikiran2x "kreatif" jadilah makin ribet dan jauh dari intinya. Strategi Sang Buddha itu Anatta langsung, tidak perlu mencari2x atta yg bahkan memang tidak ada.
dalam Anatta-Lakkhana Sutta (http://dhammacitta.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html), menurut saya sangat pendek tapi "nendang" sekali. Sisanya tinggal "melihat" apa isi penjelasan karakteristik tersebut saja.
Kalau Suhu (atau siapapun) mau, cobalah eksperimen diskusi lintas kepercayaan dengan menunjukkan sutta tersebut. Atau setidaknya mintalah mereka membaca dan tanyakan pendapatnya. Nanti kita bahas apa yang terjadi.
bro kainyn_ktho,
bolehkah sharing bagaimana mengajarkan anatta pada anak SD ?
thanks sebelumnya.
Sudah saya pernah coba koq beberapa kali. Yah tidak berakhir dengn mereka langsung menerima karena yah memang masih belum siap saja. Yah hal serupa sama seperti ketika antara melepas tuhan, buat saya sendiri yg dari kecil telah terkondisi membutuhkan waktu lama sampai saya benar2x lepas.
Nah demikian juga ketika umat sebelah ketika diberikan hal ini. Dari sudut pandang tentu juga berbeda, bahkan bertentangan. Tentu tidak bisa diterima demikian langsung. Tergantung kondisi mental si penerimanya.
Tapi IMO saya tetap lebih setuju dengan strategi Anatta - Bukan diri, dibanding mencoba mencari si Atta yg nota bene tidak ada.
bro kainyn_ktho,
bolehkah sharing bagaimana mengajarkan anatta pada anak SD ?
thanks sebelumnya.
Kalau saya pribadi tidak menganut satu cara pengajaran ampuh buat semua orang. Yang terutama adalah mengerti pola pikir orang tersebut dan mengajak berpikir, BUKAN mengisi dengan doktrin.
Juga dengan anak SD, kita perlu tahu bagaimana ia berpikir. Bagaimana ia memandang dirinya itu ada, kita mengarahkan ia berpikir sendiri. Misalnya ketika kita tanya "siapakah kamu?" dan dijawab "saya adalah pemimpin kelas ini". Lalu kita tanya "jika kamu masuk kelas lain, siapakah kamu?" mungkin akan dijawab lain lagi. Demikianlah kita mengajarkan bahwa jawaban dari "siapa aku?" ini adalah karena suatu kondisi. Kita tidak perlu mengajarkan khanda yang belum tentu mereka paham, tidak perlu hafalkan "sabbe dhamma anatta", tetapi mengajak mereka terus berpikir kritis tentang "siapa aku".
Itulah cara yang saya pilih, ketimbang menunjukkan Anatta-Lakkhana Sutta.
Jika seseorang memiliki kotak kosong yang ia percaya berisi sebuah harta yang paling berharga di alam semesta, kita tidak bisa memaksanya meninggalkan kotak tersebut atau membujuknya dengan harta lain yang baginya kurang berharga dibanding isi kotak itu. Pertama-tama, buatlah ia membuka kotak tersebut untuk melihat isinya.
thanks bro,... rasanya gak gampang mengajarkan anak SD deh...Sama2. Memang bukan hanya "gak gampang", tetapi sulit sekali.
bisa lebih lanjut menjelaskan....
"sesuatu yg tidak memuaskan" bukan diri (kita) ?
_/\_
terima kasih atas kalimat ini .... :) mengena banget ....
tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...
imo sih dari sudut pandang anatta-lakkhana sutta, itu membuka kotak. Mencoba melihat apakah komponen2x itu si Atta. Jadi dicoba mengupas satu-persatu, membuka satu-persatu melihat apakah itu adalah diri. Bukankah begitu?
Mungkin hanya bahasa saja yg berbeda dalam penyampaian?
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.
_/\_
terima kasih atas kalimat ini .... :) mengena banget ....
tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...
_/\_ Sama-sama.
Dalam hal ini, seseorang harus memilih antara "percaya" dan "mengetahui". Jika seseorang memilih percaya tanpa mengetahui, berarti kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari situ. Membagikan sesuatu yang kita tahu adalah perlu, tapi menghargai kepercayaan orang lain adalah lebih penting lagi.
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.
Ya, jika bicara tentang anatta, memang sudah tidak bisa terpisah dengan anicca. Di sini maksud saya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya agar seseorang bisa menerima. Dari pada memberi tahu tentang anicca dan anatta (memberikan suatu paham baru dari kita, yang mungkin asing bagi pendengar), saya lebih cenderung mengajak seseorang berpikir: menurutnya apakah yang nicca dan apakah yang disebut atta? (membahas suatu paham yang ia genggam, namun mungkin belum pernah diselidiki lebih jauh.)
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.
Ya, jika bicara tentang anatta, memang sudah tidak bisa terpisah dengan anicca. Di sini maksud saya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya agar seseorang bisa menerima. Dari pada memberi tahu tentang anicca dan anatta (memberikan suatu paham baru dari kita, yang mungkin asing bagi pendengar), saya lebih cenderung mengajak seseorang berpikir: menurutnya apakah yang nicca dan apakah yang disebut atta? (membahas suatu paham yang ia genggam, namun mungkin belum pernah diselidiki lebih jauh.)
imo sih dari sudut pandang anatta-lakkhana sutta, itu membuka kotak. Mencoba melihat apakah komponen2x itu si Atta. Jadi dicoba mengupas satu-persatu, membuka satu-persatu melihat apakah itu adalah diri. Bukankah begitu?
Mungkin hanya bahasa saja yg berbeda dalam penyampaian?
Membahas tentang Anatta-Lakkhana Sutta menurut saya seperti menawarkan harta lain, bukan membuka kotak yang digenggam orang tersebut. Mengapa demikian? Karena sebelum bahasan Anatta-Lakkhana Sutta bisa jalan, kita harus terlebih dahulu menyetujui asumsi mahluk memang hanya terdiri dari 5 khanda, dan lima khanda memang berubah. Namun apakah seorang yang percaya tentang roh akan menyetujui asumsi 5 khanda tersebut? Saya rasa tidak. Mau tidak mau, ia akan membahas tentang "khanda ke 6", yang adalah "isi" dari kotak kosong tersebut.
Juga mengenai ketidak-kekalan, penganut pandangan (semi-)eternalisme akan mengatakan, "sekarang memang tidak kekal dan fana, tetapi nanti akan kekal." Jadi menurut saya, mengarahkan orang yang paling efektif, dimulai dari membahas sudut pandangnya, apa yang dipercayainya, bukan sudut pandang kita, apa yang kita percaya.
_/\_
terima kasih atas kalimat ini .... :) mengena banget ....
tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...
_/\_ Sama-sama.
Dalam hal ini, seseorang harus memilih antara "percaya" dan "mengetahui". Jika seseorang memilih percaya tanpa mengetahui, berarti kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari situ. Membagikan sesuatu yang kita tahu adalah perlu, tapi menghargai kepercayaan orang lain adalah lebih penting lagi.
bukannya kalo seseorang uda memilih ajaran tetangga tersebut, secara tidak langsung uda menutup option nya utk mengetahui ?, karena mereka kan cuman di tuntun utk percaya, jgn cari2 tau isi dari kotak pandora ini .. gue maha kuasa, gue maha tau, maha maha, elo elo nurut aja .. kalo kaga .. silakan jojing di neraka ... ?
kalo mereka bisa berusaha mencari tau sendiri isi kotak pandora nya itu ... bukannya sejak awal uda bertanya2 ?
bukannya kalo seseorang uda memilih ajaran tetangga tersebut, secara tidak langsung uda menutup option nya utk mengetahui ?, karena mereka kan cuman di tuntun utk percaya, jgn cari2 tau isi dari kotak pandora ini .. gue maha kuasa, gue maha tau, maha maha, elo elo nurut aja .. kalo kaga .. silakan jojing di neraka ... ?
kalo mereka bisa berusaha mencari tau sendiri isi kotak pandora nya itu ... bukannya sejak awal uda bertanya2 ?
Benar Sdr. Kainyn, oleh karena itu saya katakan observasi (pengamatan secara cermat) akan anicca, tentu saja dengan istilah yang membumi.
Agama tetangga juga mengajarkan ketidakkekalan, tapi hanya sebatas penampilan luar, observasi terhadap batin bisa dikatakan jarang disentuh. Why? Saya rasa pola pikir manusia itu mempengaruhi.
Jika berangkat dari nicca dan atta pun, toh pd akhirnya bisa jadi orang tsb tetap berpegang pd kesimpulan akhir sbgmn yg ada dlm agamanya, yaitu ada yg nicca dan atta sejati, Tuhan atau apapun istilahnya. Karena yg benar2 berani bersikap terbuka dan mengritisi pemikiran agamanya sendiri bisa dihitung jari, kebanyakan tidak akan berani, takut oleh ancaman yg ada dalam doktrin agamanya.Betul sekali. Itulah sebabnya Buddha yang memiliki kemampuan mengajar pun, pada zamannya, tidak mampu membuat semua orang melihat kebenaran. Makanya dalam berdiskusi, yang dicari adalah diskusi yang baik, walaupun pendapat boleh berbeda. Jika dari awal tujuan kita sudah "mengubah pandangan orang lain", kebanyakan hasilnya adalah kekecewaan saja.
Kalau sudah gini? End of story.
Dalam beberapa sutta yg saya lihat, misalnya Potthapada, pertanyaan2 Vacchagotta, pembahasan2 demikian justru tidak dianggap penting oleh Sang Buddha, apalagi jika berangkat dari posisi yg berbeda, doktrin yg berbeda. Drpd menjawab, Sang Buddha lebih memilih diam. Krn berangkat dr pandangan yg berbeda, maka jawaban akhirnya pun akan berbeda, apalagi bila jawaban itu telah dipatok, yaitu ada sesuatu yg kekal dan merupakan atta sejati. Sebenarnya pendapat saya ini sudah Bro Kain tuliskan utk Suhu yg saya quote di bwh ini.Potthapada Sutta menunjukkan sesuatu yang sangat menarik. Di sini Potthapada membahas tentang "atta", namun Buddha tidak membahas "anatta", namun melayani bahasan dengan baik, sampai pada akhirnya Potthapada sendiri melihat inkonsistensi dalam pandangan "atta" tersebut. Inilah yang selalu saya maksud "membahas dari sudut pandang orang lain, bukan sudut pandang sendiri".Membahas tentang Anatta-Lakkhana Sutta menurut saya seperti menawarkan harta lain, bukan membuka kotak yang digenggam orang tersebut. Mengapa demikian? Karena sebelum bahasan Anatta-Lakkhana Sutta bisa jalan, kita harus terlebih dahulu menyetujui asumsi mahluk memang hanya terdiri dari 5 khanda, dan lima khanda memang berubah. Namun apakah seorang yang percaya tentang roh akan menyetujui asumsi 5 khanda tersebut? Saya rasa tidak. Mau tidak mau, ia akan membahas tentang "khanda ke 6", yang adalah "isi" dari kotak kosong tersebut.
Juga mengenai ketidak-kekalan, penganut pandangan (semi-)eternalisme akan mengatakan, "sekarang memang tidak kekal dan fana, tetapi nanti akan kekal." Jadi menurut saya, mengarahkan orang yang paling efektif, dimulai dari membahas sudut pandangnya, apa yang dipercayainya, bukan sudut pandang kita, apa yang kita percaya.
Tanggapan soal ini, saya liat sih pendekatan awalnya beda, tp ujung2nya mengarah pada muara yg sama jg. Yg satu langsung dg Anatta, yg 1 lagi dg atta dulu utk menunjukkan yg bukan atta. Situational aja kali yah tergantung orangnya..Ya, ketika seseorang dengan pandangan "anatta" membicarakan "atta", sebetulnya yang dibahas adalah "anatta" juga. Contohnya yang terjadi dalam Potthapada Sutta. Demikian pula sebaliknya jika seseorang dengan pandangan "atta" membicarakan "anatta", sebetulnya tetap bahasannya adalah "atta". Contohnya... mungkin kita semua pernah mengalaminya. :)
justru disaat itulah paling tepat momentnya utk menguak apa "isi" itu. Memang pendekatan cara kita berbeda.
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..
Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..
Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..
Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..
Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D
Kalau menurut saya, untuk satu kasus, harus melihat semua kemungkinan untuk mencari solusi yang terbaik.
Apakah benar semua jenis pengobatan tidak mampu didapatkan, termasuk pengobatan alternatif? Berapakah kemungkinan sembuhnya? Jika kemungkinan sembuhnya besar, maka bisa dikatakan ia punya potensi untuk membayar (hutang) biaya pengobatannya di kemudian hari. Kalau kemungkinannya juga tidak jelas, maka yang ada hanya menambah kesusahan keluarga yang ditinggalkan. Namun ada juga keluarga yang tetap memilih berkorban demi anggota keluarganya. Mereka mau menerima dengan ikhlas kalaupun mereka harus kehilangan semuanya. Maka untuk hal ini, ada baiknya ia bicarakan dengan keluarganya.
Bagi saya, jika seseorang telah mencoba sebaik mungkin semua hal yang dia tahu, gagal dan kemudian memilih bersikap pasif, itu bukan pasrah, tapi "tahu diri". Jika seseorang tidak mencoba apa-apa, tidak mengusahakan sesuatu, lalu menunggu dan berharap perubahan terjadi dengan sendirinya, itu namanya pasrah.
Mengenai pandangan salah akan "anicca" itu, sangat susah untuk mengetahui jalan pikiran orang lain. Biasanya saya hanya bisa lihat dari bentuk luarnya saja, misalnya seseorang yang (menurut saya) mengerti "anicca" tidak melekat pada satu keadaan baik, namun menghargai keadaan baik tersebut; tidak menjadi putus asa karena keadaan buruk, namun terus berjuang membuatnya lebih baik.
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..
Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D
Ada jenis pengobatan alternatif yang tidak memerlukan biaya didalam menjalaninya hanya butuh tekad dan niat saja...yaitu dengan meditasi kesehatan...
timbulnya penyakit juga karena adanya kondisi yang mendukung timbulnya penyakit tersebut.... karena terkondisi maka penyakit tersebut akan berubah.... jd kalo kondisinya kita ubah mungkin saja akan membuat penyakit tersebut berubah menjadi sembuh....
Kadang kita pasrah terhadap kondisi yang ada tetapi apakah benar bathin kita benar2 pasrah??....
Jadi masalahnya "apakah penyakitnya masih mungkin disembuhkan?" dan berunding dgn keluarga..
Tapi,ini penyakit kanker lho om.. ;D
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.
setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.
Kalau orang sakit (termasuk penyakit parah juga) dan dia memilih tidak mengobatin dgn pertimbangan memakan biaya yg sangat besar.
Apakah tindakan tsb juga dikategorikan bunuh diri?
apakah syarat2 yg harus dipenuhin disebut bunuh diri?
apakah dgn bunuh diri, dikehidupan akan datang org tsb
akan mendptkan tubuh yg sehat (dgn asumsi dia memiliki karma utk lahir menjadi manusia lagi) ?
thanks sebelumnya.
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.
setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.
Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).
Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?
Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?
mohon masukannya.
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.
setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.
Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).
Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?
Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?
mohon masukannya.
Saya mau nimbrung sedikit...
Dalam Buddhadhamma, tidak dikatakan bahwa kesadaran yang berpindah pada kehidupan berikutnya. Kesadaran itu muncul dan timbul karena sebab, dan kesadaran tidak bisa berpindah. Kesadaran hanya akan muncul lagi ketika faktor-faktor pendukungnya masih ada.
Semoga bisa meluruskan.
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.
setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.
Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).
Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?
Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?
mohon masukannya.
Saya mau nimbrung sedikit...
Dalam Buddhadhamma, tidak dikatakan bahwa kesadaran yang berpindah pada kehidupan berikutnya. Kesadaran itu muncul dan timbul karena sebab, dan kesadaran tidak bisa berpindah. Kesadaran hanya akan muncul lagi ketika faktor-faktor pendukungnya masih ada.
Semoga bisa meluruskan.
bro Upasaka,
maksudnya berpindah dari fisiknya yg udah rusak.
apakah begitu (artinya berpindah) ?
Kalau yang saya baca, Buddha tidak menerimanya karena memang seorang Buddha tidak menerima makanan karena berkhotbah (seorang Bhikkhu menerima dana makanan, bukan upah dari pembabaran dhamma). Makanan itu kemudian dibuang karena semua makanan yang sudah diniati untuk diberikan kepada seorang Samma Sambuddha, tidak akan bisa dimakan oleh siapa pun (sama seperti kasus makanan yang diberikan pandai-besi Cunda khusus untuk Buddha).
Kalau yang saya baca, Buddha tidak menerimanya karena memang seorang Buddha tidak menerima makanan karena berkhotbah (seorang Bhikkhu menerima dana makanan, bukan upah dari pembabaran dhamma). Makanan itu kemudian dibuang karena semua makanan yang sudah diniati untuk diberikan kepada seorang Samma Sambuddha, tidak akan bisa dimakan oleh siapa pun (sama seperti kasus makanan yang diberikan pandai-besi Cunda khusus untuk Buddha).
tadinya mau langsung gw reply di topik ybs, tapi jadinya OOT (itu kan thread ttg "pasal menghina & avici"...
bro Kai,
untuk yang dibold itu, boleh tau alasannya?
kadang kita mempersembahkan makanan di altar Buddha (ada niat untuk dipersembahkan ke Sang Buddha) apa itujuga tidak bisa/tidak boleh dikonsumsi?
thanks
Kalau yang saya baca, Buddha tidak menerimanya karena memang seorang Buddha tidak menerima makanan karena berkhotbah (seorang Bhikkhu menerima dana makanan, bukan upah dari pembabaran dhamma). Makanan itu kemudian dibuang karena semua makanan yang sudah diniati untuk diberikan kepada seorang Samma Sambuddha, tidak akan bisa dimakan oleh siapa pun (sama seperti kasus makanan yang diberikan pandai-besi Cunda khusus untuk Buddha).
tadinya mau langsung gw reply di topik ybs, tapi jadinya OOT (itu kan thread ttg "pasal menghina & avici"...
bro Kai,
untuk yang dibold itu, boleh tau alasannya?
kadang kita mempersembahkan makanan di altar Buddha (ada niat untuk dipersembahkan ke Sang Buddha) apa itujuga tidak bisa/tidak boleh dikonsumsi?
thanks
Kalau menurut saya, itu berbeda. Makanan yang ditaruh di altar hanyalah sebagai simbol. Kita tahu bahwa Buddha sudah Parinibbana dan tidak akan makan makanan tersebut. Itu hanya merupakan sebuah penghormatan saja. Konon kalau makanan sudah ditetapkan untuk dimakan oleh Buddha, para deva menambahkan makanan deva ke dalam makanan tersebut. Makanan kasar dimakan oleh manusia, tetapi tidak bisa dimakan deva; sebaliknya makanan halus deva tidak bisa dimakan oleh manusia. Campuran keduanya hanya bisa bisa dimakan oleh seorang Samma Sambuddha.
Thanks bro Upasaka atas penjelasannya.
(masalah itu memang agak rumit dehhh)
Bila memiliki karma baik utk menjadi manusia di kehidupan yg akan datang,
berarti meninggalkan fisik yg rusak pada kehidupan ini adalah bukan
sesuatu yg menyedihkan ataupun DIPERTAHANKAN.
Spt Mobil baru kan naiknya lebih wueenak.
Apakah Begitu.
Thanks bro Upasaka atas penjelasannya.
(masalah itu memang agak rumit dehhh)
Bila memiliki karma baik utk menjadi manusia di kehidupan yg akan datang,
berarti meninggalkan fisik yg rusak pada kehidupan ini adalah bukan
sesuatu yg menyedihkan ataupun DIPERTAHANKAN.
Spt Mobil baru kan naiknya lebih wueenak.
Apakah Begitu.
yg pasti, sebelum meninggal nanti, mari kita berharap bahwa jika kita nanti terlahir sebagai mahluk apapun, semoga kita bisa menjadi mahluk yg lebih bijaksana, yg tetap bisa menjalankan buddha dhamma
[at] bro Kainyn ...
Mulailah menyampaikan ... toh saya akan mendengar ... mgkn di thread berbeda ... gak ada yang salah koq ... semua cuma proses dari bentuk pikiran kita yang terhubung dengan obyek ... berlalu dengan sendirinya ... :)
Kalau ada yang menganggap anda sebagai "penoda dhamma" (hanya karena thread ini), maka yang pertama kali merespon hal itu adalah saya (kalau saya pas lagi OL... ;D) , mengapa ?
Alasan saya, TAK ADA SATU ORANG PUN (BAHKAN SAMMA SAM BUDDHA SEKALIPUN) YANG DAPAT MENGUTAK-ATIK DHAMMA ... Semua itulah Dhamma ... :)
Semoga tidak menjadi salah mengerti yah ... :)
_/\_
Belum tentu, ada juga orang2 yg tidak percaya meski telah dijelaskan Sang Buddha dan Sang Buddha tidak pernah memaksakan kebenaran tsb. Karena kebenaran, diterima atau tidak, tetaplah tidak mengurangi nilai kebenaran tsb. Dlm beberapa kesempatan Sang Buddha menekankan pentingnya utk melihat dg kacamata yg sama utk mengerti Dhamma yg beliau ajarkan (bukan hanya soal proses hukum kamma dlm thread ini). Bukan mencoba mengerti melalui kacamata yg berbeda, melalui ajaran yg berbeda, melalui guru yg berbeda.
Jika pun mereka menerima dan percaya setelah diberitahu Sang Buddha, belum tentu mereka otomatis dpt mengingat perbuatan2 terdahulu mereka dlm kehidupan sebelumnya. Tapi ada bbrp kasus, yg setelah diberitahu, mereka dpt mengingat kelahiran terdahulu dan perbuatan yg mereka lakukan tsb.
Utk paragraf ke-2,Hanya info saja, Aryabhata pada abad 5 masehi sudah mengukur keliling bumi. Hasilnya meleset hanya 0.02% dari perhitungan modern. Saat itu, manusia belum ke bulan.
Soal pembuktian, seberapapun kompetennya mereka dpt membuktikan, selama masih sebuah teori, maka tidak pernah dpt diterima oleh pihak berseberangan. Penerimaan bumi berbentuk bulat scr penuh hanya stlh pendaratan manusia di bulan. Itu pun hingga hari ini masih ada saja yg tetap kekeuh berpandangan bumi datar. So, what to do?
Korelasinya dg Hukum Kamma adalah, hukum kamma merupakan proses yg terjadi yg tak-kasat-mata. Berbeda dg pembuktian soal bentuk bumi yg konkret. Bagaimana kita dpt membuktikan scr konkret sesuatu yg abstrak spt Hukum Kamma? Tesis apapun akan menghasilkan anti-tesis lagi yg terus terjadi scr sinambung menuju penyempurnaan tesis. Tapi bagaimanapun sempurnanya, tetap saja hanya tesis. Bukan sebuah realisasi pengalaman pribadi. Utk itu, saya lebih memilih berusaha mengalami saja. Sedangkan soal tesis, lebih baik jadi penonton saja yg menyaksikan Anda-Anda sekalian menyempurnakan tesis ini. ;)Kalau untuk pembuktian, memang selalu harus ada batasannya untuk diterima. Jika tidak ada batasannya, maka akan ada sanggahan seperti tidak adanya lengkung permukaan air yang membuktikan bumi bulat, atau fosil dinosaurus sengaja diletakkan Tuhan untuk menguji iman kaum kreasionist. Saya sudah membuat batasan. Berikan satu contoh perbuatan tertentu yang menghasilkan suatu akibat tertentu secara pasti, berdasarkan hukum kamma. Saya tidak akan katakan itu kuasa Tuhan atau apa, cukup ditunjukkan saja dan saya akan terima bahwa pembuktian adalah mungkin.
Dan YA. Memang tidak cukup hanya beralasan, "bisa dibuktikan kalau ada Samma-Sambuddha". Saya pribadi setuju dg pendapat Bro InJulia dan Bro Kain ttg tidak perlu mencoba membuktikan dgn memaksa yg mengakibatkan diri sendiri terperosok. Krn itu saya tulis bahwa jika demikian, saya memilih utk menganggap ini iman. Dan wilayah iman selalu personal dan privat. Jika tidak ingin disentuh, maka tidak perlu menyentuh pula wilayah iman orang lain. Pendapat Bro InJulia dan Bro Kain seharusnya sedikit banyak cukup membuat bbrp teman2 utk mendefinisikan ulang arti Saddha yg selama ini dikenal. :)
Oya, harap ingat bahwa pembuktian tsb bukan sekali saja, melainkan melewati proses waktu yg demikian lama dan begitu byk peristiwa yg menghasilkan bukti yg sekarang kita terima scr penuh. Demikian jg ttg Hukum Karma, mari sempurnakan meskipun hanya secara hipotesis belaka.Saya terbuka untuk pembuktian kamma yang berbuah langsung di kehidupan ini. Boleh dipilih yang paling cepat berbuah, semua akan saya catat, jika memang ada yang bisa menunjukkannya.
mettacittena
_/\_
Ini salah satu yang ingin saya bahas. "Mengosongkan cangkir teh sebelum mencoba teh yang baru."Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2. :)
1. Seseorang punya background Nasrani yang memercayai dosa awal, penebusan, hidup hanya sekali dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.
2. Seseorang punya pengetahuan logis, pengetahuan umum, psikologi dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.
Pertanyaan saya: "mengosongkan cangkir teh" itu diperlukan untuk yang mana? Apakah salah satu, keduanya atau bukan keduanya?
Hanya info saja, Aryabhata pada abad 5 masehi sudah mengukur keliling bumi. Hasilnya meleset hanya 0.02% dari perhitungan modern. Saat itu, manusia belum ke bulan.Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan. ;D
Kalau untuk pembuktian, memang selalu harus ada batasannya untuk diterima. Jika tidak ada batasannya, maka akan ada sanggahan seperti tidak adanya lengkung permukaan air yang membuktikan bumi bulat, atau fosil dinosaurus sengaja diletakkan Tuhan untuk menguji iman kaum kreasionist. Saya sudah membuat batasan. Berikan satu contoh perbuatan tertentu yang menghasilkan suatu akibat tertentu secara pasti, berdasarkan hukum kamma. Saya tidak akan katakan itu kuasa Tuhan atau apa, cukup ditunjukkan saja dan saya akan terima bahwa pembuktian adalah mungkin.Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.
Ya, sepertinya kita sepakat ini sebatas "iman". Di sini, rasanya saya punya "iman" yang sama dengan rekan-rekan di sini. Namun memiliki sikap yang berbeda terhadap "iman" tersebut.Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit. :)
Saya terbuka untuk pembuktian kamma yang berbuah langsung di kehidupan ini. Boleh dipilih yang paling cepat berbuah, semua akan saya catat, jika memang ada yang bisa menunjukkannya.Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om) ;D
_/\_
Saya coba uraikan di sini.
Bagi saya, bahkan seorang Samma Sambuddha pun tidak bisa membuat orang lain mengeri proses dari hukum kamma. Misalnya seperti saya katakan sebelumnya, ada suatu akibat, lalu dijelaskan oleh Buddha sebabnya di masa lampau. Semua orang yang mendengar hal tersebut TETAP TIDAK TAHU APA-APA tentang Hukum Kamma dan cara bekerjanya.
Sekarang cobalah kita pandang dari sudut pandang skeptis di mana kita tidak percaya tentang adanya seorang Buddha. Kemudian ada 2 orang yang mengaku Samma Sambuddha. Mengenai satu akibat, misalnya seseorang dirampok, terdapat 2 pendapat. Satu "Buddha" mengatakan karena dia pernah merampok rumah orang, sedangkan "Buddha" yang lain mengatakan dia pernah mencopet Arahat. Ada yang bisa buktikan yang mana yang benar? Saya rasa tidak. Berdasarkan hal ini, maka saya bilang Hukum Kamma tidak bisa dibuktikan ke orang lain, bahkan oleh seorang Samma Sambuddha pun tidak.
Lalu kepada diri sendiri, walaupun belum ada buktinya, saya percaya seorang Samma-Sambuddha BISA membuktikan hukum kamma dan juga mekanismenya. Lalu, apakah kita masing-masing juga mampu membuktikannya?
Pertanyaan saya sederhana: Bagi yang mengatakan bisa, apakah kita tahu sebab apa saja di masa lampau yang menyebabkan akibat tertentu sekarang? Apakah kita tahu perbuatan yang dilakukan sekarang ini mengakibatkan akibat apa di masa depan? Apakah mengetahui mekanismenya sehingga juga mengetahui berapa kali lipat buahnya dan kapan berbuahnya? Apakah juga mengetahui interaksi kamma lain yang mendukung dan menghambat sehingga mempengaruhi buah kamma tersebut?
Kalau memang ada yang jawab "YA", berarti mungkin memang saya keliru.
Tetapi kalau kita sepakat mengatakan "TIDAK", lalu pembuktian apa yang sudah terjadi sementara apa mengakibatkan apa tidak ada yang tahu?
Hukum kamma bagi saya bukanlah hukum tebak-tebakan berdasarkan logika yang kita ketahui. Bukan tebak-tebakan berdasarkan ilmu sosial, etika, dan sebagainya. Itu adalah probabilitas. Ada orang-orang yang memang bisa "meramalkan" masa depan, walaupun ia bukan seorang Buddha, bahkan bukan orang suci sekalipun. Tetapi itu hanya sebatas "penglihatan" saja. Ia tidak tahu bagaimana itu berproses dan apa saja penyebabnya. Dan yang paling penting, ia pun belum tentu kenal hukum kamma, namun memang dia punya "penglihatan" itu saja. Mungkin analogi paling sederhana adalah seperti orang yang punya pengetahuan "kalau isi bensin, mobil bisa jalan" tetapi tidak tahu mekanismenya.
Hukum kamma adalah berkenaan dengan niat dan pikiran. Jika memang bisa memahami hukum kamma, ketika sebuah niat terlintas di pikiran pun orang tersebut sudah mengetahui akibatnya.
Maksud saya adalah sederhana. Orang percaya pada Tuhan sama sekali bukanlah hal yang konyol. Namun menjadi sangat konyol kalau dia mengatakan sudah memahami Tuhan (seolah-olah mengerti kompleksitas pikiran Tuhan), apalagi mencoba membuktikannya kepada orang lain. Sama halnya dengan hukum kamma. Namun tentu saja hal konyol bagi saya, mungkin adalah sakral bagi orang lain dan saya harus menghargainya. Oleh karena itu saya tidak melanjutkannya.
Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2. :)Kalau begitu kita tidak sependapat dalam hal ini.
Ini seperti saya seorang pengemudi truk sampah yg mewarisi profesi dr ayah saya, sedari kecil dunia saya hanya seputar dunia sampah di Bantar Gebang. Guncangan saat mengendarai truk, bau, bising, dlsb suasana yg tidak enak sudah menjadi teman akrab saya. Dan saya tidak pernah naik katakanlah mobil mercy. Jika saya hanya mendengar enaknya mobil mercy ini-itu dari orang lain sementara saya tidak pernah menaikinya tentu akan timbul berbagai pikiran, utamanya sih 2: antara percaya dan berpikir berlebihan bahwa naik mercy serasa di surga, atau sebaliknya tidak percaya dan menolak mentah2. Yg manapun, hanya konsep dan ide, bukan realitasnya hingga saya mencoba naik mercy dan mengetahui kalau lebih 90% pemikiran saya sebelumnya tidak benar. Utk itu, kosongkan cangkirnya dan minum tehnya, kesampingkan perbandingan dan prasangka sementara dan coba selami.Perumpamaan ini bagi saya tidak tepat. Dalam hal hukum kamma, kita menganggap hukum kamma berlaku untuk semua orang, baik dia kenal teorinya atau pun tidak. Namun dalam perumpamaan ini, si tukang sampah tidak mengalami mobil Mercedes dan hanya tebak-tebakan saja.
Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan. ;DYa, saya tahu mengenai hal tersebut. Itu yang saya singgung mengenai mengukur lengkung permukaan air yang dilakukan oleh pembela doktrin ekstremis bahwa bumi adalah datar.
Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.Itu karena anda dan kebanyakan rekan lain melihat hukum sebab-akibat secara logika sebagai hukum kamma.
Btw, gimana dg contoh dari Mba' Samaneri di thread lain itu? Tidak cukup membuktikankah? Karena Samaneri menanam kebaikan, maka terhindar dr marabahaya. Jangan katakan kalau temannya itu memang cuma berniat makan di Bakmi GM dan merampok di tempat lain (BRI). Apalagi Sebaliknya krn temannya menanam kejahatan (hingga 3x, dimana sempat mengambil nyawa petugas bank lain), akhirnya dibedil.Point ke 3 perbedaan kita, anda mengambil satu contoh sebagai pembuktian universal (pars pro toto). Sedangkan kalau diambil contoh yang bertentangan, anda anggap sebagai sanggahan yang mencari celah. Apalah bedanya dengan kesembuhan rohani yang bisa menyembuhkan sebagian sangat kecil saja, namun meng-klaim bisa menyembuhkan siapa saja asal percaya? Ketika disanggah bahwa banyak yang tidak sembuh, tinggal bilang, "imannya kurang." Beres 'kan? Jika ingin membuktikan suatu hukum, meleset 1 saja dari antara 1 juta orang, maka hukum itu tidak berlaku.
Sekadar mengingatkan, di sini saya hanya mencoba mengajak diskusi dg harapan kita dapat menyempurnakan pengertian buddhis ttg Hukum Kamma, bukan utk "menjatuhkan" dlsb. Jadi saya tidak tertarik utk berputar-putar, berkelit dan mencari2 pembenaran.
Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit. :)Setelah membahas lebih jauh, saya ingin mengubah kesimpulan, yaitu bahwa sebetulnya "iman" saya dan kebanyakan rekan lain (dan mungkin juga anda) adalah sudah berbeda jauh. Saya melihat kamma sebagai sesuatu yang pasti (membunuh mengakibatkan umur pendek), namun tidak mengerti prosesnya (termasuk interaksi dengan kamma lain), hasilnya, dan kapan berbuahnya, dan oleh sebab itu saya katakan saya tidak bisa membuktikannya; sedangkan rekan lain menganggap kamma sebagai hukum konsekwensi logis sederhana saja seperti probabilitas (membunuh: ditangkap, merasa bersalah, dll), yang oleh karena itu jika probabilitasnya kebetulan benar, diklaimlah sebagai bukti hukum kamma. Sedangkan kalau contoh yang tidak mendukung (membunuh tidak tertangkap, tidak merasa bersalah) dianggap suatu usaha mencari celah.
Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om) ;DSaya beri kasusnya orang ingin menabung namun punya pengeluaran tak terduga seperti orang tua sakit, atau usahanya merugi, atau kerampokan, atau mungkin kena bencana alam, yang akhirnya tidak jadi menabung bahkan kehilangan uang. Niat (kamma) menabung sudah ada, bagaimana mungkin anda katakan kemiskinan adalah Vipakanya?
Di Nibbedhika Sutta, dikatakan oleh Sang Buddha ttg definisi Kamma, "bahwa cetana (kehendak) itulah yg dinamakan kamma (perbuatan). Dan melalui kehendak, orang melakukan kamma melalui 3 saluran perbuatan: pikiran, ucapan dan tindakan."
Karena semua perbuatan dilakukan diawali oleh kehendak, maka perbuatan apapun itu adlh kamma. Saya ambil contoh yg baik2 saja deh. Misal menabung di banknya Samaneri. Dengan niat (kehendak) mengumpulkan uang, maka saya menabung. Akibat dr menabung, uang terkumpul dan saya bisa jadi kaya jika perbuatan ini saya kondisikan menjadi sebuah kebiasaan. Apakah ini bukan termasuk Kamma? Saya sih melihat ini bagian kamma, krn diawali oleh kehendak dan ada perbuatan. Lebih lanjut ada hasil/akibat dr perbuatan ini. CMIIW. :)
_/\_
Ups ... sorry bro Kai ... baru tau anda post disini ... :)Tidak apa, saya memang tidak kasih tahu di thread sebelah karena OOT. :)
Bagi yang masih diliputi KETIDAK TAHUAN, ya saya setuju ... :)Saya tanya kembali. Ketika Buddha menjelaskan suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan suatu vipaka muncul, apakah dengan sendirinya para bhikkhu yang di antaranya adalah Arahat, orang yang tanpa keraguan pada Tiratana, memiliki kesaktian melihat masa lampau dan membuktikan bahwa adalah benar di masa lalu ia melakukan perbuatan tersebut?
Tapi ada juga yang setelah mengetahui penjelasan Sang Buddha, sudah terbebas dari keraguan terhadap Tiratana ... Dasar dari KEIMANAN BUDDHIS adalah Saddha, dimana prosesnya perlu adanya pembuktian (bukan kepercayaan membuta) ... Dengan terbebasnya batin dari KERAGU-RAGUAN terhadap Tiratana, tentu bisa anda bayangkan saddha yang dimiliki orang tersebut bukan (pastinya telah membuktikan) ? :)
Ya ... hal ini saya setuju ... :)Untuk pembuktian pada orang lain mungkin kita sudah sepaham. Namun untuk diri sendiri, masih ada sedikit perbedaan.
Bro Kai, sayapun tidak memaksa anda untuk percaya dengan proses pembuktian yang saya jabarkan pada thread lalu ... Tapi karena ada sebuah keyakinan pada diri saya, bahwa anda termasuk orang yang sudah bisa membuktikan cara kerja sederhana dari hukum kamma, dan saya melihat anda membuat tulisan bahwa hukum kamma tidak dapat dibuktikan, disitulah proses pikiran saya bereaksi untukl mengetahui lebih lanjut tentang apa yang anda telah pelajari (maaf, bukan mau ngetes yah ... :) ...)
Dan ternyata, dugaan saya semula TEPAT ... Diskusi kita berdua hanya beda masalah penafsiran dari pembuktian diri sendiri atau dengan orang lain ... itu aja koq ... Boleh saya bilang, ini hanya salah paham ... :)
Yup ... anda sudah bisa, saya dan beberapa rekan disini pun demikian ... TAPI, hanya terbatas kepada persoalan-persoalan kecil saja, karena harus kita akui bahwa ketidak tahuan kita itulah yang menyebabkan rangkaian kamma ini terjalin begitu panjangnya dan ketidak tahuan kitalah sebuah bukti konkrit yang seharusnya kita akui sebagai bekal untuk menuju sebuah kesudah tahuan nantinya (dalam hal ini kalau itu tidak diketahui, ini sebenarnya kerja dari sang aku yang tidak mengakuinya) ... :)Seperti saya bilang, tidak bisa, bro g.citra. Bahkan yang paling sederhana pun tidak. Kalau sebab akibat secara logis, saya memang bisa "meramal", diukur dari segala macam segi dan kemungkinan. Namun itu bukan hukum kamma.
Kalau kita mau sama-sama jujur, saya ulangi statement saya bahwa Ketidak tahuan ini yang menyebabkan akibat-akibat saat ini dari masa-masa lampau (sebelum kelahiran sekarang) ... :)Seandainya saya mengetahui kelahiran-kelahiran saya di masa lampau, belum tentu saya tahu perbuatan satu menyebabkan akibat satu. Demikian juga untuk kamma sekarang yang berbuah dalam kehidupan ini pun, saya tidak tahu kamma apa saja yang menyebabkan vipaka tertentu.
Saran saya, jangan terlalu jauh untuk mempertanyakan hal dalam membuktikan sebuah proses sebab-akibat ... Saya pikir, andapun akan setuju kalau ini jelas akan merupakan 'penghambat' kemajuan batin kita yang masih belajar ... Bukan begitu Bro Kai ? :)Anda keliru. Saya tidak mempermasalahkan pembuktian harus ada. Justru saya menyarankan agar kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mampu membuktikannya. Janganlah karena ego "ehipassiko", semua berkenaan dengan dhamma dianggap harus bisa dibuktikan. Kamma secara sangat sederhana BISA dilogikakan dan dikemas dalam suatu konsep. Konsep tersebutlah yang kita peluk berdasarkan kecocokan.
Saya tidak menolak statement anda bila itu menyangkut pembuktian sebuah proses panjang dari rangkaian kamma (baik masa lampau ataupun yang akan datang) ... Tapi jelas saya akan mendiskusikan kalau saja anda masih meragukan apa yang telah anda buktikan dari sebuah sebab akibat sederhana yang terjadi saat sekarang ... :)Proses sederhana apa? :) Berdana ("angpau" tanpa pengetahuan tradisi) menghasilkan vipaka penolakan? Kalau anda jelaskan hukum kamma seperti itu pada non-Buddhis, ia akan mengatakan Buddha mengajarkan suatu perbuatan baik hasilnya tidak tentu.
Nah untuk itulah, sering kali saya menulis diluar DC kurang lebih intinya seperti ini:Yang ini saya sangat setuju.
JANGAN DEFINISIKAN TUHAN ... karena dengan mendefinisikanNya, orang itu sudah "menyekat" Tuhan kedalam 'Aku' nya dan sudah banyak sekali pro-kontra timbul yang nyata hanya merupakan pembenaran dari ego diri dari yang mencoba mendefinisikannya ... Dengan begini apakah Tuhan masih bisa dikatakan "Yang Universal" atau malah menjadi Tuhan yang "tersekat" oleh ego diri ?
Apakah anda setuju dengan tulisan saya diatas ? :)
Saya tanya kembali. Ketika Buddha menjelaskan suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan suatu vipaka muncul, apakah dengan sendirinya para bhikkhu yang di antaranya adalah Arahat, orang yang tanpa keraguan pada Tiratana, memiliki kesaktian melihat masa lampau dan membuktikan bahwa adalah benar di masa lalu ia melakukan perbuatan tersebut?
Untuk pembuktian pada orang lain mungkin kita sudah sepaham. Namun untuk diri sendiri, masih ada sedikit perbedaan.
Saya percaya hukum kamma, namun tidak ada satu cetana yang paling sederhana pun yang saya ketahui vipakanya. Saya hanya tahu secara keseluruhan, kebaikan yang dilakukan, bersama berlalunya waktu, menghasilkan kebahagiaan. Namun itu sama sekali tidak cukup untuk mengatakan hukum kamma bisa dibuktikan.
Seperti saya bilang, tidak bisa, bro g.citra. Bahkan yang paling sederhana pun tidak. Kalau sebab akibat secara logis, saya memang bisa "meramal", diukur dari segala macam segi dan kemungkinan. Namun itu bukan hukum kamma.
Seandainya saya mengetahui kelahiran-kelahiran saya di masa lampau, belum tentu saya tahu perbuatan satu menyebabkan akibat satu. Demikian juga untuk kamma sekarang yang berbuah dalam kehidupan ini pun, saya tidak tahu kamma apa saja yang menyebabkan vipaka tertentu.
Anda keliru. Saya tidak mempermasalahkan pembuktian harus ada. Justru saya menyarankan agar kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mampu membuktikannya. Janganlah karena ego "ehipassiko", semua berkenaan dengan dhamma dianggap harus bisa dibuktikan. Kamma secara sangat sederhana BISA dilogikakan dan dikemas dalam suatu konsep. Konsep tersebutlah yang kita peluk berdasarkan kecocokan.
Proses sederhana apa? :) Berdana ("angpau" tanpa pengetahuan tradisi) menghasilkan vipaka penolakan? Kalau anda jelaskan hukum kamma seperti itu pada non-Buddhis, ia akan mengatakan Buddha mengajarkan suatu perbuatan baik hasilnya tidak tentu.
Jika sudah menyangkut kamma, tidak ada yang sederhana sama sekali, Bro g.citra. Sebatas itulah yang telah saya ketahui.
Yah begitulah bro Kai ... :)Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.
Seperti telah kita ketahui, tidak semua Arahat mempunyai abhina, tapi mereka telah mengerti sepenuhnya karena mereka telah 'melihat' segala sesuatu perwujudan yang ada (paling nggak diri mereka sendiri), mereka 'melihat' perwujudan itu tidak kekal dimana selalu ada dukkha yang menyelimuti bentuk perubahan tersebut dan mereka telah 'melihat' tak ada suatu inti dari materi yang berwujud itu bersifat kekal ... :)
Dengan mengetahui hal ini, sesungguhnya mereka telah paham (karena telah membuktikan) akan sifat 'timbul ternggelam' dari setiap bentuk perbuatan yang dilandasi keinginan berdasar dari ketidak tahuan akan selalu berakibat (walaupun tidak harus mengetahui hal-hal yang terlalu lampau ataupun kedepan) ... :)
Bro Kai ... :)Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.
Definisi dari kebaikan akan berakibat kebahagiaan itu hanya terbatas untuk segala macam kegiatan duniawi belaka ... Dalam hal ini tidak ada ukuran pasti mengenai kebaikan ataupun kebahagiaan dari tiap pribadi ... :)
Lepaskan dahulu konsep dualisme yang nyata ini ... baru akan didapati bahwa setiap bentuk cetana yang timbul berdasar dari ketidak tahuan ini akan selalu menimbulkan akibat ... Saya pikir itu saja koq ... :)Betul, menimbulkan akibat tertentu, yang mana kita tidak tahu apa hasilnya.
Coba anda mulai perhatikan (dengan kewaspadaan tentunya) saat anda berkeinginan ... saat itu juga akan tampak hasil dari keinginan anda yang anda perbuat dari pikiran, ucapan dan perbuatan ... Butuh proses memang, tapi saya yakin setiap orang akan bisa menyelami ini sepanjang ia sungguh-sungguh memperhatikannya ... :)(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
Makanya pada thread lalu saya menuliskan, coba perhatikan perasaan yang timbul setelah anda memberi uang kepada orang yang anda ingin berikan ... :) ...
Perasaan apapun itu, itu hasil dari perbuatan kita yang secara langsung kita dapat sebagai akibat dari perbuatan memberi ... Akibat-akibat lainnya itu memang sangat bergantung pada 2 hal lainnya seperti, akibat dari saat anda memberi, dan akibat setelah anda memberi ... tapi akibat karena anda bercetana memberi pastinya anda sudah rasakan akibatnya ... itu saja koq ... :)
Yah karena memang ini ketidak tahuan kita bro ... :))Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".
Makanya saya selalu mengusahakan diri saya untuk tidak berpikir terlalu jauh (kedepan/kebelakang) ... :)
Dalam berdiskusi membahas hukum kamma atau apapun, sepanjang itu bisa ditangkap oleh logika, sepanjang itulah kita bisa membuktikan (lewat berpikir) kenyataannya sepanjang itu berada dalam logika kita ... :)Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.
Bukti sesungguhnya (kalau kamma yang dilakukan lewat ucapan dan perbuatan), adalah berucap dan berbuat!
Gak ada jalan lain ... :)
Nah karena itulah bro Kai ...
Lambat laun Dhamma yang ditemukan olehNya akan menunjukkan bukti nyatanya kalau segala yang terbentuk, dibentuk, ditemukan akan mengalami perubahan ... :)
Dualisme kenyataan yang sangat nyata di dunia ... kita demikian terobsesi oleh sebuah perhitungan matematis tentang pertambahan dimana plus + plus = plus dan sebaliknya ...
Seharusnya dengan menyadari hal ini, kita semua akan menjadi maklum karena tidak semua Buddhis akan bisa melepaskan diri dari dualisme dan juga tidak semua non Buddhis tidak bisa melepaskan konsep dualisme dimana dalam memperhatikan penjelasan saya pasti tidak akan puas ... :)
Kalau kenyataannya tidak ada yang puas, tidak akan ada pengaruh apa-apa pada saya, karena saya memaklumi tentang hal-hal diatas ... :)
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.
Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.
(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.
Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".
Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.
Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.
Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.
Namun bisa dibuktikan ... Pembahasan diskusi antara saya dan anda ini lah salah satu buktinya ... :)Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.
Baiklah bro Kai ... dengan demikian contoh apalagi (yang sederhana tentunya) yang bisa kita gali pada diskusi kita ini ? :)(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.
Tulisan yang dibold itu, bukti atau bukan bro ? darimana anda berasumsi begitu ? bukankah itu sebuah bukti kalau ada kamma cetana (pengembangan mudita) ada vipaka (bahagia) ? :)Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".
:)) ... bro Kai ... lihat tulisan anda diatas ... :)) ... Jangan terlalu pesimis dengan menganggap sesuatu serba ribet dan komplekslah bro ... :))
Namun bila itu memang memotivasi anda untuk kemajuan batin anda, monggo aja koq ... Banyak jalan yang ditempuh orang-orang dalam memajukan spiritualnya ... :)Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.
Kalau contoh kasus itu dikembangkan ... ya saya setuju ! ... Kalau tidak dikembangkan ? Apakah masih begitu kompleks ?Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.
Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.
Mengenai tulisan yang anda bold:
Kata "baik" dan "menyenangkan" inilah yang menyekat anda sehingga anda begitu terobsesi olehnya... :)
Dari sini bisa saya simpulkan, bahwa kata itulah yang mendefinisikan Hukum kamma sehingga kehilangan ke-universal-annya (ini sama halnya dengan definisi tentang Tuhan) ... Ukuran baik dan menyenangkan menurut anda, belum tentu sama dengan baik dan menyenangkan menurut ukuran saya ... gak universal kan ?
Sementara sebab-akibat yang saya buktikan, lebih kepada sebab-akibat langsung (dimana bisa menimbulkan saddha pada diri saya) dan saya mengimaninya karena merasakan bukti nyata dari proses sebab-akibat tersebut ...
Mungkin hal ini sangat sulit (atau semakin sulit) anda terima (misal saja di pikiran anda saat baca tulisan saya: "ini orang koq au-ban banget yah" atau dll), wajar ... :) ... itu akibat yang saya terima berbuahnya dari sebab yang anda buat (berpikir) ... Akibat dari apa ? Akibat dari sebuah sebab yang saya perbuat >>> menulis dan berdiskusi dengan anda ...
dhammanussati yang dimaksud hukum kamma atau dukkha dan lenyapnya dukkha?
gw minum kopi tadi pagi juga dhamma...
^ Disini asumsi anda timbul lagi bro Kai ...
Penilaian, itu proses pikiran anda ... Menjudge saya tidak mengerti ataupun mengerti akan maksud anda merupakan cetana anda ... dan itulah akibat yang saya terima karena kita disini sama-sama menghadapi sebuah obyek (diskusi) ...
Ini saya anggap bukti dan anda mungkin menganggapnya lain ... Itu semua pilihan masing-masing dari kita ... :)
Hanya saja, kalau memang Hukum kamma tidak bisa dibuktikan, berarti ada kesalahan dalam penulisan PARITTA DHAMMANUSSATI ... "Mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko)" ... Karena tentunya anda sepakat bahwa Hukum Kamma juga bagian dari Dhamma ... :)
_/\_
Baiklah, saya coba untuk yang terakhir kalinya. Semoga memang saya yang hanya "asumsi".
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.
(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.
Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?
Dan anda juga tidak mengerti maksud gachapin. Kamma memang tidak terpisah dari ajaran Buddha, tetapi Dhammanussati merujuk pada Buddha-dhamma, bukan semua dhamma.
#1. Yang memberi makan itu siapa bro ? anda atau emaknya ?Yang memberi makan adalah saya. Silahkan dijelaskan, nanti saya lanjut.
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan saya memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.
Di sini kita sepaham. Saya punya niat memberi makan, namun vipakanya kita tidak tahu. Demikian kamma apa yang pernah dilakukan kucing itu kita tidak tahu, namun vipakanya adalah dapat makanan.Quote(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan saya memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.
#1. Anda melihat anak kucing kelaparan (itu vipaka anda ... dari mana? saya tidak menjawab karena saya tidak tahu dan saya pikir kita cukup menganalisa yang ini saja) ... Anda merespon obyek dengan sebuah keinginan untuk memberi makan (cetana anda) ... kucing itu mendapat makanan (itu vipakanya) ... kucing itu dapat makan dan anda pastinya timbul perasaan dalam melihat kejadian itu ... (itu vipaka anda) ... itu saja ...
Kalau ternyata kucing itu meninggal karena belum cukup mendapat makanan, itu vipaka akibat keinginannya (cetananya) memakan makanan yang anda berikan ... Koq makan bisa meninggal yah ? Yah itulah ketidak-tahuan yang menyebabkan sebuah cetana berbuah demikian ... Lalu kamma apa yang membuat kucing itu meninggal ? ia makan makanan karena disertai ketidak-tahuan sebagai pengiringnya ...Namun di sini anda menjelaskan sesuatu yang fatal. Anda bilang kucing meninggal adalah vipaka dari cetana memakan makanan yang saya berikan. Tanpa menguraikan jauh-jauh, demikian pernyataan anda berarti Buddha juga sakit perut luar biasa adalah vipaka dari cetana memakan makanan yang diberikan oleh Cunda, si pandai besi. Itulah perbedaan kita.
Kucing itu sama halnya seperti orang yang terlena akan ketidak-tahuannya dalam menerima berbuahnya kamma baik yang menyebabkan ia jatuh seketika ... Misalnya anak orang kaya yang terkena pergaulan negatif, sehingga ia terperosok masuk penjara saat mempergunakan harta kekayaannya untuk menjalani sebuah bentuk kegiatan terlarang ... Dalam hal ini saya tidak membahas secara detail hal-hal yang membuat ribet dalam pembuktian sebuah proses kamma sederhana ...
Nah untuk kesekian kalinya saya tulis ... Ini cetana yang saya perbuat lewat pikiran dan saya tuliskan pada thread ini ... Anda membaca sebagai obyek dan reaksi apapun yang timbul dalam pikiran anda, itu vipaka anda ... Anda repost, anda membuat cetana baru yang bisa menghasilkan akibat baru, atau anda menghentikannya yang secara otomatis kamma cetana-vipaka anda di thread ini selesai ...Akan kita bahas selanjutnya.
Bagaimana kalau post anda tidak ada komentar balasan lagi dari saya atau yg lainnya ? Itupun vipaka anda sebagai akibat anda dalam bercetana menuliskan sesuatu membuat pihak lain tidak merepost ... itu saja yang saya ketahui ... :)
_/\_
Jadi anda katakan cetananya mencari, vipaka: tidak mendapatkan, namun bisa juga mendapatkan. Mungkin mau dilanjutkan vipakanya bisa mendapatkan dan tidak mendapatkan; namun bisa juga bukan mendapatkan dan bukan tidak mendapatkan? Dengan begitu anda bisa mewakili mereka dari penganut pandangan berbelit-belit.(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.
Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?
#2. cetananya : Anda ingin mecari ... vipakanya : anda mendapatkannya ... Lalu bagaimana kalau tidak mendapatkan ? itu juga vipaka anda karena anda bercetana mencari ... itu saja yang bisa saya tuliskan ...
Kalau anda menanyakan kamma-kamma apa yang menyebabkan anda mendapatkan/tidak mendapatkan, itulah yang saya asumsikan sebagai muter-muter pada thread sebelah ... Semoga memberikan kejelasan (cetana saya) ... Puas atau enggak respon anda itu vipaka saya ... itu aja koq ... gak ribet-ribet ... :)
Dear bro Kai ... :)
Kamma yang telah di rumuskan dengan sempurna itulah yang saya asumsikan bagian dari Buddha-Dhamma ...
Lalu dari sini dimana lagi ke tidak-nyambungan saya mengenai tulisan bro Gachapin ?
Kalau Hukum Kamma yang telah dirumuskan dengan sempurna oleh Sang Bhagava itu bukan termasuk Buddha-Dhamma, lalu mengapa ada pembahasan-pembahasan mengenai cara bekerjanya, waktu berbuahnya dsb dalam Buddha-Dhamma ?
(1) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) +B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan apa yang dicari>
(2) A (mencari) -> (kemudian terjadi) B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan walaupun dia belum melakukan pencarian>
(3) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) + B' (misal: akibat mencuri) + C' (akibat lain), dst. <mencari, namun tidak mendapatkan>
Dengan demikian misalnya seseorang punya dendam membara, tidak bisa makan dan tidur dengan tenang karena begitu murkanya dia pada orang, jika suatu saat ia punya kesempatan membalas, apakah memukul, menyakiti, menganiaya, atau membunuh yang menyebabkannya puas dan bisa makan-tidur dengan tenang, perasaan itulah vipakanya.
Quote(1) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) +B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan apa yang dicari>
(2) A (mencari) -> (kemudian terjadi) B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan walaupun dia belum melakukan pencarian>
(3) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) + B' (misal: akibat mencuri) + C' (akibat lain), dst. <mencari, namun tidak mendapatkan>
Analisa yang anda tulis diatas membuktikan, saya bahas kamma dari hanya 1 moment tanpa ada disertai tambahan definisi baik buruk, dan anda mengembangkannya jadi panjang x lebar dan mengatakan saya berbelit-belit ... :))
Itu vipaka yang saya dapat dari cetana saya menuliskan hal diatas sebelumnya! Dah simpel bagi saya dan gak berbelit-belit (karena saya gak mau MUTER-MUTER mikirin kamma apa lagi yang saya lakukan sehingga saya bisa mendapat repost dari anda) ... 8)
Bukti lainnya bahwa anda menambahkan panjang x lebar!QuoteDengan demikian misalnya seseorang punya dendam membara, tidak bisa makan dan tidur dengan tenang karena begitu murkanya dia pada orang, jika suatu saat ia punya kesempatan membalas, apakah memukul, menyakiti, menganiaya, atau membunuh yang menyebabkannya puas dan bisa makan-tidur dengan tenang, perasaan itulah vipakanya.
Dendam membara >>> tidak bisa makan dan tidur >>> 1 moment ini cukup membuktikan hukum kamma ... Diatas nyata anda merangkai kalimatnya jadi banyak moment
Dari diskusi ini sebenarnya apa yang anda cari bro ? Kemenangan berdebat dengan saya ?! :))
Kalau cuma itu, khusus buat anda saya bilang : SAYA KALAH dah ... :))
_/\_
Mengapa posting anda jadi demikian berantakan? itu pendapat anda
Tidak ingin mengakui kesalahan sendiri? Ini relatif, dualisme dan tidak akan punya nilai mutlak
Baiklah, saya yang mengaku salah saja.
Saya minta maaf. Semoga berkenan. :)
_/\_
Mengapa posting anda jadi demikian berantakan? itu pendapat anda
Tidak ingin mengakui kesalahan sendiri? Ini relatif, dualisme dan tidak akan punya nilai mutlakBaiklah, saya yang mengaku salah saja.
Saya minta maaf. Semoga berkenan. :)
_/\_
Mengapa anda minta maaf bro ? :)
Tolong dipikirkan dahulu motivasinya (tapi jangan ribet-ribet yah bro) ... ;D
_/\_
_/\_
dalam diskusi tdk mencari siapa yg benar siapa yg salah :)) .. yg dicari adalah penjelasan dan jalan keluar agar bisa saling memahami satu sama lain... semoga kita saling paham memahami :))
treadnya belum habis jg hahahaha
_/\_
Oleh karena itu, saya rasa diskusi tidak bisa berjalan lebih jauh dan sekali lagi saya hentikan (karena cetana saya menghentikan diskusi pada posting sebelumnya ternyata vipakanya bukan terhentinya diskusi seperti yang anda jabarkan).
Kita tidak mengatakan mana benar dan salah di sini, cukup terima kita berbeda saja, setuju?
Saya minta maaf karena melakukan posting yang tidak berkenan buat anda.
Cukup?
QuoteOleh karena itu, saya rasa diskusi tidak bisa berjalan lebih jauh dan sekali lagi saya hentikan (karena cetana saya menghentikan diskusi pada posting sebelumnya ternyata vipakanya bukan terhentinya diskusi seperti yang anda jabarkan).
Itu karena cetana anda disertai pamrih (bayangan/asumsi/dugaan) yang bersifat sepihak bro ...
Cetana A vipaka harus A ... demikian jalan pemikiran anda (ini sifat khas dari si Aku) ... :)
Seperti yang saya tulis di thread sebelah, asumsi saya tentang hukum kamma hanya sebagai hukum sebab (cetana) - akibat (vipaka) ... tanpa definisi lain ...QuoteKita tidak mengatakan mana benar dan salah di sini, cukup terima kita berbeda saja, setuju?
Setuju ...QuoteSaya minta maaf karena melakukan posting yang tidak berkenan buat anda.
Cukup?
Cukup ...
_/\_
Tidak mungkin menyamakan persepsi 100%, yg penting saling mengerti. Diskusi yg menyenangkan. _/\_
Di thread ini adalah tempat saya berdiskusi tertutup, biasanya dengan satu pribadi. Tidak selalu ada kesimpulan dalam akhir diskusi. Misalnya dengan Bro xuvie, walaupun mungkin ada perbedaan pendapat, tapi telah dicapai saling pengertian, alias nyambung. (Diskusinya lewat PM, tidak diposting di forum.) Saya mengerti maksudnya, Bro xuvie juga mengerti maksud saya. Dengan Bro g.citra, saya sudah tahu sebelumnya bahwa persepsi saya dan persepsinya tentang hukum kamma sudah berbeda, sehingga diskusi tidak dapat berlanjut.
Kalau anda mau mulai diskusi dengan saya, silahkan.
Nah, itu lagi perbedaan kita. Anda bahas cetana A dan vipaka B, merasa sudah bahas hukum kamma. Buat saya, hukum kamma yang dibahas adalah cetana A dan vipakanya.
Omong-omong, anda berkali-kali menghakimi saya, apakah tentang pamrih, bahkan menyinggung "aku/ego" tanpa anda sendiri berkaca. Anda tidak seperti g.citra yang saya kenal dan saya hormati sebelumnya. Seperti orang yang berbeda sama sekali.
Dear bro Kai ... :)
Anda kaget yah bro ... ?
Bukan berharap untuk dihormati kembali, saya minta maaf telah membuat anda kaget ...
Cuma saya tanya 1 hal saja ... Kalau gaya saya sudah berubah dan akibatnya saya tidak lagi mendapat respek dari anda, itu vipaka dari langsung yang terbukti bukan ? :)
Semuanya saya kembalikan pada anda ... :)
Sebut saja ini cara saya (jujur, ini kebetulan) untuk membuktikan hukum kamma untuk anda ... Semoga dimengerti yah bro Kai ... :)
_/\_
Saya hanya bertanya tanpa bermaksud berdiskusi lebih lanjut:
Apakah Anda mempercayai kebenaran hukum kamma disebabkan karena dapat dibuktikan dengan bukti sebagaimana yg anda jelaskan di atas dan post2 sebelumnya termasuk thread yg lain tentang kamma? Atau ada sebab lainnya?
Terima kasih sebelumnya
Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?
1. “Have you or your teachers seen the Buddha?”
“No, great king.”
“Then, Nàgasena, there is no Buddha!”
“Have you or your father seen the River Uhà in the Himalayas?”
“No venerable sir.”
“Then would it be right to say there is no river Uhà?”
“You are dexterous, Nàgasena, in reply.”
(Chapter 5: The Buddha)
Dear bro Kai ... :)
Anda kaget yah bro ... ?
Bukan berharap untuk dihormati kembali, saya minta maaf telah membuat anda kaget ...
Cuma saya tanya 1 hal saja ... Kalau gaya saya sudah berubah dan akibatnya saya tidak lagi mendapat respek dari anda, itu vipaka dari langsung yang terbukti bukan ? :)
Semuanya saya kembalikan pada anda ... :)
Sebut saja ini cara saya (jujur, ini kebetulan) untuk membuktikan hukum kamma untuk anda ... Semoga dimengerti yah bro Kai ... :)
Kepada Bro Kainyn:
Sama dengan di atas saya hanya bertanya dan tidak akan mendiskusikannya lebih lanjut:
Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?
Terima kasih sebelumnya
Kepada Bro Kainyn:
Sama dengan di atas saya hanya bertanya dan tidak akan mendiskusikannya lebih lanjut:
Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?
Terima kasih sebelumnya
Kawan saya suatu saat pernah ditanya tentang hukum kamma. Jawabannya adalah kira-kira seperti ini:
"Saya tidak tahu manakah yang paling benar dari semua agama. Namun bagi saya, walaupun semua adalah kebohongan, hukum kamma adalah kebohongan yang paling adil dan paling bisa diterima oleh logika. Itulah sebabnya saya memilih percaya hukum kamma."
Saya sependapat dengannya.
Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?
Sudah dijawab di Millinda PanhaQuote1. “Have you or your teachers seen the Buddha?”
“No, great king.”
“Then, Nàgasena, there is no Buddha!”
“Have you or your father seen the River Uhà in the Himalayas?”
“No venerable sir.”
“Then would it be right to say there is no river Uhà?”
“You are dexterous, Nàgasena, in reply.”
(Chapter 5: The Buddha)
Kalau sungai bisa dilihat di peta, hukum kamma bisa dibaca di tipitaka. Mengapa kita lebih percaya dengan pembuat peta dibanding tipitaka? Mungkin karena sadar atau tidak sadar, akan lebih aman (need of survival) untuk diri kita kalau tidak ada akibat dari kamma, karena zaman sekarang lebih mudah untuk berbuat tidak baik dibanding berbuat baik.
Pendapat yang menarik.
Anda tahu perbedaan ajaran Buddha dan pandangan lain? Walaupun pandangan Buddha memercayai hukum kamma, namun pembuktian Buddha-dhamma tidak berdasarkan pada pembuktian hukum kamma. Contoh yang paling sederhana misalnya mencuri. Menurut hukum kamma, orang mencuri akan berakibat kekurangan dalam hidupnya. Namun dalam Buddha-dhamma, pembahasan mencuri adalah mengenai akarnya yang tidak lain adalah Lobha-Dosa-Moha, di mana biasanya yang dominan adalah Lobha.
"It's just as if a man were wounded with an arrow thickly smeared with poison. His friends & companions, kinsmen & relatives would provide him with a surgeon, and the man would say, 'I won't have this arrow removed until I know whether the man who wounded me was a noble warrior, a priest, a merchant, or a worker.' ...
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.063.than.html
Pembuktian hukum kamma mencuri tersebut amat susah dilakukan, karena mungkin berbuahnya di lain waktu, lain tempat, lain kehidupan.
Namun kenyataan bahwa keserakahan, tidak bisa menerima kenyataan apa adanya, menimbulkan keinginan, ketidakpuasan. Ketidakpuasan inilah penderitaan. Di mana pun, kapan pun, keserakahan menimbulkan ketidakpuasan adalah nyata. Inilah dukkha, yang dibuktikan di sini dan sekarang, sesuai dengan sifatnya, ehipassiko.
Only a Buddha has full knowledge of the true nature of kamma and vipaka and this knowledge is not shared by his disciples (Visuddhimagga XIX, 17).
Dalam dunia nyata kita mengset goal ....Kalau menurut saya, tujuan seseorang dengan orang lain tidak bisa disamakan. Ada yang puas dengan gaji Rp.1jt per bulan, misalnya, tetapi koruptor sendiri tidak akan puas walaupun sudah punya kekayaan bermilyar-milyar.
membeli rumah, mobil, nikah, dst, dst...
dan juga memiliki tabungan (rekening bank yg dpt dihitung duitnya)...
sebagai seorang Buddhist,
Goal seperti apa yg tepat/baik utk di set,
dan bagaimana mengolah tabungan tsb ?
Dapatkah di kelolah/set per minggu, per bulan dst ?
thanks sebelumnya..
Om mau tanya,
apakah vinaya bersifat kaku(lawan kata fleksibel)
maksudnya,apakah dalam keadaan tertentu vinaya boleh di langgar?
Bagaimana dgn koan Zen,soal biksu yg mengendong wanita menyebrangi sungai?
Disatu sisi bisku tersebut telah melanggar vinaya,disatu sisi telah melakukan kusala kamma..
Bagaimana pandangan om ;D
Nice answer Bro Kain :jempol:Ya, mengenai peraturan, Buddha tidak mengeluarkan aturan-aturan aneh, tidak "menjajah budaya", melainkan hanya mengajarkan bersikap wajar dan menghindari ekstrem.
Tindakan seorang bhikkhu seharusnya memandang dari berbagai sisi dan mengambil jalan keluar terbaik. Sang Buddha sendiri telah mengajarkan jalan tengah utk menjembatani antar berbagai hal yg tampak berseberangan, kebenaran yg diajarkan beliau dengan kebenaran konvensional spt norma sosial dan etika yg ada di masyarakat.
Thank atas pendapatnya om _/\_Sama-sama. _/\_
[at] Kainyn, kayaknya parajika yang membunuh orang deh. kalau masih anjing belum parajika.Saya memang tidak tahu detail objek dari Parajika dan juga tidak bermaksud mengatakan membunuh anjing itu merupakan pelanggaran parajika. Itu hanya sekadar contoh saja bahwa kadang kita masih melekat pada satu hal, lalu dengan alasan macam-macam, digunakan untuk melanggar vinaya.
Thank atas pendapatnya om _/\_
bagaimana tanggapan bro Kainyn_KuthoTanggapan saya, wajar-wajar saja. Setiap pemilik perusahaan boleh mengatur bagaimana perusahaannya berjalan, selama tidak melanggar hukum. Sama saja dengan sekolah agama tertentu yang mewajibkan siswa-siswinya beribadah menurut agamanya. Bagi karyawan, sudah menjadi konsekwensi dia memilih perusahaan tersebut.
1. tentang perusahaan yg mengharuskan karyawannya
menjalankan aktivitas agama bersama2 pada pagi hari ?
2. hanya agama tertentu yg bekerja di perusahaan itu ?Kira-kira sama dengan yang pertama. Tetapi menurut saya, perusahaan tersebut akan lebih susah maju karena membatasi potensi SDM hanya sebatas orang-orang agama tertentu, sementara kita tahu orang berpotensi tidak terbatas pada satu agama.
3. Kenapa kadang kala pikiran kita.... wuuuuhh wuuenak yg menggendongKarena memang apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan sifatnya relatif. Sama seperti kalau anda makan makanan favorit anda 1 piring. Coba makan makanan yang paling nikmat itu pagi-siang-malam selama 3 bulan penuh. Nanti nilai-nilai favorit dan tidak favorit akan bergeser, padahal rasa makanan itu tetap sama, tidak berubah.
seorang gadis cantik menyeberangin sungai............
tetapi pikiran "senang" tersebut pun cepat hilang... kalau itu merupakan
pekerjaan/kewajiban utk menggendong 1000 gadis menyeberangin sungai...
selama beberapa tahun gitu ???
gw tanya lagi deh.... (mungkin udah pernah ditanyakan)Saya tidak tahu detail mengenai ketiga hal tersebut, jadi hanya akan jawab secara umum saja.
1. bagaimana pandangan Buddhist tentang mencari nafkah dari
stock trading (permainan saham, option maupun FOREX)...
2. apakah ketiga-tiganya sama atau beda?Karena saya hampir 'buta ekonomi', saya tidak bisa jawab. Secara umum, menurut saya sama saja.
3. adakah defenisi utk JUDI dari suatu kegiatan ?
mencari nafkah :
disini artinya biaya kehidupan diambil dari keuntung disini.
1. bagaimana pandangan Buddhist tentang mencari nafkah dari
stock trading (permainan saham, option maupun FOREX)...
2. apakah ketiga-tiganya sama atau beda?imo, sih semua baik berdagang barang, tapi kalau batin gelisah mikir rugi, mikir untung tidak menambah ketenangan...malah selalu terbawa pikiran...ini sama saja.
3. adakah defenisi utk JUDI dari suatu kegiatan ?sebuah judi yang di maksud sang Buddha ada dalam sigalovada sutta..
mencari nafkah :
disini artinya biaya kehidupan diambil dari keuntung disini.
trims sebelumnya
_/\_ 8)
biasanya kalau orang sudah/akan cerai... sering menyebutkan
TIDAK ADA KECOCOKAN LAGI...
sedangkan sewaktu pacaran.... kata PENUH PENGERTIAN, dan COCOK...
pertanyaan :
apa sih itu arti sebenarnya dari COCOK, atau TIDAK COCOK dlm sebuah perkawinan?
apakah itu sesutu yg sangat bisa berubah-ubah? dan apakah itu menjadiTentu saja hal tersebut sangat rentan dan berubah. Karena itu, pasangan yang berpikir keadaan akan sama selamanya telah keliru. Menurut saya, penceraian itu juga bukan benar bukan salah. Ada penceraian yang sebetulnya tidak perlu, ada juga yang perlu, tergantung kasusnya. Demikian pula pertimbangannya.
pertimbangan yg BENAR utk menceraikan pasangannya?
trims sebelumnya
Om,mau tanya pendapat om lgMenurut saya, "arti hidup" seseorang itu dibuat oleh diri sendiri. Bagi orang yang berdedikasi untuk "menolong orang lain", maka itulah arti hidup bagi mereka. Bagi kaum Hedonist, maka "kesenangan indriah" adalah tujuan hidupnya. Jadi memang sebetulnya "arti hidup" itu memang "tidak ada" kalau kita tidak berpikir itu ada. Tetapi sebagian besar "arti hidup" seseorang berasal dari "sesuatu yang menurutnya pantas diperjuangkan".
banyak orang(tua maupun muda,kebanyakan orang tua ;D) yg mengatakan kepada sy bahwa 'sesunguhnya (jadi orang)hidup itu ga ada maknanya' bahasa tionghuanya 'co nang bo ishe' ;D
*orangnya yg bicara begitu bukan buddhis,
bagaimana menurut om dan rekan2 lainya ttg statement di atas?
_/\_
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).
adalah kalimat tidak lengkap.
seharusnya
keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...
soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).
adalah kalimat tidak lengkap.
seharusnya
keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...
soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).
adalah kalimat tidak lengkap.
seharusnya
keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...
soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
Secara umum memang bisa saja dikatakan "keinginan duniawi" atau keinginan yang berhubungan dengan nafsu inderawi. Kalau untuk yang lengkap, mau tidak mau harus kembali kepada Paticca Samuppada, tidak bisa dirangkum langsung begitu karena akan menimbulkan kerancuan.
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
adalah kalimat tidak lengkap.
seharusnya
keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...
soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
adalah kalimat tidak lengkap.
seharusnya
keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...
soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."
bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?
Mohon pencerahannya
Selama masih INGIN, berati tidak puas
Kalo tidak puas, berati penderitaan
Kalo tidak ada ingin, berati puas
Kalo puas, berati tidak ada penderitaan
Tepat pada saat seseorang ingin, tepat pada titik itu pula orang tersebut tidak puas dengan keadaannya yg sekarang.
Termasuk keinginan luhur sekalipun.
Namun keinginan luhur itu tetap diperlukan untuk mengawali jalan menuju pada tanpa keinginan.
Dari tampilan luar memang terlihat paradoksal.
Namun dari segi praktek memang begitulah alaminya dan apabila benar2 diperhatikan justru sangat bersifat logis.
Sebagai contoh adalah meditasi ketenangan.
Awalnya mau tidak mau harus ada keinginan untuk berlatih meditasi.
Kalau tidak ada keinginan bagaimana seseorang bisa berlatih?
Namun di dalam prosesnya, apabila masi ada keinginan untuk tenang,
Maka pikiran tidak dapat tenang.
Setelah keinginan untuk tenang tidak ada.
Maka pikiran menjadi tenang.
lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."
bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?
Mohon pencerahannya
akan = maksudnya perjalanan itu tidak mudah... dan akan menderita...Bro johan, kita di sini sebetulnya saling mengajar dan belajar, bukan belajar pada orang/pihak tertentu. Moderator tugasnya adalah memoderasi diskusi agar berjalan sehat, tetapi sama sekali bukan berarti lebih benar dari member biasa. :)
prosesnya tentu "menderita"... tapi hasilnya...
pertanyaan begini ini lebih pas bro Kainyn_Kutho yg menjawab saja....
gw masih harus banyak belajar sama MOD2 disini....
akan = maksudnya perjalanan itu tidak mudah... dan akan menderita...Bro johan, kita di sini sebetulnya saling mengajar dan belajar, bukan belajar pada orang/pihak tertentu. Moderator tugasnya adalah memoderasi diskusi agar berjalan sehat, tetapi sama sekali bukan berarti lebih benar dari member biasa. :)
prosesnya tentu "menderita"... tapi hasilnya...
pertanyaan begini ini lebih pas bro Kainyn_Kutho yg menjawab saja....
gw masih harus banyak belajar sama MOD2 disini....
dlm ajaran Buddhist tidak dianjurkan mengkonsumsi hal2 yg menurunkan kewaspadaan...Kalau saya pribadi lebih menekankan pada tujuan/niat dari konsumsi zat tersebut. Yang dihindari adalah sikap yang mencari "mabuk-mabukan"-nya, bukan mempermasalahkan zat-nya. Ada makanan dan minuman yang memang dibuat dengan tujuan memabukkan, maka memiliki kadar alkohol atau zat lain yang tinggi sehingga konsumsi dalam jumlah normal saja cukup untuk membuat mabuk. Makanan/minuman seperti ini sebaiknya dihindari, tidak dimakan walaupun dalam jumlah sedikit atau tidak memabukkan. Kecuali terpaksa misalnya dalam kasus kelaparan setengah mati dan hanya itu yang tersedia.
nah dalam hal "sedikit" alkohol dlm :
1. masakan
2. es cream
3. chocolate, dll..........
4. tape umbi, tape ketan hitam
Apakah juga dihindarin ? Apakah sedikit percikan alkohol menjadi permasalahan ?
bagaimana juga dgn vegetarian dimasak dari bekas kwali yg baru selesai goreng sio bak tapi tidak dicuci ?Saya tidak begitu tahu masalah vegetarian, jadi tidak tahu aturan2nya. Soal "hal-hal kecil" tersebut, tentu saja tergantung "ajaran" dan orang yang menyikapi "ajaran" tersebut. Kadang hal-hal kecil bagi orang tertentu bisa jadi hal besar, dan di lain pihak hal-hal besar bagi orang tertentu bisa dianggap tidak ada.
Apakah penerapan ajaran mempermasalahkan hal2 "kecil" ?
lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."
bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?
Mohon pencerahannya
Terus terang saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan Ajahn Chah karena saya juga tidak pernah tahu tentangnya. Tetapi saya menafsirkan perkataan tersebut adalah ketika kita mengejar "status" tersebut, maka tetap tidak akan bahagia.
Mungkin kalau "versi" saya seperti "mencari cinta sejati". Ketika seseorang mencari "cinta sejati" yang konon tidak berkondisi, maka ia akan menderita. Ia tidak akan menemukannya dan akan jatuh pada kemelekatan konsep "cinta sejati". Sebaliknya kalau orang berusaha menyadari dan membuang semua kebencian yang timbul, maka ia tidak memandang segala sesuatu dengan kebencian lagi. Itulah yang bisa disebut "cinta sejati".
Jadi menurut saya, maksud hal itu adalah ketika orang mengejar pencapaian (apakah Bodhisatta, Arahat, dll) maka ia tidak akan mencapainya. Ketika orang bisa "melupakan" konsep tersebut, menyadari penderitaan sebagaimana adanya, maka baru ia bisa bahagia.
Mungkin yg dimaksud oleh Ajahn Chah adalah salah satu jenis dari nafsu keinginan atau tanha, yaitu Bhavatanha,
nafsu keinginan untuk menjadi.....
Menjadi apapun merupakan penderitaan.
Tidak menjadi......, dikarenakan pada hakikatnya tidak ada substansi apa2.....apa lagi yg dapat menderitakan...??
Mungkin yg dimaksud oleh Ajahn Chah adalah salah satu jenis dari nafsu keinginan atau tanha, yaitu Bhavatanha,
nafsu keinginan untuk menjadi.....
Menjadi apapun merupakan penderitaan.
Tidak menjadi......, dikarenakan pada hakikatnya tidak ada substansi apa2.....apa lagi yg dapat menderitakan...??
Mungkin begitu. Selama orang mau "menjadi" sesuatu, maka otomatis melekat pada "atta", maka jadilah penderitaan.
Secara pastinya mungkin harus ditanyakan ke orang yang lebih kenal Ajahn Chah.
Om kainyt mau tahu pendapat om lg ;DNah, ini menarik. :) Kalau menurut saya, tidak mungkin seseorang "memaksakan kepercayaan" pada orang lain, karena itu sifatnya pribadi. Paling yang bisa dilakukan adalah memaksa orang agar "tampilan luarnya" seperti beragama tertentu.
kita tahu di agama tetangga sebagian umatnya akan rela mati demi mempertahankan/membela agama yg di anutnya..
Pertanyaanya utk om kainy dan rekan2 ;
bagaimana sikap umat buddha yg bijak Andai dipaksa(oleh penguasa) untuk meninggalkan keyakinannya..
thank
;D
*edit,baru ingat bhante Uttamo pernah ngomong "agama untuk hidup,bukan hidup untuk agama"
silahkan di tambahkan om ;D
nambahin ya, kalau gak salah Sang Buddha mengajarkan ada 4 jenis daerah tempat tinggal,
daerah yang bhikkhu hidupnya tidak sulit mendapat dana, dan menunjang latihan.
deerah yang bhikkhu hidupnya sulit mendapat dana, tapi cocok untuk latihan
daerah yang bhikkhu hidupnya tidak sulit mendapat dana, tapi tidak menunjang latihan
daerah yang bhikkhu hidupnya udah sulit dapat dana, dan tidak cocok untuk latihan pula
kalau yang pertama sebaiknya bhikkhu menetap di situ
kalau yang kedua, diusahakan menetap di situ sebisa mungkin
kalau yang ketiga, sebaiknya ditinggalkan
kalau yang keempat, langsung ditinggalkan
kalau kasus penguasa lalim, mungkin termasuk daerah yang tidak cocok untuk berlatih, dan paling nggak sebaiknya ditinggalkan
Om kainyt mau tahu pendapat om lg ;DNah, ini menarik. :) Kalau menurut saya, tidak mungkin seseorang "memaksakan kepercayaan" pada orang lain, karena itu sifatnya pribadi. Paling yang bisa dilakukan adalah memaksa orang agar "tampilan luarnya" seperti beragama tertentu.
kita tahu di agama tetangga sebagian umatnya akan rela mati demi mempertahankan/membela agama yg di anutnya..
Pertanyaanya utk om kainy dan rekan2 ;
bagaimana sikap umat buddha yg bijak Andai dipaksa(oleh penguasa) untuk meninggalkan keyakinannya..
thank
;D
*edit,baru ingat bhante Uttamo pernah ngomong "agama untuk hidup,bukan hidup untuk agama"
silahkan di tambahkan om ;D
Kalau muncul penguasa yang lalim demikian, maka tentu daerah kekuasaannya bukanlah tempat yang cocok untuk ditinggali. Kita lihat semua pemimpin agama apa pun yang berkuasa, tidak akan berjaya jika tidak memiliki toleransi. Karena itu, yang terbaik adalah mencari cara untuk pergi dari sana.
Saya tidak tahu bagaimana seharusnya Umat Buddha bersikap, bagaimana ketentuannya, tetapi kalau saya pribadi, jika memang "terperangkap" di sana, maka tidak masalah pindah "agama" selama yang dijalankan memang tidak bertentangan dengan moralitas. Kalau kita menyia-nyiakan hidup hanya karena tampilan agama, rasanya tidak penting.
IMHO
Selama pola pandang kita berpatokan pada ajaran "Dhamma", dalam situasi demikian memang terpaksa kita pindah keyakinan terlebih dahulu, ibarat kata.. raga boleh agama lain, tetapi pikiran dan pola pandang tetap mengacu pada "Buddha Dhamma", inilah yang mereka tidak bisa curi dari diri kita..
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.salah tempat bro :)
om kainyt nanya lg,
masih mengenai masalah diatas,
katakanlah ada desa/kampung yg coba bertahan dari gempuran2 penguasa dgn cara angkat senjata.
Apa itu termasuk perbuatan yg patut dihindari(dlm pandangan buddhis)?
*seperti yg terjadi di Thailand,konflik pattani,puluhan warga sipil menjaga vihara dgn senjata otomatis/senapan mesin.
bagamaina menurut om kainy? ;D
yang bener nanya k mana bro ???maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.salah tempat bro :)
om kainy_t netral mengenai masalah buddha bar ;D
pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
Numpang tanya lagi, kalau Buddha Bar beroperasi, memang apa pengaruhnya sih buat Umat dan Ajaran Buddha?
yang bener nanya k mana bro ???maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.salah tempat bro :)
om kainy_t netral mengenai masalah buddha bar ;D
Tanya langsung ke Buddha barnya dan kepala pendemo Buddha barnya , info dijamin valid
;Dpengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
Numpang tanya lagi, kalau Buddha Bar beroperasi, memang apa pengaruhnya sih buat Umat dan Ajaran Buddha?
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
yang bener nanya k mana bro ???Kurang tahu, mungkin kalau yang aktif di komunitas vihara lebih tahu.
pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.Kalo Bro kusalaputto merasa dizolimi, maka berarti tidak ada untungnya menjadi Umat Buddha. Mengapa saya bilang begitu?
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
nih se benernya teggang rasa umat buddha yg kelwatan n ga mau cari masalah besok2 coba d buka [(yesus bar & allah bar/ muhammad bar) mod klo kelewatan boleh d edit kok] menurut anda apakah ada yang tenggang rasa menerima ??? yang ada anarkis langsung :whistle: :whistle: :whistle:yang bener nanya k mana bro ???Kurang tahu, mungkin kalau yang aktif di komunitas vihara lebih tahu.Quotepengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.Kalo Bro kusalaputto merasa dizolimi, maka berarti tidak ada untungnya menjadi Umat Buddha. Mengapa saya bilang begitu?
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Seandainya kita seorang non-Buddhis, maka dengan adanya Buddha Bar, walaupun kita prihatin, namun tidak merasa dizolimi. Setelah menjadi Buddhis, dengan adanya Buddha Bar, lalu merasa terzolimi, bukankah itu berarti dengan menjadi Umat Buddha, malah menambah dukkha? Belajar Ajaran Buddha adalah agar kita mengikis dukkha dan mencapai kebahagiaan, bukan menambah kesusahan yang tadinya tidak ada. Jika kita bertambah kemelekatan dan penderitaan karena beragama Buddha, maka di situlah Agama Buddha menjadi tidak bermanfaat.
Lambang Agama Buddha ada pada moralitas dan kebijaksanaan umatnya, bukan pada patung atau simbol lainnya. Orang boleh-boleh saja membuka "Buddha Slaughterhouse" atau bahkan "Buddha Brothel," tetapi kalau tidak ada umat Buddha yang membunuh atau berzinah, apakah ada yang bisa dipersalahkan dari Ajaran Buddha?
postingan2 begini ni yg patut direnungkanyang bener nanya k mana bro ???Kurang tahu, mungkin kalau yang aktif di komunitas vihara lebih tahu.Quotepengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.Kalo Bro kusalaputto merasa dizolimi, maka berarti tidak ada untungnya menjadi Umat Buddha. Mengapa saya bilang begitu?
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Seandainya kita seorang non-Buddhis, maka dengan adanya Buddha Bar, walaupun kita prihatin, namun tidak merasa dizolimi. Setelah menjadi Buddhis, dengan adanya Buddha Bar, lalu merasa terzolimi, bukankah itu berarti dengan menjadi Umat Buddha, malah menambah dukkha? Belajar Ajaran Buddha adalah agar kita mengikis dukkha dan mencapai kebahagiaan, bukan menambah kesusahan yang tadinya tidak ada. Jika kita bertambah kemelekatan dan penderitaan karena beragama Buddha, maka di situlah Agama Buddha menjadi tidak bermanfaat.
Lambang Agama Buddha ada pada moralitas dan kebijaksanaan umatnya, bukan pada patung atau simbol lainnya. Orang boleh-boleh saja membuka "Buddha Slaughterhouse" atau bahkan "Buddha Brothel," tetapi kalau tidak ada umat Buddha yang membunuh atau berzinah, apakah ada yang bisa dipersalahkan dari Ajaran Buddha?
[at] kusalaputtokita bener2 agama paling sabar ye cap cay deh :x
simple aja bro jawabanya,karna kita buddhis.."ini buddhism bung!"
ajaran yg beda dan paling unik.. ;D
kita bener2 agama paling sabar ye cap cay deh :x
nih se benernya teggang rasa umat buddha yg kelwatan n ga mau cari masalah besok2 coba d buka [(yesus bar & allah bar/ muhammad bar) mod klo kelewatan boleh d edit kok] menurut anda apakah ada yang tenggang rasa menerima ??? yang ada anarkis langsung :whistle: :whistle: :whistle:
[at] kainynPertama-tama, saya pun sudah jelas masih larut dalam LDM, jadi saya bukan berkata demikian karena saya lebih baik dari anda atau siapa pun, tetapi karena berdasarkan perbedaan pola pikir. Mengenai Buddha Bar, jika saya pakai pola pikir ajaran lain, mungkin saya akan mengusahakan agar "penodaan" itu dihentikan. Namun karena saya cocok dengan Ajaran Buddha, maka saya tidak melihat hal tersebut sebagai "penodaan". Hanya sebatas gedung, merk, dan permainan pikiran saja.
ini bukan buddhism versi g tapi pendapat pribadi dr g yg msh memiliki LDM :whistle:. ajran sang buddha memang luar biasa mengajarkan kita dalam hal toleransi n tenggang rasa ^:)^ namun sebagai mahluk yang masih memiliki LDM g msh berat n tetep kesel :ngomel: ketika ada sekelompok orang yang menurut g dengan kekayaannya $-) membuat sebuah bar dengan unsur agama yg g anut ternyata agama yg g anut pun ter masuk minoritas dalam negara ini :-SS dan ketika bar ini berjalan hanya sebagian dari minoritas ini yang menolak :-w :-w :-w n tentu saja tidak di anggap se akan2 angin lalu |-) . seharusnya semua kalangan dari buddhis menolaknya :>- namun pada kenyataannya malah ada orang yang notabene adalah pemuka dalam agama buddha indonesia ini ikut meresmikannya :o :o :o , maka makin kacau lah bahkan sebagian memilih untuk diam n tiidak mau tahu n menggangap ini tidak penting :'(. anda boleh mengatakan bahwa saya fanatik n melekat pada sosok buddha itu mungkin lahir dari lingkungan g yg semuanya kr****n n berusaha mengkr****n kan g jd g pun minorits dalam keluarga jadi kalau ada yang mengganggu agama g selama g bisa g akan mencoba membela semampu g n sesempat g ;D ;D ini hanya pendapat pribadi lo ga bermaksud offense kepada siapa pun termasuk bro kainyn >:)< >:)< >:)<
Pertama-tama, saya pun sudah jelas masih larut dalam LDM, jadi saya bukan berkata demikian karena saya lebih baik dari anda atau siapa pun, tetapi karena berdasarkan perbedaan pola pikir. Mengenai Buddha Bar, jika saya pakai pola pikir ajaran lain, mungkin saya akan mengusahakan agar "penodaan" itu dihentikan. Namun karena saya cocok dengan Ajaran Buddha, maka saya tidak melihat hal tersebut sebagai "penodaan". Hanya sebatas gedung, merk, dan permainan pikiran saja.
Jika anda lahir dan hidup di kalangan Kr1sten namun mengenal Agama Buddha, justru itu adalah kesempatan besar untuk promosi Ajaran Buddha. Tunjukkan bahwa Umat Buddha bukan umat yang melekat pada simbol. Seperti kita tahu banyak dari Umat Nasrani yang salah kaprah mengatakan Buddhis menyembah berhala. Dengan kita menunjukkan sikap kita yang tidak melekat pada patung/simbol dll, maka dengan sendirinya kita sudah membuktikan mereka salah.
Sudut pandang anda memang 'lain' dari kebanyakan umat pada umumnya bro ...:) Sudah lama ga lihat Bro Citra.
Toh tetap pada kenyataannya masih banyak orang yang memerlukan 'pembelajaran' yang bermulai dari sebuah 'sosok' yang bersifat 'kebendaan' bukan ? ... dan itu pilihan yang sesuai dengan standard mereka yang jelas berbeda dengan anda ... :)
Promosi adalah sebuah 'pertahanan' untuk merawat apa yang telah ada (dibabarkan) ... Tentunya banyak cara dalam mempraktekannya ... Salah satunya termasuk dari wujud protes tersebut ... Toh alasan protesnya juga kan ditujukan supaya kelestarian ajaran tetap terjaga (yang pada kenyataannya banyak umat yang masih perlu 'sosok/figur' tersebut) ... :)Saya pernah katakan, saya setuju kita membuat semacam surat keberatan yang sesuai hukum, atau menyebarkan di media massa.
Tentunya andapun setuju kalau pengikisan noda batin harus ditempuh oleh cara dengan tidak 'mengikuti' apalagi 'larut' kedalam pergerakan noda tersebut bukan ?Ya, saya setuju.
^Saya ga maksa lho... :) Bro kusalaputto mau "bom bunuh diri" di Buddha Bar juga saya tidak bisa dan tidak berhak melarang. Di sini saya hanya mengemukakan pendapat pribadi saja, dan tentu saja tidak mewakili kebenaran.
hoooreee ada yg belain :P ;D ;D ;D
Jika anda lahir dan hidup di kalangan Kr1sten namun mengenal Agama Buddha, justru itu adalah kesempatan besar untuk promosi Ajaran Buddha. Tunjukkan bahwa Umat Buddha bukan umat yang melekat pada simbol. Seperti kita tahu banyak dari Umat Nasrani yang salah kaprah mengatakan Buddhis menyembah berhala. Dengan kita menunjukkan sikap kita yang tidak melekat pada patung/simbol dll, maka dengan sendirinya kita sudah membuktikan mereka salah.marketing buddhis gitu lho.. :)
ogah kale g jihad mending demo secara damai aja dah. kan klo jihad g da ngelanggar sila 1 uey klo demo g kan ga melaggar sila maupun dhamma. (pdhl waktu demo kemaren ga ikut :-[ :-[ :-[ jam kerja seh ;D)^Saya ga maksa lho... :) Bro kusalaputto mau "bom bunuh diri" di Buddha Bar juga saya tidak bisa dan tidak berhak melarang. Di sini saya hanya mengemukakan pendapat pribadi saja, dan tentu saja tidak mewakili kebenaran.
hoooreee ada yg belain :P ;D ;D ;D
selain rokok, minuman keras juga membayar cukai. Dan pemerintah mengizinkan penjualan minuman keras maupun rokok (tidak melanggar hukum).Sepertinya memang kebanyakan agama tidak menganjurkan bisnis yang berhubungan dengan minuman keras tersebut.
Apakah kebanyakan agama tidak menganjurkan berbisnis di dua hal tsb? dan Bagaimana juga dgn Buddhist? Bagaimana kalau usaha menjual arak utk MASAK? arak utk masakan ibu yg melahirkan? arak utk pengobatan, penyembuhan (terkilir, dll) ? Karma buruk apakah yg diterima seseorang yg menjual ARAK ?
trims sebelumnya!
kalau cermah biksu/bante dalam rekaman vcd/dvd ataupun yg di youtube...Mengenai hal ini, saya kurang tahu.
itu sebaiknya termasuk dalam kategori apa ya ?
utk kalangan sendiri, copy dgn izin, hak cipta, bebas didistribusikan, dst....
trus kalau kita senang sama satu ceramah, bolehkah audio tsb kita ambil...Menurut saya, kalau kita mengutip atau bahkan menggunakan perkataan orang lain, dan diedit/ubah untuk satu keperluan, ada baiknya meminta izin terlebih dahulu, baik dijual atau pun tidak. Dengan demikian, minimal si penceramah tahu ceramahnya dimanfaatkan untuk apa saja.
dan dijalankan dgn animasi kita? dan bila itu bukan utk dijual....sebaiknya pakai izin
dari pencipta tsb atau tidak ?..................
(mengambil dubing suara ceramah Buddhist apakah sebaiknya minta izin ?
maaf pertanyaan agak kacau juga...... (mungkin gara2 bro Jhonz...)...
trims sebeleumnyyaa.....
Om kainy mau tanya lg..
Om Pasti kenal Albert Einstein dunk?
IMO.Kenapa sy merasa beberapa umat buddha sepertinya "ingin" membuddhis-kan Einstein,
contohnya perpustakaan di vihara banyak berjejer buku2,beberapa buku mengangkat topik tentang teori Einstein yg selaras dgn teori buddhism,bahkan ada cover buku yg mengdekripsikan einstein mengunakan jubah putih lengkap dgn simbol dan bendera buddhis
bagaimana tanggapan om kainyt?
ask bagusan jadi bikkhu atau ikut retret meditasi untuk pengembangan batin ?>????
Om kainy mau tanya lg..
Om Pasti kenal Albert Einstein dunk?
IMO.Kenapa sy merasa beberapa umat buddha sepertinya "ingin" membuddhis-kan Einstein,
contohnya perpustakaan di vihara banyak berjejer buku2,beberapa buku mengangkat topik tentang teori Einstein yg selaras dgn teori buddhism,bahkan ada cover buku ygmengdekripsikan*ralat,menggambarkan einstein mengunakan jubah putih lengkap dgn simbol dan bendera buddhis
bagaimana tanggapan om kainyt?
Menurut saya, itulah kebodohan manusia.
Albert Einstein adalah salah satu orang terpandai abad 20 yang tentu saja "keagamaannya" menjadi rebutan semua umat. Ada beredar kisah Albert Einstein bilang teori Buddhisme yang paling selaras dengan perkembangan zaman, ada juga cerita Albert Einstein yang masih mahasiswa "mempermalukan" dosen atheis, tetapi saya tidak menemukan sumber resmi yang menyatakan hal tersebut. Jadi sepertinya hanya "iklan-iklan" murahan saja dengan "Albert Einstein" sebagai modelnya. Di kalangan orang-orang yang tidak peduli, "bintang iklan" adalah segalanya.
Sekarang kita coba pikirkan seandainya semua orang hebat beragama Buddha, apakah itu membuat perbedaan dalam Agama Buddha itu sendiri? Apakah kalau misalnya rata-rata IQ manusia Buddhis naik 10%, otomatis Agama Buddha jadi lebih mudah dicerna ataukah lebih terbukti kebenarannya? Tidak, bukan?!
Nah, jika Agama Buddhanya saja tidak berubah, bagaimana mungkin pengaruh Agama Buddha tersebut ke diri sendiri juga berubah?
Sikap itu sebetulnya hanya kemelekatan saja karena menganggap "agama milikku", "umat milikku", "aku bagian dari umat", dan sebagainya. Karena tidak menyadari kemelekatan tersebut, jika ada idola masuk agama yang sama, kita senang. Jika kemudian idola tersebut nikah dengan kepercayaan berbeda dan pindah agama, maka kita jadi tidak senang. Inilah dukkha.
ask bagusan jadi bikkhu atau ikut retret meditasi untuk pengembangan batin ?>????
Menjadi bhikkhu adalah pilihan hidup, begitu pula ikut retret meditasi. Keduanya hanyalah salah satu variable yang bisa mendukung perkembangan bathin, namun relatif tergantung pribadi yang menjalani.
Ada orang yang menjadi bhikkhu untuk status, pelarian, atau hal lain yang bukan bertujuan untuk mengembangkan bathin. Dengan begitu, menjadi bhikkhu belum tentu lebih baik daripada tidak menjadi bhikkhu.
Ada orang yang ikut retret meditasi, mengalami fenomena yang belum dirasakan sebelumnya, malah menjadi angkuh, merasa hebat, dan sebagainya yang juga bukan mengarah pada perkembangan bathin. Jadi ikut retret meditasi juga belum tentu bagus.
Yang paling baik adalah dalam menjalani hidup, keputusan apa pun yang kita pilih, jalan apa pun yang kita tempuh, berusaha selalu sadar atas apa yang kita lakukan, apakah baik atau buruk. Jika sudah baik, dibuat lebih baik atau setidaknya dipertahankan. Jika ada yang buruk, dikurangi atau setidaknya dijaga agar tidak bertambah buruk.
thank atas komentarnya om _/\_
terima kasih saran sesepuh namasteSama2, tetapi saya bukan sesepuh dan itu hanya pendapat pribadi, BELUM TENTU benar.
komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.
contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.
kalau menurut pandangan saya, tetap saja kualitas seorang Guru tetap dibutuhkan, teori dan praktek harus bisa selaras, apabila ada yang timpang salah satunya maka orang itu tidak pantas disebut guru yang baik, apakah dia disebut pakar praktek atau pakar teori baru boleh lah timpang salah satu.komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.
contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.
Ya, ini seringkali diabaikan orang-orang. Seperti saya pernah beri perumpamaan orang yang kecanduan rokok, tidak mampu berhenti walaupun tahu rokok itu merugikan, ketika memberi orang lain nasihat agar jangan merokok, maka orang cenderung mencibir, "Lu sendiri ngerokok!" Padahal pribadi yang menyampaikan ajaran dan ajaran itu sendiri adalah 2 hal yang berbeda.
Seperti tokoh yang disinggung Bro Forte, saya memang tidak setuju poligami, tetapi menurut saya keputusannya untuk berpoligami tidak mengurangi kualitas kebenaran yang ia sampaikan. Saya pun akan tetap senang mendengarkan dakwahnya, namun sayang memang tiba-tiba hilang dari media.
yg om bold itu benar2 nendang gw banget :'(komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.
contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.
Ya, ini seringkali diabaikan orang-orang. Seperti saya pernah beri perumpamaan orang yang kecanduan rokok, tidak mampu berhenti walaupun tahu rokok itu merugikan, ketika memberi orang lain nasihat agar jangan merokok, maka orang cenderung mencibir, "Lu sendiri ngerokok!" Padahal pribadi yang menyampaikan ajaran dan ajaran itu sendiri adalah 2 hal yang berbeda.
Seperti tokoh yang disinggung Bro Forte, saya memang tidak setuju poligami, tetapi menurut saya keputusannya untuk berpoligami tidak mengurangi kualitas kebenaran yang ia sampaikan. Saya pun akan tetap senang mendengarkan dakwahnya, namun sayang memang tiba-tiba hilang dari media.
kalau menurut pandangan saya, tetap saja kualitas seorang Guru tetap dibutuhkan, teori dan praktek harus bisa selaras, apabila ada yang timpang salah satunya maka orang itu tidak pantas disebut guru yang baik, apakah dia disebut pakar praktek atau pakar teori baru boleh lah timpang salah satu.
sama seperti umat buddhist yang bertisarana, dia berlindung pada Buddha dan melihat Buddha sebagai sosok sempurna yang mengajarkan dhamma, berlindung pada sangha sebagai orang yang menjalankan ajaran Buddha, dan berlindung pada dhamma sebagai pegangan ajaran Buddha untuk di praktekan, apabila ada yang cacad maka orang tidak akan mungkin mau berlindung dong pada 3 itu.
postingan terakhir kainyn hilang ya..
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
ya memang hal ini bisa terjadi, cuma yang saya ingin sampaikan adalah, alangkah baiknya bisa memilih guru yang sesuai dengan teori dan praktek.Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.
Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.
Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.
Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.
Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...
Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...
Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.
Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D
Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma. _/\_
Just share aja...
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.
Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.
Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...
Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...
Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.
Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D
Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma. _/\_
Just share aja...
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?
Iya ko, makanya dibutuhkan tool2 untuk melihat hal itu, JMB 8.
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?
Sebetulnya ada sedikit perbedaan. Dalam kasus saya, memang gurunya "tidak mampu" karena suatu keterbatasan. Dalam kasus Bro bond, guru itu sengaja kelihatan jelek untuk mengajar. Persamaannya adalah bahwa pembelajaran itu sebetulnya kembali lagi pada diri kita sendiri, apakah kita mampu belajar terlepas dari subjektifitas sosok guru tersebut? Guru itu tidak mampu atau pura-pura tidak mampu juga sesungguhnya kita tidak akan tahu. Yang kita tahu sebatas benar atau tidakkah, bermanfaat atau tidakkah ajaran guru itu kepada saya.
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.
Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.
Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...
Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...
Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.
Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D
Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma. _/\_
Just share aja...
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?
Om ryu,
Disini bukan masalah pembenaran terhadap semuanya...seringkali kita takut menghadapi suatu kejadian dijadikan pembenaran...kita hidup punya akal budi , dalam melihat kasus perkasus seharusnya kita nilai dari kebijaksannan kita. Semua masalah penangananya harus CASE BY CASE., lihat bagaimana Buddha melihat kasus case by case.
Kalau tokoh aslinya adalah Buddha. Maka tidak ada yang dapat yang menandinginya. semua pasti dibawah itu...Misal anda menghadapi kasus itu, Misal dalam diri anda merasa telah menaklukan kemarahan dan merasa silanya sempurna, nah sang guru tau Anda belum benar2 seperti itu lalu dites seperti itu, apakah anda langsung pergi dan bilang wah..nih guru ngak bener?, gimana? Pengajaran2 seperti itu bukanlah kita yang mengatur tetapi bisa muncul setiap saat...nah kembali anda mau menyikapi gimana? mau dilihat luarnya saja atau dalamnya yang sesungguhnya. Kembali kepada pilihan. Katakan anda bertemu guru yang selama ini anda agung2kan, lalu satu waktu ia berlaku seperti itu, apakah anda terus pergi? kemudian seterusnya? dan anda terus mengharapkan setiap orang sempurna..nyatanya tak ada yang sempurna...sesuai impian anda..karena hidup berdasarkan pikiran kita sendiri bukan melihat fakta apa adanya...kembali kepada pilihan Anda...tentu tindakan pengajaran seperti diatas harus diteliti dengan seksama...makanya saya bilang lihat masalah case by case...Dan saya yakin guru yang bijaksana tidak memperlakukan semua muridnya seperti itu, ia melihat sesuai karakternya dan penanganannya.Seperti kasus Ajahn Chah
Menjadi atau Tidak Menjadi karena Persepsi
Ada seorang gadis yang bercita-cita untuk menjadi seorang penari terkenal. Ia bermimpi untuk menjadi seorang yang tenar, yang akan menunjukkan kemampuannya didepan ribuan orang, di atas panggung yang megah. Setiap hari ia berlatih dengan keras, untuk menjadikan tariannya sempurna. Suatu saat ada sebuah perlombaan tari, gadis tersebut mengikutinya, ini merupakan sebuah kesempatan baginya untuk dapat meraih cita-citanya. Ribuan penari mengikuti perlombaan ini,namun gadis ini tidak gentar.
Ia mendapatkan nomor urut sekian ribu, setelah menunggu berjam-jam akhirnya waktu yang selama ini nantikan tiba, gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang disitu sudah menunggu sesosok pria yang tidak lain adalah sang juri, yang akan menilai kemampuannya dan menentukan langkahnya. Dengan percaya diri gadis tersebut memulai tariannya, sangat luar biasa sekali, gerakannya gemulai dan lincah. Namun baru beberapa menit ia menari, sang juri meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sang gadis tersebut terkejut, bagai disambar petir disiang bolong, “ Begitu burukkah tarianku sampai-sampai dia mencampakkanku begitu saja, tanpa meninggalkan kata sedikitpun,” kata sang gadis dalam hati. Begitu kesalnya sang gadis, mimpinya hancur, cita-citanya musnah. Sejak saat itu sang gadis tidak pernah mau untuk menari lagi.
Beberapa tahun berlalu, Tanpa sengaja sang gadis melihat sebuah pengumunan, di kota tersebut akan diadakan pertunjukan tari, sang gadis tersebut bermaksud membawa anaknya untuk menonton pertunjukan tersebut, di pertunjukan tersebut ia bertemu dengan sesosok yang sudah tidak asing bagi dirinya, juri dalam perlombaan tari yang pernah ia ikuti beberapa waktu yang lalu, pria tersebut sudah tua, tampak dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dan kepalanya yang botak. Gadis tersebut menghampiri pria itu.
“Anda masih ingat saya?” Tanya si gadis,
“ Saya orang yang anda tinggalkan begitu saja pada perlombaan tari beberapa tahun yang lalu.” Tambah si gadis itu.
“ Ooo, kemana saja Anda selama ini?” Kata pria itu.
“ Saya menjadi penjaga toko,” Jawab sang gadis singkat.
Sang gadis pun menanyakan sebuah pertanyaan besar, yang selama ini menggangunya,
“ Kenapa waktu itu meninggalkan saya begitu saja? Begitu burukkah penampilan saya? Mungkin jika waktu itu saya diberikan kesempatan, saat ini saya yang akan ada diatas panggung itu, bukan menjadi seorang penjaga toko.”
Pria itu menjawab “ Ooo Anda menari dengan sangat hebat sekali waktu itu, tapi waktu itu saya lelah sekali, setelah beribu-ribu penari yang saya nilai, mengenai saya meninggalkanmu, saya bermaksud untuk mengambil kartu nama saya, untuk saya berikan kepada Anda dan saya berharap Anda menghubungi saya keesokan harinya. Saya benar-benar lelah, namun setelah saya kembali, Anda sudah tidak ada. Untuk mengetahui sebuah rasa masakan yang lezat, Anda tidak harus memakan semua masakan tersebut.”
Andai saja gadis itu tetap konsisten dengan apa yang ia lakukan, ia tetap konsentrasi dengan cita-citanya, ia tetap menyelesaikan tariannya hingga usai, mungkin ia sudah menjadi penari yang tenar, bukan sebagai seorang penjaga toko.
Catatan : Kadang-kadang kita terlalu mengandalkan penilaian berdasarkan persepsi pribadi, yang belum tentu benar. "Sesuatu yang berkilauan, belum tentu emas"
Semoga Bermanfaat
_/\_
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.
apakah kasusnya bisa disamakan seperti ini ? :kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.
Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.
Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".
apakah kasusnya bisa disamakan seperti ini ? :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,6988.msg126992.html#msg126992
Kecanduan sih, apa pun bentuknya juga kurang bagus. :Dkalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.
Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".
Kalo kecanduan posting gimana tuh ? Jelek gak ? :))
rombongan 5 orang bhikkhu dan 3 meici dari Thailand.
Menjadi atau Tidak Menjadi karena Persepsi
Ada seorang gadis yang bercita-cita untuk menjadi seorang penari terkenal. Ia bermimpi untuk menjadi seorang yang tenar, yang akan menunjukkan kemampuannya didepan ribuan orang, di atas panggung yang megah. Setiap hari ia berlatih dengan keras, untuk menjadikan tariannya sempurna. Suatu saat ada sebuah perlombaan tari, gadis tersebut mengikutinya, ini merupakan sebuah kesempatan baginya untuk dapat meraih cita-citanya. Ribuan penari mengikuti perlombaan ini,namun gadis ini tidak gentar.
Ia mendapatkan nomor urut sekian ribu, setelah menunggu berjam-jam akhirnya waktu yang selama ini nantikan tiba, gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang disitu sudah menunggu sesosok pria yang tidak lain adalah sang juri, yang akan menilai kemampuannya dan menentukan langkahnya. Dengan percaya diri gadis tersebut memulai tariannya, sangat luar biasa sekali, gerakannya gemulai dan lincah. Namun baru beberapa menit ia menari, sang juri meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sang gadis tersebut terkejut, bagai disambar petir disiang bolong, “ Begitu burukkah tarianku sampai-sampai dia mencampakkanku begitu saja, tanpa meninggalkan kata sedikitpun,” kata sang gadis dalam hati. Begitu kesalnya sang gadis, mimpinya hancur, cita-citanya musnah. Sejak saat itu sang gadis tidak pernah mau untuk menari lagi.
Beberapa tahun berlalu, Tanpa sengaja sang gadis melihat sebuah pengumunan, di kota tersebut akan diadakan pertunjukan tari, sang gadis tersebut bermaksud membawa anaknya untuk menonton pertunjukan tersebut, di pertunjukan tersebut ia bertemu dengan sesosok yang sudah tidak asing bagi dirinya, juri dalam perlombaan tari yang pernah ia ikuti beberapa waktu yang lalu, pria tersebut sudah tua, tampak dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dan kepalanya yang botak. Gadis tersebut menghampiri pria itu.
“Anda masih ingat saya?” Tanya si gadis,
“ Saya orang yang anda tinggalkan begitu saja pada perlombaan tari beberapa tahun yang lalu.” Tambah si gadis itu.
“ Ooo, kemana saja Anda selama ini?” Kata pria itu.
“ Saya menjadi penjaga toko,” Jawab sang gadis singkat.
Sang gadis pun menanyakan sebuah pertanyaan besar, yang selama ini menggangunya,
“ Kenapa waktu itu meninggalkan saya begitu saja? Begitu burukkah penampilan saya? Mungkin jika waktu itu saya diberikan kesempatan, saat ini saya yang akan ada diatas panggung itu, bukan menjadi seorang penjaga toko.”
Pria itu menjawab “ Ooo Anda menari dengan sangat hebat sekali waktu itu, tapi waktu itu saya lelah sekali, setelah beribu-ribu penari yang saya nilai, mengenai saya meninggalkanmu, saya bermaksud untuk mengambil kartu nama saya, untuk saya berikan kepada Anda dan saya berharap Anda menghubungi saya keesokan harinya. Saya benar-benar lelah, namun setelah saya kembali, Anda sudah tidak ada. Untuk mengetahui sebuah rasa masakan yang lezat, Anda tidak harus memakan semua masakan tersebut.”
Andai saja gadis itu tetap konsisten dengan apa yang ia lakukan, ia tetap konsentrasi dengan cita-citanya, ia tetap menyelesaikan tariannya hingga usai, mungkin ia sudah menjadi penari yang tenar, bukan sebagai seorang penjaga toko.
Catatan : Kadang-kadang kita terlalu mengandalkan penilaian berdasarkan persepsi pribadi, yang belum tentu benar. "Sesuatu yang berkilauan, belum tentu emas"
Semoga Bermanfaat
_/\_
Paling tidak gadis penari itu bisa BERTANYA..............
1. juri mau kemana ?
2. Apakah saya nari terus ?
3. kapan juri kembali ?
4. bagaimana hasil nilai tarianku ?
5. Apakah juri kebelet kencing ?
Tidak ada salahnya bertanya sebelum membuat penilaian sendiri?
^ Nah, kalo begitu, buat yang milih pilihan ketiga, harap catat no. Rek. DC yah ... biar proyek-proyeknya bisa jalan lancar banget ... :))
Mengenai kisah 2 anak kembar, sebetulnya baik sikap pesimis dan optimis menghalangi perhitungan objektif. Tetapi entah mengapa, kebanyakan dari kisah-kisah yang beredar, biasanya "pesimis" yang jadi antagonis dan salah perhitungan, sedangkan si "optimis" yang jadi jagoan dan berhasil.
Sekarang saya beri cerita dari sudut pandang lain. :)
2 orang berangkat bersama naik mobil untuk perjalanan jauh yang melewati daerah terpencil. Si pesimis bilang, "isi bensin dulu, udah TINGGAL setengah." Si optimis, "ga usah, MASIH ada setengah." Akhirnya mobil mogok di daerah terpencil dan harus jalan ke SPBU terdekat yaitu 60 KM. Si pesimis ngoceh, "jauh sekali!" Si optimis bilang, "ah, cuma 60 KM doang..." Setelah jalan 3 jam, akhirnya di tengah jalan ada mobil lewat dan membantu mereka. Si pesimis bilang, "kenapa lama sekali baru lewat?!" Si optimis bilang, "untung baru lewat 3 jam!"
Pesimis meninggal terlahir di Tavatimsa: "yah... CUMA Tavatimsa..."
Optimis meninggal terlahir di alam Peta: "UNTUNG bukan Avici..."
Entahlah dengan rekan-rekan lain di sini, tapi saya pribadi tidak ingin dan tidak menganjurkan orang lain menjadi salah satu dari mereka.
-----
Dalam perumpamaan "ilusi dualisme," yang diambil Rp. 1 Milyar. Coba kalau Variablenya "Gaji Rp. 1.000.000,- per bulan."
Orang pertama, tinggal sendiri, gaya hidup "setengah petapa". Gaji 1 juta/bln = berlebihan.
Orang ke dua, tinggal bersama orang tua yang sakit, jadi tulang punggung keluarga membantu menyekolahkan adik-adiknya. Gaji 1 juta/bln = sangat kurang.
Apakah ini juga ilusi dualitas? Jika bukan, apa batasan "ilusi" tersebut?
Mengenai optimis dan pesimis, menurut saya pribadi hanya suatu kondisi " menghibur " diri sendiri, dalam arti 'semangat" selalu muncul karena pengkondisian karena berpikir positif, sama seperti konsep " untung ". Makanya saya katakan beda tipis, karena suatu peristiwa yang dapat dikatakan sebagai baik dan buruk selalu berdasarkan sudut pandang. Karena yang perlu diperhatikan adalah realita kehidupan.Dalam hidup, ada hal-hal yang bisa diperkirakan dan ada yang tidak bisa. Sebaiknya kita selalu berpegang pada yang bisa diperkirakan, namun tidak menutup diri dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tak terduga. Orang pesimis itu cenderung mengecilkan keuntungan yang ada dan otomatis membesar-besarkan kerugian yang sebetulnya belum tentu ada. Sebaliknya orang optimis cenderung mengecilkan kerugian yang ada dan membesar-besarkan keuntungan yang sebetulnya belum tentu ada.
Bagaimana pandangan Bro Kainyn mengenai batasan "ilusi" ini ? Karena secara duniawi, semuanya adalah relatif.Kalau pandangan saya, diukur dari kebutuhan yang nyata, dan kebutuhan yang sebetulnya tidak nyata bagi orang tersebut.
mohon jangan diskusi mengenai kepercayaan lain di diskusi umum.
kebijakannya adalah diskusi umum membahas mengenai apa yang dipercaya seorang pengikut ajaran Sang Buddha berdasarkan tiga mazhab besar.
[at] Kainyn
Saya setuju dengan pandangan anda, dan saya ingin mengatakan pandangan anda adalah sangat mendalam dalam hal untuk memahaminya, jika seseorang yang tidak pernah mengalami pasang surut kehidupan, maka menurut saya, tidak mudah untuk mencernanya. Dan mungkin mudah bagi yang telah memahami dhamma ( spekulasi) tidak berkata demikian.
Menurut saya pribadi berpikir positif ‘HANYA’ sebagai dasar untuk memicu niat atau kehendak secara berkesinambungan untuk mengikuti proses yang berlangsung dengan semangat, sehingga tidak putus asa. Karena kita tahu bahwa positif-negatif ( relative ) tidak muncul berbarengan dalam pola pikir. Sehingga berpikir positif menekan yang negative. Dan biasanya ini dilakukan oleh rata-rata setiap manusia ( yang tidak mengenal Dhamma ) dalam menghadapi masalah. Sehingga metode berpikir positif sebagai awal bahkan sangat awal bagi kita untuk belajar lebih jauh untuk mendalami proses kehidupan. Tentu cara pandang yang Buddhistik yang anda sajikan lebih mengena dan benar.
Ada satu hal yang sangat menarik mengenai Yin-Yang dan lima elemen kayu, api, tanah, logam dan air yang membahas keseimbangan dan selalu dalam bentuk dualisme atau ilusi.Yin Yang merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam dengan titik putih) membawa arti konotasi kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih dengan titik hitam) membawa arti konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan yang dikandung. Berarti suatu keseimbangan duniawi selalu terjadi karena adanya sisi positif dan sisi negative.
Dan dikatakan ( kutipan ) :
Yin mutlak bila sampai terjadi sama bahayanya dengan Yang mutlak. Contohnya, seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin ia tidak memiliki daya imbang dan ini akan sangat merugikannya .
Sebaliknya, Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan. Equilibrium = stagnant = tidak ada kegairahan = kematian .
contoh ; seperti yang anda katakan dithread lain. jika terjadi keseimbangan, maka tidak akan terjadi evolusi dari setiap makhluk ( jika saya tidak salah ingat )
Bagaimana pandangan Buddha Dhamma mengenai dualism Yin Yang ini ?
mohon jangan diskusi mengenai kepercayaan lain di diskusi umum.
kebijakannya adalah diskusi umum membahas mengenai apa yang dipercaya seorang pengikut ajaran Sang Buddha berdasarkan tiga mazhab besar.
mau tanya tadi meditasi
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah
mau tanya tadi meditasiklo menurut saya yang no 1 & 2 hanya permainan pikiran kita seakan2 seperti itu saya sendiri pernah mengalami seakan2 kaki lumpuh karena tidak merasa lagi tapi ga da yg lumpuh karena meditasi jadi hanya perasaan.
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah
mau tanya tadi meditasi
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah
Om,mau tanya pendapat om lg,
tadi liat kick Andy,topiknya 'korban peradilan sesat'.
Mengenai orang2 yg di paksa mengakui kejahatan yg tidak di lakukannya,dalam prosesnya hukumnya para korban di intimidasi baik fisik maupun psikis oleh oknum2 penyidik untuk (*di paksa)mengakui kejahatan yg tidak di lakukannya,
pertanyannya;
sebagai umat buddha yg bijak,apa yg harus di lakukan jika di kondisikan sebagai "korban" peradilan sesat?
A. Mengaku,karena disiska terus menerus
B. Tidak mengaku,walaupun taruhannya nyawa karena di pukuli terus.
*nb,para korban biasanya rakyat jelata,yg buta soal hukum
*liat contoh kasus Astrori di jombang.
Thank
;D serem bener cerita om,
ok,kalo yg di hadapi seperti kasus astrori Jombang?
Dgn ancaman hukumnya penjara belasan tahun(kasusnya beda ama witch hunting)
apakah lebih baik memilih hidup tapi di cap pembunuh,ato memilih tidak mengaku tapi nyawa terancam akibat di siksa.
Thank sebelumnya
btw,selamet tahun baru imlek om ;D
Om mau tanya lg dunk..Kalau mengenai etis atau tidak, saya pikir tidak relevan karena ini hubungannya dengan pribadi masing-masing. Mungkin saya lebih melihat dari sudut manfaatnya. Selama kita ada usaha untuk mengikis LDM yang didasari pandangan benar, maka selalu lebih baik. Apakah walaupun kita masih menikmati kesenangan indera, usah mengikis LDM bermanfaat? Ya, selalu bermanfaat.
Kita tahu perkembangan dunia dalam berbagai bidang sudah sangat maju(modern),dari bidang teknologi sampai budaya sudah mengalami evolusi yg dahsyat.
Alat2 yg diciptakan untuk memanjakan panca indra sudah tidak terhitung lagi jumlahnya,
Pertanyaannya; *apakah etis disatu sisi kita berusaha menlenyapkan LMD,di sisi lain kita terhanyut dgn gaya hidup pemuasan panca indra?
*Apakah bisa kita melenyapkan LMD,jika [di satu sisi]masih menikmati peralatan2 pemuas panca indra?
*segitu dulu om ;D
Thank,
bagaimana pandangan om2 yg lain?
Lalu apakah kita bisa melenyapkan LDM sementara masih menikmati kesenangan itu?menurut pendapat pribadi om apakah mungkin ada orang yg dapat melenyapkan LMD sementara orang tersebut masih menikmati kesenagan inderanya? ;D
Karena saya pun belum melenyapkan LDM, jadi no comment. :) Tapi coba kita pikir dari sisi lain. Ada kelompok yang disebut petapa penyiksa diri yang melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan panca indera. Apakah kemudian dengan cara itu LDM mereka berkurang?
menurut pendapat pribadi om apakah mungkin ada orang yg dapat melenyapkan LMD sementara orang tersebut masih menikmati kesenagan inderanya? ;DMenurut saya, ini rumit, tapi saya coba berikan point-point menurut pendapat saya.
Soal petapa penyiska diri,sy berpendapat; "para bhikku yg dihutan aja¤ ada yg ga bisa melnyapkan LMD,apalagi kita yg dikota(yg dari bangun tidur sudah dimanjakan indranya)"Nah, mengenai hal ini, saya pikir itu karena bawaan dari kamma lampau yang berbeda, maka kita kecocokan latihannya juga berbeda. Jika ada orang yang menjadi bhikkhu hutan karena "gengsi", lalu kehidupan kebhikkhuan itu hanya membuatnya menderita, susah meditasi karena takut dipagut ular atau bertemu hantu, apakah menjadi bhikkhu hutan begitu mendukung atau menghambat kemajuan? Sebaliknya kalau orang menjadi perumahtangga tetapi selalu melatih puas diri, biarpun di tengah fasilitas pemuasan indera tetap menahan diri, bukankah kemajuannya adalah mungkin?
Sy makin bingung om...
Om,mau tanya pendapat om lg ;DJalan tengah adalah yang menghindari kenikmatan dan penyiksaan indera. Walaupun ada beberapa praktek yang sama, misalnya makan benar-benar hanya sekali, atau tidur di tempat terbuka, saya pikir perbedaan yang paling mendasar antara dhutanga/praktek bhikkhu hutan dan petapaan menyiksa diri adalah pandangannya. Petapaan menyiksa diri adalah untuk menghabiskan kamma buruk masa lampau sehingga mencapai kesucian, sementara praktek bhikkhu hutan tidak bertujuan untuk menyiksa diri, apalagi menghabiskan kamma buruk, namun menjalankan disiplin yang lebih keras untuk mendukung kemajuan mereka dalam melepaskan kemelekatan.
Di buddhism selalu ditekankan panna dan mempraktikan JALAN TENGAH
Lalu,bagaimana dengan praktek "keras" bhikkhu dhutanga?
*mereka terkenal keras dalam berlatih,menghadapi rasa takut dgn berlatih di tempat2 berbahaya(seperti sarang2 harimau,ditepi jurang,di gua2 yg banyak setannya)
*mereka rela mati demi dhamma(*maksudnya,demi melatih diri mereka rela mengorbankan nyawa)
mereka tidak takut akan malaria,bahkan [kadang] ketika terserang malaria mereka lebih memilh memakai dhamma sebagi obatnya(perenungan),daripada obat konvensional..
Bagaimana menurut om dan teman2 lain??
Apakah di buddhism ada istilah "rela mati demi latihan dhamma"?Sering terdengar kutipan dari dhammapada: "kesehatan adalah berkah terbesar, kepuasan adalah kekayaan terbesar, teman terpercaya adalah yang terbaik di antar semua hubungan, Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi." Dalam Magandiya Sutta (Majjhima Nikaya 75), Buddha menjelaskan bagaimana ungkapan itu lambat laun disalahartikan sebagai kesehatan fisik. Kesehatan yang dimaksud adalah kesehatan bathin, yaitu tercapainya magga-phala yang menuju pada berakhirnya kelahiran kembali. Apalah artinya kesehatan tubuh yang fana dibanding dengan berakhirnya penderitaan? Setiap kelahiran selalu ada kebahagiaan, kesedihan, dan kematian; namun tidak di setiap kelahiran ada kesempatan menjalankan Buddha-dhamma.
Thank sebelumnya
Kalau saya tidak salah, 13 silaKalo boleh tahu itu vinaya tradisi mana om?
tambahan bagi bhikkhu hutan adalah
menyangkut: memakai jubah dari kain
bekas, tidak menyimpan jubah
cadangan, tidak menerima undangan
makan, tidak mendatangi lagi tempat
yang menyajikan makanan enak, hanya
makan sekali dan tidak menerima
tambahan, tinggal di tempat sepi,
tinggal di tempat terbuka, tidak
tinggal di bawah pohon, tinggal di
kuburan, tinggal di mana pun (dalam
perjalanan) selama layak ditinggali,
tidak berbaring.
thank atas pandangannya om :)Setahu saya itu dari Tradisi Theravada, tetapi bukan vinaya. Itu semacam peraturan tambahan yang boleh dijalankan, boleh juga tidak. Jika menjalankan, juga boleh sebagian, boleh keseluruhan. Mungkin juga tradisi yang berkembang sekarang juga ada perbedaan minor.QuoteKalau saya tidak salah, 13 sila tambahan bagi bhikkhu hutan adalah menyangkut: memakai jubah dari kain bekas, tidak menyimpan jubah cadangan, tidak menerima undangan makan, tidak mendatangi lagi tempat yang menyajikan makanan enak, hanya makan sekali dan tidak menerimaKalo boleh tahu itu vinaya tradisi mana om?
tambahan, tinggal di tempat sepi, tinggal di tempat terbuka, tidak tinggal di bawah pohon, tinggal di
kuburan, tinggal di mana pun (dalam perjalanan) selama layak ditinggali, tidak berbaring.
Sepengetahuan sy tradisi acariya man tidak demikian ketatnya..
Thank sebelumnya
Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?Kalau tidak salah, mereka memang harus berjalan jauh untuk pindapata. Jika telat sampai atau tidak dapat makanan, mereka tidak makan.
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw
Thank
tapi ada beberapa bikkhu lebih memilih mati ketimbang melanggar sila...Jika ia memiliki pandangan benar, maka ia kehilangan nyawa, namun merupakan pawaris dhamma.
Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?Bro Jhonz yang baik, seorang bhikkhu tidak dianjurkan memilih tempat meditasi yang terlalu jauh dari desa, karena bila terjadi sesuatu sulit meminta pertolongan.
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw
Thank
Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?Bro Jhonz yang baik, seorang bhikkhu tidak dianjurkan memilih tempat meditasi yang terlalu jauh dari desa, karena bila terjadi sesuatu sulit meminta pertolongan.
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw
Thank
Menurut Vinaya, bhikkhu dilarang bercocok tanam atau memetik tanaman.
Bhikkhu tidak diperbolehkan membawa bekal makanan (hanya boleh digunakan sebelum jam 12.00).
Gula dan madu boleh disimpan selama seminggu karena dianggap setengah obat.
Ada yg bilang praktek kehidupan selibat-bhikkhu dhutanga adalah praktek penyangkalan(cth:tidak memakan makanan enak,tidur di kuburan,hidup serba kekurangan) diri..Mengenai penilaian orang tentang itu, tentunya subjektif. Misalnya ada orang yang karena sakit pencernaan, ia punya banyak pantangan makanan. Ketika diajak makan, ia hanya makan bubur polos saja. Mungkin saja orang melihatnya sebagai penyangkalan diri. Ditraktir makan enak, pilih yang tidak enak. Hanya makan bubur polos. Mungkin sebagian lain melihat dia sebagai orang tolol yang tidak tahu makanan enak. Mungkin juga yang lain mengira dia petapa yang dikekang oleh silanya.
Bagaimana menurut om??
Thank sebelumnya
sekedar bahan renungan bagi kita semua agar bisa mengurangi keterikatan pada makanan enak:
Makanan se-enak apapun, yang terasa hanya tiga inci lidah saja.
Ada yg bilang praktek kehidupan selibat-bhikkhu dhutanga adalah praktek penyangkalan(cth:tidak memakan makanan enak,tidur di kuburan,hidup serba kekurangan) diri..
Bagaimana menurut om??
Thank sebelumnya
Om kainy,mau tahu pendapat om dan teman2 soal ini,
*nb,ini pertanyaan rekan forum sebelah
Tiba2 teringat sebuah cerita yg ku dengar, tapi lupa namanya...
So pakai karang2 aja ya....
Di jaman kerajaan Cina dulu ada seorang raja yg mempunyai 2 putera, yg pertama namanya Pangeran A & kedua namanya Pangeran B. Ratu sangat membenci anak pertamanya Pangeran A, karena waktu melahirkan Pangeran A, ratu sakit2an. Setiap hari Ratu hanya mengatakan bertapa rajin, pintar & hebatnya Pangeran B.
Setelah sang Raja meninggal dunia, Raja mengwariskan tahta ke putera pertamanya, Pangeran A. Karena Pangeran B bukanlah seorang yg bijaksana. Lalu sang Ratu meminta pangeran A memberikan sebuah kota yg sangat penting ke Pangeran B. Walau keberatan Pangeran A tetap menuruti permintaan Ibunya.
Pangeran B tidak puas dengan sebuah kota saja, dia memperkuat tentaranya dan merampas kota2 Pangeran A. Karena sangat berbakti kepada ibunya Pangeran A hanya bisa diam2 saja.....
Daerah Kekuasaan Pangeran B semakin lama semakin besar, tentaranya juga semakin banyak.Lalu Sang Ratu menulis sebuah surat kepada Pangeran B, dia menyuruh Pangeran B menyerang ibu kota, tempat tinggalnya Pangeran A, & dia akan membantu dari dalam. Sehingga Pangeran B bisa menjadi Raja.
Berita tersebut sampai ke telinga Pangeran A, Pangeran A cepat2 menyiapkan tentara untuk melawan serangan Pangeran B. Setelah pertempuran yg dasyat, tentara Pangeran A dapat memukul mundur tentara Pangeran B.
Pangeran A memanggil Ibunya, tapi Sang Ratu sama tidak merasa bersalah. Karena sangat marah, Pangeran A mengusir ibunya keluar dari istana dan bilang kita tidak akan bertemu sebelum sampai ke akhirat.
Setelah beberapa waktu, Pangeran A merasa sedih karena telah mengusir ibunya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa2, karena perkataan seoranga raja tak bisa di tarik.
& Para pejabat juga tidak setuju, karena kehadiran Sang Ratu sangat membahayakan negara.
Menurut teman2 berdosakah Pangeran A yg mengusir ibunya?
Saya rasa sih tidak, karena Ibunya sangat keterlaluan. Dia sudah menuruti semua permintaan ibunya, tetapi ibunya mesih tega mau mencelakan dia. Lagipun sebagai seorang Raja tentu dia harus mengutamakan kepentingan negara, Right??
Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.
Bro Kainyn, apa yang saya alami tidak se-sederhana itu. Misalnya contoh Pangeran A di atas. Anggap saja pikiran dan niat awalnya memang bukan ingn mencelakai ibunya. Tapi kompleksitas pikiran yang liar ini bisa bercampur dengan pikiran lain yang tidak mau tahta-nya direbut. Bahkan mungkin muncul juga pikiran yang menghalalkan tindakannya itu karena terpikir olehnya bahwa ibunya ini jahat, dan dia melakukan ini semua demi kebaikan. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mengusir ibunya.Memang pikiran itu kompleks, jadi yang bisa dinilai adalah pikiran pada satu saat saja. Dalam kasus ini, pada saat Pangeran A mengusir ibunya (yang jadi mata-mata dan membahayakan kerajaan). Kalau dilihat secara detail, pada saat itu memang ada kemarahan, tapi yang mendorongnya melakukan itu bukanlah rasa benci atau dendam, tapi mengutamakan kepentingan kerajaan dan rakyatnya. Ia menjadi seorang raja, tidak hanya bertanggung jawab pada orang tua, tetapi juga pada seluruh rakyatnya.
Saya juga kadang demikian. Sebelum dan setelah mengambil keputusan, saya sering bingung dan bertanya-tanya apakah saya melakukan kesalahan atau tidak. Seolah pikiran saya terlalu kompleks, yang membuat saya bingung apa pikiran dan niat saya yang sebenarnya.
Bagaimana menurut bro Kainyn?
well sebenarnya aku ada sebuah pertanyaan karena (entah dihalaman berapa ada menyinggung idola).Saya bukan penganut Tibetan, jadi tidak bisa menjawab dari sisi Buddhisme-Tantrayana. Secara pribadi, saya MERAGUKAN semua "Lama" itu karena melihat seperti bermuatan politik.
bagaimana dengan Panchen Lhamma made in china?
juga bagaimana dengan Dalai Lhamma made in tibet?( termasuk yang di amankan oleh china).
bukan kah mereka semu ini korban?
Ini semua bukan kah mahakarya buatan kebudayaan tibet yang hidup yang bahan dasarnya adalah manusia dan di buat untuk tujuan merekatkan tibet, juga untuk tempat bergantung /cling/ melekat pada Dalai lhamma? apakah semua ini sesuai dengan ajaran Buddhis?Saya ada baca tentang berita belum lama ini Dalai Lama ada meng-'embargo' aliran lain (Dorje shugden, kalau tidak salah) sampai para Lama dari aliran itu susah mendapatkan kebutuhan hidup. Seolah jadi 'kasta terbuang' di sana, sampai akhirnya ada aliran lain mengabaikan 'embargo' tersebut, dan kemudian diikuti juga oleh lainnya. (Perlu diperhatikan bahwa Dalai Lama juga bukan pemimpin dari semua Buddhisme Tibet, tetapi hanya diakui penuh oleh tradisi 'topi kuning'.) Hal ini banyak mengundang pertanyaan tentang definisi 'kebebasan' yang biasa diutamakan oleh sang Dalai Lama, terutama jika menyangkut 'kebebasan Tibet dari China'.
tentu nya aku dulu nya termasuk dalam deret orang yang mengagumi Dalai Lhamma tetapi setelah tahu bahwa semua itu memang di buat dan di bentuk untuk di kagumi terutama oleh masyarakat tibet? menjadi pertanyan apa yang sebenarnya yah yang harus di kagumi dari Dalai lhamma? pengetahuan para master master tibet yang di pompakan /dimasukan kedalam pikiran dan tubuhnya hingga menciptakan Mahakarya manusia seperti ini?
Namo buddhayaKalau menurut karma, sepertinya adalah karma buruk. Tapi intensitas dan akibat dari membunuh karena terpaksa, dengan membunuh karena kebencian atau kesenangan sinting, tentu berbeda.
Nanya soal euthanasia,
Contoh kasus;si B memasang perangkap tikus berupa 'lem-tikus',satu tikus menempel pada perangkap,*si B ingin menyiksa dulu tangkapannya(dgn cara membiarkannya & menjemurnya),
Dgn alasan kasihan dgn penderitaan si tikus,maka si A segera membunuh si tikus..
Bagaimana menurut om?
*apakah si A melakukan karma buruk?
Kalau menurut karma, sepertinya adalah karma buruk. Tapi intensitas dan akibat dari membunuh karena terpaksa, dengan membunuh karena kebencian atau kesenangan sinting, tentu berbeda.imo yah, karma baik, karena niatnya adalah karuna. ;D
Mercy killing ini juga sebetulnya rumit dan rawan terhadap kebencian halus (terhadap fenomena makhluk menderita). Kita tidak bisa menerima makhluk tersebut tersiksa dan kita tidak mampu lagi memberikan kebaikan, maka kita membunuhnya dengan asumsi: setelah mati, selesai penderitaannya. Memang itu yang kita lihat dari sudut pandang kita. Namun pada kenyataannya, kita tidak tahu juga apa yang akan terjadi.benci thd fenomena -> karma satu
Misalnya ada 2 orang tua dari keluarga berbeda dalam keadaan koma, ditopang oleh mesin penyokong hidup. Setelah beberapa lama, akhirnya para anak2 sepakat dilakukan euthanasia. Orang tua yang satu berpikir, "dasar kumpulan anak tidak berbakti. Benar-benar sia-sia saya membesarkan kalian. Saya akan menggentayangi kalian sampai mati!" Sedangkan orang tua yang satu lagi berpikir, "untung kalian cepat-cepat melakukannya, kalau kalian pasang mesin bodoh ini sampai kalian jatuh miskin, saya bisa merasa bersalah dan jadi hantu penasaran."imo karma si anak ya tergantung niat si anak. tidak perduli orang yg menerima perbuatannya kadang bisa merespon berbeda. (kayanya ditipitaka bahkan arahat "seolah" akan berterimakasih pada orang yg membunuhnya, tetapi orang yg membunuh tetap aja garuka kamma kan?)
Di sini bisa kita lihat bagi yang satu bermanfaat, bagi yang lain tidak.
imo yah, karma baik, karena niatnya adalah karuna. ;D
bagaimanapun kehendak yg menentukan, bukan aksi...
Pertama-tama timbul karuna, kasihan melihat penderitaan si makhluk. Seterusnya timbul niat ingin mengakhiri penderitaan tsb secepatnya. Disini mulai timbul dorongan dan beberapa pilihan. Pilihan yg susah tentu saja menolong membersihkan lem dari tubuh si tikus dan melepaskannya di hutan / ditempat yg jauh, pilihan lainnya membunuhnya.dalam kasus mr. johnz orang yg nangkap cuma kasih jalan kematian pada tikus tsb & emg hidup mati tikus tsb udah secara lumrah menjadi hak si penangkap. jadi kalau mo membebaskan tikus tsb, mr johnz harus ngotot (merebut hak hidup tikus td) dg orang di rumah yg udah susah payah menangkap.
dalam kasus mr. johnz orang yg nangkap cuma kasih jalan kematian pada tikus tsb & emg hidup mati tikus tsb udah secara lumrah menjadi hak si penangkap. jadi kalau mo membebaskan tikus tsb, mr johnz harus ngotot (merebut hak hidup tikus td) dg orang di rumah yg udah susah payah menangkap.
dalam kasus mr. johnz orang yg nangkap cuma kasih jalan kematian pada tikus tsb & emg hidup mati tikus tsb udah secara lumrah menjadi hak si penangkap. jadi kalau mo membebaskan tikus tsb, mr johnz harus ngotot (merebut hak hidup tikus td) dg orang di rumah yg udah susah payah menangkap.
imo yah, karma baik, karena niatnya adalah karuna. ;DDi satu sisi adalah karuna, di sisi lain adalah kemelekatan pada suatu keadaan/kebencian pada keadaan sebaliknya, yang sifatnya halus. Maka selain karma buruk, disertai pula karma baik.
bagaimanapun kehendak yg menentukan, bukan aksi...Betul, tapi tidak sesederhana itu. Baik atau buruk itu sebetulnya lebih tepat bermanfaat/tidak bermanfaat. Seseorang yang berpandangan salah, membunuh orang lain dengan maksud mengirim ke sorga, mungkin secara duniawi punya maksud baik. Tetapi menurut dhamma, itu adalah tidak bermanfaat dan akan menghasilkan penderitaan.
benci thd fenomena -> karma satuBetul, bukan hanya di kasus seperti ini saja, tapi di hampir semua kejadian sehari-hari, banyak sekali karma yang menyertai satu keputusan. Saya pikir itu sebabnya mustahil bagi orang biasa mengukur jalannya karma.
kasihan -> karma satu lagi hehe...
imo karma si anak ya tergantung niat si anak. tidak perduli orang yg menerima perbuatannya kadang bisa merespon berbeda. (kayanya ditipitaka bahkan arahat "seolah" akan berterimakasih pada orang yg membunuhnya, tetapi orang yg membunuh tetap aja garuka kamma kan?)Memang demikian. Itu hanya sebagai contoh saja bahwa selain niat baik dari pelaku, banyak hal yang perlu diperhitungkan, termasuk pengaruhnya terhadap si penerima perbuatan. Kita tidak bisa berpikiran "ah, yang penting niatnya baik" lalu mengabaikan imbasnya.
saya masih belum bisa memahami bagaimana niat karuna bisa diwujudkan dalam membunuh untuk skenario di atas, IMO seharusnya adalah menyelamatkan tikus itu bukan malah membunuhnya.Kemampuan tiap orang dalam membantu adalah berbeda. Ada kalanya kita tidak bisa apa-apa untuk membantu, dan hanya bisa meringankan penderitaan makhluk yang mati perlahan dengan membunuhnya. Misalnya dalam kasus Yin-Yang fish (makanan bagi orang sakit jiwa berupa ikan hidup yang badannya digoreng, tapi kepalanya masih berusaha bernafas), apalah yang bisa kita lakukan? Biarpun kita culik ikannya dan dilepas, dia tidak akan hidup dengan badan setengah crispy itu. Maka dibanding penderitaan hebat yang ujungnya juga pasti mati, saya lebih memilih melakukan 'mercy killing'.
Kemampuan tiap orang dalam membantu adalah berbeda. Ada kalanya kita tidak bisa apa-apa untuk membantu, dan hanya bisa meringankan penderitaan makhluk yang mati perlahan dengan membunuhnya. Misalnya dalam kasus Yin-Yang fish (makanan bagi orang sakit jiwa berupa ikan hidup yang badannya digoreng, tapi kepalanya masih berusaha bernafas), apalah yang bisa kita lakukan? Biarpun kita culik ikannya dan dilepas, dia tidak akan hidup dengan badan setengah crispy itu. Maka dibanding penderitaan hebat yang ujungnya juga pasti mati, saya lebih memilih melakukan 'mercy killing'.
saya pun akan bertindak serupa dalam kasus ikan untuk makanan orang sakit jiwa itu, itulah sebabnya maka saya membatasi hanya pada skenario yg dibawakan oleh Mr. John. Tikus itu hanya terkena "lem tikus", ada banyak cara untuk menyelamatkan tikus itu daripada membunuhnya.Kalau dalam skenario Mr.Jhonz, tikusnya ditangkap orang lain dan sengaja mau disiksa dengan dijemur. Memang tidak dijelaskan detail juga sih bagaimana kondisinya, tapi dalam bayangan saya, kita tidak bisa mengambil tikusnya karena yang tangkap orang lain.
Kalau dalam skenario Mr.Jhonz, tikusnya ditangkap orang lain dan sengaja mau disiksa dengan dijemur. Memang tidak dijelaskan detail juga sih bagaimana kondisinya, tapi dalam bayangan saya, kita tidak bisa mengambil tikusnya karena yang tangkap orang lain.
BTW, kalau sudah kena lem, bagaimana caranya melepaskan si tikus? Apa perlu zat kimia tertentu? Dulu saya pernah lihat orang berusaha melepaskan, tapi kakinya hampir putus dan tikusnya kesakitan. Akhirnya jadi 'mercy killing' juga.
Kemampuan tiap orang dalam membantu adalah berbeda. Ada kalanya kita tidak bisa apa-apa untuk membantu, dan hanya bisa meringankan penderitaan makhluk yang mati perlahan dengan membunuhnya. Misalnya dalam kasus Yin-Yang fish (makanan bagi orang sakit jiwa berupa ikan hidup yang badannya digoreng, tapi kepalanya masih berusaha bernafas), apalah yang bisa kita lakukan? Biarpun kita culik ikannya dan dilepas, dia tidak akan hidup dengan badan setengah crispy itu. Maka dibanding penderitaan hebat yang ujungnya juga pasti mati, saya lebih memilih melakukan 'mercy killing'.
[at] bro tesla: hmm..kata Buddha karma kan niat si pelakunya bukan respon si korban, namun kalau misalnya si A mencuri barang si B dengan niat ingin cepat2 menghabiskan buah karma buruk si B, apakah ini termasuk karma buruk? Atau Si A menipu Si B sampai usaha si B bangkrut dengan tujuan mengajari bahwa hidup ini aniccam, apakah itu termasuk karma buruk? dan masih banyak lagi, misal menyakiti hewan bukan karena didasari rasa benci namun rasa puas dan bahagia, sehingga setelah melakukan itu si pelaku malah bisa tidur lebih pulas, apakah jika ditinjau dari niat si pelaku maka hal itu karma buruk?
saya pun akan bertindak serupa dalam kasus ikan untuk makanan orang sakit jiwa itu, itulah sebabnya maka saya membatasi hanya pada skenario yg dibawakan oleh Mr. John. Tikus itu hanya terkena "lem tikus", ada banyak cara untuk menyelamatkan tikus itu daripada membunuhnya.Kasusnya tidak sesederhana itu pak,
Kasusnya tidak sesederhana itu pak,
Si penangkap disini berperan sebagai seorang raja,si pembunuh hanya seorang rakyat jelata..
btw,postur seokor anjing berbeda jauh dgn tikus..
beberapa tikus ketika berusaha melepaskan diri,kadang matanya sampai mau copot..
Sekarang pertanyaan sy,
Jika kalian di posisikan sebagai rakyat jelata,ketika melihat raja mendapat tikus,
Bagaimana kalian bersikap?
A.membiarkan saja
B.mercy killing
C. ... ...
*mohon dijawab,karena masih banyak tikus yg terperangkap :)
[at] pak indra
Maaf sedikit kritis,bukannya ketika kita "membiarkannya" sama saja kita egois??
thank,komentarnya..
jadi menurut bapak apapun yg terjadi tidak ada kata "membunuh"?
Kasusnya tidak sesederhana itu pak,
Si penangkap disini berperan sebagai seorang raja,si pembunuh hanya seorang rakyat jelata..
btw,postur seokor anjing berbeda jauh dgn tikus..
beberapa tikus ketika berusaha melepaskan diri,kadang matanya sampai mau copot..
Sekarang pertanyaan sy,
Jika kalian di posisikan sebagai rakyat jelata,ketika melihat raja mendapat tikus,
Bagaimana kalian bersikap?
A.membiarkan saja
B.mercy killing
C. ... ...
*mohon dijawab,karena masih banyak tikus yg terperangkap :)
Coba nasehati raja untuk menangkap tikus dengan cara lain, misalnya perangkap tikus. Ada perangkap tikus yang modelnya sederhana dan tidak menyakitkan. Tinggal letakkan makanan sebagai umpan dan pemberat. Ketika makanan diambil tikus, otomatis pemberat hilang dan pintu tertutup (bisa dibayangkan?)
Kalo pake perangkap seperti ini, rakyat jelata bisa menawarkan jasa untuk melepaskan tikus ini ke tempat lain yang jauh dari kerajaan ;D
^ ^ ^ cekidot dulu deh apakah rajanya lalim atau tidak..
^ ^ ^ kalo pertanyaannya: "apakah tikus mau menunggu?". Jawabannya, yah pastilah... kan dia tidak bisa berkutik alias tidak berdaya lagi ;D Tapi ya, rakyat jelata tetap harus sopan dan tidak memaksakan kehendak. Mungkin bisa menawarkan beberapa keuntungan pemakaian perangkap vs lem tikus. Misalnya, keuntungan perangkap: tidak bau, murah (bisa dipake berulang-ulang), tidak repot (tidak perlu selalu mencari karton sebagai alas lem), dan tidak berbahaya bagi anak-anak atau orang yang lalu-lalang.
Saya menganjurkan perangkap tikus karena kalo pake lem tikus, tidak tertutup kemungkinan binatang lain pun ikut jadi korban seperti cicak.
coba pakai serbuk gergaji kering aja... utk bercampur dgn lem tikus tsb... dan akhirnya lem tsb melengket di serbuk gergaji sehingga tikusnya bisa lepas...Ditaburkan sekitar tikusnya gitu?
saya pernah melepaskan lem tikus dari kaki seekor anjing. tidak tahu apakah lem tikus hanya efektif pada tikus dan tidak efektif pada hewan lain.Kalau anjing atau hewan yang besar, sepertinya tidak terlalu masalah. Kalau tikus, karena posturnya demikian, maka seluruh badannya kena.
coba kita perhatikan setting panggungnya, raja sedang menyiksa tikus di kelilingi oleh para pengawal, penasihat dan hulubalang. rakyat jelata hanya bisa melihat dari jauh, mungkin pada jarak 2km, seseorang yg berbudi dan bercinta kasih kepada tikus memiliki pandangan tajam dan melihat raja sedang menyiksa tikus. orang baik ini tentu akan menghadapi serangkaian birokrasi untuk bisa sampai menghadap raja, walaupun si raja adalah seorang yg tidak lalim. apakah tikus mau menunggu?
tapi seorang raja yg tega menyiksa tikus tentu dapat diperkirakan tingkat kelalimannya bukan?
pertanyaan saya kurang lengkap. saya ralat, "apakah tikus mau menunggu untuk tidak mati dulu karena disiksa?", tentu saja si orang baik memang mau memberikan beberapa alternatif, tapi kondisi pada saat itu, sudah ada tikus yg sedang disiksa, bukan situasi di mana raja sedang mempersiapkan lem untuk menangkap tikus. permasalahan adalah apa yg harus dilakukan oleh si orang baik pada situasi tersebut, bukan sebelum tikus ditangkap.
Saya rasa tidak ada yang namanya mercy killing, apakah pada saat membunuh, cetananya adalah untuk meringankan penderitaan ? Hmmm, saya rasa kecil kemungkinannya bahkan mungkin tidak ada...Bro rooney tahu Seppuku? Dalam ritual memotong perut tersebut, ada yang disebut Kaishaku (介錯), yaitu asisten yang memenggal kepala segera setelah sang pelaku ritual memotong perutnya. Tujuannya adalah agar si pelaku ritual tidak perlu lama merasakan penderitaan itu terlalu lama. Bagaimana menurut Bro rooney?
Kalo tikus sedang disiksa (tikus yang dilem, sedang dijemur), mungkin bisa ditanya baik-baik ke raja, apa tujuannya. Sudah jelas-jelas dia pasti mati, kenapa pulak dijemur lagi? Saya rasa sih, kita perlu mengenal sedikit kepribadian raja jadi tau cara-cara pendekatan yang tepat.Intinya sih memang tergantung situasi, kadang ada hal-hal yang bisa kita lakukan, kadang memang tidak ada. Jika masih ada hal yang bisa kita lakukan, 'mercy-killing' ini dihindari. Kalau memang sudah mentok bener-bener mentok, baru dilakukan.
Untuk selanjutnya kita beri ide-ide untuk mencegah penggunaan lem tikus.
^ ^ ^ kalo pertanyaannya: "apakah tikus mau menunggu?". Jawabannya, yah pastilah... kan dia tidak bisa berkutik alias tidak berdaya lagi ;D Tapi ya, rakyat jelata tetap harus sopan dan tidak memaksakan kehendak. Mungkin bisa menawarkan beberapa keuntungan pemakaian perangkap vs lem tikus. Misalnya, keuntungan perangkap: tidak bau, murah (bisa dipake berulang-ulang), tidak repot (tidak perlu selalu mencari karton sebagai alas lem), dan tidak berbahaya bagi anak-anak atau orang yang lalu-lalang, atau mungkin binatang peliharaan raja (kalau ada).Perangkap tikus yg sis maksudkan sudah ada dua buah(tapi anehnya,tikus sekarang sudah ga mau masuk lg)..
Saya menganjurkan perangkap tikus karena kalo pake lem tikus, tidak tertutup kemungkinan binatang lain pun ikut jadi korban seperti cicak.
Perangkap tikus yg sis maksudkan sudah ada dua buah(tapi anehnya,tikus sekarang sudah ga mau masuk lg)..
Sang raja disini menganut konsep "segala sesuatu diciptakan untuk dinikmati manusia"..
Bayangkan saja,ketika raja sudah mengalami kerugian besar akibat serangan hama tikus..rakyat malah berusaha membela tikus..
menurut sis mayvise dan yg lain,apakah masih ada jalan lain?selain membunuh tikus..
Thank
asl plz ;Da=29 s=male l=jakarta :-[ :x :-[ :x :-[ :x
[at] Mr Jhonz: setau sy, kalo ada umpan (makanan kesukaan tikus) di perangkap itu, tikus pasti masuk. Btw, kalo gak salah ada alat pengusir tikus yang pake ultrasonik.
Ada yang sudah pernah coba? kalo memang manjur, bisa disarankan ke raja. Bilang saja, bahwa lem/perangkap hanya akan mengatasi tikus setelah tikus melakukan pengrusakan. Tapi alat tersebut bisa mengatasi tikus sebelum tikus merusak. (IMHO, ini poin yang menggiurkan bagi raja)
maaf, raja tidak percaya sama produk cina
[at] Mr Jhonz: setau sy, kalo ada umpan (makanan kesukaan tikus) di perangkap itu, tikus pasti masuk. Btw, kalo gak salah ada alat pengusir tikus yang pake ultrasonik.saya pernah pakai racun tikus utk mengatasi hama tikus :hammer: (tikusnya bahkan udah mengerogoti mobil, karpet, saluran ac, jok semua bolong2 --- juga tutup rice cooker jebol, barang dagangan lho, bukan rice cooker yg dipakai & dalamnya ada nasi... saya kira tempat saya lumayan bersih, jadi ga ada makanan, sepertinya tikusnya bisa makan bahan karet & plastik kalau udah ga ada makanan lagi)
saya pernah pakai racun tikus utk mengatasi hama tikus :hammer: (tikusnya bahkan udah mengerogoti mobil, karpet, saluran ac, jok semua bolong2 --- juga tutup rice cooker jebol, barang dagangan lho, bukan rice cooker yg dipakai & dalamnya ada nasi... saya kira tempat saya lumayan bersih, jadi ga ada makanan, sepertinya tikusnya bisa makan bahan karet & plastik kalau udah ga ada makanan lagi)saran (bikin karma buruk nih) kalau mau dicampur makanan sama racunnya di tumbuk jadi satu ;D
jadi racun tsb baunya sangat kuat (kaya ikan teri) dijamin tikus dari jauh pun bisa cium baunya.
makanan (racun) tsb saya taruh di mangkuk dan tunggu tikusnya datang... ternyata tikusnya ga datang (ga makan) udah selang bbrp hari.
makanan dalam mangkok itu utuh ga tersentuh... jadi ya udahlah akhirnya ga jadi diracun...
kan saya taruhnya cuma dikit di mangkuk, eh ternyata setelah beberapa hari, kemasan racun tsb jebol (bungkus plastik + kotak karton) & pagi saya lihat racunnya udah berserakan di mana2...
moral cerita, tikus jg bisa curiga kalau dapat makanan terlalu mudah (:hammer:)
Tikus memang hewan yang belajar, jadi tidak mudah dikibuli. Untuk racun, memang biasanya tidak bisa racun 'murni' harus dicampur dengan makanan favorit mereka. Saya pernah dengar juga tips kalau rumah banyak tikus, usahakan tangkap satu hidup-hidup, potong buntutnya lalu lepaskan. Hal ini tidak membahayakan si tikus (walaupun tetap saja penganiayaan) dan akan membuat tikus yang lain juga ketakutan dan menghindari rumah itu. Justru kalau kita bunuh tikusnya, kadang kerabatnya bisa datang untuk balas dendam. Saya pernah dengar cerita tikus yang suka masuk dan curi makanan. Selalu hanya makanan. Suatu hari, tikus itu ditangkap dan dibunuh, maka hari-hari berikutnya tikus-tikus datang dan 'merusuh'. Kali ini bukan makanan sasarannya, tapi kabel, meja, alat-alat dan benda apapun yang bisa mereka gigit.
wait... justru saya yg diserang lebih dulu :)) bukan saya yg bunuh mereka dulu...Soal itu memang saya ga bilang bro tesla yang agresi duluan, tapi maksudnya memang tikus-tikus itu lumayan kompleks. Sepertinya lain (grup) tikus, maka lain pula perilakunya.
soal pikiran tikus2 itu saya ga tau... mungkin mereka marah kok orang rumah ini ga ada makanan di rumah :hammer: (maklum, makan di luar terus & emg ga stok makanan)
soal racun, justru penjual racun sekarang juga belajar :)) jadi kita beli kemasan itu udah bentuk pelet (makanan) yg sangat harum :hammer:Hati-hati, jauhkan dari jangkauan anak-anak dan orang tua. ;D
saya pernah coba juga, ya udahlah kasih roti tiap hari, maksudnya biar ga gigit barang2. tapi tentunya taruh di lantai... kampretnya tikus tsb ga mau, tapi kalau taruh di atas meja baru doyan dia... sebagai bonus dia eek & pipis juga di atas meja. haduhSepertinya mereka hanya yakin untuk makan apa yang kita makan. Karena orang tidak ada yang makan di lantai, maka dia juga tidak makan yang di lantai tersebut. Kalau soal 'bayaran' di atas meja... no comment :D Mungkin kebetulan tikusnya ga tau terima kasih.
Baru ingat lagi, saya pernah diberitahu kucing congkok (mungkin nama latinnya Prionailurus bengalensis) sangat ditakuti oleh tikus. Kehadirannya saja bisa mengusir tikus sampai bersih karena tikus bisa mencium baunya. Belum konfirmasi tentang ini sih.
kucing kucing di tanjung duren ini kalau ketemu sama tikus nya tuh kucing nya yang kabur bukan tikusnya saking gedenya tuh tikus( tetap gedean kucing nya tapi kok pada takut tah sama tikus nya yahh).
lebih efektif piara ular sawahUlar sawah sepertinya ga tangkas untuk main di dalam rumah ngejar tikus genteng. Medan perburuannya berbeda.
ga usah kucing jenis itu, kucing biasa aja udah bisa mengusir tikus,Kalau kucing peranakan biasa memang bisa tangkap tikus rumah, tapi kalau tikus got yang gede-gede, biasanya kucingnya ga berani. Sepertinya memang tidak termasuk dalam diet-nya mereka juga sih. Kalau kucing congkok itu, memang pemburu di alam liar, jadi cukup galak.
kalo ada kucing di sekitar rumah tikus ga bakal muncul dhe...soalnya katanya sih karna ada bau nya gitu. tp ga disarankan ada kucing dalam rumah.. (kucing kan lebih kotor dari tikus bulunya suka kemana2 ga baik buat anak kecil)
tutup aja semua lubang supaya tikus ga bisa masuk.
dirumah w juga ada tikus (tapi tikus kecil gitu) ga pernah dibunuh sih..tp lucu nya tikus ini hanya kencing dan eek di toilet, sesekali kalo lg makan didapur dia lewat nginjak kaki gw,dan tikus ini hanya makan makanan sisa yg di tong sampah dan westafel, kalo tikus dirumah bro yg jenis gede itu yah... tutup semua lobang aja sudah beres bro..g usah diracuni.(pelihara kucing / mopi diluar rumah (misalnya di teras atau halaman)pasti tikusnya ga berani dhe.
kalo gitu pelihara mopi aja...Mopi apa yah?
kalo tikus gede di jalan itu biasany ga masuk kedalam rumah mereka tinggal di selokan.
Percaya gak percaya, dulu ada temen yang gak tega liat tikus di dalam perangkap tikus yang dipasang papanya. Lalu dia bicara dengan tikus itu, memberitahu cara membuka pintu perangkap (seandainya pengaitnya berhasil diangkat, tikus bisa keluar). Keesokan harinya, tikusnya sudah tidak ada (tikusnya berhasil keluar) :|
Percaya gak percaya, dulu ada temen yang gak tega liat tikus di dalam perangkap tikus yang dipasang papanya. Lalu dia bicara dengan tikus itu, memberitahu cara membuka pintu perangkap (seandainya pengaitnya berhasil diangkat, tikus bisa keluar). Keesokan harinya, tikusnya sudah tidak ada (tikusnya berhasil keluar) :|Sepertinya tikus itu memang bisa mencoba-coba (tanpa perlu diajak ngomong). Banyak percobaan di lab menunjukkan tikus bisa coba-coba mekanisme benda dan belajar menggunakannya untuk ngabur atau cari makanan. Dulu waktu masih kecil, saya melihat yang lebih 'sakti' lagi. Daging ditaruh di perangkap tikus jepret yang sangat sensitif. Taruh sebentar, perangkapnya tidak berubah (masih siap menjepret), dagingnya hilang. :|
Sequencing of the mouse genome was completed in late 2002. The haploid genome is about three billion bases long (3000 Mb distributed over 20 chromosomes) and therefore equal to the size of the human genome.[26] Estimating the number of genes contained in the mouse genome is difficult, in part because the definition of a gene is still being debated and extended. The current estimated gene count is 23,786. This estimate takes into account knowledge of molecular biology as well as comparative genomic data. For comparison, humans are estimated to have 23,686 genes.
kalo tikus dirumah bro yg jenis gede itu yah... tutup semua lobang aja sudah beres bro..g usah diracuni.
Sepertinya tikus itu memang bisa mencoba-coba (tanpa perlu diajak ngomong). Banyak percobaan di lab menunjukkan tikus bisa coba-coba mekanisme benda dan belajar menggunakannya untuk ngabur atau cari makanan. Dulu waktu masih kecil, saya melihat yang lebih 'sakti' lagi. Daging ditaruh di perangkap tikus jepret yang sangat sensitif. Taruh sebentar, perangkapnya tidak berubah (masih siap menjepret), dagingnya hilang. :|
Sepertinya tikus itu memang bisa mencoba-coba (tanpa perlu diajak ngomong). Banyak percobaan di lab menunjukkan tikus bisa coba-coba mekanisme benda dan belajar menggunakannya untuk ngabur atau cari makanan. Dulu waktu masih kecil, saya melihat yang lebih 'sakti' lagi. Daging ditaruh di perangkap tikus jepret yang sangat sensitif. Taruh sebentar, perangkapnya tidak berubah (masih siap menjepret), dagingnya hilang. :|
Soal itu memang saya ga bilang bro tesla yang agresi duluan, tapi maksudnya memang tikus-tikus itu lumayan kompleks. Sepertinya lain (grup) tikus, maka lain pula perilakunya.Kucing coungkok bukannya yang sering dirazia itu om?? ;D
Hati-hati, jauhkan dari jangkauan anak-anak dan orang tua. ;D
Sepertinya mereka hanya yakin untuk makan apa yang kita makan. Karena orang tidak ada yang makan di lantai, maka dia juga tidak makan yang di lantai tersebut. Kalau soal 'bayaran' di atas meja... no comment :D Mungkin kebetulan tikusnya ga tau terima kasih.
Baru ingat lagi, saya pernah diberitahu kucing congkok (mungkin nama latinnya Prionailurus bengalensis) sangat ditakuti oleh tikus. Kehadirannya saja bisa mengusir tikus sampai bersih karena tikus bisa mencium baunya. Belum konfirmasi tentang ini sih.
wah ini sih udah terjadi berkali2 di tempat gw...Kalau perangkap jepit itu jalan, tapi tikusnya ga kena, itu sudah biasa. Mungkin si tikus pakai benda atau digoyang-goyang entah gimana supaya trigger perangkapnya, lalu setelah itu dia bisa ambil makanannya dengan tenang. Kalau yang kandang tutup itu, kalo tikusnya gede atau masuknya berdua, bisa dorong pintunya. Jadi masuk, makan enak, lalu keluar lagi. Perangkap yang djaman doeloe sih begitu yah, entah kalau yang sekarang sudah dimodif.
yg lebih hebatnya lagi kadang perangkapnya udah dalam posisi tertutup, makanan dah hilang, tikus ga ada. padahal gw lom bisikin cara buka pintunya lho
Mungkin alatnya kurang sensitif, atau gerakan tikusnya terlalu cepat :|Alatnya sensitif, hanya kena gaya sedikit, langsung jepret. Kalau tikusnya cepat, makanannya hilang, perangkapnya jepret, tikusnya ga kena. Kalau ini kasusnya makanan hilang tapi perangkap ga jepret (boro-boro tikusnya kena). Sakti mandraguna tikusnya.
Intermezzo biar tidak stress. Untuk mengubah paradigma kita tentang tikus, sering2lah nonton "Ratatouille", atau "Alvin and the chipmunks". hehe...
(edited: eh chipmunk bukan tikus dink)
Alat pengusir tikus yg mengeluarkan suara ultrasonic,sudah dicoba kakak-ku..Mirip alarm. Kalau baru dipasang, begitu bunyi, kita langsung bangun. Lama-lama kebiasa sama frekuensi itu, otak sudah mulai abaikan sedikit-sedikit, akhirnya jadi 'kebal'.
Tikusnya hanya kabur sementara,lama kelamaan tikusnya kebal dgn suara ultrasonic
Kucing coungkok bukannya yang sering dirazia itu om?? ;DItu sih 'ayam' co[e]ngkok a.k.a 'Panda' kali, bukan kucing.
Tentang makanan terakhir Sang Buddha yang diberikan Cunda. Walaupun makanan tersebutlah yang menyebabkan Sang Buddha sakit perut, tapi dikatakan bahwa dana tersebut setara dengan dana pemberian Sujata. Dalam diri Cunda pasti merasa bersalah karena mengira dirinya adalah penyebab meninggalnya Sang Buddha. (saya tidak tau apakah Cunda cukup puas dengan pernyataan bahwa dananya setara dengan dana Sujata).
Misalnya ada kisah yang mirip dengan kisah Cunda tsb di kehidupan nyata. Seseorang tau betul dia menyebabkan hal buruk terjadi, dan dia membawa-bawa perasaan bersalah itu seumur hidupnya (padahal sebenarnya dia tidak bersalah sama sekali, malah perbuatan itu adalah bajik). Kalo dalam kasus Cunda, dia mungkin saja berpikir bahwa dia pasti akan terjerumus ke Avici.
Pertanyaannya, seberapa besarkah pengaruh feel of guilty terhadap kelahiran mendatang seseorang? Kalo perasaan atau pikiran ini membayanginya saat meninggal, dia tidak akan lahir di alam bahagia?
sebelum Mas Kainyn menjawab, izinkan saya menyalib sejenak. Benarkah bahwa makanan persembahan Cunda yg menyebabkan Sang Buddha sakit perut?
sebelum Mas Kainyn menjawab, izinkan saya menyalib sejenak. Benarkah bahwa makanan persembahan Cunda yg menyebabkan Sang Buddha sakit perut?
Tentang makanan terakhir Sang Buddha yang diberikan Cunda. Walaupun makanan tersebutlah yang menyebabkan Sang Buddha sakit perut, tapi dikatakan bahwa dana tersebut setara dengan dana pemberian Sujata. Dalam diri Cunda pasti merasa bersalah karena mengira dirinya adalah penyebab meninggalnya Sang Buddha. (saya tidak tau apakah Cunda cukup puas dengan pernyataan bahwa dananya setara dengan dana Sujata).
Misalnya ada kisah yang mirip dengan kisah Cunda tsb di kehidupan nyata. Seseorang tau betul dia menyebabkan hal buruk terjadi, dan dia membawa-bawa perasaan bersalah itu seumur hidupnya (padahal sebenarnya dia tidak bersalah sama sekali, malah perbuatan itu adalah bajik). Kalo dalam kasus Cunda, dia mungkin saja berpikir bahwa dia pasti akan terjerumus ke Avici.
Pertanyaannya, seberapa besarkah pengaruh feel of guilty terhadap kelahiran mendatang seseorang? Kalo perasaan atau pikiran ini membayanginya saat meninggal, dia tidak akan lahir di alam bahagia?
Saya pernah dengar juga tips kalau rumah banyak tikus, usahakan tangkap satu hidup-hidup, potong buntutnya lalu lepaskan. Hal ini tidak membahayakan si tikus (walaupun tetap saja penganiayaan) dan akan membuat tikus yang lain juga ketakutan dan menghindari rumah itu.
(http://technabob.com/blog/wp-content/uploads/2009/09/coffin-mousetrap-2.jpg)
mulai yg muda, tua, kaya, miskin, yg punya isteri atau tidak
kematian bisa datang setiap saat....
nahhh :
manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..
(http://technabob.com/blog/wp-content/uploads/2009/09/coffin-mousetrap-2.jpg)Manusia yang siap menyambut kematian itu ada 2 macam:
mulai yg muda, tua, kaya, miskin, yg punya isteri atau tidak
kematian bisa datang setiap saat....
nahhh :
manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..
Manusia yang siap menyambut kematian itu ada 2 macam:Artinya,teroris yg bernama amrozi setelah mati terlahir di alam bahagia?
1. Yang tukang cari mati (em cai si)
2. Yang memang sadar bahwa hidup pasti mati
Kalau Ajaran Buddha mengajarkan kita mencapai kebahagiaan dalam hidup, menghargai hidup, tapi tetap sadar bahwa semua yang berkondisi pasti berubah, yang hidup juga pasti suatu saat mati. Jadi siap jika memang saatnya tiba. Jadi type no. 1 dihindari. :D
Apakah seorang Buddhist yg benar2 mengerti ajaran Sang Buddha setiap saat siap menghadapin kematiannya ?Kalau Buddhist yang benar-benar mengerti Ajaran Buddha, saya pikir seharusnya memang selalu sadar kematian itu tidak terhindarkan. Dapat 1 M atau 1 T, tetap saja bukan berarti kematian bisa ditunda. Sama juga seperti orang yang baru ketemu pasangan hidup yang didambakan atau baru akan menikah, lalu tiba-tiba harus kehilangan. Ini penderitaan yang berat karena baru bertemu sesuatu yang sangat menyenangkan namun harus segera berpisah.
contoh : kalau si A, yg baru memenangkan undian bank sekian M rupiah... dia pikir ingin keliling dunia dulu dehhh, bila kematian begitu cepat datang, dia bakal tidak rela.
Kalau Buddhist yang benar-benar mengerti Ajaran Buddha, saya pikir seharusnya memang selalu sadar kematian itu tidak terhindarkan. Dapat 1 M atau 1 T, tetap saja bukan berarti kematian bisa ditunda. Sama juga seperti orang yang baru ketemu pasangan hidup yang didambakan atau baru akan menikah, lalu tiba-tiba harus kehilangan. Ini penderitaan yang berat karena baru bertemu sesuatu yang sangat menyenangkan namun harus segera berpisah.
Harus ekstra hati-hati dan berusaha sadar setiap saat.
Artinya,teroris yg bernama amrozi setelah mati terlahir di alam bahagia?Entahlah, bisa iya, bisa tidak. Pastinya perbuatan membunuh orang lain tidak menyebabkan orang terlahir di alam bahagia, tapi bukan berarti membunuh orang lain pasti menyebabkan orang tidak terlahir di alam bahagia.
Dan,sy pernah melihat video pemenggalan kepala oleh mafia meksiko,korban terlihat panik ketika mau dieksekusi..Saya rasa bisa jadi demikian jika ada karma buruk yang mendukung.
apa si korban karena kepanikannya akan terlahir dialam menderita?
bagaimana cara menghadapi kematian versi buddha?Cara menghadapi kematian tidak ada versi Buddha atau non-buddha. Semua hanya menyadari bahwa kematian adalah tidak terhindarkan, maka sebaiknya tidak melekat.
Cara menghadapi kematian tidak ada versi Buddha atau non-buddha. Semua hanya menyadari bahwa kematian adalah tidak terhindarkan, maka sebaiknya tidak melekat.
melekat terhdap kematian?Melekat terhadap apapun, karena semua hal adalah berkondisi dan berubah. Apa yang berubah, berpotensi menimbulkan penderitaan.
Melekat terhadap apapun, karena semua hal adalah berkondisi dan berubah. Apa yang berubah, berpotensi menimbulkan penderitaan.
kalo hati dari sedih jd senang kok disebut menderita ya?Bisa dicontohkan kasus yang menggambarkan 'dari sedih jadi senang' tersebut?
Bisa dicontohkan kasus yang menggambarkan 'dari sedih jadi senang' tersebut?
kasus mati suri... ;DBagaimana maksudnya kasus mati suri memberikan kesenangan?
nahhh :
manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..
kalo hati dari sedih jd senang kok disebut menderita ya?
Bisa dicontohkan kasus yang menggambarkan 'dari sedih jadi senang' tersebut?
mis: si miskin tiba2 dapat harta, yg kesepian tiba2 dapat pacar, dll... intinya bertemu dg yg diinginkan, berpisah dg yg tidak diinginkanOK, ini baru nyambung dengan kepala saya.
OK, ini baru nyambung dengan kepala saya.
Miskin mendapat harta, kesepian dapat pacar. Yang mengkondisikan di sini adalah harta dan pacar. Ketika pikiran orang melekat pada harta/pacar, maka timbullah keadaan yang menyenangkan (dapat harta/pacar) dan tidak menyenangkan (tidak ada harta/pacar). Karena kehidupan selalu berubah, maka ada yang namanya dapat harta/pacar, ada juga kehilangan harta/pacar. Maka hidup tidak lepas dari kesedihan dan kesenangan tersebut.
Dukkha bukanlah merujuk pada 'kesedihan' (kehilangan harta/pacar) semata, namun pada keseluruhan keterkondisian 'kesedihan' dan 'kesenangan' tersebut yang datang silih-berganti tanpa akhir.
"The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts...Menurut saya, cara pandang yang menentukan pola pikir seseorang. Itu sebabnya Jalan Mulia Berunsur 8 didahului dengan 'Pandangan Benar' yang mendasari hal-hal lainnya. Pandangan itu dibentuk dari proses belajar yang bisa berupa merenungkan pengalaman atau jika beruntung, bertemu dengan 'guru' yang bisa mengarahkan.
But the quality of your thought depends on ?
Kira-kira apa yang tepat ?
1. Bertemu dengan siapa
2. Pengalaman
3. Cara memandang segala fenomena
4...
Menurut saya, cara pandang yang menentukan pola pikir seseorang. Itu sebabnya Jalan Mulia Berunsur 8 didahului dengan 'Pandangan Benar' yang mendasari hal-hal lainnya. Pandangan itu dibentuk dari proses belajar yang bisa berupa merenungkan pengalaman atau jika beruntung, bertemu dengan 'guru' yang bisa mengarahkan.
Kebahagiaan sendiri juga sangat variatif. Orang sering mendambakan kebahagiaan tanpa mencari kebenaran. Ini juga bisa, tapi jadinya seperti orang bodoh yang bahagia seperti kata pepatah, 'ignorance is bliss'. Jadi sebenarnya memang pilihan. Mau bahagia memang tidak sulit, tapi mau bahagia yang bijaksana dan dengan bathin seimbang, itu yang sulit.
Hmmm, bukannya yang paling awal itu moralitas ya ? Logikanya sebelum tembus magga-phala, seseorang belum punya pandangan benar kan ?Kalau menurut saya tidak. Di negara-negara non-religius, orang-orangnya tidak diajarkan agama, tapi tetap ada yang baik, ada yang tidak. Ini tergantung cara pandangnya masing-masing terhadap hidup. Betul, sebelum mencapai magga-phala, pandangan benar masih berupa 'pengetahuan' saja, belum benar-benar direalisasikan.
Kalau menurut saya tidak. Di negara-negara non-religius, orang-orangnya tidak diajarkan agama, tapi tetap ada yang baik, ada yang tidak. Ini tergantung cara pandangnya masing-masing terhadap hidup. Betul, sebelum mencapai magga-phala, pandangan benar masih berupa 'pengetahuan' saja, belum benar-benar direalisasikan.
Berhubungan juga, sering menjadi klaim bahwa agama adalah mutlak penting bagi kehidupan karena tanpa agama, orang tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Klaim ini juga otomatis dipatahkan dengan teraturnya sistem masyarakat yang tanpa agama seperti negara non-religius ataupun masyarakat pra-sejarah.
Iya, kalo zaman dulu kan masi belum berkembang pemikiran. Jadi, yang namanya moralitas katanya adalah perintah agama. Padahal cukup dengan bersekolah saja sebenarnya kita bakal tau prosedur-prosedur moralitas yang disokong oleh hukum. Contohnya : Singapore, USA, UK . Mereka kebanyakan kasus kriminalnya daripada HAM. Bandingkan dengan salah satu negara beragama yang karena kekakuannya justru malah mudah terprovokasi dan menjadi tidak tahu menahu dengan moralitas lagi (kalangan menengah ke bawah).Saya rasa bukan karena belum berkembang pemikirannya, tapi karena sudah terindoktrinasi (bahwa agamanya paling 'wah' dan mengajarkan kebenaran), maka tidak bisa berpikir dengan akal sehat. Kalau kita lihat anthropologi, tanpa agama pun budaya manusia berkembang sehingga melahirkan adat dan tata cara yang juga mirip dengan aturan moralitas. Ini adalah proses sebab akibat yang alami. Misalnya mencuri, tanpa agama pun orang tahu perbuatan mencuri itu menyebabkan ketidak-teraturan dalam masyarakat. Yang kerja tidak makan, yang tidak kerja tapi mencuri, justru bisa makan. Maka mencuri dihindari.
Btw, pandangan benar tentang dukkha sama pandangan benar yang didapat dari pengalaman hidup dan pendidikan beda kan ya ?Pengalaman hidup dan pendidikan/ajaran orang lain, sebetulnya sama-sama hanyalah input. Pandangan benar bisa timbul jika kita memahami input itu dengan benar, tidak masalah inputnya dialami langsung atau lewat ajaran orang lain, sama saja. Menurut saya begitu.
Nanya bos..Setahu saya kasta itu ada di setiap budaya, hanya saja intensitasnya mungkin berbeda. Di negara raja berkuasa, biasa 'kasta' lebih kental, ada bangsawan dan rakyat biasa, sedangkan di negara komunis yang prinsipnya sama rata, 'kasta' lebih tidak kentara. Tapi intinya itu timbul dari pikiran yang diskriminatif. Misalnya kalangan intelektual merasa dirinya lebih pintar, berbeda dari kaum buruh, maka mereka melihatnya sebagai 'kasta' berbeda. Kalangan banyak duit terhadap orang elit (ekonomi sulit) juga melihatnya sebagai 'kasta' berbeda.
Walaupun masyarakat indonesia tidak menaganut paham KASTA,tapi prakteknya di masyarakat sangat kental budaya peng-kastaan..
Apa benar budaya peng-kasta-an ini adalah warisan kolonial belanda?
Konon,di China tidak ada budaya "kasta" benar kah?
*Apa benar dunia semakin lama semakin bobrok moralnya?
Thank
Setahu saya kasta itu ada di setiap budaya, hanya saja intensitasnya mungkin berbeda. Di negara raja berkuasa, biasa 'kasta' lebih kental, ada bangsawan dan rakyat biasa, sedangkan di negara komunis yang prinsipnya sama rata, 'kasta' lebih tidak kentara. Tapi intinya itu timbul dari pikiran yang diskriminatif. Misalnya kalangan intelektual merasa dirinya lebih pintar, berbeda dari kaum buruh, maka mereka melihatnya sebagai 'kasta' berbeda. Kalangan banyak duit terhadap orang elit (ekonomi sulit) juga melihatnya sebagai 'kasta' berbeda.
Kalau warisan kolonial adalah pandangan kesukuan. Penjajah Eropa kebanyakan negaranya kecil, jadi tidak punya kekuatan untuk menguasai daerah besar, maka menggunakan taktik devide et impera. Misalnya dulu orang Tionghoa dan pribumi itu berbaur sama rata, tidak ada diskriminasi sama sekali. Lalu Belanda membagi perdagangan hanya boleh melalui orang Tionghoa, jadi semacam dibuat kasta terpisah. Belakangan Orde Baru juga melanjutkan 'prestasi' ini, sehingga punya 'kambing hitam'.
Moralitas kalau saya pribadi lihat memang makin parah. Mungkin karena memang tidak ada pemimpin yang bisa membimbing dan memberi teladan.
gak perlu terlalu jauh, di sekeliling kita, coba di lingkungan perkantoran, lihat bagaimana sikap para direktur/manager dan para office boy/cleaning service/supirBetul sekali, itu yang saya maksud. Memang bukan dikastakan dengan jelas, tapi pikiran itu selalu ada.
Betul sekali, itu yang saya maksud. Memang bukan dikastakan dengan jelas, tapi pikiran itu selalu ada.
tapi menurut saya, pengkastaan ini gak selalu berdampak negatif, dalam banyak kasus, pengkastaan ini malah diperlukanDiskriminasi/pengelompokan yang objektif memang diperlukan (karena perbedaan nyata ada), tetapi jika dikelompokkan dengan salah, maka tidak bermanfaat.
Diskriminasi/pengelompokan yang objektif memang diperlukan (karena perbedaan nyata ada), tetapi jika dikelompokkan dengan salah, maka tidak bermanfaat.
Kalo menurut bro Indra, bagaimana contohnya 'pengkastaan' ini diperlukan?
misalnya, dalam lingkungan kerja, seperti contoh saya tadi antara kelompok office boy dan kelompok direktur/manager, ke dua kelompok ini dalam banyak hal memang harus dibedakan.Ya dalam hal gaji dan fasilitas, sudah jelas harus dibedakan ;D
Ya dalam hal gaji dan fasilitas, sudah jelas harus dibedakan ;D
Kalau kita ngomong 'kasta', mungkin lebih cenderung pada sesuatu yang dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Dalam hal ini, seringkali pendiskriminasian adalah hal yang keliru karena memang diklasifikasikan berdasarkan fakta yang salah.
kalau dalam hal kasta sejak lahir, saya harus meralat statement saya sebelumnya, karena saya memang tidak setuju pengkastaan berdasarkan kelahiran
Iya, tadi sih saya bicaranya 'pengkastaan' secara keseluruhan. Karena kita lihat saja misalnya orang dengan hobby tertentu yang mahal2, mereka merasa exclusive. Ini juga seperti 'pengkastaan'. Tapi kalau yang lebih sempit istilahnya, seperti yang dari lahir. Jadi seumur hidup apapun yang dilakukannya tidak akan menaikkan derajatnya. Dulu jaman Buddha 'kan begitu, entah sekarang masih ada yang begitu atau tidak.
Iya, tadi sih saya bicaranya 'pengkastaan' secara keseluruhan. Karena kita lihat saja misalnya orang dengan hobby tertentu yang mahal2, mereka merasa exclusive. Ini juga seperti 'pengkastaan'. Tapi kalau yang lebih sempit istilahnya, seperti yang dari lahir. Jadi seumur hidup apapun yang dilakukannya tidak akan menaikkan derajatnya. Dulu jaman Buddha 'kan begitu, entah sekarang masih ada yang begitu atau tidak.Masih ada om..
Masih ada om..Sebaiknya jangan deh, Mr.Jhonz. Takutnya berpotensi menyinggung.
Ada etnis(keturunan) tertentu yg merasa derajatnya lebih tinggi dari etnis lainnya
mau sy sebutkan etnisnya om?
*katanya,pelayanan pramusaji rumah makan di china sangat jelek,katanya,pelayan mengambil piring/mangkok dari meja konsumen(kondisi meja masih ditempati konsumen) tanpa satu katapun,dan dilakukan dgn terges-gesa..Dulu waktu saya ke Hong Kong memang banyak yang seperti itu (namun tidak semuanya, ada beberapa yang ramah juga). Bahkan menurut orang setempat, kalau mereka merasa orangnya terlalu lama, belum habispun makanannya, sudah diangkat. Ini memang 'keramahan' ciri khas mereka. Belakangan lagi saya dengar pemerintah China menggalakkan turismenya sekaligus persiapan untuk Olympiade kemarin, dan rakyatnya dihimbau untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang bikin "takut" turis. Seharusnya sikap begitu sudah makin sedikit.
Bagaimana menurut sikap ini?
*kalo di indonesia,pelayan idonesia sangat segan dan ramah kepada yg bertampang tajir.
kalau pengkastaan spt yg di agama hindu, sptnya masih ada sampai sekarang, dalam negara berbudaya hindu bahkan di bali juga pengkastaan ini masih ada, walaupun untuk bali sudah tidak terlalu kuat lagi.dari sumber pihak yg pernah bekerja dengan orang india... ada bawahan dari kasta ksatria, atasannya kasta bawahnya (lupa). Atasannya yg canggung dan takut ama bawahan. Aneh kan?
dari sumber pihak yg pernah bekerja dengan orang india... ada bawahan dari kasta ksatria, atasannya kasta bawahnya (lupa). Atasannya yg canggung dan takut ama bawahan. Aneh kan?
dari sumber pihak yg pernah bekerja dengan orang india... ada bawahan dari kasta ksatria, atasannya kasta bawahnya (lupa). Atasannya yg canggung dan takut ama bawahan. Aneh kan?ndak seluruhnya bener. jaman udah berubah sekarang terutama untuk yg migrasi keluar india.
Om tanya dunk..
Gimana cara menghadapi "kucing betina" yg doyan kabur?
Kucing betina ini sudah mempunyai rekor lebih dari 12 kali kabur..
Dan mempunyai 4 anak yg masih kecil..
Kucing betina ini dikabarkan biasa kabur ketempat lelaki(yg belum diketahui identitas-nya
Ironisnya muka si kucing betina sudah sering babak belur(di pukul sang suami) tapi tetap nekat melakukan aksinya..
*kedua pasangan ini kurang berpendidikan
tanya; gimana cara bedain antara kasta brahmana dan kasta sudra?*dapat dibedain secara kasat mata?Wah, ini saya terlewatkan.
Pertanyaan teknis;misal memasak ubi dengan api kecil perlu waktu lebih lama dari memasak ubi dengan api besar,pertanyaannya,energi(misal gas LPG) mana yg lebih terpakai/terkuras memasak dengan api kecil atau besar??
Thank
Om tanya dunk..Kalau cuma dengar singkat, tentu saya ga tahu, apalagi saya bukan ahli 'kucing-kucingan' begini ;D
Gimana cara menghadapi "kucing betina" yg doyan kabur?
Kucing betina ini sudah mempunyai rekor lebih dari 12 kali kabur..
Dan mempunyai 4 anak yg masih kecil..
Kucing betina ini dikabarkan biasa kabur ketempat lelaki(yg belum diketahui identitas-nya
Ironisnya muka si kucing betina sudah sering babak belur(di pukul sang suami) tapi tetap nekat melakukan aksinya..
*kedua pasangan ini kurang berpendidikan
oh.. disni tempat tanya2 y?Bukan hanya tanya-jawab, mengobrol biasa juga tidak masalah. Tapi kalau di sini, kebanyakan saya saja yang respon (karena ini jurnal pribadi), walaupun kadang banyak juga yang ikutan diskusi di sini.
saya mau tanya apakah dlm ajaran Buddha Bumi itu bernyawa?
trmksh. :)
Mungki maksudnya dewa bumi kali...Menurut saya sepertinya Dewa Bumi adalah dewa yang tinggal dan masih mengurusi tentang bumi. Dewa Bumi juga bukan cuma satu, tapi banyak. Jadi mungkin kira-kira sama saja seperti manusia yang peduli dengan bumi, tapi buminya sendiri tidak hidup. Kalau bumi seperti bisa marah dan 'memberikan' bencana, sebetulnya hanyalah interaksi hukum alam, baik secara alami, ataupun akibat perbuatan manusia.
Tapi dicerita2 kok ada bumi yang menganga dan menelan orang. Kalau gak salah cerita soal Devadatta dan Cinca yang ditelan bumi.Di Milinda Panha dikatakan selain Devadatta dan Cinca, ada juga Suppabuddha (ayah Devadatta yang menghalangi pindapata Buddha), Nanda (Brahmana yang memperkosa Aggasavika Upalavanna), dan Yakkha Nandaka (yang memukul kepala Sariputta), juga ditelan bumi.
hehe, ga apa2.. asal msh dijawab dan jgn di musuhin, saya udh seneng.. :)Tenang saja, saya cuma alergi pada orang-orang "suci" dan/atau "pintar" tapi tidak bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
Hm.. apa berarti kl kaya sekarang Bumi gundul (yg bs jd bikin manusia krg oksigen) krn karma manusia?Memang ada akibat yang mempengaruhi banyak manusia atau bahkan secara global. Meski begitu, tetap akibat bagi setiap orang berbeda. Misalnya Jakarta sering banjir, tapi antara sesama warga Jakarta saja berbeda nasibnya. Ada daerah yang memang datarannya tinggi, jadi tidak banjir. Di antara sesama warga di dataran rendah, juga ada yang rumahnya lebih tinggi, jadi secara teknis, rumahnya tidak banjir, walaupun jalanannya banjir.
nanti, kl manusia baiknya ikut kena dampak tsb gmn?
menurut penelitian, kan bumi X thn lg bkl musnah... (tp ya msh misteri sih)Kalau dalam Ajaran Buddha, alam manusia tidak hanya ada di bumi ini saja. Di alam semesta yang tidak terukur ini, terdapat jumlah tata surya yang tidak terhingga banyaknya, masing-masing juga dengan alam manusia dan dewanya. Jadi bisa saja ketika misalnya matahari 'meledak' dan tata surya ini hancur, maka makhluk di bumi sini terlahir di tata surya lain, yang sesuai dengan kammanya. Selain terlahir di alam manusia, tentu juga bisa terlahir di alam lain, karena kalau bumi hancur, belum tentu alam sorga juga ikut hancur.
kl bener, bgmn dg lingkaran samsara nya?
Trmksh. :)
mudah2 an yg 'suci' dan 'pintar' itu bkn saya.. ;)Iya, Buddhisme percaya adanya kehidupan di luar bumi, tapi tidak dijelaskan apakah bentuk/modelnya mirip di sini atau bagaimana.
oh, jd dldm buddha mempercayai adanya galaksi lain dng kehidupannya msg2 y?
apa ini termasuk mempercayai adanya alien? (mahluk asing dg berbagai wujudnya)
nah, kl mendapat 'pencerahan' itu berarti sdh mjd Buddha kah? kl sdh mjd Buddha di bumi ini, apa mjd Buddha jg di bumi lain?
trmksh. :)
oh.. bgt.. Thx bgt..Definisi Hindu itu terlalu luas karena menyangkut cara hidup yang sangat luas. Tapi kalau Hindu secara umum, berbeda dengan Buddhisme itu misalnya dalam hal "atman/atta" di mana dalam Hinduisme dipahami ada satu substansi yang ketika mencapai moksha (pencerahan versi Hindu), maka akan bergabung dengan Maha-atman. Karena dikenal 'atman', maka teori kelahiran kembalinya juga berbeda. Dalam Hinduisme dikenal sebagai reinkarnasi yang kalau diibaratkan seperti mutiara yang terbungkus 'kulit' yang berbeda. Di satu inkarnasi seseorang bisa berbeda dengan inkarnasi lain, tapi memiliki inti yang tetap sama. Kalau dalam Buddhisme, tidak ada 'mutiara' tersebut, semua hanyalah kumpulan yang berproses. Hal lain yang cukup berbeda adalah Buddhisme menolak sistem kasta. Buddha memang membagi 4 kelompok (kasta) perumahtangga, tapi tidak menganggap satu kelompok lebih mulia. Buddha mengatakan seseorang lebih mulia karena moralitas dan kebijaksanaannya, bukan karena kelahiran atau status di masyarakat.
hm, 1 lg.. apa bedanya Hindu dan Buddha?
mengapa ada peleburan spt Hindu Dharma ? bs kah hal ini terjadi sebaliknya? (mis. Buddha-Hindu)
Tmksh. :)
NB: Anjati itu apa y?
oh.. TQ2.. wah, mkn tau lbh dlm nih... ;DKalau saya menggambarkan, atman itu seperti batu baterai. Batu baterai bisa masuk ke senter, maka senter itu menyala; bisa juga dimasukkan ke bel, maka bel itu berbunyi. Senter menyala dan bel berbunyi itu seperti hidup dalam satu inkarnasi. Berbeda bentuk, namun tetap 'baterai' yang sama yang berpindah ke kehidupan lain.
tp, saya krg paham ttg 'mutiara yg dibungkus' bisa kasih contohnya seperti apa?
trmksh. _/\_ (Anjali y? ^^)
Tanya om,bagaimana cara mengenalkan/mengajarkan buddhism kepada mereka yg kurang berpendidikan/pas2an pendidikannya?Bodoh dalam hal intelektual bukan berarti bodoh dalam pemahaman. Kalau untuk yang bodoh dalam pemahaman (seperti keras kepala, 'cangkir penuh'), maka menurut saya itu tidak bisa dijangkau dengan orang biasa.
Thank sebelumnya
Thx. Kainyn_kutho..Sama-sama.
sebenernya msh banyak list bingungnya di otak.. tp saya takut malahan jd kesel.. Hehehe...
jd yg ini aja deh.. msh nyambung sm yg kmrn... kl bedanya sama Buddha dg Kong hu chu juga Taoisme apa? koq, tmn saya yg Biddhsit, ada yg ikut imlek an jg?Saya juga kurang tahu (=sudah banyak lupa) tentang Kong Hu Cu & Taoisme. Kalau Kong Hu Cu, fokusnya adalah kemanusiaan, bagaimana seseorang menjadi manusia yang baik, berguna bagi keluarga dan negara. Nilai-nilai yang diajarkan juga universal seperti seseorang harus menjunjung tinggi kebenaran, punya integritas, dan lain-lain. Jadi selain dari ritual (yang adalah pengaruh budaya setempat), nilai-nilainya seharusnya bisa diterima oleh siapapun (yang menjunjung tinggi kebaikan juga, tentunya), termasuk Buddhis.
[at] Kainyn_KuthoThanks sudah diingatkan.
Penjelasan "kenapa teman saya yang Biddhsit ikut Imlekan juga" belum nih. :D
koq, tmn saya yg Biddhsit, ada yg ikut imlek an jg?Imlek itu bukan ritual dan tidak ada hubungannya dengan agama/kepercayaan, tapi perayaan dimulainya musim semi, saat orang mulai bertanam. Perayaan ini adalah tradisi setempat, dan sama sekali tidak bertentangan dengan Ajaran Buddha, maka tidaklah heran seorang Buddhist merayakan imlek.
↑ Citta : lebih kurang sinonim dengan mano ‘pikiran’, tetapi lebih sering digunakan seperti ‘hati’ dalam bahasa Indonesia (mengetahui isi hati seseorang, dan sebagainya)apakah citta bisa digolongkan ke vedana? Atau ke bentuk2 pikiran?
*pertanyaan tambahan,
pikiran tidak bisa diandalkan(karena sering mengelabui),perasaan/vedana tidak bisa diandalkan(karena sering "mendramatisir" kondisi)..
Pertanyaannya,lalu apa yg diandalkan??
?citta-kah??
Citta
apakah citta bisa digolongkan ke vedana? Atau ke bentuk2 pikiran?
*pertanyaan tambahan,Pikiran yang mengelabui adalah pikiran yang tidak terkendali, yang dikuasai oleh noda-noda. Jadi bukan kita tidak mengandalkan pikiran, tapi mengandalkan pikiran yang terkendali, yang tidak dikelabui oleh noda-noda pikiran. Perasaan pikiran juga muncul dari kontak pikiran dengan objek pikiran. Bagaimana objek pikiran ini muncul juga tergantung pada pikiran (terkendali atau tidak).
pikiran tidak bisa diandalkan(karena sering mengelabui),perasaan/vedana tidak bisa diandalkan(karena sering "mendramatisir" kondisi)..
Pertanyaannya,lalu apa yg diandalkan??
?citta-kah??
CittaCitta bukan vedana, tapi proses jalannya persepsi tersebut. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca dalam (Maha-)Satipatthana Sutta (DN 22 atau MN 10) bagian perenungan perasaan (vedanupassana) & pikiran (cittanupassana).Quote↑ Citta : lebih kurang sinonim dengan mano ‘pikiran’, tetapi lebih sering digunakan seperti ‘hati’ dalam bahasa Indonesia (mengetahui isi hati seseorang, dan sebagainya)apakah citta bisa digolongkan ke vedana? Atau ke bentuk2 pikiran?
2. Om pernah menyinggung mengenai koan zen mengenai bendera dan pikiran yg bergerak,dan menyindir dgn bertanya "jika tidak ada yg menderita lalu siapa yg tercerahkan??"cmiiwSaya tidak ingat pernah bilang tentang itu, ada referensinya? Yang saya ingat adalah menyindir pemakaiannya yang salah, yaitu tentang pikiran bergerak & mengatakan salah, maka berarti salah; kalau pikiran bergerak & mengatakan benar, berarti benar. Jadi sebetulnya tidak ada yang benar & salah, semua hanyalah pikiran yang bergerak.
Mohon jelaskan lg..
seputar pikiran jg... kita kenal dg Hipnotis-hipnoterapi, pandangan Buddha pada fenomena ini bagaimana? :)Kalau pandangan Buddha sendiri saya tidak tahu karena belum pernah baca sutta tentang itu. Saya juga tidak mendalami Abhidhamma, jadi tidak bisa membahas secara detail tentang klasifikasi pikiran.
Trmksh.
Maaf tanya2 ya om Kainyn ;DWah, saya bukan ahli meditasi, jadi sebetulnya kurang tepat juga kalau tanya ke saya.
kalau cahaya yang semakin menyilaukan saat meditasi itu apaan ya? ;D. Soalnya uda 2 hari cahaya silau itu muncul dalam meditasi saya. Karena pertamanya tidak silau jadi saya masih bisa memusatkan pikiran pada keluar masuk napas. Tapi lama2 makin silau, dan karena terlalu silau (padahal tutup mata dan dikamar juga gak ada lampu) jadi saya hentikan meditasi saya ;D. Maaf kalo ada salah kata ya om. Terima kasih ;D.
om,mau tanya soal sosial-politik..Setahu saya, kalau produsen yang terkenal biasanya menjaga kualitas karena tidak mau merusak nama baiknya. Walaupun misalnya dirakit di negara yang tenaga kerjanya lebih murah, tapi mereka tetap punya Quality Control yang ketat, harus sesuai standard mereka.
samakah kualitas produk elektronik yg bermerk SERUPA tapi beda negara pembuatannya?
Contoh, ac tosibha made china,dan ac tosibha made jepang..
*fenomena di masyarakat baik sales elektronik,teknisi,maupun pedagang selalu pesimistis terhadap produk buatan negara berkembang(china,indonesia) padahal merknya merk jepang/eropa
Thank
Setahu saya, kalau produsen yang terkenal biasanya menjaga kualitas karena tidak mau merusak nama baiknya. Walaupun misalnya dirakit di negara yang tenaga kerjanya lebih murah, tapi mereka tetap punya Quality Control yang ketat, harus sesuai standard mereka.
Stigma barang buatan China di sini juga sebagian besar karena permainan dagang kurang sehat di mana pihak tertentu sengaja memasukkan barang 'rongsokan' dari China untuk didistribusikan di sini, sehingga timbul stigma di masyarakat bahwa barang China (seperti Motor China) adalah barang jelek. Dengan begitu, produsen lama (non-China) bisa bertahan tidak langsung tergerus habis.
Kita gunakan akal sehat saja. Indonesia juga mengekspor barang ke negara-negara maju, tapi hanya barang-barang kualitas terbaik yang bisa masuk ke sana. Kalau memang barang China jelek, maka tidak mungkin negara-negara barat kebanjiran produk China dan khawatir dominasi pasarnya akan bergeser. Untuk apa khawatir tersaingi barang rongsokan? Yang dikhawatirkan adalah tersaingi produksi yang lebih besar, lebih murah, tapi kualitas sama, atau paling tidak, mendekati sama.
Sekadar menambahkan opini Bro Kainyn...
China adalah negara produsen dan eksportir handal. China bisa memproduksi barang segala macam kualitas. Prinsip mereka adalah menjual barang sesuai dengan kualitas. Kebanyakan importir meminta barang kualitas bagus dengan harga murah. Semua orang pasti mau seperti itu, bukan? Nah, China memakai teknik dagang para leluhur mereka:
"berikan barang sesuai dengan kemampuan pembeli untuk membayar".
Jika pembeli (importir) mau bayar dengan harga murah, sudah tentu China akan mengekspor produk kualitas jelek ke negara importir. Tentu saja eksportir dari China tidak akan bilang to the point seperti: "eh owe kasih barang jelek yah, soalnya loe mei you qian la...". ^-^
Jadi tolong jangan lagi mencap bahwa produk-produk "Made in China" pasti barang kualitas jelek dan murah. China punya banyak produk berkualitas dunia dan harganya tentu tidak murah.
apakah dalam artian , produk yang di buat adalah hasil permintaan dari pemesan itu sendiri. dengan menyesuaikan kekuatan keuangan dari perusahaan itu?
kalau hal ini saya setuju, karena kebanyakan penjual/pembuat mengikuti selera pemesan
Ada yang mengikuti selera pesanan pembeli. Ada juga yang memang menjual "barang murah" karena untuk menyesuaikan anggaran belanja sang pembeli.setuju bro ;D
Sekadar menambahkan opini Bro Kainyn...Iya, saya dengar mereka memang membuat produk sesuai pesanan, sesuai harga. Produk sepintas mirip, tapi kualitas bahan dan pembuatan beda2 tergantung 'budget' pemesan. Jadi pesen kualitas "top" dilayani, pesen kualitas "sampah" juga dilayani. Begitu juga mereka eksport berdasarkan demand sesuai standard masing-masing negara. Berhubung Quality Control di Indonesia ini sangat "mengagumkan", maka barang jelek buatan China di sini juga sangat umum ditemui.
China adalah negara produsen dan eksportir handal. China bisa memproduksi barang segala macam kualitas. Prinsip mereka adalah menjual barang sesuai dengan kualitas. Kebanyakan importir meminta barang kualitas bagus dengan harga murah. Semua orang pasti mau seperti itu, bukan? Nah, China memakai teknik dagang para leluhur mereka:
"berikan barang sesuai dengan kemampuan pembeli untuk membayar".
Jika pembeli (importir) mau bayar dengan harga murah, sudah tentu China akan mengekspor produk kualitas jelek ke negara importir. Tentu saja eksportir dari China tidak akan bilang to the point seperti: "eh owe kasih barang jelek yah, soalnya loe mei you qian la...". ^-^
Jadi tolong jangan lagi mencap bahwa produk-produk "Made in China" pasti barang kualitas jelek dan murah. China punya banyak produk berkualitas dunia dan harganya tentu tidak murah.
Iya, saya dengar mereka memang membuat produk sesuai pesanan, sesuai harga. Produk sepintas mirip, tapi kualitas bahan dan pembuatan beda2 tergantung 'budget' pemesan. Jadi pesen kualitas "top" dilayani, pesen kualitas "sampah" juga dilayani. Begitu juga mereka eksport berdasarkan demand sesuai standard masing-masing negara. Berhubung Quality Control di Indonesia ini sangat "mengagumkan", maka barang jelek buatan China di sini juga sangat umum ditemui.
Bro kayin, saya coba baca2 tentang Buddha, sejarahnya.. ada yang dr kemaren ingin saya tanyakan tentang "5 sammasam Buddha"Menurut Tradisi Theravada, semua ajaran Buddha adalah sama persis, yaitu tentang 4 Kebenaran Mulia.
1. Apakah ajaran masing2 Buddha pasti sama?
2. lalu, mengapa saya menemukan kalimat "Ajaran Buddha Gotama sdh kadaluarsa krn era Buddha Mateya dst.."?Sebab ada orang kurang beruntung yang menganut ajaran yang lapuk oleh waktu dan terus mencari 'kebenaran' yang baru.
3. mengapa Ajaran Buddha bisa memudar? apakah ini membuktikan sesuatu yg baik itu tdk memiliki kekekalan?Buddha sasana adalah berkondisi; muncul ketika seorang Samma Sambuddha ada dan memutar roda dhamma, tenggelam ketika orang tidak lagi menjalankan hidup sesuai dhamma-vinaya, dan memilih hidup sesuai nafsu dan egonya saja. Betul, ini pun membuktikan bahwa semua fenomena berkondisi adalah tidak kekal.
4. Jika Buddha Mateya lahir dengan ajaran yg dibawanya.. apakah manusia masih bisa mengenali bahwa itu adalah ajaran Buddha? apa ciri2nya?Kalau dari Tradisi Theravada, seorang Samma Sambuddha muncul hanya pada masa tidak ada Buddha-sasana, ketika semua Ajaran Buddha (terdahulu) sudah dilupakan secara total. Jadi sekarang ini, tidaklah mungkin Bodhisatta Metteyya muncul.
5. Bagaimana Proses seorang Sammasam Buddha? mengapa Buddha Gotama jg mengalami reinkarnasi?Proses seorang Samma Sambuddha ini maksudnya proses apa?
(poin ini sy benar2 tdk mengerti jd kl memang panjang penjelasan nya boleh dikasih linknya aja ^^)
6. Apakah pada saat lahirnya Buddha Gotama pada masa lalu itu.. ajaran Buddha sebelumnya sudah terlupakan?Betul, Ajaran dari Samma Sambuddha sebelumnya (Buddha Kassapa), sudah lama terlupakan sama sekali. Tidak ada Buddha-dhamma yang 'beredar' saat itu.
7. Mengapa hanya ada 5 sammasam Buddha? apakah mahluk lain tdk ada yg berkompeten?Samma Sambuddha jumlahnya TIDAK TERHINGGA, karena selain Buddhisme mempercayai kehidupan bukan hanya di galaksi ini, waktu yang telah berlalu juga adalah tidak terhingga, sehingga kalau mau ditelusuri Buddha yang pernah ada di galaksi ini saja, tetap jumlahnya tak berhingga.
8. Apakah sammasam Buddha mengetahui segala-galanya? (seperti konsep keTuhanan)Betul, Samma Sambuddha memiliki Sabbannuta-ñana yang mengenal segenap fenomena. Bedanya dengan konsep Ketuhanan personal dari kepercayaan lain adalah seorang Buddha TIDAK mahakuasa. Itulah sebabnya Buddha TIDAK BISA menyucikan orang lain, hanya bisa membimbing saja.
Trmksh. :)
untuk poin 5 : maksudnya proses saat Buddha Gotama belum mencapai pencerahan... (maap kl bkn bingung hehe)Untuk kemudahan, saya berikan penjelasan istilah sedikit.
untuk poin 7 : yg saya baca Samma SamBuddha itu Buddha no.1 dan ada 5 (tp hrs cr lagi link nya) yg terkahir adalah Buddha MateyaSamma Sambuddha adalah jenis dari seseorang yang mencapai pencerahan, jadi bukan merujuk pada satu persona.
untuk spoiernya : dr situs yg sama.. dibahas katanya saat manusia mencapai usia terendah barulah sang Buddha yg Baru muncul jika Mateya adalah yg terakhir maka terjadilah kesudahan bumi CMIIWSetelah manusia mencapai usia terendah, baru manusia 'bertobat' dan usia manusia memanjang kembali. Pada saat usia rata-rata manusia 80.000 tahun, barulah Bodhisatta Metteyya lahir. Kalau tidak salah ingat, seorang Buddha tidak akan muncul di mana usia rata-rata manusia kurang dari 100 tahun atau lebih dari 100.000 tahun. Kurang dari 100 tahun berarti kondisi dan moralitas manusia kurang mendukung untuk memahami Ajaran Buddha; lebih dari 100.000 tahun juga sulit memahami dukkha karena usia yang terlampau panjang dan kehidupan yang bahagia.
Trmksh. :) :)
Maaf tanya2 ya om Kainyn ;D
kalau cahaya yang semakin menyilaukan saat meditasi itu apaan ya? ;D. Soalnya uda 2 hari cahaya silau itu muncul dalam meditasi saya. Karena pertamanya tidak silau jadi saya masih bisa memusatkan pikiran pada keluar masuk napas. Tapi lama2 makin silau, dan karena terlalu silau (padahal tutup mata dan dikamar juga gak ada lampu) jadi saya hentikan meditasi saya ;D. Maaf kalo ada salah kata ya om. Terima kasih ;D.
untuk bodhisatta Gotama... berarti dia jg ttp menerima karma dlm tumimbal lahir ya?Bukan hanya bodhisatta, Buddha pun masih menerima akibat dari karma masa lalu, maka kita lihat dalam kehidupan terakhirnya, masih sering mendapat berbagai masalah. Bedanya, seorang Buddha tidak menanam karma yang baru.
dan itu diakumulasi seiring proses dia mjd Buddha bgt?Ya, betul, bisa memiliki kemampuan demikian adalah akumulasi dari latihan dan kebajikan yang sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Maka itu jangan menganggap 'Buddha' adalah orang yang terpilih, beruntung, atau bagaimana, tapi dimengerti bahwa semua kemuliaan dan kesempurnaannya adalah hasil dari perjuangannya sendiri yang tidak kenal lelah, dalam kurun waktu yang sulit terpikirkan lamanya.
dan untuk yg kiamat itu.. yg saya baca katanya bisa terbentuk kembali di bumi / galaksi lain.. benarkahBetul, jika sesuai kammanya sesosok makhluk akan lahir di alam manusia, tapi di satu galaksi sedang mengalami masa kehancuran, maka bisa saja ia terlahir di alam manusia galaksi lain, yang sesuai dengan kammanya.
Pertanyaan lainnya:1. Apakah serial Film serial Kera Sakti itu bagian dr ajaran Buddha?Bukan, itu adalah adaptasi dari novel fiksi. Tokoh Tong Sam Cong-nya memang ada, ia mencari kitab suci di India karena Tripitaka yang beredar di masanya tidak lengkap. Tapi karakter lain dan kejadian-kejadiannya sepertinya hanya 'bumbu' saja.
2. Apakah benar ada siluman? golongan manakah mereka?Kalau ini masih kurang jelas karena tidak ada penjelasannya. "Siluman" yang pernah saya dengar ada 2 jenis: yang pertama adalah manusia yang menggunakan ilmu kebathinan, dan ke dua adalah memang hewan yang memiliki kesaktian (apakah sebagai sisa kamma masa lalu, atau mungkin memang mengembangkannya lewat samadhi).
3. Bisakah siluman mjd setara dng dewa (dr Filmnya)Ini saya kurang tahu, tapi setahu saya tetap tidak. Bisa saja ia setara setelah tumimbal lahir menjadi dewa karena kebaikannya.
4. Apakah benar ada Dewa langit, bumi dkk? Apakah maksudnya Dewa penguasa teritorial langit-bumi? apa fungsi-tugasnya?Benar ada atau tidaknya saya belum buktikan sendiri, tapi kalau menurut dhamma, memang ada. Sepertinya mereka memang menjalani kehidupan saja sebagaimana kita hidup, masing-masing dengan tugasnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Bedanya, mereka ada di dimensi berbeda dan memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia. (Mungkin perbandingannya seperti hewan : manusia = manusia : dewa.)
5. Siapa yg menetapkan mereka mjd dewa? Siapa Dewa utamanya sebelum para dewa lainnya ada?Makhluk terlahir menjadi dewa atau apapun adalah sesuai dengan kammanya. Bagaimana seseorang menjadi pemimpin dewa juga juga adalah sesuai kammanya. Misalnya sekarang ini dipercaya Sakka (penguasa Tavatimsa) adalah bekas manusia bernama Magha dari marga Kosiya. Ia bersama 33 temannya melakukan kebajikan yang sangat besar sehingga ia terlahir menjadi penguasa sorga bersama 33 temannya, maka sorga tersebut dikenal dengan Tavatimsa (tavati = 33).
6. dlm seri Kera sakti, dikatakan juga ada seorang dewi menciptakan bumi... apakah ini ajaran menyimpang?Dalam dhamma yang saya pelajari, tidak ada dewi demikian. Alam semesta berproses sesuai hukum alam, demikian pula terbentuk dan hancurnya bumi. Tidak ada pencipta/penghancur di sini.
Tanya;Jawaban dari itu sama saja seperti kalau saya tanya: film bioskop Transformers baru ada 2, dan akan keluar yang ke 3. Kenapa kalau lapak DVD bisa ketemu 'Transformers 4"?
bodhisattva metteya belum jadi buddha tapi kenapa alirannya sudah ada ya, om?
Tanya;
bodhisattva metteya belum jadi buddha tapi kenapa alirannya sudah ada ya, om?
Bro Kainyn, apakah perpisahan adalah dukkha atau keinginan untuk terus bersamanya yang adalah dukkha ?Perpisahan bukanlah dukkha, kemelekatan/keinginan untuk terus bersama seseorang yang menyebabkan perpisahan itu menimbulkan perasaan tidak menyenangkan.
Bro Kainyn, apakah perpisahan adalah dukkha atau keinginan untuk terus bersamanya yang adalah dukkha ?
menurut Dhammacakkappavatana Sutta, "perpisahan dengan yg dicinta adalah dukkha"Demikianlah mencintai menimbulkan dukkha ketika ada perpisahan, membenci menimbulkan dukkha ketika ada pertemuan.
Belajar dari diskusi di atas,Betul, menurut saya begitu. Pertemuan dan perpisahan adalah fenomena yang wajar. Saat kita tidak melekat pada apapun, maka segala fenomena yang 'mendatangi' kita, tidak lagi menyebabkan kebahagiaan maupun penderitaan.
Berpisah dengan yang dicintai adalah dukkha (ingin tetap bersama yg dicinta)
Berpisah dengan yg dibenci adalah sukha (ingin berpisah dengan yg dibenci)
Jadi, bukan perpisahan yang menyebabkan dukkha, tetapi keinginan yang menyebabkan dukkha.Paticca samuppada ini adalah sebuah rantai yang terjadi terus-menerus dan sangat rumit, bukan satu rangkaian proses sederhana. Misalnya ketika indera bertemu objek, maka timbullah perasaan. Namun sebetulnya dalam kenyataannya, bagaimana perasaan itu timbul juga telah dipengaruhi kemelekatan.
Tapi.... sebelum ada rasa ingin (baik berpisah atau bertemu)......rasa cinta atau benci timbul duluan....berarti perasaan mendahului keinginan.......
Jadi inget paticca samuppada.......,bisa jadi karena hal inilah dijelaskan tentang perlunya pandangan terang....perasaan disadari sebagai perasaan agar tidak berkembang menjadi keinginan........ timbulnya keinginan dihadang dengan pengetahuan jernih tentang perasaan...... sehingga tidak berlanjut pada ratap tangis.....
Betul, menurut saya begitu. Pertemuan dan perpisahan adalah fenomena yang wajar. Saat kita tidak melekat pada apapun, maka segala fenomena yang 'mendatangi' kita, tidak lagi menyebabkan kebahagiaan maupun penderitaan.
Paticca samuppada ini adalah sebuah rantai yang terjadi terus-menerus dan sangat rumit, bukan satu rangkaian proses sederhana. Misalnya ketika indera bertemu objek, maka timbullah perasaan. Namun sebetulnya dalam kenyataannya, bagaimana perasaan itu timbul juga telah dipengaruhi kemelekatan.
Secara sederhana: kontak (indera & objek) -> perasaan -> keinginan -> kemelekatan
Secara nyata: kontak (indera & objek) telah dipengaruhi kemelekatan, maka perasaan yang timbul bisa sangat bervariasi.
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?Misal seorang konsultan pajak yg harus "menyetir" laporan pajak klaiennya
Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.
Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?Kalau menurut saya, menjadi ambisius atau tidak adalah pilihan, bukan sebuah jalan yang pasti dilalui oleh seorang umat awam. Memang kondisi setiap orang beda-beda, tapi saya ada teman yang sangat tidak ambisius tapi kerjanya benar, malah diangkat untuk posisi penting walaupun dia sendiri justru minta agar tidak diberikan posisi itu.
Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.
Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Kalau menurut saya, menjadi ambisius atau tidak adalah pilihan, bukan sebuah jalan yang pasti dilalui oleh seorang umat awam. Memang kondisi setiap orang beda-beda, tapi saya ada teman yang sangat tidak ambisius tapi kerjanya benar, malah diangkat untuk posisi penting walaupun dia sendiri justru minta agar tidak diberikan posisi itu.
Orang ambisius sikut kiri-kanan memang kadang (bukan selalu) lebih mendapatkan kesempatan, tapi menurut saya, keuntungan yang didapat tidaklah sebanding dengan karakter buruk yang dibangun. Belum lagi kita perhitungkan kamma.
Bertentangan dengan banyak pendapat umum yang sering saya dengar bahwa berlatih itu adalah sewaktu kita meditasi*, saya berpendapat bahwa kita berlatih dalam keseluruhan hidup kita. Tidak akan terjadi kita menikmati kesenangan indriah di siang hari, lalu berdiam dalam jhana di malam hari. Sepanjang hari, senantiasa adalah latihan kita. Meditasi 'hanyalah' refleksi jernih atas apa yang kita lakukan sehari-hari. Jadi kalau ditanya apakah bisa misalnya orang mengalami kemajuan dengan meditasi di satu waktu dan mengembangkan ego di waktu lain, menurut saya tidak bisa. Ketika ia meninggalkan egonya, barulah bisa mengalami kemajuan dalam latihan.
*Beberapa orang berpendapat dirinya telah mahir dalam meditasi setelah jam terbang meditasi atau retret meditasi tertentu, namun perilaku kesehariannya adalah mengumbar ego, tidak ada bedanya atau bahkan lebih buruk dibanding dengan orang biasa.
Mau tanya pertanyaan klise om,Menurut saya, kehidupan adalah sebuah perjalanan komedi tragis yang sinis.
Apa makna kehidupan bagi om kainyt-kutho?
Tanya lg om,
Bagaimana menjelaskan nirwana(bukan nibbana) kepada umat awam(yg betul2 awam)
*yg mereka tahu nirwana itu sebuah alam surga*
om tanya om... bagaimana mengembalikan kepercayaan diri kita.share pengalaman,
dan bagaimana cara kita melatih kepekaan kita terhadap keinginan konsumen
xie2 om ;D
numpang jawab, mana tau dapat GRPWalupun :hammer:
nirwana adalah salah satu tempat tujuan bagi orang yg sudah meninggal dunia.
nama lengkapnya adalah Krematorium Nirwana, berlokasi di Marunda, Jakarta
Tanya lg om,Jelaskan mulai dari apa yang terlihat:
Bagaimana menjelaskan nirwana(bukan nibbana) kepada umat awam(yg betul2 awam)
*yg mereka tahu nirwana itu sebuah alam surga*
numpang jawab, mana tau dapat GRPJawaban ini memang harus dianugerahi "Babi Rica-rica Panggang".
nirwana adalah salah satu tempat tujuan bagi orang yg sudah meninggal dunia.
nama lengkapnya adalah Krematorium Nirwana, berlokasi di Marunda, Jakarta
Jawaban ini memang harus dianugerahi "Babi Rica-rica Panggang".
om tanya om... bagaimana mengembalikan kepercayaan diri kita.Kepercayaan diri kita maksudnya di hadapan orang lain? Kalau secara umum, menurut saya, orang tidak percaya diri adalah karena pikirannya menempatkan dirinya dalam posisi yang canggung dan tidak nyaman. Saya pikir bisa dibiasakan untuk membiasakan diri berbicara pada semua orang dengan suasana pikiran seperti mengobrol saja, tapi mungkin topik dan tata bahasanya lebih serius tergantung keadaan.
dan bagaimana cara kita melatih kepekaan kita terhadap keinginan konsumen
xie2 om ;D
:hammer: malah dapat BRP;D Memangnya beneran ada yang setega itu? Yang pasti bukan saya.
share pengalaman,Saya setuju bahwa Satipatthana adalah kunci dari memahami kesombongan/keminderan, over-PD/under-PD. Hanya saja ketika kita 'keluar' dari satipatthana dan menjalani kehidupan sehari-hari, maka kecenderungan pola pikir yang lebih menentukan.
mengenai kepercayaan diri, harus timbul suatu pandangan benar, mengenai
apa itu PD? dan penyadaran akan ego, hal ini dapat di realisasikan melalui perhatian yg terus menerus terhadap gerak pikiran, dan harus terus bersosialisasi dgn masyarakat, baik dr kalangan atas/bawah.
sehingga percaya diri secara internal itu keluar, kalau di lukiskan, anda berbicara di depan CEO untuk menawarkan produk anda dengan menggunakan celana pendek,sendal jepit,kaos oblong pun, anda berani.!
mengenai kepekaan, berlatihlah satipathana...
akan sangat membantu dalam menganalisa pikiran lawan dan gerak gerik lawan.(konumen mksdnye)
*kalo ngaco, mangga di babat
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?Jadi teringat kata JK...pikiran ini bersifat 'dualitas' diperlukan dlm kehidupan sehari2 namun juga sbg sumber konflik/penderitaan..jd dia membuat tantangan 'mampukah 'pikiran' ini berhenti dan hanya 'digunakan' jika 'diperlukan'...
Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.
Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Bro Kainyn,Mungkin harus lihat situasi juga. Manusia karakternya beragam, kita tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama pada setiap orang, atau dalam setiap komunitas. Jadi kita menilai bagaimana karakter orang atau komunitas, lalu melihat apakah yang mereka bicarakan, apakah tujuannya, apakah bermanfaat (bagi kita atau bagi mereka) jika kita bergaul di sana, dan lain-lain. Jika memang setelah kita menilai tidak ada manfaatnya bicara, tidak perlulah bicara.
dalam berkomunikasi dengan seseorang terkadang kita berusaha untuk bersikap lebih luwes dan komunikatif, namun malah menerima suatu perlakuan yang mungkin agak berbeda, Misal disepelekan, diacuhkan, dinomorduakan, dll. Dalam hal ini, tentunya bisa saja hal ini benar adanya dan bisa juga hal ini hanya perasaan belaka. Berefleksi dan aktif mendengarkan saran tentu saja harus dilakukan. Namun, tidak selamanya kita dapat mengaplikasikan saran yang diterima apabila bertentangan dengan karakter dan prinsip.
Bagaimana kira-kira cara menganggulangi hal ini ?
Apakah kira-kira bisa dievaluasi karakter dan prinsip yang tidak bermanfaat ?
Saya setuju bahwa Satipatthana adalah kunci dari memahami kesombongan/keminderan, over-PD/under-PD. Hanya saja ketika kita 'keluar' dari satipatthana dan menjalani kehidupan sehari-hari, maka kecenderungan pola pikir yang lebih menentukan.jika memang ingin mengetahui orang lain (khusus bro wal) belajar objek kasina,
Satipatthana juga membuat kita peka terhadap pikiran sendiri, bukan pikiran orang lain. Untuk 'memahami' orang lain sebetulnya susah-susah-gampang. Bagian yang gampangnya adalah: 'bersedialah mendengarkan, menerima input dari dia'. Menurut saya begitu.
Jadi teringat kata JK...pikiran ini bersifat 'dualitas' diperlukan dlm kehidupan sehari2 namun juga sbg sumber konflik/penderitaan..jd dia membuat tantangan 'mampukah 'pikiran' ini berhenti dan hanya 'digunakan' jika 'diperlukan'...Saya kurang paham karena bagaimana 'berhenti' dan 'penggunaan pikiran' ini tidak detail. Tapi kalau menurut yang saya persepsi, saya tetap tidak setuju bahwa ada kalanya pikiran 'dualistik, lalu ada kalanya pikiran 'non-dualistik'. Ketika seseorang telah terbebas dari pandangan 'dualistik', maka pandangan tersebut sudah tidak lagi ada di sana.
Bagaimana pendapat om kainyn?
jika memang ingin mengetahui orang lain (khusus bro wal) belajar objek kasina,Sorry, menyanggah sedikit.
tp saya tidak menganjurkannya, karena ntar hidup tdk tenang
Saya setuju bahwa Satipatthana adalah kunci dari memahami kesombongan/keminderan, over-PD/under-PD. Hanya saja ketika kita 'keluar' dari satipatthana dan menjalani kehidupan sehari-hari, maka kecenderungan pola pikir yang lebih menentukan.
Satipatthana juga membuat kita peka terhadap pikiran sendiri, bukan pikiran orang lain. Untuk 'memahami' orang lain sebetulnya susah-susah-gampang. Bagian yang gampangnya adalah: 'bersedialah mendengarkan, menerima input dari dia'. Menurut saya begitu.
Jadi teringat kata JK...pikiran ini bersifat 'dualitas' diperlukan dlm kehidupan sehari2 namun juga sbg sumber konflik/penderitaan..jd dia membuat tantangan 'mampukah 'pikiran' ini berhenti dan hanya 'digunakan' jika 'diperlukan'...
Bagaimana pendapat om kainyn?
Ikut nimbrung,Betul, idealnya adalah setiap saat tanpa terputus. Itu yang dikatakan bahwa kalau bisa melakukannya tanpa terputus selama 7 hari, maka pencapaian kesucian Arahatta pun bisa terjadi. Masalahnya, sudah sejauh mana kita 'berjalan'? Apakah kita masih dikuasai kesenangan & kesedihan?
Btw, Satipatthana keknya bukan pada saat latihan aja, tapi setiap momen, hanya saja perhatian kesadarannya (sati) harus dilatih terlebih dahulu.
Dijelaskan oleh guru Chah, sati dilatih awalnya kek air kran yang netes (momen tertentu), lama2 kalo tekun dan konsisten tetesannya makin kenceng sampai akhirnya bukan netes lagi tapi mengalir. Kalu udah mengalir, bayangannya adalah setiap saat "sadar".
Kalo udah bisa memahami "diri" sendiri, saya rasa kita dapat memahami "orang lain", karena pada dasarnya sama.
(lagi2 perumpamaan guru Chah), kek daun2 di (satu) pohon, kita cukup mengetahui satu daun maka kita dapat mengerti daun lainnya.
Betul, idealnya adalah setiap saat tanpa terputus. Itu yang dikatakan bahwa kalau bisa melakukannya tanpa terputus selama 7 hari, maka pencapaian kesucian Arahatta pun bisa terjadi. Masalahnya, sudah sejauh mana kita 'berjalan'? Apakah kita masih dikuasai kesenangan & kesedihan?
Itu adalah pertanyaan yang baik untuk "diri" masing2, syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan.......haiizzz.....Hm... maksudnya "syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan......." ini apa yah?
Saya kurang paham karena bagaimana 'berhenti' dan 'penggunaan pikiran' ini tidak detail. Tapi kalau menurut yang saya persepsi, saya tetap tidak setuju bahwa ada kalanya pikiran 'dualistik, lalu ada kalanya pikiran 'non-dualistik'. Ketika seseorang telah terbebas dari pandangan 'dualistik', maka pandangan tersebut sudah tidak lagi ada di sana.
Saya contohkan misalnya saya tidak memeluk pandangan personal-theism. Maka dalam segala aspek hidup, pandangan tersebut tidak 'menggerakkan' saya, termasuk ketika saya membahas personal-theism dan menempatkan diri di posisi seorang theist.
Jadi saya tidak melihat pikiran (dualistik) berhenti itu seperti ada on-off, tapi sekali pikiran itu berhenti, maka tidak ada lagi di sana, walaupun dalam kehidupan sehari-hari, intelektualitasnya mengarahkan dia beraktivitas seperti halnya orang yang masih berpikiran dualistik.
Jika konteksnya adalah ketika kita berlatih, maka senantiasa melatih keadaan 'diamnya pikiran' kapanpun hal tersebut memungkinkan, dan hanya 'larut dalam bergeraknya pikiran' ketika memang diperlukan (dalam kegiatan sehari-hari), maka saya setuju.
Thx om for the answer...mungkin yg dimaksud dgn 'dualitas' adalah pikiran sbg sumber penderitaan/konflik sekaligus juga 'pencerahan' itu yg saya persepsi....kalimat tantangan JK itu mungkin yg dimaksud bg 'org yg berlatih' bkn 'org yg udah mencapai pencerahan' ..apa pendapat om kainyn?
Hm... maksudnya "syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan......." ini apa yah?
Maksudnya sebagai umat awam (apalagi udah berkeluarga), persentasi waktu dalam keseharian, "tenggelam" dalam urusan dunia yang mengharuskan berhubungan dengan konvensi (liat link di post atas) dan kekotoran batin orang lain (serta diri sendiri). Hal untuk "berjalan" bisa kabur apabila "sati" emang belum dilatih. Oleh karena itulah saya katakan syukur2 masi inget nanya karena dari pengalaman sendiri lebih banyak "tenggelamnya".Iya, betul. Kehidupan umat awam lebih 'susah' karena kesibukan duniawinya. Maka kalau lingkungan (keluarga atau teman) dan keadaan bisa mengingatkan kita pada 'sati', adalah juga keuntungan besar.
Lain hal kalo sati-nya udah dilatih, gak perlu nanya2 lagi keknya karena udah inget.....sati.....
Mungkin dokumentasi khotbah di bawah ini bisa memberikan masukan,Thx atas linknya om,.tp blm bs dibaca sekarang...apakah artikel ini pernah diterbitkan dlm satu buku karya ajahn chah ( yg bahasa indo) ?
Bagi saya pribadi isi khotbah ini benar2 luar biasa, bisa anda diskusikan sendiri apa bedanya dengan yang dimaksud JK,
http://www.ajahnchah.org/book/Convention_Liberation1.php (http://www.ajahnchah.org/book/Convention_Liberation1.php)
Jika konteksnya adalah ketika kita berlatih, maka senantiasa melatih keadaan 'diamnya pikiran' kapanpun hal tersebut memungkinkan, dan hanya 'larut dalam bergeraknya pikiran' ketika memang diperlukan (dalam kegiatan sehari-hari), maka saya setuju.
Thx om for the answer...mungkin yg dimaksud dgn 'dualitas' adalah pikiran sbg sumber penderitaan/konflik sekaligus juga 'pencerahan' itu yg saya persepsi....kalimat tantangan JK itu mungkin yg dimaksud bg 'org yg berlatih' bkn 'org yg udah mencapai pencerahan' ..apa pendapat om kainyn?
Thx atas linknya om,.tp blm bs dibaca sekarang...apakah artikel ini pernah diterbitkan dlm satu buku karya ajahn chah ( yg bahasa indo) ?
Kalo saya membayangkan hal di atas, tidak lebih dari orang yang mampu mencapai Jhana.Walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, (selama ia masih 'memilikinya') kondisi pikirannya berbeda dengan orang yang tidak memiliki jhana. Yang paling kentara adalah tidak munculnya nafsu indriah walaupun terjadi kontak.
Setelah keluar dari jhana, tidak ada kesadaran (sati) tidak beda dengan orang yang tidak berlatih.
Kilesa hanya tertekan pada saat "diam", dan kembali dengan kekuatan penuh pada saat keluar dari keadaan "diam".
Walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, (selama ia masih 'memilikinya') kondisi pikirannya berbeda dengan orang yang tidak memiliki jhana. Yang paling kentara adalah tidak munculnya nafsu indriah walaupun terjadi kontak.
Apabila "hanya" Jhana, tapi belum mendapatkan kebijaksanaan (panna),Jhana dan kebijaksanaan memang berbeda. Yang saya bahas adalah 'jhana' tidak seremeh itu karena walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, selama ia masih 'memiliki'-nya, nafsu indriah tidak akan menguasainya.
Maka nafsu indra bisa muncul sewaktu-waktu, tidak jauh beda dengan orang yang tidak berlatih.
Hanya kebijaksanaanlah yang dapat menghadang larut dalam kilesa.
Apabila seseorang dapat menyadari timbulnya nafsu dan tidak menurutinya, maka besar kemungkinan orang tersebut tidak sekedar mencapai Jhana namun telah mendapatkan kebijaksaan dalam bhavana.
Jhana dan kebijaksanaan memang berbeda. Yang saya bahas adalah 'jhana' tidak seremeh itu karena walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, selama ia masih 'memiliki'-nya, nafsu indriah tidak akan menguasainya.
Hal tersebut berbeda dengan satipatthana puthujjana di mana kondisi meditatif dan non-meditatif itu bisa sama sekali tidak berhubungan, sama sekali tidak berpengaruh.
Jhana tidak bisa "disimpan".
Kalo menurut ane, itu "hanya" karena "hiri" dan "ottapa", walaupun hiri-ottapa sebenarnya bentuk kebijaksanaan juga.
(mudah2an tidak bosen, perumpamaan dari guru Chah lagi).
Jhana adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput, selama batu ditaruh, rumput tertekan dan tidak bisa tumbuh, tetapi setelah keluar dari keadaan Jhana hal ini bagaikan mengangkat batu itu kembali dan rumput kembali tumbuh dengan leluasa seperti sebelumnya,
sedangkan Panna adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput dan tidak mengangangkat dan membawanya lagi.
Jhana dan kebijaksanaan memang berbeda. Yang saya bahas adalah 'jhana' tidak seremeh itu karena walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, selama ia masih 'memiliki'-nya, nafsu indriah tidak akan menguasainya."memiliki" dalam artian apa ya bro?
Hal tersebut berbeda dengan satipatthana puthujjana di mana kondisi meditatif dan non-meditatif itu bisa sama sekali tidak berhubungan, sama sekali tidak berpengaruh.
Jhana tidak bisa "disimpan".benul tdk bisa di simpan, namun munculnya nafsu indria, ini saya pikir bukan karena hiri dan otapa, (walaupun hiri dan otapa bs sebagai pengerem)
Kalo menurut ane, itu "hanya" karena "hiri" dan "ottapa", walaupun hiri-ottapa sebenarnya bentuk kebijaksanaan juga.
(mudah2an tidak bosen, perumpamaan dari guru Chah lagi).
Jhana adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput, selama batu ditaruh, rumput tertekan dan tidak bisa tumbuh, tetapi setelah keluar dari keadaan Jhana hal ini bagaikan mengangkat batu itu kembali dan rumput kembali tumbuh dengan leluasa seperti sebelumnya,
sedangkan Panna adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput dan tidak mengangangkat dan membawanya lagi.
"memiliki" dalam artian apa ya bro?Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.
I'm buddhis...cuma pernah baca beberapa artikel JK aja..saya juga paling suka baca buku ajahn chah,artikel2 yg ditulis berdasarkan pengalama pribadi beliau,jarang sekali 'text book'..
Sekedar saran, dalam membaca JK sebaiknya diimbangi dengan tulisan lain, apabila anda Buddhist, sebaiknya bacalah ajaran2 Bhikku hutan.
Pelajarilah kenapa ajaran JK disebut "True but not right, right but not true."
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.Yg aku tanggap dr pernyataan JK itu bkn meditasi konsentrasi,,hanya kesadaran pasif tanpa adanya campur tangan 'aku'..namun sekali lagi ini hanya spekulasi pikiran saja...
Yg aku tanggap dr pernyataan JK itu bkn meditasi konsentrasi,,hanya kesadaran pasif tanpa adanya campur tangan 'aku'..namun sekali lagi ini hanya spekulasi pikiran saja...Iya, saya tahu yang bro wijaya maksudkan bukan Samatha. Saya membahas perbandingannya hanya karena postingan dari bro hendrako.
Iya, saya tahu yang bro wijaya maksudkan bukan Samatha. Saya membahas perbandingannya hanya karena postingan dari bro hendrako.Ok om kainyn its clear now..
benul tdk bisa di simpan, namun munculnya nafsu indria, ini saya pikir bukan karena hiri dan otapa, (walaupun hiri dan otapa bs sebagai pengerem)
melainkan karena kekuatan fokusing kita ke 1 objek,
Kenapa perumpamaan tentang panna nya seperti jhana juga yang menekan kekotoran batin ? :-?
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.
I'm buddhis...cuma pernah baca beberapa artikel JK aja..saya juga paling suka baca buku ajahn chah,artikel2 yg ditulis berdasarkan pengalama pribadi beliau,jarang sekali 'text book'..
Mungkin rancu di bahasa, lebih pasnya memiliki kemampuan masuk ke dalam kondisi Jhana setiap waktu yang diinginkan.Mungkin yang dimaksud bro hendrako adalah vasi, seperti ketika Mahamoggallana diizinkan menaklukkan Naga Nandopananda karena ia memiliki kemampuan masuk Jhana IV dalam seketika. Tapi tetap bukan itu yang saya maksudkan.
Ini adalah kemampuan/keterampilan tingkat yang sudah amat sangat tinggi.
Tuhan DC keknya punya kompilasi ajaran Ajahn Chah versi bahasa Indonesia, tapi belum dipublish, mungkin masih sibuk......Judulnya apa ya?
Mungkin yang dimaksud bro hendrako adalah vasi, seperti ketika Mahamoggallana diizinkan menaklukkan Naga Nandopananda karena ia memiliki kemampuan masuk Jhana IV dalam seketika. Tapi tetap bukan itu yang saya maksudkan.
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.
Selama orang 'memiliki' jhana, ia tidak akan dikuasai nafsu indriah, walaupun ia tidak sedang berada dalam jhana. Ketika dikuasai nafsu indriah, maka otomatis jhana-nya 'luntur'. Seperti dalam Jataka, Bodhisatta begitu melihat bagian tubuh permaisuri yang kainnya tersingkap, maka ia dikuasai nafsu, jhana & kesaktiannya 'luntur'.
Judulnya apa ya?
Apabila memang benar demikian, maka (apapun artinya) "memiliki" jhana tidak ada gunanya dalam menghadapi nafsu indera, ini bagaikan mempunyai pistol tanpa peluru, atau mempunyai rompi anti peluru tapi sedang tidak dipakai, jadi tetap kalah "tertembak" dari peluru kilesa.Tidak seperti itu. "Keluar" dari jhana bukan seperti melepas rompi anti peluru. Kehilangan jhanalah yang seperti kehilangan rompi anti peluru tersebut. Susah menggambarkan sebuah kondisi pikiran, tetapi kalau saya memberikan perumpamaan seperti sebuah rumah dengan pintunya yang berat dan seseorang yang tinggal di dalamnya. Ketika seseorang itu kuat, maka ia mampu menutup pintu rumah tersebut rapat2, berdiam di dalamnya tanpa ada bahaya yang bisa memasuki rumah tersebut. Bahkan seandainya pun pintu itu tidak tertutup, karena ia ada dan berjaga di sana, maka tidak ada pencuri yang masuk. Ketika orang tersebut menjadi lemah, maka bukan saja ia tidak bisa menutup pintu rumahnya, ia pun tidak bisa menahan pencuri masuk ke rumahnya walaupun ia berdiri di depan pintu.
Kalo dipandang dari sudut pandang lain lagi, tingkatan kesucian sotapanna misalnya, dikatakan masih belum mampu mengatasi nafsu indera, sementara dalam pandangan umum tingkatan kesucian ini hanya dapat dicapai bukan dengan Jhana (saja) tetapi lewat pandangan terang. Hanya pada tingkat anagami nafsu indra telah diatasi. Dari sini dapat dilihat bahwa Jhana (saja) masih belum dapat mengatasi nafsu (pada saat sedang tidak dalam Jhana), tetapi harus ada panna (sebagaimana perumpamaan pada post sebelumnya). Oleh karena itulah saya berpendapat bahwa sebelum seseorang telah mendapatkan pengetahuan lewat pandangan terang, yang bekerja menghalau nafsu adalah hiri-ottapa.Saya tidak ingin jauh berspekulasi tentang pikiran para ariya, tapi kalau sejauh apa yang duga, dalam diri para ariya, (pada perumpamaan di atas) rumahnya sudah tidak ada lagi. Pada sotapanna, rumah itu sudah kehilangan pondasinya, tapi masih ada tembok dan atap, maka masih mungkin 'pencuri' berdiam di sana. Semakin tinggi pencapaiannya, semakin menghilang pula rumahnya.
Tidak seperti itu. "Keluar" dari jhana bukan seperti melepas rompi anti peluru. Kehilangan jhanalah yang seperti kehilangan rompi anti peluru tersebut. Susah menggambarkan sebuah kondisi pikiran, tetapi kalau saya memberikan perumpamaan seperti sebuah rumah dengan pintunya yang berat dan seseorang yang tinggal di dalamnya. Ketika seseorang itu kuat, maka ia mampu menutup pintu rumah tersebut rapat2, berdiam di dalamnya tanpa ada bahaya yang bisa memasuki rumah tersebut. Bahkan seandainya pun pintu itu tidak tertutup, karena ia ada dan berjaga di sana, maka tidak ada pencuri yang masuk. Ketika orang tersebut menjadi lemah, maka bukan saja ia tidak bisa menutup pintu rumahnya, ia pun tidak bisa menahan pencuri masuk ke rumahnya walaupun ia berdiri di depan pintu.
Rumah adalah pikiran, pintu adalah kontak indriah, pencuri adalah nafsu indriah, orang yang tinggal di dalamnya adalah konsentrasi. Ketika konsentrasi kuat dan pintu tertutup, dikatakan ia berdiam dalam jhana. Ketika pintu terbuka, namun dijaga oleh seorang kuat yang mampu mengarahkan tenaganya menutup pintu, ia dikatakan memiliki jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana.
Saya tidak ingin jauh berspekulasi tentang pikiran para ariya, tapi kalau sejauh apa yang duga, dalam diri para ariya, (pada perumpamaan di atas) rumahnya sudah tidak ada lagi. Pada sotapanna, rumah itu sudah kehilangan pondasinya, tapi masih ada tembok dan atap, maka masih mungkin 'pencuri' berdiam di sana. Semakin tinggi pencapaiannya, semakin menghilang pula rumahnya.
Kalau melihat perumpamaan di atas, berarti pada saat seseorang kedatangan tamu maka orang itu menutup pintu, kalau tdk salah tangkap itu berarti orang tersebut masuk ke dalam keadaan jhana. Hal ini agak janggal, karena ini berarti bahwa setiap ada obyek yang diperkirakan mengundang kemelekatan maka orang tersebut mengatasi dengan masuk ke dalam jhana. Jadi dalam satu hari bisa jadi orang tersebut masuk keadaan jhana berulang kali.Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.
Dan tetap saja hal di atas menunjukkan bahwa hanya dalam keadaan jhana lah nafsu indera tidak dapat masuk.Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.
Setelah keluar kemungkinan pencuri masuk tetap terbuka lebar. Metoda begini lebih cenderung ke mmd deh, yaitu hanya pada saat pikiran diam si "aku" tidak ada, tetapi si "aku" muncul kembali setelah keluar dari keadaan diam.Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.
Keknya saya sudah menangkap maksud "memiliki" disini, hanya saja dalam hal ini masih tidak sependapat. ;)Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.
Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?Kebahagiaan meditasi dan kebahagiaan inderawi itu adalah hal yang bertolak belakang. Ketika orang sedang menikmati kebahagiaan meditasi, maka tidak melihat kebahagiaan duniawi sebagai kebahagiaan. Demikian pula ketika seseorang menikmati kebahagiaan duniawi, tidak melihat kebahagiaan meditasi sebagai kebahagiaan.
Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?
Kalau selagi dalam jhana maka jawabannya iya, bahwa tidak tertarik pada kenikmatan indera, tetapi kalo keluar dari jhana yah masih bisa tertarik akan nafsu indera.
Masalahnya kan tidak bisa mempertahankan jhana itu 24 jam penuh setiap harinya.
Kalau selagi dalam jhana maka jawabannya iya, bahwa tidak tertarik pada kenikmatan indera, tetapi kalo keluar dari jhana yah masih bisa tertarik akan nafsu indera.Dalam jhana pun bisa kok, kalau konsentrasinya melemah. Itulah sebabnya para Arupa Brahma dan Asannasatta bisa 'terjatuh' walaupun dalam keadaan jhana.
Masalahnya kan tidak bisa mempertahankan jhana itu 24 jam penuh setiap harinya.
Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.
Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.
Dalam konteks puthujjana, ketika pikiran 'ditenangkan', tidak dibiarkan berdiam melekat pada satu ide, menolak satu ide, atau mengembangkan satu ide, maka itu adalah bagian dari latihan untuk memahami fenomena. Terserah apakah MMD sama, mirip, atau lain sama sekali, saya tidak peduli. Apakah bertentangan dengan bhikkhu tenar ini atau bhikkhuni tenar itu, guru meditasi ini, praktisi meditasi itu, saya juga tidak peduli. Itu hanyalah pendapat saya pribadi.
Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.
Dalam jhana pun bisa kok, kalau konsentrasinya melemah. Itulah sebabnya para Arupa Brahma dan Asannasatta bisa 'terjatuh' walaupun dalam keadaan jhana.
Dalam jhana pun bisa kok, kalau konsentrasinya melemah. Itulah sebabnya para Arupa Brahma dan Asannasatta bisa 'terjatuh' walaupun dalam keadaan jhana.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.
pada saat memiliki 5 faktor jhana, maka dikatakan orang itu berdiam dalam jhana 1. berdiam dalam jhana ini tidak harus dalam postur tubuh duduk merem, bisa saja sambil melakukan aktivitas sehari2.
Tidak setuju. (seperti penjelasan pada post sebelumnya)Saya lihat kita tidak nyambung. Sejak kapan saya katakan memahami fenomena harus dalam jhana? ;D
Kalo udah Arya (minimal sebelum Arahat) , sudah tidak perlu Jhana untuk menghalau Kilesa, tapi dengan panna.
Untuk memahami fenomena, justru harus keluar dari Jhana.
Kalo dalam konteks MMD saya peduli, bukan karena bertentangan dengan Bhikku tenar ini atau itu, tetapi berdasarkan kesimpulan dari pembelajaran bahwa ajarannya menyimpang. Tapi yang jelas bukan label MMD-nya tetapi isi ajarannya, label hanyalah label, alat untuk berkomunikasi (konvensi).
Yup, alami sekali. ;)
Kalo konsentrasinya lemah, itu mah bukan Jhana namanya. ;DYang saya katakan, sebuah noda pikiran, sesuai kamma, bisa timbul bahkan ketika orang berada dalam jhana, sehingga konsentrasinya melemah, dan otomatis jhananya 'luntur'.
pada saat memiliki 5 faktor jhana, maka dikatakan orang itu berdiam dalam jhana 1. berdiam dalam jhana ini tidak harus dalam postur tubuh duduk merem, bisa saja sambil melakukan aktivitas sehari2.Menurut saya tidak begitu. Ketika kelima faktor tersebut dimunculkan bersamaan, maka orang tersebut berdiam dalam jhana 1. Ada sebuah fase yang dilewati yang berbeda dengan pikiran pada saat sehari-hari. Itulah sebabnya lebih susah masuk ke jhana IV yang 'cuma' perlu 1 faktor, ketimbang jhana I yang perlu 5 faktor.
Menurut saya tidak begitu. Ketika kelima faktor tersebut dimunculkan bersamaan, maka orang tersebut berdiam dalam jhana 1. Ada sebuah fase yang dilewati yang berbeda dengan pikiran pada saat sehari-hari. Itulah sebabnya lebih susah masuk ke jhana IV yang 'cuma' perlu 1 faktor, ketimbang jhana I yang perlu 5 faktor.saya mengartikan ketidakhadiran faktor sbg tdk memiliki faktor. Ketika salah satu faktor absence maka ia dikatakan tidak berada dlm jhana.
Berdiam dalam jhana memang tidak harus duduk. Kalau merem, saya kurang tahu. Tapi berdiam dalam jhana tidak dapat dilakukan sambil melakukan aktivitas sehari-hari sebab dalam aktivitas sehari-hari, pikiran tidak dapat berdiam dalam 1 objek dan selalu merespon semua input dari indera.
Saya lihat kita tidak nyambung. Sejak kapan saya katakan memahami fenomena harus dalam jhana? ;D
Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.
Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.
Dalam konteks puthujjana, ketika pikiran 'ditenangkan', tidak dibiarkan berdiam melekat pada satu ide, menolak satu ide, atau mengembangkan satu ide, maka itu adalah bagian dari latihan untuk memahami fenomena. Terserah apakah MMD sama, mirip, atau lain sama sekali, saya tidak peduli. Apakah bertentangan dengan bhikkhu tenar ini atau bhikkhuni tenar itu, guru meditasi ini, praktisi meditasi itu, saya juga tidak peduli. Itu hanyalah pendapat saya pribadi.
Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.
Atau jangan-jangan keliru tentang istilah 'pikiran' seperti di masa lalu? Kalau untuk itu, saya minta maaf karena 'urat' saya tidak sekuat Pak Hudoyo.Ane gak mudeng soal istilah 'pikiran seperti di masa lalu ? Maksudnya apa nih? tapi no problem ah.
Yang saya katakan, sebuah noda pikiran, sesuai kamma, bisa timbul bahkan ketika orang berada dalam jhana, sehingga konsentrasinya melemah, dan otomatis jhananya 'luntur'.
Ini saya tuliskan untuk merespon spekulasi bahwa kalau dalam jhana, semua aman.
Untuk berikutnya, saya juga tidak akan menanggapi spekulasi jhana dari bro hendrako. Silahkan saja menganut paham jhana seperti orang pingsan/koma. Nanti kalau bro hendrako sudah mendekati/mencapai jhana, saya tunggu bro hendrako kembali ke sini dan meluruskan pandangan salah saya. Sementara itu, baiklah kita bicarakan yang nyata saja.
Sementara itu, baiklah kita bicarakan yang nyata saja.
Menurut saya tidak begitu. Ketika kelima faktor tersebut dimunculkan bersamaan, maka orang tersebut berdiam dalam jhana 1. Ada sebuah fase yang dilewati yang berbeda dengan pikiran pada saat sehari-hari. Itulah sebabnya lebih susah masuk ke jhana IV yang 'cuma' perlu 1 faktor, ketimbang jhana I yang perlu 5 faktor.
Berdiam dalam jhana memang tidak harus duduk. Kalau merem, saya kurang tahu. Tapi berdiam dalam jhana tidak dapat dilakukan sambil melakukan aktivitas sehari-hari sebab dalam aktivitas sehari-hari, pikiran tidak dapat berdiam dalam 1 objek dan selalu merespon semua input dari indera.
saya mengartikan ketidakhadiran faktor sbg tdk memiliki faktor. Ketika salah satu faktor absence maka ia dikatakan tidak berada dlm jhana.
Mau tanya,Praktik pertapaan keras (dhutanga) adalah praktik untuk lebih mendisiplinkan diri. Kalau tidak salah, pertapaan keras ini memang sudah ada tradisinya, tapi yang diperbolehkan oleh Buddha adalah 13 praktik. Pertapaan ini juga pilihan dan boleh dijalani oleh mereka yang cocok & mampu.
1. Apa yang membedakan praktik Dhutanga dengan praktik ke-bhikkhu-an biasa? Kalau tidak salah, salah satunya adalah makan satu kali sehari? siapa yang menetapkan peraturannya (apakah si bhikkhu sendiri)?
2. Apa perbedaan praktik Dhutanga dengan praktik menyiksa diri (satu dari dua ekstrem)?Dhutanga masih dalam cakupan jalan tengah karena tujuannya adalah mendisiplinkan indriah untuk menunjang latihan. Berbeda dengan menyiksa diri yang memang untuk menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada tubuh.
3. Apa tujuan praktik Dhutanga?Sebetulnya dhutanga atau tidak, sama saja bagi seorang bhikkhu tujuannya adalah pengikisan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Bedanya dhutanga adalah bentuk yang lebih keras saja. Mahakassapa, Mahasavaka terunggul dalam dhutanga menolak menghentikan dhutanga-nya walaupun umurnya sudah tua karena ingin memberikan contoh bagi generasi berikut agar mengambil jalan yang sama, dan mencapai hasil yang sama sepertinya (nibbana).
Mau tanya lagi,Ada peraturan bhikkhuni tidak tinggal jauh dari kota. Hal ini karena kejadian Upalavanna (Aggasavika) yang diperkosa oleh sepupunya.
Apakah ada peraturan misalnya seorang bhikkhuni tidak boleh tinggal sendirian di hutan, karena berbahaya?
Saya pernah membaca tentang kisah seorang bhikkhuni (Arahat) yang dihadang oleh seorang pria di hutan. Pria ini jatuh cinta padanya dan memuji mata bhikkhuni ini (dikatakan indah), tapi bhikkhuni tsb menasehati pria ini bahwa mata adalah salah satu bagian tubuh yang menjijikkan. Lalu di akhir cerita, bhikkhuni ini mengeluarkan bola matanya.
Kalo dalam konteks Jhana 1, iya.
Tapi keknya kalo dalam konteks Jhana 2, faktor pertama "ditinggalkan".
Satu persatu faktor ditinggalkan sampai tinggal Ekagata pada Jhana 4.
Untuk seorang bhikkhu, sila yang dijalankan adalah 227 sila. Hal ini mirip dengan mata pelajaran standard di SMU, sedangkan dhutanga kalau diumpamakan lebih mirip dengan kegiatan ekstrakurikuler seperti les piano, matematika kumon, melukis dll yang sifatnya untuk mengembangkan potensi diri yang ada dalam diri seseorang.om dragon
Setiap bagian dari dhutanga mempunyai tujuan untuk mengurangi suatu keterikatan seseorang yang berlebihan pada sesuatu hal. Biasanya dengan praktek sila standar akan kurang cepat dalam mengurangi keterikatan itu.
Contohnya, sebelumnya saya tidak menyadari bahwa saya ini orang yang gemar tidur (kemalasan berlebihan), maka oleh guru saya setelah mengetahui ini saya disarankan latihan dhutanga untuk tidur dengan tidak berbaring.
Di lain waktu ada seorang samanera yang sewaktu mendapat makanan, timbul keserakahan yang berlebihan. Beliau di tegur oleh guru saya dan dianjurkan untuk makan hanya sekali dalam sehari.
Jadi setiap orang mempunyai kadar keterikatan yang berbeda2 pada suatu hal, nah tujuan dhutanga adalah untuk mengatasi hal ini, agar nantinya kemajuan spritual yang dicapai bisa lebih cepat.
wawh.. udh kelewat jauh... :o
Thx bwt jawaban yg kemaren bro kainyn..
bro, krmn ini saya jg kepikiran ttg kisah Buddha matteya yg berkorban untuk harimau betina...
kl dr sisi harimaunya, apakah harimau betina tsb ga terhitung membunuh? apakah dia bs mendapatkan kamma buruk dr pengorbanan Buddha Matteya?
mohon penjelasannya.
Trmksh. :)
wawh.. udh kelewat jauh... :oYang berkorban itu Bodhisatta Gotama. Bodhisatta Metteyya itu murid utamanya yang disuruh pergi mencari sisa makanan.
Thx bwt jawaban yg kemaren bro kainyn..
bro, krmn ini saya jg kepikiran ttg kisah Buddha matteya yg berkorban untuk harimau betina...
kl dr sisi harimaunya, apakah harimau betina tsb ga terhitung membunuh? apakah dia bs mendapatkan kamma buruk dr pengorbanan Buddha Matteya?
mohon penjelasannya.
Trmksh. :)
Yang berkorban itu Bodhisatta Gotama. Bodhisatta Metteyya itu murid utamanya yang disuruh pergi mencari sisa makanan.
Kalau menurut saya, sepertinya berbeda antara manusia dan harimau dalam hal pembunuhan. Harimau dan binatang buas lain memang terkondisi untuk hidup dari membunuh mangsa. Walaupun sepertinya juga sama-sama kamma buruk, tapi berbeda dengan manusia yang memang membunuh karena kebencian. Kalau dalam cerita pengorbanan bodhisatta, harimaunya tidak membunuh, tapi bodhisatta yang mengorbankan diri.
Bro Kainyn,
Saya pernah membaca sebuah artikel. Di artikel itu si penulis bercerita bahwa ada temannya yang sedang berjuang mengatasi masalah personalnya (karir, percintaan, rasa kebahagiaan). Dia mengatakan bahwa dia ingin menulis sebuah buku yang judulnya refleksional menurut saya.
Menurut bro kainyn, apa jawaban yang tepat untuk judul buku tersebut ;D
"If i am not special, then who am i ?"
Saya belum baca bukunya, jadi hanya jawab seadanya saja dan mungkin tidak tepat.
Menurut saya, istimewanya seseorang hanyalah masalah persepsi. Untuk apa kita memperjuangkan sebuah pengakuan, bahkan kadang mengorbankan kebahagiaan kita.
"... then I'm just an ordinary someone and I am content with that. Why should I strive to be other's special someone?"
Bukunya sih belum ada, baru keinginan ;DSaya masih kurang tangkap apakah maksudnya memotivasi bahwa kita semua adalah spesial atau menanggapi kondisi ketika kita tidak dianggap spesial?
Saya masih kurang tangkap apakah maksudnya memotivasi bahwa kita semua adalah spesial atau menanggapi kondisi ketika kita tidak dianggap spesial?
Mungkin hanya sekedar bercerita tentang harapan-harapan dalam hidup dan kenyataannya yang ironis. Saya memang tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan tentang "diri".Ya, memang menarik bagaimana sebetulnya kita semua masih mengejar sebuah eksistensi 'diri'. Kebalikan dari kebanyakan motivator sekarang, Ajaran Buddha justru mengajarkan melepas pandangan 'diri' tersebut.
Nanya dong om,Menimbun produk untuk menaikkan harga adalah strategi berdagang juga. Kalau produk yang ditimbun adalah sesuatu kebutuhan primer yang dibutuhkan (seperti makanan, air bersih, obat, dll) dan menyebabkan penderitaan orang banyak, tentu itu adalah karma buruk. Seharusnya produk-produk demikian juga dikuasai oleh negara dan diatur untuk kemakmuran rakyatnya.
Apa ulah pengusaha yg menimbun suatu produk dan menyebabkan suatu produk menjadi langka termasuk karma buruk?
_/\_ om kainyn, saya mau bertanya tentang sila kedua Pancasila Buddhis, Adinnadana.Tentu saja itu juga mencuri. Ikan itu adalah rejeki/buah kamma baik si kucing, punya dia. Kalau kita ambil, sama saja mencuri. Kecuali kalau si kucing yang memberikan (dan sejujurnya saya juga tidak bisa membedakan ekspresi wajah atau 'ngeongan' kucing ketika memberi ikhlas atau terpaksa).
apakah tindakan pencurian ini berlaku bagi hewan, misalnya saya udah dua hari g makan, kemudian melihat seekor kucing yang baru saja mendapatkan ikan, lalu saya mengambil ikan itu untuk menghilangkan rasa lapar saya, apakah itu termasuk adinnadana?
kemudian kalau misalnya ada kucing yang mencuri ikan di dapur, apakah kucing itu juga termasuk telah melakukan adinnadana?Nah, kalau yang ini agak rumit karena kita berusaha memahami pikiran kucing. Walaupun saya belum sakti, tapi kita coba bahas sedikit. Misalnya kita tinggal di desa yang berbeda yang dipisahkan oleh hutan. Hutan itu bukan milik siapapun, dan kita bisa ambil sesuka hati. Suatu saat kita masuk hutan sama-sama dan melihat satu apel yang super-lezat. Maka kita berdua berlomba mengambil apel tersebut. Siapapun yang dapat, tidak mencurinya dari yang lain. Hidup hanyalah sebuah perlombaan tanpa henti, segala cara dilakukan untuk bertahan hidup.
makasih sebelumnya om.. :)
Tentu saja itu juga mencuri. Ikan itu adalah rejeki/buah kamma baik si kucing, punya dia. Kalau kita ambil, sama saja mencuri. Kecuali kalau si kucing yang memberikan (dan sejujurnya saya juga tidak bisa membedakan ekspresi wajah atau 'ngeongan' kucing ketika memberi ikhlas atau terpaksa).soalnya begini om, ada sumber yang menuliskan definisi dari kata adinnadana itu ada mengambil barang milik orang lain, kalo g salah ini dari asal kata adinnadana, adinna (barang milik orang lain), kalo g salah ingat om.
Nah, kalau yang ini agak rumit karena kita berusaha memahami pikiran kucing. Walaupun saya belum sakti, tapi kita coba bahas sedikit. Misalnya kita tinggal di desa yang berbeda yang dipisahkan oleh hutan. Hutan itu bukan milik siapapun, dan kita bisa ambil sesuka hati. Suatu saat kita masuk hutan sama-sama dan melihat satu apel yang super-lezat. Maka kita berdua berlomba mengambil apel tersebut. Siapapun yang dapat, tidak mencurinya dari yang lain. Hidup hanyalah sebuah perlombaan tanpa henti, segala cara dilakukan untuk bertahan hidup.jadi kalau misalnya si kucing tidak mempunyai pikiran untuk mencuri, itu tidak bisa disebut adinnadana y om?
Berikutnya karena kita lelah kejar-kejaran, cakar-cakaran, rebut-rebutan, maka hutan itu kita bagi dua, area A buat saya, area B buat sis Hema. Kalau kemudian saya ambil apel di area B, maka itu disebut mencuri.
Jadi saya pikir mencuri atau tidak adalah tergantung pikiran si pelaku. Kalau si pelaku memang tidak tahu tentang kepemilikan dan mengambil sesuatu, maka tidak bisa dibilang mencuri. Binatang juga bervariasi, kalau mereka yang liar, yang tidak berhubungan dengan manusia, biasanya 'pandangannya' adalah hukum rimba, seperti kasus yang pertama. Semuanya bukan milik siapapun, dan boleh melakukan cara apapun untuk mendapatkan makanan & bertahan hidup. Kalau binatang yang tinggal di antara manusia, biasanya pandangannya berbeda dan tahu tentang kepemilikan. Contohnya kucing kalau ada makanan di piring yang biasa digunakan olehnya, maka dia bisa makan dengan tenang. Tapi kalau makanan di dapur, dia harus 'nge-garong' untuk mendapatkannya karena tahu itu bukan miliknya dan tahu risikonya kalau tertangkap mencuri.
Jadi menurut saya kesimpulannya sama saja seperti manusia, semua kembali pada kondisi pikiran si pelaku.
soalnya begini om, ada sumber yang menuliskan definisi dari kata adinnadana itu ada mengambil barang milik orang lain, kalo g salah ini dari asal kata adinnadana, adinna (barang milik orang lain), kalo g salah ingat om.Kalau untuk detail yang kaku pada definisi sebuah sila, sebetulnya menurut saya adalah tidak bermanfaat. Dalam melatih diri, walaupun sila digunakan sebagai acuan, tapi fokusnya adalah mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Dalam sila ke dua ini, yang dominan adalah keserakahan. Jika kita melihat ke dalam, maka terlepas dari siapa/apa pemilik benda tersebut, keinginan untuk merebutnya yang didasari kemelekatan adalah tidak bermanfaat. Jika kita melihat ke luar, maka walaupun tidak didasari oleh keserakahan, hanya sekadar kebutuhan, mengambil sesuatu yang mengakibatkan penderitaan bagi orang/makhluk lain, sudah seharusnya dihindari.
jadi timbul keraguan om, kalo barang milik binatang itu termasuk g ya?
tapi dari penjelasan om kainyn, seperti sangat yakin itu termasuk.. :)
tapi saya seperti masih belum terlalu yakin om.. ;D
mohon penjelasannya lagi.. _/\_
atau mungkin ada tulisan2 (sutta) yang pernah om kainyn baca yang kiranya mendukung penjelasan ini.
jadi kalau misalnya si kucing tidak mempunyai pikiran untuk mencuri, itu tidak bisa disebut adinnadana y om?Kalau si kucing memang tidak memiliki pikiran 'kepemilikan', maka memang dia tidak membedakan 'punyaku' dan 'punyamu'. Dia mengambil tidak dibilang mencuri, dan diambil pun tidak bisa dibilang tercuri.
tapi kalau manusia yang ikannya dicuri itu merasa kehilangan dan dirugikan atas perbuatan si kucing, apa adinnadana masih tidak terjadi om?
kemudian bagaimana kalau si kucing mencuri makanan kucing lainnya (sesama spesies, bukan manusia) apakah itu juga termasuk adinnadana? sesama kucingkan mereka mungkin bisa lebih mengerti.. ;DSama saja, kembali lagi ke si pelaku, bukan interaksi pelaku & korban. Mau kucing vs kucing, kucing vs orang, atau kucing vs gajah, sama saja. Menurut saya begitu. :)
maaf saya banyak bertanya om.. ^:)^
tapi ini betulan g ngerti.. ;D
Saya pernah dengar ada seorang bhante yang menderita sakit perut cukup lama dan sulit diobati. Saat bermeditasi, ia mengetahui bahwa sakit itu dikarenakan, di kehidupan lalunya ia lupa memberi makan binatang peliharaannya selama beberapa hari sehingga binatang itu kelaparan. Saya kurang tahu keakuratan kisah ini. Jika benar, bukankah kamma adalah niat si pelaku? bukankah di sini ia lupa dan tidak berniat membuat binatang peliharaannya kelaparan?Betul, kamma adalah dari niatnya. Saya pikir kalau lupa memberi makan binatang peliharaan adalah sebuah kelalaian saja, tapi bukan menanam kamma buruk. Tapi bisa juga kamma buruk itu terjadi akibat dari kemelekatan pada perasaan bersalah atas penderitaan (kelaparan) binatang tersebut. Kalau soal kamma, sudah terlalu rumit untuk diketahui dengan pasti.
_/\_ Selamat Siang Om Moderator umum.......... ;D Ada sedikit pertanyaan nih?Selamat siang juga, bro/sis mettama.
Begini ...... ada contoh kasus dua orang yang berbeda dan memiliki kepandaian yang sama... satu orang tinggalnya di kota dan satunya lagi tinggal di desa yang terpencil dan tidak ada vihara dan fasilitas apapun kurang.
Keahlian yang di miliki orang tersebut adalah Bisa menguasai sutta atau apapun ajaran budha dan bisa mengingatnya dengan baik, sering melakukan kebaikan dengan berdana dan bisa menjaga ke enam inderanya dalam arti bisa bisa mengendalikan diri dengan baik, dan semuanya bisa, dua orang tersebut adalah orang awam ( orang biasa ) dan satu lagi sering membantu orang kesusahan juga.
Tapi kelemahan orang tersebut adalah tidak pernah ke vihara.
Pernytaanya adalah apakah dua orang tersebut sudah sempurna dalam menjalankan keyakinannya kepada Budha, Darma dan sangga?
apakah orang tersebut melanggar sila dengan berkurangnya berkunjung ke vihara?
Sebenarnya untuk melakukan kebaikan atau karma yang baik itu yang paling lengkap itu apakah semuanya dijalani atau dengan contoh kasus diatas itu sudah termasuk 100% karma baik? terimakasih...(pertanyaanya jadi banyak ) ;D _/\_.................... ;D
[at] Bro Kainyn (teman-teman yang lain juga boleh jawab)"What matters to us" itu tergantung pada "HOW we live our lives" (bagaimana kita menjalani hidup). "How we live our live" tergantung pada "How we see what life is" (bagaimana kita memandang apa itu hidup). Itulah sebabnya dalam Ajaran Buddha, Jalan Mulia Berunsur Delapan dimulai dengan "Pandangan benar".
Barusan saya baca kaliamat ini:
"You have the freedom to choose a life that matters for you. The first step is to know what matters for you and to make your choices accordingly."
Diterjemahkan bebas, kira-kira begini:
"Anda memiliki kebebasan untuk memilih hidup yang anda inginkan. Pertama-tama anda harus tahu apa yang benar-benar anda inginkan, lalu kemudian membuat pilihan berdasarkan hal itu."
Nah, bagaimana caranya menemukan apa yang benar-benar kita inginkan?? :'(
Kenapa ya begitu muncul kesadaran akan sesuatu, lalu muncul persepsi, kemudian muncul ilusi diri seakan-akan ada yang sesosok entitas disitu, setelah itu pikiran pun terserat arus (bahagia, sedih, kecewa, dll) ? :|Iya, sepertinya begitu. Walaupun kita tahu secara teori bahwa 'tidak ada diri', namun sebetulnya kita belum lepas dari kemelekatan entitas tersebut. Tanpa disadari, selalu 'diri' terbentuk yang akhirnya memunculkan ilusi-ilusi lainnya yang menyebabkan penderitaan.
Apakah hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian ?
Iya, sepertinya begitu. Walaupun kita tahu secara teori bahwa 'tidak ada diri', namun sebetulnya kita belum lepas dari kemelekatan entitas tersebut. Tanpa disadari, selalu 'diri' terbentuk yang akhirnya memunculkan ilusi-ilusi lainnya yang menyebabkan penderitaan.
Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ? :-?
Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ? :-?Bisa, di Asannasatta.
ada salah satu alam brahma yg konon tanpa persepsi, bisa dicapai melalui pencapaian arupa jhana. silakan dicobaSetahu saya, Asannasatta bukan di Arupa, tapi dicapai dari Arupa Jhana Kekosongan. Ada info tentang hal ini?
"What matters to us" itu tergantung pada "HOW we live our lives" (bagaimana kita menjalani hidup). "How we live our live" tergantung pada "How we see what life is" (bagaimana kita memandang apa itu hidup). Itulah sebabnya dalam Ajaran Buddha, Jalan Mulia Berunsur Delapan dimulai dengan "Pandangan benar".
Berdasarkan pengalaman kita sendiri dalam hidup, cobalah merenungkan dengan objektif hal-hal apakah yang bermanfaat, apakah sekarang ataupun di masa depan. Sering-sering belajar (dari diri sendiri/guru) dan bertukar pengalaman dengan orang lain tentang kehidupan. Dari situ kita bisa memahami hal-hal apa saja yang berdasarkan keterkondisian kita sekarang, adalah bermanfaat.
Mengetahui hal-hal apa yang bermanfaat dalam hidup, kita bisa mengetahui bagaimanakah seharusnya kita menjalani kehidupan, dan berikutnya, kita juga mengetahui hal-hal apa saja yang penting (merupakan prioritas) dalam kehidupan kita.
Iya, sepertinya begitu. Walaupun kita tahu secara teori bahwa 'tidak ada diri', namun sebetulnya kita belum lepas dari kemelekatan entitas tersebut. Tanpa disadari, selalu 'diri' terbentuk yang akhirnya memunculkan ilusi-ilusi lainnya yang menyebabkan penderitaan.Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ? :-?
Kalau dari pertanyaan rooney atas pernyataan kainyn sebelumnya, sepertinya rooney berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan maka kita harus melenyapkan persepsi?
Sepengetahuan saya dari teori, tolong dikoreksi kalau salah, kita tidak perlu bebas dari persepsi untuk memadamkan dukkha (pernyataan saya ini terkait Vipassana Bhavana, bukan Samatha Bhavana).
Alasan saya mengajukan pertanyaan sebelumnya adalah karena saya pernah membaca tentang beberapa alasan yang membuat orang menyesal saat menjelang ajal. Artikel ini ditulis oleh seseorang yang pekerjaannya adalah mendampingi orang-orang yang sedang mendekati ajal mereka. Pada umumnya orang menyesal karena mereka tidak melakukan apa yang benar-benar mereka inginkan. Mereka selama ini hidup "demi orang lain", sesuai harapan orang lain, dan bukan sesuai keinginan mereka sendiri. Alasan penyesalan yang lain adalah mereka terlalu keras bekerja sehingga hanya sedikit waktu untuk keluarga, dst.Memang kurang beruntung kalau seseorang harus menjalani hidup sesuai dengan harapan orang lain. Tapi kadang sesuai harapan sendiri juga belum tentu baik. Terlebih lagi, diri yang sekarang, dulu, dan masa depan juga bisa memiliki pandangan berbeda. Jadi bagaimanapun juga seharusnya seseorang hidup berorientasi pada masa kini tanpa mengabaikan masa lalu dan masa depan, jalani saja tanpa penyesalan.
saya sulit berpikir objektif bro... ;D Kadang pandangan orang lain tentang hidup mereka atau hidup saya, atau pemikiran saya sendiri, bisa membuat saya ragu lagi.Memang pandangan kita terhadap hidup selalu berubah, berkembang, kadang membaik, kadang juga merosot. Karena itulah kita harus selalu belajar dan waspada, apalagi mengingat kita adalah puthujjana yang masih 'berpandangan salah'. Setiap ada keraguan, selidiki dan pelajari.
Bolehkah saya mengambil patokan dari "kebahagiaan"? Maksud saya, selama saya bahagia melakukannya dan hal itu bermanfaat, berarti itulah hal yang benar-benar saya inginkan dalam hidup ini? Apa perbedaan antara 'mengejar kebahagiaan' dengan 'lari dari penderitaan'?Ya, memang pada dasarnya kita semua hanya mengejar kebahagiaan dan menjauhi penderitaan. Sama saja, karena kebahagiaan (duniawi) adalah sebuah sisi lain dari penderitaan. Semua kebahagiaan adalah kebahagiaan bila tetap demikian, namun adalah penderitaan ketika berakhir. Penderitaan juga adalah penderitaan ketika tetap demikian, namun adalah kebahagiaan ketika berubah. Karena hal itulah dikatakan akhir dari penderitaan (nibbana) itulah yang adalah kebahagiaan.
Sebenarnya saya juga tidak sepenuhnya berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, hanya saja karena banyaknya masalah psikologi yang berasal dari persepsi, maka saya mencoba untuk menanyakan kemungkinannya... ;DPanca khanda yang masih dilekati pandangan, itulah yang menimbulkan penderitaan. Ketika persepsi yang masih didasari kemelekatan muncul, maka di situlah dukkha timbul. Beberapa pandangan salah berpikir bahwa persepsinya yang adalah penyebab penderitaan maka berusaha mencoba menghentikan persepsi dengan kekuatan jhana. Karena itulah ia terlahir di Asannasatta, namun tetap saja itu bukanlah kebebasan sejati dan tetap akan terlahir kembali.
Kalau dari pertanyaan rooney atas pernyataan kainyn sebelumnya, sepertinya rooney berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan maka kita harus melenyapkan persepsi?Betul, kita tidak 'menghindari' persepsi untuk mengakhiri dukkha. Namun ketika kita terbebas dari dukkha, maka dengan sendirinya tidak ada lagi penjelmaan baru di masa depan, yang berarti tidak ada lagi persepsi, juga kesadaran, bentuk pikiran, perasaan, dan jasmani.
Sepengetahuan saya dari teori, tolong dikoreksi kalau salah, kita tidak perlu bebas dari persepsi untuk memadamkan dukkha (pernyataan saya ini terkait Vipassana Bhavana, bukan Samatha Bhavana).
Thanks a lot, bro Kainyn :)Sama-sama, bro thres!
Saya ingin bahas sedikit tentang Lima khanda (jasmani, perasaan, persepsi, kesadaran, dan bentukan-bentukan kehendak).Ya, ini memang rumit dan menarik. Setahu saya persepsi adalah sanna, kalau bentukan pikiran (sankhara) memang suka disebut sebagai 'ingatan'.
Pertama, tentang persepsi. Ada yang menerjemahkan Sanna sebagai ingatan (bukan persepsi). Saya berpikir bahwa - dalam kasus tertentu - persepsi dan ingatan adalah dua hal yang berbeda (ingatan adalah bagian dari persepsi).
Contoh Persepsi sama dengan Ingatan:
Saya menilai (mempersepsikan) Tono sebagai orang yang jahat. Ini karena saya mengingat kejahatan Tono pada saya.
Contoh Ingatan sebagai bagian dari Persepsi:
Saya menilai (mempersepsikan) Tono sebagai orang yang jahat karena saya dengar dari teman saya tentang kejahatan Tono. Lalu saya membayangkan kejahatan Tono yang sebetulnya belum pernah saya lihat sebelumnya. Ada "bumbu pemikiran dan khayalan" yang saya tambahkan, dan bukan sekadar Ingatan akan Gosip dari teman saya. Ataukah pemikiran saya, akhirnya menjadi ingatan-ingatan baru (ingatan akan khayalan yang saya anggap nyata)? Jadi, menjadi semacam persepsi yang lebih kompleks?
^Memang kalau tidak salah dalam Paticcasamuppada, salah satu terjemahannya, sankhara adalah bentuk-bentuk kehendak. Kalau tidak salah ingat, sankhara ini ada banyak jenisnya dan kehendak (cetana yang adalah kamma) yang dominan menyertai pikiran.
Saya pernah baca terjemahan Sankhara adalah bentukan-bentukan kehendak.
Selama ini saya kira, misalnya saat bermeditasi, dan terasa pegal. Lalu kita ingin/hendak merubah posisi, kehendak itu adalah contoh bentukan-bentukan kehendak (entahlah apakah cetana adalah salah satu sankhara?).
Itu saya bingung. Tapi kalau Sanna diterjemahkan sebagai kesan dan Sankhara adalah bentukan-bentukan pikiran, saya mengerti. Tapi apakah pengertian kita yang sekarang sama ini, memang benar demikian? atau jangan-jangan nanti jadinya salah berjama'ah lagi ;DKalau mengenai definisi secara pasti, saya juga belum 100% yakin. Semoga saja benar. ;D
Dari yang saya pahami, kaitannya kira-kira begini [dalam kenyataan mungkin lebih kompleks. Jadi tidak perlu dipusingkan kalau sekiranya hanya membuat pusing ;D ] :Pikiran memungkinkan terjadinya persepsi objek pikiran/ide/gagasan/ingatan
Rupa (jasmani) dan Vinnana (kesadaran) memungkinkan terjadinya kontak antara indria dengan objek indria.
Kontak ini menimbulkan Sanna (kesan). Sanna (kesan) diproses dan tersimpan di memori sebagai bagian dari Sankhara (bentukan-bentukan pikiran).Setiap kontak indera terjadi, maka terjadi pula proses pikiran yang memroses dan menimbulkan sankhara (bentuk pikiran). Inilah sebabnya dalam satu momen kontak indriah, biasanya diikuti dua macam perasaan, yaitu perasaan jasmani dan perasaan bathin.
Sanna (kesan) dan/atau Sankhara (bentukan-bentukan pikiran) memungkinkan munculnya Vedana (perasaan).Bukan, seperti di atas, setiap kontak indera, pasti memunculkan perasaan. Dan karena kontak indera apapun pasti juga diikuti indera pikiran, maka dalam satu momen, biasa muncul perasaan jasmani dan perasaan bathin. Perasaan jasmani ini memang bergantung hanya pada jasmani, perasaan bathin ini yang bisa kita ubah.
^Kira-kira begitu. Kalau menurut saya, sanna itu bukan 'hasil' kontak-nya, tapi proses kontak indera dengan objek indera itu sendiri.
Apa benar ringkasnya begini:
Proses pikiran yang muncul saat terjadinya kontak antara indria vs objek indria, memungkinkan munculnya persepsi (Sanna) dan bentuk pikiran (sankhara). Selanjutnya juga memungkinkan munculnya perasaan (Vedana).
Kalau kesadaran (Vinnana) hanya sebatas mengenali terjadinya persepsi (Sanna) saja.
Begitu ya?
^Betul, kalau kita melihat hanya demikian adanya, maka hanya ada proses timbul-tenggelam. Lantas di manakah bisa kita temukan 'diri' atau entitas yang kekal di sana? Ya, sepertinya ini adalah dhammanupassana, ditinjau dari pancakhanda.
Thanks penjelasannya bro Kainyn. Saya sudah sedikit mengerti. Saya tertarik dengan pancakhanda karena saya baca di Perumpamaan Kecapi di Samyutta Nikaya, dikatakan bahwa ketika seseorang memperhatikan bentuk hingga sejauh jangkauan bentuk, perasaan hingga sejauh jangkauan perasaan, persepsi..., kesadaran, bentukan-bentukan kehendak hingga sejauh jangkauan bentukan-bentukan kehendak, maka pandangan tentang adanya aku, diriku, atau milikku, yang selama ini muncul, tidak lagi muncul dalam dirinya.
Kalau tidak salah, yang diperhatikan adalah "demikian munculnya" dan "demikianlah lenyapnya".
Setau saya perenungan ini termasuk Dhammanupassana. Yah at least saya ngerti definisinya dulu. Kalau arti-nya saja saya tidak tahu, kan ribet jadinya :D
Tanya saja.
Apa Bro dilbert dulu mengikuti diskusi/debat dengan MMD dan tahu tentang pendapat saya tentang Mulapariyaya Sutta?
saya ngikut diskusi/debat kagak intens, karena ngikut-nya dari pertengahan...Nah, menurut bro dilbert, bagaimana pandangan MMD tersebut?
^:)^
Nah, menurut bro dilbert, bagaimana pandangan MMD tersebut?
Saya belum sampai pada tahapan menjustifikasi pandangan saya terhadap MMD tersebut, tetapi debat-debat saya dengan pak hudoyo di facebook-nya sendiri, sudah sampai pada saya di block sama beliau... hehehehe...Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.
Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.
Tanya saja.
Apa Bro dilbert dulu mengikuti diskusi/debat dengan MMD dan tahu tentang pendapat saya tentang Mulapariyaya Sutta?
Setelah mengenal dukkha dan anicca, apakah sebaiknya melepaskan cita-cita semasa kecil karena semuanya tidak kekal dan membawa kita pada penderitaan, om? Mohon bimbingannya. _/\_
Saya barusan baca Mulapariyaya Sutta, memang tidak dibagi menjadi 6 tahap seperti yang diposting bro Dilbert. Kalau saya lihat di Sutta, biasanya Sang Buddha memang tidak menjabarkan/menjelaskan secara detail apa yang beliau babarkan ya (misalnya ada 6 tahap yang katanya versi MMD).Biasanya memang sutta dibabarkan untuk orang yang bersesuaian dengan sutta tersebut, jadi memang bisa jadi juga penggunaan istilahnya adalah bagi yang mengerti. Itu sebabnya kadang diperlukan tambahan dari kitab komentar untuk mengerti apa yang dimaksudkan.
Sama halnya tentang Sanna yang barusan kita bahas. Sepertinya umat buddhist jaman dulu, langsung bisa mengerti tentang pancakhanda (definisi dan hubungan-hubungannya), jadi tidak banyak ditemukan penjelasan panjang-lebar tentang suatu hal. Sedangkan saya di sini masih dalam tahap bertanya-tanya karena membaca saja rasanya tidak cukup. Entah apa karena perbedaan bahasa (pali vs inggris/indonesia) atau karena perbedaan kebijaksanaan (dulu orangnya cepet nangkep) ;D
Lalu, pendapat bro Kainyn tentang Mulapariyaya Sutta, bagaimana?Ada persamaan antara pendapat saya dengan PH (Pak Hudoyo), yaitu di mana ada satu bagian 'proses pikiran' yang harus berhenti untuk mencapai 'pembebasan'. Persamaan ini yang membuat beberapa orang yang [saya anggap] gagal memahami saya, menilai saya sebagai 'sama persis' dengan MMD.
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.
Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.
Saya belum sampai pada tahapan menjustifikasi pandangan saya terhadap MMD tersebut, tetapi debat-debat saya dengan pak hudoyo di facebook-nya sendiri, sudah sampai pada saya di block sama beliau... hehehehe...Wah pake id apa om di fb,waktu debat dgn pak hudoyo... Saya juga pernah membaca notenya tentang mengapa ia memblok org,,kalau ngak salah ingat salah satunya ketika diskusi mulai mengarah ke debat kusir,..
Setelah mengenal dukkha dan anicca, apakah sebaiknya melepaskan cita-cita semasa kecil karena semuanya tidak kekal dan membawa kita pada penderitaan, om? Mohon bimbingannya. _/\_Tidak begitu, bro Sunyata. Saya ambil contoh perumpamaan rakit yang diberikan Buddha Gotama di mana dhamma adalah rakit yang membawa kita dari pantai penderitaan ke pantai seberang. Lalu ketika tiba di pantai seberang, maka rakit juga dilepaskan, bukan untuk ditaruh di atas punggung dan dibawa ke mana-mana.
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.
Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.
Biasanya memang sutta dibabarkan untuk orang yang bersesuaian dengan sutta tersebut, jadi memang bisa jadi juga penggunaan istilahnya adalah bagi yang mengerti. Itu sebabnya kadang diperlukan tambahan dari kitab komentar untuk mengerti apa yang dimaksudkan.Kalau PH bilang ini perbedaan org yg mengalami langsung(udah praktik) dgn org yg blm praktik(hanya sebatas intelektual aja)..karena pikiran lah yg coba memahami pikiran itu sendiri,.jadi jgn berandai2 tp praktik langsung,.ini seingat saya..gmn pendapat om kainyn?
Ada persamaan antara pendapat saya dengan PH (Pak Hudoyo), yaitu di mana ada satu bagian 'proses pikiran' yang harus berhenti untuk mencapai 'pembebasan'. Persamaan ini yang membuat beberapa orang yang [saya anggap] gagal memahami saya, menilai saya sebagai 'sama persis' dengan MMD.
Perbedaannya antara lain adalah saya tidak melihat keenam proses tersebut bukan selalu satu kesatuan.
(i) pa.thavi.m pa.thavito sa~njaanaati -- he perceives earth as earth;
(ii) pa.thavi.m ma~n~nati -- he conceives earth;
(iii) pa.thaviyaa ma~n~nati -- he conceives in earth;
(iv) pa.thavito ma~n~nati -- he conceives from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti ma~n~nati -- he conceives "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m abhinandati -- he delights in earth.
(i) sañjānāti adalah proses mencerap objek dengan indera, namun belum tentu disertai pengertian benar. (Dalam konteks sutta ini, istilah tersebut digunakan untuk 'pencerapan yang tidak disertai pengertian'.)
Karena tidak memahaminya, maka timbul pandangan 'aku/diri' terhadap objek, yaitu salah satu dari nomor (ii) - (v) ("aku/diri" adalah objek; "aku/diri" bagian dari objek; "aku/diri" terpisah dari objek; objek adalah "milikku") dan karena pandangan tersebut, maka ia bersenang di dalam konsep tersebut (vi), otomatis timbullah kemelekatan.
Kalau tidak salah, PH mengatakan bahwa dalam vipassana, proses itu dihentikan di tahap (i), sehingga tidak muncul konsepsi lebih jauh. Menurut saya, konsepsi tidak untuk dihentikan, namun pemahaman tentang objek apa adanya yang harus dikembangkan. Dengan pemahaman benar timbul, maka konsepsi tetap timbul, namun tanpa disertai pandangan salah di mana ada 'aku/diri' sebagai/bagian/di luar/memiliki konsep tersebut. Dalam sutta Palinya, ketika orang memahami objek dengan benar, maka ia tidak dikatakan me-"sañjānāti" objek, namun meng-"abhijānāti".
Singkatnya, yang saya tangkap (dan mungkin saja salah), di MMD adalah latihan menghentikan proses "maññati". Saya setuju bahwa "maññati" harus berhenti, namun bukan dengan menginterupsi proses konsepsi, melainkan dengan memahaminya. Bukan "maññati" yang dihentikan, namun "sañjānāti"-nya yang harus disertai pemahaman, sehingga menjadi "abhijānāti". Mencerap objek dengan memahaminya, maka "seharusnya" paham "aku" tidak timbul, walaupun kadang masih ada kecenderungan timbul dalam diri seorang sekha. (Sama seperti misalnya dengan pandangan benar tentang makhluk apa adanya, seharusnya paham 'kasta' tidak timbul. Namun bagi orang yang masih berlatih, yang belum melenyapkan pandangan salah 'kasta' secara keseluruhan, masih bisa timbul kesombongan berkenaan dengan strata sosial dalam dirinya.)
Namun pada Ariya yang lebih tinggi, mencerap objek dengan memahaminya, maka paham "aku" sudah tidak lagi timbul. Bagaimanapun pikiran mempersepsi dan mengkonsepkan objek, serumit dan sekompleks apa-pun, tetap tidak timbul konsep "aku/diri" di sana, maka ia tidak lagi bergembira dalam konsep tersebut.
Ini sepertinya juga perbedaan pandangan antara saya dan PH, karena saya ingat PH mengatakan bahwa dalam kondisi meditatif 'tanpa aku', seseorang tidak berpikir (secara intelektual) yang rumit karena akan terjadi konsepsi pikiran. Menurut saya, bisa saja, itulah sebabnya para Arahat pun tetap bisa melakukan penilaian dan pemikiran yang rumit, namun tetap memahaminya apa adanya, tanpa 'aku/diri' dalam konsep tersebut.
Mungkin & semoga saja begitu. Entahlah, waktu dulu di DC dan di forum MMD (yang dulu), saya melihat Pak Hudoyo lebih sebagai seorang pengajar yang sabar & detail menjelaskan panjang lebar. Belakangan saya lihat, kesannya kurang sabar & intoleran terhadap pandangan vipassana yang berbeda.
Mungkin waktu itu blm byk wadah atau forum utk MMD,.sekarang kan ada FB dimana bs menjangkau lbh byk 'lapisan' org dari latar belakang agama lain hehehe..terus mungkin juga waktu itu di DC terjadi debat yg bermutu hehe..
Kalau PH bilang ini perbedaan org yg mengalami langsung(udah praktik) dgn org yg blm praktik(hanya sebatas intelektual aja)..karena pikiran lah yg coba memahami pikiran itu sendiri,.jadi jgn berandai2 tp praktik langsung,.ini seingat saya..gmn pendapat om kainyn?Pendapat saya hanya satu: bagi orang yang benar berpraktik dan mengetahui sedemikian menipunya pikiran, seharusnya berhati-hati dalam menilai sudah/belumnya orang lain/diri sendiri berpraktik.
Tidak begitu, bro Sunyata. Saya ambil contoh perumpamaan rakit yang diberikan Buddha Gotama di mana dhamma adalah rakit yang membawa kita dari pantai penderitaan ke pantai seberang. Lalu ketika tiba di pantai seberang, maka rakit juga dilepaskan, bukan untuk ditaruh di atas punggung dan dibawa ke mana-mana.Terima kasih, om. Sekarang saya sudah mengerti. ;D
Dari perumpamaan tersebut saya tanya, apakah setelah mengetahui pada akhirnya rakit pun bukan untuk disimpan, bukan untuk dibawa-bawa ke mana kita pergi, lalu sekarang juga kita harus melepaskan rakit (walaupun kita lagi di tengah sungai)? ;D
Dalam menjalankan Ajaran Buddha, kita melihat tujuan akhir (Nibbana) dan tujuan jangka menengahnya, yaitu apa yang nyata bisa kita usahakan untuk dicapai sekarang. Jangan mengabaikan tujuan akhir (nibbana), namun juga jangan melihat terlalu jauh.
Mungkin waktu itu blm byk wadah atau forum utk MMD,.sekarang kan ada FB dimana bs menjangkau lbh byk 'lapisan' org dari latar belakang agama lain hehehe..terus mungkin juga waktu itu di DC terjadi debat yg bermutu hehe..
Mungkin & semoga saja begitu. Entahlah, waktu dulu di DC dan di forum MMD (yang dulu), saya melihat Pak Hudoyo lebih sebagai seorang pengajar yang sabar & detail menjelaskan panjang lebar. Belakangan saya lihat, kesannya kurang sabar & intoleran terhadap pandangan vipassana yang berbeda.
Oke bro Kainyn, tentang Mulapariyaya Sutta, tidak ingin saya bahas lebih jauh karena saya belum tertarik. Saya hanya mau tanya pendapat bro saja tentang masalah saya berikut ini.
Jadi begini. Saya merasa, saya terlalu banyak membaca dan mendengar Dhamma tanpa disertai praktik. Saya senang membaca dan mendengar Dhamma karena menurut saya, hal itu menyenangkan. Di dalam Dhamma, saya bisa menemukan dorongan/desakan tapi juga disertai cinta-kasih di dalamnya. Dengan logika saya berdasarkan apa yang saya cerap dari sumber eksternal itu, saya dengan logis bisa mencari sumber masalah yang sedang saya hadapi.
Tapi akhir-akhir ini saya mulai merasa overload. Sepertinya kilesa, dhamma, dan judgement, bergumul dalam diri saya ;D Dhamma terlalu bagus, tapi juga terlalu kompleks bagi saya untuk menangani kilesa yang juga kompleks. Rasanya seperti kewalahan sendiri. Mungkin saya terlalu banyak berpikir ya? mungkin sebaiknya saya mengurangi bahan bacaan?
Mungkin & semoga saja begitu. Entahlah, waktu dulu di DC dan di forum MMD (yang dulu), saya melihat Pak Hudoyo lebih sebagai seorang pengajar yang sabar & detail menjelaskan panjang lebar. Belakangan saya lihat, kesannya kurang sabar & intoleran terhadap pandangan vipassana yang berbeda.
yah, menurut saya wajar kok. ini seperti seseorang yg sumber nafkahnya diserobot oleh orang lain
Wajar sesuai ukuran puthujana... ;D
Oke bro Kainyn, tentang Mulapariyaya Sutta, tidak ingin saya bahas lebih jauh karena saya belum tertarik. Saya hanya mau tanya pendapat bro saja tentang masalah saya berikut ini.OK, ini salah satu bahasan yang paling saya suka: Praktik. :)
Jadi begini. Saya merasa, saya terlalu banyak membaca dan mendengar Dhamma tanpa disertai praktik. Saya senang membaca dan mendengar Dhamma karena menurut saya, hal itu menyenangkan. Di dalam Dhamma, saya bisa menemukan dorongan/desakan tapi juga disertai cinta-kasih di dalamnya. Dengan logika saya berdasarkan apa yang saya cerap dari sumber eksternal itu, saya dengan logis bisa mencari sumber masalah yang sedang saya hadapi.
Tapi akhir-akhir ini saya mulai merasa overload. Sepertinya kilesa, dhamma, dan judgement, bergumul dalam diri saya ;D Dhamma terlalu bagus, tapi juga terlalu kompleks bagi saya untuk menangani kilesa yang juga kompleks. Rasanya seperti kewalahan sendiri. Mungkin saya terlalu banyak berpikir ya? mungkin sebaiknya saya mengurangi bahan bacaan?
Buddha benar benar merealisasikan an-atta-nya, dan tidak mencari pengikut... jadi ketika tuntunan dhamma (berkehidupan) di terima, dilaksanakan, ataupun di-acuhkan oleh pendengarnya, tidak masalah bagi Buddha.Sepertinya begitu. Memang juga Buddha katakan ketika seseorang mulai terkenal, ada bahaya yang mengancam kalau orang tersebut tidak waspada.
yah, menurut saya wajar kok. ini seperti seseorang yg sumber nafkahnya diserobot oleh orang lainTapi setahu saya, kegiatannya tidak komersil, 'kan?!
Sepertinya begitu. Memang juga Buddha katakan ketika seseorang mulai terkenal, ada bahaya yang mengancam kalau orang tersebut tidak waspada.
Tapi setahu saya, kegiatannya tidak komersil, 'kan?!
kegiatan yg tdk komersil biasanya justru lebih menguntungkan daripada yg komersilBisa diperjelas? Menguntungkannya dari segi apa?
Bisa diperjelas? Menguntungkannya dari segi apa?
walau tdk komersil tapi yg jelas dana "sukarela" tidak ditolak. kadang kala dana sukarela bisa menghasilkan jutaan sementara dgn tarif resmi hanya dapat cepekceng;D Masa' sih? Tapi kalau penilaian pribadi saya sekilas, PH bukan orang yang mata duitan. Mencari banyak pengikut mungkin saja, tapi kalau untuk duit, menurut saya tidak.
;D Masa' sih? Tapi kalau penilaian pribadi saya sekilas, PH bukan orang yang mata duitan. Mencari banyak pengikut mungkin saja, tapi kalau untuk duit, menurut saya tidak.
OK, ini salah satu bahasan yang paling saya suka: Praktik. :)
Menurut bro thres, apakah bentuk dari 'praktik' dalam Ajaran Buddha? Nanti baru kita bahas yang berikutnya.
Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan.
Saat mendengar kata "praktik", maka teori yang paling menonjol muncul pada pikiran saya adalah tentang usaha benar yaitu memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul, dan mempertahankan yang telah muncul. Dan sebaliknya yaitu menghindari munculnya hal-hal tidak bermanfaat yang belum muncul, dan memadamkan yang telah muncul.
Kemarin saya baca di Samyutta Nikaya, kalau tidak salah tentang gagang kapak yang aus? Maaf kalau salah, saya lupa-lupa ingat. Intinya dikatakan bahwa sehari-harinya kita tidak tahu seberapa banyak yang aus. Tapi suatu saat ketika kapak itu menjadi benar-benar aus (tidak dapat digunakan lagi), barulah kita mengetahuinya. Sama halnya seperti tali kapal yang sehari-harinya terendam air laut dan terjemur matahari. Sehari-harinya tidak terlihat ausnya, tapi suatu saat karena telah rapuh akhirnya dia terputus, maka saat itulah baru muncul pengetahuan tentang ausnya tali. Ini seperti berusaha dan tidak melihat hasil yang nyata sehari-harinya, tapi saat terlepasnya suatu noda atau mencapai suatu tahap pencerahan, barulah kita sadari?
Tentang masalah saya, mungkin kalau disingkat, jadinya begini:
Ketika menghadapi masalah, maka secara logika, saya bisa menemukan penyebabnya. Tapi untuk mengatasinya, saya merasa bergelimang kilesa. Seperti ada suatu keyakinan dalam diri saya tentang "sisi gelap" saya yang tidak bisa diubah. Saya melekat akan gambaran diri masa lalu saya. Dan ada suatu ketidakpercayaan diri untuk mengatasinya. Walaupun saya menyadari ini semua dan secara teori saya tahu tentang "hidup di masa sekarang", tapi tetap saja pikiran saya terseret ke masa lalu. Mungkin ini yang disebut Kebodohan ya?
Bagaimana caranya berada di jalur yang benar dalam praktik?
Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan. Apalagi ditambah dengan kemelekatan saya akan "diri" saya di masa lalu, dan ketidakpercayaan diri saya untuk mengatasinya.
Selama saya masih menarik nafas dan mengeluarkan nafas = praktik.... cuma kadang praktik kusala, praktik akusala... kadang praktik magga, kadang praktik non-magga (betul gak istilah itu) wkwkwkwkwk...
Mana-kah kehidupan bro Thres yang bukan "praktik" ?
jadi, apakah orang yg sedang menyelam di kolam renang tidak praktik?
Saat mendengar kata "praktik", maka teori yang paling menonjol muncul pada pikiran saya adalah tentang usaha benar yaitu memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul, dan mempertahankan yang telah muncul. Dan sebaliknya yaitu menghindari munculnya hal-hal tidak bermanfaat yang belum muncul, dan memadamkan yang telah muncul.Ya, menurut saya juga begitu. Hanya saja, ini dituangkan dalam seluruh kehidupan kita, bukan hanya salah satu aspek.
Kemarin saya baca di Samyutta Nikaya, kalau tidak salah tentang gagang kapak yang aus? Maaf kalau salah, saya lupa-lupa ingat. Intinya dikatakan bahwa sehari-harinya kita tidak tahu seberapa banyak yang aus. Tapi suatu saat ketika kapak itu menjadi benar-benar aus (tidak dapat digunakan lagi), barulah kita mengetahuinya. Sama halnya seperti tali kapal yang sehari-harinya terendam air laut dan terjemur matahari. Sehari-harinya tidak terlihat ausnya, tapi suatu saat karena telah rapuh akhirnya dia terputus, maka saat itulah baru muncul pengetahuan tentang ausnya tali. Ini seperti berusaha dan tidak melihat hasil yang nyata sehari-harinya, tapi saat terlepasnya suatu noda atau mencapai suatu tahap pencerahan, barulah kita sadari?Ya, kita berlatih juga belum tentu bisa menyadari manfaatnya secara langsung, tapi suatu saat, melewati satu fase tertentu, hal tersebut terlihat nyata dan kita ketahui. Karena itulah dalam berlatih kita tidak usah terlalu menimbang-nimbang 'maju-mundur', 'berapa banyak yang sudah dilakukan', karena nantinya hanya akan timbul keraguan. Yang terbaik adalah kita memiliki pengertian benar dalam berlatih dan lakukan saja yang terbaik secara terus-menerus.
Tentang masalah saya, mungkin kalau disingkat, jadinya begini:Betul, memang seperti itu. Kita bisa secara logika melihatnya, namun ada kalanya logika pun tidak cukup. Bukan berarti tidak logis, tapi karena logika adalah terkondisi oleh kita sendiri. Satu contoh yang nyata adalah kemelekatan, kebencian, dan kebodohan bathin, tidak bisa dilogikakan, namun nyata. Misalnya bro Thres sedang menderita karena patah hati, maka kita bisa logikakan bahwa karena kemelekatan, maka timbul rasa sayang, lalu timbul perasaan gini-gitu dst... dst... Tapi coba logikakan kemelekatan itu, darimana datangnya, bagaimana prosesnya. Tidak akan bisa, yang ada hanya pikiran berputar-putar dan 'menipu' kita sendiri. Demikian juga latihan melepasnya, tidak bisa dilogikakan, namun ada.
Ketika menghadapi masalah, maka secara logika, saya bisa menemukan penyebabnya. Tapi untuk mengatasinya, saya merasa bergelimang kilesa. Seperti ada suatu keyakinan dalam diri saya tentang "sisi gelap" saya yang tidak bisa diubah. Saya melekat akan gambaran diri masa lalu saya. Dan ada suatu ketidakpercayaan diri untuk mengatasinya. Walaupun saya menyadari ini semua dan secara teori saya tahu tentang "hidup di masa sekarang", tapi tetap saja pikiran saya terseret ke masa lalu. Mungkin ini yang disebut Kebodohan ya?
Bagaimana caranya berada di jalur yang benar dalam praktik?
Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan. Apalagi ditambah dengan kemelekatan saya akan "diri" saya di masa lalu, dan ketidakpercayaan diri saya untuk mengatasinya.Buddha mengatakan:
Kalo saya memcoba menyadari perasaan, persepsi, bentuk2 pikiran, dll. Tetapi ketika disadari, yang terjadi hal-hal tersebut semakin lama semakin tidak terkontrol :|. Apakah yang saya alami ini juga adalah sebuah keterlambatan menyadari ?Tidak terkendalinya bagaimana maksudnya?
Apakah ketika hal-hal tersebut semakin besar, sebaiknya kita alihkan perhatian ke suatu objek misal, kembung kempis perut ?
kalau nyelam pakai oksigen = praktik.... =))Kalau lagi jhana IV ke atas, tidak praktik donk?! ;D
Tidak terkendalinya bagaimana maksudnya?
Kalau menurut saya, kadang terjadi dalam satipatthana, kita tidak menyadari objek, tapi teralihkan oleh pikiran yang berhubungan dengan objek. Jadi misalnya kita sedang mengamati perasaan, lalu ingatan yang berkenaan dengan perasaan ini ikut timbul bahkan mengambil alih perhatian kita, akhirnya ke mana-mana. Saya pikir ini memang hambatan umum bagi orang yang berlatih.
Thanks bro Kainyn karena mengerti saya. Dan ketika membaca tulisan yang dimiringkan (yang kata-kata Sang Buddha) itu, saya sedikit terharu :|Betul, memang kadang yang bikin berat adalah kita berusaha tapi belum mencapai tujuan sehingga sepertinya sia-sia dan kita menyerah. Padahal sebetulnya kita sudah benar meng-aus-kan talinya, hanya belum putus saja.
Kadang saya berpikir, kalau serius di dalam Buddha-Dhamma, kita senantiasa berusaha untuk berpandangan benar. Dan saat berpandangan benar, maka kita tidak mungkin menjadi pribadi yang "cengeng".
Maksud saya, ketika kita mulai melogikakan usaha kita dan merasa tidak berdaya atau tidak mampu, maka setelah menyadarinya, kita lalu dengan terus-terang mengakui kecenderungan yang belum diatasi itu, lalu mulai belajar lagi untuk momen selanjutnya.
;D Masa' sih? Tapi kalau penilaian pribadi saya sekilas, PH bukan orang yang mata duitan. Mencari banyak pengikut mungkin saja, tapi kalau untuk duit, menurut saya tidak.Setuju dgn om kainyn,sejauh yg saya tahu PH bkn org spt itu..oh iya kbr terakhir PH kemarin dr wall fbnya,beliau turun 7 kg dan terus diare selama 4 bulan,sekarang check up menyeluruh.
_/\_ Ada pertanyaan Bro Kainyn...Penyebab penderitaan dirangkum menjadi tiga: keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Jalan keluarnya secara singkat adalah moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.
Mula-mula untuk jadi pengikut agama Budha adalah paham akan Lima Sila setelah mengerti dan bisa menjalankannya
dengan baik, kita akan lanjut ke pemahaman tentang empat jalan Mulia yaitu Penderitaan, penyebab Penderitaan, menakhiri Penderitaan dan mencari jalan untuk melenyapkan penderitaan itu sendiri...
Contoh nih kalau sedih penyebabanya apa sedih, kemudian cara mengakhiri terus cari jalan keluarnya...
Contoh lagi kalau lagi Jatuh Cinta penyebabnya apa dan mengakhiri apa dan cari jalan keluarnya apa?Dimulai dengan menerima kenyataan apa adanya, tidak mengharapkan apa yang memang tidak mungkin terjadi. Kembangkan pola pikir melepas keinginan dan jangan memupuk keinginan yang baru.
dan masih banyak lagi penderitaan yang harus dicari penyebabnya mengakhiri dan mencari jalanya untuk pederitaan itu sendiri?
Yang menjadi pertanyaa adalah apakah kalau kita tahu itu semua apakah umat awam pasti damai dengan mengetahui empat jalan mulia tsb?Mengetahui dan mengalami sendiri adalah berbeda. Hampir setiap Umat Buddha tahu Kebenaran Mulia, tapi tidak semua Umat Buddha berbahagia.
seandainya semua umat awam seperti itu bearti tidak ada amarah ya? dan tidak bisa mencintai orang lagi atau mempunyai ilusi untuk cinta karena ada pepatah bilang Cinta itu sama dengan Ilusi?Dalam Ajaran Buddha, cinta itu banyak jenisnya. Yang umum adalah metta, yaitu keadaan tanpa kebencian; dan satu lagi adalah piya, yaitu cinta karena kemelekatan. Ketika orang dikuasai cinta kemelekatan, maka ia akan bahagia kalau bersama orang tersebut, dan menderita kalau kehilangan orang tersebut.
;D maksudnya semuanya datar2 saja......
Satu lagiTidak perlu dipaksakan hafal kalau tidak bisa. Mulailah dengan memiliki pandangan benar, maka otomatis akan mengubah pola pikir kita tentang hidup. Dari pola pikir tersebut akan berpengaruh pada seluruh sisi kehidupan kita.
Teman- teman sedarma bisa tolong bantu gak gimana caranya bisa memahami 8 jalan kebenaran....... soalnya sudah pernah di coba menghapalin tapi gak bisa ingat semuanya apalah memahami? hehehe sudah pernah dicoba ditulis di dinding atau di tempel di tempat yang bisa di lihat masih juga gak bisa ingat dan hapal.....? :( ;D... (maklum tidak bisa mengingat yang banyak). Tapi kalau ada yang tahu cara nya termudah untuk mengingat dan memahami bertahu ya dan tolong di share ya...... terimkasih... ^:)^ :))
Setuju dgn om kainyn,sejauh yg saya tahu PH bkn org spt itu..oh iya kbr terakhir PH kemarin dr wall fbnya,beliau turun 7 kg dan terus diare selama 4 bulan,sekarang check up menyeluruh.Kita memang tidak pernah kenal seseorang kecuali mungkin telah bersama-sama dalam waktu lama. Tapi semoga saja memang bukan.
Kalo saya memcoba menyadari perasaan, persepsi, bentuk2 pikiran, dll. Tetapi ketika disadari, yang terjadi hal-hal tersebut semakin lama semakin tidak terkontrol :|. Apakah yang saya alami ini juga adalah sebuah keterlambatan menyadari ?
Apakah ketika hal-hal tersebut semakin besar, sebaiknya kita alihkan perhatian ke suatu objek misal, kembung kempis perut ?
Mungkin seperti itu, begitu diamati muncul ingatan, spekulasi, persepsi, dll. Saya pikir proses kemunculan hal-hal tersebut yang memang belum mampu untuk saya amati prosesnya...
Ini sedikit pengalaman saya. 70 persen saya meditasi sambil ngantuk. Tapi kadang ada jugalah sedikit pencerahan (kalau tidak sedang ngantuk atau gelisah). Tolong dikoreksi kalau ada yang salah.
Pertama-tama, saya ambil nafas sebagai perhatian utama.
Saat perhatian lebih kuat, bisa juga saya menyadari "adegan mundur". Misalnya: kenapa saya ingat Pak Amir? oh, karena saya teringat kalo Pak Amir jual kipas angin. Kenapa saya teringat kipas angin? oh karena tadi saya merasakan angin kuat menerpa wajah saya saat meditasi, dan terbayang sebuah kipas angin.
Biasanya saat disadari bahwa "ada ingatan muncul", maka ingatan atau objek-objek pikiran itu justru berhenti. Dan terserah kita, mau dilanjutkan atau tidak. Lalu apakah perenungan mau dilanjutkan ke jasmani (misalnya memperhatikan napas lagi), atau mau ke perenungan objek-objek pikiran (dhammanupassana). Dhammanupassana di sini adalah menyelidiki pengalaman tadi (misalnya pengaruh suatu sensasi pada pikiran dan bagaimana ingatan muncul darinya). Kalau tidak ada yang menarik, kembali lagi ke nafas.
Lama-kelamaan, ini menjadi semacam "permainan" yang menarik.
___________________
Kalau yang muncul adalah ingatan yang cukup mengundang perasaan yang kuat, memang berlangsung cepat dan kalau tidak disadari, lama-kelamaan jadi besar.
Kalau cepat disadari (emosi belum besar), mungkin ada kecenderungan untuk "mengijinkan" diri mengingatnya. Sebelum itu terjadi, coba renungkan dulu apakah bermanfaat atau tidak. Kalau dirasa akan bermanfaat, coba diingat sambil usahakan tetap pegang pandangan benar.
Tapi kalau emosi sudah besar (misalnya marah), coba perhatikan kemarahan itu. Bukan perhatikan objek atau orang yang menyebabkan kita marah. Perhatikan sensasi kemarahan itu, rasanya pada tubuh kita. Perhatikan terus. Kalau pikiran lebih jernih, coba lanjut ke Dhammanupassana seperti di atas atau kalau tidak ada yang menarik, kembali ke nafas.
tapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amirHmmh tercium aroma balas dendam ne..hehehe
tapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amir
Hmmh tercium aroma balas dendam ne..hehehe
Quote from: from: Indra on Today at 04:08:11 PMtapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amirQuote from: from: Wijayananda on Today at 04:23:22 PMHmmh tercium aroma balas dendam ne..hehehe
Saya kelewatan "sesuatu" ?
Saya kelewatan "sesuatu" ?
ya skandal antara Mayvise dgn Pak Amir Tukang kipas
masih gak nangkap Pak Amir Tukang Kipas yang mana satu ?
cerahkan daku, suhu...
baca reply #792 thread ini
Biasanya saat disadari bahwa "ada ingatan muncul", maka ingatan atau objek-objek pikiran itu justru berhenti. Dan terserah kita, mau dilanjutkan atau tidak. Lalu apakah perenungan mau dilanjutkan ke jasmani (misalnya memperhatikan napas lagi), atau mau ke perenungan objek-objek pikiran (dhammanupassana). Dhammanupassana di sini adalah menyelidiki pengalaman tadi (misalnya pengaruh suatu sensasi pada pikiran dan bagaimana ingatan muncul darinya). Kalau tidak ada yang menarik, kembali lagi ke nafas.
Beralih ke Dhammanupasana dengan objek pikiran itu maksudnya gimana ya ?
1 PERENUNGAN JASMANI (Kayanupassana)
1.1. Perhatian pada pernafasan
1.2. Empat postur
1.3. Kesadaran jernih
1.4. Perenungan menjijikkan: Bagian-bagian tubuh
1.5. Empat Unsur
1.6. Sembilan perenungan tanah pekuburan
2 PERENUNGAN PERASAAN (Vedananupassana)
3 PERENUNGAN PIKIRAN (Cittanupassana)
4 PERENUNGAN OBJEK-OBJEK PIKIRAN (Dhammanupassana)
4.1. Lima Rintangan
4.2. Lima gugus (bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, dan kesadaran)
4.3. Enam Landasan Indria Internal dan Eksternal
4.4. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna
4.5. Empat Kebenaran Mulia
ya skandal antara Mayvise dgn Pak Amir Tukang kipas
salam bro kainyn, (saya br bs online lg k DC)Salam juga.
bro, barusan saya jalan2 di board buddha u/ pemula..
ada penjelasan ttg 3 akar: Alobha, Adosa, Amoha.. bisa tolong jelaskan masing2 dr ketiganya?
Thx. :)
Salam juga.
Kalau menurut saya, ini sebetulnya sederhana saja. Kita tahu L-D-M, maka aL-aD-aM adalah hal menghindari atau menahan diri dari L-D-M tersebut. Misalnya karena keserakahan, timbul keinginan untuk mengambil barang milik orang lain. Tapi karena memahami hukum sebab-akibat atau hal lainnya, timbul usaha menghindari hal tersebut. Inilah disebut akar Alobha.
Secara singkat, kehendak buruk (akusala kamma) adalah dorongan L-D-M, kehendak baik (kusala kamma) adalah dorongan dari aL-aD-aM.
Salam juga.kayaknya pengertian saya beda dengan yg di atas.
Kalau menurut saya, ini sebetulnya sederhana saja. Kita tahu L-D-M, maka aL-aD-aM adalah hal menghindari atau menahan diri dari L-D-M tersebut. Misalnya karena keserakahan, timbul keinginan untuk mengambil barang milik orang lain. Tapi karena memahami hukum sebab-akibat atau hal lainnya, timbul usaha menghindari hal tersebut. Inilah disebut akar Alobha.
Secara singkat, kehendak buruk (akusala kamma) adalah dorongan L-D-M, kehendak baik (kusala kamma) adalah dorongan dari aL-aD-aM.
Tadi siang saya sempat ngobrol dengan teman saya. Kira-kira percakapannya seperti ini :Semua manusia pasti ada serakahnya. Tapi bedanya sejauh mana serakahnya, bentuk dan pemuasannya, bagi setiap orang berbeda.
H : Kalian pada suka main game yang bangun-bangun wilayah gitu gak ?
A : Game strategy ya ?
H : Ya kira-kira mirip gitu.
A : Memangnya kenapa bro ?
H : Coba deh kalo kita udah bangun benteng dan banyak bangunan, habis itu liat wilayah-wilayah di sekitar, pasti kepikiran untuk mencaplok wilayah-wilayah itu. Kayaknya hal itu sama seperti real life. Mungkin sudah naturenya human...
A : :|
Apakah serakah adalah sifat dasar manusia ?
Apakah hal ini ada hubungannya dengan seleksi alam dan usaha manusia untuk bertahan hidup ?
kayaknya pengertian saya beda dengan yg di atas.Dulu saya pernah bahas dengan bro tesla tentang ini, tapi saya lupa. Ntar saya cari dulu yah.
apakah ada referensi tipitaka mengenai alobha adosa amoha sebagai penyebab kusala kamma itu?
intinya, apakah alobha (tanpa keserakahan) bisa disejajarkan dg murah hati, adosa dapat disejajarkan dg cinta kasih & amoha dapat disejajarkan dg kebijaksanaan?Tepat seperti yang dipost Bro hendrako.
LDM maupun A-LDM, disebut akar dari perbuatan.
Dalam Akusalamula Sutta (AN 3.70, menurut penomoran yang saya punya) yang dipost Bro ryu (page 15), dikatakan di bagian akusalamula:
lobhajā lobhanidānā lobhasamudayā lobhapaccayā aneke pāpakā akusalā dhammā sambhavanti
Lahir dari lobha, disebabkan lobha, muncul dari lobha, terkondisi oleh lobha, akusala dhamma timbul.
(Diulang untuk Dosa & Moha)
Begitu juga bagian kusalamula:
alobhajā alobhanidānā alobhasamudayā alobhapaccayā aneke kusalā dhammā sambhavanti.
Lahir dari alobha, disebabkan alobha, muncul dari alobha, terkondisi oleh alobha, kusala dhamma timbul.
(Diulang untuk Adosa & Amoha)
Dari kedua perbuatan itu, keduanya lahir, disebabkan, muncul dan terkondisi oleh sesuatu. Kita tahu bahwa yang lahir, disebabkan, muncul dan terkondisi adalah tidak kekal, hanyalah fenomena (dhamma). Karena itulah saya menyimpulkan perbuatan tersebut (baik kusala dhamma, apalagi akusala dhamma) BUKAN ada pada Arahat.
Kemudian yang saya tangkap pada sutta itu adalah bahwa seseorang bisa mencapai pembebasan tentu bukan dengan mengembangkan yang akusala, tetapi mengembangkan yang kusala.
Semua manusia pasti ada serakahnya. Tapi bedanya sejauh mana serakahnya, bentuk dan pemuasannya, bagi setiap orang berbeda.
Sang Buddha punya sifat serakah enggak ya?Katanya sih nggak. Belom ketemu langsung sih.
kalau dalam meditasi vipassana, keserakahan akan lenyap sepenuhnya pada tahap mana?Menurut Ajaran Buddha, keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin akan lenyap sepenuhnya dengan pencapaian Arahatta-phala. Jadi belum tentu semua orang yang melakukan vipassana bisa melenyapkan keserakahan sepenuhnya.
Menurut Ajaran Buddha, keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin akan lenyap sepenuhnya dengan pencapaian Arahatta-phala. Jadi belum tentu semua orang yang melakukan vipassana bisa melenyapkan keserakahan sepenuhnya.
mengapa Arahatta-phala tidak muncul di dalam vipassana?Bukan tidak muncul dalam vipassana, tetapi tergantung dari orang yang melakukannya saja. Mengapa orang tidak bisa mencapainya adalah karena dirintangi oleh kebodohan bathin sehingga tidak melihat fenomena sebagaimana adanya. Vipassana (Satipatthana) adalah cara yang diajarkan untuk memahami fenomena tersebut. Keberhasilannya adalah tergantung potensi orang itu sendiri dan latihannya.
Bukan tidak muncul dalam vipassana, tetapi tergantung dari orang yang melakukannya saja. Mengapa orang tidak bisa mencapainya adalah karena dirintangi oleh kebodohan bathin sehingga tidak melihat fenomena sebagaimana adanya. Vipassana (Satipatthana) adalah cara yang diajarkan untuk memahami fenomena tersebut. Keberhasilannya adalah tergantung potensi orang itu sendiri dan latihannya.
Dulu saya pernah bahas dengan bro tesla tentang ini, tapi saya lupa. Ntar saya cari dulu yah.oh ternyata pernah menjadi topik tak berujung hehehe...
jadi, apakah orang yang sudah dapat meilhat fenomena sebagaimana adanya berarti orang itu sudah tidak memiliki keserakahan?Betul, ketika seseorang melihat segala fenomena sebagaimana adanya, keserakahan tidak akan timbul lagi dalam dirinya. Dalam perumpamaan sangat sederhana, misalnya seseorang yang tidak mengetahui kebenaran bahwa bumi itu bulat, melekat pada pandangan bumi itu datar. Ia mencari, mengejar, dan mempertahankan tujuan mencapai ujung dari bumi. Ia menyenangi apa yang ia pikir membawanya pada tujuannya, dan menghindari apa yang ia pikir sebagai merintangi tujuannya. Pada saat ia, dengan pengalamannya sendiri, membuktikan bahwa bumi itu bulat, maka ia tidak lagi mencari, mengejar, dan mempertahankan tujuannya. Dengan sendirinya pula apa yang ia senangi (karena ia anggap akan membawanya pada tujuannya) dan yang ia hindari (karena ia anggap akan merintangi tujuannya), lenyap menjadi tidak lagi relevan.
oh ternyata pernah menjadi topik tak berujung hehehe...Setelah beberapa lama di forum memang sepertinya hampir semua topik umum sudah dibahas. ;D
ternyata perbedaan pendapat klasik.
jadi sampai di sini saja.
saya coba cari lengkapnya, ternyata judul dan penomorannya agak beda:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an03/an03.069.than.html
setelah membaca ini, saya tetap berbeda pendapat.
kamsia, om.
mengapa Arahatta-phala tidak muncul di dalam vipassana?
Sebagai umat awam (bukan anggota sangha), bagaimana caranya meniadakan sumber mata air? apakah mungkin, karena lingkungan umat awam adalah sangat mungkin terpapar hal-hal tidak bermanfaat.Apakah menjadi perumah-tangga ataupun petapa, "sumber mata air" tersebut adalah sulit untuk diketahui dan dihentikan. Hanya saja dengan menjadi petapa, memang kesempatan kesempatan berlatih relatif lebih banyak karena tidak disibukkan dengan urusan-urusan duniawi lagi. Tapi itupun kalau memang menjalani petapaan mulia, sebab sekarang ini banyak petapa palsu yang numpang cari duit, bukan demi menghentikan "sumber mata air" tersebut.
^
Ya, saya setuju. Umat awam memang lebih disibukkan dengan hal-hal duniawi, kadang saya merasa bahwa waktu lewat begitu saja dengan rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Mirip mesin saja.
Mengenai latihan pengendalian indria, pengembangan konsentrasi, dan kebijaksanaan. Saya memang berusaha melakukan pelatihan diri dalam kapasitas saya sebagai umat awam, walaupun memang belum maksimal.
Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).
Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).
Ada yang mengalami hal serupa?
^
Wah, bro, coba liat keterangan gender saya. Ibarat magnet, kutub senama itu tolak-menolak ;D
Ya, saya setuju tentang berteman dengan orang yang baik. Tapi mencari teman yang baik itu memang tidak mudah. Jadi saya saat ini cenderung berjuang sendiri.
^tunjuk jari.. :-[
Ya, saya setuju. Umat awam memang lebih disibukkan dengan hal-hal duniawi, kadang saya merasa bahwa waktu lewat begitu saja dengan rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Mirip mesin saja.
Mengenai latihan pengendalian indria, pengembangan konsentrasi, dan kebijaksanaan. Saya memang berusaha melakukan pelatihan diri dalam kapasitas saya sebagai umat awam, walaupun memang belum maksimal.
Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).
Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).
Ada yang mengalami hal serupa?
Jadi terlintas dalam benak saya untuk bertanya pada bro KainynKalau tidak salah ingat, ketika seseorang melakukan akusala garuka kamma, maka dalam kehidupan itu selain ia tidak dapat mencapai kesucian, juga tidak dapat mencapai jhana.
Contoh kasus, jika Pangeran Ajatasatu setelah naik tahta dengan membunuh ayah kandungnya dan kemudian menyesal dan bertobat, terus sang pangeran berlatih meditasi hingga mencapai jhana, maka ketika misalnya dia meninggal pada saat itu juga, menurut bro Kainyn akan lahir dimanakah sang pangeran?
Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).Bagi kita yang pikirannya belum benar-benar terlatih, faktor eksternal/lingkungan lebih berpengaruh terhadap kondisi pikiran kita, bahkan kadang sangat dominan. Jadi mungkin di rumah suasana berbeda, memunculkan pikiran & perasaan yang mendukung untuk berlatih. Sedangkan di kantor, suasananya berbeda, memunculkan pikiran & perasaan yang berbeda pula. Kalau saya sendiri, ketika menyadari suasana mulai berpengaruh pada pikiran & perasaan, saya biasa usahakan untuk menyadari kontak apa yang masuk dan pengaruhnya. Selain itu juga mencoba menenangkan pikiran agar tidak terlalu terpengaruh oleh lingkungan.
Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).
Ada yang mengalami hal serupa?
^Iya, maka biasanya orang ikut retreat agar berada dalam suasana kondusif latihan untuk jangka waktu yang cukup lama dan tidak terputus. Dengan begitu, diharapkan bisa memberikan kemajuan yang signifikan ketimbang hari biasanya.
:yes: Ibarat (belajar) menulis, kita kudu tekun dan telaten..
Iya, maka biasanya orang ikut retreat agar berada dalam suasana kondusif latihan untuk jangka waktu yang cukup lama dan tidak terputus. Dengan begitu, diharapkan bisa memberikan kemajuan yang signifikan ketimbang hari biasanya.
Sekarang ini sudah menjelang liburan, kita bisa coba tekadkan untuk berlatih penuh selama liburan, tanpa harus terganggu dengan rutinitas. :)
Iya, maka biasanya orang ikut retreat agar berada dalam suasana kondusif latihan untuk jangka waktu yang cukup lama dan tidak terputus. Dengan begitu, diharapkan bisa memberikan kemajuan yang signifikan ketimbang hari biasanya.
Sekarang ini sudah menjelang liburan, kita bisa coba tekadkan untuk berlatih penuh selama liburan, tanpa harus terganggu dengan rutinitas. :)
Apakah mendengarkan musik adalah aktivitas yang cenderung membawa kualitas mental yang kurang baik ? :-?Kalau dibilang membawa kualitas mental tertentu, saya pikir tidak juga. Semua tergantung persepsi pikiran terhadap suara indah tersebut. Karena kondisi bathin orang berbeda dari waktu ke waktu, maka kondisi pikiran yang dihasilkan dari mendengar lagu juga berbeda-beda.
Kalau dibilang membawa kualitas mental tertentu, saya pikir tidak juga. Semua tergantung persepsi pikiran terhadap suara indah tersebut. Karena kondisi bathin orang berbeda dari waktu ke waktu, maka kondisi pikiran yang dihasilkan dari mendengar lagu juga berbeda-beda.
Terlepas dari hasil yang sangat tidak menentu itu, kalau kita mendengarkan lagu, terpikat dan terlarut oleh kesenangan indriah tersebut (apakah bentuk, suara, rasa, sentuhan, bau2an), maka akan cenderung pada pemupukan kemelekatan dan keinginan. Orang yang cenderung pada kemelekatan indriah, akan sulit berkonsentrasi mencapai samadhi.
Karena itulah bhikkhu tidak diperbolehkan mendengarkan musik ataupun bermusik.
bro kaiyn masih suka dengar musik/lagu?Kadang-kadang saja.
Saya sering membaca maupun mendengar suatu kalimat pendek yang mungkin cuku sering terdengar di kalangan buddhist
"Seeing thing as they are"
Bagaimana hal tersebut dapat membawa seseorang pada keseimbangan batin yang bermanfaat ? Karena kalimat tersebut jika dinalar seperti anti kritik :-?
melihat fenomena (segala sesuatu) sebagaimana adanya..
bukankah sama saja dengan "understanding the nature of things"?
Ya sama ;D
Misal ada orang yang mengkritik, lalu si pihak yang dikritik karena "melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya" maka dia menganggap bahwa kiritikan itu bisa terjadi kapan saja dan akhirnya... CUEK ;D
Apakah semua makhluk hidup terbagi 2 jenis kelamin? Makhluk dewa, setan, cahaya/tanpa rupa punya jenis kelamin gak?
Saya sering membaca maupun mendengar suatu kalimat pendek yang mungkin cuku sering terdengar di kalangan buddhist
"Seeing thing as they are"
Bagaimana hal tersebut dapat membawa seseorang pada keseimbangan batin yang bermanfaat ? Karena kalimat tersebut jika dinalar seperti anti kritik :-?
Ya sama ;DAda 2 hal di sini, yaitu tentang keseimbangan bathin, dan tentang memahami fenomena apa adanya dalam konteks Buddha-dhamma.
Misal ada orang yang mengkritik, lalu si pihak yang dikritik karena "melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya" maka dia menganggap bahwa kiritikan itu bisa terjadi kapan saja dan akhirnya... CUEK ;D
Apakah semua makhluk hidup terbagi 2 jenis kelamin? Makhluk dewa, setan, cahaya/tanpa rupa punya jenis kelamin gak?Brahma dikatakan tidak memiliki gender dan karakteristiknya adalah laki-laki. Arupa Brahma, tidak bisa dinilai karena tidak ada 'rupa'-nya. Lainnya dikatakan memang ada pria, wanita, dan di antaranya. Saya rasa untuk 'yang di antaranya' tidak ada di alam bahagia, sebab 'terjebak' di antaranya dikatakan karena perilaku asusila.
halo om ;D.Karma itu sulit diketahui prosesnya. Tapi memang betul, BIASANYA tidak muncul seketika. Jadi kalau orang merampok dan menikmati hasilnya, sepertinya itu adalah buah karma baiknya di masa lampau, entah yang mana. Kalau tertangkap dan digebuki, misalnya, itu juga belum tentu buah karma buruk dari merampok itu, tapi dari karma buruk lain di masa lampau yang kebetulan berbuah karena didukung kondisi merampok tersebut.
saya mau nanya, karena akhir-akhir ini sering baca di forum tentang karma/kamma ;D.
kalo saya baca-baca di forum, sepertinya buah karma itu mudah banget yah munculnya, seperti contohnya maling yang berhasil merampok disebut karena buah karma baiknya lagi dipanen ;D.
tapi kok menurut sepahaman saya, karma itu seharusnya seperti pencapaian kesucian gitu, ada jalannya kemudian baru muncul buahnya, bukan sedikit-dikit langsung muncul buah ;D. jadi ketika dia berhasil merampok itu bukan buah karmanya tapi cuma proses untuk mematangkan buah karmanya ;D.
contohnya ketika dia merampok dan berhasil, tapi setelah itu dia melihat orang yang dia rampok menjadi stress dan bunuh diri, hingga muncul kesadaran perbuatan dia itu salah dan mulai untuk meninggalkan perbuatan itu ;D.
atau bisa juga ketika dia merampok dan berhasil, kemudian dia menjadi terkenal di antara rekan-rekan seprofesi sehingga dia menjadi sombong dan melakukan perampokan terus menerus hingga akhirnya dia tertembak, menderita dan menjelang kematiannya pikiran2 buruk berhamburan dst.
jadi yang saya mau tanyakan apakah benar buah karma itu memang timbul setiap saat dengan mudahnya? ;D
atau yang "dibilang" buah karma itu sebenarnya adalah jalan/proses untuk munculnya buah karma yang sesungguhnya? ;D
Karma itu sulit diketahui prosesnya. Tapi memang betul, BIASANYA tidak muncul seketika. Jadi kalau orang merampok dan menikmati hasilnya, sepertinya itu adalah buah karma baiknya di masa lampau, entah yang mana. Kalau tertangkap dan digebuki, misalnya, itu juga belum tentu buah karma buruk dari merampok itu, tapi dari karma buruk lain di masa lampau yang kebetulan berbuah karena didukung kondisi merampok tersebut.
Dalam satu perbuatan merampok, jelas dia menanam karma buruk baru. Tapi bersamaan dengan proses penanaman karma itu, banyak karma lain berinteraksi. Ada karma yang menjadi terhalang proses berbuahnya, ada yang terdukung proses berbuahnya. Maka sangat rumit sekali.
kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;D
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;D
terus, sebenarnya hukum kamma itu untuk apa? ;D
untuk menakut-nakuti, sehingga seseorang menjadi melekat pada perbuatan baik sehingga bisa menuai hasil yang baik? ;D
atau, untuk menyadari begitulah cara kerja alam semesta ini, sehingga memotivasi orang untuk berusaha tidak membuat kamma baru lagi? ;D
kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".Menurut saya, ungkapan tersebut memang salah sama sekali dalam konteks hukum kamma. Ada bedanya antara sebab akibat secara umum, dan sebab-akibat secara kamma. Secara umum maling ditangkap lalu dihakimi massa, itu adalah sebab-akibat. Secara kamma, belum tentu demikian.
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;DTerlepas dari bagaimanapun kejadian yang menimpa seseorang, tersadarkan akan hukum kamma adalah buah dari kamma baik. Banyak orang yang mengalami hal buruk, tapi tidak semua orang bisa tersadarkan, bahkan kadang membentuk pola pikir lebih parah lagi.
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;D
terus, sebenarnya hukum kamma itu untuk apa? ;DNah, ini dia pertanyaan sesungguhnya, pertanyaan yang sangat bagus. ;D
untuk menakut-nakuti, sehingga seseorang menjadi melekat pada perbuatan baik sehingga bisa menuai hasil yang baik? ;D
atau, untuk menyadari begitulah cara kerja alam semesta ini, sehingga memotivasi orang untuk berusaha tidak membuat kamma baru lagi? ;D
oh kainyn, menurut om, bagian mana yang paling penting dari ajaran Buddha yang harus selalu kita ingat dan yang dapat menjadikan kita tetap di jalur yang benar dalam kehidupan ini?Pendapat saya, apa yang harus diingat oleh setiap orang adalah berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini karena pemahaman, kebijaksanaan, dan kondisi seseorang pun berbeda-beda. Kalau saya pribadi, saya fokus pada 3 akar penderitaan: keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin (LDM). Dalam kondisi apapun, ketika kita peka pada 'aktifitas' LDM, maka kita bisa belajar menilai 'hal ini mendukung pemupukan LDM, hal ini mendukung pengikisan LDM'. Dari penilaian itu sendiri, otomatis kita bisa memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang sebaiknya dihindari.
_/\_ om kainyn, saya mau tanya.Kalau saya pertama-tama justru tidak menetapkan satu 'jalan' tertentu sebagai 'sang jalan', satu doktrin tertentu adalah (pasti) dari Buddha.
bagaimana cara mengetahui bahwa apa yang kita lihat, dengar dan alami sendiri itu adalah sang jalan?
itu adalah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha?
_/\_ tanya lagi yah om kainyn.Ya, tentu saja selalu ada kemungkinan orang yakin dirinya benar, padahal keliru. Karena itulah kita harus senantiasa menguji dan menyelidiki pandangan kita. Jangan segan-segan mempertanyakan dan 'melibas' pandangan kita sendiri. Kalau kita takut dengan ujian, mencari aman terus, maka kesempatan untuk mendapatkan atau mengembangkan kebijaksanaan juga jadi sempit dan terbatas.
dalam proses penyelidikan setiap orang pasti berbeda, apakah ada kemungkinan bagi seseorang dalam penyelidikannya salah menilai yang benar sebagai yang tidak benar, yang tidak seharusnya sebagai yang seharusnya, kemudian menjadi memegang dan meyakini apa yang tidak sesuai dengan Dhamma.
jika seperti itu bagaimana om kainyn?
...
Jangan segan-segan mempertanyakan dan 'melibas' pandangan kita sendiri.
...
Kalau kita takut dengan ujian, mencari aman terus, maka kesempatan untuk mendapatkan atau mengembangkan kebijaksanaan juga jadi sempit dan terbatas.
mau nambahin sedikit...
menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.
sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
Apa maksudnya ada dhamma lainnya selain yang diajarkan SB?saya gak berbicara ajaran2 di luar buddhisme dulu. mari kita berbicara yang ada dalam buddhisme saja.
trus gimana kita membedakan itu dhamma atau bukan sementara kita sendiri belum tercerahkan?alasan kita belajar buddhisme hanya satu: karena dukkha. dalam salah satu sutta sendiri, Buddha mengatakan, “O, Anuradha, dari dahulu sampai sekarang, hanya ini yang Kuajarkan: tentang dukkha dan tentang lenyapnya dukkha.”
The Web reminds me of the early days of the PC industry. No one really knows anything. There are no experts. All the experts have been wrong. There's a tremendous open possibility to the whole thing. And it hasn't been confined, or defined, in too many ways. That's wonderful.
There's a phrase in Buddhism,"Beginner's mind." It's wonderful to have a beginner's mind.
mau nambahin sedikit...well spoken mate. couldn't agree more
menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.
sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
mau nambahin sedikit...
menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.
sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
well spoken mate. couldn't agree morekalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
mau nambahin sedikit...Setuju. Sampai kapanpun sepertinya pengetahuan dan kebijaksanaan kita tetap akan 'berevolusi', kecuali mungkin kalau kita memang sudah menemukan 'akhir dari segalanya', entah apapun wujudnya.
menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.
sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
Beberapa hari yg lalu Steve Jobs RIP, katanya meninggalkan nilai saham sejumlah Triliun Rph...Sepertinya Buddha menganjurkan kita memperhatikan kesejahteraan orang tua, keluarga, teman, dan juga para pekerja/bawahan. Selain itu, juga memperhatikan kesejahteraan 'masa depan' yaitu dengan berdana dan menolong sesama. Soal berapa porsinya, saya pikir ini setiap orang berbeda dan punya penilaiannya sendiri.
Menurut Buddhist, apakah cara yg terbaik dilakukan sebelum dia RIP ?
(pengaturan warisan utk keluarga dan porsi berdana utk sosial, etc....)
thx!
[...]
"Seandainya, Brahmana, seorang pencari kayu pergi ke hutan dan menemukan bangkai binatang yang telah dimangsa dan ia ambil tulang kakinya. Sekembalinya ia ke kota, ia menjual tulang itu ke pembuat suling dan kemudian dibuatkan suling tulang. Lalu seorang pemusik membeli suling tersebut dan memainkan musik. Apakah bisa dibilang bermain musik demikian adalah menyetujui pembunuhan atau pemangsaan hewan?"
"Memang tidak, Yang Mulia. Namun kemudian apakah berarti semua makanan sama saja dan boleh dimakan?"
[...]
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?dutiyampi
Saya setuju tentang bodhicitta.1. Jadi jika memang bangkainya ada, dengan kreativitas tertentu dimanfaatkan, dagingnya menjadi murni?
Tapi antara 'menemukan bangkai', dengan non-vege (katakanlah, membeli daging untuk dimakan), IMHO konteksnya berbeda?
Maksudnya,
[1] Tentang bangkai, bangkai tersebut adalah hewan yang dimangsa oleh hewan lain. Dengan kreativitasnya, dia memanfaatkan tulang sebagai seruling. Memang tidak bisa dikatakan bahwa dia mendukung pembunuhan. Selain itu, tidak ada korelasi antara jumlah hewan yang dimangsa dengan pembuatan tulang sebagai seruling..
[2] Kalau beli daging, daging itu memang ditujukan untuk pembeli. Memang tidak bisa dikatakan juga bahwa si pembeli menyetujui pembunuhan, tapi ada korelasi antara jumlah pembeli dengan jumlah hewan yang dibunuhOK, bagaimanakah korelasinya?
1. Jadi jika memang bangkainya ada, dengan kreativitas tertentu dimanfaatkan, dagingnya menjadi murni?
2. Bagaimana jika memang kota itu produsen suling, dan jika memang kekurangan bahan, ada binatang yang dibantai. Apakah kemudian ada korelasinya?
OK, bagaimanakah korelasinya?
Makin byk org yg beli 'bangkai', penjual akan semakin banyak membunuh untuk memenuhi permintaan pasar.Sebetulnya saya bahas tentang 'kemurnian' makan daging dan bodhicitta. ;D
Demikian jg ....
Semakin banyak org yg pemakan sayur, maka para petani akan semakin menjaga kwalitas sayuran dengan obat anti hama.
Tidak, Yang Mulia ;D"Demikianlah, Brahmani ..." :hammer:
Saya tidak ingin membahas pengaruh 'murni atau tidak murninya suatu daging' terhadap pengembangan bodhicitta. Karena saya setuju dengan inti ceritanya.Ya, kembali lagi ke jawaban saya untuk JW. Kalau untuk masyarakat terbatas dan swadaya di tempat tertentu yang tidak terhubung dengan masyarakat lain, maka memang betul bahwa pengurangan konsumsi daging berarti pengurangan pembantaian. Tapi kalau sudah bicara keadaan di sini, sekarang, di mana daging yang tidak laku bisa dibuat makanan anjing, bahan bakar, atau bahkan 'didaur ulang' jadi daging ilegal, saya sangat meragukannya.
Tapi tentang vege, bukankah cukup logis kalau dikatakan bahwa semakin banyak orang yang mengkonsumsi daging, berarti semakin banyak hewan yang dibunuh untuk dimakan? (untuk seruling, kurang lebih sama)
nahh..itulah yg ingin sy sampaikan tadi. Bahwa kita tidak dapat menilai bahwa yg berseberangan dgn kaum vegefavo adalah pembawa 'bencana' ;DIya, memang tidak bisa dinilai. Yang pasti berkontribusi pada 'bencana' adalah konsumsi sumber daya yang berlebihan.
Kalo dilihat dari sisi tertentu, sebetulnya letak masalahnya adalah ketidakmampuan atau hampir-tidak-mungkin 'menghasut' mayoritas orang untuk vegetarian.Sebetulnya berbeda jauh sekali.
OOT sedikit, saya jadi teringat ada orang yang bilang: "untuk apa mengurangi pemakaian plastik? toh semua orang pakai plastik. Kalau hanya segelintir orang saja yang berupaya, tidak ada gunanya"
Ini mirip seperti "untuk apa vege demi mengurangi pembunuhan? mayoritas orang makan daging. Kalau tujuan saya vege adalah demi mengurangi pembunuhan, sebenarnya mustahil" :|
Iya, memang tidak bisa dinilai. Yang pasti berkontribusi pada 'bencana' adalah konsumsi sumber daya yang berlebihan.
Sebetulnya berbeda jauh sekali.
Kita lihat dari 'akibatnya'. Produk sudah ada. Kita makan atau tidak makan, hewan telah terbunuh. Kalau plastik, jika kita tidak pakai plastik, maka tidak ada sampah plastik yang dihasilkan.
Dari segi produksi, jika plastik tidak laku, maka tidak dibuang. Jika supply menumpuk, maka otomatis produksi akan berhenti, sebab plastik bisa tahan sampai ratusan tahun. Kalau daging tidak laku akan rusak dan dibuang. Tidak akan terjadi penumpukan daging (segar) yang bisa menyebabkan terhentinya produksi daging.
Jadi menurut saya walaupun sepintas tampak mirip, namun sebetulnya beda jauh.
^ ^ ^ memang, tapi kalau gak vege, makhluk yang dibunuh memiliki tubuh yang lebih kompleks (berdaging dan berdarah seperti kita).Kalau lebih kompleks, berdaging dan berdarah, lalu kenapa?
note: saya bukan vegetarian, tapi cukup tertarik dengan isu ini. Jadi saya mencoba menempatkan diri di sisi vegan
ya, setuju
Kalau daging tidak laku, memang akan rusak dan dibuang. Tapi kalau gak laku terus, bukankah hewan yang dibunuh juga makin sedikit? (mengantisipasi kerugian, agar tidak banyak yang terbuang)
Harusnya gini : "untuk apa vege demi mengurangi pembunuhan? Toh juga kalo vegetarian jg turut andil dalam pembunuhan."
Kalau lebih kompleks, berdaging dan berdarah, lalu kenapa?
Kalau lihat logika sederhana, maka memang betul: tidak ada permintaan daging, maka tidak ada penyediaan daging.
Jika kita hidup di masyarakat yang masih sederhana, terbatas, terlokalisir, sepertinya memang bisa langsung dilihat bahwa kalau satu komunitas itu tidak makan daging, maka tidak akan ada penyediaan daging.
Tapi kalau kita lihat masyarakat industri yang pasarnya adalah global, otomatis menjadi tidak sesederhana itu. Misalnya anggaplah produsen makanan. Setiap hari mereka memproduksi sesuai kemampuan produksi mereka per hari. Soal makanan itu akan di-ke-manakan, dibuat apa, terpakai berapa, terbuang berapa, itu bukan masalah si produsen lagi. Di UK, misalnya, persentase makanan yang dibuang adalah lebih dari 30% (source (http://www.guardian.co.uk/uk_news/story/0,,1460183,00.html)), bahkan di US, menurut beberapa artikel, bisa sampai 50%.
Makanan terbuang itu tentu mencakup daging dan non-daging. Jadi tanpa mengatakan makan daging/non-daging itu bagus/jelek, saya pikir ada baiknya kita tidak secara naif mengatakan 'turunnya konsumsi PASTI menyebabkan turunnya produksi'. Bukan 'pasti tidak pengaruh', tetapi banyak hal yang perlu diperhatikan. Dan juga tentu saja kalau mengatakan 'tidak makan daging = mengurangi pembunuhan' adalah tidak tepat, kecuali, sekali lagi, dalam konteks masyarakat tertutup, terbatas, dan tidak global.
Kalau daging tidak laku, memang akan rusak dan dibuang. Tapi kalau gak laku terus, bukankah hewan yang dibunuh juga makin sedikit? (mengantisipasi kerugian, agar tidak banyak yang terbuang)Nah, ini juga hal yang menarik. Bagaimana kalau kita semua masing-masing kumpulkan data, apakah benar kalau gak laku, pembantaian dikurangi? Ada banyak tempat yang bisa diselidiki, dari pasar tradisional, sampai pabrik besar yang mungkin akan memberikan informasi yang bervariasi. Kalau Sis Mayvise dan yang lainnya ada selidiki hal ini, boleh dibagikan di sini untuk masukan kita semua.
Dalam proses pembunuhan, dari apa yang dilihat atau didengar (misalnya darah atau rintihan korban), maka akan memberi kesan yang lebih mendalam bagi pembunuhnya. Selain rasa sakit yang diderita hewan yang dibunuh, si pembunuhnya pun menyimpan kesan yang mendalam.Kalau soal rintihan, ada juga pejagalan yang mengharuskan bikin pingsan (pakai setruman tegangan tinggi di belakang otak), jadi pada saat dipotong, sudah tidak sadar. Darah juga ga selalu memberikan kesan yang lebih, karena penjagalan tanpa darah, misalnya dimasukin karung dan dipukuli sampai mati, atau menyajikan "yin-yang fish" itu sudah sangat mengerikan dan tidak manusiawi, padahal tidak ada darah di sana.
Bosan loh hubungi daging atau "bangkai" dgn pembunuhan...Misalnya ada seorang pria beristri berhubungan seksual secara salah dengan seorang gadis miskin. Setelah si gadis hamil, maka si pria tidak bertanggung-jawab tersebut meninggalkannya. Karena si gadis tidak punya kemampuan menghidupi anaknya, maka ia memberikan anaknya untuk diasuh orang lain. Tapi ada beberapa orang beranggapan: "kalau kita urus anak di luar nikah ini, objek hasil hubungan seksual yang salah ini, maka berarti kita mendukung pelanggaran sila ke tiga." Maka ditolaknyalah anak ini demi 'belas kasih' pada wanita-wanita lain agar jangan sampai mendapat perlakuan yang sama.
Gimana kalo kita ganti "bahan mentah" nya...
Misnya pemakaian kosmetik, tali pinggang kulit, tas LV, D&G, Channel dll, sepatu, pakaian, sayur brokoli, bayam, kangkung, jagung, ubi, nasi, obat2an, buku tulis, selebaran/flyer/brosur kampanye vege dll..
sy kira itu smua jg melalui proses pembunuhan baik langsung maupun tidak langsung.
Memang betul biasanya hewan tingkat tinggi dan kompleks, sistem syarafnya lebih berkembang dan reseptor sakitnya secara fisiologis lebih nyata. Tapi ini tidak menjadi alasan bagi kaum vegetarian ekstrem seolah-olah menghajar serangga, tikus, dll, lebih mulia ketimbang menghajar sapi atau ayam, misalnya, sebab hewan sesederhana lalat pun juga mempunyai reseptor rasa sakit (walaupun tentu kompleksitasnya berbeda).
Misalnya ada seorang pria beristri berhubungan seksual secara salah dengan seorang gadis miskin. Setelah si gadis hamil, maka si pria tidak bertanggung-jawab tersebut meninggalkannya. Karena si gadis tidak punya kemampuan menghidupi anaknya, maka ia memberikan anaknya untuk diasuh orang lain. Tapi ada beberapa orang beranggapan: "kalau kita urus anak di luar nikah ini, objek hasil hubungan seksual yang salah ini, maka berarti kita mendukung pelanggaran sila ke tiga." Maka ditolaknyalah anak ini demi 'belas kasih' pada wanita-wanita lain agar jangan sampai mendapat perlakuan yang sama.Anak itu kan punya perasaan, tas kulit mana punya perasaan kk.... :P
Gimana, Bro JW? Ada kesamaan yang menarik di sisi tertentu, bukan!? ;D
Misalnya ada seorang pria beristri berhubungan seksual secara salah dengan seorang gadis miskin. Setelah si gadis hamil, maka si pria tidak bertanggung-jawab tersebut meninggalkannya. Karena si gadis tidak punya kemampuan menghidupi anaknya, maka ia memberikan anaknya untuk diasuh orang lain. Tapi ada beberapa orang beranggapan: "kalau kita urus anak di luar nikah ini, objek hasil hubungan seksual yang salah ini, maka berarti kita mendukung pelanggaran sila ke tiga." Maka ditolaknyalah anak ini demi 'belas kasih' pada wanita-wanita lain agar jangan sampai mendapat perlakuan yang sama.
Gimana, Bro JW? Ada kesamaan yang menarik di sisi tertentu, bukan!? ;D
Anak itu kan punya perasaan, tas kulit mana punya perasaan kk.... :P
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
Quote from: morpheus on 08 October 2011, 05:38:00 PM
mau nambahin sedikit...
menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.
sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
Quote from: Sumedho on 09 October 2011, 09:04:28 AM
well spoken mate. couldn't agree more
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
Gmn dgn sayuran organik kk? Apakah setiap sayuran pasti terdapat pembunuhan?Walaupun 'merk'-nya organik atau apa, sebetulnya tidak beda jauh dengan yang biasa. Bahkan kalau organik justru ada 'bolong-bolong' bekas dimakan ulat 'kan? Lalu di-ke-manain uletnya? ;D
Oh ya, membunuh hewan merugikan kan karmanya tidak seberat hewan bermanfaat benar gak?Merugikan dari sisi apa? Kalau dari pandangan keseimbangan alam, maka boleh dibilang karma paling ringan adalah membunuh manusia yang paling merugikan alam. ;D
Anak itu kan punya perasaan, tas kulit mana punya perasaan kk.... :PBukan masalah di objek (yang satu hidup, satu tidak), sebab selalu kembali ke objek itu netral.
Maaf tau tau nimbrung,Betul, memang ada kalanya kita lihat dari manfaat ke bathin kita apakah bermanfaat. Tapi apakah memiliki pandangan salah yang menyebabkan diri lebih tenang, adalah bermanfaat?
Mengenai Vege saya ada pemikiran sendiri, mungkin sama atau mungkin jg dah di post oleh yg lain
Pertama, saya selalu ingat pemikiran buddhis adalah pemikiran kediri sendiri bukan keluar
jadi saat seseorang memutuskan untuk vege,maka hendaknya keputusan itu didasari dari kepentingannya sendiri. bukan karena faktor luar.
maksud saya, bila kita mengaitkan vege itu mengurangi pembunuhan (mengurangi bukan berarti menghapus semua) maka bisa dikatakan benar. yah walaupun nantinya mungkiin yang dibunuh sama saja, hanya saja dagingnya tidak laku dan dibuang selanjutnya, tetapi kita melihat dalam diri sendiri, "pembunuhan" yang ada dipikiran lah yang berkurang, dan saya rasa itu ada manfaatnya juga.
mengenai yang non vege, kita mesti melihat bagaimana niatan mereka, ada yang makan karena demand ada yang makan karena kemudahan dan lain sebagainya.Kalau soal non-vege, ini tentu ada yang tidak pantang sama sekali dan ada yang pantang dengan alasan tertentu, misalnya yang menyebabkan pembunuhan langsung seperti aturan dalam Theravada. Lalu konsumsinya sendiri berkenaan dengan nafsu pada citarasa. Makanan apapun baik daging atau non-daging, yang dengannya kita memupuk kemelekatan pada rasa, itu tidak bermanfaat dan sebaiknya dihindari.
saya jg ingat mengenai perumpamaan, bagaimana di lingkungan suku tertentu yang tidak mengenal dhamma mungkin akan melakukan kamma buruk, walaupun hal itu adalah hal lumrah bagi mereka dan tidak dianggap kejahatan. hal itu dinamakan kebodohan batin.
saya rasa juga merupakan suatu kebodohan batin bagi kita, yang mendemand daging untuk konsumsi. alasannya karena dengan "mendemand" berarti kita secara tidak langsung "menyuruh" seseorang memenuhi "demand" kita, dan dengan demikian orang tersebut melakukan karma buruk dengan menangkap makhluk hidup/memperbudak kehidupan makhluk hidup, membunuh makhluk hidup serta tidak mengubur dengan layak makhluk hidup lain.
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?ini pertanyaan buat saya atau buat suhu?
tatiyampi, takut kaga di jawab dan tenggelam ;D
Meskipun tidak vegetarian, namun saya sendiri juga bukan 'penggemar daging', belakangan sy malah sulit untuk makan daging (krn udah jarang makan sehingga 'berbau darah' / amis). Prinsip sy terkait vegetarian ini, sy berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi konsumsi daging saya, alasannya: lebih ke alasan kesehatan dan untuk mengurangi nafsu sy akan makanan enak. Dan sy juga setuju dengan pendapat sbgn teman2 disini bahwa vegetarian, tidak terkait dengan prinsip cinta-kasih ataupun kesucian.Ya, kalau sebagai bentuk protes, saya setuju. Beberapa makanan juga saya tidak makan bukan karena saya lihat makan makanan itu = tidak cinta kasih, atau makanan itu = kotor/haram, tapi memang sebagai sikap protes saja, kadang agar orang juga lebih memperhatikan.
Namun satu hal lain, sy juga bersikap ikut tidak mengkonsumsi/menggunakan atribut tertentu dengan alasan tertentu, contohnya:
- Sy tidak mau makan telur penyu, krn tidak setuju pengambilan telur penyu besar2an demi konsumsi umum. Telur penyu harus dilestarikan demi kelangsungan hidup satwa langka ini.
- Sy juga tidak makan sirip hiu, dgn alasan yg sama spt diatas. Sy pernah ikut membuat kaos bertuliskan: "We don't need Shark Fin for Health"
- Sy juga tidak mau membeli barang2 dari kulit buaya asli, tempurung penyu asli, kulit binatang berbulu (yg dibuat mantel, sepatu, hiasan, dll)..
Ini sebagai bentuk protes sy.
Alasan ini sama dgn himbauan untuk:Nah, kalau di sini, kembali lagi saya kurang cocok.
- mengurangi pemborosan pemakaian kantong plastik (sy sering membawa kantong kain sendiri kalau belanja)
- mengurangi pemborosan listrik (mematikan lampu dll yg tidak perlu disiang hari)
Sebagian akan berpendapat bahwa kalau kita tdk pakai kantong plastik, yg lain juga akan pakai atau kalau kita tidak hidupkan lampu, toh orang lain akan tetap memboroskan listrik.. apalah effectnya tindakan minor kita? Tapi yah tetap sy lakukan juga...
::
Betul, memang ada kalanya kita lihat dari manfaat ke bathin kita apakah bermanfaat. Tapi apakah memiliki pandangan salah yang menyebabkan diri lebih tenang, adalah bermanfaat?
Misalnya di FB kemarin ada yang beranggapan kalau saya makan ayam dari sehari sekali, dikurangi jadi 2 hari sekali, maka nantinya tiap hari terhitung fangsheng 1 ayam.
Ini adalah pendapat yang sangat lucu, karena berarti kalau diet saya adalah ayam, kambing, sapi, ikan, maka ketika hari ini saya makan ayam, saya boleh berbangga hati telah fangsheng kambing, sapi, dan ikan. Kalau besok makan ikan, maka saya fangsheng ayam, kambing, sapi. Menarik sekali pandangan salah ini, bukan? ;D Di pikiran, terdapat 'fangsheng', namun apakah 'fangsheng' bener terjadi?
Kalau soal non-vege, ini tentu ada yang tidak pantang sama sekali dan ada yang pantang dengan alasan tertentu, misalnya yang menyebabkan pembunuhan langsung seperti aturan dalam Theravada. Lalu konsumsinya sendiri berkenaan dengan nafsu pada citarasa. Makanan apapun baik daging atau non-daging, yang dengannya kita memupuk kemelekatan pada rasa, itu tidak bermanfaat dan sebaiknya dihindari.
Walaupun 'merk'-nya organik atau apa, sebetulnya tidak beda jauh dengan yang biasa. Bahkan kalau organik justru ada 'bolong-bolong' bekas dimakan ulat 'kan? Lalu di-ke-manain uletnya? ;DMungkin gak cuma diusir alias gak dibunuh? :P
Merugikan dari sisi apa? Kalau dari pandangan keseimbangan alam, maka boleh dibilang karma paling ringan adalah membunuh manusia yang paling merugikan alam. ;DIa itu aku jg bingung soalnya merugikan itu relatif, tapi gmn menurut kk dgn pernyataan berikut:
Objek dari pembunuhan makhluk hidup yang dimaksud dibedakan menjadi :
1. Manusia
2. Binatang
1. Binatang yang berguna
2. Binatang yang tidak berguna
3. Binatang yang merugikan
4. Binatang yang tidak merugikan
Bobot kejahatan tergantung pada kebaikan dan besarnya makhluk yang bersangkutan. Pembunuhan terhadap seorang saleh atau seekor hewan besar ( gajah, lembu, kerbau, dll. ) dipandang lebih kejam daripada pembunuhan terhadap seorang yang keji, bengis, jahat ataupun seekor hewan kecil ( nyamuk, semut, kecoa, ulat, dll. ). Hal itu dianggap demikian karena usaha lebih besar diperlukan untuk melakukan kejahatan itu dan kehilangan yang ditimbulkan dipandang lebih besar.
Dan kembali lagi, proses memakan daging tidak sama dengan proses membunuh hewan. Pendek kata, jika proses memakan itu berkaitan langsung dengan pembunuhan/penganiyaan hewan, maka itu harus dihindari.Yup, tp menurutku makan vegetarian jg bgs sepanjang gak fanatik, lebih tepatnya ada apa aja ya makan tidak terikat kemelekatan pada rasa ya?
Bukan masalah di objek (yang satu hidup, satu tidak), sebab selalu kembali ke objek itu netral.
Di sini persamaannya adalah ada pelanggaran (pembunuhan & hubungan seksual tidak benar). Dari pelanggaran ini, maka dihasilkan objek (daging & anak 'haram'). Lalu karena gagal melihat netralitas antara keduanya bahwa keduanya tidak selalu berkaitan langsung, maka seseorang membuat korelasi pasti bahwa penggunaan objek hasil adalah pendukung pelanggaran sila. (Makan daging = mendukung pembantaian; mengangkat anak 'haram' = mendukung perbuatan seksual salah.)
Ya, kalau sebagai bentuk protes, saya setuju. Beberapa makanan juga saya tidak makan bukan karena saya lihat makan makanan itu = tidak cinta kasih, atau makanan itu = kotor/haram, tapi memang sebagai sikap protes saja, kadang agar orang juga lebih memperhatikan.Jadi vegetarian ada yg salah gak kk? kl gak sebaiknya mereka boleh kampanye gak? Kalo boleh sebaiknya dgn slogan apa yah kalo bukan dengan cinta kasih?
Nah, ini juga hal yang menarik. Bagaimana kalau kita semua masing-masing kumpulkan data, apakah benar kalau gak laku, pembantaian dikurangi? Ada banyak tempat yang bisa diselidiki, dari pasar tradisional, sampai pabrik besar yang mungkin akan memberikan informasi yang bervariasi. Kalau Sis Mayvise dan yang lainnya ada selidiki hal ini, boleh dibagikan di sini untuk masukan kita semua.
saya rasa tidak ada pandangan yang salah, dalam situasi manusia dewasa yang sejak lahir telah diberi makanan non vege. tentunya sangat sulit untuk menjauhkan makanan2 berdaging tersebut dalam menu sehari hari, tanpa diberi pandangan bagaimana makanan mereka diperoleh.Pandangan salah yang saya maksud adalah pandangan seseorang bisa mengembangkan cinta kasih dengan memilih menu apa yang dimakan.
sudah sangat obvious Paha KFC, Ayam Goreng, Bakso Malang, dan lain sebagainya diperoleh dengan merenggut nyawa makhluk hidup. Lain halnya jika dikatakan makanan tersebut diambil dari pemeliharaan binatang ternak, lalu ditunggu meninggal dan baru diolah.
note: saya tidak mengganggap memakan daging adalah kamma/karma buruk karena daging hanyalah objek.
Dengan mengesampingkan seperti pandangan ormas di Indo seperti MUI yang mengharamkan sesuatu berdasar penyalahgunaan, demikian juga kita mengesampingkan bahwa memakan daging adalah akar dari suatu Perbudakan dan Pembunuhan massal Makhluk hidup.Saya sama sekali tidak menentang, bahkan menganggap vegetarian (yang tidak ekstrem) adalah bagus. Tapi saya menentang pandangan bahwa vegetarian = cinta kasih.
Bagi para peternak selain mereka ingin memakan daging juga, sebenarnya motif mereka adalah uang, jadi para peternak bukan memuaskan nafsu mereka dengan semakin banyak membunuh maka semakin puas mereka.
Menjadi Vege adalah sesuatu yang benar (NOTE : Saat anda bisa memilih) adalah pandangan yang paling tepat menurut saya.
Mungkin akan ada banyak kontroversi mengenai pernyataan, "Menjadi Vege Mengurangi Pembunuhan"Ini tidak bisa dinilai secara mutlak, maka saya mengajak kita semua coba menyelidiki, benarkan kalau kita vegetarian, lalu pembantaian berkurang. Sebaliknya juga cobalah teliti apakah jika seorang vegetarian kemudian makan daging, apakah benar ada penambahan pembantaian. Bisa dicoba dari yang dekat, misalnya pasar atau pedagang penjual ayam/daging. Saya punya beberapa jawaban, tapi lebih 'afdol' kalau orang lain saja yang memberi input.
tetapi saya rasa tidak ada yang dapat mengcounter pernyataan "Menjadi Non Vege Menambah Pembunuhan"
Saya kurang mengerti makna FangShen sebenarnya, demikian pandangan saya mengenai Fangshen teman FB tersebutFangsheng itu seharusnya adalah praktik melepaskan makhluk yang terancam bahaya. Jadi misalnya ada lele menunggu ajal digoreng, kita beli lele itu dan kita lepaskan.
FangShen intinya adalah selain "Merasakan" , Belajar, Melakukan Pelepasan. intinya adalah suatu usaha untuk mengorbankan (dalam arti merelakan) suatu tindakan yang tidak baik dan tidak melakukannya lagi, walaupun hal itu akan merugikannya/menyakitinya secara duniawi(sebagaimana seperti orang yg tidak lulus karena menolak contekan teman dan gurunya).
FangShen mungkin suatu tindakan penuh toleransi bagi seorang manusia dalam existensinya dengan Alam (saya menggunakan kata Alam sebagai wakil dari Makhluk2 lainnya)
Jadi bagi teman FB tersebut, dengan merelakan tidak memakan makanan kesukaan dia, maka dia "berharap" keesokannya tidaklah perlu lagi untuk seekor ayam yang dipersiapkan dengan dipelihara, dikandangkan, di bunuh dan juga digoreng untuknya.
memang lucu sih ;D
untuk pandangan Theravada saya punya contoh, seorang bhikkhu yang memakan ayam goreng yang dibeli oleh umatnya lalu dipersembahkan kepada Bhikkhu tersebut, bagaimana hal tersebut dikatakan bukan pembunuhan langsung. Penjual ayam goreng membunuh ayamnya secara khusus untuk dijual kepada pembeli, umat adalah pembeli maka umat membeli dari penjual tersebut.Kalau ayam memang sudah dibunuh dan digoreng, maka dibeli atau tidak oleh si umat, tetap ayamnya sudah mati. Sudah tidak relevan lagi, apalagi terhadap si bhikkhu. Apakah si bhikkhu terima atau tidak, ayamnya tetap sudah mati.
Sang Bhikkhu memang hanya menerima dan tidak terkait dengan urusan si penjual dan pembeli tadi, dia hanya berurusan dengan Umat saja. Menolak makanan sungguh tidak enak, karena menghalangi perbuatan baik si Umat.
Pertanyaannya bila apa yang dilakukan Umat tersebut pada saat menjadi Pembeli salah, bagaimanakah penilaian seorang bhikkhu seharusnya terhadap pembeli tersebut?
Mungkin gak cuma diusir alias gak dibunuh? :PKalo misalnya sapi ato ayamnya ga dibunuh, cuma ga dikasih makan sampe stress & mati, jadi daging 'organik' ga? ;D
Ia itu aku jg bingung soalnya merugikan itu relatif, tapi gmn menurut kk dgn pernyataan berikut:Saya setuju bahwa memang sepertinya beda makhluk, beda akibat. Tapi saya juga tidak mau berspekulasi macam-macam. Hewan keji darimana? Bodhisatta pernah jadi singa lho dalam perjalanan penyempurnaan paraminya. Bahkan Pindola Bharadvaja juga terlahir jadi singa waktu jaman Buddha Padumuttara, di mana si singa melayani Buddha selama tujuh hari, meninggal, terlahir di Tavatimsa. Kemudian di Tavatimsa, ia bertekad menjadi savaka yang terkemuka dalam 'raungan singa' (sihanada).QuoteObjek dari pembunuhan makhluk hidup yang dimaksud dibedakan menjadi :
1. Manusia
2. Binatang
1. Binatang yang berguna
2. Binatang yang tidak berguna
3. Binatang yang merugikan
4. Binatang yang tidak merugikan
Bobot kejahatan tergantung pada kebaikan dan besarnya makhluk yang bersangkutan. Pembunuhan terhadap seorang saleh atau seekor hewan besar ( gajah, lembu, kerbau, dll. ) dipandang lebih kejam daripada pembunuhan terhadap seorang yang keji, bengis, jahat ataupun seekor hewan kecil ( nyamuk, semut, kecoa, ulat, dll. ). Hal itu dianggap demikian karena usaha lebih besar diperlukan untuk melakukan kejahatan itu dan kehilangan yang ditimbulkan dipandang lebih besar.
Yup, tp menurutku makan vegetarian jg bgs sepanjang gak fanatik, lebih tepatnya ada apa aja ya makan tidak terikat kemelekatan pada rasa ya?Menurutku bukan vegetariannya, tapi pandangan salah yang mendasari praktik vegetarian itu yang harus dihindari. Terpisah dari itu, kemelekatan pada rasa juga hal yang perlu disadari. Bukan objeknya (daging/non-daging), tapi kemelekatan pada rasanya yang berbahaya.
ic... Tapi menurut kk cara yg tepat untuk mengurangi kemelekatan pada makanan n cara untuk mengurangi pembantaian hewan ternak gmn kk? Kl biasa kt makan diluar kan mikir mau makan apa yah... kl pgn makan ini itu termasuk kemelekatan bkn kk? Thx....Mengurangi kemelekatan pada makanan dengan membatasi makan seperti pada uposatha. Otomatis ada waktu-waktu di mana kita menahan diri dari keinginan makan.
Jadi vegetarian ada yg salah gak kk? kl gak sebaiknya mereka boleh kampanye gak? Kalo boleh sebaiknya dgn slogan apa yah kalo bukan dengan cinta kasih?Seperti sebelumnya, bukan praktik vegetarian yang salah, tapi pandangan salah yang menyertai praktik tersebut yang salah. Kampanye apapun saya pikir tidak masalah asal tidak memberikan fakta palsu saja. Misalnya beberapa waktu lalu ada kampanye global warming disebabkan ternak, padahal itu adalah gejala kosmik yang berhubungan dengan aktifitas matahari. Selain itu, pembukaan lahan juga menyebabkan timbunan metana dalam tanah, yang jadi 'bom waktu' suatu saat terlepas ke udara. Nah, katanya cinta kasih, kok ngebo'ong?
Ini tidak bisa dinilai secara mutlak, maka saya mengajak kita semua coba menyelidiki, benarkan kalau kita vegetarian, lalu pembantaian berkurang. Sebaliknya juga cobalah teliti apakah jika seorang vegetarian kemudian makan daging, apakah benar ada penambahan pembantaian. Bisa dicoba dari yang dekat, misalnya pasar atau pedagang penjual ayam/daging. Saya punya beberapa jawaban, tapi lebih 'afdol' kalau orang lain saja yang memberi input.
Kalau ayam memang sudah dibunuh dan digoreng, maka dibeli atau tidak oleh si umat, tetap ayamnya sudah mati. Sudah tidak relevan lagi, apalagi terhadap si bhikkhu. Apakah si bhikkhu terima atau tidak, ayamnya tetap sudah mati.
Tapi jika si bhikkhu mengetahui atau minimal menduga bahwa si umat memesan ayam untuknya, yang karena hal tersebut, ada ayam yang kemudian dibunuh/disakiti, maka si bhikkhu memang sudah seharusnya menolaknya, sebab penerimaan hal tersebut berarti menyetujui makhluk dibunuh demi dia.
Sebetulnya sederhana saja, sama seperti ada gelandangan meninggal, setelah dikremasi, sisa tubuhnya diberikan ke bhikkhu untuk meditasi asubha. Kalau memang demi si bhikkhu meditasi asubha, maka ada umat membunuh (secara langsung atau tidak) agar mayatnya bisa diberikan ke si bhikkhu, maka sudah sepatutnya si bhikkhu tidak menerima 'pemberian' itu.
Mengurangi kemelekatan pada makanan dengan membatasi makan seperti pada uposatha. Otomatis ada waktu-waktu di mana kita menahan diri dari keinginan makan.
Mengurangi pembantaian hewan ternak secara global? Anda harus punya kuasa untuk mempengaruhi sistem kehidupan secara global dulu. Kalau saya, akan perhatikan sejauh yang berkenaan langsung dengan saya sendiri yaitu menghindari perbuatan (apakah makan daging atau lainnya) yang menyebabkan atau menyetujui pembantaian. Hal lain adalah dengan fangsheng yang tepat, yaitu membebaskan hewan yang memang akan dibantai.Soal fangsheng kalo kita beli dari pedagang hewan dia juga akan menangkap lagi, jadi kita bkn malah mendukung mata pencahariannya? Maap byk tanya hehe....
Fangsheng itu seharusnya adalah praktik melepaskan makhluk yang terancam bahaya. Jadi misalnya ada lele menunggu ajal digoreng, kita beli lele itu dan kita lepaskan.
Saya hanya pake logika. Sampai saat ini saya masih merasa hal tersebut cukup logis, yaitu semakin banyak pemakan daging maka semakin banyak hewan yang diternakkan untuk dijadikan makanan. Saya belum punya argumen lain yang lebih kuat.Nah, ini menarik. Saya mau cerita. Sekitar 10 tahun lalu, daging hiu masih jarang dimakan karena berbau 'pesing'. Tapi sekarang ini dengan pengolahan beda, daging hiu jadi agak biasa untuk dimakan. Sekarang beberapa restoran menyediakan daging hiu dan otomatis pemakan daging hiu jadi bertambah.
Tentang contoh tukang mie ayam, memang hari itu telah terbantai 10 ekor. Tapi kalo kurang laku terus, besok-besok ayam yang dibantai berkurang. Mungkin dia ganti ayamnya jadi sayur?! (Tapi saya rasa bro Kainyn akan mengatakan bahwa ini adalah contoh masyarakat sederhana, bukan global).Nah, ini 'kan tugas kita masing-masing untuk survey. Besok2 saya janji akan tanyakan ke beberapa penjual di sini yang saya kenal. Dan untuk memperjelas maksud saya pada 'global' dan 'lokal', tanyakan 2 hal:
Tentang contoh hubungan seksual di luar nikah & adopsi anak. Saya setuju bahwa makan daging bukan berarti mendukung pembunuhan. Demikian pula, mengadopsi anak-di-luar-nikah bukan berarti mendukung pelanggaran sila ke-3.Ya, memang konteksnya adalah hubungan tidak langsung antara perbuatan dan hasil perbuatan.
Contoh tersebut memang menunjukkan independensi antara pembunuhan dan konsumsi daging. Tapi kalau semakin banyak pengkonsumsi daging berarti juga semakin banyak pembunuhan, maka perumpamaan tersebut tidak sesuai lagi karena semakin banyak anak-di-luar-nikah yang diadopsi bukan berarti semakin banyak pelanggaran sila ke-3.
Hal ini sudah ada contohnya, dalam Negara Islam saya rasa setidaknya tidak ada babi yang diternakan dan dibunuh untuk konsumsi.Jangan memberikan contoh di mana orangnya terkondisi untuk tidak ada pilihan donk. ;D Di kutub utara juga ga ada vegetarian, karena bisa beku kepala mereka semua karena tidak makan.
note : Walaupun mungkin ada babi yang dibunuh, tentunya misal karena sebagai hama, setidaknya pembunuhan untuk konsumsi lebih banyak daripada dibunuh karena hama.
Nah, misalkan pada suatu saat (walau tidak mungkin, lagipula ini hanya sekedar contoh) nanti di Negara Islam tersebut menghalalkan memakan babi, tentunya akan ada pemakan babi, karena ada pemakan babi, maka kebutuhan akan daging babi meningkat, karena daging babi tidak datang begitu saja, maka perlu ada babi yang dibunuh untuk diambil dagingnya. seiring semakin banyaknya pemakan babi, maka diperlukan banyak babi pula yang dibunuh dan diambil dagingnya, dst sampai ke peternakan.Kembali lagi ke masalah tersedianya komoditi menyebabkan konsumsi, atau konsumsi menyebabkan tersedianya komoditi. Kalau halal dan tidak ada yang menyediakan, tidak ada yang bisa mengolah, juga saya rasa tidak ada yang makan daging babi tersebut.
Jadi kesimpulannya, karena ada yang memakan babi, jadi ada babi yang terbunuh. (walau sekali lagi saya tidak menyimpulkan secara umum, memakan daging harus membunuh makhluk yg punya daging. Tetapi umumnya kita harus membunuh makhluk itu)
Mengenai hal ini, sebelum saya bertanya lebih jauh, ada yg perlu penjelasan lebih dari om KK;D
Mengenai ayam yang sudah mati dan digoreng, mau dibeli atau tidak memang betul ayam itu yah sudah mati.
pertama, saya menelusuri dahulu, bagaimana ada ayam mati dan digoreng yang tau tau ada di pajang oleh penjual. tentunya sang Pembeli yaitu umat itupun tau, Ayam itu dikhususkan dibunuh oleh penjual untuk dibeli oleh pembeli.
Alasan saya mengatakan Ayam itu dikhususkan di bunuh oleh si Penjual untuk dibeli umat (umat menjadi pembeli) adalah :
Kita tilas balik, maksud si penjual. seperti yg saya katakan sebelumnya Si Penjual membutuhkan Uang, Maka dia akan menjual Daging Ayam (bukan membunuh) , bagaimana daging ayam itu diperoleh, yah tentu saja dengan Membunuh Ayam.
Dalam hal ini terlihat membunuh itu adalah syarat dia menjual daging. (Note : Penjual disini saya contohkan penjual langsung yang beternak ayam)
Lalu ada umat yang ingin membeli daging (tentunya dia bisa memilih untuk tidak harus daging) saat dia melihat daging yang dijajakan oleh penjual, tentu saja itu hanyalah seongok daging, tidak terlihat pertumpahan darah disitu.
lalu kembali ke aturan "Pembunuhan Langsung", bila saya sebagai pembeli yang tertarik dengan daging itu, lalu saya bertanya kepada penjual.
"Bang, abang menjual daging ini ke saya apakah abang dengan khusus menyembelih ayam yang abang ternak demi mendapatkan dagingnya sehingga bisa ditawarkan kepada saya?"
kira2 jawaban apa yang diterima si pembeli?
kalau menurut saya tentu jawaban si penjual adalah "Ya" , karena Penjual tersebut tidak ada maksud lain dalam membunuh ayamnya selain untuk mengambil dagingnya dan ditawarkan kepada pembeli.
(nb : walau mungkin ada jawaban "Ohhh tidak dek, saya membunuh Ayam ternak saya karena mereka selalu mengganggu tidur pagi saya, yah daripada dibuang daginggnya, jadi saya jual saja". tetapi hal ini sepertinya terlalu aneh :hammer: )
Bila Cerita diatas adalah ideal, maka tentunya sudah tidak sesuai dengan aturan tersebut.
Lalu kembali kepada Bhikkhu, Sang Bhikkhu hanya menerima persembahan dari Umatnya, yang ternyata adalah daging ayam. Sang Bhikkhu tentu bisa bertanya,
"Apakan anda (sang Umat) mengkhususkan membunuh Ayam yang mempunyai daging dihadapan saya ini, untuk dipersembahkan kepada saya?"
Sang Umat tentu menjawab tidak, karena tidak ada pembunuhan olehnya, Pekerjaan dia hanya Membeli dan mempersembahkan, tentunya sang Bhikkhu "halal" memakan ayam tersebut. tetapi saya ingin tahu, kira2 bagaimana penilaian sang Bhikkhu saat hadir dalam percakapan Penjual dan Pembeli saat Pembeli bertanya bagaimana daging tersebut bisa ditawarkan ;D
Ic... kk napa mengurangi kemelekatan harus dengan cara tidak makan? Bukankah lapar itu bukan dibuat2 sendiri, kalo mis makan disaat lapar, tapi tidak memilih2 makanan bukankah juga bs melatih kemelekatan kk? O ya, kalo guling yg empuk juga merupakan kemelekatan ya?Ya, itu hanya salah satu cara saja. Dengan menahan diri dari nafsu makan, maka otomatis kita melatih diri dari kenikmatan jenis makanan apapun yang kita lekati. Cara tidak memilih-milih makanan juga bisa dilakukan.
Soal fangsheng kalo kita beli dari pedagang hewan dia juga akan menangkap lagi, jadi kita bkn malah mendukung mata pencahariannya? Maap byk tanya hehe....
Maaf OOT, jadi FangShen itu adalah praktik penyelamatan makhluk hidup lain yang terancam bahaya yah?Itu Fangsheng juga, pengurungan juga. Tapi kalau memang dipelihara bukan dianiaya, sepertinya bukan perbuatan buruk.
Apakah pelepasan itu perlu? jadi misal ada kucing yang hampir terlindas lalu kita selamatkan, tetapi tidak kita lepas, tapi kita kurung didalam rumah itu termasuk FangShen atau tidak?
Apa FangShen itu harus ada "Penyelamatan Nyawa" AND "Pelepasan" ?Fangsheng seharusnya memberikan keselamatan dan kenyamanan bagi si makhluk. Kalau memang kondisi paling baik tidak dilepaskan, maka sebaiknya jangan dilepaskan. Tergantung kondisi saja. "Melepas" itu hanya istilah saja.
kalo misal Harus, berarti membeli burung sangkar bukan termasuk fangshen yah, karena tidak ada nyawa yg terancam disana sepertinya ???
hmm..klo semua jd vege..harga daging murah... harga sayur mahal..trus org miskin makan daging...krn murah lama2 banyak org demi hemat makan daging...trus lama2 seperti skrg deh..trus harga sayur murah..org miskin makan vege...trus biar hemat org2 makan vege.. trus lama2.. semuanya vege...harga daging murah..harga sayur jd mahal...sistim ekonomi lah...[sarcastic mode]Salah, kalau semua orang vegetarian, maka semua orang mencapai minimal jhana I metta bhavana, lalu semua orang jadi tidak kikir, tidak membenci, tidak serakah, tidak nafsu, dan dunia tenteram, aman, damai, sentosa. Mengapa demikian? Sebab cinta kasih berkembang dari menu non-daging.[/sarcastic mode]
Ya, kalau sebagai bentuk protes, saya setuju. Beberapa makanan juga saya tidak makan bukan karena saya lihat makan makanan itu = tidak cinta kasih, atau makanan itu = kotor/haram, tapi memang sebagai sikap protes saja, kadang agar orang juga lebih memperhatikan.
Nah, kalau di sini, kembali lagi saya kurang cocok.
Daging disiapkan untuk dikonsumsi. Apakah kita konsumsi atau tidak, hewan telah dibantai. Misalnya di depan kantor ada tukang mie ayam, anggaplah 10 ayam terbantai untuk dagangannya sehari. Nah, apakah saya makan atau tidak makan, tetap ayam itu sudah terbantai. Jika semua konsumennya hari itu terconvert jadi MLDD dan tidak ada yang makan mie ayam tersebut, tetap 10 ayam telah terbantai.
Listrik tersedia untuk dikonsumsi. Misalnya total pemakaian AC adalah 10. Jika saya mematikan 1, walaupun yang lain tetap menyala, tapi tetap ada penghematan 1 AC, jadi pemakaian adalah 9 AC.
Begitu juga plastik, misal per hari ada pemakaian di kantor 20 kantong plastik, jika saya mengurangi untuk diri sendiri dan pemakaian jadi 19 kantong plastik, maka ada pengurangan sampah plastik dari 20 menjadi 19.
Pengurangan listrik dan sampah adalah hal-hal yang nyata hasilnya yang bisa kita lakukan, berbeda dengan 'tidak makan daging' yang proses pembunuhan dan konsumsinya adalah independen, makan/tidak makan, tidak memiliki relevansinya, setidaknya tidak secara langsung.
Nah, ini menarik. Saya mau cerita. Sekitar 10 tahun lalu, daging hiu masih jarang dimakan karena berbau 'pesing'. Tapi sekarang ini dengan pengolahan beda, daging hiu jadi agak biasa untuk dimakan. Sekarang beberapa restoran menyediakan daging hiu dan otomatis pemakan daging hiu jadi bertambah.
Pertanyaannya: Apakah bertambahnya orang mencari daging menyebabkan bertambahnya pembantaian, ataukah bertambahnya pembantaian dan persediaan daging yang menyebabkan meningkatnya konsumen daging? Bisakah dipastikan?
Nah, ini 'kan tugas kita masing-masing untuk survey. Besok2 saya janji akan tanyakan ke beberapa penjual di sini yang saya kenal. Dan untuk memperjelas maksud saya pada 'global' dan 'lokal', tanyakan 2 hal:
1. Apa yang akan dilakukan jika langganannya di daerah sini beralih jadi vegetarian?
2. Apa yang akan dilakukan jika semua langganannya beralih jadi vegetarian?
Ya, memang konteksnya adalah hubungan tidak langsung antara perbuatan dan hasil perbuatan.
Nah, saya tanya lagi. Jika memang suatu saat banyak permintaan adopsi anak meningkat dan stock anak yang siap diadopsi tidak mencukupi. Bayaran untuk anak angkat menjadi mahal dan menggiurkan. Apakah mungkin atau tidak mungkin orang terpikir untuk sengaja berhubungan seksual, menghamili wanita2 hanya demi menghasilkan bayi untuk kemudian dijual?
Sepakat. memilih2 dalam hal makan, tidak terkait dengan cintakasih ataupun pencapaian kesucian. Alih2 malah menjadikan semakin dosa/lobha...Mulainya transaksi bisa diawali dengan penyediaan barang lalu ditawarkan, atau bisa juga ada permulaan permintaan barang baru dicari.
sy paparkan sedikit analisa sy:
Ambil contoh kantong plastik dan daging.
Jika kita giat mengurangi pemakaian kantong plastik, maka produksi kantong plastik akan dikurangi sehingga sampah kantong plastik akan berkurang, bandingkan seperti selama ini, kantong plastik sangatlah murah sehingga pemakaian kantong plastik besar2an dan menjadi masalah sampah serius bagi lingkungan.
IMO, ini persis halnya jika sbgn masyarakat tidak makan daging. Maka produksi daging akan dikurangkan, otomatis pembantaian makhluk tertentu akan dikurangi. Ambil contoh kita kurang suka makan anjing, maka tidak banyak anjing yg dibantai. Di China banyak anjing2 yg dibantai setiap hari untuk dimakan. Krn memang ada pasar/konsumen disitu. Bandingkan dengan disini, dimana anjing2 berkeliaran bebas *)
Juga, sejak meningkatnya permintaan akan kulit trenggiling, di daerah sy banyak yg ikut jadi pemburu trenggiling. Dulu tidak ada yg mengacuhkan trenggiling, namun akhir2 ini hampir tiap hari ada trenggiling yg ditangkap, dibunuh dan dipreteli kulitnya.
Saya bayangkan jika sy sudah mulai menyukai daging anjing, maka sy akan datang ke resto anjing (resto batak; yg tidak banyak di daerah sy). Jika bbrp atau puluhan orang bertindak seperti sy, maka pasti akan menambah jumlah anjing2 yg akan dibantai.
Permintaan mempengaruhi pasar. Ini hukum ekonomi.
---Turut berkaruna-citta terhadap anjingnya Bro Willi. Semoga ia selamat, dan kalaupun memang dibuat saksang, semoga terlahir di alam yang lebih baik.
*) belakangan di kota sy populasi anjing berkeliaran bebas sudah mulai berkurang sejak mulai maraknya resto batak yg menyediakan daging anjing. Bahkan anjing sy sendiri, yg jinak dan jika sesekali lari keluar, selalu pulang ke rumah kembali dlm bbrp jam, terakhir, tidak pernah kembali lagi. Semua orang mengatakan ia telah ditangkap dan dijual ke resto batak.
::
Ya, betul juga, berarti ada hubungan timbal-balik. Penjual daging menarik minat pembeli, dan di sisi lain, meningkatnya pembeli maka meningkatkan penjualan daging. Jadi intinya ada di pengendalian nafsu?Iya, menurut saya adalah pandangan benar dan pengendalian nafsu. Vegetarian atau tidak, hanyalah 'ritual' saja.
Untuk nomor 1, jawabannya pasti bervariasi. Kalau dia percaya diri bahwa dagangannya itu spesial, maka dia akan tetap berjualan daging tapi pindah ke tempat lain. Tapi kalau dia tidak PD (atau nomor 2), dia akan menuruti selera konsumen.Barusan saya tanya penjual siomay di depan kantor. ;D
Kayaknya gak mungkin permintaan adopsi anak meningkat hingga menjadi demikian (mungkin saja, tapi kemungkinannya kecil). Tapi ya, perumpamaan memang tidak selalu mewakili kebenaran (apa yang ingin disampaikan) :DBisa, jika ada wabah atau bencana di satu tempat yang menyebabkan kemandulan atau risiko cacad pada anak tinggi, misalnya kontaminasi radiasi nuklir.
Aku pernah nonton video ktny hewan yg mati dibantai itu mengeluarkan racun2 krn ketakutan, kira2 itu benar gak yah? Nutrisi daging ama sayur bagusan mana kk? Trus kl ad yg tanya kok tega makan daging bekas pembantaian, kk jawab apa? Thx.... ;DKalau mengeluarkan racun, sepertinya ini bukan istilah yang tepat. Dalam keadaan takut atau tertekan, memang manusia dan hewan tertentu memproduksi hormon kortisol lebih dan kemudian diserap dalam tubuh. Banyak pengaruh yang disebabkan oleh penyerapan kortisol ini seperti perubahan keasaman, kecepatan pembusukan, singkat kata, kualitas daging menjadi menurun.
[at] Kainyn: oke, sudah sepaham. Btw, keren juga tukang siomay-nya, bisa bilang "impossible". Bahkan kemarin saya liat kopaja, tulisannya "Obsessy" (maksud dia 'obsesi'). Benar-benar masyarakat global..Iya, Mang Siomay ini memang sepertinya lebih 'canggih' dari penjual siomay kebanyakan. ;D
^ persis dugaan saya.Copyright Violation Detected!
^ ^ ^ bukan. Hari minggu kemarin saya baca RAPB yang jilid 2. Saya tertarik dengan kisah Uttara Theri dan Dhammadinna Theri. Tapi Dhammadinna lebih berkesan. Apalagi dikatakan bahwa beliau adalah yang terbaik dalam menjelaskan Dhamma. Waww...Memang dikatakan bahwa semua Arahat pernah bertekad untuk pencapaian yang sama di hadapan seorang Buddha. Setelah itu, berbeda-beda waktunya dalam mengumpulkan parami, tergantung jenis tekadnya.
Saya menemukan kesamaan di antara kisah-kisah umat awam atau bhikkhu/ni di buku tsb. Intinya, mereka pernah bertekad di hadapan Sammasambuddha di kehidupan lampau.
Atau seperti kisah Ambapali, dulu Ia menjadi bhikkhuni waktu jaman sammasambuddha juga di masa lalu.
Sepertinya, orang-orang beruntung itu (mungkin ditambah dengan tekad?), maka kemungkinan besar bertemu lagi dengan sammasambuddha di kehidupan yang akan datang. Bagaimana dengan kita? Tapi ya, berusaha saja kali ya, tidak perlu menunggu datangnya sammasambuddha (belum tentu juga ketemu) :D
Memang dikatakan bahwa semua Arahat pernah bertekad untuk pencapaian yang sama di hadapan seorang Buddha. Setelah itu, berbeda-beda waktunya dalam mengumpulkan parami, tergantung jenis tekadnya.
Kalo Samma Sambuddha kita tahu adalah: 16/8/4 Asankhyeyya + 100.000 kappa.
Pacceka Buddha: 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa.
Agga-Savaka: 1 Asankhyeyya + 100.000 kappa
Mahasavaka & semua savika terkemuka: 100.000 kappa
Itu sebabnya semua siswa-siswi unggul Buddha Gotama dikisahkan bertekad di hadapan Buddha Padumuttara, sedangkan untuk Sariputta & Mahamoggallana bertekad di hadapan Buddha Anomadassi.
Saya pikir kalau kita mau bertekad, bertekadlah dari sekarang, lupakan berapa waktu yang telah/masih harus ditempuh, dan berusaha berlatih sehingga mendukung kondisi untuk bertemu para Buddha di masa depan. Siapa tahu saja suatu saat memang Sis Dhammadinna-DC ini akan menjadi Mahasavika terunggul dalam pembabaran dhamma (Dhammakathikāna) di masa salah satu Samma Sambuddha berikutnya.
percuma mulai dari sekarang, argo dihitung mulai saat mengucapkan tekad di hadapan samma sambuddha.kenapa percuma om?
^ ^ ^ bukan. Hari minggu kemarin saya baca RAPB yang jilid 2. Saya tertarik dengan kisah Uttara Theri dan Dhammadinna Theri. Tapi Dhammadinna lebih berkesan.
[...]
[...]
Saya pikir kalau kita mau bertekad, bertekadlah dari sekarang, lupakan berapa waktu yang telah/masih harus ditempuh, dan berusaha berlatih sehingga mendukung kondisi untuk bertemu para Buddha di masa depan. Siapa tahu saja suatu saat memang Sis Dhammadinna-DC ini akan menjadi Mahasavika terunggul dalam pembabaran dhamma (Dhammakathikāna) di masa salah satu Samma Sambuddha berikutnya.
percuma mulai dari sekarang, argo dihitung mulai saat mengucapkan tekad di hadapan samma sambuddha.Tapi untuk bisa memulai argo, harus tekad dulu. Seperti Bodhisatta Gotama aja sudah tekad 7 + 9 Asankhyeyya sebelum akhirnya dapat memulai argo di hadapan Buddha Dipankhara.
Thx jawaban kk sebelumnya cukup dipahami....Kalau di Buddhis itu tidak ada dibilang aliran sesat, tapi pandangan salah. Yang disebut pandangan salah itu yang tidak membawa orang pada pemahaman kebenaran apa-adanya, dan karenanya, masih terjebak dalam lingkaran kelahiran dan kematian. (Walaupun Buddhis, sebelum mencapai kesucian minimal Sotapatti-magga, seseorang belum bisa dikatakan merealisasi pandangan benar.)
Maap tanya lagi yah.... ;D Menurut kk aliran sesat itu yg seperti apa yah? Apakah lebih baik kita melawannya atau membiarkannya? Thx.....
Walaupun sama-sama pandangan salah, wujud dan berkembangnya bisa banyak macam, ada yang sekadar membuat orang mengkhayalkan apa yang bukan kenyataan, sampai pada yang menganjurkan orang berbuat jahat. Biasanya, yang sudah menghimbau orang berbuat jahat, melanggar hukum, meresahkan masyarakat, adalah yang umum disebut sebagai aliran sesat.Yg ini kalau mau diambil contoh, yang membuat org mengkhayal itu mgkn aliran M..
Yg ini kalau mau diambil contoh, yang membuat org mengkhayal itu mgkn aliran M..Tidak jauh-jauh ke 'tetangga', dalam Buddhisme Theravada sendiri misalnya ada yang mengkhayal sudah suci/arahat, lalu berdelusi sendiri dalam pandangannya.
Dan yg menganjurkan org berbuat jahat, mungkin ajaran FLG yah ?
kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;D
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;DMenurut saya, ungkapan tersebut memang salah sama sekali dalam konteks hukum kamma. Ada bedanya antara sebab akibat secara umum, dan sebab-akibat secara kamma. Secara umum maling ditangkap lalu dihakimi massa, itu adalah sebab-akibat. Secara kamma, belum tentu demikian.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 71 berikut :
Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan tidak segera menghasilkan buah, seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih; demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh, seperti api yang ditutupi abu.
Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut :
Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.
kebetulan ada yang mengutip di dc ;D. maksud saya ungkapan yang ini ;D.Syair ini diucapkan Buddha Gotama dalam hubungannya dengan kisah Anathapindika. Di sini Anathapindika berdana terus kepada Buddha & Sangha, tapi karena kamma-nya belum berbuah, maka dia sampai jatuh miskin, dan disarankan oleh dewa penunggunya agar menghentikan dananya. Singkat cerita, kekayaan Anathapindika pulih kembali, dan dewa penunggu itu terheran-heran.
* cuma mau meralat aja pernyataan sebelumnya ;D.QuoteSang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut :
Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.
Tanya,om; apakah seorang bhikkhu punya kewajiban untuk menyebarkan dhamma?Kalau dari yang saya baca di sutta, sepertinya tidak ada seperti itu. Para bhikkhu hanya punya satu kewajiban: berlatih mencapai kesucian. Hidupnya ditopang hanya dari dana, dan yang namanya dana, berarti bukan imbalan atas barang/jasa. Memberikan dhammadesana sepertinya pilihan saja. Kadang umat juga meminta ceramah atau nasihat, maka si bhikkhu memberikannya.
Nah,pengertian menyebarkan dhamma= memberikan dhammadesana secara rutin,membantu pembangunan sekolah..
Thank
Kalau dari yang saya baca di sutta, sepertinya tidak ada seperti itu. Para bhikkhu hanya punya satu kewajiban: berlatih mencapai kesucian. Hidupnya ditopang hanya dari dana, dan yang namanya dana, berarti bukan imbalan atas barang/jasa. Memberikan dhammadesana sepertinya pilihan saja. Kadang umat juga meminta ceramah atau nasihat, maka si bhikkhu memberikannya.
Kalau gambaran kebhikkhuan sekarang menurut persepsi saya sudah amat sangat lain, jadi saya kurang tahu bagaimanakah sistem interaksi bhikkhu-masyarakat.
“Para Bhikkhu, Saya telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Kalian juga telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia (caratha, bhikkhave, carikam bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya atthtaya hitaya sukhaya devamanussanam). Janganlah pergi berdua dalam satu jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna maupun isinya. Serukanlah hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada makhluk dengan sedikit debu di mata yang akan tersesat karena tidak mendengarkan Dhamma. Ada mereka yang mampu memahami Dhamma. Para Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvela di Senanigama untuk membabarkan Dhamma.”
bagaimana dengan ini om?
bukankah jelas bahwa Sang Buddha menyuruh para bhikkhu untuk pergi membabarkan dhamma?
Misalnya seorang bhikkhu berceramah, lalu karena ingin berterimakasih, maka umat memberikan sesuatu. Kalau tidak salah, hal ini bisa menyebabkan seorang bhikkhu melanggar vinaya? Ada ya vinaya yang mengatur hal itu?Kebetulan sekali ini disinggung. Seorang bhikkhu seharusnya tidak menerima makanan karena dia berceramah, sebab kalau begitu, namanya bukan 'dana makanan', tapi 'ongkos ceramah'.
Sepertinya karena di masyarakat ada anggapan umum bahwa "tidak ada yang gratis". Dan (masalahnya) inipun diterapkan saat berinteraksi dengan bhikkhu. Jadi seolah-olah ada pertukaran "Sokongan vs Ceramah". Dan sebaliknya, kalau bhikkhu memberi ceramah, maka umat pun merasa ingin berterima kasih dengan memberikan sesuatu.
itulah mengapa penting sekali mengutip secara lengkap utk mengetahui gambaran situasi dan lawan bicara kepada siapa Sang Buddha berbicara. dalam adegan itu Sang Buddha sedang berbicara kepada para bhikkhu Arahat.iya memang arahat, ini lengkapnya.
oh iya, ceritanya om kainyn sepertinya saya juga pernah baca, tapi tidak terlalu menagkap maksudnya. ;DSaya pikir kalau secara umum seperti itu, tidak terlalu masalah. Kadang di vihara, si bhikkhu juga belum tentu tau apakah makanan yang diberikan itu adalah karena dana, atau karena 'sogokan' untuk berceramah yang bagus. Tapi terlepas dari itu, tidak apa untuk dimakan. Menurut saya yang perlu diperhatikan adalah pandangan benar dari masing2 pribadi, termasuk bhikkhu & pendana, di mana melihat layanan bhikkhu tidak dilakukan untuk dapat imbalan 'dana', juga sebaliknya 'dana' bukan ditujukan untuk membayar pelayanan si bhikkhu terhadap umat.
saya jadi ingat, bagaimana kalo misalnya ada upacara rumah baru om kainyn, terus waktu itu para bhikkhu dan umat diundang untuk melakukan puja bakti di rumah yang dimaksud, kemudian setelahnya ada jamuan makan siang, apakah para bhikkhu tidak boleh menerima dana makanan yang dipersembahkan oleh yang punya rumah?
Saya pikir kalau secara umum seperti itu, tidak terlalu masalah. Kadang di vihara, si bhikkhu juga belum tentu tau apakah makanan yang diberikan itu adalah karena dana, atau karena 'sogokan' untuk berceramah yang bagus. Tapi terlepas dari itu, tidak apa untuk dimakan. Menurut saya yang perlu diperhatikan adalah pandangan benar dari masing2 pribadi, termasuk bhikkhu & pendana, di mana melihat layanan bhikkhu tidak dilakukan untuk dapat imbalan 'dana', juga sebaliknya 'dana' bukan ditujukan untuk membayar pelayanan si bhikkhu terhadap umat.
lebih ke pikiran masing2 pada saat berbuat ya om?Iya. Kalo di kasus Sundarika, Buddha 'kan memang punya kemampuan memahami pikiran orang lain, jadi bisa lebih detail dalam memilih melakukan apa yang sesuai/tidak. Kalau untuk bhikkhu biasa yang tidak punya kemampuan itu, saya pikir tidak masalah untuk bersikap wajar saja, tidak menspekulasikan pikiran orang lain terlalu jauh, tapi meninjaunya lebih ke arah bathin sendiri saja. Ketika menerima dana, dia pahami ini adalah pemberian dana, bukan ongkos dari pelayanannya. Ketika memberikan pelayanan, dia juga pahami bahwa ini adalah bagian dari pengabdian pada masyarakat bukan profesi demi dapat imbalan.
bagaimana dengan yang ada dalam sigalovada sutta om?Ya, memang sikap tersebut adalah interaksi yang dianjurkan bagi seorang guru spiritual dan umatnya.
Ada lima cara seorang anggota keluarga harus memperlakukan para samana dan brahmana sebagai arah atas:
1. Dengan perbuatan yang ramah tamah;
2. Dengan ucapan yang ramah tamah;
3. Dengan pikiran yang bersih;
4. Membuka pintu bagi mereka;
5. Memberikan mereka keperluan hidup.
Diperlakukan demikian sebagai arah atas, para samana (petapa) dan brahmana memperlakukan para anggota keluarga itu dalam enam cara:
1. Mereka mencegah anggota keluarga melakukan kejahatan;
2. Mereka menganjurkan ia berbuat kebaikan;
3. Pikiran mereka selalu terjaga terhadapnya;
4. Mereka ajarkan apa yang belum pernah ia dengar;
5. Mereka memperjelas apa yang telah ia dengar;
6. Mereka menunjukkan jalan kehidupan ke surga.
bagaimana dengan yang ada dalam sigalovada sutta om?Apa sikap diatas berlaku bagi samana "bergitar"?
Ada lima cara seorang anggota keluarga harus memperlakukan para samana dan brahmana sebagai arah atas:
1. Dengan perbuatan yang ramah tamah;
2. Dengan ucapan yang ramah tamah;
3. Dengan pikiran yang bersih;
4. Membuka pintu bagi mereka;
5. Memberikan mereka keperluan hidup.
Diperlakukan demikian sebagai arah atas, para samana (petapa) dan brahmana memperlakukan para anggota keluarga itu dalam enam cara:
1. Mereka mencegah anggota keluarga melakukan kejahatan;
2. Mereka menganjurkan ia berbuat kebaikan;
3. Pikiran mereka selalu terjaga terhadapnya;
4. Mereka ajarkan apa yang belum pernah ia dengar;
5. Mereka memperjelas apa yang telah ia dengar;
6. Mereka menunjukkan jalan kehidupan ke surga.
Apa sikap diatas berlaku bagi samana "bergitar"?Mana ada 'samana bergitar'? Kalau bergitar, berarti bukan samana. Kalau samana, berarti tidak bergitar.
Di zaman sekarang ini banyak bikkhu yg melakukan perbuatan yg melanggar vinaya,nah,sebagai umat yg paham sutta-vinaya bagaimana menyikapinya?Kalau memang berkesempatan, bisa coba langsung diskusi ke bhikkhu bersangkutan tentang vinaya tersebut. Kalau memang tetap dilakukan, ya itu pilihan masing-masing personal.
**kemaren aye baru liat bhikku yg mengunakan kamera DSLR,dahsyat nya kamera tersebut digunakan di dhammasala pada posisi berdhammadesana.. :hammer:Memang dari dulu jaman Buddha saja sudah ada bhikkhu-bhikkhu yang tidak jelas, apalagi sekarang di mana Buddha sebagai 'perlindungan' sudah tidak ada. Jadi kalau menurut saya, disadari dan dimaklumi saja. Kalau bisa diubah, boleh diusahakan, kalau tidak bisa, jangan sampai mengembangkan kebencian.
_/\_ ;DTAnya lg om, BAgaimana jika pada saat pindapata atau kita berdana tapi ditolak oleh bhikku, jika si pemberi sedih karena tidak diterima apakah dua-duanya mendptkan dampak karma buruk jg, ada kejadian tp bukan terjadi pada calon bhikku disebut apaja ya kalau gak salah, contoh nya ada 2 orang memegang dua jenis jeruk warna hijau jeruk lokal dan warna kuning jeruk import, pada calon bhikku nya sudah berdiri di dpn kita yang memegang jeruk hijau dan bermaksud memberi tp ditolak,sedangkan yang berwarna kuning diterima, kalau dilaht itu akan menimbulkan kesedihan terhadap jeruk lokal tsb. Menurut om gimana?apakh dua2nya bersalah?Saya coba bahas dari 2 sudut pandang: kamma & vinaya.
Tambahan lagi kalau dilihat cerita didalam buku, banthe akan memberikan darm jia mereka sudah mencapai arahat?dan kalau jaman sekarang susah mengetahu dia sudAh arahat atau bukan dan sudahboleh mengajar atau ceranah gimana tuh?apakah sebelum arahat kebijaksanaan selalu ada boleh dipegang ?makasih ;D _/\_Bukan berarti bhante harus Arahat dulu sebelum memberikan ceramah dhamma, tapi maksudnya adalah bahwa tujuan utama dari kehidupan kebhikkhuan adalah mencapai kesucian (mengakhiri kelahiran kembali), bukan menjadi penceramah dhamma. Itu dari sisi bhikkhu.
_/\_ ;DTAnya lg om, BAgaimana jika pada saat pindapata atau kita berdana tapi ditolak oleh bhikku, jika si pemberi sedih karena tidak diterima apakah dua-duanya mendptkan dampak karma buruk jg, ada kejadian tp bukan terjadi pada calon bhikku disebut apaja ya kalau gak salah, contoh nya ada 2 orang memegang dua jenis jeruk warna hijau jeruk lokal dan warna kuning jeruk import, pada calon bhikku nya sudah berdiri di dpn kita yang memegang jeruk hijau dan bermaksud memberi tp ditolak,sedangkan yang berwarna kuning diterima, kalau dilaht itu akan menimbulkan kesedihan terhadap jeruk lokal tsb. Menurut om gimana?apakh dua2nya bersalah?
ini ceritanya tidak lengkap, apakah ke2 orang yg berdana jeruk beda warna dan beda kewarganegaraan itu berjenis kelamin sama? karena ada bhikkhu yg memegang aturan tidak menerima langsung dari perempuan. kalau ke2nya laki2, bagaimana cara bhikkhu itu menolaknya? karena dalam pindapatta, umat kan hanya nyemplungin makanan ke dalam patta, jadi kalau bhikkhu itu menolak, maka ia harus mengambil dari pattanya dan me-retur atau membuangnya yg sepertinya tidak mungkin ia lakukan.Bisa juga tidak membuka pattanya ketika orang itu mau berdana, yang berarti menolak.
Bisa juga tidak membuka pattanya ketika orang itu mau berdana, yang berarti menolak.
tidak membuka bisa saja karena si umat tidak menunjukkan isyarat mau berdana, jadi si bhikkhu pikir orang itu cuma petugas keamananPetugas keamanan buat apa bawa jeruk? ;D Buat sambit maling?
Petugas keamanan buat apa bawa jeruk? ;D Buat sambit maling?
itu juga menjadi pertanyaan, jeruknya ditarok di mana? apakah diumpetin di kantong? atau diacung2kan dengan gaya "tolak peluru", atau bagaimana?Apa mungkin juga di-juggle seperti lagi sirkus, atau mungkin ditendang seperti latihan sepak takraw? ;D
Apa mungkin juga di-juggle seperti lagi sirkus, atau mungkin ditendang seperti latihan sepak takraw? ;D
Kenapa jauh2 sekali sih imajinasinya? Kita anggap saja keadaan yang beri jeruk impor = yang beri jeruk lokal, tapi yang lokal tidak diterima. (Kecuali ada keterangan lain.)
:hammer: om indra sama om kain malah main lawak.;D Di sini 'kan jurnal pribadi, jadi jenis obrolan apapun juga sah-sah saja. Kalau bukan tentang Buddha-dhamma, yang penting bermanfaat dan menambah wawasan. Kalaupun tidak ada manfaat tertentu, paling tidak harus menghibur, santai, dan tidak berhubungan dengan ucapan-ucapan jahat.
soalnya, "tidak diterima" ini sepertinya hanyalah kesalah-pahaman, yg satu merasa tidak diberi, yg lain merasa ditolak.Iya, memang bisa jadi juga sih. Tapi kalau tidak ada di TKP pada saat kejadian, susah menilainya.
bro kai yang baik,Dalam keadaan ideal, kekerasan adalah tidak perlu terjadi, apapun bentuknya. Namun masalahnya, keadaan ideal itu susah sekali ditemukan, jadi kadangkala, dalam batasan tertentu, penggunaan kekerasan ini malah menjadi solusi yang terbaik. Tapi kadang juga, karena kita terkondisi oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin, maka sulit untuk menilai apa yang terbaik. Belum cari solusi lain, langsung pilih kekerasan, atau karena tidak mengendalikan diri, dikuasai kebencian, langsung menggunakan kekerasan.
mau tau pendapat bro, tentang kekerasan dan penyelesaian masalah.
begini apakah anda setuju kekerasan dalam batas dan kondisi tertentu dapat dibenarkan untuk menyelesaikan suatu masalah. dan dapat dikatakan sebagai tindakan tepat.
misal contoh kecil, seorang polisi dengan kekerasan meringkus seorang perampok, bahkan mungkin dalam kasus tertentu polisi tersebut yang disengaja atau tidak telah membunuh seorang perampok. (kita kondisikan saja bahwa si polisi tidak ada pilihan lain selain menarik pelatuk senjatanya)
Dalam keadaan ideal, kekerasan adalah tidak perlu terjadi, apapun bentuknya. Namun masalahnya, keadaan ideal itu susah sekali ditemukan, jadi kadangkala, dalam batasan tertentu, penggunaan kekerasan ini malah menjadi solusi yang terbaik. Tapi kadang juga, karena kita terkondisi oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin, maka sulit untuk menilai apa yang terbaik. Belum cari solusi lain, langsung pilih kekerasan, atau karena tidak mengendalikan diri, dikuasai kebencian, langsung menggunakan kekerasan.
Jadi kalau menurut saya, prinsip 'tanpa kekerasan' seharusnya dijadikan tolok ukur utama. Jika keadaan itu tidak bisa dicapai, maka lakukanlah 'secukupnya', penuh pertimbangan, dan jangan menikmatinya (karena benci).
Meskipun demikian, ada juga orang yang menjalani tekad tertentu, misalnya petapa yang berada dalam 'kediaman Brahma' sehingga tidak mampu melakukan kekerasan; atau misalnya seorang bodhisatta yang memang menyempurnakan parami tertentu sehingga memberikan bahkan nyawanya bila perlu, demi menghindari kekerasan.
sederhananya atau intinya dalam batasan tertentu dan dalam kondisi tertentu dan subjek tertentu ada yang disebut (dan setuju) kekerasan adalah jalan terbaik. jadi bukan sekedar pemahaman baku semua kekerasan adalah salah tanpa kompromi.Kalau kita bicara dalam hal dhamma, maka bukan masalah benar atau salah. Bagaimanapun juga, dalam batasan dan kondisi apapun juga, kekerasan yang kita lakukan TETAP akan membuahkan kamma. Bilamana memang kita siap untuk menerima 'tanggung-jawab' tersebut, maka silahkan lakukan, jika kita anggap yang terbaik. Tidak ada jalan baku yang berlaku bagi semua orang dalam hal ini.
begitu bukan?
Kalau kita bicara dalam hal dhamma, maka bukan masalah benar atau salah. Bagaimanapun juga, dalam batasan dan kondisi apapun juga, kekerasan yang kita lakukan TETAP akan membuahkan kamma. Bilamana memang kita siap untuk menerima 'tanggung-jawab' tersebut, maka silahkan lakukan, jika kita anggap yang terbaik. Tidak ada jalan baku yang berlaku bagi semua orang dalam hal ini.
Saya beri contoh kasar saja, seandainya seorang yang kuat sedang diancam akan dipukuli.
1. Karena dia terikat oleh aturan, maka dia tidak melawan. Karena dipukuli tersebut, hatinya dipenuhi dendam.
2. Karena dia kuat, maka dia melawan, meng-KO lawannya dan melarikan diri untuk mencari aman.
Jika sesaat setelah itu, dia meninggal, kira-kira yang lebih prospek ke alam menderita adalah 'pikiran tidak melawan tapi penuh dendam' atau 'pikiran melawan untuk mencari aman'?
errr.. begini, untuk kali ini saja saya mohon anda tidak membahasnya dalam konteks dhamma sang buddha.Jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasus ini, termasuk hukum kamma, maka tentunya yang menjadi prioritas adalah mempertahankan nilai yang paling berharga dalam hidup ini, termasuk kehidupan itu sendiri. Kembali ke kasus awal, jika memang pengabdiannya dalam hidup (sebagai polisi) adalah tegaknya hukum, maka nilai tersebutlah yang diutamakan, walaupun harus melalui kekerasan.
kita bahas secara logika saja, dan norma umum dalam masyarakat luas.
Apakah Sang Buddha mengajarkan tentang non-dualisme ?Non-dualisme ini maksudnya bagaimana, dari sudut pandang bagaimana?
Jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasus ini, termasuk hukum kamma, maka tentunya yang menjadi prioritas adalah mempertahankan nilai yang paling berharga dalam hidup ini, termasuk kehidupan itu sendiri. Kembali ke kasus awal, jika memang pengabdiannya dalam hidup (sebagai polisi) adalah tegaknya hukum, maka nilai tersebutlah yang diutamakan, walaupun harus melalui kekerasan.
Jadi, ya, jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasusnya, maka dengan pertimbangan duniawi yang logis, kekerasan kadang kala adalah pilihan terbaik satu-satunya.
Non-dualisme ini maksudnya bagaimana, dari sudut pandang bagaimana?
Seperti yang di advaita vedanta ;DKalau saya pribadi, tidak menganut hal seperti di advaita vedanta, dan melihat Suññatā secara berbeda. Apapun yang dipersepsi oleh pikiran, baik itu gagasan dualisme maupun non-dualisme, adalah berkondisi dari landasan kesadaran dan indera. Ketika penopang dari kondisi tersebut tidak ada, maka apakah ada, tidak ada, sebagian, menyeluruh, hampa, isi, semua gagasan itu tidak lagi timbul.
Saya juga kurang paham tentang non-dualisme, hanya pernah baca di suatu forum yang mendiskusikan tentang anicca, dukkha, anatta -> Shunyata -> non-dualisme...
Kalau saya pribadi, tidak menganut hal seperti di advaita vedanta, dan melihat Suññatā secara berbeda. Apapun yang dipersepsi oleh pikiran, baik itu gagasan dualisme maupun non-dualisme, adalah berkondisi dari landasan kesadaran dan indera. Ketika penopang dari kondisi tersebut tidak ada, maka apakah ada, tidak ada, sebagian, menyeluruh, hampa, isi, semua gagasan itu tidak lagi timbul.
Penopang disini maksudnya adalah pemuasan indera ?Bukan pemuasan indera, tapi khanda yang memungkinkan proses itu terjadi.
Kalau saya pribadi, tidak menganut hal seperti di advaita vedanta, dan melihat Suññatā secara berbeda. Apapun yang dipersepsi oleh pikiran, baik itu gagasan dualisme maupun non-dualisme, adalah berkondisi dari landasan kesadaran dan indera. Ketika penopang dari kondisi tersebut tidak ada, maka apakah ada, tidak ada, sebagian, menyeluruh, hampa, isi, semua gagasan itu tidak lagi timbul.
Sedangkan Suññatā, saya memahaminya begini: objek pikiran apapun (termasuk objek dalam jhana), ketika muncul, jika objek tersebut adalah 'menyenangkan', maka pikiran berdiam di sana dalam damai. Para mulia memahami bahwa kedamaian tersebut juga adalah hal yang berkondisi oleh khanda. Maka ketika pikirannya tidak lagi melekati apapun, bahkan persepsi yang paling halus (arupa jhana bukan persepsi, bukan non-persepsi), ia dikatakan berada dalam kekosongan (Suññatā) tersebut. Di situlah ada kebahagiaan yang tak terkondisi oleh khanda dan merupakan akhir dari dukkha.
Yang di paragraf 1 itu menjelaskan tentang apa ya ?Yang di paragraf 1 itu saya menjelaskan bahwa 'dualisme' dan 'non-dualisme', keduanya adalah dalam ranah gagasan, berkutat pada 'ada/tidak ada/ada dan tidak ada/bukan ada, bukan tidak ada', ditopang oleh khanda, terkondisi oleh khanda, dan bukanlah berkenaan dengan Suññatā.
"People must begin with a strong solid self in order to move to the next developmental step of seeing it as an illusion"Dalam konteks 'anatta', kalau dibilang 'must' atau 'have to', saya tidak setuju. Do you have to strongly believe in Santa Claus before you see it as an illusion?
atau bahasa lainnya
“you have to be somebody before you can be nobody.”
^
Bagaimana ide di atas menurut bro kainyn ? ;D
juga bisa dalam hal-hal yang sangat halus, seperti misalnya kemelekatan (bukan kecocokan) pada objek meditasi yang disenanginya.
interupsi, sekedar menyelingi dengan informasi yg mungkin penting,
kemelekatan yg harus dijauhi menurut ajaran Sang Buddha adalah:
"Ananda, terdapat lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … Bau-bauan yang dikenali oleh hidung … Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … Obyek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Ini adalah lima utas kenikmatan indria: ini disebut kenikmatan indria."
perhatikan: hanya lima utas, apakah kemelekatan pada meditasi termasuk dalam lima utas ini?
Itu kan indria bro indra, kalo yang khanda gimana ?
Kalau misalnya seseorang stick dengan satu metode meditasi sampai jangka waktu yang agak lama sebelum pindah ke metode lain, apakah ini bisa dibilang kemelekatan yang halus ?Ini hanya bisa dijawab oleh orang tersebut dengan menyelidiki bathinnya.
Trus misalnya seseorang sedang gundah gulana trus dia bermeditasi untuk menenangkan perasaannya itu, apakah bisa dibilang ini adalah pelarian ? Yah, mungkin yang sering membaca materi tentang meditasi, rata-rata tau bahwa kontemplasi seharusnya dilakukan pada setiap jengkal akktivitas yang berarti kewaspadaan harus dijaga setiap saat. Namun, pada umat awam dan perumah tangga hal ini tentu sulit untuk dilakukan sehingga pastinya kewaspadaan selalu naik turun. Pada waktu mengalami suatu perasaan yang tidak mengenakkan, mereka cenderung melakukan meditasi untuk meredakannya. Pada taraf ini, meditasi mungkin terlihat sebagai pelarian dan bukan lagi pengamatan yang berkesinambungan. :-?Sebetulnya bagi saya tidak masalah itu disebut pelarian atau apa, tapi kalau ditinjau dari manfaatnya, itu tidak akan bermanfaat banyak. Bathin itu bukan sesuatu yang bisa dibentuk secara instant, tapi melalui proses panjang. Seperti juga misalnya kita melatih tubuh dan otot kita dalam hidup sehari-hari, maka ketika ada beban berat yang harus diangkat, tubuh kita sudah terlatih dan terbiasa. Kalau tidak pernah melatihnya, maka begitu ada beban berat, walaupun dengan metode kuda-kuda ini-itu, dengan hitungan tuas-pengungkit segala macam, tetap saja tidak ada daya untuk mengangkat.
interupsi, sekedar menyelingi dengan informasi yg mungkin penting,Sepertinya disebutkan lima utas dalam konteks nafsu (kama). Menghindari lima ini, maka kita bisa 'maju' ke jhana.
kemelekatan yg harus dijauhi menurut ajaran Sang Buddha adalah:
"Ananda, terdapat lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … Bau-bauan yang dikenali oleh hidung … Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … Obyek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Ini adalah lima utas kenikmatan indria: ini disebut kenikmatan indria."
perhatikan: hanya lima utas, apakah kemelekatan pada meditasi termasuk dalam lima utas ini?
_/\_ om kainyn, mau tanya..Menurut saya, ya, kita juga menanam kamma. Tapi karena perbedaan kondisi kesadarannya, saya rasa 'kadar' menanamnya juga berbeda. Saya lihat bagaimanapun itu mirip dengan kita menonton film, ada gambaran2 dalam pikiran dan kita meresponnya, kadang dengan suka atau tidak suka. Mungkin hema sering lihat orang nonton sambil memaki 'bego amat sih!' atau 'nih orang jahat banget!'. Itu jelas sudah menanam kamma (pikiran). Serupa dalam mimpi juga kita melihat gambaran (hasil dari olahan memori kita yang campur aduk), dan kita bisa bereaksi dan meniatkan sesuatu, maka di situ ada kamma tertanam.
berbuat kammakah kita ketika sedang bermimpi?? ;D
Menurut saya, ya, kita juga menanam kamma. Tapi karena perbedaan kondisi kesadarannya, saya rasa 'kadar' menanamnya juga berbeda. Saya lihat bagaimanapun itu mirip dengan kita menonton film, ada gambaran2 dalam pikiran dan kita meresponnya, kadang dengan suka atau tidak suka. Mungkin hema sering lihat orang nonton sambil memaki 'bego amat sih!' atau 'nih orang jahat banget!'. Itu jelas sudah menanam kamma (pikiran). Serupa dalam mimpi juga kita melihat gambaran (hasil dari olahan memori kita yang campur aduk), dan kita bisa bereaksi dan meniatkan sesuatu, maka di situ ada kamma tertanam.iya om kainyn, selain pernah melihat saya juga mengalami sendiri. ;D
iya om kainyn, selain pernah melihat saya juga mengalami sendiri. ;DKetahuan nih, sering maki-maki orang di film yah?
iya, kadang memang kita bisa melakukan apa yang memang kita inginkan di dalam mimpi, tapi lebih banyak g bisanya, beda dengan dunia nyata.
tapi kadang mimpi itu muncul sebagai gambaran pengulangan dari kejadian yang pernah kita alami, walau tidak sepenuhnya mirip tapi kondisi di mimpi itu menyerupai dengan kejadian nyata yang pernah terjadi. tapi kadang rasanya kita g bisa apa2 begitu, seperti hanya menjalankan sesuai apa yang ditulis oleh sutradara. ;D
apakah ketidakberdayaan kita dalam mimpi itu karena perhatian kita yang lemah atau yang kurang terlatih, om kainyn?
dalam pengalaman pribadi saya, malahan biasanya mimpi itu bisa muncul sesuai apa yang kita pikirkan...Betul, hal itu adalah kondisional. Kadang apa yang kita inginkan muncul dalam mimpi, tapi kadang juga kita tidak berkuasa atas kejadian di mimpi, hanya jadi 'korban' skenario mimpi itu saja. Kalau pengalaman saya, biasanya itu ditentukan kegelisahan atau gangguan fisik (misalnya suhu ruangan terlalu panas/dingin, tangan kesemutan, dll).
sekalipun pikiran itu adalah pikiran yang tidak inginkan...
misalnya dalam mimpi kita, kita selalu berpikir "saya harap dia tidak muncul"
kalau hal itu kita pikirkan terus menerus, malahan si "dia" itu bisa muncul...
sama seperti dalam buku the secret yang pernah saya baca, kata "tidak" itu tidak di proses dalam pikiran, sehingga pikiran kita menjadi "saya harap diatidakmuncul"
ini cuma pengalaman pribadi saya loh...
ada yang pernah mengalaminya?
Betul, hal itu adalah kondisional. Kadang apa yang kita inginkan muncul dalam mimpi, tapi kadang juga kita tidak berkuasa atas kejadian di mimpi, hanya jadi 'korban' skenario mimpi itu saja. Kalau pengalaman saya, biasanya itu ditentukan kegelisahan atau gangguan fisik (misalnya suhu ruangan terlalu panas/dingin, tangan kesemutan, dll).
saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.Memang bisa juga, terutama kalau lagi capek. Antara tidur dan tidak tidur, tapi pikiran sudah bikin skenario macam2. Kadang tercampur aduk sama kenyataan, misalnya ada input suara orang lain, maka bisa kebawa dalam mimpi sehingga settingnya jadi kacau dan lucu. Misalnya kita mimpi sedang makan sama pacar, tapi ada suara TV lagi film "Rambo" yang rusuh tembak2an, dan kebetulan tukang sol sepatu lewat, maka mimpinya bisa seru dan konyol sekali. ;D
saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.berarti anda adalah seorang lelaki pemimpi...
Ketahuan nih, sering maki-maki orang di film yah?tidak juga om kainyn. :-[
Iya, kadang kalau kita terlalu menginginkan sesuatu yang belum kesampaian, bisa terjadi dalam mimpi. Lalu begitu bangun rasanya menyesal sekali. ;D Kalau kita membenci sesuatu juga bisa muncul dalam mimpi, jadi saya pikir sepertinnya apapun yang sering kita pikirkan, berpotensi jadi plot utama dalam cerita. Lalu latarnya, orang2nya itu adalah berdasarkan proses pengalaman yang acak, makanya background dan kejadiannyanya juga bisa kacau (seperti bhikkhu sholat di Gereja).
Memang di mimpi tiba-tiba sudah begitu saja terjadi. Tapi kalau pengalaman saya, kadang kita juga bisa usahakan, ga selalu harus ikut si sutradara. Hanya saja, sepertinya itu bukan soal sadar/tidak, tapi masalah ke-kepala-batu-an aja kali yah, jangan terlalu pasrah sama sutradara. ;D Saya belum paham tentang pikiran sejauh itu, tapi kalau spekulasi saya, jika perhatian kita kuat, cenderung pada menyadari itu adalah mimpi, dan biasanya terbangun tidak lama kemudian.
dalam pengalaman pribadi saya, malahan biasanya mimpi itu bisa muncul sesuai apa yang kita pikirkan...mungkin pernah, tapi sepertinya jarang.
sekalipun pikiran itu adalah pikiran yang tidak inginkan...
misalnya dalam mimpi kita, kita selalu berpikir "saya harap dia tidak muncul"
kalau hal itu kita pikirkan terus menerus, malahan si "dia" itu bisa muncul...
sama seperti dalam buku the secret yang pernah saya baca, kata "tidak" itu tidak di proses dalam pikiran, sehingga pikiran kita menjadi "saya harap diatidakmuncul"
ini cuma pengalaman pribadi saya loh...
ada yang pernah mengalaminya?
Betul, hal itu adalah kondisional. Kadang apa yang kita inginkan muncul dalam mimpi, tapi kadang juga kita tidak berkuasa atas kejadian di mimpi, hanya jadi 'korban' skenario mimpi itu saja. Kalau pengalaman saya, biasanya itu ditentukan kegelisahan atau gangguan fisik (misalnya suhu ruangan terlalu panas/dingin, tangan kesemutan, dll).maksudnya tangan kesemutan membuat kita mimpi begitu om?
saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.kalo sekarang masih online kan om indra, artinya belum terlelap.
tidak juga om kainyn. :-[Ya, saya juga pernah mimpi, bangun, tidur, mimpi lagi masih lanjutan yang sebelumnya, tapi ada hal2 yang sudah berubah. Memang pikiran itu susah sekali dikendalikan, tapi menarik sekali lihat prosesnya.
iya betul sekali om, kadang pas udah bangun, aduhhh kenapa tadi g begini ya. hehehe..
nah iya itu sering saya alami, kejadian dan tempatnya kadang g sinkron, terus suka pindah2 tempatnya, tiba2 udah ada di tempat lain lagi. ;D
saya pernah beberapa kali mimpi, terus terbangun, dan tidur lagi, ehh.. mimpinya malah sambung lagi.
seingat saya selama ini, mimpi yang membuat saya terbangun itu adalah mimpi2 yang buruk, kadang juga seperti terkaget begitu terus terbangun. ah, untung cuma mimpi. ;DKalau saya terbangun tetap ada 2 macam: yang bikin bilang 'untung cuma mimpi' dan 'sayang cuma mimpi'.
artinya perhatian saya masih kurang kuat yah, om kainyn. soalnya yang paling sering saya alami itu adalah bukan menyadari ini hanya mimpi lalu bangun, tapi pada saat bangun baru sadar, oh... tadi saya mimpi begini begitu. hehehe..
oh iya, saya mau tanya lagi, apakah setiap kita tidur itu kita pasti bermimpi, om kainyn?Setahu saya memang kita sering bermimpi yang tidak kita ingat sehingga ketika bangun seolah2 tidak ada mimpi. Tapi ada juga tidur yang memang tidak mimpi sama sekali.
hanya saja terkadang kitanya yang g ingat / g tau kalo ternyata kita mimpi.
kemudian, apakah mimpi itu sesuatu yang baik atau buruk?
maksudnya tangan kesemutan membuat kita mimpi begitu om?Bukan mimpi yang bikin tangan kesemutan, tapi gangguan fisik (yang ga enak), bisa menyebabkan mimpi buruk. Bermula dari tubuh menanggapi tidak enak, bathin juga menanggapi tidak enak dan memproyeksikannya dalam mimpi. Biasanya secara 'refleks' kita juga bisa berubah posisi jadi enak, tapi kalau lagi capek, KO, entah gimana tubuh jadinya sulit reaksi (seperti halnya juga bisa sampai ngileran). ;D
atau mimpi terus bikin tangan jadi kesemutan?
soalnya ada teman saya yang bilang kalo dia bangun dengan tangan yang keram itu artinya dia mimpi buruk, kalo g salah tangkep sih dia bilangnya begitu. ;D
intinya, semua hanya mimpi yah. :)
hanya yang agak sulit saya terima, ketika sedang mimpi pun ternyata kita membuat kamma.
masak sih? siapa bilang?saya g bisa masak om, tanya om kainyn deh. ;D
saya g bisa masak om, tanya om kainyn deh. ;D:))
intinya, semua hanya mimpi yah. :)Ya, hanya mimpi. Kamma memang hampir setiap saat ditanam, tapi kadarnya berbeda. Bahkan melamun pun menanam kamma.
hanya yang agak sulit saya terima, ketika sedang mimpi pun ternyata kita membuat kamma.
saya g bisa masak om, tanya om kainyn deh. ;D[at] Indra
Aku pernah dgr ktnya tanpa mimpi lebih bagus krn tidur lebih nyenyak n bangun lebih fit, benar gak ya? Trus katanya kalo mimpi brarti roh kita lg jalan2 kan Buddhis ga ada roh brarti itu salah ya?
Aku pernah dgr ktnya tanpa mimpi lebih bagus krn tidur lebih nyenyak n bangun lebih fit, benar gak ya? Trus katanya kalo mimpi brarti roh kita lg jalan2 kan Buddhis ga ada roh brarti itu salah ya?Menurut saya ga bener karena tidur paling lelap itu justru tidur yang tidak ada mimpi. Tapi soal kualitas tidur, saya pikir setiap orang juga berbeda. Ada yang efektif, biasanya tidak terputus, ada yang kurang efektif jadi suka bangun (terputus) lalu tidur lagi.
pernah baca juga, katanyakan mimpi itu adalah refleksi dari ingatan2 bawah sadar kita.
intinya mimpi adalah kesadaran kita dalam bentuk lainnya.
benar gak sih?
Menurut saya ga bener karena tidur paling lelap itu justru tidur yang tidak ada mimpi. Tapi soal kualitas tidur, saya pikir setiap orang juga berbeda. Ada yang efektif, biasanya tidak terputus, ada yang kurang efektif jadi suka bangun (terputus) lalu tidur lagi.Td kan aku blg tanpa mimpi lebih nyenyak brarti sama donk ama tidur yang tidak ada mimpi lebih lelap?
Kalau mimpi = 'roh jalan2' sudah jelas ga bener. Karena misalnya saya mimpi ketemu Terwelu, logikanya roh saya jalan2 ketemu rohnya terwelu, tapi ternyata si terwelu lagi ga tidur. Nah, jadi roh siapa yang saya temui di mimpi? ;D
Mimpi itu alam bawah sadar kan?
Td kan aku blg tanpa mimpi lebih nyenyak brarti sama donk ama tidur yang tidak ada mimpi lebih lelap?Oh iya, sis terwelu benar, tadi saya yang salah persepsi. Tidur tanpa mimpi sepertinya bisa pada tidur yang lelap ataupun yang kurang lelap, tapi kalau tidur yang paling lelap, memang tidak bermimpi.
oh ya hantu bs punya ingatan ttg kehidupan lalu gak? Umur hantu brp lama ya? Kenapa ad yg bisa liat ad yg gak bs? Thx.... :)Karena hantu adalah makhluk yang terlahir spontan, maka masih membawa ingatan kehidupan lampaunya. (Kalau manusia 'kan harus melalui proses janin, bayi, yang kesadarannya masih belum kuat.) Juga memang ada hantu yang punya kemampuan bathin mengingat kehidupan2 lampaunya.
bro Kain,Di alam manusia juga memang bisa saja orang memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau, seperti banyak kasus2 di luar negeri di mana anak2 bisa tahu keluarga mereka di masa lampau dan mengalami kejadian apa saja. Tapi memang ini tidak umum terjadi.
dialam apa saja kita akan punya ingatan tentang kehidupan masa lampau kita?
Di alam manusia juga memang bisa saja orang memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau, seperti banyak kasus2 di luar negeri di mana anak2 bisa tahu keluarga mereka di masa lampau dan mengalami kejadian apa saja. Tapi memang ini tidak umum terjadi.
Setahu saya kalau yang umum memilikinya adalah yang lahir secara spontan seperti para deva atau hantu. Bro Rico kalau mau, mungkin bisa bertekad agar di kehidupan berikut2nya bisa mengingat kehidupan sekarang. :)
saya sangat bertekad, biar jadi dewa ato brahma pun harus belajar dan mempraktekkan buddha dhamma.Ya, semoga demikian adanya. :)
tapi klo ke alam Apaya lain cerita nih, apalagi ke Aviji :'(Dan semoga tidak demikian adanya. ;D
Ya, hanya mimpi. Kamma memang hampir setiap saat ditanam, tapi kadarnya berbeda. Bahkan melamun pun menanam kamma.tapi setahu saya, kebanyakan hal-hal yang kita kerjakan adalah tidak berbuah/kamma netral...
Bro Rico kalau mau, mungkin bisa bertekad agar di kehidupan berikut2nya bisa mengingat kehidupan sekarang. :)bukannya tidak bisa ya kalau tidak ada abhinna dalam kehidupan sebelumnya??
tapi setahu saya, kebanyakan hal-hal yang kita kerjakan adalah tidak berbuah/kamma netral...Saya tidak tahu sampai detailnya (harus belajar Abhidhamma, barangkali), tapi sepertinya apapun yang kita lakukan adalah suatu bentuk kehendak juga, walaupun kadang sangat halus. Kamma-kamma ini memang tidak kuat (kalah prioritas) tapi tetap akan membuahkan hasil juga (yang akibatnya juga tidak terlalu berdampak).
contohnya mengetik, apakah membuahkan kamma om?
bukannya tidak bisa ya kalau tidak ada abhinna dalam kehidupan sebelumnya??Kalau dari kisah2 yang berkenaan dengan kehidupan masa lampau itu, yang dikisahkan adalah orang-orang biasa kok. Dari orang awam tumimbal lahir jadi orang awam lagi, tapi masih ada ingatannya. Kalau dugaan saya, memang bisa karena sisa abhinna, bisa juga memang berupa buah kamma tertentu.
setahu saya manusia memiliki kemampuan batin tanpa harus bermeditasi terlebih dahulu adalah karena sisa-sisa/jejak kamma dari kehidupan masa lalunya yang telah memiliki abhinna sebelumnya..
Saya tidak tahu sampai detailnya (harus belajar Abhidhamma, barangkali), tapi sepertinya apapun yang kita lakukan adalah suatu bentuk kehendak juga, walaupun kadang sangat halus. Kamma-kamma ini memang tidak kuat (kalah prioritas) tapi tetap akan membuahkan hasil juga (yang akibatnya juga tidak terlalu berdampak).setahu saya kamma itu ada 3 jenis kan??
setahu saya kamma itu ada 3 jenis kan??Dalam AN disebutkan 4 jenis yaitu: kamma terang berakibat, kamma gelap berakibat gelap, kamma terang & gelap berakibat terang & gelap, kamma bukan terang-bukan gelap yang menuju pada hancurnya kamma.
kamma baik, buruk, dan netral?? CMIIW
kalo pada kegiatan2 yang tidak disertai dengan kesadaran itu, biasanya adalah kamma netral, seperti berjalan, tidur, dll...
nah, kebanyakan hal yang kita lakukan adalah tanpa disertai dengan kehendak(cetana)...
makanya saya sebutkan kalau kebanyakan hal yang kita perbuat adalah kamma netral...
bagaimana menanggapinya??
kalau seandainya seseorang menabrak orang lain tanpa sengaja, apakah termasuk dilandasi kehendak om??Menyetirnya jelas dilandasi kehendak. Tapi hal menabrak orang tanpa sengaja bukan dilandasi kehendak buruk menabrak orang lain.
lalu, kalau tertidur lelap, apakah kita membuat kamma??Entahlah, tapi kalau menurut saya, tidak.
Menyetirnya jelas dilandasi kehendak. Tapi hal menabrak orang tanpa sengaja bukan dilandasi kehendak buruk menabrak orang lain.kesimpulannya, sewaktu kita menabrak orang tersebut termasuk kamma netral donk??
Entahlah, tapi kalau menurut saya, tidak.berarti kebanyakan hal yang kita buat itu apakah juga termasuk kamma netral, seperti berjalan, melamun, berbaring, duduk, dll??
kesimpulannya, sewaktu kita menabrak orang tersebut termasuk kamma netral donk??Bukan kamma netral, seperti saya bilang kamma tidak ada yang netral, adanya kamma yang disertai perasaan netral. Kamma apa yang mendorong orang menyetir tentu variatif, tapi jika tidak ada niat menabrak, maka pastinya tidak ada kamma buruk menabrak orang di sana.
berarti kebanyakan hal yang kita buat itu apakah juga termasuk kamma netral, seperti berjalan, melamun, berbaring, duduk, dll??Kamma yang melibatkan perasaan menyenangkan/tidak menyenangkan, biasanya adalah kamma yang berakar pada lobha dan dosa, juga alobha dan adosa. Sedangkan yang melibatkan perasaan netral, biasanya adalah yang berhubungan dengan moha dan amoha. Ketika kita melakukan hal-hal sesepele apapun, ketika kesadaran kita menyetuh objek dan tidak memahami sebagaimana adanya, mengukuhkan sebuah persepsi 'aku' ada/memiliki/bagian/terpisah dari objek, maka itu pun adalah bentuk kamma yang menyebabkan orang tetap dalam lingkaran samsara.
soalnya setahu saya dari buku yang pernah saya baca(udah lupa buku apa ;D), kebanyakan manusia berbuat kamma netral daripada kamma-kamma lainnya (buruk ataupun baik)
maaf kalau terkesan agak offensive, tapi disini saya cuma mempertanyakan kok, tidak ada niat untuk mengoffend sama sekali...Saya juga tidak merasa di-offend kok, santai aja, bro will. ;D
Bukan kamma netral, seperti saya bilang kamma tidak ada yang netral, adanya kamma yang disertai perasaan netral. Kamma apa yang mendorong orang menyetir tentu variatif, tapi jika tidak ada niat menabrak, maka pastinya tidak ada kamma buruk menabrak orang di sana.kalau bukan kamma netral, berarti itu tidak termasuk kamma sama sekali??
Kamma yang melibatkan perasaan menyenangkan/tidak menyenangkan, biasanya adalah kamma yang berakar pada lobha dan dosa, juga alobha dan adosa. Sedangkan yang melibatkan perasaan netral, biasanya adalah yang berhubungan dengan moha dan amoha. Ketika kita melakukan hal-hal sesepele apapun, ketika kesadaran kita menyetuh objek dan tidak memahami sebagaimana adanya, mengukuhkan sebuah persepsi 'aku' ada/memiliki/bagian/terpisah dari objek, maka itu pun adalah bentuk kamma yang menyebabkan orang tetap dalam lingkaran samsara.berarti kalau kamma yang melibatkan perasaan netral dalam bentuk moha tidak menghasilkan buah, tetapi hanya membuat seseorang tersebut "menetap" dalam samsara ini ya??
kalau bukan kamma netral, berarti itu tidak termasuk kamma sama sekali??Jika berhubungan dengan 'kebodohan bathin', maka termasuk 'kamma gelap'; jika berhubungan dengan 'kebijaksanaan', maka termasuk 'kamma terang'.
berarti kalau kamma yang melibatkan perasaan netral dalam bentuk moha tidak menghasilkan buah, tetapi hanya membuat seseorang tersebut "menetap" dalam samsara ini ya??Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
Ya, hanya mimpi. Kamma memang hampir setiap saat ditanam, tapi kadarnya berbeda. Bahkan melamun pun menanam kamma.iya ya, kalo melamunnya yang jelek2, jadi akusala mano kamma. :)
[at] Indra
Bohong, Hema bisa masak, tapi ga mau masakin Bang Indra aja. ;D
Jika berhubungan dengan 'kebodohan bathin', maka termasuk 'kamma gelap'; jika berhubungan dengan 'kebijaksanaan', maka termasuk 'kamma terang'.walaupun perasaan dan niatnya biasa aja (contoh: melontarkan ucapan kasar) itu tetap kamma buruk kan, om kainyn?
Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
iya ya, kalo melamunnya yang jelek2, jadi akusala mano kamma. :)Kalo yang berhubungan dengan garam dosis tinggi, itu favoritenya Mr.Jhonz. Kalo Om Indra itu berurusan dengan lemak hewani haram jenuh dengan kolestrol LDP.
hehehe..
bisa sih, tapi rasanya g terdefinisikan oleh kata2. :))
mau kok, nanti deh saya masakin om indra nasi goreng, pake garam sekilo. :D
walaupun perasaan dan niatnya biasa aja (contoh: melontarkan ucapan kasar) itu tetap kamma buruk kan, om kainyn?Iya, niatnya sebetulnya 'tidak biasa', tapi karena sudah terbiasa, jadi kesannya biasa-biasa aja. Sepertinya misalnya free-sex, kalau orang tidak terbiasa, rasanya malu. Tapi kalau sudah terbiasa, yah rasanya biasa-biasa saja, tidak ada perasaan malu, risih atau apa yang timbul. Nah, ini adalah upekkha yang tidak bermanfaat, disertai perasaan netral.
Jika berhubungan dengan 'kebodohan bathin', maka termasuk 'kamma gelap'; jika berhubungan dengan 'kebijaksanaan', maka termasuk 'kamma terang'.maksudnya dalam kasus kecelakaan yang saya tuliskan di atas...
Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.kalau itu kan sudah ada pengaruh dosanya juga om...
maksudnya dalam kasus kecelakaan yang saya tuliskan di atas...Tanam kamma atau buah kamma? Kalau buah kamma, ya. Kita bisa ketemu korban, nabrak korban, itu adalah juga buah kamma masa lampau, walaupun sekarang ini tidak kita niati (jadi bukan sedang tanam kamma).
apakah kecelakaan itu tidak bisa disebut kamma??
kalau itu kan sudah ada pengaruh dosanya juga om...Ya, ada dosa-nya, juga ada moha-nya yang mengkondisikan perasaan netral tersebut. Yang lebih ekstrem misalnya kita menghindari pembunuhan. Kadang orang khilaf (dikuasai dosa), maka membunuh orang disertai dengan gejolak macam-macam. Tapi kasus lain, misalnya seseorang punya pandangan salah (seperti melekat pada ritual sesat), maka dia bisa bunuh orang dengan perasaan biasa-biasa aja, beranggapan itu baik. Jadi pikirannya seimbang, perasaannya netral, tapi di situ jelas ada kamma tertanam.
engga mungkin donk kita bicara kasar kepada orang yang engga kita kenal??
saya buat perumpamaan lagi ya.. ;DJika seseorang meditasi dengan benar (bukan asal-asalan) kemudian dia berdiam di sana, menguatkan aku, maka itu adalah moha yang halus, tidak akan berakibat buruk apapun (secara langsung) dan hanya akan menjerat orang dalam samsara.
misalnya pada saat seseorang bermeditasi, suatu saat akan muncul dalam pikiran orang tersebut seperti "saya tenang, saya bahagia", ini kan melibatkan adanya si-Aku...
nah, moha jenis ini apakah ada kamma buruknya, atau hanya membuat orang tersebut menetap di samsara??
emm.. iya ya, intinya jagalah hati, jangan kau nodai.. ;D
emm.. iya ya, intinya jagalah hati, jangan kau nodai.. ;DYa, jagalah hati, jangan sampai kena hepatitis. ;D
Jagalah hati, lentera hidup ini...Hati apa nih yang bisa berpendar dibuat lentera?
Jagalah hati, lentera hidup ini...nah, rooney juga tau ternyata.. ;D
Ya, jagalah hati, jangan sampai kena hepatitis. ;D:))
Tanya nih _/\_ Kalau di dalam pikirannya timbul curiga terus? masuk kategori karma mana OM? ;DSepertinya masuk kategori kamma yang berdasarkan kebodohan bathin, pikirannya dibohongi dan terlarut oleh ide-ide dari pikirannya sendiri sehingga sulit menilai dengan baik.
tanya om, pada saat perasaan kita sedang netral, maka yang timbul kemungkinannya ada 2, yaitu upekkha atau moha...Kalau dalam konteks sebenar-benarnya, selama kita masih belum merealisasi kebenaran mulia itu, maka kita masih dicengkeram oleh moha, maka kita senantiasa mengukuhkan 'diri' (dengan cara yang berbeda, tentunya) dan melakukan kamma (baik dan buruk). Jadi kalau mau bilang moha, selama belum mencapai kesucian, kita masih 'digerakkan' oleh moha.
nah, bagaimana kita membedakan apakah perasaan kita itu termasuk moha atau upekkha??
dear bro Kainyn,
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?Dua ini saya gabung, tidak bisa dalam satu kalimat singkat.
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?Ini pertanyaannya kurang tepat.
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?
Dua ini saya gabung, tidak bisa dalam satu kalimat singkat.
Jawabannya: tergantung sudut pandang tradisi, dan karena saya tidak mendalami yang lain, maka saya jawab menurut Tradisi Theravada: tidak.
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?
Seharusnya: 'apakah orang yang masih ada keinginan terlahir kembali bisa jadi Arahat?'
Tentu saya jawab: tidak.
ini berarti dari pandangan lain, ada pendapat, keyakinan dan ajaran bahwa arahat masih bisa terlahir kembali.Kalau keinginan dalam artian sehari-hari, tentu masih ada. Namun keinginan ini bukan lagi didasarkan oleh keserakahan, kebencian, kebodohan bathin. Keinginan ini hanyalah seperti 'sisa' dari bentukan masa lampau. Contohnya seperti ada Arahat yang kecenderungannya untuk mengajar, ada yang tinggal di hutan menjalankan petapaan keras. Ini karena sisa dari tekad lampaunya, namun apakah keinginannya terpenuhi ataupun tidak, maka bathinnya tetap seimbang karena sudah tidak ada keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin lagi yang mempengaruhinya.
tengkiu.
tegasnya orang yang masih ada keinginan terlahir kembali bukan/belum arahat.
sekali lagi tengkiu bro... _/\_
pertanyaan selanjutnya :
apakah seorang arahat tidak lagi mempunyai keinginan? yang sederhana sekali pun. misal ingin makan.
mohon pencerahannya bro.
semua yang dilakukan adalah fungsional (kiriya), misalnya makan hanya untuk menghilangkan rasa lapar, walau sebenarnya dapat makan atau tidak, batinnya tetap seimbang.Demikian pula yang saya dengar. :) Kondisi bathin kiriya ini banyak dipengaruhi kecenderungan masa lampau (vasana), maka kita masih bisa lihat Arahat seolah-olah ada sifat-sifat 'duniawi' yang buruk, juga tidak bijaksana dalam mengambil keputusan sehubungan dengan hal-hal duniawi. Kalau urusan spiritual, mereka telah sempurna tanpa noda.
begitulah yang saya dengar. :)
om kainyn, mau nanya.. ;D ;DSaya mau klarifikasi sedikit. Sebetulnya jika menyebut kesadaran berpindah antar kehidupan, itu adalah suatu pandangan salah. Dalam MN 38, Mahatanhasankhaya Sutta, seorang bhikkhu bernama Sati Kevattaputta menganut pandangan salah demikian.
dikatakan bahwa pada saat kita meninggal, yang kita bawa dari satu kehidupan ke kehidupan selajutnya itu adalah kesadaran/vinnana kita...
menurut abhidhamma, yang berfungsi sebagai memory pikiran kita adalah sanna/persepsi..
nah, kalau memang yang dibawa itu vinnana, dan tidak termasuk sanna, kenapa ada manusia yang bisa mengingat kehidupan lampaunya?? bukankah persepsinya tidak ikut terbawa pada saat suatu makhluk meninggal??
sebenernya ini pertanyaan dari thread sebelah, tapi karena saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, makanya saya tanya disini...
satu pertanyaan menganjal.Yang diakui secara umum memang 2: Theravada & Mahayana. Mahayana sendiri ada sub aliran seperti Tantrayana dan Zen.
saya juga gak tau total jumlah aliran buddhisme, sebut saja dua diantaranya mahayana dan theravada
di beberapa thread saya baca kedua aliran ini memiliki pandangan berbeda dalam hal tertentu.
saya juga gak tau mana benar mana salah, jujur sedikit membingungkan.
jika saya memilih mempelajari atau ikut secara intens di salah satu aliran, apakah saya harus meninggalkan atau melepas konsep aliran lainnya? atau justru bisa menjalankan konsep kedua atau beberapa aliran ini secara bersamaan?
bagaimana menurut anda bro?
Kalau secara sehari-hari, konsep dari ajaran2 yang pusatnya adalah pengembangan diri apakah Theravada, Mahayana, bahkan Hindu sekalipun, bisa berjalan selaras. Seperti Hindu pun ada yang berpusat pada Brahmavihara, sehingga praktiknya tidak jauh-jauh juga. Kalau untuk yang terperinci, bahkan pengertian penganut Theravada satu belum tentu cocok dengan penganut Theravada lainnya. Ini sifatnya sudah lebih ke arah pribadi.
Kalau dalam kehidupan sehari-hari, apakah Buddhisme dapat dijadikan sebagai metode self development (duniawi) ?Bisa dijelaskan batasan 'duniawi' ini apa saja, dan mungkin contohnya di bidang apa?
Bisa dijelaskan batasan 'duniawi' ini apa saja, dan mungkin contohnya di bidang apa?
Contoh : bisnisTidak bisa, setidaknya secara langsung. Buddha tidak mengajarkan bagaimana mengembangkan bisnis secara khusus. Tapi pengembangan diri apapun, pasti berimbas dalam semua aspek kehidupan kita. Misalnya Buddha mengajarkan agar tidak menipu, jika diikuti, maka otomatis kita akan menjadi orang yang tidak menipu. Orang bukan penipu akan memiliki kredibilitas dan integritas tinggi, yang pada gilirannya akan membawa keuntungan juga bagi bisnisnya.
mempelajari keduanya sebagai ajaran yang independen, ini yang susah.Untuk mengetahui 'keaslian dhamma', seseorang harus memiliki perhatian dan penyelidikan terhadap dhamma itu sendiri. Apakah benar sebuah ajaran membawa orang pada padamnya keserakahan dan kebencian, apakah benar sebuah ajaran mengajarkan kita melihat realitas apa adanya bukan sekadar indoktrinasi dogmatis. Dengan patokan ini, seseorang bisa menilai sendiri tanpa perlu dibiaskan dengan merk 'aseli'.
karena konsep yang satu akan mengusik konsep lainnya.
tapi tidak apa2 lah, ambil yang bermanfaat saja.
seperti ceramah Pak Wowor, kamu cocoknya yang mana? :D
pertanyaan selanjutnya :
seorang Sottapanna telah mematahkan 3 belenggu :
- Pandangan salah tentang aku(Sakkāya-diṭṭhi)
- Keragu-raguan terhadap Buddha, Dharma, Sangha (Vicikicchā)
- Kemelekatan terhadap peraturan dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)
pada sebuah tulisan yang saya baca ada tulisan berikut :
Terdapat 4 hal yang bila dikembangkan dan dilatih, menuntun kepada buah Pemasuk Arus yakni:
1. Bergaul dengan mereka yang bijaksana
2. Mendengarkan Dhamma yang asli
3. Perhatian/Pengamatan yang seksama
4. Praktek yang sesuai dengan Dhamma.
point 1,3 dan 4 mungkin masih bisa saya mengerti dan tidak membuat saya dilema
tapi point 2. Mendengarkan Dhamma yang asli ini yang membuat saya kepikiran terus.
maksudnya dhamma yang asli itu bagaimana?
terus menurut bro Kain sendiri keempat hal diatas bagaimana? apa benar begitu?
3 Sanna
Sanna takes note of the sense-objects as to colour, form, shape,
name, etc. It functions as memory. It is sannà that enables one to
recognize an object that has once been perceived by the mind
through the senses. Without sannà, we would not remember our
names, our parents, our wives and children, our houses, etc. So
it would be impossible to live in the community.
Untuk mengetahui 'keaslian dhamma', seseorang harus memiliki perhatian dan penyelidikan terhadap dhamma itu sendiri. Apakah benar sebuah ajaran membawa orang pada padamnya keserakahan dan kebencian, apakah benar sebuah ajaran mengajarkan kita melihat realitas apa adanya bukan sekadar indoktrinasi dogmatis. Dengan patokan ini, seseorang bisa menilai sendiri tanpa perlu dibiaskan dengan merk 'aseli'.
Bergaul dengan para bijaksana maksudnya memang kita mencari bimbingan dari mereka yang bisa mengarahkan pada kebaikan. Dari mereka kita mendapatkan dhamma yang 'aseli' lalu kita selidiki sendiri dhamma tersebut, kemudian kita praktikkan.
Juga kalau kita bicara konteks pencapaian kesucian, tidak ada praktik lain selain pengembangan meditasi (ketenangan & perhatian). Sebagai penganut Ajaran Buddhisme, tidak akan mendapatkan hasil optimal tanpa pengembangan meditasi tersebut.
makasih om kainyn penjelasannya, tapi saya ralat sedikit, dari buku yang saya baca(buddha abhidhamma), memang yang berfungsi sebagai memory itu adalah sanna atau persepsi...Thanks buat kutipannya.
banyak cerita, salah satunya yang saya ingat tentang anatapindika (tulisannya bener gak sih?) beliau hanya mendengarkan beberapa patah kata dari sang buddha langsung mencapai buah pemasuk arus.setahu saya kalau dalam komentar-komentar yang saya baca, setelah mendengarkan khotbah dari sang buddha, orang tersebut merenungkan kata dan makna tersebut dalam pikirannya, dan menggunakannya sebagai subjek meditasi dan di tempat duduk itu juga, ia mencapai tingkat kesucian...
tidak ada meditasi disitu, bagaimana bisa?
atau apakah mungkin orang yang lahir pada saat para buddha muncul dan memiliki akses bertemu dan mendengarkan langsung dhamma yang dibabarkan oleh sang buddha adalah orang yang sangat didukung oleh kamma baik lampau, sehingga hanya dengan mendengarkan sedikit dhamma saja cukup memberikan pencerahan pada dirinya?
banyak cerita, salah satunya yang saya ingat tentang anatapindika (tulisannya bener gak sih?) beliau hanya mendengarkan beberapa patah kata dari sang buddha langsung mencapai buah pemasuk arus.Pencapaian kesucian adalah sebuah rangkaian perjuangan panjang selama berkalpa-kalpa. Kadang kita hanya melihat 'ujung'-nya saja, yaitu kehidupan terakhirnya, sehingga seolah-olah gampang sekali memperoleh kesucian. Untuk ini, ada contoh paling gampang yaitu Thera Cula-panthaka yang terkenal itu. Ia pelupa dan modal satu kalimat dan kain yang diusap-usap, langsung mencapai Arahatta. Bayangkan dari tukang lupa langsung ke Arahat yang sangat sakti. Kesannya semua instant. ;D Padahal dikisahkan pada masa Buddha Kassapa saja, Culapanthaka ini melatih Odata-kasina selama 20.000 tahun penuh.
tidak ada meditasi disitu, bagaimana bisa?
atau apakah mungkin orang yang lahir pada saat para buddha muncul dan memiliki akses bertemu dan mendengarkan langsung dhamma yang dibabarkan oleh sang buddha adalah orang yang sangat didukung oleh kamma baik lampau, sehingga hanya dengan mendengarkan sedikit dhamma saja cukup memberikan pencerahan pada dirinya?Tentu saja begitu. Dikatakan menjadi manusia itu sulit. Munculnya seorang Samma Sambuddha lebih langka lagi. Menjadi manusia di saat Samma Sambuddha muncul, dan bisa bertemu langsung dan mendengarkan pengajaran, itu sudah pasti bukan hasil kamma 'biasa-biasa aja'. Dan kalau kita sering perhatikan di komentar, orang-orang yang 'berjodoh' dengan Buddha Gotama ini adalah memang yang sejak masa lampau pun sudah sering bertemu dan berinteraksi, membangun ikatan kamma yang kuat.
setahu saya kalau dalam komentar-komentar yang saya baca, setelah mendengarkan khotbah dari sang buddha, orang tersebut merenungkan kata dan makna tersebut dalam pikirannya, dan menggunakannya sebagai subjek meditasi dan di tempat duduk itu juga, ia mencapai tingkat kesucian...Tidak selalu bermeditasi juga. Misalnya Sariputta yang dengar 2 baris syair dari Asajji langsung Sotapanna.
jadi bukannya orang tersebut tidak bermeditasi, hanya saja ia bermeditasi dalam waktu yang singkat dan mencapai buah kesucian pada saat itu juga..
Tidak selalu bermeditasi juga. Misalnya Sariputta yang dengar 2 baris syair dari Asajji langsung Sotapanna.kalau "merenungi" bait dhamma bisa gak?? ;D ;D
kalau "merenungi" bait dhamma bisa gak?? ;D ;DIya, tentu direnungkan, tapi karena kematangan kebijaksanaannya, perenungan sebentar langsung membuahkan hasil, tidak perlu 'masuk' pada perhatian mendalam seperti dalam meditasi.
tengkiu...Tentu saja bisa. Kalau semua harus instant dalam 1 kehidupan, saya tidak mau pilih Ajaran Buddha. ;D
next :
mengetahui bahwa harus mematahkan 3 belunggu ini (sebagai pemasuk arus)
tau harus dipatahkan namun tidak mampu mematahkan dalam kehidupan ini, bisa kah seseorang bertekad untuk melanjutkan usahanya di kelahiran selanjutnya? bagaimana caranya?
Tentu saja bisa. Kalau semua harus instant dalam 1 kehidupan, saya tidak mau pilih Ajaran Buddha. ;D
Caranya adalah dengan mengarahkan pikiran sesuai dhamma, dan hidup sesuai dhamma. Apapun yang kita pikirkan atau kembangkan, akan menjadi kecenderungan kita. Seseorang yang cenderung pada dhamma, maka tentu akan 'mencari' dhamma, apakah kehidupan sekarang maupun selanjutnya. Jadi tidak perlu khawatir. Jagalah sila (sebab tanpa sila, orang tidak terlahir di alam baik, sementara dhamma hanya 'beredar' dan dipahami oleh makhluk di alam yang baik), kemudian kembangkan samadhi dan panna. Hal ini akan selalu membuat kita terkondisi pada dhamma.
^Tanyanya ke saya juga?
^
saya pernah tanya yang ini sebelumnya, jadi mohon abaikan saja.
maaf.
masih ada yang mau ditanyakan, tapi lanjut besok2 aja.
bro Kain, terima kasih atas waktunya.
_/\_
terima kasihbisa kalau devanya mau mengingatnya...
next :
apakah para deva 'pasti' akan memiliki ingatan akan kelahirannya sebelumnya? sehingga seorang manusia yang sebelumnya tekun mempraktekkan dhamma setelah mati dan 'pindah' ke alam deva masih bisa meneruskan apa yang ditekuninya pada kehidupan lampau?
Kebetulan beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah buku, ada hubungannya dengan pertanyaanya om rico yang di page sebelumnya, mungkin bisa sedikit membantu.
Sumber tulisan ini dari buku Bangunlah, Dunia!, kumpulan ceramah dari Bhikkhu Revata pada berbagai retret meditasi.
Silahkan dibaca...
Empat tipe orang disebutkan dalam perumpamaan teratai. Mereka adalah:
1. Teratai yang dilahirkan di dalam air dan ketika telah mencapai permukaan air, tumbuh keluar dari air dan tidak tercemar olehnya. Ini adalah seorang Ugghatitannu.
2. Teratai yang dilahirkan di dalam air dan mencapai permukaan. Ini adalah seorang Vipacitannu.
3. Teratai yang dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, dan, tanpa meninggalkan air, berkembang di dalam air. Ini adalah seorang Neyya.
4. Teratai yang dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, dan, tanpa meninggalkan air, mereka mati di dalam air. Ini adalah seorang Padaparama.
Diantara keempat tipe orang tersebut, tiga tipe pertama dapat mengakhiri penderitaan.
Orang jenis pertama, (seorang Ugghatitannu), adalah seseorang yang bisa terbangunkan hanya dengan mendengarkan petunjuk ringkas. Y.M.Sariputta adalah contoh seorang Ugghatitannu. Dia mencapai tingkat Sotapanna, hanya dengan mendengarkan bait pendek yang terdiri dari empat baris. Jadi silahkan dengarkan dan cari tau apakah anda juga bisa mencapai tingkat Sotapanna. Jika anda bisa, saya akan sangat senang.“Ye dhamma hetuppabhava;
Tesam hetum tathagato aha,
Te sansa yo niroda;
Evam vadi maha samano.”
Yang Mulia Sariputta merealisasi pencapaian Sotapanna setelah ia mendengar kata-kata: “Ye dhamma hetuppabhava; Tesam hetum tathagato aha, tapi sebelum kata ‘aha’.
Kita perlu mengerti alasan-alasan pencapaian yang cepat oleh orang yang hidup pada jaman Sang Buddha. Sekarang, orang memperdebatkannya. Beberapa bahkan percaya tidak perlu untuk berlatih. Mereka berfantasi bahwa orang pada jaman sekarang juga dapat mencapai tingkat realisasi mendalam, hanya dengan mendengarkan ceramah Dhamma. Untuk mempertahankan pendapatnya, mereka merujuk berbagai kejadian yang terjadi pada jaman Sang Buddha tersebut. Jika pada saat itu bisa, mengapa sekarang tidak?
Dalam Kitab Komentar kita menemukan jawabannya. Hal ini dijelaskan bahwa pengikut awal Sang Buddha bisa menembus Dhamma begitu cepat karena beberapa alasan berikut. Dalam banyak kehidupan sebelumnya mereka mengakumulasikan empat penyebab:
a. Penguasaan kitab suci ……………… (Pariyatti). Mereka mempelajari sehingga mahir dalam kitab suci Dhamma.
b. Mendengar …………… (Savana). Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan hormat terhadap Dhamma yang dijelaskan selama kurun kehidupan lampau yang tak terhingga.
c. Penyelidikan …………… (Paripuccha). Mereka meneliti dan mendiskusikan bagian dan penjelasan dalam teks dan Kitab Komentar yang sulit.
d. Usaha sebelumnya ……………… (Pubbayoga). Mereka terlibat dalam praktik meditasi Samatha-Vipassana samapi tingkat Pengetahuan Keseimbangan Terhadap Bentuk-bentuk (sankharupekkha nana) selama dispensasi dari para Buddha.
Karena keempat penyebab inilah, orang pada saat itu mampu dengan cepat merealisasi pencapaian mendalam, dalam salah satu kehidupan terakhir mereka. Karena empat penyebab itu, hasil ini terjadi:
e. Pencapaian ………………… (Adhigama). Pencapaian Jalan dan Buah Arahat, atau pencapaian Jalan dan Buah lainnya.
Kita sekarang tahu bahwa mereka yang telah menyempurnakan parami seperti penguasaan kitab suci (Pariyatti), mendengar (Savana), penyelidikan (Paripucca), dan upaya sebelumnya (Pubbayoga) mampu mencapai Jalan dan Buah Kebijaksanaan dengan cepat, kadang-kadang hanya dengan mendengarkan bait yang sangat singkat. Diantara parami, ‘upaya sebelumnya’ (Pubbayoga) sangat penting. Karena akumulasi praktek Meditasi Samatha-Vipassana di masa lalu sampai pada Pengetahuan Keseimbangan Terhadap Bentuk-Bentuk (sankharupekkha nana), murid-murid awal tersebut sudah sangat dekat dengan Jalan dan Buah Kebijaksanaan. Ketika pergi untuk dana makanan, mereka berlatih meditasi. Ketika kembali, mereka berlatih meditasi. Murid-murid awal tersebut telah membuat upaya sebelumnya selama banyak kehidupan. Jadi dalam kehidupan terakhir mereka, hanya dengan mendengarkan Dhamma sudah cukup untuk melihat Nibbana.
jika ada yang berminat untuk membaca penjelasan tipe orang ke dua sampai empat, bisa kasi tau saja, nanti saya ketikkan.
sebenarnya bukan merepotkan, tapi memberi kesempatan untuk berbuat baik.Oh, ga apa kok. Di sini tempatnya bebas dan terbuka, apalagi untuk pengetahuan.
nanti coba saya cari versi pdfnya dulu, soalnya buku itu juga dibagikan gratis.
tapi kalo tidak, gpp diketik ulang.
nanti PM aja deh, soalnya kalo disini takutnya merusak jurnalnya om kainyn, kecuali jika om kainyn mengijinkan. :)
tanya dong om kutho ;D.Kesombongan di manapun juga adalah hal semu yang rapuh. Orang memiliki pencapaian (duniawi) tertentu yang terkondisi dan berubah. Ketika kondisi tersebut berubah, namun ia masih melekat pada 'keberhasilan' tersebut. Akhirnya seperti petinju tua renta dan bongkok, selalu berpikir dirinya sekuat waktu dia masih juara dunia.
bagaimana mengatasi kesombongan akibat pencapaian di masa lalu? ;D
misalnya kehidupan sebelumnya menelurkan murid-murid yang berbakat, tapi di kehidupan sekarang sekarang tidak punya murid lagi tapi masih bangga dengan murid-muridnya dikehidupan lampau ;D.
SILA 1 : PANATIPATA VERAMANI
Menghindar membunuh makhluk hidup
OBJEK :
1. Manusia
2. Binatang
a. Binatang yg berguna
b. Binatang yg tidak berguna
Binatang yg merugikan
Binatang yg tidak merugikan
KEHENDAK :
1. Direncanakan/disengaja/dikehendaki
2. Tidak di kehendaki ----> Kalau qt tidak menghendaki baik itu bentuk mempertahankan diri, reflek atau kecelakaan kenapa bisa di sebut melanggar sila? Padahal qt tidak mempunyai niat lhoo :no:
a. Dorongan sesaat (mendadak)
b. Mempertahankan diri
c. Kecelakaan
USAHA :
1. Secara Langsung
2. Secara tidak Langsung
FAKTOR :
1. Ada Makhluk hidup
2. Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup ---> Bila aq mengetahui bahwa mahluk itu hidup, lalu melihat mahluk itu di bunuh, apakah termasuk melanggar sila? Padahal bukan aq lho yang melakukannya :-?
3. berpikir untuk membunuhnya
4. Berusaha untuk membunuhnya
5. Makhluk itu mati sebagai akibat dari usaha tsb
Catatan :
Penyiksaan terhadap binatang :
Yaitu suatu perlakuan yg sadis/kejam terhadap binatang. Misalnya :
1. Membiarkan binatang kelaparan
2. Mencambuk/memukul bagian tubuh binatang
3. Menganggu/mengusik binatang yg tidak bersalah
4. Mengadu binatang untuk kesenangan
5. Menjadikan binatang sebagai umpan untuk menangkap binatang lainnya
SILA II : ADINNADANA VERAMANI
Menghindari mencuri/mengambil barang yg tidak diberikan
Pencurian secara langsung
1. Mencuri
2. Merampas
3. Memeras
4. Merampok
5. Mengajukan gugatan palsu ---> 4 hal yang aq bold dibawah ini, selain melanggar sila ke 2 juga melanggar sila ke 4 bukan ya? Berarti pelanggaran sila jg bisa ada kombinasinya?
6. Berbohong/berdusta
7. Menipu
8. Memalsu
9. Mencopet
10. Menukar barang
11. Menyeludupkan barang dan menghindari pajak/bea
12. menggelapkan uang/barang
Pencurian secara tidak langsung
1. Menjadi kakitangan atau tukang tadah
2. Merayu/memeras untuk menipu
3. Menerima suap (pungli) ---> Sebagaimana yang qt semua tau bila berurusan dengan surat-menyurat, biar urusan lancar terkadang qt diminta memberikan uang pelicin, dalam hal ini qt memberikan suap. Berarti dalam kasus tersebut qt membuka jalan bagi orang untuk melangar sila? lalu qt jg termasuk pelanggar?
Perbuatan yg serupa dengan pencurian
1. Menghancurkan barang milik orang lain dengan tujuan untuk membalas dendam
2. Menggunakan barang dengan sekehendak hatinya/sewenang-wenang
FAKTOR :
1. Ada sesuatu/barang/benda milik pihak lain
2. Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya
3. Berpikir untuk mencurinya
4. Berusaha untuk mencurinya
5. Berhasil mengambil barang itu melalui usaha tersebut
Catatan :
Empat macam kebahagiaan yang akan diperoleh bagi mereka yg mencari nafkah secara benar – tidak melanggar Hukum Negara dan Ajaran Agama :
1. Rasa bangga karena memiliki barang (harta) secara sah
2. Bebas dari rasa takut/khawatir, dan akan merasa aman pergi kemanapun juga
3. Dapat menggunakan harta yang dimiliki dengan batin yang tidak tertekan – karena merasa tidak bersalah
4. Memperkuat kemampuan dalam menghindari perbuatan-perbuatan jahat
........
SILA V : SURAMERAYA MAJJAPAMADATTHANA VERAMANI
Menghindari segala minuman keras yang menyebabkan lemahnya kesadaran
Objek yang menyebabkan pelanggaran :
1. Semua jenis minuman yang memabukkan
2. Barang cair, padat maupun gas yang bila digunakan/dimasukkan ke dalam tubuh bisa membuat lemahnya kesadaran, dan yang bisa menimbulkan ketagihan ---> Bila ada benda yangdimasukkan ke dalam tubuh (bukan minuman keras), yang pada awalnya membantu qt menghilangkan sakit lalu untuk seterusnya qt pakai karena kebiasaan apakah bisa memperlemah kesadaran ?
Tujuan utama dari pelaksanaan sila ini adalah :
1. Untuk melatih pengendalian diri
2. Untuk melatih kewaspadaan
3. Untuk melatih dan mengembangkan kesadaran
KK boleh discuss mengenai Pancasila dalam aplikasi kehidupan sehari-hari? kalo memang sudah pernah dibahas sebelumnya, bisa tolong berikan linknya. tq _/\_Ya, tentu saja boleh kita diskusikan lagi walaupun mungkin pernah dibahas di tempat lain. :)
Sebagai umat awam ada 5 sila yang wajib qt lakukan, terkadang aq masih rancu apakah apakah aq sudah melanggar sila atau tidak. Aq sudah mencoba browsing dan dapat masukan sebagai berikut : (karena thread ini sudah lama jd aq copas di sini ;D)
Mohon penjelasannya, agar saya bisa lebih memahami maksud dari sila2 tersebut. _/\_
----> Kalau qt tidak menghendaki baik itu bentuk mempertahankan diri, reflek atau kecelakaan kenapa bisa di sebut melanggar sila? Padahal qt tidak mempunyai niat lhoo
---> Bila aq mengetahui bahwa mahluk itu hidup, lalu melihat mahluk itu di bunuh, apakah termasuk melanggar sila? Padahal bukan aq lho yang melakukannyaTentu saja tidak melanggar sila jika bukan kita yang menyebabkan atau menganjurkan pembunuhan tersebut.
---> 4 hal yang aq bold dibawah ini, selain melanggar sila ke 2 juga melanggar sila ke 4 bukan ya? Berarti pelanggaran sila jg bisa ada kombinasinya?Tentu saja bisa dikombinasi. Misalnya orang mabuk di supermarket lalu menunjuk "tuh ada sinterklas terbang!" dan ketika orangnya menoleh ke arah yang ditunjuk, si pemabuk ambil botol kecap dan memukul kepala orang yang menoleh tersebut sehingga meninggal. Nah, itu sudah kombinasi pelanggaran 4 sila.
---> Sebagaimana yang qt semua tau bila berurusan dengan surat-menyurat, biar urusan lancar terkadang qt diminta memberikan uang pelicin, dalam hal ini qt memberikan suap. Berarti dalam kasus tersebut qt membuka jalan bagi orang untuk melangar sila? lalu qt jg termasuk pelanggar?Dalam urusan birokrasi ini, sebetulnya ada 2 kasus umum yang berbeda:
---> Bila ada benda yangdimasukkan ke dalam tubuh (bukan minuman keras), yang pada awalnya membantu qt menghilangkan sakit lalu untuk seterusnya qt pakai karena kebiasaan apakah bisa memperlemah kesadaran ?Maksud sila ke lima di sini bukan membahas masalah 'kecanduan' tapi memperlemah kesadaran. Jika kasusnya adalah sakit (beneran, bukan yang dibuat-buat), penggunaan zat apapun untuk kesembuhan tidak termasuk pelanggaran sila. Sila ini juga bukan masalah zat itu 'haram' atau apa, tetapi kalau kesadaran lemah, maka kita tidak bisa memusatkan pikiran, tidak bisa memahami dhamma, otomatis tidak tahu mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Dari pikiran kacau itu, maka tentu perbuatan tidak terjaga, bisa ke mana-mana akibatnya.
Kalau mempertahankan diri, itu adalah sesuatu yang kita sadari, jadi tetap ada niatnya. Tapi motivasi dari niat juga menentukan buah kamma itu sendiri. Dalam rumus sederhana: makin terpaksa kita melakukannya, makin kecil buah kammanya. Ini berlaku untuk semua kamma, baik & buruk. Jika kita berdana terpaksa, maka hasilnya sedikit. Jika kita membunuh karena terpaksa mempertahankan diri, maka akibatnya juga lebih ringan. :yes:
Tentu saja tidak melanggar sila jika bukan kita yang menyebabkan atau menganjurkan pembunuhan tersebut. ---> Statement ini aq masih mengganjal. Kadangkala aq berpikir seperti di atas, tapi kadang terbesit pikiran kalau aq bisa mencegah maka tidak terjadi pembunuhan dunk. Semacam rasa bersalah muncul, apakah anda punya pendapat mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam hal ini konteksnya bukan hanya pembunuhan, bisa jg aq melihat perbuatan asusila lainnya misalnya aq mengetahui perselingkuhan. Walau bukan aq yang melakukan tapi aq mengetahui hal tersebut, apakah aq harus diam saja?
Dalam urusan birokrasi ini, sebetulnya ada 2 kasus umum yang berbeda:
1. Urusan bisa dijalankan sesuai hukum, tapi karena kita mau yang gampang, maka menggunakan suap.
2. Instansi birokrasi yang tidak menjalankan fungsinya sesuai hukum kecuali kalau dibayar.
Dalam kasus (1), kita memang menganjurkan orang bermata-pencaharian salah, maka perbuatan kita tidak baik. Dalam kasus (2), itu sama saja seperti kita dirampok. Menurut saya, kita tidak bersalah dalam hal ini. :yes:
Maksud sila ke lima di sini bukan membahas masalah 'kecanduan' tapi memperlemah kesadaran. Jika kasusnya adalah sakit (beneran, bukan yang dibuat-buat), penggunaan zat apapun untuk kesembuhan tidak termasuk pelanggaran sila. Sila ini juga bukan masalah zat itu 'haram' atau apa, tetapi kalau kesadaran lemah, maka kita tidak bisa memusatkan pikiran, tidak bisa memahami dhamma, otomatis tidak tahu mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Dari pikiran kacau itu, maka tentu perbuatan tidak terjaga, bisa ke mana-mana akibatnya.
Untuk hal kecanduan, itu bahasan berbeda lagi, dan juga luas pembahasannya, tergantung kasus per kasus.
---> Aq kurang paham maksud sila ke5 ini :no:, bisa tolong di perjelas? Lalu luas dalam arti apa ya? Misalkan aq ada satu kasus : Bila seseorang yang kepalanya pusing atau mabuk darat biasanya menggunakan minyak angin untuk meredakan sakit, tapi lama kelamaan dia menggunakannya hampir dalam setiap moment. Kemanapaun dia pergi, benda itu harus ada dan tanpa sebab pun dia bisa memakainya. Menurut aq kategorinya sudah kecanduan, apakah ini bisa memperlemah kesadaran nya?
Terima kasih buat penjelasannya _/\_Sama2. _/\_
---> Statement ini aq masih mengganjal. Kadangkala aq berpikir seperti di atas, tapi kadang terbesit pikiran kalau aq bisa mencegah maka tidak terjadi pembunuhan dunk. Semacam rasa bersalah muncul, apakah anda punya pendapat mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam hal ini konteksnya bukan hanya pembunuhan, bisa jg aq melihat perbuatan asusila lainnya misalnya aq mengetahui perselingkuhan. Walau bukan aq yang melakukan tapi aq mengetahui hal tersebut, apakah aq harus diam saja?Dalam hal 'perasaan bersalah', perlu pandangan benar bahwa semua orang bertanggung-jawab pada perbuatannya sendiri-sendiri. Jika kita adalah seperti orang-tua, guru, pembimbing, atau bahkan teman yang baik, maka secara moral kita wajib mengingatkan orang lain tentang perbuatan baik dan buruk. Namun keputusan tetap ada pada masing-masing, kita tidak bisa memaksa orang lain mengikuti kehendak kita. Karena itu, tidak perlu merasa bersalah atau merasa gagal. Usahakan saja yang terbaik.
]---> Aq kurang paham maksud sila ke5 ini :no:, bisa tolong di perjelas? Lalu luas dalam arti apa ya? Misalkan aq ada satu kasus : Bila seseorang yang kepalanya pusing atau mabuk darat biasanya menggunakan minyak angin untuk meredakan sakit, tapi lama kelamaan dia menggunakannya hampir dalam setiap moment. Kemanapaun dia pergi, benda itu harus ada dan tanpa sebab pun dia bisa memakainya. Menurut aq kategorinya sudah kecanduan, apakah ini bisa memperlemah kesadaran nya?Ajaran Buddha adalah justru mengajarkan agar kita selalu waspada dan berperhatian penuh setiap saat. Konsumsi zat2 yang menghilangkan kesadaran itu akan mengganggu kewaspadaan kita, maka kita melatih diri menghindarinya.
Sama2. _/\_
Ajaran Buddha adalah justru mengajarkan agar kita selalu waspada dan berperhatian penuh setiap saat. Konsumsi zat2 yang menghilangkan kesadaran itu akan mengganggu kewaspadaan kita, maka kita melatih diri menghindarinya.
Untuk yang minyak angin, sepertinya tidak ada zat yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Juga setahu saya tidak ada zat addiktif dalam minyak angin yang menyebabkan tubuh 'menagih'. Paling-paling itu hanya sebatas kebiasaan dan 'kecanduan' secara psikologis saja, mungkin karena penggunaannya memberikan rasa yang enak. Ini tidak masalah, hanya saja ini juga berpotensi pada kemelekatan, dan semua kemelekatan tentu berpotensi pada penderitaan. (Contohnya kalau lagi di satu tempat, kehabisan minyak angin, maka bisa menderita karena hal itu.)
tq buat penjelasannya :)Ya, memang semua kesederhanaan ini sebetulnya kompleks. :) Maka memang sebaiknya jangan dibuat lebih rumit lagi.
Semakin aq pikir :-?, semua semakin kompleks ya :'(
Ada asaran untuk melatih diri menghindari kemelekatan? Padahal qt tidak mempunyai rencana untuk melekat, semua terjadi begitu aja seperti kebiasaan.
Sebagai contoh internet, jaman dulu qt tidak menggunakannya tidak apa2 tapi sekarang kalau tidak membuka internet berasa ada yang kurang, apakah ini termasuk bentuk kemelekatan jg?
Pindah topik dikit, pikiran sesuatu yang kompleks. Sulit untuk melatih pikiran itu, terkadang bisa terbesit planning untuk melakukan tindakan tidak benar, sudah ada niat lah tapi kemudian tidak jadi dilaksanakan, apakah itu termasuk kamma? Begitupula sebaliknya, bila qt tidak mempunyai kehendak hanya berupa refleks lalu melakukan tindakan tidak benar, apakah itu jg kamma? Adakah suatu perbuatan yang tidak berakibat kamma?Ketika muncul kehendak dalam pikiran, itu sudah penanaman kamma lewat pikiran. Kemudian kamma diperkuat lagi dengan ucapan dan perbuatan (jasmani). Jadi ketika kita ada niat, walaupun hanya terbesit saja, sebetulnya itu sudah kamma, tapi tentu saja jika tidak dipupuk terus, maka kamma itu lemah dan mungkin tidak cukup untuk menghasilkan akibat signifikan. Tapi kalau kita benar mau berlatih, jangan membenarkan pikiran demikian dengan berpikir, 'ah, cuma mikir iseng doang', karena hal-hal kecil kalau sering dikembangkan, lama-lama jadi besar juga.
Lalu manusia terlahir akibat kamma nya sendiri, dia tidak bisa memilih mau lahir di keluarga mana dalam bentuk rupa seperti apa.Kamma itu diwarisi dari kehidupan-kehidupan lampau, bukan hanya dimulai pada satu kelahiran terakhir. Itu sebabnya bahkan ada yang masih di janin namun mengalami abortus, ada yang meninggal saat dilahirkan, dan lain sebagainya. Buddhisme tidak menganut paham 'baru lahir = bersih seperti kertas kosong', namun semua makhluk mewarisi kamma lampaunya. Ketika janin/bayi meninggal, maka ia akan terlahir lagi di keadaan yang sesuai dengan kammanya yang matang pada saat tersebut.
Bagaimana dengan bayi yang dilahirkan tidak normal dan baru sebentar di dunia sudah meninggal, berarti dia blm membuat kamma apapun dunk. Lalu selanjutnya bagaimana? Kemudian kenapa orang tuanya bisa mendapatkan kamma seperti itu?
Bagaimana pula dengan orang yang memiliki kelainan seksual, sehingga dia berganti jenis kelamin, apakah ini termasuk tindakan asusila?Lalu akibatnya bagaimana?Konon memang kelainan seksual disebabkan oleh perilaku seksual yang salah. Kalau untuk 'menerawang' proses dari sebab ini memunculkan akibat itu, ini sama sekali bukan kapasitas seorang biasa. Hanya seorang Buddha yang punya pengetahuan tersebut. Hukum kamma diajarkan ke kita agar kita mengerti konsekwensi sebab-akibat dari satu perbuatan, sehingga apapun yang terjadi di saat ini, kita tidak mencari sosok 'kambing hitam', namun menerima bahwa itu adalah akibat dari masa lampau; dan di sisi lain kita juga tidak melakukan perbuatan buruk dan semangat melakukan kebaikan, sebab akibatnya pasti kembali ke diri kita sendiri.
Secara singkatnya bagaimana agar aq bisa lebih memahami proses kamma itu sendiri? Mengapa begini dan mengapa begitu :-?
Maaf banyak bertanya dan topiknya loncat2 ;DTidak masalah topiknya loncat2, tapi jangan anggap saya sebagai pembimbing, tapi sebagai teman yang berbagi saja. :)
mohon bimbingannya ^:)^ ^:)^ ^:)^
Teori kamma secara garis besar adalah semua hal yang kita lakukan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan tidak menyenangkan. Sebaliknya apa yang kita lakukan dengan tanpa keserakahan, tanpa kebencian, dan tanpa kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan yang menyenangkan. ----> selain dosa, lobha, moha bukannya masih ada irsia?
Tidak masalah topiknya loncat2, tapi jangan anggap saya sebagai pembimbing, tapi sebagai teman yang berbagi saja. :) ---> Karena saya bertanya anda menjawab, maka secara tidak langsung anda jadi sensei ;D or senpai aja kl gt
----> selain dosa, lobha, moha bukannya masih ada irsia?Irsiya atau iri-hati dan lain-lain itu 'turunan' dari ketidak-sukaan. Intinya 'tidak suka dengan kebahagiaan orang lain'. Lobha-Dosa-Moha ini jangan diartikan secara istilah umum, tapi dari yang kasar sampai yang halus. Bahkan 'kerinduan' kita pada makanan enak pun itu disebut lobha, bukan hanya serakah dalam artian umum.
---> Karena saya bertanya anda menjawab, maka secara tidak langsung anda jadi sensei ;D or senpai aja kl gt;D Ya, kalo 'senpai' masih bisa diterima mengingat saya yang duluan masuk DC (Dojo Campuran) ini, tapi bukan berarti apa yang saya katakan pasti lebih benar dari para junior. Kalau kurang 'klop' dengan pemikiran, jangan ragu-ragu untuk menyanggah atau bertanya lebih lanjut.
pada agama lain, menurut penceramah katanya PAHALA akan berkurang,Wah, Buddhist justru kenal pahala = phala/buah.
kalau orang yg melakukan hal baik (spt menyumbang), trus dia koar2 memberitahukan bahwa sumbangan tsb adalah dari dia.
Apakah dalam hal tsb, karma baik juga akan berkurang, kalau seseorang koar2 tentang perbuatan baiknya ? (contoh : setiap ketemu orang dia bilang... nahhh pintu utama wihara dia yg nyumbang)
Apakah dlm Buddhist juga mengenal kata PAHALA ?
Irsiya atau iri-hati dan lain-lain itu 'turunan' dari ketidak-sukaan. Intinya 'tidak suka dengan kebahagiaan orang lain'. Lobha-Dosa-Moha ini jangan diartikan secara istilah umum, tapi dari yang kasar sampai yang halus. Bahkan 'kerinduan' kita pada makanan enak pun itu disebut lobha, bukan hanya serakah dalam artian umum. Irsiya ato irsia? #cuma ingin tau singkatannya aja#
Pada hakikatnya, kita semua digerakkan oleh lobha, keinginan akan suatu perasaan menyenangkan; dosa, penghindaran suatu perasaan tidak menyenangkan, dan moha, ketidaktahuan akan kebenaran. Dari dorongan ini, muncullah berbagai macam pikiran 'turunan' seperti materialisme, nafsu birahi, iri hati, pandangan salah, dan lain-lain. ---> Kalau menginginkan "perasaan menyenangkan ato menghindari perasaan tidak menyeangkan" kayanya itu sudah sifat alami deh, tinggal bagaimana cara meredamnya aja. Sedangkan ketidaktahuan akan kebenaran (tuing3x...) yg ini kaga ngarti maksudnya :(. Apakah seseorang yang tidak mengetahui dhamma dikatakan moha? Apakah seseorang yang mengikuti "aliran sesat" juga moha? Padahal mereka kan mengganggap ajaran mereka pelajari itu benar.
;D Ya, kalo 'senpai' masih bisa diterima mengingat saya yang duluan masuk DC (Dojo Campuran) ini, tapi bukan berarti apa yang saya katakan pasti lebih benar dari para junior. Kalau kurang 'klop' dengan pemikiran, jangan ragu-ragu untuk menyanggah atau bertanya lebih lanjut. ---> woke senpai ;D, walo qt beda aliran jangan lupa share trik2 waza juga ya :P
Wah, Buddhist justru kenal pahala = phala/buah.
Tapi kalau dalam teori kamma, tidak seperti itu. Berdana, maka dana itu sendiri punya pahalanya. Memberitahukan orang lain perihal sumbangannya, juga ada pahalanya tersendiri, tergantung niatnya, tapi tidak berarti selalu mengurangi pahala dari perbuatan baik itu sendiri. Jika berkoar-koar hanya untuk menyombongkan diri, maka itu akan jadi kata yang sia-sia, hanya memperkuat ego saja, tapi sepertinya pahala dari berdananya itu sendiri tetap ada, tidak menjadi hilang karena kesombongannya.
Kesombongan di manapun juga adalah hal semu yang rapuh. Orang memiliki pencapaian (duniawi) tertentu yang terkondisi dan berubah. Ketika kondisi tersebut berubah, namun ia masih melekat pada 'keberhasilan' tersebut. Akhirnya seperti petinju tua renta dan bongkok, selalu berpikir dirinya sekuat waktu dia masih juara dunia.
Bagaimana orang mengatasi kesombongan tersebut adalah dengan menyadari keterkondisian duniawi. Punya harta, punya nama baik, banyak pengikut, atau bahkan mencapai jhana 8, semua itu terkondisi. Memahami ketidak-kekalan tersebut, maka dia tidak akan melekatinya. Dengan begitu kesombongan pun akan memudar dengan sendirinya.
Irsiya ato irsia? #cuma ingin tau singkatannya aja#Bukan singkatan sih. Saya juga salah, seharusnya istilahnya "Issā" dalam Pali atau "Irsya" dalam Sanskrit.
---> Kalau menginginkan "perasaan menyenangkan ato menghindari perasaan tidak menyeangkan" kayanya itu sudah sifat alami deh, tinggal bagaimana cara meredamnya aja. Sedangkan ketidaktahuan akan kebenaran (tuing3x...) yg ini kaga ngarti maksudnya :(. Apakah seseorang yang tidak mengetahui dhamma dikatakan moha? Apakah seseorang yang mengikuti "aliran sesat" juga moha? Padahal mereka kan mengganggap ajaran mereka pelajari itu benar.Memang sudah 'alami', dan hal itu yang menyebabkan penderitaan. Tidak perlu ditolak, tapi disadari dan dipahami.
---> woke senpai ;D, walo qt beda aliran jangan lupa share trik2 waza juga ya :PTenang saja, saya tidak akan pelit ilmu. ;D
Oh ya, untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah bisa aq buktikan dengan ehipassiko. Tapi ada sesuatu yang qt ga bisa buktikan, misalnya alam kehidupan laen, bagaimana qt bisa membuktikan kalo qt belom pernah kesana :-?Nah, ini adalah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam kalangan Buddhis. Ehipassiko sering diserukan di mana-mana seolah-olah SEMUA yang ada di Ajaran Buddha harus di-'ehipassiko'-kan. Sebetulnya tidak. Ehipassiko adalah merujuk pada Buddha-dhamma, yakni: 4 Kebenaran Mulia (dukkha, asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya). Buddha-dhamma ini yang bisa dibuktikan langsung, di sini dan sekarang. Tentang hal lain seperti kamma, alam lain, kekuatan bathin, dan lain sebagainya, itu TIDAK SELALU PERLU 'EHIPASSIKO'. Hal demikian adalah sebatas konsep yang membantu kita memahami 'gambaran' kehidupan ini saja misalnya mengapa manusia terlahir 'nasibnya' kok berbeda, maka dijelaskanlah konsep kamma. Tapi kamma itu tidak bisa dibuktikan secara pasti.
So bagaimana qt tau itu benar ato salah?
Sekian dan terima kasih
Padahal dalam kehidupan banyak tuh di temuin orang kaya gt, kalo mo berdana bahkan ada syaratnya dulu (ukir ato stempel nama pada benda yang di danakan bahkan ada yang minta diliput segala).Kadang satu perbuatan itu kita tidak bisa nilai dari perbuatannya sendiri, tapi juga dari niatnya. Ada kalanya si penyumbang memberitahukan kegiatan berdananya, bukan untuk pamer, tapi untuk memberi teladan bagi orang lain atau mengajak secara langsung orang lain berdana. Semua hal ini tidak sesederhana yang terlihat.
Berarti kalo qt mo berdana lebih baik menggunakan anonim aja? Jadi hanya "pencatat kamma" dan si pelaku aja yang tau...
hehehe... iya ;D. soalnya banyak juga para orang tua yang membangga-banggakan masa lalunya kepada anak-anaknya, tapi nyatanya sekarang mereka tidak bertindak seperti dulu lagi, akhirnya anak-anaknya merasa orang tuanya cuma omong besar aja ;D. dari situ rasa hormat ke orang tua semakin berkurang ;D. begitu juga anaknya si anak ini, karena tidak melihat ortunya tidak menghormati ortunya maka, mereka juga tidak menghormati ortunya :P.Kalau menurut saya sih memang tidak selalu kita bisa mempertahankan kejayaan masa lalu, namun itu tidak menjadikan alasan kita untuk selalu tidak percaya apa yang dikatakan. Misalnya seorang kakek, 50 tahun lalu adalah juara gulat nasional, bisa banting beruang madu. Sekarang sudah umur 70+, mana mungkin dia buktikan ketangguhannya? ;D
;D.
*sori om curhat ;D, soalnya tetangga sebelah sepertinya semakin hari semakin sering teriak-teriakan ngak jelas ajaGa apa, di sini juga bebas curhat. Yang tidak boleh hanya merusuh saja. ;D
Bukan singkatan sih. Saya juga salah, seharusnya istilahnya "Issā" dalam Pali atau "Irsya" dalam Sanskrit.
Memang sudah 'alami', dan hal itu yang menyebabkan penderitaan. Tidak perlu ditolak, tapi disadari dan dipahami.
Mengenai moha, contoh kasarnya yah memang seperti aliran sesat. Tidak mampu melihat kenyataan, dikuasai oleh ilusi dalam pikiran, maka melekat pada pandangan salah. Walaupun Buddhis, kalau tidak memahami dhamma, hanya percaya buta, juga akan terperosok dalam moha ini.
----> mengenai moha aq masih belom donk :-?, bisa dijabarkan dengan rinci agar tidak ada kesalahan persepsi dr aq. Seperti dosa awalnya aq pikir hanya kebencian ternyata arti luasnya menghindari kepesaan tidak menyenangkan. CMIIW
Nah, ini adalah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam kalangan Buddhis. Ehipassiko sering diserukan di mana-mana seolah-olah SEMUA yang ada di Ajaran Buddha harus di-'ehipassiko'-kan. Sebetulnya tidak. Ehipassiko adalah merujuk pada Buddha-dhamma, yakni: 4 Kebenaran Mulia (dukkha, asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya). Buddha-dhamma ini yang bisa dibuktikan langsung, di sini dan sekarang. Tentang hal lain seperti kamma, alam lain, kekuatan bathin, dan lain sebagainya, itu TIDAK SELALU PERLU 'EHIPASSIKO'. Hal demikian adalah sebatas konsep yang membantu kita memahami 'gambaran' kehidupan ini saja misalnya mengapa manusia terlahir 'nasibnya' kok berbeda, maka dijelaskanlah konsep kamma. Tapi kamma itu tidak bisa dibuktikan secara pasti. :-? :-? :-? Jadi intinya buddha dhamma itu 4kesunyataan mulia?, apakah jalan beruas delapan dan kamma juga termasuk?
Kadang satu perbuatan itu kita tidak bisa nilai dari perbuatannya sendiri, tapi juga dari niatnya. Ada kalanya si penyumbang memberitahukan kegiatan berdananya, bukan untuk pamer, tapi untuk memberi teladan bagi orang lain atau mengajak secara langsung orang lain berdana. Semua hal ini tidak sesederhana yang terlihat.
---> mengenai moha aq masih belom donk :-?, bisa dijabarkan dengan rinci agar tidak ada kesalahan persepsi dr aq. Seperti dosa awalnya aq pikir hanya kebencian ternyata arti luasnya menghindari kepesaan tidak menyenangkan. CMIIW
Jadi intinya buddha dhamma itu 4kesunyataan mulia?, apakah jalan beruas delapan dan kamma juga termasuk?
bicara tentang ehipasiko, saya jadi ingat, om kainyn, kan ada ya yang namanya anumana (melihat yang tidak terlihat dari yang terlihat)?Anumana maksudnya mengambil keputusan berdasarkan logika? Jika ya, memang demikian. Banyak hal adalah terkait, dan dengan melihat satu hal, kita bisa 'melihat' hal lainnya tanpa perlu benar-benar melihatnya. Contoh gampang kita luka di jempol kiri, lalu mengetahui rasa sakitnya. Tidak perlu mengalami luka di kelingking kanan untuk mengetahui bahwa luka di kelingking kanan juga sakit. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan tersebut adalah 'anumana'.
Everything should be made as simple as possible but not simplerTrue. The simplest non-over-simplified things are the best lessons to learn.
----> mengenai moha aq masih belom donk :-?, bisa dijabarkan dengan rinci agar tidak ada kesalahan persepsi dr aq. Seperti dosa awalnya aq pikir hanya kebencian ternyata arti luasnya menghindari kepesaan tidak menyenangkan. CMIIWSudah dijawab bro William Phang. Saya hanya singkat saja, fenomena dalam alam ini memiliki tiga corak: anicca, dukkha, anatta. Moha atau kebodohan bathin adalah penghalang kita memahami hal tersebut. Kebodohan bathin ini beda dengan kebodohan intelektual; ada orang yang pintar secara intelektual, namun bodoh secara bathin dalam artian dikuasai moha. Sama seperti lobha & Dosa, bentuk dan wujud moha berbeda pada setiap orang per kasus. Nanti mungkin kalau kebetulan di pembahasan lain ada terkait dengan moha, baru kita bahas. Tapi contoh yang paling umum adalah bagaimana orang tidak dapat menerima kondisi yang berubah sehingga terus menerus mencari sebuah keabadian.
:-? :-? :-? Jadi intinya buddha dhamma itu 4kesunyataan mulia?, apakah jalan beruas delapan dan kamma juga termasuk?Ya, yang disebut Buddha-dhamma adalah dukkha dan lenyapnya dukkha. Jalan Mulia Beruas Delapan adalah format latihan untuk mencapai akhir dari dukkha tersebut. Hukum kamma adalah memahami keberadaan konsekwensi dari suatu perbuatan. Secara pastinya, kamma tidak bisa dibuktikan oleh orang biasa. Itu adalah kapasitas seorang Buddha.
Mo nanya dong ;DMenurut saya, tergantung tujuan, hal apa, dan cara pembuktiannya itu sendiri. Jika tujuannya adalah untuk mengembangkan diri sendiri dan memberi contoh/teladan yang baik bagi orang lain, maka tentu itu adalah pembuktian yang baik secara tujuan. Jika tujuannya untuk kesombongan, merendahkan orang lain, emosi, dendam, dan hal-hal negatif lain, tentu jadi tidak bermanfaat. Namun terlepas dari tujuannya baik atau tidak, kalau kita terlalu melekat pada tujuan itu sendiri, nanti jadi obsesi, dan tentu itu adalah penderitaan yang dibuat-buat oleh diri sendiri. Cara pembuktiannya juga kalau harus merugikan diri sendiri atau makhluk lain, maka sepertinya tidak bermanfaat.
Sering sekali dalam hidup, kita ingin membuktikkan sesuatu baik kepada orangtua, saudara, teman, guru, dll. Apakah hal "membuktikkan sesuatu" itu adalah sesuatu yang bermanfaat ataukah sebaliknya ?
Apakah hal ini erat kaitannya dengan perbandingan ?
bro kain,Soal relik saya tidak tahu dan tidak pernah tertarik mempelajarinya. Kalau secara ilmiah, memang bisa saja bagian2 tubuh yang mengandung mineral tertentu, tidak habis terbakar. Bahkan dilaporkan hewan pun bisa saja meninggalkan relik ketika dikremasi.
mau tanya
kenapa bisa ada sisa kremasi berupa relik?
katanya hanya orang suci yang punya sisa kremasi berupa relik, benar gak sih?
tanya lagi.
kasus 1
A atas dendam kesumat, telah membunuh B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B mati dengan menggenaskan. (B meninggalkan 1 istri dan 3 anak)
kasus 2
A atas dendam kesumat, telah memukul B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B menjadi lumpuh dan cacat seumur hidup. (B punya 1 istri + 3 anak yang harus di nafkahi)
kalo menurut bro Kainyn kira2 pada kasus 1 dan 2, mana yang karmanya lebih berat.
tanya lagi.Mengenai hukum kamma, tetap saya tidak mampu menilai dan tidak mau spekulasi. Menurut saya, tidak bunuh ataupun bunuh, bisa saja sama 'beratnya', namun beda jenis dan buahnya saja. Kadang kita dibiaskan oleh akibat yang kelihatan misalnya kalau sampai cacat, maka istri selain punya tanggungan anak, ada tambahan merawat suami, jadi seolah-olah lebih menderita untuk si istri. Tapi tetap bagaimanapun juga, terlalu banyak faktor untuk diperhitungkan, jadi selain niatannya tidak bisa dinilai, juga akibatnya tidak bisa ditentukan yang mana lebih buruk.
kasus 1
A atas dendam kesumat, telah membunuh B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B mati dengan menggenaskan. (B meninggalkan 1 istri dan 3 anak)
kasus 2
A atas dendam kesumat, telah memukul B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B menjadi lumpuh dan cacat seumur hidup. (B punya 1 istri + 3 anak yang harus di nafkahi)
kalo menurut bro Kainyn kira2 pada kasus 1 dan 2, mana yang karmanya lebih berat.
Mengenai hukum kamma, tetap saya tidak mampu menilai dan tidak mau spekulasi. Menurut saya, tidak bunuh ataupun bunuh, bisa saja sama 'beratnya', namun beda jenis dan buahnya saja. Kadang kita dibiaskan oleh akibat yang kelihatan misalnya kalau sampai cacat, maka istri selain punya tanggungan anak, ada tambahan merawat suami, jadi seolah-olah lebih menderita untuk si istri. Tapi tetap bagaimanapun juga, terlalu banyak faktor untuk diperhitungkan, jadi selain niatannya tidak bisa dinilai, juga akibatnya tidak bisa ditentukan yang mana lebih buruk.
hmmm....Iya, tidak sesederhana itu, sebab apa yang kita nilai adalah sebatas dalam kehidupan yang kita lihat ini. Kita lihat secara langsung si B itu seumur hidup menderita, istrinya pun tambah beban, jadi penderitaan itu lebih nyata kita lihat. Padahal sebetulnya kita tidak tahu apa yang dialami si B jika dia mati dibunuh, apakah karena rasa takut dan menderita, ia terlahir di alam sengsara yang lebih menyedihkan. Menjadi cacat seumur hidup juga belum tentu berarti tidak berguna, mungkin saja ia masih bisa berkontribusi dalam cara berbeda. Juga masih bisa melakukan kamma baik lewat pikiran & ucapan.
jadinya memang ruwet ya klo begitu. karena betul juga, banyak bahkan terlalu banyak faktor lainnya yang akan mempengaruhi.
saya bertanya ini karena berkenaan dengan sila pembunuhan, dan setelah saya renungkan secara sederhana, saya malah sampai pada pengertian bahwa kasus 2 ternyata lebih parah akibatnya. dan saya malah sampai pada pengertian pada kasus diatas kammanya lebih berat di kasus 2
tapi sepertinya tidak sesederhana itu ya?
mau tanya om ;D.Kalau urusan keorganisasian, saya kurang tahu, bro bawel, karena memang tidak tertarik 'masuk' ke komunitasnya. Tapi menurut saya di sini pun sudah cukup aman, belum pernah denger bhikkhu di-g******g sih. Yang jadi masalah di sini justru biasa bukan tempat atau komunitasnya, tapi orangnya yang 'bandel2', sudah jadi bhikkhu tapi pikirannya macem2.
masih ada kah tempat atau sangha atau organisasi atau apalah yang aman sebagai wadah untuk menjalankan kehidupan suci di dunia ini? ;D
maksudnya kalo ada yang pengen jadi bhikku gitu, tanpa harus jadi korban kekerasan seksual atau tindakan kejahatan duniawi lainnya? ;D
secara baca-baca di internet atau di fb dc jadi ngeri sendiri ngebayanginnya, karena sepertinya banyak sekali bhikkhu-bhikkhu yang melakukan seperti itu :P.
kalo masih ada, dimana saja kah tempat-tempat itu? ;D (di indonesia maupun di luar negeri ;D)
*maksud saya agar tidak ada yang pengen jadi bhikkhu, eh tahu-tahu malamnya di-gangbang.. ups maksudnya "diplonco" aja sih =)).
mau tanya om ;D.bhikkhu dig******g??
masih ada kah tempat atau sangha atau organisasi atau apalah yang aman sebagai wadah untuk menjalankan kehidupan suci di dunia ini? ;D
maksudnya kalo ada yang pengen jadi bhikku gitu, tanpa harus jadi korban kekerasan seksual atau tindakan kejahatan duniawi lainnya? ;D
secara baca-baca di internet atau di fb dc jadi ngeri sendiri ngebayanginnya, karena sepertinya banyak sekali bhikkhu-bhikkhu yang melakukan seperti itu :P.
kalo masih ada, dimana saja kah tempat-tempat itu? ;D (di indonesia maupun di luar negeri ;D)
*maksud saya agar tidak ada yang pengen jadi bhikkhu, eh tahu-tahu malamnya di-gangbang.. ups maksudnya "diplonco" aja sih =)).
bhikkhu dig******g??
bukan bhikkhu(ni)?
kalo cari di google g******g artinya kayak melakukan pelecehan dengan cara 'keroyokan' gitu..
nah, bhikkhunya ini di g******g sama siapa dong??
atau pengertian g******g disini berbeda??
beneran kaga mudeng deh ane..
Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah . . . . . . .
Menurut bro Kainyn, tahap apakah yang dicapai seseorang jika sampai pada keadaan seperti ini?Menurut saya, pada tahap itu, orang tersebut telah memiliki kemahiran dalam jhana yang bisa 'masuk' dan 'keluar' jhana sesuai kehendaknya.QuoteDan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah . . . . . . .
ke arah yang diinginkan juga bisa kan?? ;D
Menurut saya, pada tahap itu, orang tersebut telah memiliki kemahiran dalam jhana yang bisa 'masuk' dan 'keluar' jhana sesuai kehendaknya.
ke arah yang diinginkan juga bisa kan?? ;D:) Iya, setahu saya begitu. Dasarnya adalah Jhana IV, namun tidak 'otomatis' praktisi yang mencapai Jhana IV bisa mencapai keadaan tersebut.
ada yang ngarahin ke rupa jhana, arupa jhana, pubbenivasanussati, dibbacakkhu, ada juga yang ke asavakhaya nana...
betul gak ya?
Menurut saya, pada tahap itu, orang tersebut telah memiliki kemahiran dalam jhana yang bisa 'masuk' dan 'keluar' jhana sesuai kehendaknya.
Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah pengetahuan kehidupan lampau: satu kelahiran, dua, tiga, empat, lima kelahiran, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh kelahiran, seratus, seribu, seratus ribu kelahiran, beberapa periode penyusutan, pengembangan, penyusutan dan pengembangan. “Di sana namaku adalah ini dan itu, sukuku adalah ini dan itu, kastaku adalah ini dan itu, makananku adalah ini dan itu, aku mengalami kondisi menyenangkan dan menyakitkan ini dan itu, aku hidup selama itu. Setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di tempat lain. Di sana namaku adalah ini dan itu … dan setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di sini.” Demikianlah ia mengingat berbagai kehidupan, kondisi dan kejadian-kejadian masa lampau.
Biar saya kutipkan lebih jelasIa tidak sedang 'berdiam' dalam Jhana (IV), namun menggunakan Jhana (IV) sebagai landasannya. Ia dengan kemahirannya, masuk dan keluar dari Jhana, dan mengarahkan pikirannya kepada pengetahuan kehidupan lampau (salah satunya).
Dalam kondisi jhana keberapakah orang tersebut berada?
kayak ujian kenaikan kelas aja.. :|
Maaf, bukannya ngetes soal ujian.Bro DH, definisi dan penggunaan istilah di sutta tidak selalu harus sama dengan yang digunakan kita/bhante. Hal yang saya tanyakan hanyalah sekadar konfirmasi apakah benar bhante DSB memaksudkan itu Jhana IV. Dan jikapun benar demikian, tidak masalah.
Dulu saya ingat pernah di tanya bro kainyn dalam topik meditasi mantra yang pernah saya tulis.
Waktu itu ditanyakan bro kainyn bagaimana saya bisa berkesimpulan tentang pertanyaan bhante Surya Bhumi kepada muridnya mengenai "bisakah kalian membuat batin kalian menjadi tenang, bersih, terang, jernih, damai, sejuk, lentur dan mudah diarahkan kemana-mana?"
Bahwa hal ini sama dengan telah mencapai jhana IV?
Pada waktu itu karena saya kekurangan referensi maka tidak bisa memberikan sumber suttanya sampai tadi siang, berkat rahmat tuhan medho yang maha kuasa saya membaca link mengenai Samannaphala Sutta (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_2:_S%C4%81ma%C3%B1%C3%B1aphala_Sutta) baru saya tahu bahwa inilah sumber sutta buat penjelasan saya yang kurang saat itu.
Jadi mau konfirmasi dulu ceritanya.
Bro DH, definisi dan penggunaan istilah di sutta tidak selalu harus sama dengan yang digunakan kita/bhante. Hal yang saya tanyakan hanyalah sekadar konfirmasi apakah benar bhante DSB memaksudkan itu Jhana IV. Dan jikapun benar demikian, tidak masalah.
Yang saya pertanyakan waktu itu adalah ketika ia mengingat kehidupan lampau, lalu dia dicekam oleh ketakutan sampai menangis, itu jelas bukan kondisi yang dimaksud di sutta. Seperti saya katakan, 'dengan Jhana IV sebagai landasan', maka dalam pengarahan pikiran itu hanya pikiran yang 'murni', tidak ada gangguan noda bathin seperti ketakutan, kekhawatiran, atau keraguan di sana. Oleh sebab itu, saya mempertanyakannya.
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, tahapan untuk belajar 'kemampuan untuk mengingat masa lalu' seperti yg diajarkan bhante adalah :Saya punya pertanyaan menarik untuk Bro DH. Kalau memang kehidupan lampau itu dilihat di Jhana I, mengapa harus jauh-jauh ke Jhana IV dulu untuk turun lagi?
- Adithana waktu kelahiran lampau yang ingin diingat
- Masuk jhana I, lanjut ke jhana II, lanjut ke jhana III, lanjut ke jhana IV
- Kemudian turun dari jhana IV, kemudian jhana III, kemudian jhana II, kemudian jhana I.
- Dengan catatan selama proses naik dan turun jhana ini tidak boleh ada noda setitik pun. Kalau ada, maka gagal dan harus diulang.
- Pada jhana I ini disinilah baru kita bisa melihat atau mengingat kejadian pada kehidupan yang lampau itu.
Jadi tidak aneh bila pada jhana I, kejadian yang diingatnya pada kehidupan lampau jika terlalu mencekam menyebabkan orang itu bisa terguncang dan jatuh dari jhana I, sehingga timbul kejadian menangis.
Saya punya pertanyaan menarik untuk Bro DH. Kalau memang kehidupan lampau itu dilihat di Jhana I, mengapa harus jauh-jauh ke Jhana IV dulu untuk turun lagi?
tentu saja akan lebih keren kalo ke jhana 4 duluKalau untuk keren saja, mengapa ga sekalian sampai Arupa Jhana IV? ;D
tentu saja akan lebih keren kalo ke jhana 4 duluke arupa jhana 4 lebih keren lagi dong kalo gitu.. ^-^
Saya punya pertanyaan menarik untuk Bro DH. Kalau memang kehidupan lampau itu dilihat di Jhana I, mengapa harus jauh-jauh ke Jhana IV dulu untuk turun lagi?
Demikianlah ajaran yang saya terima dari bhante. Kalau menurut pendapat saya sih kalau cuman mengandalkan jhana I, batin masih gampang terdistorsi oleh hal lain sebelum sempat mengingat kejadian masa lalu.OK, sekarang saya tanya pendapat bro DH saja (ga apa kalau tidak sesuai sutta/referensi manapun), apakah keadaan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana I, sama dengan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana IV?
Mengenai urutannya kenapa begitu saya juga tidak tahu, dan sudah saya perhatikan lama, sangat sulit sekali menemukan literatur tulisan yang mengajarkan secara terperinci tahap demi tahap dalam melatih kemampuan ini. Makanya kalau ada teman2 yang nemu tulisan yang membahas secara rinci, saya sangat berterima kasih bila di share, biar bisa untuk referensi.
Biasanya hanya dituliskan mencapai jhana kemudian diarahkan pada ingatan masa lampau, tetapi cara melatihnya secara tahap demi tahap sulit saya jumpai.
Kalau untuk keren saja, mengapa ga sekalian sampai Arupa Jhana IV? ;D
OK, sekarang saya tanya pendapat bro DH saja (ga apa kalau tidak sesuai sutta/referensi manapun), apakah keadaan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana I, sama dengan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana IV?
Gawat kalau gitu, kalau boleh tahu yang paling parah dibantah bhante masalah apakah?
Kalau dugaan saya sih tidak perlu sampai arupa karena kekuatan dari jhana IV saja sudah cukup.Dari Jhana IV ke Arupa sudah tidak berganti objek, hanya persepsi kasarnya melenyap. Dan perihal untuk 'keren' tentu saja hanya guyon, jangan ditanggapi seriuslah. ;D
Lagipula dari jhana IV ke arupa harus berganti2 objek lagi.
Kalau dugaan saya beda kualitasnya, sama halnya dengan kualitas jhana seorang umat awam dengan jhana seorang anagami, sehingga memiliki alam yg berbeda nantinya.Nah, demikianlah Jhana I dari orang yang mencapai Jhana IV dan turun dengan sengaja ke Jhana I, tidak sama dengan kualitas Jhana I dari orang yang memang baru mencapai Jhana I. Itulah sebabnya saya tidak cocok dengan pendapat anda bahwa dia bisa menangis karena waktu itu ia berdiam 'hanya' di Jhana I, bukan Jhana IV. Pikiran apapun dengan Jhana IV sebagai landasannya, tidak akan dikuasai oleh rintangan bathin.
saya sudah menghapus postingan saya, tapi anda malah di-quote pulak. waktu itu thread yg saya tunjukkan adalah soal mudra
Nah, demikianlah Jhana I dari orang yang mencapai Jhana IV dan turun dengan sengaja ke Jhana I, tidak sama dengan kualitas Jhana I dari orang yang memang baru mencapai Jhana I. Itulah sebabnya saya tidak cocok dengan pendapat anda bahwa dia bisa menangis karena waktu itu ia berdiam 'hanya' di Jhana I, bukan Jhana IV. Pikiran apapun dengan Jhana IV sebagai landasannya, tidak akan dikuasai oleh rintangan bathin.
Betul adalah mungkin setelah keluar dari kondisi tersebut, kemudian ada kondisi bagi rintangan bathin untuk timbul kembali dan menguasainya sehingga kemampuannya memasuki jhana hilang. Ini yang sering saya sebut 'jhananya luntur' dengan istilah saya sendiri. Jika memang demikian, yah tidak masalah. Namun dari cerita tersebut mengesankan bahwa Jhana IV itu tidak hilang, namun memang tidak mampu menahankan ketakutan dari gambaran kehidupan lampau, dan ketakutan itu hanya bisa dihilangkan dengan meditasi lanjutannya, yaitu meditasi mantra. Di situlah saya mempertanyakannya.
Sebetulnya untuk ke arah mantra-nya sendiri saya cenderung 'no comment' dan hanya menanyakan manfaat dari 'melungker-lungker' itu saja.
Jadi yang dibantah apakah saya salah dalam memahami mudra yg diajarkan bhante atau bagian mana yang salah?
Mohon tolong ko indra jelasin bagian yang salah biar nanti bisa saya tanya ke bhante.
Yang saya ingin tahu, waktu itu apakah bhante mengiyakan atau membantah bahwa memang ada kejadian beliau mengajar muridnya kemampuan mengingat masa lalu, kemudian terbentur masalah 'bayang2 kematian' dan kemudian beliau mengajarkan meditasi mantra untuk mengatasinya?
saya sudah katakan bahwa yg saya tunjukkan adalah thread mudra, detailnya anda bisa lihat sendiri di thread itu, bagaimana persisnya bantahan bhante itu tidak saya catat, karena saya hanya ingin mengoknfirmasi bukan untuk menjelaskan. silakan anda menghubungi bhante, karena saya tidak diberi wewenang untuk mewakili beliau.
Tapi intinya bahwa kejadian itu pernah terjadi dan tidak di bantah bhante kan? Hanya kesalahan saya dalam memahami mudra.
Yang saya ingin tahu, waktu itu apakah bhante mengiyakan atau membantah bahwa memang ada kejadian beliau mengajar muridnya kemampuan mengingat masa lalu, kemudian terbentur masalah 'bayang2 kematian' dan kemudian beliau mengajarkan meditasi mantra untuk mengatasinya?Mungkin perlu diingat bahwa apa yang saya katakan di sini tidak ada hubungannya dengan Bhante DSB, juga bukan berarti selaras dengan omongan Bhante DSB. Di sini hanya opini pribadi saya saja.
barusan habis telepon bhante . . . . . .Jangan patah semangat yah, bro DH. Dijadikan pengalaman saja, saya tetap dukung.
Hasil akhirnya kena MARAH !!! :'( :'( :'( :'( :'( :'(
diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi. Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.
Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
barusan habis telepon bhante . . . . . .wew dimarahin?
Hasil akhirnya kena MARAH !!! :'( :'( :'( :'( :'( :'(
diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi. Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.
Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
wew dimarahin?
gimana kabar si NPNG? dia salah jalan tuh?
wew dimarahin?
gimana kabar si NPNG? dia salah jalan tuh?
barusan habis telepon bhante . . . . . .bhante bisa marah ya?
Hasil akhirnya kena MARAH !!! :'( :'( :'( :'( :'( :'(
diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi. Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.
Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
dia di benua berkangguru... yg ada BULE nya...
gurunya koq bisa marah ?... rahasia kebaikan tidak boleh disimpan ... itu egois..banget
bhante bisa marah ya?nah loh, ada asumsi baru nih, bante bisa marah ;D
nah loh, ada asumsi baru nih, bante bisa marah ;Diya om soalnya diatas kata telpon bhante terus kena marah, artinya bhante marah dong sama om dragonhung ;D
iya om soalnya diatas kata telpon bhante terus kena marah, artinya bhante marah dong sama om dragonhung ;D
iya om soalnya diatas kata telpon bhante terus kena marah, artinya bhante marah dong sama om dragonhung ;DMungkin bukan 'marah' seperti boss ngamuk muka memerah gebrak meja dan ngomong bentak-bentak, tapi menegur dengan keras saja.
Sang Buddha juga marah kok. tuh RAPB di baca, bukan barang pajangan.Boleh sih jadi pajangan, setelah dibaca dan diingat intisarinya.
Sang Buddha juga marah kok. tuh RAPB di baca, bukan barang pajangan.;D dijadikan bantal.
[at] Bawel, kenapa gak tunggu tanggal 31 aja tanyanya?
[at] Bawel, kenapa gak tunggu tanggal 31 aja tanyanya?kenapa mesti nunggu sampe tgl 31?
kenapa mesti nunggu sampe tgl 31?
biar 31 pertanyaaneh iya...
sepertinya forumnya lagi sepi ;D. introgasi om kutho dulu ah :)).Hidup tidak ada arti khusus, hanya konsekwensi dari sebuah kelahiran saja. Bagaimana mau mengartikan dan menjalani hidup, semua tergantung kita sendiri. Untuk saya, arti hidup yang paling utama adalah belajar, apakah dari teori, pengalaman sendiri, juga pengajaran orang lain.
1. apakah arti hidup itu menurut om kutho? ;D
2. apakah tujuan hidup om kutho? ;DMemahami hidup itu sendiri secara keseluruhan.
3. apakah waktu kecil om kutho sudah mengetahui tujuan hidupnya? ;DTidak, karena dulu saya punya banyak sekali pertanyaan tentang hidup yang tak terjawab.
4. apakah tujuan hidup om kutho waktu kecil, abg, dewasa dan pas tua berubah-ubah? ;DSenantiasa berubah karena menjalani hidup apa adanya saja.
5. apakah om kutho pernah marah besar? ;DDefinisi 'marah besar' itu bagaimana? Sampai bentak2 atau pukul orang? Tidak pernah.
6. apakah saat marah itu om kutho menyadari atau tidak? ;DBiasanya menyadari tapi agak telat, keburu muncul niat meremukkan 1-2 bilah tulang dulu baru sadar. ;D
7. bagaimana om kutho cara melewati saat-saat marah itu? ;DBiasanya saya mencoba mengingat betapa tidak bergunanya marah itu.
8. bagaimana caranya om kutho bisa mengingat berbagai hal yang sudah dipelajari om kutho selama ini? ;D"Повторе́нье - мать уче́нья"
9. bagaimana caranya om kutho mengaplikasikan pengetahuan om kutho dikehidupan nyata? ;DDisesuaikan dengan kondisi saja, kadang tentunya tidak semua pengetahuan bisa/perlu kita aplikasikan.
10. bagaimana kalo pengetahuan itu tidak bisa diaplikasikan dikehidupan sehari-hari? ;D apakah om kutho tetap mencoba atau menyerah? ;D atau mungkin merevisi lagi? ;DTentu saja belajar dari pengalaman itu, lalu update kembali pengetahuannya. Biasa memang teori tidak sesuai dengan praktek, bukan karena teorinya salah, namun karena ada faktor-faktor lain dalam praktek yang harus kita ketahui.
11. apakah om kutho masih memiliki keraguan pada ajaran buddha? ;D boleh sebutkan apa saja keraguan om kutho itu? ;DKecuali Buddha-dhamma (dukkha dan lenyapnya dukkha), semua yang lainnya yang belum saya buktikan juga saya ragukan. Bukan saya anggap salah, tapi tidak saya yakini sebagai pasti benar.
12. apakah om kutho pernah difoto? :P bolehkah saya minta penampakannya? :))Pernah kok, bahkan di forum ini pun ada, tapi saya lupa di thread mana. Nanti saya carikan dulu.
13. ketika sedang gundah gulana, apakah om kutho lebih suka bermain gitar atau merenungkan dhamma? ;DSekarang ini, saya lebih pilih meditasi jalan.
14. apakah om kutho pernah ikut pabbaja? ;D boleh ceritakan pengalamannya? ;D suka dukanya? ;DTidak pernah. Saya kenal komunitas Buddhis saja baru sekitar 5 tahun dan tidak aktif di dalamnya, hanya lewat DC ini saja.
15. apakah om kutho pernah jatuh cinta? ;D bagaimana cara om kutho memilih pasangan yang tepat? ;DPernah. Sebetulnya tidak ada 'pasangan tepat' seperti dua sejoli yang sudah ditakdirkan bersama, namun semua adalah usaha kedua pihak untuk menjalani kehidupan bersama, menjaga hubungan baik, saling mendukung dengan kelebihan masing-masing, sekaligus saling toleransi kekurangan pihak lain.
16. apakah om kutho suka memakai pernak-pernik keagamaan? ;D seperti rantai, cincin, gelang dll. ;D.Tidak suka, baik 'keagamaan' ataupun bukan.
17. ketika membaca sutta, apakah om kutho mesti baca berkali-kali atau cukup sekali untuk bisa mengingat dan memahami? ;DTergantung sutta dan kecocokan, kadang ada yang langsung nempel, kadang ada yang mesti diulang berkali-kali, bahkan ada yang tidak bisa dipahami juga.
18. pernahkan om kutho merasakan kelaparan yang sesungguhnya tapi tidak punya makanan atau uang untuk membeli makanan? ;DPernah. Untungnya kelaparan itu tidak jangka panjang seperti 3 hari berturut-turut makan angin. Minimal ada sedikit untuk dimakan.
19. ketika sedang kelaparan itu apakah pernah terlintas untuk berbuat yang tidak baik untuk mendapatkan makanan? ;DTidak. Ada suatu ketika, waktu saya lapar, bahkan saya tidak mengambil makanan yang sebetulnya disiapkan untuk saya karena saya belum memastikannya. (Orang yang menyiapkan lagi tidur.)
20. bagaimana caranya om kutho menghapus kesedihan? ;DDengan menerimanya sesadar mungkin bahwa itulah kenyataan dan telah terjadi.
21. apakah om kutho pernah fang shen? ;DSecara ritual tidak pernah, tapi secara makna, sepertinya pernah.
22. bagaimana caranya om kutho melakukan fang shen? ;D apakah melakukan ritual-ritual tertentu? ;DKalau mau membebaskan/membantu makhluk, langsung lakukan saja dengan niat baik. Saya coba berempati terhadap hewan itu dan berpikir, "kalau saya dikurung, ingin selekasnya dilepas, tidak usah tunggu oceh2 ritual yang saya juga tidak mengerti."
23. om kutho lebih suka tinggal dirumah yang besar tapi halamannya kecil atau rumah mungil tapi halamannya luas sekali? ;DSaya cukup puas dengan rumah kecil dan halaman kecil, yang penting bersih, nyaman, tidak banyak gangguan.
24. apakah om kutho ingin membina sebuah atau beberapa buah rumah tangga :P atau cukup nyaman hidup menjomblo? ;D"Beberapa rumah tangga?" Maksudnya memiliki 500 istri gitu? ;D Menjomblo ataupun menikah juga bisa bahagia, tergantung kita dan pasangannya. Kalau dengan pasangan yang senantiasa bikin naik darah, tentu jauh lebih nyaman hidup menjomblo.
25. bagaimana pendapat om kutho mengenai 'kumpul kebo'? :PSaya pribadi katakan, sah-sah saja. Pasangan itu bukan dipersatukan pihak lain (seperti agama atau negara), tapi lewat komitmen kedua-belah pihak. Namun karena 'kumpul kebo' tidak ada ikatan secara agama/hukum, ini rentan disalah-gunakan oleh orang yang menghindari tanggung-jawab.
26. apakah saya cukup bawel? :))Cukup. :)
nah sesuai tanggal hari ini yaitu 26, maka pertanyaan saya cukup sekian ;D.Untung sebulan maksimal hanya 31 hari... ;D
iseng nanya juga neh om... ;D
nah,apa makna cinta(antara lawan jenis) buat om kianyt?
[sedikit personal] apa om kainyt akan selalu "men-jombl*" atau ... ?? <= mewakili para fans om kainyt :)) ^-^
bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"
[at] pak Indra
Keknya u ngundang badai matahari neh..
*kaburrrr...*
bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"sekalian sample nya dong...
iseng nanya juga neh om... ;DYang namanya cinta (piya) itu semua punya inti yang sama: kemelekatan. Tapi beda objek, maka beda bentuk kemelekatan dan wujudnya. Faktor yang dominan membedakan cinta kepada pasangan karena terhadap pasangan, ada faktor kecenderungan seksual kita yang berperan. Lainnya hanya bentuk hubungan yang sifatnya relatif seperti tanggung-jawab, komitmen, yang berbeda bagi tiap orang. Ada yang berkeluarga tapi tidak tanggung jawab sama anak, ada yang komitmennya memang poligami, semua tergantung pihak2 yang menjalani saja.
nah,apa makna cinta(antara lawan jenis) buat om kianyt?
[sedikit personal] apa om kainyt akan selalu "men-jombl*" atau ... ?? <= mewakili para fans om kainyt :)) ^-^"Akan selalu menjombl*"? Apakah saya duda dengan 7 anak 18 cucu atau saya sudah dinikahkan dengan Yakshini yang tak terlihat (seperti isu hangat akhir tahun kemarin), toh tidak ada yang tahu 'kan? Kok yakin saya sedang 'menjombl*'?
bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"Saya suka yang ganas bagai kelinci ngantuk, namun jinak bagai macan kelaparan.
wow.. di tunggu jwban nya~ (TS )Pria yang main di forum "ginian" ada banyak jenisnya, bahkan mungkin hampir semua jenis juga ada, jadi selera pria umum dan pria 'yang main di forum "ginian"' sebetulnya sama aja.
jadi pengen tau nih~ pria2 yg main di forum "ginian" seleranya gimana? ^-^
sekalian sample nya dong...Bisa "Ad Hominem" donk?!
Saya suka yang ganas bagai kelinci ngantuk, namun jinak bagai macan kelaparan.
Konfirmasi: Tidak ada kesalahan ketik pada kalimat di atas.
Wah...
Hidup tidak ada arti khusus, hanya konsekwensi dari sebuah kelahiran saja. Bagaimana mau mengartikan dan menjalani hidup, semua tergantung kita sendiri. Untuk saya, arti hidup yang paling utama adalah belajar, apakah dari teori, pengalaman sendiri, juga pengajaran orang lain.
Memahami hidup itu sendiri secara keseluruhan.
Tidak, karena dulu saya punya banyak sekali pertanyaan tentang hidup yang tak terjawab.
Senantiasa berubah karena menjalani hidup apa adanya saja.
Definisi 'marah besar' itu bagaimana? Sampai bentak2 atau pukul orang? Tidak pernah.
Biasanya menyadari tapi agak telat, keburu muncul niat meremukkan 1-2 bilah tulang dulu baru sadar. ;D
Biasanya saya mencoba mengingat betapa tidak bergunanya marah itu.
"Повторе́нье - мать уче́нья"
"Pengulangan - ibu dari pembelajaran"
Disesuaikan dengan kondisi saja, kadang tentunya tidak semua pengetahuan bisa/perlu kita aplikasikan.
Tentu saja belajar dari pengalaman itu, lalu update kembali pengetahuannya. Biasa memang teori tidak sesuai dengan praktek, bukan karena teorinya salah, namun karena ada faktor-faktor lain dalam praktek yang harus kita ketahui.
Kecuali Buddha-dhamma (dukkha dan lenyapnya dukkha), semua yang lainnya yang belum saya buktikan juga saya ragukan. Bukan saya anggap salah, tapi tidak saya yakini sebagai pasti benar.
Pernah kok, bahkan di forum ini pun ada, tapi saya lupa di thread mana. Nanti saya carikan dulu.
Sekarang ini, saya lebih pilih meditasi jalan.
Tidak pernah. Saya kenal komunitas Buddhis saja baru sekitar 5 tahun dan tidak aktif di dalamnya, hanya lewat DC ini saja.
Pernah. Sebetulnya tidak ada 'pasangan tepat' seperti dua sejoli yang sudah ditakdirkan bersama, namun semua adalah usaha kedua pihak untuk menjalani kehidupan bersama, menjaga hubungan baik, saling mendukung dengan kelebihan masing-masing, sekaligus saling toleransi kekurangan pihak lain.
Tidak suka, baik 'keagamaan' ataupun bukan.
Tergantung sutta dan kecocokan, kadang ada yang langsung nempel, kadang ada yang mesti diulang berkali-kali, bahkan ada yang tidak bisa dipahami juga.
Pernah. Untungnya kelaparan itu tidak jangka panjang seperti 3 hari berturut-turut makan angin. Minimal ada sedikit untuk dimakan.
Tidak. Ada suatu ketika, waktu saya lapar, bahkan saya tidak mengambil makanan yang sebetulnya disiapkan untuk saya karena saya belum memastikannya. (Orang yang menyiapkan lagi tidur.)
Dengan menerimanya sesadar mungkin bahwa itulah kenyataan dan telah terjadi.
Secara ritual tidak pernah, tapi secara makna, sepertinya pernah.
Kalau mau membebaskan/membantu makhluk, langsung lakukan saja dengan niat baik. Saya coba berempati terhadap hewan itu dan berpikir, "kalau saya dikurung, ingin selekasnya dilepas, tidak usah tunggu oceh2 ritual yang saya juga tidak mengerti."
Saya cukup puas dengan rumah kecil dan halaman kecil, yang penting bersih, nyaman, tidak banyak gangguan.
"Beberapa rumah tangga?" Maksudnya memiliki 500 istri gitu? ;D Menjomblo ataupun menikah juga bisa bahagia, tergantung kita dan pasangannya. Kalau dengan pasangan yang senantiasa bikin naik darah, tentu jauh lebih nyaman hidup menjomblo.
Saya pribadi katakan, sah-sah saja. Pasangan itu bukan dipersatukan pihak lain (seperti agama atau negara), tapi lewat komitmen kedua-belah pihak. Namun karena 'kumpul kebo' tidak ada ikatan secara agama/hukum, ini rentan disalah-gunakan oleh orang yang menghindari tanggung-jawab.
Cukup. :)kalo tampan, apakah saya tampan? :P
Untung sebulan maksimal hanya 31 hari... ;D
heh! ternyata M14KA terlibat di siniItu terwelu. Kelinci sama ordo, tapi lain genus. ;D (berkelit.com)
Bisa "Ad Hominem" donk?!ga apa2, yang penting anda tidak di bully khan ;D
"Повторе́нье - мать уче́нья"
"Pengulangan - ibu dari pembelajaran"
apakah om kutho adalah orang rusia? :Pitu bukannya bahasa yunani??
itu bukannya bahasa yunani??
CMIIW
bagaimana caranya mempelajari hidup? ;D karena terkadang hidup itu sulit untuk dipelajari ;D.Dengan tidak masa-bodoh dan mengembangkan sifat mau belajar. Adalah wajar orang merokok kalau tidak tahu apa kerugian dari merokok. Sebaliknya kalau orang tersebut tahu tentang rokok dan pengaruhnya, mungkin dia akan pikir lebih jauh sebelum memutuskan merokok. Masalahnya kebanyakan orang di sini tidak peduli dengan belajar dan pendidikan.
contohnya ada anak kecil yang merokok dan untungnya terungkap oleh media hingga mendapat perhatian luas, tapi bila tidakkan, anak itu sampai besarnya akan terus berada dalam kondisi itu dan berkemungkinan besar menurunkan hal tersebut ke junior-juniornya ;D. jadi bagaimana caranya membedakan mana hal-hal yang bermanfaat dan mana hal-hal yang tidak bermanfaat kalo segala kondisi tidak ada yang mendukung? ;D
secara keseluruhannya itu bagian demi bagian atau secara menyeluruh? ;DTentu bagian demi bagian donk, ada prosesnya, bukan instant seperti dapat wahyu langsung mengerti seluruhnya. ;D
seberapa banyak? ;D apakah boleh diungkapkan disini apa saja kah itu? ;D dan apakah sudah terjawab sekarang? ;DLumayan, misalnya karena dari dulu saya tahunya Agama Monotheisme, jadi saya banyak pertanyakan tentang tujuan Tuhan menciptakan. Lalu saya juga pertanyakan tentang jiwa, dan bertanya (juga mendebat) tentang definisinya karena saya mencari tapi tidak menemukan jiwa yang kekal tersebut. Tentu saja otomatis terjawab dengan ajaran "Anatta".
pengertian 'hidup apa adanya' menurut om kutho itu apa? ;D"Apa adanya" maksudnya sedemikian adanya saja, tidak perlu ditambah2 konsep-konsep tidak jelas. Misalnya kalau kita ada masalah, ya sudah kenali sebagai masalah, tidak perlu tambah2 konsep 'dicobai Tuhan' atau spekulasi 'kamma buruk berbuah'.
termasuk menahan kemarahan yang amat sangat hingga tubuh menjadi sakit ;D.Tidak ingat sih, sepertinya tidak sampai begitu.
hahaha.. tulang apa nih? :P kan katanya tidak pernah pukul orang pas marah ;D.Memukul itu istilahnya 'atemi', kalau mematahkan tulang biasa dari jurus persendian 'kansetsu'. Itu 2 hal berbeda. ;D Tapi perhatikan baik-baik, saya hanya bilang 'niat itu keburu timbul', tapi tidak bilang 'niat itu sudah diwujudkan'.
kenapa kemarahan itu tidak berguna? ;D bagaimana dengan intimidasi atau mengancam (itu termasuk kemarahan ngak yah? :P) ;D, misalnya polisi, jaksa dan hakim yang mengintimidasi tersangka? ;D atau orang tua atau tuhan yang mengancam anak-anaknya? :))Kemarahan tidak berguna karena kenyataan tidak bisa diubah dengan kemarahan. Kalau kenyataan tersebut sebetulnya bisa diubah, ubahlah sebelum kemarahan itu timbul. Cara begitu lebih bermanfaat.
apakah om kutho adalah orang rusia? :PBukan, saya orang Indonesia. Kalau keturunan apa saja, entahlah...
berarti pengetahuan itu pada dasarnya memang untuk kita sendiri yah? ;DTidak juga, bisa juga untuk membantu orang lain dalam situasi yang sesuai.
bagaimana kalo kita mengupdate hal tidak bermanfaat sebagai yang bermanfaat? ;D apa yang sekarang menjadi acuan om kutho agar berada dalam jalur yang tepat? ;DAcuan saya adalah baik bagi diri sendiri (penjauhan LDM) sekaligus tidak merugikan orang lain dan lingkungan/alam.
memang apa lagi yang diajarkan buddha selain dukkha dan lenyapnya dukkha? ;D karena setahu saya semua ajaran lainnya juga mengacu pada dukkha dan lenyapnya dukkha sih ;DMaksudnya "ajaran2 lain" itu seperti kisah2 yang ada di Tipitaka, menurut saya belum tentu semuanya sama persis terjadi seperti yang tercatat.
oke ;D, mudah-mudahan fotonya tidak hilang, karena biasanya foto-foto uploadtan lama sudah diblokir ;D. kira-kira apakah kita pernah bertemu? ;DEntahlah, saya 'kan tidak tahu bro bawel yang mana, jadi ga tahu apakah pernah ketemu atau tidak.
hm.. meditasinya dimana om? ;D setahu saya paling sedikitkan setidaknya ada jalur yang mempunyai 25 langkah ;D.Di mana saja. Buat saya, asal bisa 5 langkah pun cukup, tapi lebih sering balik badannya saja.
saya juga sukasih meditasi jalan, jalan mondar-mandir maksudnya :)).
DC menurut om kutho itu apa? :PKomunitas Buddhis yang basisnya online.
berdasarkan pengalaman om kutho, pindah agama itu susah ngak? ;D apa saja yang terjadi ketika kita pindah agama? ;DSusah secara apa? KTP? Itu saya tidak tahu. ;D
berarti kalo usahanya beda lebih baik menjomblo dong? :P tapikan mencari yang seperti itu susah ;D. lokasi seperti apa yang biasa om kutho favoritkan untuk mendapatkan pasangan yang usahanya sama? ;DSaya pikir kita tidak perlu 'mengincar' lokasi tertentu, karena pertemuan bisa terjadi di mana saja, yang penting pasang mata-telinga.
mantap ;D. lalu bagaimana pandangan om kutho mengenai orang-orang yang menjalankan bisnis pernak-pernik keagamaan itu? ;DSama saja dengan penjual barang lainnya.
boleh tahu sutta apa yang bisa langsung nempel dan sutta apa aja yang ngak nempel-nempel? ;DHm.. kalau sengaja dipikirkan, malah ga inget.
;D. pernah jadi anak kos yah? atau pernah bocah petualang? ;DPernah, tapi kesusahan tersebut saya alami bukan waktu kos.
kenapa sudah mengetahui untuk om kutho tahu mesti memastikan dulu? ;D bukankah itu akan membuat yang menyiapkan makanan menjadi sedih? ;DSaya tidak tahu pasti, hanya menduga saja, dan daripada terjadi 'adinnadana' maka saya memutuskan tidak menduga-duga.
sadar yang seperti apa? ;DSadar... yah sadar, tidak terlarut dalam pikiran & perasaan.
apa yang di fang shen om kutho waktu itu? ;DSerangga/binatang kecil.
membebaskan saja langsung tanpa memperhatikan lingkungan? ;D bagaimana kalo malah menyebabkan kepunahan hewan-hewan lokal atau malah menyebarkan penyakit, seperti flu burung, flu babi dan antrax? ;D bagaimana kalo dikarantina dulu? ;D misalnya seperti orang utan yang sudah manja gitu? ;DYah lihat lingkungan juga, mana mungkin saya fangsheng kecoa di kamar bro bawel. Banyak pertimbangan, tapi kalau ritual, selalu saya 'buang'.
bagaimana pendapat om kutho mengenai gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan mewah lainnya? ;DRefleksi keserakahan dan kesombongan manusia.
hahaha.. boleh kalo sanggup :P. yeah.. hidup jomblo!! :))Jomblo ataupun berpasangan, jalanilah pilihan itu dengan bahagia dan berikan yang terbaik. :)
bagaimana cara mengatasinya ketika pikiran untuk menghindari tanggungjawab itu muncul hingga tidak sampai pada ucapan apalagi sampai dilakukan? ;DDitekadkan, dilatih, dan dibiasakan. Semua hal yang berkaitan dengan manusianya, itu hanya bisa diusahakan dengan latihan, tidak ada satu metode tertentu yang instant dan efektif.
kalo tampan, apakah saya tampan? :P2 hal: 1. saya hanya memperhatikan dan menilai keindahan wanita; 2. saya belom pernah ketemu.
Dengan tidak masa-bodoh dan mengembangkan sifat mau belajar. Adalah wajar orang merokok kalau tidak tahu apa kerugian dari merokok. Sebaliknya kalau orang tersebut tahu tentang rokok dan pengaruhnya, mungkin dia akan pikir lebih jauh sebelum memutuskan merokok. Masalahnya kebanyakan orang di sini tidak peduli dengan belajar dan pendidikan.
Tentu bagian demi bagian donk, ada prosesnya, bukan instant seperti dapat wahyu langsung mengerti seluruhnya. ;D
Lumayan, misalnya karena dari dulu saya tahunya Agama Monotheisme, jadi saya banyak pertanyakan tentang tujuan Tuhan menciptakan. Lalu saya juga pertanyakan tentang jiwa, dan bertanya (juga mendebat) tentang definisinya karena saya mencari tapi tidak menemukan jiwa yang kekal tersebut. Tentu saja otomatis terjawab dengan ajaran "Anatta".
"Apa adanya" maksudnya sedemikian adanya saja, tidak perlu ditambah2 konsep-konsep tidak jelas. Misalnya kalau kita ada masalah, ya sudah kenali sebagai masalah, tidak perlu tambah2 konsep 'dicobai Tuhan' atau spekulasi 'kamma buruk berbuah'.
Tidak ingat sih, sepertinya tidak sampai begitu.
Memukul itu istilahnya 'atemi', kalau mematahkan tulang biasa dari jurus persendian 'kansetsu'. Itu 2 hal berbeda. ;D Tapi perhatikan baik-baik, saya hanya bilang 'niat itu keburu timbul', tapi tidak bilang 'niat itu sudah diwujudkan'.
Kemarahan tidak berguna karena kenyataan tidak bisa diubah dengan kemarahan. Kalau kenyataan tersebut sebetulnya bisa diubah, ubahlah sebelum kemarahan itu timbul. Cara begitu lebih bermanfaat.
Ancaman atau intimidasi itu tidak selalu disertai kemarahan kok. Saya sering mengucapkan, "silahkan lakukan lagi jika sudah bosan melihat mentari terbit esok," dengan wajah ramah dan sambil tersenyum manis.
Bukan, saya orang Indonesia. Kalau keturunan apa saja, entahlah...
Tidak juga, bisa juga untuk membantu orang lain dalam situasi yang sesuai.
Acuan saya adalah baik bagi diri sendiri (penjauhan LDM) sekaligus tidak merugikan orang lain dan lingkungan/alam.
Maksudnya "ajaran2 lain" itu seperti kisah2 yang ada di Tipitaka, menurut saya belum tentu semuanya sama persis terjadi seperti yang tercatat.
Entahlah, saya 'kan tidak tahu bro bawel yang mana, jadi ga tahu apakah pernah ketemu atau tidak.
Di mana saja. Buat saya, asal bisa 5 langkah pun cukup, tapi lebih sering balik badannya saja.
Komunitas Buddhis yang basisnya online.
Susah secara apa? KTP? Itu saya tidak tahu. ;D
Saya pikir memang orang otomatis akan mencari agama yang sesuai. Karena orang berubah sesuai pengalaman, maka kesesuaian agama juga bisa saja berubah. Jadi semua tergantung orangnya, bukan agamanya.
Saya pikir kita tidak perlu 'mengincar' lokasi tertentu, karena pertemuan bisa terjadi di mana saja, yang penting pasang mata-telinga.
Sama saja dengan penjual barang lainnya.
Hm.. kalau sengaja dipikirkan, malah ga inget.
Pernah, tapi kesusahan tersebut saya alami bukan waktu kos.
Saya tidak tahu pasti, hanya menduga saja, dan daripada terjadi 'adinnadana' maka saya memutuskan tidak menduga-duga.
Sadar... yah sadar, tidak terlarut dalam pikiran & perasaan.
Serangga/binatang kecil.
Yah lihat lingkungan juga, mana mungkin saya fangsheng kecoa di kamar bro bawel. Banyak pertimbangan, tapi kalau ritual, selalu saya 'buang'.
Refleksi keserakahan dan kesombongan manusia.
Jomblo ataupun berpasangan, jalanilah pilihan itu dengan bahagia dan berikan yang terbaik. :)
Ditekadkan, dilatih, dan dibiasakan. Semua hal yang berkaitan dengan manusianya, itu hanya bisa diusahakan dengan latihan, tidak ada satu metode tertentu yang instant dan efektif.
2 hal: 1. saya hanya memperhatikan dan menilai keindahan wanita; 2. saya belom pernah ketemu.
Jadi jawabnya: tidak tahu. ;D
sampai batas mana kita membantu orang lain, agar mereka peduli dengan diri mereka sendiri dan mau belajar? ;DSebatas yang kita bisa lakukan dan sebatas mereka juga mau menerima. Betul, seperti ada waktunya, tapi sebetulnya bukan nasib, hanya kondisi yang 'matang' saja. Kadang dari diri sudah siap, tapi lingkungan tidak mendukung, kadang sebaliknya.
atau apakah setiap orang pasti mempunyai waktunya sendiri-sendiri? seperti ada yang mengatur nasibnya? :P
wahyu itu apa? ;D apakah wahyu itu benar-benar ada? ;DWahyu itu semacam pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan.
bagaimana prosesnya sehingga om kutho memilih ajaran anatta dan menolak ajaran lainnya? ;DKarena sampai sekarang pun secara teori saya tidak menemukan 'jati diri'. Saya punya pertanyaan dulu, sebetulnya jiwa kita itu yang mana? Waktu kecil sama sudah dewasa sama atau tidak? Jika sama, seharusnya semua masuk sorga sebab dikatakan anak kecil belum mengenal dosa (atau di ajaran tertentu lainnya, anak kecil diselamatkan dan masuk ke dalam surga minor, dan lain-lain). Jika jiwa tidak sama, berarti berubah-ubah. Kalau berubah-ubah, berarti seseorang memang punya kesempatan berubah, mengapa diciptakan neraka yang kekal? Bukankah ada jiwa bodoh bisa belajar jadi jiwa pintar, jiwa jahat belajar jadi jiwa baik, dst. Nah, pertanyaan saya ini tidak ada yang bisa jawab, dan ketika kenal 'anatta', tentu saya merasa cocok.
bagaimana perasaan om kutho waktu itu? ;D
bagaimana dengan mahkluk lain? ;D 'casper n friends' maksudnya :P. ada orang yang bisa merasakan bahkan melihat tapi ada juga yang ngak bisa sama sekali merasakan atau melihat seperti saya ;D. ketika ada orang yang bisa melihat kemudian menceritakan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? ;D percaya, menolak, atau lainnya? ;D om kutho sendiri bisa melihat casper? ;D atau ada teman yang bisa melihat? ;DWalau hal seperti itu tidak bisa dibuktikan sendiri, tapi ada alasan untuk percaya. Misalnya ada orang yang memang kita kenal dengan baik, bukan penipu, kalau dia bicara, perkataannya bisa dipertimbangkan sebagai benar, walaupun belum dipastikan. Saya tidak bisa melihat dalam artian 'senantiasa melihat' atau 'bisa melihat jika saya mengarahkan pikiran', namun kalau dibilang pernah, ya, dari dulu walaupun sangat jarang, saya kadang2 melihat.
sepertinya om kutho termasuk orang yang sabar yah ;D.Lebih cocok disebut 'takut akan perbuatan jahat' ketimbang 'sabar' sih. ;D
hahaha.. ;D. iya deh ;D.Haha nggak lah. Lagipula saya hanya tahu dasar2nya aja.
kemarin pas copdar melakukan pertunjukan seni bela diri aikido bareng nona helen ngak? :P
bagaimana caranya mengkondisikan agar situasinya bisa sering sesuai? ;DBukan situasinya yang diubah, karena kita sulit mengubah dunia. Yang perlu adalah memiliki kesiapan dalam situasi apapun. Kalau kita tidak membantu karena mencari alasan, itu jadi masalah internal. Kita boleh memperhatikan bathin kita apakah tidak membantu karena situasi tidak memungkinkan, atau niat baik itu memang ternodai oleh hal lain seperti kekikiran, kemalasan, dll.
karena kan kebanyakan kita tidak membantu karena kita mencari-cari alasan saja :P.
bagaimana kalo lingkungan tidak mengkehendaki apa yang dilakukan oleh om kutho, walaupun om kutho beranggapan itu adalah yang terbaik? ;D apakah om kutho akan menghindar dan pergi atau tetap bertahan dan masa bodo aja? ;DContohnya seperti apa?
contohnya? ;DSemuanya. Bahkan kadang cerita di satu kitab bisa berbeda dengan kitab lainnya. Contohnya tentang Mahamoggallana dibunuh dengan kejam karena di masa lalu pernah berbuat jahat pada orang tuanya. Di satu kitab dibilang ia membunuh orang tuanya, di kitab lain bilang ia tidak sampai membunuh orang tuanya karena terharu ketika orang tuanya yang sedang terancam itu masih memikirkan dirinya. Jadi apapun yang ada di Tipitaka, tidak perlu dipercaya pasti demikian kejadiannya, ambil saja moral yang dikandung di sana.
iya, setelah saya lihat di foto kopdar dc kemarin sepertinya kita memang belum pernah ketemu ;D.Betulkah? Di mana kira2?
susah secara sosial ;D. misalnya keluarga atau teman-teman, yang dulunya ke 'sana' sekarang ke vihara ;D. adakah penolakan-penolakan yang terjadi? ;D bagaimana om kutho melaluinya? ;D;D Saya beruntung keluarga saya orang sekuler, percaya Tuhan saja, tapi tidak cenderung ke agama manapun. Jadi saya mau belajar apapun tidak masalah. Sedangkan keluarga besar juga plural, sudah terbiasa dengan perbedaan agama.
satu lagi pasang mulut juga untuk menyapa :)).... dan untuk bertanya, jika ada kesempatan.
sama apanya? ;D sama LDM nya? ;DSama saja maksudnya penjual untuk mendapatkan untung, terlepas dari barang dagangannya.
kalo om kutho menjadi pemimpin dunia, om kutho akan tetap mempertahanan sistem perdagangan dengan uang, atau menggunakan sistem perdagangan dengan barter? ;D
kalo sekarang sudah ingat? :PTidak juga.
oh ;D. memangnya karena apa? ;D;D Masa2 sulit saja.
om kutho tidak tertarik untuk menjalani hidup selibat? ;DTertarik, tapi sepertinya belum mampu saja.
apa sebab ketidakpastian itu? ;D apakah ada yang biasanya makan juga selain om kutho? ;DGampangnya karena itu bukan rumah saya, jadi saya tidak bisa memastikan.
apa yang akan om kutho lakukan kalo melihat anjing atau kucing korban tabrak lari yang terluka tapi masih hidup? ;DCoba dipinggirkan dulu saja. Kalau bisa ditolong yah ditolong, biasa penduduk sekitar (yang saya lihat) cukup peduli sih. Kalau misalnya di jalan tol, yah tentu tidak bisa apa2, paling2 bisa dilaporkan ke petugas.
bagaimana caranya membuang ritual? ;D bagaimana caranya kalo orang tua masih mempercayai ritual dan kita diminta untuk membantu dalam ritual itu? ;D kadang-kadang ada ketakutan kalo kita menolak ritual (*misalnya sumpah pocong atau sumpah demi tuhan :P, kan mahkluk begituan mungkin saja ada ;D), bagaimana caranya agar tidak takut lagi? ;DKalau untuk ritual, ga semuanya perlu ditinggalkan. Kalau tidak melanggar atau terlalu merepotkan, jalani saja, anggap sebagai pelestarian tradisi/budaya. Kalau 'sumpah', itu bukan ritual karena jika diniati, memang punya kekuatan. Jadi memang sebaiknya tidak bersumpah kalau tidak yakin.
apakah om kutho juga masih tetap memanfaatkan gedung-gedung itu? ;D bagaimana kita menghindarinya? ;D karena kadang kala kita akan terlindas kalo menghindarinya ;D. contohnya toko-toko kelontongan dan pasar tradisional yang terlindas oleh supermarket ;D.Memang begitu. Maka walaupun kita tidak suka dengan dunia, mau tidak mau kita menyesuaikan diri juga. Tidak perlu menolak dengan sikap ekstrem. Sesuaikan saja, tapi tetap hidup sesuai prinsip kita. Kita kerja di gedung mewah, yah tetap harus ikut pakai baju rapih, bukan ekstrem pakai kaos + jeans. Tapi kerja di gedung mewah bukan berarti kemudian kita juga harus hidup secara mewah dan boros sumber daya, atau menjadi sombong.
gimana bisa menjalankan yang terbaik kalo selalu dirongrong orang-orang sekitar biar bisa dobel :P.Beri pengertian saja ke mereka. Kalau tidak bisa juga, saya biasa pakai jurus mengangguk2 saja.
3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah. Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam tanah. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.Ini sebetulnya bukan hal sehari-hari ataupun meditasi, tapi memang yang selalu kita alami. Di situ ada objek dari tanah (pathavi), air (apo) ... sampai nibbana; apapun objek tersebut ketika pikiran kita melekatinya sebagai 'diri', 'bagian dari diri' atau 'ciri diri', maka di situlah letak kebodohan bathin (moha). Itulah hal yang menyebabkan kita selalu terlahir kembali karena melekati objek sebagai diri.
Bro Kainyn bisa bantu menjelaskan dan berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari kata-kata yang di bold diatas?
Sebatas yang kita bisa lakukan dan sebatas mereka juga mau menerima. Betul, seperti ada waktunya, tapi sebetulnya bukan nasib, hanya kondisi yang 'matang' saja. Kadang dari diri sudah siap, tapi lingkungan tidak mendukung, kadang sebaliknya.
Wahyu itu semacam pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan.
Karena sampai sekarang pun secara teori saya tidak menemukan 'jati diri'. Saya punya pertanyaan dulu, sebetulnya jiwa kita itu yang mana? Waktu kecil sama sudah dewasa sama atau tidak? Jika sama, seharusnya semua masuk sorga sebab dikatakan anak kecil belum mengenal dosa (atau di ajaran tertentu lainnya, anak kecil diselamatkan dan masuk ke dalam surga minor, dan lain-lain). Jika jiwa tidak sama, berarti berubah-ubah. Kalau berubah-ubah, berarti seseorang memang punya kesempatan berubah, mengapa diciptakan neraka yang kekal? Bukankah ada jiwa bodoh bisa belajar jadi jiwa pintar, jiwa jahat belajar jadi jiwa baik, dst. Nah, pertanyaan saya ini tidak ada yang bisa jawab, dan ketika kenal 'anatta', tentu saya merasa cocok.
Dulu saya 'mengembara' sekitar 9 tahun, mencari jawaban debat sana-sini (bukan untuk menang, tapi untuk cari jawaban, karena toh saya sendiri tidak beragama waktu itu). Setelah lewat waktu itu, saya sudah menyerah dan mengatakan semua agama tidak ada yang mampu memuaskan pertanyaan saya dan saya tidak cari-cari lagi. Belakangan tidak sengaja ketemu Ajaran Buddha dan ternyata bisa 'nyambung', maka saya semangat belajar lagi.
Walau hal seperti itu tidak bisa dibuktikan sendiri, tapi ada alasan untuk percaya. Misalnya ada orang yang memang kita kenal dengan baik, bukan penipu, kalau dia bicara, perkataannya bisa dipertimbangkan sebagai benar, walaupun belum dipastikan. Saya tidak bisa melihat dalam artian 'senantiasa melihat' atau 'bisa melihat jika saya mengarahkan pikiran', namun kalau dibilang pernah, ya, dari dulu walaupun sangat jarang, saya kadang2 melihat.
Lebih cocok disebut 'takut akan perbuatan jahat' ketimbang 'sabar' sih. ;D
Haha nggak lah. Lagipula saya hanya tahu dasar2nya aja.
Bukan situasinya yang diubah, karena kita sulit mengubah dunia. Yang perlu adalah memiliki kesiapan dalam situasi apapun. Kalau kita tidak membantu karena mencari alasan, itu jadi masalah internal. Kita boleh memperhatikan bathin kita apakah tidak membantu karena situasi tidak memungkinkan, atau niat baik itu memang ternodai oleh hal lain seperti kekikiran, kemalasan, dll.
Contohnya seperti apa?
Kalau saya biasanya enggan memaksakan sesuatu ke orang lain.
Semuanya. Bahkan kadang cerita di satu kitab bisa berbeda dengan kitab lainnya. Contohnya tentang Mahamoggallana dibunuh dengan kejam karena di masa lalu pernah berbuat jahat pada orang tuanya. Di satu kitab dibilang ia membunuh orang tuanya, di kitab lain bilang ia tidak sampai membunuh orang tuanya karena terharu ketika orang tuanya yang sedang terancam itu masih memikirkan dirinya. Jadi apapun yang ada di Tipitaka, tidak perlu dipercaya pasti demikian kejadiannya, ambil saja moral yang dikandung di sana.
Betulkah? Di mana kira2?
;D Saya beruntung keluarga saya orang sekuler, percaya Tuhan saja, tapi tidak cenderung ke agama manapun. Jadi saya mau belajar apapun tidak masalah. Sedangkan keluarga besar juga plural, sudah terbiasa dengan perbedaan agama.
... dan untuk bertanya, jika ada kesempatan.
Sama saja maksudnya penjual untuk mendapatkan untung, terlepas dari barang dagangannya.
Uang atau barter sebetulnya sama saja kok. Mungkin yang harus diubah adalah sistem ekonomi-nya saja. Tapi karena saya tidak begitu paham juga, jadi tidak berani komentar deh.
Tidak juga.
;D Masa2 sulit saja.
Tertarik, tapi sepertinya belum mampu saja.
Gampangnya karena itu bukan rumah saya, jadi saya tidak bisa memastikan.
Coba dipinggirkan dulu saja. Kalau bisa ditolong yah ditolong, biasa penduduk sekitar (yang saya lihat) cukup peduli sih. Kalau misalnya di jalan tol, yah tentu tidak bisa apa2, paling2 bisa dilaporkan ke petugas.
Kalau untuk ritual, ga semuanya perlu ditinggalkan. Kalau tidak melanggar atau terlalu merepotkan, jalani saja, anggap sebagai pelestarian tradisi/budaya. Kalau 'sumpah', itu bukan ritual karena jika diniati, memang punya kekuatan. Jadi memang sebaiknya tidak bersumpah kalau tidak yakin.
Memang begitu. Maka walaupun kita tidak suka dengan dunia, mau tidak mau kita menyesuaikan diri juga. Tidak perlu menolak dengan sikap ekstrem. Sesuaikan saja, tapi tetap hidup sesuai prinsip kita. Kita kerja di gedung mewah, yah tetap harus ikut pakai baju rapih, bukan ekstrem pakai kaos + jeans. Tapi kerja di gedung mewah bukan berarti kemudian kita juga harus hidup secara mewah dan boros sumber daya, atau menjadi sombong.
Beri pengertian saja ke mereka. Kalau tidak bisa juga, saya biasa pakai jurus mengangguk2 saja.
Apakah om kutho kira-kira seumuran om indra?Emang tau umur om indra berapa?? ;D
;D
om kutho sudah siap untuk menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan om kutho? ;DSaya bukan orang yang serba bisa, serba tahu, dan serba ini-itu, jadi belum tentu siap menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup. Namun kalau memang sudah terjadi, yah mau gimana lagi, hadapi saja dengan kemampuan yang ada. ;D
oh ;D. bagaimana caranya om kutho melepas bayang-bayang tuhan dari keyakinan om kutho sebelumnya? ;DTidak susah karena dari dulu saya tidak yakin. Dulu sekali, suatu waktu saya sedang berpikir tentang kerendahan hati, lalu berpikir saya tidak butuh pujaan atau disembah2. Sesuatu yang saya idolakan, yang saya teladani, haruslah sosok yang lebih rendah hati dari saya, yang sama sekali tidak goyah oleh pujaan/sembahan.
apakah om kutho hanya menganggap tuhan sama seperti dewa-dewa lainnya? ;D atau lainnya? ;D
hm... mengembara selama 9 tahun dan mempelajari agama buddha selama 5 tahun jadi jumlahnya 14 tahun ;D.Ya, saya seumuran sama Om Indra.
apakah om kutho kira-kira seumuran sama om indra? ;D
;D. apa yang om kutho lakukan ketika kebetulan melihat? ;D apakah pernah diganggu? ;DYa, tidak melakukan apa-apa. Mereka juga tidak mengganggu saya.
wah baru dasar-dasarnya aja udah bisa melepaskan tulang, jadi ngeri nih, rasa-rasanya bisa lebih dari itu deh :)).Salah, justru bela diri tingkat rendah itu yang menghancurkan. Makin tinggi, makin bisa menguasai lawan tanpa perlu menyakiti. Menghancurkan orang itu gampang, contohnya tembak aja pakai beceng. Tapi mengalahkan, menundukkan, dan menguasai tanpa melukai atau mencederai lawan, itu sangat sulit sekali.
apa kriteria om kutho dalam membantu orang lain? ;DTidak pakai kriteria sih. Kalau saya merasa dia perlu dibantu, saya bisa bantu, yah lakukan saja.
hah? dimana? ;D sepertinya kemarin saya bilang belum pernah ketemu deh :P.Wah, menjebak nih... ;D
kenapa merasa belom mampu? ;DBukan merasa sih, tapi memang tahu bahwa saya belum mampu. Jika kita memang mau menjalani pertapaan, maka sebaiknya kehidupan kita sendiri bermanfaat bagi kita, yaitu bukannya membuat kita merasa terkekang, tapi justru merasa terfasilitasi untuk berlatih; di samping itu juga, bermanfaat bagi orang lain, yaitu dengan melihat kesempurnaan moralitas dan tingkah laku kita, maka orang lain pun terinspirasi dan keyakinannya menguat. Karena saya belum memenuhi keduanya, maka saya tahu diri.
apakah menurut om kutho harus menunggu mampu dulu? ;D
bagaimana caranya agar kita bisa menjadi mampu? ;D
bukannya ritual juga kalo diniati ada kekuatannya juga? ;D apa yang menjadi kekuatan dari sumpah-sumpah seperti itu? ;D *bukan sumpah secara hukum ;D.Jika kita tidak meniati satu 'sumpah', maka tidak ada kekuatannya. Tetapi kalau kita berbohong (yang berkenaan dengan sumpah tersebut) itu beda soal lagi. Yang menjadi kekuatan sumpah adalah pikiran kita sendiri, dari kebenaran yang diucapkan, niat, dan konsentrasinya.
om kutho pernah membaca kalo akhir-akhir ini eropa timur sedang dilanda cuaca dingin yang ekstrim yang menyebabkan banyak kematian dan ditambah lagi pasokan gas dari rusia terhenti? ;D manakah yang lebih baik antara menyupai sumberdaya yang besar untuk sebuah gedung atau untuk seluruh rakyatnya? ;DTergantung apakah sebuah gedung itu bisa lebih bermanfaat bagi seluruh rakyatnya atau tidak. Kita tidak bisa melihat hanya dari luarnya saja.
hahaha... mengangguk-angguk tapi kalo ngak ditepati bisa musavada dong? :PSaya ga bilang akan menepati/mengikuti anjuran mereka, saya hanya mengangguk untuk menyatakan "ya, saya tidak akan menentang egomu dengan kata-kata lagi." ;D Pada hakikatnya, orang dewasa yang mandiri, bertanggung-jawab pada dirinya sendiri. Orang lain, termasuk orang-tua, sudah bukan saatnya lagi memaksa.
Emang tau umur om indra berapa?? ;D
tahu dong ;D.dikira-kira aja pake uji karbon :)).
Saya bukan orang yang serba bisa, serba tahu, dan serba ini-itu, jadi belum tentu siap menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup. Namun kalau memang sudah terjadi, yah mau gimana lagi, hadapi saja dengan kemampuan yang ada. ;D
Tidak susah karena dari dulu saya tidak yakin. Dulu sekali, suatu waktu saya sedang berpikir tentang kerendahan hati, lalu berpikir saya tidak butuh pujaan atau disembah2. Sesuatu yang saya idolakan, yang saya teladani, haruslah sosok yang lebih rendah hati dari saya, yang sama sekali tidak goyah oleh pujaan/sembahan.
Ya, saya seumuran sama Om Indra.
Ya, tidak melakukan apa-apa. Mereka juga tidak mengganggu saya.
Salah, justru bela diri tingkat rendah itu yang menghancurkan. Makin tinggi, makin bisa menguasai lawan tanpa perlu menyakiti. Menghancurkan orang itu gampang, contohnya tembak aja pakai beceng. Tapi mengalahkan, menundukkan, dan menguasai tanpa melukai atau mencederai lawan, itu sangat sulit sekali.
Tidak pakai kriteria sih. Kalau saya merasa dia perlu dibantu, saya bisa bantu, yah lakukan saja.
Wah, menjebak nih... ;D
Bukan merasa sih, tapi memang tahu bahwa saya belum mampu. Jika kita memang mau menjalani pertapaan, maka sebaiknya kehidupan kita sendiri bermanfaat bagi kita, yaitu bukannya membuat kita merasa terkekang, tapi justru merasa terfasilitasi untuk berlatih; di samping itu juga, bermanfaat bagi orang lain, yaitu dengan melihat kesempurnaan moralitas dan tingkah laku kita, maka orang lain pun terinspirasi dan keyakinannya menguat. Karena saya belum memenuhi keduanya, maka saya tahu diri.
Caranya agar mampu, yah tentu dengan berlatih 'kecil-kecilan'. Tidak menghindari sepenuhnya kenikmatan indriah, tapi dibatasi sedikit2, seperti mulai dari uposatha (sebulan 2x), kalau sudah biasa, ditambah lagi lebih sering, sampai bisa sepenuhnya melepas.
Jika kita tidak meniati satu 'sumpah', maka tidak ada kekuatannya. Tetapi kalau kita berbohong (yang berkenaan dengan sumpah tersebut) itu beda soal lagi. Yang menjadi kekuatan sumpah adalah pikiran kita sendiri, dari kebenaran yang diucapkan, niat, dan konsentrasinya.
Tergantung apakah sebuah gedung itu bisa lebih bermanfaat bagi seluruh rakyatnya atau tidak. Kita tidak bisa melihat hanya dari luarnya saja.
Saya ga bilang akan menepati/mengikuti anjuran mereka, saya hanya mengangguk untuk menyatakan "ya, saya tidak akan menentang egomu dengan kata-kata lagi." ;D Pada hakikatnya, orang dewasa yang mandiri, bertanggung-jawab pada dirinya sendiri. Orang lain, termasuk orang-tua, sudah bukan saatnya lagi memaksa.
Username: Indra
Posts: 10.969 (8,143 per day)
Email: indra_anggara [at] yahoo.com
Reputasi: 327
Gender: Male
Age:640
hm.. hebat ;D.Kok "hebat"? Hadapi itu bukan berarti bisa punya solusinya lho... ;D Tapi yang penting hadapi aja.
menurut om kutho, tuhan itu termasuk 64 pandangan yang seperti di brahmajala sutta? ;DBiasanya pandangan Tuhan adalah: dunia fana ini akan hancur, tapi dunia lain kekal. Ini semi-eternalisme dalam Brahmajalasutta.
sepertinya perjalanan spiritual om kutho sudah dimulai dari usia yang cukup muda yah? ;DYa, saya memang sejak kecil agak tertarik dengan hal-hal 'spiritual', tapi tidak terlalu intensif saja. Belakangan mulai SMP karena ada guru2 tertentu yang suka 'menyerang', membuat saya lebih senang lagi mencari lebih jauh.
apakah dimulai dari sma? atau malah kurang dari itu? ;D
kalo seandainya diganggu atau malah diajak bicara, apa yang akan om kutho lakukan? ;DSama saja seperti halnya dengan manusia. Kalau memang ada yang ingin dibicarakan, yah saya mendengarkan. Bisa saya bantu, saya bantu.
kalo merasa belom mampu gitu kan artinya kita sudah menunda-nunda? ;D kenapa tidak mencoba jadi samanera dulu? ;D bukannya dulu om kutho juga pernah ikut pendidikan untuk menjadi pastur yah kalo ngak salah? ;DSekarang kalau kita latihan angkat beban, saya bisa angkat 20 KG, lagi latih untuk bisa 30 KG. Kalau orang suruh coba angkat 100 KG dan saya menolak karena merasa belum mampu, apakah artinya 'menunda-nunda'?
masalah pasti akan terjadi dan dari situlah kita harus belajar agar kedepannya bisa lebih bermanfaat lagi ;D. jadi kenapa menunggu untuk mampu dulu? ;DBegini, bro bawel... Ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, risikonya tidak terlalu berimbas. Misalnya mau coba bikin tumis kangkung. Kalau keasinan, ya sudah, jadi pembelajaran. Paling rugi kangkung 2 ikat.
tapi nyatanya kan berbeda ;D. gedung-gedung itu kan hanya untuk kepentingan kelompok saja ;D.Mungkin begitu, tapi tetap kita tidak tahu apakah kelompok yang di gedung itu benar-benar mengusahakan kesejahteraan rakyat juga. Misalnya mereka menggunakan fasilitas yang ada untuk merealisasi perbaikan dan kemajuan untuk rakyatnya, maka bisa jadi -walaupun belum tentu- gedung itu lebih bermanfaat. Tapi kalau memang gedung itu semua hanya untuk menikmati kenyamanan, tidak peduli pada rakyat, mementingkan perut sendiri/golongan... yah tahu sendiri lah jawabannya. ;D
tidak masalah kan kita tidak mengikuti arus yang salah dan itu bukanlah sesuatu yang ekstrim sih kalo menurut saya ;D. sang buddha sendiri tidak mengikuti arus untuk menjadi seorang raja, tapi pergi menjadi pertapa ;D."Arus" maksudnya bagaimana? Di Jambudvipa saat itu, menjadi petapa adalah hal yang biasa kok, jadi Siddhatta tidak 'melawan arus'.
sekalian saya pengen nanya, tentang kisah beberapa bhikkhu hm.. 5 bhikkhu kalo ngak salah, yang memutuskan memisahkan diri dari sangha kemudian menyepi di puncak gunung hingga akhirnya merealisasikan buah kesucian dan ada 1 atau 2 yang menjadi arahat kalo ngak salah ;D. itu kisahnya ada di mana yah? ;DWaduh, itu saya juga tidak tahu referensinya. Mungkin ada di komentar. Jaman sasana Buddha Kassapa sudah mulai habis, banyak bhikkhu yang korup. 7 bhikkhu bertekad tidak akan turun dari bukit sebelum merealisasi Arahatta-phala. Yang tertua jadi Arahat, yang ke dua Anagami, 5 lainnya (Bahiya, Pukkusati, Dabba-Mallaputta, Kumara Kassapa, Sabhiya) mati kelaparan sebagai puthujjana. Anagami ini yang terlahir jadi Brahma Suddhavasa dan kemudian memberi tahu bahwa Bahiya bukan Arahat dan menyarankannya pergi mencari Buddha Gotama.
hahaha.. ;D.
Kok "hebat"? Hadapi itu bukan berarti bisa punya solusinya lho... ;D Tapi yang penting hadapi aja.
Biasanya pandangan Tuhan adalah: dunia fana ini akan hancur, tapi dunia lain kekal. Ini semi-eternalisme dalam Brahmajalasutta.
Ya, saya memang sejak kecil agak tertarik dengan hal-hal 'spiritual', tapi tidak terlalu intensif saja. Belakangan mulai SMP karena ada guru2 tertentu yang suka 'menyerang', membuat saya lebih senang lagi mencari lebih jauh.
Sama saja seperti halnya dengan manusia. Kalau memang ada yang ingin dibicarakan, yah saya mendengarkan. Bisa saya bantu, saya bantu.
Sekarang kalau kita latihan angkat beban, saya bisa angkat 20 KG, lagi latih untuk bisa 30 KG. Kalau orang suruh coba angkat 100 KG dan saya menolak karena merasa belum mampu, apakah artinya 'menunda-nunda'?
Bukan pastor, tapi penginjil. Yang saya ikuti tersebut adalah pendidikan intelektual, saya tidak kesulitan sama sekali mengikutinya. Sedangkan kalau kehidupan petapa, itu adalah mengendalikan pikiran, ucapan, dan perbuatan. Itu sulit.
Begini, bro bawel... Ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, risikonya tidak terlalu berimbas. Misalnya mau coba bikin tumis kangkung. Kalau keasinan, ya sudah, jadi pembelajaran. Paling rugi kangkung 2 ikat.
Tapi ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, imbasnya ke mana-mana. Misalnya menikah. Mau coba-coba?
Dalam hal hidup petapa ini, untuk saya sendiri, adalah termasuk yang ke dua. Jadi kalau belum cukup yakin, saya tidak mau lakukan.
Mungkin begitu, tapi tetap kita tidak tahu apakah kelompok yang di gedung itu benar-benar mengusahakan kesejahteraan rakyat juga. Misalnya mereka menggunakan fasilitas yang ada untuk merealisasi perbaikan dan kemajuan untuk rakyatnya, maka bisa jadi -walaupun belum tentu- gedung itu lebih bermanfaat. Tapi kalau memang gedung itu semua hanya untuk menikmati kenyamanan, tidak peduli pada rakyat, mementingkan perut sendiri/golongan... yah tahu sendiri lah jawabannya. ;D
"Arus" maksudnya bagaimana? Di Jambudvipa saat itu, menjadi petapa adalah hal yang biasa kok, jadi Siddhatta tidak 'melawan arus'.
Waduh, itu saya juga tidak tahu referensinya. Mungkin ada di komentar. Jaman sasana Buddha Kassapa sudah mulai habis, banyak bhikkhu yang korup. 7 bhikkhu bertekad tidak akan turun dari bukit sebelum merealisasi Arahatta-phala. Yang tertua jadi Arahat, yang ke dua Anagami, 5 lainnya (Bahiya, Pukkusati, Dabba-Mallaputta, Kumara Kassapa, Sabhiya) mati kelaparan sebagai puthujjana. Anagami ini yang terlahir jadi Brahma Suddhavasa dan kemudian memberi tahu bahwa Bahiya bukan Arahat dan menyarankannya pergi mencari Buddha Gotama.
loh kan itu hebat seperti macgyver :)).Bedanya, MacGyver selalu berhasil, kalau saya sering gagal. ;D
oh dari smp ;D. sepertinya om kutho siswa yang berprestasi yah dulu waktu sekolah? ;DSangat "berprestasi"! Waktu SMU 3, saya ranking 1... dari belakang.
saya jadi pengen minta bantuan nih ;D.Lha, Buddha Gotama 'kan sudah memberikan 'senjata' kalau diisengin hantu: Karaniya Metta Sutta.
boleh kah ajari saya teknik mematahkan tulang hantu? ;D
jaga-jaga aja siapa tahu suatu hari nanti ada hantu yang menyerang saya :)).
tapi dalam sangha kan tidak begitu, akan ada yang membimbing kita kan? ;DSebagai perumah-tangga pun kita juga bisa meminta bimbingan sangha atau umat lain (yang kompeten).
jadi bukan masalah mampu atau tidak mampu karena itu mengacu pada masa depan, tapi ada niat atau tidak ;D.
seandainya tidak mampu pun kita bisa lepas jubah, bahkan hingga berulang kali seperti di cerita salah satu murid buddha itu yang saya tidak ingat namanya ;D.
kalo menikah sih saya ngak masalah kalo coba-coba, masalah ada tidak yang mau saya cobai :)).Coba tanya aja cewek2 di sini, ada yang mau 'test nikah' ato nggak. ;D
yah paling tidak kita berpatokan dengan revolusi industri dimaka setelahnya pertumbuhan gedung-gedung tinggi ke atas maupun ke bawah meningkat dengan cukup pesat, apakah pertumbuhan itu membawa kebaikan bagi alam atau tidak? ;D dan lihat juga bagaimana senangnya manusia dengan pertumbuhan itu ;D.Kalau menurut saya, semua perkembangan ini memang adalah 'dampak' dari perkembangan budaya manusia saja. Dengan bertambahnya pengetahuan, iptek, maka hidup juga berubah menjadi kompleks. Perkembangan ini bagus dan bisa seimbang. Namun yang biasa bikin tidak seimbang adalah kebodohan/ketidak-pedulian dan ketamakan.
maksud saya pangeran tidak menjadi raja yang penuh dengan kesenangan inderawi ;D.Ya, bisa juga. Dimulai dari diri sendiri saja, yang kecil-kecil. Jika kita berprinsip baik dan pantas, tidak perlu malu karena tidak mengikuti arus.
tapi pangeran malah melawan arus kesenangan inderawi ;D.
begitu juga dengan tidak mengikuti arus perkembangan dunia saat ini karena sudah mengetahui ketidakmanfaatannya ;D.
tanya:Bobroknya moral tidak berhubungan dengan kemajuan jaman. Kemajuan jaman (budaya & teknologi) hanya memberikan fasilitas/kemudahan bagi manusia. Jika moral bobrok, maka dipakailah fasilitas itu untuk hal-hal tidak bermanfaat. Jika moral tinggi, maka dipakailah fasilitas itu untuk hal-hal yang berguna.
"zaman makin maju,moral makin bobrok"
bagaimana menurut om kalimat tersebut?
ikutan tanya juga, biar tambah rame (kan katanya sepi)Kalo soal sebutan, yah memang generalisasi aja kok. Dalam Bahasa Inggris juga dikenal "mankind" (umat manusia) bukan "womankind". (Namun belakangan untuk menghindari tuduhan sexism, penggunaan "humankind" jadi lebih umum sepertinya.)
di alam surga, dikatakan hidup lah para dewa.
nah loh ada dewi juga...
so, pertanyaannya apakah para makhluk dialam tersebut membutuhkan sex?
mempunyai keturunan? kan katanya kelahiran spontan, so sex untuk apa?
Kalo soal sebutan, yah memang generalisasi aja kok. Dalam Bahasa Inggris juga dikenal "mankind" (umat manusia) bukan "womankind". (Namun belakangan untuk menghindari tuduhan sexism, penggunaan "humankind" jadi lebih umum sepertinya.)
Kalau soal sorga alam indriah, memang masih ada gender. Tapi perlu diingat bahwa yang masih dinikmati di sini adalah kesenangan indriah, entah apa bentuknya, belum tentu sesuatu seperti hubungan sex. Apalagi mereka pun dikatakan terlahir secara spontan.
Kesenangan indriah yang kita lihat saja beda2. Misalnya di binatang, sex belum tentu nikmat, malah bisa jadi penderitaan bahkan kematian. Tapi intinya dalam alam indriah ini, makhluknya masih menikmati kesenangan indrawi.
tapi bisa saja memang kesenangan indriah berupa hubungan seksual bukan?Memang bisa saja, kita tidak tahu. Tapi kenikmatan yang berhubungan dengan seksual, tidak selalu artinya hubungan seksual. Seperti misalnya pria (normal/straight) menikmati kecantikan wanita, maka itu pun sudah kenikmatan indriah berkenaan dengan seksualitas, namun masih jauh dari hubungan seksual.
karena asumsi umum, dengan adanya perbedaan gender tentu ada bagian seksualitas sebagai tujuan.
berarti masih spekulasi ya kebenarannya?Tentu saja semua ini spekulasi. Kalo di sutta, belum pernah lihat sih yang bahas secara spesifik.
ato ada disinggung di sutta apa gitu (walau gw gak yakin ada di sutta)
ato mungkin ada dicerita jataka?
(apa ini pertanyaan bodoh ya???)
bertanya lagi bro kain,
dikatakan bahwa makhluk anagami, yang tidak bisa merealisasikan kearahatan di kehidupan ini kelak pada 1 sisa terakhir kelahirannya akan merealisasikan kearahatan dialam dewa.
pengertian disini, bahwa nibbana bisa direalisasikan dialam dewa.
pertanyaannya, apakah makhluk biasa yang karena karma kebajikannya terlahir dialam dewa juga memiliki kesempatan untuk merealisasikan nibbana di alam dewa?
atau apakah disemua alam dewa, para penghuninya bisa dan berkesempatan merealisasikan nibbana? atau hanya dialam dewa tertentu saja.
usia di alam manusia yang pendek, dewa yang panjang, dan masa kehidupan di alam brahma yang super panjang.
di alam manakah yang paling mempunyai kesempatan mencapai nibbana?
klo gak salah dengar, kebuddhaan hanya bisa dicapai di alam manusia. apakah alam manusia mempunyai keistimewaan tersendiri?
Dari yang pernah saya baca sih krn di alam Manusia paling gampang untuk melihat Lahir, sakit, tua, dan mati... Sehingga makhluknya lebih dapat melihat Anicca, Dukkha, Anatta.
dalam RAPB, banyak diceritakan tentang dewa dan brahma yang mencapai tingkat kesucian tertentu, bahkan arahat..
memang dikatakan bahwa manusia...
hal ini dikarenakan, jika individu hidup di alam rendah, maka ia hanya merasakan penderitaan, hingga tidak mampu sulit mengerti dhamma
sedangkan kehidupan di alam dewa sangat lama dan hanya merasakan kesenangan hingga tidak mampu menyadari corak anicca..
manusia hidup dari kombinasi kesenangan dan penderitaan..
tidak semua peta dan dewa 'mau' mengingat kehidupan lampaunya, meskipun mereka mampu melakukannya..
ok, dikatakan alam dewa atau peta, lebih sulit dapat melihat anicca dukha anatta.
namun bukankah makhluk dewa dan peta lahir secara spontan dengan demikian dapat melihat ingat2an, pengalaman, dll pada kehidupan lampaunya. apakah disini sang makhluk dewata dan peta kemudian mengingkari ingatannya pada melihat lahir, sakit, tua, dan mati...
bahkan dikatakan para dewa bisa berkunjung ke alam manusia sesuka hatinya.
dan bahkan dikatakan bahwa para peta sering menunggu disamping keluarga atau sanak saudara atau kenalan atau teman menantikan limpahan jasa.
tentu mereka juga menyaksikan juga lahir sakit tua dan mati yang terjadi pada manusia?
bahkan kita bisa mengundang mereka untuk mendengar pembacaan paritta, begitu bukan?
atau kesenangan indria yang berlebihan mengaburkan semuanya?
apakah kesengsaraan berlebihan mengaburkan ingatan tekad menjalankan buddha dhamma?
_/\_
patria itu apaan? karena gua sering dg umat buddhist ikut dlm patria
pertanyaan titipan
http://www.patria.or.id/
patria = pemuda theravada Indonesia... (termasuk pemudi nya juga tohh, atau ?)Ya, seharusnya sih organisasi campur, mungkin untuk efisien saja jadi ga dibuat "Papitria". Sama saja seperti tanggal 28 Oktober kita peringati 'Sumpah Pemuda' walaupun pemudi juga tentunya ikutan.
tanya lagi :
RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)
nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?
atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?
tanya lagi :
RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)
nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?
atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?
makanya saya katakan bahwa tidak diceritakan petapa sumedha mencapai tingkat kesucian tertentu.
dan yang saya tanyakan adalah seseorang yang mencapai tingkat kesucian tertentu yang saya beri contoh seorang sotapanna, apakah baginya sudah tertutup kesempatan menjadi seorang sammasambuddha?
supaya memudahkankan kita bahas dalam pandangan theravada saja.
oh ya diceritakan dalam RAPB bahwa petapa sumedha memenuhi kualifikasi mencapai tingkat arahat pada kehidupan itu juga, namun karena tekad bulat menjadi sammasambuddha maka petapa sumedha memilih tidak merealisasikan kearahatanya.
apakah ini berarti mencapai tingkat kesucian = tidak bisa menjadi sammasambuddha.
sekali lagi supaya memudahkan diskusi kita bahas dari 1 pandangan saja, kita pakai pandangan theravada saja.
thk's
jadi intinya bukan pada apakah setelah mencapai tingkat kesucian tertentu menjadi tidak berkesempatan menjadi seorang sammasambuddha, namun sesungguhnya yang menjadi point pokoknya adalah jalan apa yang dipilih pada awal perjalanan spiritualnya.
begitu kah?
tanya lagi :Ini sebetulnya pertanyaan yang lumayan sering muncul.
RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)
nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?
atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?
jadi intinya bukan pada apakah setelah mencapai tingkat kesucian tertentu menjadi tidak berkesempatan menjadi seorang sammasambuddha, namun sesungguhnya yang menjadi point pokoknya adalah jalan apa yang dipilih pada awal perjalanan spiritualnya.Tepat sekali. Saya rasa Petapa Sumedha pun seandainya masuk sangha, walaupun potensinya ada, namun tekadnya itu tetap akan 'menghalangi' pencapaiannya sebagai Savaka, sebab kecenderungan pada jalan Bodhisatta sudah sangat2 kuat.
begitu kah?
nah katakan seseorang menjual alat penghancur lemat (spt yg di TV),Saya pikir kalau barang2 yang bukan kebutuhan pokok bebas saja dijual dengan harga 100x lipat sekalipun. Hanya tergantung pembelinya saja kalau memang mau beli. Misalnya lukisan juga kalau dilihat dari 'modal', hanya kanvas, kuas, cat air, dan perlengkapan lain, tapi bisa dijual bermilyar-milyar dan orang mau beli. Tidak masalah.
nah alat ini hanya terdiri dari motor penggerak yg dijalankan baterai...
boleh dikatakan simple, tapi penjual ini menjual dari harga pokok 8X lipat.
Apakah dibenarkan cara menjual tsb ditinjau dari ajaran Buddha ?
Apakah penjual dgn bebas menjual harga dagangannya setinggi mungkin ?
Kalau penjual hanya importir, apa juga boleh menjual dgn harga selangit ?
orang akan membandingkan dulu barang nya.
misalnya Hippo power bank di itc roxy mas jakarta di pintu timur tuh hippo power bank harga Rp 399.000,- sedang kan diatas dekat pujasera di jual dengan harga Rp265.000,- mau pilih mana barang sama lohh!
tanya lagi :
RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)
nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?
atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?
......
Tepat sekali. Saya rasa Petapa Sumedha pun seandainya masuk sangha, walaupun potensinya ada, namun tekadnya itu tetap akan 'menghalangi' pencapaiannya sebagai Savaka, sebab kecenderungan pada jalan Bodhisatta sudah sangat2 kuat.
jadi gimana tohh utk barang yg sama tapi ada yg menjual hampir 3X lipat harga rekannya.lobha = keserakahan
apakah masih dibenarkan dlm pandangan Buddhist ?
memang di pujasera harganya cuma 265, tapi kan tidak semua org tao dan lewat disana...
_/\_
kebetulan minggu lalu saya sempat ikut kursus dasar Abhidhamma, dan sekilas ada kisah yang mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan om rico dan jawaban yang diberikan om kainyn.
pembawa materi pada saat itu sempat bercerita tentang sebuah kisah nyata yang terjadi di kehidupan ini, tentang sekelompok orang (sayangnya saya lupa dari kelompok mana), nah dari sekelompok ini ada seorang pemimpin. mereka semua setelah mendengar berita tentang latihan pencapaian jhana dan sebagainya yang terjadi di sebuah pusat meditasi, kemudian ingin membuktikan, lalu pergilah mereka kesana. setelah melalui latihan akhirnya semua anggota dari kelompok ini mendapatkan hasil dari tujuan mereka, hanya saja pemimpinnya yang tidak berhasil. katanya sih prosedurnya udah cocok, hanya saja ketika ditahapan terakhir udah hampir mencapai selalu saja jatuh lagi, dengan kata lain pencapaian itu selalu saja gagal. ternyata setelah diselidiki, si pemimpin ini dikehidupan sebelumnya pernah bertekad ingin menjadi seorang Buddha, tekad dikehidupan sebelumnya jauh lebih kuat, jadinya pencapaian yang ia harapkan dikehidupan ini adalah tidak mungkin, demi untuk nilai yang lebih tinggi dari tekadnya.
Apa hubungannya tekad menjadi Buddha dengan pencapaian jhana ???mungkin pencapaian yang dimaksud itu bukan sekedar jhana2 roon, tapi sepertinya lebih dari itu. dimana ketika hal itu tercapai maka tekad untuk menjadi buddha akan terkalahkan dan tidak akan terwujud. yang saya tangkap seperti itu, tapi saya tidak ingat pencapaian apa.
ngobrol lagi di rumah bro kainyn nih.. ;DSilahkan, di sini memang bebas ngobrol. ;D
sore bro..
ini saya ada suatu pemikiran mengenai sila ke-1 tentang pembunuhan.
jika saya membeli sepotong ayam goreng di satu restaurant atau rumah makan tertentu, tentu saya tidak melanggar sila ke-1 karena ayam tersebut bukan di bunuh khusus untuk saya. apalagi kondisinya adalah ayam goreng tersebut sudah siap di goreng dan dipajang untuk di jual.
namun pada kasusnya jika saya ingin mengadakan suatu acara dengan mengundang sanak keluarga dan teman-teman dekat dan atas maksud tersebut saya memesan nasi kotak dalam jumlah besar lengkap dengan lauk pauknya pada sebuah restaurant. ini bagaimana? maksud saya, kita kan tidak tau apakah lauknya (katakanlah ayam) sudah tersedia sebelumnya atau disediakan atas permintaan kita.
1. bisa jadi restaurant tersebut menyediakan daging dalam freezer dalam jumlah besar
2. bisa jadi restaurant tersebut memotong ayam sesuai dengan jumlah pesanan, ini untuk menjaga supaya restaurant menyediakan daging yang fresh.
3. bisa jadi kombinasi keduanya, daging sudah di freezer namun karena pesanan banyak dan stock tidak mencukupi maka diadakan pembantaian ayam supaya bisa memenuhi pesanan.
dengan demikian jika terjadi pembunuhan atas perintah (dalam hal ini kita memesan daging ayam tersebut) tentu melanggar sila ke-1
nah sekarang jika kita akan mengadakan perjamuan besar apakah bijak jika memesan dari restaurant? atau kita masak sendiri dengan membeli dipasar ayam2 yang sudah dipotong?
masalahnya kebanyakan sekarang yang karena tuntutan kesibukannya, sehingga memesan di restaurant dianggap paling efektif dan efisien.
bagaimana pandangan anda bro?
Silahkan, di sini memang bebas ngobrol. ;Dberarti kalau makan ke restaurant seafood itu termasuk membunuh ya om??
Iya, memang betul bisa juga ketiga kemungkinan itu terjadi. Kalau untuk restoran, setahu saya mereka memang punya perkiraan stok. Jadi dalam sehari mereka memang jatahkan jumlah daging tertentu. Kalau memang mau 'aman' menghindari, sebaiknya memang tidak pesan lebih dahulu, tapi beli seadanya saja. Mungkin juga boleh dipikirkan alternatif dari daging karena menu-menu non-daging juga tidak kalah enaknya. :)
berarti kalau makan ke restaurant seafood itu termasuk membunuh ya om??
biasanya kan kita sendiri yang pilih hewannya untuk dimakan (untuk hewan yang masih hidup, misalnya kepiting)
berarti kalau makan ke restaurant seafood itu termasuk membunuh ya om??Iya, seperti kata bro Rico, karena kematiannya itu disebabkan langsung oleh kita, dikondisikan oleh keputusan kita.
biasanya kan kita sendiri yang pilih hewannya untuk dimakan (untuk hewan yang masih hidup, misalnya kepiting)
Bedanya, MacGyver selalu berhasil, kalau saya sering gagal. ;D
Sangat "berprestasi"! Waktu SMU 3, saya ranking 1... dari belakang.
Saya sangat menghargai pengetahuan, tapi tidak terlalu menghargai nilai akedemik.
Lha, Buddha Gotama 'kan sudah memberikan 'senjata' kalau diisengin hantu: Karaniya Metta Sutta.
Sebagai perumah-tangga pun kita juga bisa meminta bimbingan sangha atau umat lain (yang kompeten).
Nah, itu bedanya saya, bro. Kalau saya mengambil satu keputusan penting, harus 'jadi'. Jika saya mengambil keputusan menjadi petapa, 'lepas jubah' tidak ada dalam pikiran saya, kecuali kalau keadaannya memaksa. Begitu juga kalau mau menikah, 'cerai' tidak ada dalam pikiran saya, kecuali, sama juga, kalau keadaannya memaksa.
Kisah itu kalau ga salah Citta Hatthisariputta. Di masa lalu, dia menginginkan milik bhikkhu temannya, jadi menganjurkannya agar lepas jubah. Karena hal tersebut, maka dia tidak bisa bertahan lama di dalam Sangha. Terakhir dia jadi perumah-tangga, melihat istrinya yang lagi hamil, tidur dan air liurnya menetes, lalu dia jadi enggan dan kemudian pergi ke vihara. Di tengah jalan, sambil merenung, ia menjadi Sotapanna, dan setelah memaksa ditahbiskan yang ke tujuh kali, ia tidak pernah kembali lagi ke kehidupan perumah-tangga.
Coba tanya aja cewek2 di sini, ada yang mau 'test nikah' ato nggak. ;D
Kalau menurut saya, semua perkembangan ini memang adalah 'dampak' dari perkembangan budaya manusia saja. Dengan bertambahnya pengetahuan, iptek, maka hidup juga berubah menjadi kompleks. Perkembangan ini bagus dan bisa seimbang. Namun yang biasa bikin tidak seimbang adalah kebodohan/ketidak-pedulian dan ketamakan.
Ya, bisa juga. Dimulai dari diri sendiri saja, yang kecil-kecil. Jika kita berprinsip baik dan pantas, tidak perlu malu karena tidak mengikuti arus.
kalau sebagai seorang Buddhist yg menjual kue ...yg enaknya luarbiasa...Sepertinya bro 3K pernah menanyakan tentang hal ini sebelumnya. Saya pikir tidak ada masalah orang mau menjual barang semahal apapun juga adalah haknya dia. Konsumen juga tentu punya perhitungannya sendiri. Misalnya ada Bika Ambon merk "3K Cake" harga 200rb, terkenal, tapi banyak komplain karena kemahalan. Maka pihak lain juga bisa bersaing, misalnya muncul "KK Cake", harga 100rb, rasa hampir sama. Otomatis yang agak keberatan dengan harganya akan berpaling sendiri. Nantinya juga akan ada pesaing2 baru dengan daya tariknya sendiri, maka otomatis yang harganya dianggap terlalu tinggi, akan tidak laku. Kadang perbedaan harga juga disebabkan perbedaan kualitas. Kalau lagi musim jualan seperti lebaran atau imlek, itu banyak beredar kue2 kering, misalnya Lidah Kucing (Katetongen) berbagai harga, ada yang sekitar Rp. 15rb s/d Rp. 75rb per toples. Tapi memang rasanya beda, dari yang seperti krupuk sagu digoreng pakai gula, sampai yang terasa menteganya.
seberapa jauh harga yg boleh dijual dari cost (bahan n ongkos kerja) ?
contoh bika ambon... di Medan dijual mulai berkisar 18.5rb sd 75 rb....
nah kalau dgn ukuran yg sama...
bolehkan seorang Buddhist menjual kuenya yg luar biasa enak
dgn harga 200rb ? dan kenapa ?
Sepertinya bro 3K pernah menanyakan tentang hal ini sebelumnya. Saya pikir tidak ada masalah orang mau menjual barang semahal apapun juga adalah haknya dia. Konsumen juga tentu punya perhitungannya sendiri. Misalnya ada Bika Ambon merk "3K Cake" harga 200rb, terkenal, tapi banyak komplain karena kemahalan. Maka pihak lain juga bisa bersaing, misalnya muncul "KK Cake", harga 100rb, rasa hampir sama. Otomatis yang agak keberatan dengan harganya akan berpaling sendiri. Nantinya juga akan ada pesaing2 baru dengan daya tariknya sendiri, maka otomatis yang harganya dianggap terlalu tinggi, akan tidak laku. Kadang perbedaan harga juga disebabkan perbedaan kualitas. Kalau lagi musim jualan seperti lebaran atau imlek, itu banyak beredar kue2 kering, misalnya Lidah Kucing (Katetongen) berbagai harga, ada yang sekitar Rp. 15rb s/d Rp. 75rb per toples. Tapi memang rasanya beda, dari yang seperti krupuk sagu digoreng pakai gula, sampai yang terasa menteganya.
Ini berlaku untuk komoditi yang umum, kalau untuk barang yang dimonopoli, menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, sudah seharusnya disesuaikan dengan harga modal dan kemampuan masyarakatnya.
kalo gitu lebih mirip thomas alva edison ;D.Mungkin, kecuali bagian 'tukang nyolong ide' dan 'main kotor terhadap saingan', itu jelas tidak mirip ;D
hm... kalo keburu takut duluan kan senjatanya jadi ngak efektif ;D. bagaimana caranya biar rasa takut itu tidak menghinggapi kita duluan? ;DTakut itu timbulnya dari ilusi bentukan pikiran. Bagaimana cara mengatasinya ada banyak hal, misalnya lewat pengertian benar, sebab ketakutan itu biasanya timbul karena berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita ketahui, pahami, mengerti. Ketika telah dipahami, maka tidak timbul lagi ketakutan tersebut. Cara lain adalah dengan meditasi menenangkan diri dari kegelisahan atau 'melihat' proses pikiran sehingga menyadari bagaimana ketakutan itu timbul dan tenggelam.
kalo telah mengambil keputusan penting harus 'jadi', tapi bila ngak 'jadi-jadi' terus apa yang akan om kutho lakukan? ;DAda dua pilihan:
hahaha... makanya ngak masalahkan kita coba-coba, karena blom tentu orang lain juga mau kita cobai :P.Iya, kalau sama2 mau sih, sepertinya memang ga masalah, yang penting sama2 tahu risikonya saja.
bro KK, ini gw tanya lagi, soalnya family gw ada yg suka bika ambon...Kalo menurut bro 3K sendiri harganya itu pantas ato nggak? 'Kan bisa dilihat dari bahan dasar, modal, kualitas, dsb. Tamak atau tidak itu sebetulnya lebih internal sifatnya, susah ditentukan dari 'tampak luar' saja. Misalnya kalau dia menawarkan kualitas kebersihan yang sangat ketat sehingga biaya tinggi, atau misalnya dari setiap penjualan itu disisihkan khusus buat dana. Kita tidak ada yang tahu motivasi dan niatnya.
dan dia pilih yg 75rb, home made... plus harus pesan dahulu...
sedangkan yg lain mulai harga 18.5rb.... dan rata2 25rb gitu.....
dlm pikiran gw.. apakah dgn jual malah... si penjual dpt di cap TAMAK oleh pembeli ?
utk komoditi umum, ya juga tergantung dan infra structur... keadaan demaga, transportasi, dan izin IMPORT dll....yg menjadi kalkulasi harga pokok bahan tsb...
Mungkin, kecuali bagian 'tukang nyolong ide' dan 'main kotor terhadap saingan', itu jelas tidak mirip ;D
Takut itu timbulnya dari ilusi bentukan pikiran. Bagaimana cara mengatasinya ada banyak hal, misalnya lewat pengertian benar, sebab ketakutan itu biasanya timbul karena berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita ketahui, pahami, mengerti. Ketika telah dipahami, maka tidak timbul lagi ketakutan tersebut. Cara lain adalah dengan meditasi menenangkan diri dari kegelisahan atau 'melihat' proses pikiran sehingga menyadari bagaimana ketakutan itu timbul dan tenggelam.
Ada dua pilihan:
1. Mengubah strategi dalam mewujudkannya
2. Kalau sudah menyadari tidak ada jalan lain, maka sebaiknya mengubah prioritas dalam pola pikir dari 'harus jadi' menjadi 'boleh jadi, boleh nggak' (pasrah.com)
Iya, kalau sama2 mau sih, sepertinya memang ga masalah, yang penting sama2 tahu risikonya saja.
selamat sore, saya mau bertanya. apa anda pernah melihat film hantu thailand yang berjudul nangnak?
kabarnya itu crita nyata yg sudah 100 thn lebih, dimana dalam cerita itu, seorg bhikkhu menciptakan paritta yang berjudul jinapanjara. untuk menolong org. mohon pencerahannya...
apakah paritta yang diciptakan oleh seorang bhikkhu itu benar - benar sakti atau karena karma kita sendiri? sehingga ketika kita membacakan paritta, kita terbebas dari marabahaya dll..
thanks before
selamat sore, saya mau bertanya. apa anda pernah melihat film hantu thailand yang berjudul nangnak?
kabarnya itu crita nyata yg sudah 100 thn lebih, dimana dalam cerita itu, seorg bhikkhu menciptakan paritta yang berjudul jinapanjara. untuk menolong org. mohon pencerahannya...
apakah paritta yang diciptakan oleh seorang bhikkhu itu benar - benar sakti atau karena karma kita sendiri? sehingga ketika kita membacakan paritta, kita terbebas dari marabahaya dll..
thanks before
:))Kalau karena kekuatan kamma, berarti apa gunanya pake helm?
Misalnya saya tanya balik: kalau kita pergi naik motor lalu jatuh dan terbentur di kepala, tapi untung pakai helm bagus. Apakah kita selamat karena helm atau karena kekuatan kamma? --> tentunya kalau sesuai pemahaman saya, sy akan menjawab karena kekuatan kamma..
apakah sang buddha mengatakan kita boleh menciptakan paritta dan lain sebagainya?
dibuku paritta suci, ada dijelaskan bahwa paritta itu adalah perlindungan....perlindungan spt apakah itu?
Kalau karena kekuatan kamma, berarti apa gunanya pake helm?Hukum kamma itu 'kan hukum sebab-akibat, jadi logikanya: pakai helm (sebab) dan selamat (akibat) = kekuatan kamma. Atau mungkin pemahaman saya yg salah. Pendapat om?
Sama aja kalau orang sakit sembuh karena kekuatan kamma, apa gunanya ke dokter ato makan obat? ;D
Paritta tertentu memang mempunyai 'kekuatan', gw pernah mencari sesuatu barang penting dan diubek2 ga ketemu. Setelah membaca paritta tertentu entah bagaimana sepertinya barang itu muncul sendiri di tempat yang sudah pernah gw bongkar sebelumnya tapi tidak ketemu.
Paritta tertentu memang mempunyai 'kekuatan', gw pernah mencari sesuatu barang penting dan diubek2 ga ketemu. Setelah membaca paritta tertentu entah bagaimana sepertinya barang itu muncul sendiri di tempat yang sudah pernah gw bongkar sebelumnya tapi tidak ketemu.
Hukum kamma itu 'kan hukum sebab-akibat, jadi logikanya: pakai helm (sebab) dan selamat (akibat) = kekuatan kamma. Atau mungkin pemahaman saya yg salah. Pendapat om?
gue juga pernah mengalami peristiwa serupa, suatu malam, gue kehilangan kunci mobil di rumah, cari2 di seluruh penjuru rumah tidak ketemu, akhirnya saya putuskan untuk mandi dulu dan siap2 untuk berangkat naik taxi. tapi setelah selesai mandi dan berpakaian, kunci mobil entah bagaimana seperti muncul sendiri di atas meja
kesimpulan: mandi juga bisa menemukan barang hilang.
Sebetulnya hukum kamma bukan hukum sebab-akibat secara umum kita ketahui, misalnya karena makan, berakibat kenyang. Pakai helm, kalo jatuh melindungi kepala; sakit makan obat sembuh; semua itu hukum alam. Hukum kamma membahas akibat dari perbuatan baik/buruk yang menghasilkan kebahagiaan/penderitaan.Di mana saya bisa membaca tentang hukum alam ini di sutta, om? (maaf kalau sutta-minded)
Prosesnya hukum kamma itu juga tidak terlepas dari hukum-hukum yang lainnya, maka apakah satu kejadian murni karena hukum alam ataukah ada hukum kamma berperan di sana juga sulit diketahui. Jadi hukum kamma ini sebetulnya adalah konsep untuk menjelaskan bahwa yang terjadi pada makhluk bukanlah 'random event' juga bukan 'tersurat oleh sosok adikuasa', namun adalah akibat dari perbuatannya sendiri di masa lampau.
Di mana saya bisa membaca tentang hukum alam ini di sutta, om? (maaf kalau sutta-minded)Kalau di sutta, tidak ada, tapi bisa ditemukan di Abhidhamma, dan kitab komentar.
Kalau di sutta, tidak ada, tapi bisa ditemukan di Abhidhamma, dan kitab komentar.
Kitab komentarnya pasti kitab komentar abhidhamma. ::)
Karena di sutta kan tidak ada, mana mungkin sutta yang tidak ada bisa ada kitab komentarnya.
Sayang sekali katanya (according to some scholars and several topics in DC forum), abhidhamma itu adalah merupakan tambahan belakangan di Konsili ke-4, bukan ajaran langsung dari Sang Buddha. :whistle:
Kalau di sutta, tidak ada, tapi bisa ditemukan di Abhidhamma, dan kitab komentar.Ok, jadi hukum alam seperti itu tidak ada di sutta. Pertanyaan lain, apakah benar sesuai postingan om, kalau hukum kamma hanya membahas akibat dari perbuatan baik atau buruk, bukan yg lain. Apa ada di sutta? Jadi bagaimana dengan perbuatan netral? Lalu bukankah memakai helm, makan, dan minum obat juga termasuk perbuatan? Mohon pencerahannya.
Untuk fisika, biologi, dsb, juga bisa ditemukan di pelajaran dan pembahasan sains, tentunya ;D
Kayanya di kitab komentar digha nikaya. Di bhagavant.com ad tulis.
Kitab komentarnya pasti kitab komentar abhidhamma. ::)Seperti dikatakan terwelu, ada juga di komentar DN.
Karena di sutta kan tidak ada, mana mungkin sutta yang tidak ada bisa ada kitab komentarnya.
Sayang sekali katanya (according to some scholars and several topics in DC forum), abhidhamma itu adalah merupakan tambahan belakangan di Konsili ke-4, bukan ajaran langsung dari Sang Buddha. :whistle:
Abhidhamma dan kitab komentar memang tambahan belakangan, tapi kita juga sebaiknya jangan secara membuta menolak bahwa itu tidak sesuai dengan Ajaran Buddha. Seringkali komentar dan Abhidhamma menjelaskan konteks dan latar belakang dibabarkannya suatu sutta, juga menjelaskan istilah-istilah yang dipahami umum pada saat itu, namun tidak umum pada masa sekarang.betul.
Seperti dikatakan terwelu, ada juga di komentar DN.
Abhidhamma dan kitab komentar memang tambahan belakangan, tapi kita juga sebaiknya jangan secara membuta menolak bahwa itu tidak sesuai dengan Ajaran Buddha. Seringkali komentar dan Abhidhamma menjelaskan konteks dan latar belakang dibabarkannya suatu sutta, juga menjelaskan istilah-istilah yang dipahami umum pada saat itu, namun tidak umum pada masa sekarang.
betul.
imo, sikap yang tepat adalah jangan membuta menolak dan juga jangan membuta menerima.
dikunyah pelan2, dicerna, dibandingkan dan diteliti baik2...
Kebetulan gw sendiri termasuk orang yang berpendapat bahwa Abhidhamma adalah ajaran langsung dari Sang Buddha yang diajarkan secara ringkas tak terputus waktu Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa. Dan kemudian mulai menjadi terperinci dan lebih detail setelah diturunkan ke bhante Sariputta dan murid2nya. Makanya isinya nyambung sekali tetapi lebih detail dan teknis ketimbang sutta dan komentarnya.
Ok, jadi hukum alam seperti itu tidak ada di sutta.Iya, tidak ada pembahasannya di sutta.
Pertanyaan lain, apakah benar sesuai postingan om, kalau hukum kamma hanya membahas akibat dari perbuatan baik atau buruk, bukan yg lain. Apa ada di sutta?Sejauh yang saya ketahui, pembahasan kamma selalu dalam konteks perbuatan (lewat pikiran, ucapan, dan jasmani) dan akibat dari perbuatan (yang berupa perasaan [menyakitkan, netral, menyenangkan] di masa depan [dalam kehidupan sama, kehidupan setelah kehidupan ini, atau kehidupan berikut2nya]).
Jadi bagaimana dengan perbuatan netral? Lalu bukankah memakai helm, makan, dan minum obat juga termasuk perbuatan? Mohon pencerahannya.Dalam konteks kamma, batasannya adalah perbuatan yang berkenaan dengan moralitas. Jika tidak ada relevansinya, maka itu tidak dibahas.
Kebetulan gw sendiri termasuk orang yang berpendapat bahwa Abhidhamma adalah ajaran langsung dari Sang Buddha yang diajarkan secara ringkas tak terputus waktu Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa. Dan kemudian mulai menjadi terperinci dan lebih detail setelah diturunkan ke bhante Sariputta dan murid2nya. Makanya isinya nyambung sekali tetapi lebih detail dan teknis ketimbang sutta dan komentarnya.
di mana tercatat bahwa Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa? apakah tidak mengherankan bahwa event penting ini tidak tercatat dalam nikaya-nikaya?Vassa di Tavatimsa, di alam Naga, dan di Asannasattaloka, semua classified above top secret. Tidak ada dalam dokumen resmi.
Ini adalah pembahasan ke Buddhisme Awal pra sektarian, yang cukup rumit dan sangat mengguncang iman (yang kendatipun diklaim tidak ada dalam agama Buddha, nyatanya sangat sarat di kalangan Buddhis). Kalau tertarik, marilah kita bahas.
"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya.":-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).
Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).
Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.
setuju, saya sendiri hanya menerima jika selaras dengan Nikaya, dan hanya menolak jika bertentangan dengan Nikaya. Jika bukan selaras dan bukan bertentangan, yaitu sutta tidak menjelaskan komentar atau komentar tidak menjelaskan Nikaya. maka sikap saya adalah bukan menerima juga bukan menolak.
dilihat dari semua segi sejarah perpecahan, early buddhism dan perbandingan naskah2 kuna beserta masanya, klaim abhidhamma merupakan sabda Sang Buddha itu sudah gugur. semua skolar sepakat untuk yang ini (kecuali mungkin skolar berbasis iman).Bantu co-pas ke sini, bang morph. Sebagian saja.
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).
Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.
untuk ke dua kalinya:"Cukuplah, Vepacitti, biarlah demikian. Janganlah menanyakan itu kepadaku."
"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
Bantu co-pas ke sini, bang morph. Sebagian saja.stamina saya tersedot habis menjelaskan istilah "hitam putih" karena dituduh berkelit (sebagian besar stamina habis gara2 tepok jidat)...
"Cukuplah, Vepacitti, biarlah demikian. Janganlah menanyakan itu kepadaku."
stamina saya tersedot habis menjelaskan istilah "hitam putih" karena dituduh berkelit (sebagian besar stamina habis gara2 tepok jidat)...Jangan pelit-pelit lah, bang... ;D Ya sudah kalo sekarang sudah habis, besok harusnya sudah recharged balik.
apakah sakka udah kalah, sekarang tavatimsa dikuasai oleh vepacitti? atau ini sekedar serangan sporadis pada kumis?Sebab Vepacitti lebih sangar dan menyukai lautan, juga main 'cajon box' yang dibuat dari capit kepiting raksasa badan emas.
untuk ke tiga kalinya:
"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
di mana tercatat bahwa Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa? apakah tidak mengherankan bahwa event penting ini tidak tercatat dalam nikaya-nikaya?
Sebelumnya gw jelaskan dulu bahwa gw not studied (all) buddhist texts for a living, jadi jika sudah ada 'orang pintar' yang meringkasnya dan dia diyakini kompeten di kalangan buddhist sendiri sebagai Tipitakadhara maka cukuplah itu sebagai acuan gw. Orang itu adalah Mingun Sayadaw, yang merangkum The Great Chronicle of Buddhas dan diterbitkan DC dengan judul RAPB.
Beliau menulis di buku III:
Chapter 25
KEEPING THE 7th. VASSA AND PREACHING THE ABHIDHAMMA AT TAVATIMSA.
Having established Ankura and Indaka devas in the Fruition stage of Sotapatti, the Tathagata continued to stay on to keep up the 7th. Vassa sitting crossed-legged on the throne of Sakka in Tavatimsa and preached the Abhidhamma, day and night, to all those devas from ten thousand world systems, who rallied round the Tathagata, with Santusita deva at their head. He started with the 'Law of good action' and its result (Kusala Dhamma); bad action and its result (Akusala Dhamma); Neutral or amoral or indeterminate action; (Abyakata Dhamma) teaching round the clock, like the river of the sky flowing continuously, for the duration of the lent or vassa.
Jika menurut anda vassa ke-7 Sang Buddha bukan di Tavatimsa, di manakah sebetulnya Buddha bervassa?
Di Nikaya mana dituliskan?
Monggo....
Tipitakadhara Mingun Sayadaw menghapalkan seluruh Nikaya plus kitab komentar, dan rangkumannya itu disusun berdasarkan Nikaya+Komentar. tapi Nikaya2 sama sekali tidak mencantumkan episode Sang Buddha bervassa di Tavatimsa, jadi bisa dipastikan kisah ini berasal dari non Nikaya
Betul sekali.
Lantas apakah bisa dibuktikan bahwa vassa ke-7 Sang Buddha bukan di Tavatimsa seperti yang anda katakan sebelumnya?
Dutiyampi:
=> Lantas Nikaya mana yang bisa membantah soal vassa ke-7 di Tavatimsa ini?
Nikaya mana yang menyebutkan di tempat lain?
Kalau Nikaya tidak bisa menyebutkan, mungkin saja komentar yang menyebutkan vassa ke-7 di Tavatimsa itu benar. Sama seperti banyak hal lain dalam sutta / nikaya yang diperjelas oleh komentarnya.
saya tidak berani mengatakan bahwa kisah itu benar atau tidak benar tanpa adanya data yg mendukung. tapi yg menjadi keanehan bagi saya adalah bahwa bahkan episode Sang Buddha mengunjungi Yakkha saja tercatat dalam Nikaya, tetapi kejadian penting pembabaran Abhidhamma kenapa sama sekali tidak ada petunjuk sama sekali dalam Nikaya, bahkan secara implisit pun tidak.
Nikaya disusun pada saat Konsili pertama walaupun tidak secara tertulis dan namanya juga mengalami perubahan, namun isinya tetap sama. Adalah lucu jika mengharapkan Nikaya mencatat suatu bantahan atas suatu peristiwa yg baru akan dikarang ratusan tahun kemudian.
Terlebih lagi, Nikaya mencatat khotbah2 yg dibabarkan oleh Sang Buddha, bukan mencatat apa yg tidak dibabarkan oleh Sang Buddha. Nikaya mencatat apa yg terjadi pada saat suatu khotbah dibabarkan, bukan mencatat apa yg tidak terjadi.
Kalau dikatakan tidak ada dalam nikaya manapun tidak benar juga. Ada dalam Khuddaka Nikaya kan, khususnya di Jataka dan Dhammapada Attakatha? Tapi yang dimasalahkan buat sebagian orang adalah, menurut beberapa scholars KN termasuk tambahan belakangan.
The Buddha spent three months in Tāvatimsa, preaching all the time, seated on Sakka's throne, the Pandukambalasilāsana, at the foot of the Pāricchattaka tree. Eighty crores of devas attained to a knowledge of the truth. This was in the seventh year after his Enlightenment (J.iv.265; DhA.iii.216f; BuA. p.3). It seems to have been the frequent custom of ascetics, possessed of iddhi-power, to spend the afternoon in Tāvatimsa (E.g., Nārada, J.vi.392; and Kāladevala, J.i.54).
Kalau hanya memakai asumsi, bisa saja orang berasumsi bahwa tidak tercatat di Nikaya karena tidak ada bhikkhu (manusia) yang ikut hadir bersama Buddha mengikuti khotbah di Tavatimsa. Sedangkan sutta2 yang Nikaya kan dihadiri oleh bhikkhu sebagai pendengar atau peserta.
Gw tidak minta Nikaya yang membantah suatu peristiwa, cukup Nikaya yg menyebutkan di mana vassa ke-7 sebenarnya. Kalau ini disebutkan dalam Nikaya, maka otomatis membantah komentar yg menyebutkan di Tavatimsa. As simple as that.
Selama tidak ada petunjuk vassa di tempat lain (dalam Nikaya), maka komentar yang menyebutkan vassa di Tavatimsa itu bisa saja benar. Dan anda tetap tidak bisa mengklaim ini tidak benar hanya berdasarkan asumsi koq peristiwa besar tidak masuk Nikaya. ==> Kalau hanya memakai asumsi, bisa saja orang berasumsi bahwa tidak tercatat di Nikaya karena tidak ada bhikkhu (manusia) yang ikut hadir bersama Buddha mengikuti khotbah di Tavatimsa. Sedangkan sutta2 yang Nikaya kan dihadiri oleh bhikkhu sebagai pendengar atau peserta.
Perlu dibedakan istilah Abhidhamma tidak sama dengan Abhidharma dan tidak mengacu kepada 'barang' yang sama.Hanya masalah bahasa, karena yang beredar pertama kali memang Abhidharma-abhidharma (berbahasa sanskrit). Itu yang muncul 200 tahun mahaparinirvana. Kalau Abhidhamma (alias Abhidharma Theravada dalam Pali), itu munculnya setelah kelompok Tāmraparnīya dari Vibhajyavada berkembang di Srilanka, yang berarti Abhidhamma itu bahkan lebih muda 100 tahun lagi dibanding Abhidharma.
Abhidhamma adalah istilah untuk himpunan Pitaka yang ketiga dari canon Pali milik Theravada, sedangkan Abhidharma untuk pitaka yang ketiga dari kitab non Pali (non Theravada, untuk memudahkan definisi sebut saja Tripitaka Mahayana).
Jadi menyebut abhidharma di atas merujuk kepada abhidharma yang bukan Theravada. Demikian agar pembaca tidak salah mengartikan.
Ketika Sang Buddha pergi ke alam Brahma bertemu dengan Brahma Baka, di sana Sang Buddha juga solo tanpa didampingi oleh bhikkhu (manusia). kok bisa tercatat dalam sutta? Dan lagi, ada kontrak antara Ananda dan Sang Buddha yaitu bahwa khotbah apa pun yg dibabarkan ketika Ananda tidak berada di TKP maka Sang Buddha harus mengulanginya kepada Ananda.
mungkin jawaban yang diinginkan, dari tahun pertama sampai ke-45 dibawah apakah rata2 semuanya ada sutta atau vinaya yang berhubungan dengan masing2 tahun atau range tahun itu. ataukah ada kontradiksi di sutta vinaya yang menyebutkan tahun ke-7 Sang Buddha ada di tempat lain.Betul, sebetulnya Abhidharma adalah usaha untuk merangkum secara sistematis apa yang ada di sutta-vinaya, namun tentu saja dengan interpretasi masing-masing yang berbeda, akhirnya timbullah aliran yang berbeda. Pada masa awal perpecahan, 4 Nikaya yang dipakai hampir sama persis satu sama lain, tidak ada pertentangan masalah ini. Vinaya juga hanya berbeda hal-hal minor. Vinaya ini juga menarik karena kalau klaim dari Sthavira, seolah-olah Mahasanghika mau menyunat vinaya; sementara dari Mahasanghika klaim bahwa Sthavira yang menambah-nambah vinaya. Namun kalau diteliti dari strukturnya, ternyata vinaya yang dipertahankan Mahasanghika ini yang lebih tua, dan pengelompokannya belum diubah. Meski demikian, penambahan vinaya Sthavira ini juga sepertinya bukan hal yang buruk, sebab bahkan Mahayana yang berkembang di China (yang adalah turunan dari turunannya Mahasanghika) justru mengadopsi vinaya Sarvastivada dan Dharmaguptaka yang adalah turunan Sthavira.
http://www.buddhanet.net/bud_lt17.htm
sebenernya peristiwa sebesar itu bisa keluputan dari sutta vinaya itu sudah merupakan tanda tanya besar...
di early buddhism juga banyak sekte2 lain yang mengarang abhidhamma dan mereka mencantumkan nama pengarangnya, bukan dari Sang Buddha. sampai hari ini abhidhamma versi theravada dan sarvastivada masih utuh. abhidhamma2 itu juga berumur kurang lebih sama yaitu abad 3-5 sebelum masehi. dari sekian banyak versi abhidhamma itu isinya berbeda2 satu dengan yang lain. ini berbeda dengan sutta, dimana setiap sekte2 awal itu masing2 suttanya mirip satu dengan yang lainnya, bahkan untuk sutta2 yang "tua" itu persis sama. jelas ini artinya abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
Argumen anda (bold) salah menurut ini:Bukannya justru dibilang itu brahma yang berbeda?
Bakabrahma Sutta
Relates the story of the Buddha's visit to Baka und the conversation between Baka und the Buddha on that occasion. The incidents of Baka's previous life are referred to but without detail (S.i.142 f). Cp. Brahmanimantika Sutta.
This sutta cannot be identical mit the Bakabrahma Sutta erwähnt in Theragāthā Commentary und quoted there in full (ii. 185 f). It is stated there that once when the Buddha was at Jetavana a certain Brahmā conceived the view that no monk or recluse could come to his world. The Buddha, aware of this, went to the Brahma world und stood in the air enveloped in flame.
He was followed by Moggallāna, Kassapa, Kappina und Anuruddha. Moggallāna asked the Brahmā if he still held the same view, to which he replied that he no longer thought that he was eternal. (This shows that the Brahmā of the story was most probably Baka.)
When the Buddha und his followers had departed, the Brahmā sent one of his retinue to Moggallāna to find out if there were other disciples of the Buddha as mighty as he. Moggallāna's answer was that there were many such (the sutta is given at S.i.144 ff., but there the name given is “Aparāditthi” Sutta).
Source : http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm (http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm)
Jadi ketika Buddha ke alam brahma dan bertemu Brahma Baka, diikuti juga oleh bhante Moggallana, Kassapa, Kappina, dan Anuruddha. Thus bisa masuk ke dalam sutta / nikaya, seperti yg gw asumsikan sebelumnya. Sedangkan ketika ke Tavatimsa tidak diikuti bhikkhu dan manusia.
Argumen anda (bold) salah menurut ini:
Bakabrahma Sutta
Relates the story of the Buddha's visit to Baka und the conversation between Baka und the Buddha on that occasion. The incidents of Baka's previous life are referred to but without detail (S.i.142 f). Cp. Brahmanimantika Sutta.
This sutta cannot be identical mit the Bakabrahma Sutta erwähnt in Theragāthā Commentary und quoted there in full (ii. 185 f). It is stated there that once when the Buddha was at Jetavana a certain Brahmā conceived the view that no monk or recluse could come to his world. The Buddha, aware of this, went to the Brahma world und stood in the air enveloped in flame.
He was followed by Moggallāna, Kassapa, Kappina und Anuruddha. Moggallāna asked the Brahmā if he still held the same view, to which he replied that he no longer thought that he was eternal. (This shows that the Brahmā of the story was most probably Baka.)
When the Buddha und his followers had departed, the Brahmā sent one of his retinue to Moggallāna to find out if there were other disciples of the Buddha as mighty as he. Moggallāna's answer was that there were many such (the sutta is given at S.i.144 ff., but there the name given is “Aparāditthi” Sutta).
Source : http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm (http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm)
Jadi ketika Buddha ke alam brahma dan bertemu Brahma Baka, diikuti juga oleh bhante Moggallana, Kassapa, Kappina, dan Anuruddha. Thus bisa masuk ke dalam sutta / nikaya, seperti yg gw asumsikan sebelumnya. Sedangkan ketika ke Tavatimsa tidak diikuti bhikkhu dan manusia.
...bahkan Mahayana yang berkembang di China (yang adalah turunan dari turunannya Mahasanghika) justru mengadopsi vinaya Sarvastivada dan Dharmaguptaka yang adalah turunan Sthavira.detour dikit nih. karena ini thread anda, saya pikir sah2 aja kalo saya belokin....
Balik lagi, yang paling kontras antar aliran hanyalah Abhidharmanya saja. Semakin ke belakang, semakin seru legenda yang berkembang. Seperti kita tahu ada legenda pengajaran di Tavatimsa, juga ada legenda perpustakaan alam naga, bahkan ada yang wawancara Maitreya. Semua mengembangkan alirannya sendiri.secara timeline dokumen2 juga terlihat jelas...
detour dikit nih. karena ini thread anda, saya pikir sah2 aja kalo saya belokin....;D betul. Saya ulangi aturannya: "bebas ngobrol ke mana-mana dan topik apapun."
dalam perdebatan mengenai kebangkitan kembali bhikkhuni, tidak ada yang mempermasalahkan penahbisan bhikkhuni dengan memakai bhikkhuni dari aliran lain... padahal saya dah tungguin.Bukan hanya tidak mempermasalahkan, kalau saya justru sangat dukung kalau ada sekelompok wanita mau menjalankan kehidupan suci berdasarkan dhamma-vinaya. Walaupun bukan penahbisan penuh seperti di vinaya, bisa saja dilakukan dengan cara lain, istilah lain, tanpa perlu klaim status sebagai "bhikkhuni" apalagi aliran tertentu (yang sudah ada pakemnya sendiri).
bagaimana pendapat anda mengenai penahbisan bhikkhuni yang dilakukan dengan dua sisi, pertama dengan bhikhuni/biksuni yang bervinaya dharmagupta, kedua dengan bhikkhu theravada? sah, haram, tercemar, gak sah, valid?Jika seseorang telah ditahbiskan dalam dhamma-vinaya yang berbeda, maka ketika ingin ditahbiskan dalam dhamma-vinaya Theravada, seharusnya mengalami masa percobaan 4 bulan, lalu bhikkhu dan bhikkhuni menilainya apakah layak ditahbiskan. Tapi karena sangha bhikkhuni Theravada tidak ada, lalu siapa yang mau mengamatinya dalam masa percobaan? Para bhikkhu? ;D
secara timeline dokumen2 juga terlihat jelas...... dan bukti eksistensi ring of power ada di buku Lord of the Ring.
abhidhamma muncul secara tertulis di konsili srilanka. tidak ada bukti dokumen2 ataupun catatan lain sebelum masa itu.
secara "kebetulan" semua catatan dan "bukti2" yang menyebutkan tentang abhidhamma ternyata dikarang dan digubah
pada masa yang sama atau sesudahnya oleh pihak yang sama, mulai dari atthakattha2 keluaran srilanka, kitab dipavamsa
dan mahavamsa keluaran srilanka...
menyebutkan atau mengquote dokumen2 itu sebagai bukti sama halnya dengan menyatakan bahwa bukti2 keberadaan
lord voldemort ada di buku harry potter 1 - 7...
tambahan lagi, di mata saya kredibilitas kitab "bukti" itu jatuh setelah membaca isinya yang mengejutkan (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18007.0)...
Secara pribadi saya udh beberapa kali terguncang saddha saya. Dulu pertama kali mengenal ajaran Buddha dari sebuah vihara Mahayana di kota saya, jd mengenal ajaran Mahayana dan sutra2nya pada awalnya. Kemudian terguncang saddha-nya krn baca2 buku Theravada dan sutta Pali yg ternyata saya lbh condong ke aliran Theravada. Mempelajari sedikit Abhidhamma. Setelah mempelajari lbh banyak karya2 para bhikkhu scholar, tambah terguncang lg saddha saya krn ternyata baik Mahayana maupun Theravada itu sektarian. Sekarang maunya mempelajari Buddhisme pra-sektarian spt yg diajarkan Sang Buddha.Dari perbandingannya saja. Padanan 4 Nikaya yang masih bertahan itu 'kan Agama. Harusnya sebagian besar isinya masih banyak yang sama secara makna. Untuk mengetahui yang seasli-aslinya, saya pikir sih sudah tidak mungkin karena memang pada masa tradisi lisan sebelum perpecahan, tidak ada catatan-catatan yang bisa jadi rujukan. Tapi minimal jika kita fokus pada akarnya, bukan cabangnya yang sudah melebar jauh, minimal bisa didapatkan yang 'mendekati' pra-sektarian itu. Semoga.
Pertanyaannya, apakah mungkin kita mempelajari/mengetahui Buddhisme pra-sektarian dari 4 Nikaya Pali?
Secara pribadi saya udh beberapa kali terguncang saddha saya. Dulu pertama kali mengenal ajaran Buddha dari sebuah vihara Mahayana di kota saya, jd mengenal ajaran Mahayana dan sutra2nya pada awalnya. Kemudian terguncang saddha-nya krn baca2 buku Theravada dan sutta Pali yg ternyata saya lbh condong ke aliran Theravada. Mempelajari sedikit Abhidhamma. Setelah mempelajari lbh banyak karya2 para bhikkhu scholar, tambah terguncang lg saddha saya krn ternyata baik Mahayana maupun Theravada itu sektarian. Sekarang maunya mempelajari Buddhisme pra-sektarian spt yg diajarkan Sang Buddha.
Pertanyaannya, apakah mungkin kita mempelajari/mengetahui Buddhisme pra-sektarian dari 4 Nikaya Pali?
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;DSaddha idealnya didapat karena kita memahami dan menembus sesuatu hal, bukan karena tertulis di kitab, 'kan? Jadi kalau kita menjalankan apa yang ada, membuktikan sendiri kebenarannya, yah ga mungkin lagi berpindah.
Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
Saddha idealnya didapat karena kita memahami dan menembus sesuatu hal, bukan karena tertulis di kitab, 'kan? Jadi kalau kita menjalankan apa yang ada, membuktikan sendiri kebenarannya, yah ga mungkin lagi berpindah.jika sudah tau mana yg benar n salah,trus gak bisa di laksanakan krn lingkungan gak memungkinkan,trus harus gaimana Ko KK,diam aja dengan pikirannya blm waktunya berbuah,atau menerapkan dgn resiko yg harus di terima,krn gak mungkin keluar dari lingkungan tersebut,atau gaimana,bosan terjerat dalam lingkaran laba2 yg berputar di sisi itu trus,thanks
Makin banyak belajar bukan makin tipis saddhanya, tapi makin luas sudut pandang dan pola pikirnya, akibatnya tidak sembarangan menerima sesuatu sebagai kebenaran, tapi diselidiki dulu dari semua sisi.
jika sudah tau mana yg benar n salah,trus gak bisa di laksanakan krn lingkungan gak memungkinkan,trus harus gaimana Ko KK,diam aja dengan pikirannya blm waktunya berbuah,atau menerapkan dgn resiko yg harus di terima,krn gak mungkin keluar dari lingkungan tersebut,atau gaimana,bosan terjerat dalam lingkaran laba2 yg berputar di sisi itu trus,thanksBukan diam saja, tapi diusahakan untuk keluar dari sana. Tapi kadang memang tidak bisa instant dan harus bersabar. Jangan ambil keputusan ekstrem juga, akan cenderung tidak bijaksana, apalagi kalau yang melandasinya adalah emosi.
Dengan dasar apa kita meyakini 4 Nikaya awal itu berasal dari Buddha (atau setidak-nya siswa utama buddha) ?Dengan dasar bahwa memang 4 Nikaya itu telah ada sebelum perpecahan, dan secara konsisten 4 Nikaya juga dianut oleh semua aliran-aliran Buddhis awal.
Dengan dasar bahwa memang 4 Nikaya itu telah ada sebelum perpecahan, dan secara konsisten 4 Nikaya juga dianut oleh semua aliran-aliran Buddhis awal.
Bukan hanya tidak mempermasalahkan, kalau saya justru sangat dukung kalau ada sekelompok wanita mau menjalankan kehidupan suci berdasarkan dhamma-vinaya. Walaupun bukan penahbisan penuh seperti di vinaya, bisa saja dilakukan dengan cara lain, istilah lain, tanpa perlu klaim status sebagai "bhikkhuni" apalagi aliran tertentu (yang sudah ada pakemnya sendiri).kenapa harus aliran tertentu? ya setiap orang berbeda2, dan tentunya ada wanita yang lebih cocok dengan ajaran theravada.
Yang jadi pertanyaan buat saya, kalau memang niatnya menjalankan kehidupan petapa, kenapa harus mati-matian dapat status 'bhikkhuni aliran tertentu'? Karena saya pribadi kalau memang terkendala demikian, walaupun harus dapat julukan 'Nigantha' pun tidak masalah, yang penting saya jalankan dhamma-vinaya yang saya yakini dengan baik.
Jika seseorang telah ditahbiskan dalam dhamma-vinaya yang berbeda, maka ketika ingin ditahbiskan dalam dhamma-vinaya Theravada, seharusnya mengalami masa percobaan 4 bulan, lalu bhikkhu dan bhikkhuni menilainya apakah layak ditahbiskan. Tapi karena sangha bhikkhuni Theravada tidak ada, lalu siapa yang mau mengamatinya dalam masa percobaan? Para bhikkhu? ;Dsikkhamānā selama dua tahun itu adalah perkembangan belakangan menurut beberapa skolar:
Omong-omong update legenda berdasarkan penambahan, ini juga terjadi ketika sutra-sutra Mahayana telah banyak sekali menjamur di sekitar abad 1 SM. Kalau menyisipkan 1 atau 2 ke dalam nikaya, mungkin masih tidak ketahuan. Tapi kalau sudah ratusan kitab, tentu perlu penyesuaian sejarah. Maka beredar lagi legenda bahwa pada 3 bulan Mahaparinirvana, Mahakasyapa menggelar konsili hinayana di mana Upali mengulang vinaya, Ananda mengulang sutra, dan Anurrudha mengulang Abhidharma. (Perhatikan versi 1.1 sudah ada abhidharmanya, sedangkan di versi beta, hanya ada sutra-vinaya.) Dan pada saat bersamaan, ada konsili tandingan, konsili mahayana, yang lebih mulia, lebih dalam, yang digelar oleh Samantabhadra di mana Maitreya mengulang vinaya Mahayana, Vajrapani mengulang sutra Mahayana, dan Manjusri mengulang abhidharma Mahayana.yah begitulah... terlalu mencolok untuk sutra2 mahayana...
Belum lagi legenda pemutaran 3 roda dharma yang sebetulnya membuat saya ingin membuat legenda yang ke empat. Maksudnya supaya jangan dhamma seperti bajaj yang punya 3 roda, minimal kancil yang beroda 4. Smoga orang-orang kreatif di masa depan bisa membuat legenda sampai 10 roda dharma, biar jadi tronton, atau sekalian traktor trailer 18 roda.
itu kan kisah-nya... dari darimana kita meyakini isi 4 Nikaya itu berasal dari Buddha (dan siswa utama-nya) ?
Kalau cerita konsili ke-1, cerita konsili ke-2 dan bahkan cerita konsili ke-3... kita tahu-nya adalah pengulangan secara lisan...
Konsili ke-1 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)
Konsili ke-2 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)
Konsili ke-3 --> pengulangan Lisan (juga tidak ada bukti dokumentasi)
Baru mulai Konsili ke-4 --> ada dokumentasi-nya... Itupun kalau diakui adalah dokumentasi dari konsili ke-4... Dan kita sekarang-sekarang ini tahu-nya NIKAYA AWAL + NIKAYA TAMBAHAN + ABHIDHAMMA + JATAKA + LAIN-LAIN itu berasal dari konsili ke-4... BUKAN BEGITU ?
Dengan dasar apakah kita meyakini bahwa apa yang di-dokumentasi-kan di Konsili ke-4 itu adalah AJARAN BUDDHA ? (termasuk di dalam-nya 4 NIKAYA AWAL), kecuali ada yang mempunyai rekaman (audio atau video) hasil konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ?
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;Dkalau pindah agama sih agak mustahil, karena masalah yang sama juga ada di agama lain hehehe...
Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
itu kan kisah-nya... dari darimana kita meyakini isi 4 Nikaya itu berasal dari Buddha (dan siswa utama-nya) ?Memang tidak akan tahu. Seandainya para aliran2 awal sepakat berbohong dalam konspirasi skala nasional dan membuat 4 Nikaya, toh kita tidak tahu juga.
Kalau cerita konsili ke-1, cerita konsili ke-2 dan bahkan cerita konsili ke-3... kita tahu-nya adalah pengulangan secara lisan...Kalau palaeontologis menemukan satu fosil dinosaurus, maka untuk mencari tahu apa makanan dino itu, tentu bukan dengan mencari catatan menu atau rekaman dino lagi makan, tapi dengan menyusun kerangka berpikir berdasarkan fakta yang ada, misalnya susunan gigi, bentuk perut, habitat, fosil lain yang berdekatan, dan lain-lain. Dari fakta2 ini dibentuk dugaan dan diuji, dan selalu diperbaharui sampai bisa ditarik sebuah kesimpulan.
Konsili ke-1 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)
Konsili ke-2 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)
Konsili ke-3 --> pengulangan Lisan (juga tidak ada bukti dokumentasi)
Baru mulai Konsili ke-4 --> ada dokumentasi-nya... Itupun kalau diakui adalah dokumentasi dari konsili ke-4... Dan kita sekarang-sekarang ini tahu-nya NIKAYA AWAL + NIKAYA TAMBAHAN + ABHIDHAMMA + JATAKA + LAIN-LAIN itu berasal dari konsili ke-4... BUKAN BEGITU ?
Dengan dasar apakah kita meyakini bahwa apa yang di-dokumentasi-kan di Konsili ke-4 itu adalah AJARAN BUDDHA ? (termasuk di dalam-nya 4 NIKAYA AWAL), kecuali ada yang mempunyai rekaman (audio atau video) hasil konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ?
kalau pindah agama sih agak mustahil, karena masalah yang sama juga ada di agama lain hehehe...
yang lebih mungkin adalah berhenti beragama buddha tapi menjadi pengikut buddha dhamma...
apapun keputusan anda, karena didasari terang maka hasilnya juga benderang.
meragukan sesuatu berarti tidak melekat, tidak statik dan terus menerus menukar dari satu pengertian ke pengertian yang lebih baik, lebih terang.
singkatnya, ragu pangkal cerah®
kenapa harus aliran tertentu? ya setiap orang berbeda2, dan tentunya ada wanita yang lebih cocok dengan ajaran theravada.Ironis sekali. Saking cocok dengan Theravada, sampai harus melanggar apa yang diajarkan di Theeravada itu sendiri.
saya melihatnya dari segi keadilan saja. kalau memang kebangkitan bhikkhuni itu mungkin dan bisa, apa salahnya memberi kesempatan pada wanita untuk mendapat kesempatan yang sama seperti pria untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhuni...Saya pikir wanita meninggalkan keduniawian di Theravada banyak, hanya saja mereka tidak berstatus bhikkhuni. Dalam konteks melatih diri, apalah bedanya status samaneri dengan bhikkhuni?
kalau dikatakan dhamma vinaya yang berbeda, aliran dharmagupta juga awalnya berasal dari cabang yang sama dengan theravada, dengan vinaya yang sama, yang artinya merupakan silsilah yang tidak terputus dari Buddha. jadi apa masalahnya?Dari cabang yang sama, bukan berarti dari silsilah yang sama. Dharmaguptaka dan Vibhajyavada adalah 2 sekte berbeda.
sikkhamānā selama dua tahun itu adalah perkembangan belakangan menurut beberapa skolar:
http://www.bhikkhuni.net/library/19458289-Bhikkhuni-Vinaya-Studies.pdf (http://www.bhikkhuni.net/library/19458289-Bhikkhuni-Vinaya-Studies.pdf) (bab 7)
lagipula, bagaimana halnya kalo si calon bhikkhuni menghabiskan 2 tahun masa percobaannya di kalangan bhikkhuni dharmagupta?
valid atau haram?
ujung2nya promosi sloganudah lama kagak jualan...
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;DBerbeda dengan saya, saya mendasarkan saddha saya pada hal-hal seperti Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beruas Delapan, Pancasila dan beberapa lainnya karena saya merasa konsep seperti itu sangat nyata di dalam kehidupan saya dan dapat saya terima dengan baik.
Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
Berbeda dengan saya, saya mendasarkan saddha saya pada hal-hal seperti Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beruas Delapan, Pancasila dan beberapa lainnya karena saya merasa konsep seperti itu sangat nyata di dalam kehidupan saya dan dapat saya terima dengan baik.
Untuk hal-hal seperti Abhidhamma, kitab-kitab palsu, perpecahan dan peperangan, saya kurang pikirkan, mungkin karena kurangnya membaca tentang sejarah dan lainnya.
Yah, dengan kata lain kalaupun seluruh isi dari Tipitaka adalah palsu, saya akan tetap menjadikan hal-hal tadi sebagai pegangan, tentu sampai saya menemukan yg lebih baik.
Sekian dari Mr. Fanatik.
Berbeda dengan saya, saya mendasarkan saddha saya pada hal-hal seperti Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beruas Delapan, Pancasila dan beberapa lainnya karena saya merasa konsep seperti itu sangat nyata di dalam kehidupan saya dan dapat saya terima dengan baik.
Untuk hal-hal seperti Abhidhamma, kitab-kitab palsu, perpecahan dan peperangan, saya kurang pikirkan, mungkin karena kurangnya membaca tentang sejarah dan lainnya.
Yah, dengan kata lain kalaupun seluruh isi dari Tipitaka adalah palsu, saya akan tetap menjadikan hal-hal tadi sebagai pegangan, tentu sampai saya menemukan yg lebih baik.
Sekian dari Mr. Fanatik.
ini adalah contoh yg tepat dalam menerapkan ajaran dalam Kalama Sutta
“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya."
Bagaimana dengan sekte saya, yang setelah orang menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya, orang itu merasa bahagia dan sejahtera? Berarti itu seharusnya dijalankan donk?
untuk bagian ini, lihat kalimat sebelumnya dalam sutta itu. ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;
Bagaimana kalo orang yang telah menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya adalah yg disebut bijaksana?.. dan hal tsb juga tidak tercela.... jd tercela dan bijaksana sangat subyektif juga...heheh.
tercela dan bijaksana sgt tergantung cara pandang....
untuk kasus ini, lihat kalimat terakhir
"hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya."
lebih lanjut lagi, apakah ajaran Zeus dkk itu yg jika dijalankan dan dipraktikan akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan?
Kalo menurut saya, bagi orang yang menjalankan dan meyakini hal tsb pasti akan mengatakan ya bahwa keyakinannya pasti membawakan kebahagiaan dan kesejahteraan... ^:)^
yah kalama sutta itu memang bukan untuk orang yg tidak jujur, orang fanatik zeus mungkin akan mengatakan begitu walaupun kenyataannya adalah sebaliknya, tapi jika ia jujur, ia seharusnya menolak ajaran itu karena tidak membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Jadi di sini ditekankan adalah penerimaan oleh diri sendiri, bukan pengakuan orang lain.sy blm pernah baca kalama sutta,yg sy ingin tahu,jika sy pribadi bahagia n sejahtera,yg di samping sy gak merasakannya,apakah hal itu salah,ataupun sebaliknya,so jika musti menunggu sampai sy n di samping sy juga ikut bahagia,hal itu kan susah
kalau penerimaan hanya bisa terjadi jika ada bukti rekaman (audio atau video) maka jangan repot2 mencari bukti rekaman itu, akan lebih mudah menolaknya saja, daripada mencari bukti yg tidak ada. Bahkan jika ada bukti rekaman video pun masih belum cukup, karena tetap ada celah untuk tidak menerima, misalnya, ada kemungkinan para bhikkhu pengulang Nikaya itu sengaja menyelewengkan ajaran yg mrk hapalkan, dan segala alasan lainnya.
Tapi di sisi lain kita juga bisa memilih menerimanya sebatas bukti2 yg logis. misalnya, semua aliran menerima bahwa Ananda adalah pelayan Sang Buddha, bahwa Ananda mempelajari banyak sutta dari Sang Buddha, bahwa Ananda memiliki photographic memory, bahwa pada masa sekarang pun masih ada orang2 yg mampu menghapalkan seluruh Tipitaka,dan lain-lainnya
Andaikata betul ananda memiliki photographic memory, darimanakah kita mengetahui bahwa apa yang di-wariskan dari Dokumentasi Konsili ke-4 itu adalah sama persis dengan apa yang di-ulangi oleh Ananda dan Upali di Konsili ke-1 ?
Karena tidak ada bukti dokumentasi dari konsili ke-1, ke-2 dan ke-3.... Kisah/cerita konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 kita ketahui SATU-SATU-NYA adalah dari dokumentasi yang terjadi di konsili ke-4... (atau ada yang punya sumber lain ???)
Dan apa yang membuat kita percaya dengan alur "kisah" pembabaran sutta, vinaya maupun abhidhamma, adalah bahwa kita juga harus meyakini Bhikkhu Rakkhita (pemimpin Konsili ke-4) sebagai seorang Arahat yang bisa mengetahui dengan persis apa yang sudah diwariskan secara lisan dari konsili ke-1, konsili ke-2 dan konsili ke-3 adalah setidaknya merupakan ajaran Buddha (ataupun khotbah siswa utamanya yang sejalan dengan ajaran Buddha).
Jika kita tidak meyakini ke-arahat-an Bhikkhu Rakkhita, maka kita juga jangan meyakini kebenaran 4 Nikaya awal itu... karena toh sumber yang kita dapatkan sekarang ini dan bisa kita jejak ulang ke belakang adalah hanya sampai pada dokumentasi konsili ke-4.
Memang tidak akan tahu. Seandainya para aliran2 awal sepakat berbohong dalam konspirasi skala nasional dan membuat 4 Nikaya, toh kita tidak tahu juga.
Kalau palaeontologis menemukan satu fosil dinosaurus, maka untuk mencari tahu apa makanan dino itu, tentu bukan dengan mencari catatan menu atau rekaman dino lagi makan, tapi dengan menyusun kerangka berpikir berdasarkan fakta yang ada, misalnya susunan gigi, bentuk perut, habitat, fosil lain yang berdekatan, dan lain-lain. Dari fakta2 ini dibentuk dugaan dan diuji, dan selalu diperbaharui sampai bisa ditarik sebuah kesimpulan.
Begitu juga para peneliti tentu tidak mengandalkan hanya catatan konsili 4, tapi melihat keadaan secara keseluruhan. Catatan seperti oleh Xuan Tsang dan Fa Xien juga banyak membantu memberikan gambaran. Singkat kata, ini memang bukan kerjaan gampang dan butuh penelitian fokus. Dan sejauh ini, itulah fakta-fakta yang didapat. Yang saya sampaikan di sini hanyalah ringkasan-ringkasan singkatnya saja, bukan metodologi lengkapnya.
mungkin sebelum sampai ke sana, kita sebaiknya membuktikan dulu apakah Sang Buddha benar2 ada, dan apa buktinya?
Xuan Tsang dan Fa Xien, lebih duluan atau belakangan dibandingkan dengan dokumentasi konsili ke-4 ?
Konsili 4 dilakukan secara terpisah oleh dua aliran mainstream, Theravada dan Mahayana. jadi catatan Xuan Tsang dan Fa Xien kemungkinan besar bukan berdasarkan hasil konsili 4 Theravada. namun jika kedua konsili 4 itu sama2mendasarkan pada konsili 3 maka hasil kedua konsili itu tentu dapat diperbandingkan.
Setahu gw sejak konsili ke-2 sudah mulai dilakukan terpisah antara cikal bakal Theravada dan Mahayana. ::)
Tergantung masing2 orang juga, ada yang berwatak keyakinan dan ada yang tidak. Namun dulu saya gara2 terlalu saddha bahwa semua ajaran yang berlabel Buddha adalah sama, sempat juga masuk aliran Maitreya... ;DKalau pada kasus saya sih berbeda karena sebenarnya saya tidak beraliran. Saya menganut apa yang saya anggap sebagai bermanfaat bagi saya dan menyimpannya untuk kehidupan saya (kecuali memang sudah perlu diganti). Peace...
Kalau pada kasus saya sih berbeda karena sebenarnya saya tidak beraliran. Saya menganut apa yang saya anggap sebagai bermanfaat bagi saya dan menyimpannya untuk kehidupan saya (kecuali memang sudah perlu diganti). Peace...
Setahu gw hanya aliran buddhayana yang mengganggap mereka tidak beraliran. :whistle:
Bagaimana dengan sekte saya, yang setelah orang menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya, orang itu merasa bahagia dan sejahtera? Berarti itu seharusnya dijalankan donk?[KK]Mungkin harus dilihat dulu isi ajarannya bagaimana.[/KK]
amaca cih? enelan? ::)Kalau menganut ajaran Buddha itu wajib menganut salah satu alirannya ya? Lalu apakah salah jika seseorang menganut apa yg dianggapnya bermanfaat?
Setahu gw hanya aliran buddhayana yang mengganggap mereka tidak beraliran. :whistle:
Bisa dituliskan di sini apa yang anda anggap bermanfaat tu apa saja?
Gw bertanya bukan untuk menjebak lho. :)
Kalo menurut saya, bagi orang yang menjalankan dan meyakini hal tsb pasti akan mengatakan ya bahwa keyakinannya pasti membawakan kebahagiaan dan kesejahteraan... ^:)^
Bisa dituliskan di sini apa yang anda anggap bermanfaat tu apa saja?Ajaran Buddha yang seperti 3 Corak Kehidupan. Karena saat saya mencoba menyadari bahwa segala sesuatu yg berkondisi adalah tidak kekal dan seterusnya, usaha seperti ini menenangkan pikiran saya, mengikis setidaknya sedikit dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan saya. Di sini saya tidak bertujuan untuk menciptakan aliran, saya menjalankan ajaran ini karena bermanfaat untuk diri saya. Mohon dimengerti.
Gw bertanya bukan untuk menjebak lho. :)
Xuan Tsang dan Fa Xien, lebih duluan atau belakangan dibandingkan dengan dokumentasi konsili ke-4 ?Mereka lebih belakangan dibandingkan dengan konsili 4. Bedanya, dokumentasi konsili 4 yang di Srilanka, hanya membahas dari satu sisi, sedangkan Xuan Tsang dan Fa Xien mengumpulkan catatan tentang perkembangan Buddhisme di India secara keseluruhan.
Konsili ke 2 membahas tentang pelanggaran vinaya oleh sekelompok bhikkhu, yg diduga menjadi pemicu terjadinya perpecahana theravada vs mahayana, tetapi ternyata perpecahan itu terjadi tidak sesederhana itu, menurut wiki perpecahan dimulai dari konsili 3 http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_councils (http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_councils).Balik lagi ke reply# 1291 saya sebelumnya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg441723.html#msg441723), perihal "Mahayana" itu muncul masih jauh setelah perpecahan, tidak ada hubungannya dengan perpecahan awal.
lengkapnya mari kita tunggu pembabaran dari Yang Mulia kutu
Mereka lebih belakangan dibandingkan dengan konsili 4. Bedanya, dokumentasi konsili 4 yang di Srilanka, hanya membahas dari satu sisi, sedangkan Xuan Tsang dan Fa Xien mengumpulkan catatan tentang perkembangan Buddhisme di India secara keseluruhan.
Balik lagi ke reply# 1291 saya sebelumnya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg441723.html#msg441723), perihal "Mahayana" itu muncul masih jauh setelah perpecahan, tidak ada hubungannya dengan perpecahan awal.
Untuk yang konsili ke 2, justru dalam konsili itu dicapai kesepakatan bahwa sekelompok bhikkhu itu melanggar vinaya. Jadi tidak ada perpecahan apapun di sini, dan semua pihak mengakui vinaya yang sama.
Perpecahan awal ini diduga terjadi setelah konsili ke 2 dan sebelum konsili ke 3, pemicunya adalah:
-menurut Sthaviravada: Mahasanghika mo sunat vinaya
-menurut Mahasanghika: Sthaviravada mo tambah vinaya
Masa ini juga sama sekali belum ada "Mahayana".
kalau soal kitab yang diambil dari alam "NAGA" ?Yah mirip2 dengan legenda Sang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa
Yah mirip2 dengan legenda Sang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa
dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?
dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka... Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?
dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?AFAIK sih nda ada. itu hanya kisah2 legenda yg sudah mixed up, yg kemudian dicatat sepertinya dalam komentarial
dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka... Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?
kalau soal kitab yang diambil dari alam "NAGA" ?Sama saja. Apapun klaimnya, tapi secara sejarah tercatat bahwa tidak ada kitab itu sampai sekitar abad 1 SM. Dan tidak perlu analisa mendalam untuk melihat betapa tendensiusnya kitab-kitab yang menggambarkan Buddha memihak satu sekte dan menolak sekte lain, seolah-olah di jaman Buddha sudah ada sekte.
Sebenarnya Konsili III di bawah Moggalliputtatissa hanya dikisahkan dlm tradisi Theravada dan Dharnaguptaka, hanya Konsili I dan II yg dikisahkan dalam Vinaya semua aliran...Tentu saja. Karena dalam "Konsili III" itu 'kan aliran2 lain dianggap sesat. Mana mungkin mereka mengakui konsili tersebut?
dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?Sutta hanya membahas kumpulan khotbah, sedangkan vinaya mencakup disiplin latihan. Pengulangan keduanya memang bukan bertujuan mencatat kehidupan Buddha secara kronologis, jadi memang sangat wajar kalau tidak memuat lengkap jadwal vassanya.
dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka...Menurut saya, ini agak berbeda dengan kitab 'alam naga' yang tampaknya terorganisir dalam membuat kisah, perihal Abhidhamma sepertinya lebih ke arah legenda yang diturunkan dalam waktu lama dan berangsur-angsur diterima.
Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?Bukan demikian logikanya, bahkan tidak berhubungan.
Tentu saja. Karena dalam "Konsili III" itu 'kan aliran2 lain dianggap sesat. Mana mungkin mereka mengakui konsili tersebut?
Sedangkan aliran2 lain menurut analisis ini juga muncul karena pemisahan geografis, misalnya (Mula) Sarvastivada bisa dianggap berasal dari tradisi telah ada sejak masa Sang Buddha di daerah Mathura (Pali: Madhura) karena salah satu siswa langsung Sang Buddha, Mahakaccayana pernah mengajar di sana (dalam Madhura Sutta yang terkenal dari Majjhima Nikaya). Atau kalo tidak, berasal dari salah satu misi pengiriman Dhammadutta pada masa Raja Asoka. Salah satu kitab Abhidharma Sarvastivada mencatat perdebatan antara Moggalliputtatissa yang mewakili ajaran mereka melawan ajaran Puggalavada. Ini menarik karena topik ttg "pribadi" (puggala) juga menjadi fokus utama dalam kitab Kathavatthu dan menjadi bab pertama kitab tsb.
itu bukan Madura yg di Jawa Timur ya?
wah, baru gak dibuka sehari topiknya dah berkembang banyak... ikutan nonton aja deh.
mau mengomentari soal "sangat berani menyisipkan kisah fiktif"...
blom tentu juga maksud awalnya seperti itu. mungkin awalnya udah menjadi pengetahuan umum abhidhamma itu karangan belakangan. trus murid2nya yang gak mengikuti cerita dari awal menganggap itu langsung dari Buddha. trus cucu muridnya menganggap perlu dibikin cerita panjang mengenai latar belakang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa. penerusan informasi dari generasi ke generasi bisa melahirkan distorsi dan pergeseran informasinya mulai dari kecil sampai menjadi segede gajah...
sutta2 yang dari empat nikaya nilai keotentikannya tentu tinggi ketimbang yg lainnya (apalagi abhidhamma) karena kitab2 yang pakai oleh banyak sekte2 awal itu memuat sutta2 yang sama isi dan esensinya.
Sebenarnya gak juga, kalo dalam kisah Konsili III itu sendiri yang dipermasalahkan adalah ajaran lain (non-Buddhis) seperti nihilisme dan eternalisme yang dibawa oleh para pertapa non-Buddhis yang menyamar sbg bhikkhu untuk memperoleh keuntungan materi (karena Raja Asoka mendukung ajaran Buddha saat itu dan berdana kepada Sangha besar-besaran). Kathavatthu sendiri tidak menyebut nama aliran, tetapi komentarnyalah yang menyebut nama aliran yang dibantah oleh Moggalliputtatissa. Catatan maklumat Raja Asoka juga menyatakan pemurnian Sangha ini.
Tentu saja Kathavatthu tidak memuat nama-nama aliran, termasuk aliran mereka sendiri. Intinya yang mengikuti mereka adalah Buddhisme, yang di luar itu adalah bukan Buddhisme. Hanya saja masing-masing aliran juga tentu punya 'catatan' sendiri, seperti Mahasanghika juga mencatat kelompok dari Sthavira bikin konsili yang dipimpin Moggalliputta Tissa, menanyakan apa yang diajarkan oleh Buddha, kemudian memasukkan bhikkhu-bhikkhu yang menjawab pengajaran Buddha adalah secara analisis (Vibhajja), dan mengeluarkan bhikkhu yang menjawab berbeda. Karena itu kelompok dari 'luar' mengenal mereka sebagai 'Vibhajyavada' (vibhajjavada), padahal kalau dicari ke ujung kitab Theravada, yah ga ada yang namanya Vibhajjavada. Dan yang termasuk 'orang luar' pada masa itu adalah Mahasanghika, Sarvastivada, dan Samittiya.
berarti kita yang sekarang ini lebih kritis... mereka dulu gak kritis... BISA SAJA... wkwkwkwkwkwk... dan jika memang begitu, sudah pasti Mogalitaputta Tissa bukan-lah ARAHAT... Demikian juga Bhikkhu Rakhita di konsili ke-4, juga bukan-lah seorang ARAHAT...kita bisa berspekulasi memperdebatkan kesucian bhikkhu moggaliputta dan rakkhita beserta kemampuan seorang arahat, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...
KArena jika Mogalitaputta Tissa dan Bikkkhu Rakkhita adalah seorang ARAHAT, maka pasti akan mengetahui mana yang ajaran Buddha dan mana yang "KARANGAN" BELAKA..
Jika Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita sendiri tidak bisa menentukan mana yang ajaran Buddha (mana yang karangan), maka dari hasil konsili ke-3 dan ke-4, SEMUA HARUS DI-RAGUKAN...
Bukan hanya tidak mempermasalahkan, kalau saya justru sangat dukung kalau ada sekelompok wanita mau menjalankan kehidupan suci berdasarkan dhamma-vinaya. Walaupun bukan penahbisan penuh seperti di vinaya, bisa saja dilakukan dengan cara lain, istilah lain, tanpa perlu klaim status sebagai "bhikkhuni" apalagi aliran tertentu (yang sudah ada pakemnya sendiri).
Yang jadi pertanyaan buat saya, kalau memang niatnya menjalankan kehidupan petapa, kenapa harus mati-matian dapat status 'bhikkhuni aliran tertentu'? Karena saya pribadi kalau memang terkendala demikian, walaupun harus dapat julukan 'Nigantha' pun tidak masalah, yang penting saya jalankan dhamma-vinaya yang saya yakini dengan baik.
jika bahas spekulasi tentang kesucian ! ::)yang dibahas adalah keotentikan abhidhamma, mengenai fakta2 bahwa abhidhamma adalah karangan belakangan...
bisa juga meragukan pencapaian dan kemampuan Buddha Gotama, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...
kita bisa berspekulasi memperdebatkan kesucian bhikkhu moggaliputta dan rakkhita beserta kemampuan seorang arahat, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...
sedangkan bukti2 berupa kitab2 dari berbagai sekte awal buddhism, perkembangan kitab2 dari berbagai jaman dan koleksi kitab & catatan2 xuan zhang itu adalah nyata dan merupakan fakta.
walaupun fakta ada tulisan atau dokumen itu, tetapi tidak dapat membuktikan bahwa itu adalah ajaran "langsung" dari Buddha atau (siswa utama-nya). kecuali kita meyakini bahwa para ARAHAT yang menvalidasi dokumen2 turunan itu.kedua bhikkhu itu arahat atau bukan tidak lagi relevan di sini karena bukti2 menyatakan abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
Jadi jika anda tidak menyakini Ke-arahat-an Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita, maka anda tidak boleh yakin apa yang dihasilkan oleh MEREKA berdua adalah ajaran "langsung" dari Buddha (ataupun siswa utama buddha).
Jadi ini sebenarnya bukan spekulasi, tetapi logika hipotesa...menyebutkan bukan spekulasi, menyebutkan logika, menyebutkan hipotesa, tapi di lain pihak menyebutkan keyakinan... kontradiksi.
Untuk konsili-konsili yang diturunkan dengan pengulangan secara LISAN, tentu-nya tidak ada dokumentasi atau apapun utk memperkuat soal perbedaan. Tetapi khusus untuk konsili yang mengawali dokumentasi secara tertulis dan bisa diwariskan secara turun temurun secara fisik, tentunya dasar utk mempercayai dan meyakini ke-VALID-an hasil konsili (baca : konsili ke-4) adalah adanya keyakinan bahwa ada-nya ARAHAT pada konsili tersebut yang dapat men-validasi ke-absah-an dan kebenaran ajaran tsb sesuai dengan ajaran BUDDHA.
kedua bhikkhu itu arahat atau bukan tidak lagi relevan di sini karena bukti2 menyatakan abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
lagian 4 nikaya itu bukan monopoli hasil kerja bhikkhu moggaliputtatissa. seluruh sekte2 awal buddhism mempunyai 4 nikaya yang sama.
menyebutkan bukan spekulasi, menyebutkan logika, menyebutkan hipotesa, tapi di lain pihak menyebutkan keyakinan... kontradiksi.
bagi saya jelas ini spekulasi karena berbasis keyakinan.
sedangkan abhidhamma adalah karangan belakangan berbasiskan fakta.
Dengan fakta apa anda bisa menyatakan 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha ? Anda-anda, dan kita semua tahu-nya kan dari dokumentasi konsili ke-4 ? apakah ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu ?
Dan tentu-nya anda harus memiliki ke-yakinan bahwa Bhikkhu Rakkhita adalah seorang Arahat untuk bisa meyakini 4 Nikaya juga adalah ajaran langsung dari Buddha....
Jikalau Bhikkhu Rakkhita bukan Arahat, bisa saja donk, 4 Nikaya itu isi sebenarnya bukan seperti itu (yang kita kenal sekarang) ?
Istilah vibhajjavada sebenarnya ada dalam MN 99 Subha Sutta di mana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau mengatakan sesuatu setelah menganalisis (Vibhajjavādo kho ahamettha māṇava). Vibhajjavada yang dimaksud Moggalliputtatissa mungkin dalam pengertian ini juga karena waktu itu Raja Asoka ingin mengetahui secara singkat (dalam satu kata yang penuh arti) apa yang diajarkan Sang Buddha (apakah Beliau seorang eternalis, nihilis, dst). Hanya beberapa lama setelah itu dalam teks Sarvastivada, istilah "vibhajjavada" ini dianggap berlawanan dg "sarvastivada".
Dengan fakta apa anda bisa menyatakan 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha ? Anda-anda, dan kita semua tahu-nya kan dari dokumentasi konsili ke-4 ? apakah ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu ?
Dan tentu-nya anda harus memiliki ke-yakinan bahwa Bhikkhu Rakkhita adalah seorang Arahat untuk bisa meyakini 4 Nikaya juga adalah ajaran langsung dari Buddha....
Jikalau Bhikkhu Rakkhita bukan Arahat, bisa saja donk, 4 Nikaya itu isi sebenarnya bukan seperti itu (yang kita kenal sekarang) ?saya masih belum paham apa relavansi seorang bhikkhu arahat dengan keotentikan Nikaya, bisa tolong dijelaskan?
Saya pikir kalau soal sila, semua orang bisa-bisa saja menjalankannya. Misalnya kalau vinaya ada berlatih makan tidak bunyi, maka tidak perlu jadi bhikkhu juga bisa-bisa saja menjalankannya. Yang tidak bisa dijalankan mungkin adalah yang berkenaan dengan komunitas (sangha), misalnya kalau ada pelanggaran, tidak ada tempat 'mengaku dosa'.
=D> =D> =D> :jempol: :jempol: :jempol:
gue setujuuuuuuu bangeettt....
gue salah satu wanita yang pengen jadi bhikkhuni dulu...
tapi gue sadar itu kagak mungkin, theravada uda abis keturunannya, ktny cuma bisa jadi meici yang jalanin 8 sila...
so, gue blg so what gitu lho....kan boleh kalau jd meici tp jalani sila bhikkuni...emanknya masalah???
gue lupa siapa yg ksh tau, katanya mana bisa jadi meici tapi jalani sila bhikkhuni...bener ga tuh?
bahkan kalok gue skrg status umat biasa, gue boleh ga mencoba menjalani sila bhikkhuni???
_/\_
sekte awal buddhisme... darimana kisah sekte awal buddhisme itu didapat-kan ? apakah dokumentasi tentang sekte2 awal buddhisme itu ada yang lebih awal daripada dokumentasi konsili ke-4 ?Dulu belum ada satu sejarahwan yang mencatat secara keseluruhan sekte-sekte yang berkembang. Namun setiap sekte melakukan sepak terjang sendiri, menuliskan karya sastranya masing-masing, berdebat, dan menyebarkan ajarannya. Apa yang tercatat tentang mereka adalah seperti bagian puzzle. Kemudian dikumpulkan bagian-bagian lain (termasuk catatan konsili IV, baik 'by Theravada' di Srilanka maupun 'by Sarvastivada' di Kashmir), dan disusun untuk mendapatkan gambaran keseluruhannya.
Dulu belum ada satu sejarahwan yang mencatat secara keseluruhan sekte-sekte yang berkembang. Namun setiap sekte melakukan sepak terjang sendiri, menuliskan karya sastranya masing-masing, berdebat, dan menyebarkan ajarannya. Apa yang tercatat tentang mereka adalah seperti bagian puzzle. Kemudian dikumpulkan bagian-bagian lain (termasuk catatan konsili IV, baik 'by Theravada' di Srilanka maupun 'by Sarvastivada' di Kashmir), dan disusun untuk mendapatkan gambaran keseluruhannya.
Jadi dokumentasi bukan hanya konsili saja, namun mencakup keseluruhan budaya di sana.
mungkin maksudnya , ke- 4 nikaya itu kan adalah hasil dari konsili ke-4, jikalau tidak ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu, berarti, bhikkhu rakkhita adalah seorang arahat, karena beliau bisa merangkum nikaya tersebut, tetapi jika bhikkhu rakkhita diragukan sebagai seorang arahat, bagaimana mgkn beliau bisa merangkum 4 vinaya itu..
jadi kalau beliau bukan arahat, maka nikaya itu tidak otentik...
demikianlah menurut pengertian saya
CMIIW
_/\_
dan dokumentasi tentang tipitaka yang sebelum konsili ke-4 ? ada ?
siapapun bisa merangkum apa yang "beredar" dimasyarakat yang dikatakan ajaran Buddha... Tetapi utk meyakini bahwa yang "beredar" di masyarakat itu adalah ajaran Buddha, tentu-nya kita harus meyakini bahwa yang merangkum dan menvalidasi-nya itu kualitas-nya adalah kualitas seorang Arahat. Karena pengulangan2 sebelum-nya adalah pengulangan lisan yang tidak dapat diperbandingkan dan tidak dapat kita tunjukkan kepada orang lain.
Jadi bukan persoalan apakah bisa dirangkum atau tidak... tetapi setidak-nya kita harus meyakini Bhikkhu Rakkhita sebagai seorang Arahat, sebelum kita bisa meyakini 4 Nikaya yang dihasilkan dari Konsili ke-4. KALAU TIDAK, darimana kita tahu 4 Nikaya yang dihasilkan itu adalah "BENAR-BENAR YANG DISAMPAIKAN oleh BUDDHA dan siswa-siswa-nya, dan diulangi secara lisan di konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ???
(Dalam hal ini kita juga harus meyakini ke-arahatan bhikkhu2 di konsili ke-2 dan ke-3, jikalau tidak, darimana kita bisa mengetahui bahwa apa yang di-wariskan secara lisan secara turun temurun, tidak ter-degradasi, tidak di-rubah2, tidak ditambah2, tidak di-kurang2i ?)
dan dokumentasi tentang tipitaka yang sebelum konsili ke-4 ? ada ?Padanan dari sutta pitaka kanon Pali adalah Agama. Semua aliran memiliki Agama yang hampir sama persis, namun dalam dokumentasinya, tidak didapatkan lengkap dari seluruh aliran, kecuali dari Sarvastivada yang paling lengkap.
Ironis sekali. Saking cocok dengan Theravada, sampai harus melanggar apa yang diajarkan di Theeravada itu sendiri.tidak selalu bisa dipandang melanggar.
Saya pikir wanita meninggalkan keduniawian di Theravada banyak, hanya saja mereka tidak berstatus bhikkhuni. Dalam konteks melatih diri, apalah bedanya status samaneri dengan bhikkhuni?kalo memang begitu, buat apa pria juga menjadi bhikkhu?
Dan kalau masalah 'adil' atau tidak, kita tentu ga bisa menentukan yang mana yang adil. Karena nanti orang juga bisa protes kenapa kalo 'banci' atau orang cacad mau jadi bhikkhu/ni, kok tidak boleh, dan akan banyak lagi protes2 lainnya. Untuk itu maka sebaiknya mengikuti aturan yang berlaku. Kenapa percaya Buddha bijaksana tapi mempertanyakan peraturan yang dibuatnya ketika tidak sesuai dengan pendapat kita?Buddha yang bijaksana memilih untuk mendirikan Sangha bhikkhuni, tidak melarangnya...
Dari cabang yang sama, bukan berarti dari silsilah yang sama. Dharmaguptaka dan Vibhajyavada adalah 2 sekte berbeda.apakah karena ada perbedaan pendapat mengenai satu topik ajaran, maka salah satu sekte kehilangan license untuk mengakui sebagai bhikkhu / bhikkhuni murid Buddha? apakah karena perbedaan itu, maka seluruh penganut theravada tidak lagi mengakui bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni yang berasal dari guru yang sama?
Soal silsilah tak terputus, rasanya semua juga akan klaim demikian, tapi kenyataannya kalau memang semua sama, kenapa harus sampai menjadi berbagai aliran?
Menurut saya, kalau ada dua aliran yang berbeda, itu karena memang sudah berbeda secara dhamma-vinaya. Kalau memang sama, tentu tidak perlu pakai merk berbeda. Jadi IMO cara-cara demikian hanyalah upaya mengakali vinaya saja dan menutup mata terhadap perbedaan. Terlebih lagi, kalau memang sama, kenapa harus tahbis di Dharmaguptaka lalu hijrah ke Theravada? Menetap saja di Dharmaguptaka, 'kan sama?!
Tapi, IMO, kalau orang memang benar bertekad berlatih, bisa saja menjalankannya tanpa status. Contohnya Pukkusati yang meninggalkan kehidupan raja juga tidak tahu vinaya dan tidak ditahbiskan, tapi punya modal keyakinan, moralitas, dan konsentrasi, mengenakan jubah kuning dan cukur rambut, hidup sebagai bhikkhu. Karena modal yang cukup itu, ketika mendengar khotbah tentang elemen, ia mencapai Anagami. Sangat unik di sini sebab Pukkusati waktu itu belum ditahbiskan, dan dia tidak tahu siapa lawan bicaranya yang mengajarkan elemen, tapi tetap dapat menembus kesucian.dengan argumen yang sama, kenapa membangkitkan kembali bhikkhuni theravada ditentang?
Tampaknya ukuran sangha makin lama makin bergeser, sekarang yang lebih penting adalah 'pengakuan' dan 'tata cara tradisi'.
siapapun bisa merangkum apa yang "beredar" dimasyarakat yang dikatakan ajaran Buddha... Tetapi utk meyakini bahwa yang "beredar" di masyarakat itu adalah ajaran Buddha, tentu-nya kita harus meyakini bahwa yang merangkum dan menvalidasi-nya itu kualitas-nya adalah kualitas seorang Arahat. Karena pengulangan2 sebelum-nya adalah pengulangan lisan yang tidak dapat diperbandingkan dan tidak dapat kita tunjukkan kepada orang lain.
Jadi bukan persoalan apakah bisa dirangkum atau tidak... tetapi setidak-nya kita harus meyakini Bhikkhu Rakkhita sebagai seorang Arahat, sebelum kita bisa meyakini 4 Nikaya yang dihasilkan dari Konsili ke-4. KALAU TIDAK, darimana kita tahu 4 Nikaya yang dihasilkan itu adalah "BENAR-BENAR YANG DISAMPAIKAN oleh BUDDHA dan siswa-siswa-nya, dan diulangi secara lisan di konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ???
(Dalam hal ini kita juga harus meyakini ke-arahatan bhikkhu2 di konsili ke-2 dan ke-3, jikalau tidak, darimana kita bisa mengetahui bahwa apa yang di-wariskan secara lisan secara turun temurun, tidak ter-degradasi, tidak di-rubah2, tidak ditambah2, tidak di-kurang2i ?)
tidak selalu bisa dipandang melanggar.... yang berarti dhamma tidak sempurna dibabarkan, perlu interpretasi lebih lanjut, dan mengikuti perkembangan zaman.
bisa juga dipandang antara perbedaan interpretasi ajaran theravada, antara pandangan orthodox dan modern...
kalo memang begitu, buat apa pria juga menjadi bhikkhu?Memang dalam konteks pencapaian kesucian, pria/wanita tidak mutlak berstatus bhikkhu/bhikkhuni.
kalau saya melihat adanya komunitas bhikkhuni melengkapi komunitas2 yang ada di buddhism. adanya umat pria dan wanita melaksanakan pancasila yang menyokong pertapa pria dan wanita. adanya persaudaraan bhikkhu2 dan persaudaraan bhikkhuni.Kalau menurut bro morph sendiri, apakah ada alasan bagi Buddha yang menetapkan penahbisan bhikkhuni harus oleh sangha bhikkhuni? Atau itu hanya fenomena anomali keputusan tidak bijaksana dari seorang bijaksana?
kalo orang bertanya kenapa membangkitkan bhikkhuni lagi, sebagian orang yang lain bertanya kenapa tidak.
tidak ada bahayanya bagi kelangsungan buddha dhamma, malahan sebaliknya...
Buddha yang bijaksana memilih untuk mendirikan Sangha bhikkhuni, tidak melarangnya...
banci dan cacat tentu memiliki alasannya tersendiri, namun di lain pihak tidak ada alasan untuk tidak memberi kesempatan wanita menjadi bhikkhuni.
apakah karena ada perbedaan pendapat mengenai satu topik ajaran, maka salah satu sekte kehilangan license untuk mengakui sebagai bhikkhu / bhikkhuni murid Buddha? apakah karena perbedaan itu, maka seluruh penganut theravada tidak lagi mengakui bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni yang berasal dari guru yang sama?Sebaliknya, justru karena perbedaan ajaran, maka masing-masing memiliki 'licence' untuk menahbiskan bhikkhu/ni sesuai aliran masing-masing. Tidak beda keadaannya dengan Devadatta yang punya licence sendiri untuk menahbiskan bhikkhu/ni-nya. Ketika dinyatakan sebagai sangha yang satu, tentu ia bukan anggota sangha lainnya.
saya bukan menyarankan kedua sekte sama dan sebaiknya merger saja, tapi bukankah seharusnya keduanya masih saling mengakui memiliki guru yang sama dan praktek yang sama?Seperti contohnya Dharmaguptaka sendiri menolak pratikmoksa dari Sarvastivada, menganggapnya sudah tidak 'murni', sementara Sarvastivada tentu saja juga mengaku sebagai pewaris dharma yang benar. Dari sini sudah kelihatan bagaimana aliran-aliran itu sebetulnya berbeda, bukan sama.
dengan argumen yang sama, kenapa membangkitkan kembali bhikkhuni theravada ditentang?Sila dan samadhi menurut siapa? Menurut aliran penahbisnya, atau menurut aliran ke mana dia berpindah?
bukankah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi yang penting ketimbang tata cara tradisi?
dengan argumen yang sama, kenapa membangkitkan kembali bhikkhuni theravada ditentang?
bukankah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi yang penting ketimbang tata cara tradisi?
bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?'Kan sudah dibilang masalah keyakinan. Misalnya kalau suka dengan 4 KM terbalik, tinggal meyakini A. Brahm adalah Arahant; suka dengan Vsm, yakini Buddhagosa Arahant; suka HHK, yakini LSY Buddha. Hanya masalah keyakinan saja.
Walaupun istilahnya sama, namun merujuk pada hal yang berbeda. "Vibhajjavada" dalam sutta merujuk pada metode analisis, misalnya di AN 10.2.5.4. Vajjiyamahitasutta, disebutkan "Gārayhaṃ kho pana, bhante, bhagavā garahanto pasaṃsitabbaṃ pasaṃsanto vibhajjavādo bhagavā" (sesungguhnya terhadap yang tercela, bhante, bhagava mencela, terhadap yang terpuji, dipuji, [demikian] pengajaran melalui analisis oleh bhagava); sedangkan vibhajyavada yang disebutkan oleh Sarvastivada dan lainnya, merujuk pada satu aliran. Ini bukan mengindikasikan bahwa Sarvastivada ataupun aliran lainnya menolak metode analisis itu sendiri. Padanannya sama seperti Theravada berbeda dengan (aliran) Sautrantika, tapi bukan berarti Theravada tidak mengutamakan sutta (suttantika) dalam doktrinnya.
Jadi istilah sama, tapi merujuk hal berbeda. "Vibhajyavada" sebagai aliran, adalah julukan terhadap mereka yang mengadakan konsili di bawah Moggalliputta Tissa, yang diberikan oleh aliran lain yang tidak ikut konsili. "Vibhajjavada" sebagai metode, adalah cara memahami sebuah fenomena dengan analisis dan diskriminasi.
Maka kita ditinggalkan dengan masalah: apakah yang dimaksud vibhajjavāda, dan mengapa ia relevan dalam konteks Konsili Ketiga? Marilah kita mengingat kembali aliran teks. Para pengikut ajaran salah non-Buddhis menyatakan berbagai ajaran tentang “diri”; Moggaliputtatissa menentangnya dengan ajaran Sang Buddha tentang vibhajjavāda; kemudian sumber-sumber Mahāvihāra menggambarkannya akan mengajarkan Kathāvatthu. Bahkan jika Kathāvatthu adalah penambahan yang belakangan, Mahāvihāra pasti telah menambahkannya atas beberapa alasan. Komentar Kathāvatthu, seperti yang telah kita lihat, secara khusus mengatakan bahwa Kathāvatthu “membedakan” (vibhajanto) pandangan heterodoks dan ortodoks, sehingga mungkin ini berarti untuk membuat beberapa hubungan eksplisit antara Kathāvatthu dan vibhajjavāda.
Sekarang, Kathāvatthu membahas sangat banyak topik, kebanyakan darinya yang sepele dan diberikan sedikit ruang kosong, dan yang jauh lebih penting semua topik lain dalam buku itu adalah bagian pertama tentang “diri”. Ini adalah, seperti yang telah kita lihat, satu-satunya topik utama yang umum dalam Kathāvatthu dan Vijñānakāya, selain dari posisi berlawanan tentang tesis “semuanya ada”. Ini jelas adalah perdebatan yang sulit, dan meskipun dialetika Abhidhamma yang dingin, suatu hal yang emosional.
Dalam konteks kita sekarang, pastinya tema yang muncul adalah debat diri/bukan-diri ini. Saya ingin menyatakan bahwa istilah vibhajjavāda digunakan di sini untuk mengimplikasikan suatu kritik atas teori non-Buddhis tentang diri. Ini tentunya memenuhi kriteria yang kita pertanyakan sebelumnya, bahwa istilah ini pasti membangkitkan suatu aspek ajaran Sang Buddha yang penuh makna, penting dalam suatu cara yang akan menjawab tantangan para pengikut ajaran salah.
Ajaran bukan-diri selalu dianggap sebagai ajaran utama Sang Buddha. Metode khas yang digunakan oleh Sang Buddha untuk mematahkan gagasan salah tentang diri adalah menggunakan analisis. Dalam Buddhisme awal, metode utamanya adalah dengan sistematis menentukan hal-hal tersebut yang dianggap sebagai diri, mengangkatnya untuk diselidiki, dan menemukan dalam pengamatan yang cermat bahwa mereka tidak memiliki ciri-ciri yang kita berikan pada suatu diri. Dengan demikian lima kelompok unsur kehidupan digambarkan sebagai yang membentuk landasan bagi teori-teori diri. Tetapi dalam perenungan, mereka dilihat membawa pada penderitaan, yang bukan bagaimana suatu diri dipahami, sehingga mereka gagal memenuhi kriteria dari suatu diri. Dalam sutta-sutta, metode ini dicontohkan oleh siswa Kaccāyana, yang dikenal sebagai yang terkemuka di antara mereka yang dapat menganalisis (vibhajjati) dalam detail apa yang diajarkan Sang Buddha secara singkat; Dīpavaṁsa mengatakan bahwa ia memenuhi peran itu dalam Konsili Pertama.[200]
Analisis ini, atau vibhaṅga, adalah momentum pengumpulan selama masa Konsili Ketiga. Sebenarnya, teks dasarnya disebut Vibhaṅga dalam versi Mahāvihāravāsin; versi Sarvāstivāda adalah Dharmaskandha, dan versi Dharmaguptaka adalah Śāripūtrābhidharmaśāstra. Semua ini berasal dari suatu tahap kuno dari perkembangan Abhidhamma, yang mengumpulkan sutta-sutta “analitis”, terutama yang diatur berdasarkan topik-topik dari Saṁyutta Nikāya/Āgama, dan menguraikannya dengan tingkat penafsiran Abhidhammik yang berbeda-beda.
Jadi akan sangat masuk akal dalam kisah kita untuk vibhajjavāda untuk mewakili gerakan Abhidhamma sebagai suatu pendekatan analitis atas Dhamma secara umum, dan sebagai sebuah kritik atas “diri” secara khusus. Juga kelihatannya tepat untuk menggambarkan Sang Buddha sebagai seorang vibhajjavādin, sama dengan mengatakan beliau adalah seorang anattavādin. Penafsiran ini bersifat sementara, karena ini tidak dapat didukung dengan pernyataan yang jelas dari teks-teks. Tetapi, seperti yang kita telah lihat, definisi vibhajjavāda yang diberikan kepada kita dari teks-teks tidak cukup untuk menjelaskan penggunaan oleh Mahāvihāravāsin dalam teks mereka sendiri: teks-teks ini belakangan, atau tidak relevan, atau diturunkan dari aliran yang berbeda. Jika spekulasi kita memiliki suatu nilai, tampaknya bahwa sasaran utama dari polemik dalam bacaan ini bukanlah Sarvāstivādin, tetapi para teoritikus Diri non-Buddhis, dan mungkin oleh implikasi Puggalavādin.
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23774.msg433828.html#msg433828 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23774.msg433828.html#msg433828)
Karena memiliki akar yang sama, maka memang ada kesamaan antar sekte, tapi sesuai perkembangannya, jelas ada perbedaan yang mendasar yang tidak bisa disamakan yang memaksa mereka harus memisahkan diri, bahkan saling mengecam. Saya pikir kita harus buka mata sepenuhnya pada persamaan dan perbedaan ini.
lah, kalau yang penting adalah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi, lantas untuk apa label bhikkhuni ???
jaman sekarang aye sering lihat biksu, biksuni, mereka menyetir mobil sendiri, bikkhu juga keknya sama aja, kemudian kayak kasus kemarin ada biku bergitar, jualan amulet, merokok, melelang diri untuk bangun vihara, jadi sebenernya status bikkhu itu apa maknanya ya? dengan kesibukan seperti itu bisakah mereka menempuh tujuan akhir?
tidak semua orang jadi bhikkhu memiliki tujuan mulia itu, sebagian orang menjadi bhikkhu karena kesulitan hidup dan malas bekerjaapabila ada seseorang bertujuan mulia menjadi bikkhu, bisakah mencapai tujuan akhir dalam kehidupan itu juga, bayangkan dengan bikkhu yang kerjaannya melelang diri, bermain gitar, jualan amulet dll.
apabila ada seseorang bertujuan mulia menjadi bikkhu, bisakah mencapai tujuan akhir dalam kehidupan itu juga, bayangkan dengan bikkhu yang kerjaannya melelang diri, bermain gitar, jualan amulet dll.
... yang berarti dhamma tidak sempurna dibabarkan, perlu interpretasi lebih lanjut, dan mengikuti perkembangan zaman.imo, dhamma yang telah sempurna dibabarkan adalah dhamma yang direalisasikan oleh orang suci, di sini, saat ini (paccatam veditabbo vinnuhi & sanditthika), bukan segala macam tulisan yang ada di tipitaka. dhamma yang sempurna dibabarkan adalah rembulan, bukan telunjuknya. dalam membaca telunjuknya setiap orang mempunyai interpretasi masing2 dalam memahami latar belakang, tujuan dan maksudnya.
Mengenai pria jadi bhikkhu, karena sekarang memang masih bisa sesuai aturan, saya pikir tidak relevan dibahas.bisa dibilang diskusi ini akan selalu berujung pada pelanggaran peraturan atau tidak, dan itu akan berakhir dengan perbedaan pendapat.
Kalau menurut bro morph sendiri, apakah ada alasan bagi Buddha yang menetapkan penahbisan bhikkhuni harus oleh sangha bhikkhuni? Atau itu hanya fenomena anomali keputusan tidak bijaksana dari seorang bijaksana?seperti halnya ada alasannya pertama kali hanya cukup dengan ehi bhikkhuni dan juga ada alasannya berubah menjadi penahbisan oleh bhikkhu dan akhirnya diganti menjadi penahbisan dua sisi dengan suatu alasan. alasan2nya tentunya didasari kondisi dan kejadian tertentu.
Sebaliknya, justru karena perbedaan ajaran, maka masing-masing memiliki 'licence' untuk menahbiskan bhikkhu/ni sesuai aliran masing-masing. Tidak beda keadaannya dengan Devadatta yang punya licence sendiri untuk menahbiskan bhikkhu/ni-nya. Ketika dinyatakan sebagai sangha yang satu, tentu ia bukan anggota sangha lainnya.kalau mengenai pandangan yang dipermasalahkan, di jaman Buddha berbekal satu atau dua ajaran saja (langsung dari Sang Buddha atau gurunya) seorang bhikkhu/bhikkhuni dapat melatih diri. tidak ada keharusan bahwa seorang bhikkhu/bhikkhuni harus menerima seluruh point2 sistematika doktrinal terstruktur sebagai azas organisasi dan prasyarat untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni. seorang bhikkhu yang ingin berlatih anapanasati tidak harus menerima pandangan kamma timimbal lahir tilakkhana 4km 8jm pattica samuppada untuk bisa mulai berlatih... murid2 asajji yang hanya tahu ajaran abc tetaplah satu sangha dengan murid2 kassapa yang hanya tahu ajaran xyz...
Seperti contohnya Dharmaguptaka sendiri menolak pratikmoksa dari Sarvastivada, menganggapnya sudah tidak 'murni', sementara Sarvastivada tentu saja juga mengaku sebagai pewaris dharma yang benar. Dari sini sudah kelihatan bagaimana aliran-aliran itu sebetulnya berbeda, bukan sama.
Sila dan samadhi menurut siapa? Menurut aliran penahbisnya, atau menurut aliran ke mana dia berpindah?
Katakanlah seseorang ditahbis di Sarvastivada, lalu hijrah ke Dharmaguptaka. Pandangan mana yang harus dianutnya? Jika dia menganut Dharmaguptaka, maka ia harus menolak keabsahan penahbisan dirinya; jika dia menganut Sarvastivada, yah untuk apa dia pindah ke Dharmaguptaka yang akan menolak keabsahan penahbisannya itu?
Karena memiliki akar yang sama, maka memang ada kesamaan antar sekte, tapi sesuai perkembangannya, jelas ada perbedaan yang mendasar yang tidak bisa disamakan yang memaksa mereka harus memisahkan diri, bahkan saling mengecam. Saya pikir kita harus buka mata sepenuhnya pada persamaan dan perbedaan ini.
lah, kalau yang penting adalah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi, lantas untuk apa label bhikkhuni ???demikian pula dengan label bhikkhu...
demikian pula dengan label bhikkhu...
Waktu itu Konsili Ketiga bahkan belum diadakan, Moggaliputtatissa hanya menjawab bahwa Sang Buddha mengajarkan vibhajjavada (ajaran analisis) ketika ditanya Raja Asoka. Menurut saya, istilah vibhajjavada yg dipakai Moggaliputtatissa memiliki pengertian sama dg istilah vibhajjavada yg digunakan Sang Buddha dalam Nikaya-Nikaya awal.Betul, memang kelompok Moggalliputta Tissa ini menyatakan Buddha mengajar dengan cara analisis (Vibhajjavada), namun mereka tidak menyebut diri mereka sendiri sebagai "Vibhajjavadin". Itu adalah julukan yang diberikan pihak lain. Kira-kira sama seperti kelompok orang yang berusaha mencapai Arahant Sravaka tidak menyatakan mereka sebagai apapun, tapi kelompok lain menamakan mereka 'hinayana'.
Namun seiring berkembangnya Abhidhamma, ini menjadi istilah untuk aliran yang mengutamakan metode analisis dalam Abhidhamma-nya (yaitu Theravada/Mahaviharavasin). Hal yang hampir senada dinyatakan Bhikkhu Sujato dalam Sects and Sectarianism sbb:Kalau ini saya tidak setuju, sebab Abhidharma bukan digagas hanya oleh "Vibhajjavada" ini, namun juga oleh sekte-sekte awal lainnya. Yang masih utuh 'terselamatkan' adalah Abhidharma dari Sarvastivada. Mahasanghika juga dikatakan menganut tapi tidak menyatakannya sebagai 'otoritas'. Ini juga masuk akal karena turunan dari Mahasanghika seperti Yogacara di kemudian hari, juga menekankan pembelajaran basis Abhidharma. Jadi saya pikir kurang tepat kalau "Vibhajjavada" ini merujuk pada aliran Abhidharmika, sementara "Vibhajjavadin" ini sendiri menyebutkan Sarvastivada dan Mahasanghika (yang notabene adalah Abhidharmika juga) sebagai 'heretic'.
[...]
demikian pula dengan label bhikkhu...
demikian pula dengan label bhikkhu...
iya, makanya ada jg orang2 yang berlatih tanpa menjadi bhikkhu...*lyirik om indra, bro morpheus, kk, tuhan :whistle: :whistle: :whistle:
imo, dhamma yang telah sempurna dibabarkan adalah dhamma yang direalisasikan oleh orang suci, di sini, saat ini (paccatam veditabbo vinnuhi & sanditthika), bukan segala macam tulisan yang ada di tipitaka. dhamma yang sempurna dibabarkan adalah rembulan, bukan telunjuknya. dalam membaca telunjuknya setiap orang mempunyai interpretasi masing2 dalam memahami latar belakang, tujuan dan maksudnya.Ya, saya setuju bahwa dhamma yang dimaksud adalah 'Buddha-dhamma'. Hanya saja kalau saya berpendapat bahwa aturan-aturan dalam vinaya (termasuk penahbisan bhikkhuni) juga ditetapkan oleh Buddha dengan pertimbangan. Berdasarkan ini, jika terkendala vinaya, lebih baik seseorang mencari alternatif lain yang tidak menyalahi vinaya tersebut (misalnya menjadi petapa wanita tanpa status aliran tertentu, atau dengan cukup menjadi Samaneri/dasasilamata/atthasilani, atau lain-lain), ketimbang secara langsung melanggarnya yang berarti kita telah override keputusan Buddha.
bisa dibilang diskusi ini akan selalu berujung pada pelanggaran peraturan atau tidak, dan itu akan berakhir dengan perbedaan pendapat.Perbedaan pendapat selalu terjadi, itu sebabnya Buddha menetapkan aturan. Perihal orang mau ikut peraturan walaupun tidak menyenangkan, atau mencari celah pembenaran demi hal yang ia setujui, adalah hal lain lagi.
seperti halnya ada alasannya pertama kali hanya cukup dengan ehi bhikkhuni dan juga ada alasannya berubah menjadi penahbisan oleh bhikkhu dan akhirnya diganti menjadi penahbisan dua sisi dengan suatu alasan. alasan2nya tentunya didasari kondisi dan kejadian tertentu.Kalau Buddha masih ada, tentu berbeda. Sama seperti eks-petapa lain yang harus menjalani masa percobaan, kalau memang Buddha merasa tidak perlu, maka di-skip dan langsung ditahbiskan penuh. Contoh lain adalah Buddha melarang penggunaan iddhi, tapi sesuai kondisi, bisa menyetujui penggunaannya.
imo, kondisi spesial saat ini adalah sangha bhikkhuni punah. sebenarnya dengan kondisi spesial itu saja sudah cukup alasan untuk membangkitkan kembali sangha bhikkhuni dengan penahbisan oleh bhikkhu saja. mengapa tidak? kenapa sebuah organisasi tidak bisa bangkit kembali dengan alasan peraturannya sendiri menghalangi kebangkitannya...Saya mau tanya aja. Misalkan di satu tempat suatu saat, sangha tinggal 5 orang bhikkhu tua dan sudah sakit-sakitan menjelang ajal, dan tidak ada orang yang mau jadi petapa lagi. Kemudian ada sekelompok orang yang mau, tapi mereka itu adalah buronan bersaudara yang membunuh ayah-ibu mereka. Bagaimana menurut bro morph, apakah dengan pertimbangan 'organisasi seharusnya bisa bangkit kembali walaupun melanggar peraturannya', seharusnya buronan itu ditahbiskan?
kalau mengenai pandangan yang dipermasalahkan, di jaman Buddha berbekal satu atau dua ajaran saja (langsung dari Sang Buddha atau gurunya) seorang bhikkhu/bhikkhuni dapat melatih diri. tidak ada keharusan bahwa seorang bhikkhu/bhikkhuni harus menerima seluruh point2 sistematika doktrinal terstruktur sebagai azas organisasi dan prasyarat untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni. seorang bhikkhu yang ingin berlatih anapanasati tidak harus menerima pandangan kamma timimbal lahir tilakkhana 4km 8jm pattica samuppada untuk bisa mulai berlatih... murid2 asajji yang hanya tahu ajaran abc tetaplah satu sangha dengan murid2 kassapa yang hanya tahu ajaran xyz...Itulah masalahnya. Yang bro morph katakan adalah 'gambaran ajaran Buddha menurut Theravada'. Masalahnya, setiap sekte punya penggambarannya masing-masing.
tidak bisakah kita melihat status bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni saja tanpa embel2? terlepas dari pandangan dan vinayanya (yg berbeda pada hal2 kecil dari vinaya theravada), status bhikkhuni dharmaguptaka tetaplah bhikkhuni. ditambah dengan kondisi spesialnya (kepunahan bhikkhuni theravada), kenapa tidak bisa memakai statusnya sebagai bhikkhuni untuk menghidupkan kembali sangha bhikkhuni theravada....?Bukan saya yang menentukan. Tapi kalau saya pribadi, saya akan melihat 'bhikkhuni Dharmaguptaka' sebagaimana adanya, yaitu 'bhikkhuni dalam dhamma-vinaya yang berbeda dengan non-Dharmapguptaka'. Saya tidak akan memanipulasi persepsi menjadi 'bhikkhuni Dharmaguptaka adalah bhikkhuni aja, semua aliran sama'.
sepertinya saya mulai mengulang point2 saya. mungkin udah deket dengan akhir diskusinya...Ya, silahkan kalau mau sudahi. :)
iya, makanya ada jg orang2 yang berlatih tanpa menjadi bhikkhu...*lyirik om indra, bro morpheus, kk, tuhan :whistle: :whistle: :whistle:Dari kisah-kisah dhamma, yang berkesan bagi saya adalah Ghatikara, seorang Anagami sangha Buddha Kassapa yang tidak menjadi bhikkhu demi orangtuanya yang buta. Ada juga Cittagahapati yang dinyatakan Buddha sebagai yang terunggul di antara umat awam dalam membabarkan dhamma. Mereka dan banyak lagi umat2 awam, menempuh jalan dan latihan dengan sangat baik tanpa menjadi bhikkhu.
bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?
om google mungkin juga arahat
'Kan sudah dibilang masalah keyakinan. Misalnya kalau suka dengan 4 KM terbalik, tinggal meyakini A. Brahm adalah Arahant; suka dengan Vsm, yakini Buddhagosa Arahant; suka HHK, yakini LSY Buddha. Hanya masalah keyakinan saja.
silakan percaya sama google, untung saya tidak menjadikan arahat sebagai kriteria untuk menjadi yg dapat dipercaya.
jadi darimana percaya 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha, tidak mengalami distorsi, penambahan-penambahan atau perubahan-perubahan ?
bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?
saya bahkan baru dengar dari anda. saya sendiri yakin bahwa di antara 5 Nikaya, 4.4 di antaranya adalah berasal dari Sang Buddha dengan beberapa penambahan dan perubahan sedangkan 0.6 di antaranya murni bukan dari Sang Buddha.
masalah-nya, Jika anda tidak meyakini ke-arahatan Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita, maka anda juga tidak boleh meyakini isi 4 Nikaya itu (yg ada dan diwariskan sampai sekarang) adalah ajaran langsung Sang Buddha, karena bisa saja merupakan karya tambahan.Saya ulangi lagi yah. Kalau perihal apakah 4 Nikaya itu Ajaran Langsung Sang Buddha, kita tidak akan pernah tahu. Tapi 4 Nikaya itu dipercaya sebagai karya tertua bukan penambahan belakangan sebab sekte-sekte awal sama-sama mengakui 4 Nikaya (=Agama) itu. Sementara, karya-karya lainnya, muncul belakangan dan sifatnya sektarian.
Dan jika anda meyakini 4 Nikaya itu sebagai ajaran langsung Sang Buddha yang telah divalidasi oleh Arahat Mogalitaputta Tissa dan Arahat Rakkhita, maka anda juga harus menyakini bahwa kompilasi pada jaman itu sudah mewakili apa yang dianggap sebagai ajaran langsung Buddha maupun siswa utamanya, terutama utk "kisah" ajaran yang di-sampaikan oleh Buddha seperti Abhidhamma... Sedangkan untuk kitab komentar, sudah di-beri-kan keterangan sebagai kitab komentar yang merupakan karya dari bhikkhu-bhikkhu atau orang-orang setelah era Buddha,Masalahnya sekte lain belum tentu mengakui Moggalliputta Tissa sebagai Arahant. Kalau mereka mengakui, tentu mereka akan ikut ajarannya donk. Masing-masing punya definisi Arahant sendiri, seperti misalnya di Mahavamsa, mereka yang menyatakan bunuh orang tidak bermoral tidak dihitung membunuh, juga adalah Arahant, menurut aliran Theravada tentunya.
Konsili ke-3 dan konsili ke-4... hasil-nya adalah 5 Nikaya + Abhidhamma + lain lain...
sedangkan hasil dari konsili ke-1 dan konsili ke-2... yah KISAH-nya didapatkan dari Konsili ke-3 dan konsili ke-4... dan tidak ada dokumentasi apapun yang berasal dari konsili ke-1 dan konsili ke-2... JIKA ADA YANG MERAGUKAN hasil KONSILI ke-4, maka bukan-kah KISAH konsili ke-1 dan konsili ke-2 juga harus di-ragu-kan, Karena tidak ada sumber lain yang berbeda.
Masalahnya sekte lain belum tentu mengakui Moggalliputta Tissa sebagai Arahant. Kalau mereka mengakui, tentu mereka akan ikut ajarannya donk. Masing-masing punya definisi Arahant sendiri, seperti misalnya di Mahavamsa, mereka yang menyatakan bunuh orang tidak bermoral tidak dihitung membunuh, juga adalah Arahant, menurut aliran Theravada tentunya.
sepertinya anda mendefinisikan "dokumentasi" hanya sebatas catatan tertulis, padahal sejak zaman Sang Buddha, khotbah2 itu didokumentasikan dengan cara hapalan dan diulangi secara lisan. dan karena metode lisan ini hanya memiliki media penyimpanan selama satu generasi dan kemudian secara estafet diwariskan ke generasi berikutnya, maka kita hanya bisa mendengar dari generasi terakhir saja, karena tidak ada 1 orang pun dari generasi awal yg masih hidup sampai saat ini untuk kita dengarkan dokumentasinya. jadi tidak benar jika dikatakan bahwa "tidak ada dokumentasi" dari konsili2 sebelum konsili 4
Misalnya kita analisa hanya khusus 4 Nikaya saja... Dengan apakah kita meyakini bahwa Mogalitaputta Tissa itu bisa men-validasi 4 Nikaya di Konsili ke-3 sebagai ajaran yang langsung diajarkan Buddha (atau setidak-tidak-nya adalah ajaran yang bisa menbawa pada kesucian arahat sebagaimana kualitas arahat yang kita yakini dicapai oleh Buddha dan para siswa utama-nya) ?Kalau saya pribadi meyakini suatu ajaran dengan menyelidiki manfaatnya, logikanya, bukan karena keyakinan bahwa itu dinyatakan benar oleh seorang yang katanya Arahant.
Bukankah kita harus meyakini bahwa Mogalitaputta Tissa Thera adalah seorang Arahat yang sudah mencapai kesucian, setidaknya memiliki kemampuan analisa patisambhida, sehingga validasi dari pengulangan di konsili ke-3 adalah benar ajaran yang diajarakan oleh Buddha atau setidaknya selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran Buddha.Penembusan kesucian adalah masalah batin personal, sementara validasi nikaya adalah masalah tekstual. Para peneliti pun bukan Arahant, bahkan tidak mengaku-ngaku ariya, tapi dengan menyelidiki, bisa mengambil kesimpulan teks mana yang lebih tua. Jadi tetap tidak ada relevansi antara "keyakinan Arahant" dan "keaslian teks". Semua keyakinan hanya akan membiaskan penilaian objektif kita.
bro indra kan suka bermain dengan KBBI... apa itu dokumentasi... apakah pengulangan lisan berdasarkan ingatan dianggap sebagai dokumentasi....
saya tidak menggunakan acuan KBBI di sini, tapi apa pun definisi yg diberikan KBBI, faktanya bahwa Nikaya itu terlestarikan melalui media ingatan sebelum dilestarikan dalam media tulisan. Jika hal ini tidak bisa disebut dokumentasi, baiklah memang tidak terdokumentasi tapi tetap terlestarikan. ada keberatan?
Kalau saya pribadi meyakini suatu ajaran dengan menyelidiki manfaatnya, logikanya, bukan karena keyakinan bahwa itu dinyatakan benar oleh seorang yang katanya Arahant.
Penembusan kesucian adalah masalah batin personal, sementara validasi nikaya adalah masalah tekstual. Para peneliti pun bukan Arahant, bahkan tidak mengaku-ngaku ariya, tapi dengan menyelidiki, bisa mengambil kesimpulan teks mana yang lebih tua. Jadi tetap tidak ada relevansi antara "keyakinan Arahant" dan "keaslian teks". Semua keyakinan hanya akan membiaskan penilaian objektif kita.
dan yang bisa men-validasi pengulangan itu adalah siapa ?
Oke-lah kita anggap abhidhamma itu tambahan dan sisipan... dan ada pula kisah2 pembabaran Abhidhamma di Tavatimsa... Jika itu HOAX (fiktif), kira-kira kualitas apa yang dimiliki oleh seorang pemimpin konsili ke-3 seperti Mogalitaputta Tissa sehingga bisa memasukkan kisah HOAX (fiktif) seolah-olah pernah terjadi... dan Kita-Kita bisa mempercayai hasil pencapaian konsili ke-3 ? Termasuk di dalam-nya 4 Nikaya yang kita pegang sekarang ?
Nah, bergerak ke manfaat dan logika-nya... Apa yang dibahas di Abhidhamma tidak bermanfaat dan tidak sesuai logika ?Untuk hal ini, saya pernah bahas sebelumnya bahwa apa yang ada di literatur belakangan sebaiknya tidak ditolak mentah-mentah, tapi dilihat dulu apakah sesuai dengan nikaya awal. Jikapun sangat bermanfaat, tetap karya belakangan harus dikenali sebagai karya belakangan.
Oke-lah kita anggap abhidhamma itu tambahan dan sisipan... dan ada pula kisah2 pembabaran Abhidhamma di Tavatimsa... Jika itu HOAX (fiktif), kira-kira kualitas apa yang dimiliki oleh seorang pemimpin konsili ke-3 seperti Mogalitaputta Tissa sehingga bisa memasukkan kisah HOAX (fiktif) seolah-olah pernah terjadi...Bagaimana kualitas batinnya, tentu saja saya tidak tahu. Namun sama seperti klaim-klaim aliran lainnya yang bisa ambil kitab alam naga atau wawancara Maitreya, semua klaim itu tidak menjadikan literatur yang mereka pakai sebagai 'benar', setidaknya menurut saya pribadi.
dan Kita-Kita bisa mempercayai hasil pencapaian konsili ke-3 ? Termasuk di dalam-nya 4 Nikaya yang kita pegang sekarang ?Apakah konsili 3 diadakan atau tidak, Agama memang ada kok. Jadi jangan berkesimpulan bahwa 4 Nikaya itu eksklusif produk konsili 3 & 4 yang diadakan Vibhajyavada. Agama adalah kumpulan doktrin yang dianut secara umum oleh seluruh sekte-sekte awal. Hanya saja, ketika Agama dibawa ke Srilanka oleh Vibhajyavada dan dilestarikan dalam bahasa Pali kemudian hari, sebutannya adalah Nikaya. Sedangkan Agama yang berada di India dalam berbagai bahasa, kebanyakan punah bersamaan dengan punahnya sekte-sekte, dan salah satu yang tersisa secara lengkap adalah Agama dari Sarvastivada berbahasa Sanskrit.
Betul, memang kelompok Moggalliputta Tissa ini menyatakan Buddha mengajar dengan cara analisis (Vibhajjavada), namun mereka tidak menyebut diri mereka sendiri sebagai "Vibhajjavadin". Itu adalah julukan yang diberikan pihak lain. Kira-kira sama seperti kelompok orang yang berusaha mencapai Arahant Sravaka tidak menyatakan mereka sebagai apapun, tapi kelompok lain menamakan mereka 'hinayana'.
Kalau ini saya tidak setuju, sebab Abhidharma bukan digagas hanya oleh "Vibhajjavada" ini, namun juga oleh sekte-sekte awal lainnya. Yang masih utuh 'terselamatkan' adalah Abhidharma dari Sarvastivada. Mahasanghika juga dikatakan menganut tapi tidak menyatakannya sebagai 'otoritas'. Ini juga masuk akal karena turunan dari Mahasanghika seperti Yogacara di kemudian hari, juga menekankan pembelajaran basis Abhidharma. Jadi saya pikir kurang tepat kalau "Vibhajjavada" ini merujuk pada aliran Abhidharmika, sementara "Vibhajjavadin" ini sendiri menyebutkan Sarvastivada dan Mahasanghika (yang notabene adalah Abhidharmika juga) sebagai 'heretic'.
Nah, bergerak ke manfaat dan logika-nya... Apa yang dibahas di Abhidhamma tidak bermanfaat dan tidak sesuai logika ?Bermanfaat bagi siapa? , sesuai logikanya berdasarkan apa?
Yang di-bold setahu saya, Yogacara bukan turunan Mahasanghika, tetapi salah satu aliran Mahayana yang muncul jauh setelah Mahasanghika. Kebanyakan orang salah paham dengan menganggap Mahasanghika = Mahayana, padahal tidak sama. Mahayana, walaupun mengambil beberapa konsep ajaran Mahasanghika, bukan salah satu dari 18 aliran awal (di mana Mahasanghika termasuk di dalamnya). Mahayana sebagai aliran muncul belakangan setelah perpecahan aliran-aliran Buddhisme awal (kira-kira 500 tahun setelah Parinibbana ketika sutra-sutra Mahayana berkembang). Abhidharma Yogacara pun didasarkan pada Abhidharma Sarvastivada. Ini bisa dibaca di dalam ringkasan Abhidharma Yogacara, Abhidharmasamuccaya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,21529.msg380083.html#msg380083)Iya, Yogacara jauh setelah sekte awal. Dari Mahasanghika muncul Madhyamaka, kemudian turunan Madhyamaka ini yang jadi Yogacara.
Iya, Yogacara jauh setelah sekte awal. Dari Mahasanghika muncul Madhyamaka, kemudian turunan Madhyamaka ini yang jadi Yogacara.
Saya ulangi lagi yah. Kalau perihal apakah 4 Nikaya itu Ajaran Langsung Sang Buddha, kita tidak akan pernah tahu. Tapi 4 Nikaya itu dipercaya sebagai karya tertua bukan penambahan belakangan sebab sekte-sekte awal sama-sama mengakui 4 Nikaya (=Agama) itu. Sementara, karya-karya lainnya, muncul belakangan dan sifatnya sektarian.
demikian pula dengan abhidhamma, saya cenderung menganggap ini adalah produk analisa dan penjabaran menurut sekte masing2 yang "credit"-nya diberikan ke sang buddha. Tentu bermanfaat dan logis, menurut sekte masing2.
Nah selama tidak bertentangan dengan "atas"-nya (dalam artinya abhidhamma merupakan produk turunan penjabaran dari sutta/nikaya awal), tentu bisa membantu menjelaskan produk "Atas"-nya itu sesuai pandangan sekte dari sumber abhidhamma itu. Demikian pula dengan atthakatha, tika, anutika dllSepertinya begitu, dan sudah berjalan 2 millennia lebih.
Ada suatu petunjuk dalam sutta bahwa Abhidhamma setidaknya sudah ada cikal bakalnya pada masa Sang Buddha sendiri, misalnya AN 4: 180 Mahāpadesasuttaṃ (Rujukan Agung) ditemukan pernyataan tentang ahli matika/matikadhara (diterjemahkan om Indra sbg "ahli kerangka"):
(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka [dhammadharā vinayadharā mātikādharā].
Dlm istilah Abhidhamma, matika (ada yg menerjemahkan sbg matriks) menunjuk pada ringkasan pengelompokan dhamma (fenomena) spt yg terdpt dlm Dhammasangani. Ada yg menduga matikadhara dlm sutta menunjuk pada para bhikkhu yang mengajarkan ringkasan2 ini yg kelak menjadi cikal-bakal Abhidhamma yg lbh kompleks.
Lho, bukannya Madhyamaka juga bukan dari Mahasanghika? Tetapi muncul berdasarkan sutra-sutra Mahayana tentang sunyata, terutama Prajnaparamita.Seingat saya Madhyamaka itu turunan Mahasanghika, karena hanya di hanya di sana Abhidharma tidak menjadi otoritas. Mereka menolak doktrin svabhava (paham landasan makhluk) dari Abhidharma, dan mengembangkan doktrin sunyata. Doktrin sunyata ini menurut saya lebih sesuai ke nikaya awal.
Abhidharma Madhyamaka juga didasarkan pada Abhidharma Sarvastivada.Madhyamaka tidak pakai Abhidharma, tapi Yogacara mengadopsinya dan dibuat 'komentarnya' dalam Abhidharmasamuccaya. Sementara Abhidharma Sarvastivada yang mendasari 'komentar' Abhidharmakosha.
Memang banyak para ahli yang menganggap sutra-sutra Mahayana (Vaipulya Sutra) itu ciptaan Mahasanghika, tetapi tidak ada bukti yang mendukung tentang hal ini selain kemiripan konsep.Betul, sutra-sutra Mahayana ini sepertinya sporadis, bukan dari satu aliran tertentu. Bahkan catatan Fa Xien bilang sekte2 turunan dari Sthaviravada juga ada 'Mahayana'-nya. Intinya, orang dari aliran apapun yang belajar sutra yang menekankan pencerahan di jalan bodhisatva, maka ia "Mahayana". Tapi kemudian belakangan mulai bergeser makna di mana ada "sekte" Mahayana dan "sekte (buangan)" Hinayana. ;D
Apakah kita (yg membaca sutta terjemahan om Indra) juga harus meyakini om Indra (selaku penerjemah) sebagai seorang Arahant? Jadi bingung...Lebih amannya, meyakini Om Indra bukan Arahant...
Lebih amannya, meyakini Om Indra bukan Arahant...
*kabur*
Pendapat di atas yaitu membandingkan yang sama dari masing2 versi awal boleh dianggap cukup logic. Tapi masalahnya, selain Theravada, semua sekte awal itu sudah musnah berikut sebagian kitab mereka juga sudah hilang. Sedangkan kitab terjemahan versi China sendiri pun tidak lengkap.Betul, sekte awal selain Theravada (Vibhajyavada) punah. Jadi yang punya kumpulan kitab lengkap itu adalah Theravada. Namun karena kitab dari sekte lain banyak yang masih terselamatkan, maka bisa dicari perbandingannya.
"....Unfortunately, with the exception of the Theravāda, none of these early schools survived beyond the late medieval period by which time several were already long extinct, although a considerable amount of the canonical literature of some of these schools has survived, mainly in Chinese translation....[wiki]"
Dengan demikian asumsi bahwa versi Theravada lengkap itu memang adalah merupakan versi awal, yg catatannya sudah ikut musnah pada sekte2 lainnya sehingga tidak bisa dibandingkan lagi, menjadi cukup logis juga.Nah, dengan cara penyelidikan yang sama, Abhidhamma Theravada pun dibandingkan dengan Abhidharma sekte-sekte lain. Hasilnya tidak ada kemiripan konsep satu sama lain. Justru dari penyelidikan inilah para sejarahwan ini mengambil kesimpulan bahwa pada sekte awal, hal utama yang membedakan antar sekte adalah Abhidharmanya. Vinaya dan Agama/Sutta itu secara mayoritas sama, hanya perbedaan minor saja.
[at] Indra: Bisa juga spt itu, tetapi kalo matika itu termasuk ringkasan Dhamma bukan Abhidhamma maka tdk perlu menyebutkan matikadhara sbg tersendiri/berbeda dari Dhammadhara krn matikadhara termasuk Dhammadhara juga...
Ada suatu petunjuk dalam sutta bahwa Abhidhamma setidaknya sudah ada cikal bakalnya pada masa Sang Buddha sendiri, misalnya AN 4: 180 Mahāpadesasuttaṃ (Rujukan Agung) ditemukan pernyataan tentang ahli matika/matikadhara (diterjemahkan om Indra sbg "ahli kerangka"):Sayang sekali memang matikadhara dan abhivinaya tidak pernah ada disinggung penjelasannya, sehingga jadi spekulasi terbuka, seperti ending film horror-thriller.
(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka [dhammadharā vinayadharā mātikādharā].
Dlm istilah Abhidhamma, matika (ada yg menerjemahkan sbg matriks) menunjuk pada ringkasan pengelompokan dhamma (fenomena) spt yg terdpt dlm Dhammasangani. Ada yg menduga matikadhara dlm sutta menunjuk pada para bhikkhu yang mengajarkan ringkasan2 ini yg kelak menjadi cikal-bakal Abhidhamma yg lbh kompleks.
[at] KK: Seingat saya tdk ada ahli yg menyatakan Madhyamaka itu turunan dr Mahasanghika ;DYa, mungkin saja saya salah. Tapi seperti saya katakan, hanya mahasanghika yang tidak menggunakan abhidharma sebagai otoritas dan Madhyamaka juga sama, menolak otoritas abhidharma. Maka saya pikir ada kesamaan di sana.
[at] Indra: Bisa juga spt itu, tetapi kalo matika itu termasuk ringkasan Dhamma bukan Abhidhamma maka tdk perlu menyebutkan matikadhara sbg tersendiri/berbeda dari Dhammadhara krn matikadhara termasuk Dhammadhara juga...Jika dhammadhara -> pelestari sutta
Btw diskusinya menarik, kenapa tdk dijadikan thread baru ttg pembahasan Buddhisme awal saja? :)Mungkin jika informasi sudah dikumpulkan secara sistematis dan mudah dibaca, saya akan bikin thread baru. Sementara kita obrolkan secara bebas dulu saja. Tapi kalo bro ariyakumara mo bikin dari sudut pandangnya, juga tentu OK saja.
untuk meramaikan, berikut pendapat bhikkhu pannobhasa:Dasar sesat kau!! ;D ^:)^
[Catatan numpang lewat]
"... cattāro satipaṭṭhānā cattāro sammappadhānā cattāro iddhipādā pañcindriyāni pañca balāni satta bojjhaṅgā
ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, tattha sabbeheva samaggehi sammodamānehi avivadamānehi sikkhitabbaṃ.
Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... "
Dari kutipan Kinti Sutta ini, 37 hal ini dan penjelasannya yang disebut "Abhidhamma", sebab merupakan jalan menuju pencerahan.
Di AN, istilah 'Abhidhamma' selain perbincangan Mahakotthita tentang Abhidhamma (yang tidak dijelaskan apa isinya), istilah ini selalu berpasangan dengan "Abhivinaya". Kalau Abhidhamma diajarkan di Tavatimsa, kira-kira Abhivinaya diajarkan di alam mana yah?
Many scholars believe that the Tipitaka was compiled in the third Buddhist council. But such claims are unfounded when we look at the Mahavamsa (one of the most reliable sources of the Buddhist history; and a principal source for the construction of the history of ancient India) it is explicitly stated that even before the convention of the third Buddhist council (which took place in Pataliputta [Sanskritised: Pataliputra or modern Patna during the reign of the Emperor Asoka] one thousand erudite monks “well versed in the Tipitaka …” (or the three canons)[7] were chosen for the re-compilation of the original and purest teachings of the Buddha to eliminate the interpolations crept therein in the original corpuses. The above statement corroborates to the fact that the Tipitaka definitely existed before the third Buddhist council, however, its form could have been somewhat different from what was compiled in the third council; or what is handed down to us by the tradition in its current form.pada dasarnya paragraf di atas sama dengan menyatakan bahwa bukti keberadaan lord voldermort adalah buku harry potter no 1- 7.
pada dasarnya paragraf di atas sama dengan menyatakan bahwa bukti keberadaan lord voldermort adalah buku harry potter no 1- 7.
Yeah, dan beberapa sekte di Mahayana kemudian juga mengarang buku abhidharma twilight series.penekanannya bukan pada dongengnya, tapi pada ketidaknetralan mahavamsa dipakai sebagai bukti / argumen keotentikan abhidhamma... kalau ingin membuktikan keotentikan abhidhamma pakailah bukti diluar sumber2 srilanka...
penekanannya bukan pada dongengnya, tapi pada ketidaknetralan mahavamsa dipakai sebagai bukti / argumen keotentikan abhidhamma... kalau ingin membuktikan keotentikan abhidhamma pakailah bukti diluar sumber2 srilanka...
Secara historis yang di Srilangka adalah ghost copy yang dibawa putra dan putri Raja Asoka dari India setelah Konsili ke-2. Konsili ke-2 bersumber dari Konsili ke-1.sumber yang ada memang tidak lengkap, tapi cukup dan memadai untuk menilai dan menyimpulkan bahwa abhidhamma adalah karangan belakangan. jadi terserah, mau memakai "bukti2" keluaran srilanka, atau bukti2 lain yang berlimpah, konsisten dan lebih netral dari berbagai sekte awal buddhism...
Kalau mau mencari bukti tentang ajaran dari mulut ke mulut sejak Konsili ke-1 sampai menjadi hasil seperti yg ke-3 ya tidak bisa, seperti yang sudah dibahas sama om Indra. Mau cari bukti di luar Srilangka? Sejarah mengatakan, sumber2nya tidak lengkap lagi, sebagian besar dan sebagian kecil sudah musnah. Masa mau mencari 'yang ada' di suatu tempat, di tempat lain yang sudah tidak ada.
Yeah, dan beberapa sekte di Mahayana kemudian juga mengarang buku abhidharma twilight series.
brother-brother... kita sekarang ini bisa meng-akses 4 Nikaya itu asal-nya dari dokumentasi tertulis yang manakah ?
dan bisa-bisa-nya mengabaikan Abhidhamma... dan menerima 4 Nikaya + vinaya saja... padahal semua-nya merupakan PRODUCT (output) dari konsili ke-3 dan konsili ke-4....
atau ada yang mendapatkan langsung versi 4 nikaya awal + vinaya langsung dari konsili ke-1 ?
---
JIKA KITA menyatakan abhidhamma sebagai karya HOAX, Kok bisa-bisa-nya diloloskan di konsili ke -3 dan konsili ke-4, dianggap sebagai Tipitaka yang kisahnya diajarkan langsung oleh BUDDHA. JIKA ANALISA-nya adalah bahwa abhidhamma = Hoax, maka Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita = TIDAK BOLEH DIPERCAYA sebagai pengumpul dan penvalidasi AJARAN BUDDHA di konsili ke-3 dan ke-4... KArena bisa-bisanya memasukkan karya HOAX ke dalam apa yang disebut KERANJANG AJARAN BUDDHA.
Dengan demikian ISI 4 NIKAYA AWAL + VINAYA juga harus diragukan isi-nya SAMA SEPERTI / SEJALAN dengan AJARAN BUDDHA sesungguhnya...
http://tipitaka.org
dan http://tipitaka.org itu dari <-- konsili ke-6 < -- konsili ke-5 <-- konsili ke-4
atau http://tipitaka.org <-- konsili ke-1 ?
konsili 1 - 3 tidak pernah dituliskan, apalagi online, jadi lupakan untuk mencari teks hasil konsili 1-3
website tipitaka.org hanya mencatat teks hasil konsili 5 dan 6. perubahan teks dari 5 -> 6 ditandai dengan teks berwarna biru.
menurut informasi dari seseorang di Sri Lanka, bahkan di Sri Lanka pun arsip konsili 4 yg lengkap sudah tidak tersedia.
dan dengan dasar ini, kita bisa menyatakan bahwa Abhidhamma itu HOAX, 4 nikaya awal + vinaya itu-lah yang diajarkan Buddha ? mantafff....
[at] KK: Baru sadar ternyata ini thread Jurnal Pribadi ;DYa, silahkan mengobrol bebas ngalor ngidul. ;D
Ya, ttg matikadhara itu memang sebatas spekulasi. Begitu pula semua analisis/hipotesis para ahli ttg Buddhisme awal juga sebatas spekulasi krn Buddhisme India kuno sbg sumber kajian Buddhisme awal telah lenyap ditelan sejarah... ;DYa, paling jauh yang didapat memang hanya sejauh kitab-kitab awal. Maka kalau ditanya apakah yang asli betul2 original pengulangan sabda Buddha, sepertinya jawabannya tidak akan kita ketahui. Yang kita cari di sini adalah penjelasan atas kebingungan mengapa "Buddhism" ini bisa banyak sekali interpretasinya.
demikianlah seharusnya, maka ada slogan yg berbunyi RAGU PANGKAL CERAH™
tentu saja bukan dengan dasar ini, melainkan dengan dasar2 pada postingan2 sebelumnya yg sudah sangat kuat.
Tapi sebaliknya bagaimana? apakah ada bukti teks awal yg mengatakan bahwa Abhidhamma diajarkan oleh Sang Buddha? bantahan seharusnya didukung oleh referensi yg memuaskan.
Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita... yang menjadi pemimpin pada konsili ke-3 dan ke-4... yang telah menvalidasi pengulangan2 lisan... Kalau bukan mereka berdua yang dipercayai, lantas siapa ?
dan bisa-bisa-nya mengabaikan Abhidhamma... dan menerima 4 Nikaya + vinaya saja... padahal semua-nya merupakan PRODUCT (output) dari konsili ke-3 dan konsili ke-4....
atau ada yang mendapatkan langsung versi 4 nikaya awal + vinaya langsung dari konsili ke-1 ?
---
JIKA KITA menyatakan abhidhamma sebagai karya HOAX, Kok bisa-bisa-nya diloloskan di konsili ke -3 dan konsili ke-4, dianggap sebagai Tipitaka yang kisahnya diajarkan langsung oleh BUDDHA. JIKA ANALISA-nya adalah bahwa abhidhamma = Hoax, maka Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita = TIDAK BOLEH DIPERCAYA sebagai pengumpul dan penvalidasi AJARAN BUDDHA di konsili ke-3 dan ke-4... KArena bisa-bisanya memasukkan karya HOAX ke dalam apa yang disebut KERANJANG AJARAN BUDDHA.
Dengan demikian ISI 4 NIKAYA AWAL + VINAYA juga harus diragukan isi-nya SAMA SEPERTI / SEJALAN dengan AJARAN BUDDHA sesungguhnya...
Dari mana mereka memperoleh sertifikasi Arahant itu sehingga layak dipercaya dengan membuta?
Bang dilbert tidak menyimak. Kalau patokannya hanya 'hasil konsili', tidak perlu pembahasan panjang lebar.
Misalnya dalam konsili V di Burma, Milinda Panha dimasukkan ke dalam Khuddaka Nikaya. Apakah itu berarti Milinda Panha sama dengan produk awal? Jika di masa depan ada orang Burma yang pelajari Nikaya dari catatan konsili V, apakah berarti harus menerima Milinda Panha mentah-mentah hanya karena dia mempelajari Nikaya produk konsili V?
Milinda Panha tidak disebutkan sebagai ajaran langsung dari Buddha, dan itu clear... sedangkan Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha...Bang dilbert pernah baca Abhidhamma Pitaka ga?
Itu dua hal yang berbeda..
dan darimana kita mempercayai bahwa apa yang dihasilkan dari konsili ke-3 dan konsili ke-4 adalah Ajaran langsung dari BUDDHA ?
tentunya setelah melakukan pengujian berulang2.
Milinda Panha tidak disebutkan sebagai ajaran langsung dari Buddha, dan itu clear... sedangkan Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha...
Itu dua hal yang berbeda..
dan Mogalitaputta Tissa serta Bhikkhu Rakkhita "gagal" melakukan-nya sehingga memasukkan kisah HOAX...
mantafff...
bisa tolong diberikan refnya bahwa Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha.
alur Kisah Milinda Panha = tidak berasal dari buddha, tetapi berasal dari Bhikkhu Nagasena setelah era Buddha.. ITU CLEAR
TIDAK DAPAT DIPUNGKIRI, bahwa Bhikkhu Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita itu yang men-validasi 4 Nikaya awal + Vinaya + Abhidhamma...
Dengan kemampuan apakah, kita bisa menyatakan bahwa hanya 4 Nikaya awal + Vinaya itu saja yang berasal dari Buddha, sedangkan Abhidhamma itu bukan ?...
Jika kita ragukan Abhidhamma itu bukan berasal dari Buddha, kita juga harus meragukan 4 Nikaya awal + Vinaya itu juga bukan berasal dari Buddha, KARENA SUMBER VALIDASI-nya adalah dari Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita... KECUALI ANDA MEMILIKI SUMBER REFERENSI LAIN....
tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls
masalah-nya anda hanya mempercayai 4 nikaya awal + vinaya itu berasal dari Buddha, tentu saja anda tidak akan menemukan adanya abhidhamma di (4 nikaya awal + vinaya).
dan bisakah kita menanyakan dengan bukti apakah kita bisa meyakini bahwa 4 nikaya awal + vinaya itu berasal dari Buddha ?
Bukankah 4 nikaya awal + vinaya + (abhidhamma) itu kita dapatkan dari Mogalitaputta Tissa Thera... Bagaimana-kah anda bisa mencomot bagian tertentu dari validasi seseorang (baca : Mogalitaputta Tissa Thera) sebagai valid, sedangkan bagian lagi sebagai un-valid ?
tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls
Pertanyaan yang serupa bisa ditanyakan kepada yang mengatakan 4 NIKAYA sajalah yg original :
- Apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa 4 NIKAYA itu berasal dari Sang Buddha?
- Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa 4 NIKAYA saja yg berasal dari Sang Buddha?
Anda memakai asumsi untuk mengatakan 4 Nikaya itu asli, sebaliknya dengan asumsi pula Abhidhamma dapat dikatakan juga merupakan ajaran Sang Buddha.
repost:
tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls
bukti ini boleh saja dari Abhidhamma Pitaka itu sendiri. Di sini kita sedang menguji keotentikan suatu teks, jadi berikanlah bukti2 teks juga. kesampingkan dulu soal percaya atau tidak percaya. nanti setelah kita melihat bukti2 baru kita putuskan untuk diri kita sendiri apakah mau percaya atau tidak percaya.
Majjhima Nikaya
Mahagosingha sutta
"the talk of two Bhikkhus on the Abhidhamma, each asking and answering the other without faltering is in accord with the Dhamma"
Gulissaani Sutta (M 69)
aaraññikenaavuso, bhikkhunaa abhidhamme abhivinaye yogo kara.niiyo "Friends, by a bhikkhu living the forest effort ought to be made in abhidhamma and abhivinaya"
Vinaya pitaka
"If without any intention of reviling the Vinaya one were to instigate another saying -'pray study the suttas or gathas or Abhidhamma first and afterwards learn the vinaya' there is no offense"
Vinaya iv 344
sudah dibahas sebelumnya oleh Yang Mulia Kutu, bahwa kata "abhidhamma" bukannya tidak ada dalam Nikaya, tapi kata itu tidak merujuk pada Abhidhamma Pitaka.
coba check Bhikkhuni vibhanga...
In the Bhikkhuni Vibhanga Vin,1V,344
QUOTE( "A bhikkhuni is guilty of a minor offence) if she questions on the
Abhidhamma or Vinaya after getting permission (to question) on the Suttanta, or
on the Suttanta or Vinaya after getting permission (to question) on the
Abhidhamma, or on the suttanta or Abhidhamma after getting permission (to
question) on the Vinaya."
---
Salah penterjemahan atau bagaimana ? saya melihat pengelompokkan yang persis sama, suttanta, vinaya dan abhidhamma...
catatan kaki:
9. Asking a question related to the Vinaya can be the first step in admonishment and making accusations (see Mv.II.15.6-8), which is why this rule is related to the eighth of the eight vows of respect (against a bhikkhuni admonishing a bhikkhu). As Horner notes in BD, the word-commentary to this rule is one of the few places in the Vinaya that apparently refers to the Abhidhamma as a text -- thus indicating that either the rule or its word-commentary is a later formulation.
Pokoknya kalo ada abhidhammanya, itu tambahan belakangan, terserah mau di sutta apa vinaya, atau komentarnya.
Info lagi:
Pada awal abad ke-19 (tahun 1800-an) di mana teks-teks kanon Mandarin belum diterjemahkan ke bahasa Inggris, para sarjana Buddhis Barat seperti Rhys Davis menggunakan bukti internal dari teks Pali itu sendiri untuk memperkirakan kekunoannya, yaitu tata bahasa dan gaya bahasa yang digunakan apakah berasal dari masa yang lebih kuno atau lebih baru. Hasilnya memang Nikaya-Nikaya mengandung tata bahasa dan gaya bahasa yang lebih tua dibandingkan dengan teks-teks Abhidhamma. Banyak yang meragukan ketepatan metode ini, tetapi baru terbukti setelah abad ke-20 di mana mulai banyak yang menerjemahkan teks Mandarin ke bahasa Inggris sebagai perbandingan dengan teks Pali.
Pokoknya kalo ada abhidhammanya, itu tambahan belakangan, terserah mau di sutta apa vinaya, atau komentarnya.bukan hanya abhidhamma loh, yg di sutta juga harus diperlakukan yg sama, dengan kritis dan tidak kepercayaan membuta, demikian pula vinaya. Kalo komentar yah pasti lah belakangan.
pada akhir perdebatan ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di langit
dan para dewa menaburkan bunga dari surga. peserta debat dipenuhi sukacita dalam hatinya dan
saddhanya bertambah kuat kepada abhidhamma. tidak ada lagi keraguan tentang sang tiratana
dan lenyap seluruh kepercayaan sesat bagaikan kegelapan disuluhi obor. 84000 dewa dan brahma
berseru nyaring sadhu 3x memenuhi angkasa raya...
di akhir perdebatan ini juga, tuhan yang maha kuasa membagikan 10 grp ke semua peserta diskusi yang
memiliki saddha yang tak tergoyahkan dan 50 grp kepada yang tidak memiliki saddha kepada
abhidhamma agar segera bertobat...
[at] Indra: Belum tentu akurat juga krn bisa saja org2 pd masa yg belakangan menambah/mengubah teks dg tata bahasa dan gaya bahasa yg lbh kuno. Waktu itu para sarjana jg menyadari bisa ada kemungkinan spt itu, tetapi dg adanya perbandingan dg teks Agama Mandarin malah menguatkan metode ini.
baiklah, GRP akan dibagi mulai untuk member dari page 95 sampai 101.
kalo ada yg gak nambah, itu karena
"Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours."
ai termasuk ndak ?
bahhh
yg udah 400 gak bisa nambah lagi, udah mentok
baiklah, GRP akan dibagi mulai untuk member dari page 95 sampai 101.
kalo ada yg gak nambah, itu karena
"Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours."
Om Indra pintar deh, menabur grp menuai grp :whistle:
+1 buat semuanya
Lumayan kasih 1 dapat 3. Mestinya aturan grp diubah, memberi 1 grp akan mengurangi 1 grp si pemberiKalo gitu BRP orang, BRP sendiri berkurang ato ikut nambah?
Lumayan kasih 1 dapat 3.
Mestinya aturan grp diubah, memberi 1 grp akan mengurangi 1 grp si pemberi
Pasti lulusan sekolah ekonomi nih. ;D
Tapi gw bagi2 grp koq ga nambah2. ::)
Ga ada yang punya reputasi plus donk, minus semua.
Kecuali kalo yg memberi BRP akan menambah 1 GRP :)) :))
Kalo gitu BRP orang, BRP sendiri berkurang ato ikut nambah?
Tapi gw bagi2 grp koq ga nambah2. ::)Kalau bisa pasti sudah saya +.
lumayan, dapat 4 :P
Akhirnya diskusi berakhir dan pesta usai. Ada yang puas, ada yang puas sekali... :whistle:
loh, kata siapa diskusi udah berakhir tah?
*hayo pada balikin grp*
aye ampir kekejar indra nih :(
sesuai instruksi bos, kasih BRP ahwkwkwkwk
wkwkwkwk
-2
sesuai instruksi bos, kasih BRP ah
Sebenernya GRPnya bisa ditukarin Doorprize gag, kalau iya bisa minta nih... Oh ya ntar nukarinnya kemana, dateng langsung pa pakai kartu pos hehehe...Kalo reputasi di atas 50, kalo kopdar bisa dapet hadiah langsung.
#yang ini gag minta GRP koq...
Sebenernya... dapet kesimpulan dari mana yah ini sudah berakhir? Ini om morph menyesatkan nih...ampun, om ^:)^
ampun, om ^:)^Ga gagal juga sih, dapet +6 nih... :D
saya gak bilang berakhir kok.
cuman ngasih contoh penutup kitab keluaran srilanka dan kesempatan mancing grp grosiran dari tuhan (dan gagal) ;D
silakan lanjut....
kalo serius, pindah deh, jangan di kamar pribadi orang.Emang di kamar pribadi ga boleh ngomong serius?
Emang di kamar pribadi ga boleh ngomong serius?
Ada rasa sungkan pada pemilik kamar, jadi walaupun serius, tetap ada nuansa mesumnya.:hammer:
Ada rasa sungkan pada pemilik kamar, jadi walaupun serius, tetap ada nuansa mesumnya.
Kalo reputasi di atas 50, kalo kopdar bisa dapet hadiah langsung.
yg udah 400 gak bisa nambah lagi, udah mentokOm ryu udah 401. ???
Gag mungkin DC kopdar di semarang SOOO... GRPnya gag usah nyampe 50 juga Gpp hehehehe... Secara anggota DC di semarang gag nyampe jumlah jari di 2 tangan juga...dituker air mineral doang cc. ;D
Gag mungkin DC kopdar di semarang SOOO... GRPnya gag usah nyampe 50 juga Gpp hehehehe... Secara anggota DC di semarang gag nyampe jumlah jari di 2 tangan juga...
gue blum sempat baca smua yang dibahas soal early buddhism sich... ga tau ud dibahas or belum nih...Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).
cuma tiba2 terpikir, klo ga salah, perkembangan AB di indo itu dibawa masuk sama bhante Narada...jd yang dibawa bhante narada itu aliran yang mana?
Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).
Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).
DC ga termasuk ya?
Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).Saya 'kan ga hidup di dalam DC (yang adalah dunia maya). :D
:o kenapa merasa cukup beruntung ga hidup dalam komunitas buddhis? berarti yang hidup dalam komunitas buddhist itu orang yang tidak beruntung duonkkkk?Beruntung ato nggak itu subjektif. Merasa beruntung karena dalam belajar dhamma saya harus mencari, belajar, dan menyelidiki sendiri, bukan dicekokin secara dogmatis sebagaimana kalau orang sekolah (Buddhis) atau mengikuti ceramah pandita/bhikkkhu yang dianggap pasti benar.
Beruntung ato nggak itu subjektif. Merasa beruntung karena dalam belajar dhamma saya harus mencari, belajar, dan menyelidiki sendiri, bukan dicekokin secara dogmatis sebagaimana kalau orang sekolah (Buddhis) atau mengikuti ceramah pandita/bhikkkhu yang dianggap pasti benar.
Jika saya sudah diarahkan dengan pandangan tertentu dalam belajar Buddhisme, mungkin akan banyak hal yang terlewatkan oleh saya.
berdasarkan penjelasan ini, saya jadi merasa sangat tidak beruntung... :(Kalau begitu merasa beruntunglah karena masih dapat belajar lebih banyak mulai sekarang.
Kalau begitu merasa beruntunglah karena masih dapat belajar lebih banyak mulai sekarang.
OK, SH? Gak pernah dengar...
Beruntung ato nggak itu subjektif. Merasa beruntung karena dalam belajar dhamma saya harus mencari, belajar, dan menyelidiki sendiri, bukan dicekokin secara dogmatis sebagaimana kalau orang sekolah (Buddhis) atau mengikuti ceramah pandita/bhikkkhu yang dianggap pasti benar.
Jika saya sudah diarahkan dengan pandangan tertentu dalam belajar Buddhisme, mungkin akan banyak hal yang terlewatkan oleh saya.
jadi intinya koko kainyn menganut paham ehipassiko :DBerbeda dengan saya, menurut saya Buddhisme dimulai dengan pandangan benar, seperti dalam JMB8. Jika orang melakukan moralitas dengan pandangan dan pikiran salah, misalnya: "saya tidak mabuk-mabukan karena kalau mabuk tidak diberkahi Buddha dan bisa dipentung Vajirapani", maka moralitas demikian menjadi kurang/tidak bermanfaat.
kalo menurut chinpoko yg terpenting dalam belajar Buddhisme adalah moralitas
so aliran apapun dlm Buddhisme yg kita anut tak jd masalah yg terpenting hal tesebut membawa kebaikan bg diri sendiri n makhlk lain _/\_Biarpun bukan Buddhis, jika ajarannya membawa kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain, maka ajaran itu adalah baik.
8 lainnya siapa?
Sori ma om Kaynin dulu, OOT dikit... Btw kan tangan kita cuma 2 buah om jumlahnya, emg manusia punya tangan lbh dari sepasang alias 2 buah??
OK, SH? Gak pernah dengar...
oh saya pikir jarinya (10biji), kalo gitu satu lagi siapa?CHL ama jupe?
OK kayanya aku tau.... ;D SH suhu?Nah... Kalau gitu kasih tau.
Nah... Kalau gitu kasih tau.
Nah... Kalau gitu kasih tau.Om K**** kali ya??? :hammer:
_/\_Asuransi itu tentunya bukan penghidupan salah, karena dalam hal ini tidak ada pihak yang dirugikan, klien seperti investasi di asuransi, lalu kalau terjadi apa-apa, asuransi yang keluarkan biaya. Kalau tidak terjadi apa-apa, yah asuransi juga untung karena mendapat masukan dari iuran.
to ko KK,ataupun siapa yg sudi memberikan masukannya
ada yg bikin sy agak risau ni,baru ku sadari ternyata sy punya 3 asuransi ,jika mati,anak2 sy n suami gak akan kesulitan keuangan n yg jadi pertanyaan,cara pencarian nafkah yg salah gak dlm agama buddha, n lagi hoby jual beli emas logam atam termasuk judi gak ya,thanks
_/\_
to ko KK,ataupun siapa yg sudi memberikan masukannya
ada yg bikin sy agak risau ni,baru ku sadari ternyata sy punya 3 asuransi ,jika mati,anak2 sy n suami gak akan kesulitan keuangan n yg jadi pertanyaan,cara pencarian nafkah yg salah gak dlm agama buddha, n lagi hoby jual beli emas logam atam termasuk judi gak ya,thanks
nanya donk...pernah kah KK terjebak dalam situasi maju mundur kena? how to handle it? ada penyesalan stlh itu ?
nanya donk...pernah kah KK terjebak dalam situasi maju mundur kena? how to handle it? ada penyesalan stlh itu ?Kalau tidak ada jalan keluar, yah pilih yang tingkat akibat buruknya lebih sedikit dan kecil. Penyesalan kadang ada, tapi tidak berguna, yang penting jadikan pelajaran supaya bisa menghindari situasi serupa di kemudian hari.
Kalau tidak ada jalan keluar, yah pilih yang tingkat akibat buruknya lebih sedikit dan kecil. Penyesalan kadang ada, tapi tidak berguna, yang penting jadikan pelajaran supaya bisa menghindari situasi serupa di kemudian hari.
hmm sarannya dong,sy disuruh donor darah,sy bilang gak ah,krn sy punya penyakit gula n darah tinggi,kasihan tar yg terima,trus di bilang gak ada hubungannya,kalau uda di donor bukan lg urusan kita,benarkah demikian,jika sy donor darah akan terbentuk darah yg lbh baik,thanks ya bagi yg memberi sarannya
sptnya petugas PMI juga tidak akan mengizinkan anda untuk donor darah karena darah tinggi
sptnya petugas PMI juga tidak akan mengizinkan anda untuk donor darah karena darah tinggi
bukannya darah rendah yang tidak boleh ?terlalu tinggi dan rendah keduanya gak boleh..
terlalu tinggi dan rendah keduanya gak boleh..
Note: Biasa diketahui kalau orang punya 32 tanda manusia besar (mahāpuruṣa lakṣaṇa) akan jadi Cakravartin, dan jika jadi petapa, akan jadi seorang Buddha. Ini kurang lengkap. Seharusnya kalau punya 32 tanda dan menjadi petapa pada masa utama kehidupannnya, maka akan menjadi seorang Buddha.
Para Cakravartin dikisahkan juga memiliki tradisi menjadi petapa, namun setelah lewat masa kehidupan utama, setelah rambut putih terlihat. Kehidupan lampau Bodhisatta Gotama sebagai Cakravartin bernama Vijitavi, juga meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan monastik di bawah Sangha Buddha Kondanna. Dalam Nimi Jataka, dijelaskan juga bahwa Cakravartin Makhadeva dengan 83.997 keturunannya, semua menjalani tradisi demikian. Kemudian Makhadeva yang terlahir di alam Brahma turun lagi ke alam manusia di antara keluarganya dengan tekad untuk melengkapi 84.000 keturunan ini dan menjadi raja nomor 83.999 bernama Nimi. Ia menjalani tradisi dengan meninggalkan keduniawian juga, namun anaknya, Kalarajanaka tidak melanjutkan tradisinya dan menjadi yang terakhir di generasi itu.
Tidak kalah menariknya adalah penjelasan tentang waktu, di mana masing-masing raja itu berumur 336.000 tahun dan memerintah selama 84.000 tahun sebelum dilanjutkan generasi berikutnya. Berarti rentang waktu pemerintahan para Cakravartin ini adalah 7.056.000.000 tahun, dan itu terjadi di tempat yang sama dengan ketika Buddha Gotama mengunjungi Mithila. Mengingat geologi dan umur bumi yang kisaran 4.5 milyar tahun, maka kisah ini boleh dibilang tidak ilmiah.
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.
Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.
Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)
Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)
Cakravartin(Sanskrit) atau Cakkavati(Pali) artinya raja pemutar roda
cakravartin itu apa artinya?
mksdny? berarti ada 84.000 generasi?
Cakravartin(Sanskrit) atau Cakkavati(Pali) artinya raja pemutar roda
lengkapnya disini (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_26:_Cakkavatis%C4%ABhanad%C4%81_Sutta)
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.
Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.
Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)
Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)
Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.
atthasila memang sangat sulit dijalankan sambil melakukan aktivitas sehari2. menurut informasi yg pernah saya di dengar, di Srlanka, karyawan sebuah perusahaan diperbolehkan tidak bekerja pada hari uposatha. Jika memungkinkan usahakan agar tidak masuk kerja pada hari Uposatha jika ingin bersungguh2 menjalankan sila, namun jika tidak memungkinkan, latihlah hanya sila2 yg mungkin dijalankan, walaupun ini tidak disebut latihan atthasila.
Pemutar Roda, tapi jangan dianggap sopir truk. Maksudnya Cakravatin ini adalah raja ideal yang memerintah sesuai dengan dharma, menaklukkan tanpa kekerasan. Rakyatnya sangat makmur. Lengkapnya, bisa baca link dari Om Will_i_am di atas.
cakravartin itu apa artinya?
mksdny? berarti ada 84.000 generasi?Iya, Makhadeva generasi yang memulai dan Nimi adalah generasi terakhir yang menjalankan tradisi. Anaknya Nimi ga melanjutkan tradisi itu lagi. Baik Makhadeva dan Nimi, keduanya adalah kehidupan lampau Bodhisatta Gotama.
atthasila memang sangat sulit dijalankan sambil melakukan aktivitas sehari2. menurut informasi yg pernah saya di dengar, di Srlanka, karyawan sebuah perusahaan diperbolehkan tidak bekerja pada hari uposatha. Jika memungkinkan usahakan agar tidak masuk kerja pada hari Uposatha jika ingin bersungguh2 menjalankan sila, namun jika tidak memungkinkan, latihlah hanya sila2 yg mungkin dijalankan, walaupun ini tidak disebut latihan atthasila.Semua memang bisa diusahakan. Tapi kalo boleh tahu, untuk apakah sila ini dijalankan? Bagaimanakah penjelasannya, apakah sentuhan pantat dengan kursi bahan tertentu atau lebar tertentu, bisa menodai batin?
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.
Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.
Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)
Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)
Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.
Kk,Kurang tahu tentang itu, tapi sepertinya tergantung kasurnya dari bahan apa.
tidur atau baringan di kasur setebal 15cm-30cm boleh?
Semua memang bisa diusahakan. Tapi kalo boleh tahu, untuk apakah sila ini dijalankan? Bagaimanakah penjelasannya, apakah sentuhan pantat dengan kursi bahan tertentu atau lebar tertentu, bisa menodai batin?
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.
inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.
Sesuai sutta, tidak diperbolehkan untuk berbaring di tempat tidur yang besar atau tinggi. Apakah termasuk pelanggaran sila apabila kita duduk di tempat tidur yang tinggi?
Meskipun Sutta hanya mengatakan tentang berbaring, para Atthakatha Acariya disini memasukkan kategori duduk juga. Hal ini serupa dengan sila ketujuh, dimana para Atthakatha Acariya memasukkan mendengar dalam larangan sehubungan dengan menonton tarian, nyanyian, dll. Berdiri atau berjalan di tempat duduk atau kursi tidak diperbolehkan
sumber: http://www.facebook.com/groups/AtthasilaSupportGroup/228466900618011/ (http://www.facebook.com/groups/AtthasilaSupportGroup/228466900618011/)
Suttanya sutta apa? Pertanyaan gw di atas belum terjawab. ::)
ini sutta uposatha yg meniru arahant
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html)
lainnya
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html)
"[He considers:] 'For all their lives the arahants having abandoned high beds[9] and large beds,[10] refraining from high beds and large beds, they make use of a low sleeping place, a [hard] bed or a strewing of grass; so today I have abandoned high beds and large beds, refraining from high beds and large beds, I make use of a low sleeping place, a [hard] bed or a strewing of grass. By this practice, following after the arahants the Uposatha will be entered on by me.'
"It is undertaken by this eighth practice.
8. "Bhikkhus. Ariyan disciples in this Religion reflect thus:
"'All arahants, for as long as life lasts, have given up lying on large or high beds. They are content with low beds or bedding made of grass.'
"All of you have given up lying on large or high beds. You are content with low beds or beds made of grass. For all of this day and night, in this manner, you will be known as having followed the arahants, and the Uposatha will have been observed by you. This is the eighth factor of the Uposatha.
Tapi detail dari om Indra gw belum ketemu di sutta yg disebutkanNyanya. :-?
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)om kainyn, ini serius atau becanda??
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.
Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.
Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)
Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)
Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.
inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.
Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?
Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.
Jika jumlah makan tidak dibatasi, orang yang tidak rakus tetap tidak makan berkali-kali, cukup untuk kebutuhan makannya saja; tapi orang yang rakus akan makan berkali-kali, berulang-ulang menikmati rasanya, terlepas dari kebutuhan makannya sudah terpenuhi.
Jika jumlah makan dibatasi, maka baik orang rakus dan tidak rakus, tetap makan sekali cukup untuk kebutuhan makannya, dan seandainya makanan itupun dimakan dengan ketamakan, setidaknya dibatasi hanya sekali.
Ini untuk hal makan sekali.
Untuk waktu yang telah ditetapkan, menurut saya pribadi, tidak ada perbedaan efeknya makan di jam-jam tertentu (kecuali secara medis). Berbeda dengan masyarakat jaman dulu, sekarang ini orang menggeluti aneka profesi dan memiliki jam kegiatan yang berbeda-beda. Sebut saja seorang satpam shift malam yang mulai dari pk 10 sampai pk 4 subuh, misalnya, lalu setelah selesai shift-nya, dia pulang, beres-beres, dan tidur selama 6 jam mulai dari pk 6 pagi sampai pk 12. Jika dia mengikuti jam atthasila, maka dia tidak akan makan kecuali mengubah jadwalnya, yang akhirnya akan menyusahkannya sendiri.
IMO, itu hanya kemelekatan pada ritual yang tak bermakna, dan banyak cara akal-akalan untuk ini, misalnya untuk orang yang jamnya fleksibel, bisa digeser agar masa 'tidak makan' itu banyak jatuh pada jam tidur. Misalnya satpam tadi menggeser ke shift pagi dari pk 6 sampai pk 12, langsung makan, pulang, beres-beres dan tidur 6 jam dari pk 2 sampai pk 8 malam. Maka begitu bangun, tinggal tahankan 4 jam saja, lalu sudah bisa makan lagi. Pola 'waktu keramat' begini, menurut saya tidak ada manfaatnya.
Berbeda halnya dengan bhikkhu, semua dilakukan sesuai jadwal yang sama. Tidak ada bhikkhu shift malam. Dana makanan juga disiapkan seragam oleh umat, sebelum tengah hari. Maka tidak ada alasan geser waktu seperti halnya umat awam.
Namun ada kalanya juga karena satu urusan, si bhikkhu makan telat seperti dikisahkan dalam Dhammadayadasutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17327.msg278131.html#msg278131). Di situ, si bhikkhu memiliki pilihan untuk makan makanan yang masih ada, atau menjadi kelaparan sepanjang malam demi tegaknya disiplin dalam dhamma-vinaya. Pilihan pertama tidak dipersalahkan, namun pilihan yang ke dua lebih terpuji dan kondusif pada latihan.
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.Sudah dibantu sama teman-teman (Indra, Sumedho, Ariyakumara). Uposatha dijalankan untuk meniru perilaku Arahant. Dalam Uposathasutta (baik yang ringkas maupun yang terperinci), tidak dijelaskan detail dari uccāsayanamahāsayanaṃ (tempat berbaring tinggi, tempat berbaring besar), namun merujuk pada apa yang dilakukan Buddha sebagai teladan (Gurunya para Arahant), sila yang dijalani dijelaskan dalam Brahmajalasutta itu.
Di buku paritta ku sih jelas tertulis tidak lebih tinggi dari 60cm baik untuk bangku maupun tempat tidur.Tidak bisa, karena dalamnya juga ada kapas/wol.
(http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
Untuk yang ini masih bisa digunakan untuk duduk.
seorang wasit yg duduk di lantai dan wasit yg duduk di kursi tinggi akan memiliki tingkat kesombongan berbeda.Maka saya berikan saran bangku jongkok + periskop. Yang penting sentuhan pantat ke kursi jangan sampai menimbulkan kesombongan, bukan?
Jadi menurut uraian panjang di atas, makan setelah tengah hari walaupun hanya sehari sekali bukanlah suatu pelanggaran terhadap sila atau vinaya?
om kainyn, ini serius atau becanda??Saya sih dua-duanya. Tapi untuk definisi kursi yang dihindari dalam aturan atthasila yang beredar sekarang, memang setahu saya begitu.
Maka saya berikan saran bangku jongkok + periskop. Yang penting sentuhan pantat ke kursi jangan sampai menimbulkan kesombongan, bukan?
Untuk vinaya, jika kasusnya seperti di kasus Dhammadayadasutta yang masih ada makanan sisa dari bhikkhu lain, tidak terima dana dari umat lagi, maka bukan pelanggaran. Lain dari itu, adalah pelanggaran, kecuali bhikkhu itu sakit.
Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Namun ada 2 hal di sini:
-Jika ia melihat sila itu sebagai "aturan waktu keramat untuk makan", maka apakah ia melanggar atau menjalani, ia tidak akan mendapatkan manfaat bagi latihan.
-Jika ia melakukan latihan makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak.
Nah balik lagi kembali ke masing-masing orang apakah menjalankan sila karena mengerti latar belakang dan manfaatnya, atau hanya untuk mengikuti apa yang tertulis. Hal ini saya singgung setelah membaca thread sebelah tentang "Sigalovadasutta" yang katanya relevan sepanjang masa, padahal ada hal-hal tertentu adalah bersifat budaya kontemporer, ada hal-hal yang bersifat kemoralan dan pengikisan noda batin. Hal ke dua ini yang relevan sepanjang masa, namun tidak untuk yang pertama.
tapi tentu saja seorang Buddhist yg sungguh2 berlatih pasti akan lebih menuruti instruksi Sang Buddha daripada saran anda.Iya, maka sekali lagi saya kasih solusi bangku jongkok dan periskop untuk wasit yang kebetulan Buddhis dan berlatih sungguh-sungguh.
dalam kasus sutta itu, IMO Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan dengan makanan sisa dari Sang Buddha sendiri, bukan dari bhikkhu lain, dan itu pun hanya perumpamaan dengan penekanan "walaupun mati kelaparan yg penting latihan".Saya berkeyakinan seorang Tathagata tidak akan menawarkan warisan pelanggaran vinaya kepada bhikkhu, bahkan dalam perumpamaan sekalipun.
sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.Saya tidak menolak hanya semata-mata itu dikatakan di komentar atau Abhidhamma. Yang sering saya bahas adalah mengetahui karya awal (nikaya) sebagai karya awal, dan karya belakangan sebagai karya belakangan (Abhidhamma, komentar, dan sub-komentar). Jika sub-komentar mengatakan hal yang masuk akal, maka sepatutnya diterima. Jika sutta mengatakan hal yang bertentangan dengan fakta, maka sebaiknya ditolak. Seperti sudah disinggung di atas juga perhitungan dari Makhadevasutta bilang bumi berumur sedikitnya 7 Milyar tahun, dan sains mengatakan kisaran 4.5 Milyar tahun. Hal lain seperti di Agannasutta disebutkan awalnya ada manusia yang aseksual, baru kemudian timbul karakteristik "pria-wanita", namun dalam sains, pemisahan seks itu sudah sejak evolusi ikan. Saya tahu, Buddhis yang baik tentu harus menolak sains, dan saya memang bukan Buddhis yang baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".
Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.
Iya, maka sekali lagi saya kasih solusi bangku jongkok dan periskop untuk wasit yang kebetulan Buddhis dan berlatih sungguh-sungguh.
Saya berkeyakinan seorang Tathagata tidak akan menawarkan warisan pelanggaran vinaya kepada bhikkhu, bahkan dalam perumpamaan sekalipun.Dalam perumpamaan itu bukan pelanggaran itu yg sedang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha, bukankah barusan anda menyarankan agar tidak hanya menuruti apa yg tertulis? apakah anda menyimpulkan bahwa dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan warisan tentang makan?
Saya tidak menolak hanya semata-mata itu dikatakan di komentar atau Abhidhamma. Yang sering saya bahas adalah mengetahui karya awal (nikaya) sebagai karya awal, dan karya belakangan sebagai karya belakangan (Abhidhamma, komentar, dan sub-komentar). Jika sub-komentar mengatakan hal yang masuk akal, maka sepatutnya diterima. Jika sutta mengatakan hal yang bertentangan dengan fakta, maka sebaiknya ditolak. Seperti sudah disinggung di atas juga perhitungan dari Makhadevasutta bilang bumi berumur sedikitnya 7 Milyar tahun, dan sains mengatakan kisaran 4.5 Milyar tahun. Hal lain seperti di Agannasutta disebutkan awalnya ada manusia yang aseksual, baru kemudian timbul karakteristik "pria-wanita", namun dalam sains, pemisahan seks itu sudah sejak evolusi ikan. Saya tahu, Buddhis yang baik tentu harus menolak sains, dan saya memang bukan Buddhis yang baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".
Dan yang paling penting di sini, saya tidak membuat komentar. Kita sama-sama punya logika untuk berpikir apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Saya melihat latar belakang "vikala" (waktu salah) adalah sudut pandang budaya di mana dulu jalanan gelap dan tidak ada aktifitas malam hari. Sebelum ada aturan makan hanya sekali, dikatakan ada bhikkhu yang cari makanan malam-malam bikin kaget umat, meresahkan. Selain itu juga bisa dikira rampok atau dibunuh oleh rampok. Beberapa, karena jalan gelap, masuk ke parit, selokan, lobang kakus. Dalam kasus ekstrem bahkan diculik dan dimakan yakkha. Karena itu, jika harus memilih waktu yang tepat dari 3 pilihan waktu, sebelum tengah hari adalah yang terbaik.
Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.
sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.
seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.
tentunya setiap orang akan menciptakan komentar sendiri setiap kali membaca, hanya sang penulis sendiri yang tahu apa maksud sebenarnya dari yang dia tulis bukan?
lalu bagaimana pandangan anda mengenai latihan atthasila ini ? kita sudah membaca pandangan dari KK, menurut bro Indra sendiri bagaimana?
solusi apa yang ditawarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini?
tapi kalau tidak salah, setau saya, selama tidak melewati jam 12 siang, boleh makan apa saja, jadi bukan makan hanya satu kali sehari donk? rentang waktu dari matahari terbit sampai jam 12 siang, kita bukannya diperbolehkan makan apa saja?
seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.Tidak masalah, memang banyak alternatif kok.
Dalam perumpamaan itu bukan pelanggaran itu yg sedang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha, bukankah barusan anda menyarankan agar tidak hanya menuruti apa yg tertulis? apakah anda menyimpulkan bahwa dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan warisan tentang makan?Justru karena saya merasa makan makanan sisa yang belum dibuang, tidak mencari dana makanan lagi, adalah bukan pelanggaran, jadi dalam perumpamaan (makan sisa makanan Buddha) itu sendiri pun tidak ada pelanggaran apa-apa.
menurut saya itu adalah komentar, yaitu menafsirkan vikala-bhojjana sebagai "makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak." yg kemudian ditafsirkan lagi jadi "makan jam 7 malam pun bukan pelanggaran, asalkan cuma satu kali sehari." Hal ini jelas tidak sesuai dengan Dhammavinaya, tapi oke lah jika anda menganggap hal ini bukan berkomentar.Saya tidak manafsirkan "vikala-bhojjana" demikian. Bukankah sudah saya tulis bahwa itu melanggar?
Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Lalu apa latar belakang Sang Buddha memberikan batasan waktu jika parameter sesungguhnya adalah "keserakahan pada lidah"?Batasan waktu, dari yang saya pahami adalah karena umat makan pada tengah hari. Berdasarkan kebiasaan penghormatan, mereka selalu memberikan makanan baru kepada bhikkhu atau petapa guru mereka lainnya, sehingga para umat tidak makan sebelum memberi makanan kepada para bhikkhu.
Dan jika karena alasan malam gelap, jam 5 sore tentu masih terang benderang bukan? dan kenapa harus memilih dari 3 pilihan waktu, jika ada 4, 5, atau 6 pilihan?Awalnya tidak ada larangan makan, maka para bhikkhu makan mulai dari pagi, sepanjang siang, dan malam hari. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan tidak makan siang hari, ini saya kurang tahu kenapa detailnya, tapi intinya Buddha mengajak orang mengurangi makan. Kemudian sangha makan 2x sehari, pagi dan malam. Apa yang didapat pada pagi, yang enak-enak dikumpulkan untuk makan malam yang lebih 'mewah', makanan pilihan. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan lagi meninggalkan makan malam itu, dan hanya makan seadanya pada pagi hari.
Jadi untuk kasus kutub itu anda juga menyarankan makan sekali dalam 6 bulan agar bisa sesuai dengan kala versi anda?Versi saya adalah sesuaikan dengan keadaan dan budaya setempat, tidak menganut "waktu keramat" yang berdasarkan posisi matahari.
Tidak masalah, memang banyak alternatif kok.
Justru karena saya merasa makan makanan sisa yang belum dibuang, tidak mencari dana makanan lagi, adalah bukan pelanggaran, jadi dalam perumpamaan (makan sisa makanan Buddha) itu sendiri pun tidak ada pelanggaran apa-apa.
Soal suttanya tentu adalah warisan makan (tanpa pelanggaran vinaya, IMO) vs warisan dhamma-vinaya.
Saya tidak manafsirkan "vikala-bhojjana" demikian. Bukankah sudah saya tulis bahwa itu melanggar?
Hanya saja, IMO, mengendalikan indria lidah adalah lebih penting ketimbang memperhatikan 'waktu keramat' untuk makan.
Batasan waktu, dari yang saya pahami adalah karena umat makan pada tengah hari. Berdasarkan kebiasaan penghormatan, mereka selalu memberikan makanan baru kepada bhikkhu atau petapa guru mereka lainnya, sehingga para umat tidak makan sebelum memberi makanan kepada para bhikkhu.
Hal lainnya sepertinya adalah kebiasaan sangha pada waktu itu yang setelah makan, mereka beristirahat atau mengasingkan diri bermeditasi sampai sore, kemudian mendengarkan dhamma pada malam hari, dan kembali bermeditasi lagi dan tidur. Jika tidak ada batas waktu makan, maka kegiatan akan jadi tidak teratur.
Awalnya tidak ada larangan makan, maka para bhikkhu makan mulai dari pagi, sepanjang siang, dan malam hari. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan tidak makan siang hari, ini saya kurang tahu kenapa detailnya, tapi intinya Buddha mengajak orang mengurangi makan. Kemudian sangha makan 2x sehari, pagi dan malam. Apa yang didapat pada pagi, yang enak-enak dikumpulkan untuk makan malam yang lebih 'mewah', makanan pilihan. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan lagi meninggalkan makan malam itu, dan hanya makan seadanya pada pagi hari.
Versi saya adalah sesuaikan dengan keadaan dan budaya setempat, tidak menganut "waktu keramat" yang berdasarkan posisi matahari.
solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha ada dalam sutta dan vinaya
lalu kenapa tulisan gue yg di-quote? bukankah gagasan satu kali sehari itu bukan berasal dari gue?
Tidak bisa, karena dalamnya juga ada kapas/wol.
maaf, saya seorg yang sangat kurang pengetahuan akan sutta dan vinaya, mohon bro Indra berbaik hati menjelaskan disini.
saya kurang mengerti, solusi apa yang ditawarkan Sang Buddha bagi seorang wasit? apa dia tidak duduk di bangku tinggi itu? atau tidak usa menjalankan atthasila ?
maaf, bukan begitu, mksdnya, saya sedang bertanya ,bukan mngatakan itu gagasan dari anda.
jadi apakah begitu menurut sutta vinaya? rentang waktu dari matahari terbit sampai jam 12 blh makan apapun? misalnya setelah sarapan jam 6 pagi, jam 7 makan buah, jam 7.30 makan snack, jam 8 makan roti sampai jam 12 makan siang?
kita berbeda pendapat di sini, bukan makanan sisa yg saya persoalkan, melainkan waktu makan yg vikala itu, jika makan pada waktu malam diperbolehkan, kenapa Sang Buddha menetapkan aturan yg saling kontradiksi?Bukan "waktu malam" tapi saat itu adalah lewat tengah hari, tapi makanan belum dibuang, dikisahkan saat itu baru saja Buddha selesai makan.
kalau begitu sepertinya diskusi ini memang tidak nyambung, saya pikir kita sedang membahas tentang attha-sila, dan faktor2 pelanggarannya, ternyata saya salah, mohon maaf.Betul, saya juga salah malah gegabah bawa-bawa latihan pengendalian diri terhadap nafsu ke dalam bahasan atthasila yang sudah jelas-jelas bahas 'waktu keramat'.
kalau begitu bukankah seharusnya jam 10 atau jam 9 atau jam 8 atau jam 7 dan , bukan tengah hari?Jam segitu belum disiapkan. Seperti banyak dalam sutta, Buddha dan bhikkhu sudah merapikan jubah dan mangkuk, tapi merasa terlalu pagi untuk pindapata.
tapi batasan waktu itu menjadi tidak benar jika dikaitkan dengan kutub itu.Betul, itulah sebabnya "Buddhis baik" cenderung akan mati jika tinggal di kutub.
jika demikian, lagi, bukankah seharusnya aturan sila-vinaya itu membatasi jumlah yg dimakan, bukan waktunya, tetapi tidak demikian dengan sila-vinaya, yg lebih menekankan pada waktu daripada jumlah.Sudah diatur dalam besar mangkuk. Pindola Bharadvaja dulu memiliki mangkuk special extra large, tapi disuruh oleh Buddha diletakkan di bawah ranjang, terkikis oleh bagian bawah ranjang ketika ia tertidur dan akhirnya jadi ukuran normal. Porsi makannya juga berkurang bersamaan dengan mengecilnya mangkuk.
sehari semalam artinya 1 kali pagi, 1 kali siang, dan 1 kali malam, jadi untuk wilayah kutub, mereka hanya boleh makan sekali dalam setahun, jika ingin berlatih buddhis secara sungguh2, harus konsisten.
sila ke-6:Entahlah, maka saya juga mulai ragu-ragu apakah ada 'waktu keramat' menurut Buddha?
Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami
(Aku bertekad akan melatih diri, menghindari makan makanan setelah tengah hari)
Kan ceritanya, atthasila adalah meniru arahat. Kenapa Buddha tidak membuat silanya jadi begini:
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak mencari kepuasan (menikmati citarasa) dalam makanan.
Kalau silanya versi yang ke-dua, kan jadinya tidak tercipta "waktu keramat"?
bagaimana kalau dalam nya busa (poliuretan)/ busa karet ?Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.
wa terus terang rada kaget kok kursi macam ini berisi kapas dan woll, sepengetahuan ku banyak bangku, kursi dan sofa menggunakan bahan busa sitentis.
Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.
Sebetulnya perkataan vikala bojjana, tidak makan setelah tengah hari itu cukup jelas.Memang paling tidak repot itu adalah mengikuti saja secara dogmatis sesuai sutta, tidak perlu banyak tanya.
Ngapain diperumit dengan spekulasi2 pribadi. Tidak makan setelah jam 12 siang. Titik!
Ga perduli lagi ada di kutub, di bulan, di Jupiter, di Mars, pake saja jam tangan anda. Mau paginya juga makan, monggo. kalau pagi tidak mau makan (cuma makan 1X sehari), juga monggo.
As simple as that.
_/\_
Bukan "waktu malam" tapi saat itu adalah lewat tengah hari, tapi makanan belum dibuang, dikisahkan saat itu baru saja Buddha selesai makan.
Betul, saya juga salah malah gegabah bawa-bawa latihan pengendalian diri terhadap nafsu ke dalam bahasan atthasila yang sudah jelas-jelas bahas 'waktu keramat'.
Jam segitu belum disiapkan. Seperti banyak dalam sutta, Buddha dan bhikkhu sudah merapikan jubah dan mangkuk, tapi merasa terlalu pagi untuk pindapata.
Betul, itulah sebabnya "Buddhis baik" cenderung akan mati jika tinggal di kutub.menurut data statistik (jika anda punya) berapakah populasi buddhis baik atau buruk yg tinggal di kutub?
Sudah diatur dalam besar mangkuk. Pindola Bharadvaja dulu memiliki mangkuk special extra large, tapi disuruh oleh Buddha diletakkan di bawah ranjang, terkikis oleh bagian bawah ranjang ketika ia tertidur dan akhirnya jadi ukuran normal. Porsi makannya juga berkurang bersamaan dengan mengecilnya mangkuk.
Dari awal saya sudah katakan bahwa ada hal-hal yang sifatnya tergantung situasi dan budaya setempat, oleh karena itu, dalam hal tersebut, saya tidak mengartikan istilah secara persis sesuai sutta. Istilah ini tentu saja termasuk "ekabhattika", bukan hanya "vikala". Karena saya "Bukan Buddhis Baik-baik" maka tentu tidak terikat menyatakan 'ekabhattika' harus makan dalam "sekali matahari terbit sampai terbit kembali". Lebih tepatnya, saya belum mendefinisikannya. Sebaliknya, untuk Buddhis Baik2 yang verbatim et literatim sesuai vinaya, di kutub, "vikala" berarti 6 bulan makan, 6 bulan puasa, dan "ekabhattika" berarti setahun makan sekali.
sepengetahuan ku kontak pantat dan bahan kursi bisa membawa orang tersebut terlena hingga bisa menimbulkan kemelekatan yang kuat sekali.Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:
Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:
(http://www.subgenius.com/bigfist/fun/devivals/A-DAM2001/allphotos/13-SPIKE-CHAIR-TORTURE.JPG)
kalau begitu jelas, tidak ada pelanggaran vinaya di sini, karena Sang Buddha selesai makan pun biasanya belum tengah hari, dalam banyak sutta dikatakan bahwa Sang Buddha bangun pagi, merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya dan pergi pindapatta, kemudian makan, saya pikir aktivitas ini tidak akan sampai lewat tengah hari. jadi option pelanggaran vinaya tidak berlaku di sini, dan tidak bisa dijadikan contoh kasus.Jika memang masih bukan 'vikala', kenapa bhikkhu itu tidak makan?
menurut saya ini termasuk moksologi, karena bisa saja ada keluarga2 yg sudah selesai masak pada jam 10 misalnya, apakah Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi perumah tangga harus selesai masak pada jam tertentu?Tentu tidak ada aturannya. Tapi dengan logika "makan tengah hari", maka yang logis adalah pindapata menjelang makan di siang hari, bukan pindapata sewaktu subuh. Memang bisa saja spekulasi "ah, bisa aja ada umat yang bergadang", "ah bisa aja ada umat yang lagi sahur", tapi tidak akan menjawab permasalahan.
menurut data statistik (jika anda punya) berapakah populasi buddhis baik atau buruk yg tinggal di kutub?Saya pikir untuk menyimpulkan 'tidak makan selama enam bulan di suhu minus 50 derajat celcius mengakibatkan kematian' tidak perlu statistik.
sebenarnya mangkuk yg menuruti vinaya itu pun sangat besar, lagipula kita di sini sedang membahas atthasila (kalo gak salah) boleh nyerempet ke vinaya tapi jangan dijadikan acuan utama.Bukannya Atthasila mengikuti jejak para Arahant? Para Arahant tentu saja acuannya vinaya.
Baik Buddhis baik2 maupun Buddhis tidak baik, saya pikir tidak menjadi alasan untuk menafsirkan ajaran secara berbeda. seseorang boleh saya menafsirkan suatu ajaran menurut apa yg ia sukai tapi hal ini tidak berhubungan dengan kualitas kebuddhisannya.Saya pikir setiap orang punya kriteria "Buddhis" masing-masing. Dalam konteks di sini, "Buddhis Baik-baik" adalah yang mengikuti secara penuh apa yang dikatakan dalam sutta-vinaya, sedangkan "Bukan Buddhis Baik-baik" adalah yang tidak mengikutinya secara penuh.
Pada awalnya Sang Buddha juga menetapkan vinaya mandi 2 minggu sekali, tapi kemudian karena mempertimbangkan wilayah yg airnya berlimpah maka Sang Buddha memperbolehkan mandi setiap hari. tapi revisi ini dilakukan oleh Sang Buddha sendiri, sedangkan untuk kasus makan yg setahun sekali jadi setahun 365 kali, saya belum pernah membaca revisinya. Tentunya kita sebaiknya tidak mencoba untuk menggantikan peran Sang Buddha untuk merevisi vinaya yg telah ditetapkan.Sudah saya katakan, saya bukan Buddhis baik-baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".
Ingat pesan Sang Buddha dalam mahaparinibbana sutta yaitu "tidak meniadakan peraturan yg sudah ada dan tidak menambah peraturan yg belum ada."Peraturan dalam hal ini, menurut saya harus dipahami makna dan manfaatnya, bukan semata-mata jumlah dan kata-katanya saja. Misalnya "vikala" itu sebagai "lewat tengah hari" saja sebetulnya sudah salah. Ketika ditetapkan peraturan hanya makan 2x, maka "vikala" itu adalah "siang hari sampai sore". Ketika ditetapkan makan satu kali sehari, maka "vikala" itu menjadi "siang sampai malam". Bisa dilihat bahwa "vikala" ini bukan satu kurun waktu yang mutlak, namun bisa berubah.
Jika memang masih bukan 'vikala', kenapa bhikkhu itu tidak makan?
Tentu tidak ada aturannya. Tapi dengan logika "makan tengah hari", maka yang logis adalah pindapata menjelang makan di siang hari, bukan pindapata sewaktu subuh. Memang bisa saja spekulasi "ah, bisa aja ada umat yang bergadang", "ah bisa aja ada umat yang lagi sahur", tapi tidak akan menjawab permasalahan.
Saya pikir untuk menyimpulkan 'tidak makan selama enam bulan di suhu minus 50 derajat celcius mengakibatkan kematian' tidak perlu statistik.
Bukannya Atthasila mengikuti jejak para Arahant? Para Arahant tentu saja acuannya vinaya.
Saya pikir setiap orang punya kriteria "Buddhis" masing-masing. Dalam konteks di sini, "Buddhis Baik-baik" adalah yang mengikuti secara penuh apa yang dikatakan dalam sutta-vinaya, sedangkan "Bukan Buddhis Baik-baik" adalah yang tidak mengikutinya secara penuh.
Sudah saya katakan, saya bukan Buddhis baik-baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".
Peraturan dalam hal ini, menurut saya harus dipahami makna dan manfaatnya, bukan semata-mata jumlah dan kata-katanya saja. Misalnya "vikala" itu sebagai "lewat tengah hari" saja sebetulnya sudah salah. Ketika ditetapkan peraturan hanya makan 2x, maka "vikala" itu adalah "siang hari sampai sore". Ketika ditetapkan makan satu kali sehari, maka "vikala" itu menjadi "siang sampai malam". Bisa dilihat bahwa "vikala" ini bukan satu kurun waktu yang mutlak, namun bisa berubah.
Mengapa bukan makan siang dan malam, sudah saya jelaskan di awal bahwa itu berkenaan dengan situasi dan budaya setempat pada masa itu. Contoh lain yang adalah situasional sudah pernah saya singgung juga, untuk vinaya misalnya peraturan untuk kencing berjongkok yang tujuannya adalah menghindari mengenai makhluk-makhluk di tanah. Saya pikir tidak ada juntrungannya jika bhikkhu sedang kebelet dan hanya ada urinoir, maka demi tegaknya dhamma-vinaya, dia naik dan berjongkok dia atas urinoir demi menghindari kencing berdiri.
numpang duduk menyimak sambil minum kopi [at] -)Maksudnya saya donk?
eh, tapi boleh sambil lempar pertanyaan kan?
menurut yang ngaku Bukan Buddhis Baik-baik, [...]
[...] 'seharusnya' atthasila ini harus dilaksanakan sesuai dengan aturannya dalam kalimat baku sampe ke titik koma atau lebih mengedepankan esensi latihan sila per silanya?Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih.
Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih.
Dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan tentang warisan Dhamma, bukan soal makan. Sang Buddha hanya mengatakan bahwa di antara kedua bhikkhu itu, yg melewatkan malam dengan berlatih walaupun kelaparan adalah lebih terpuji dibandingkan dengan yg menerima warisan makanannya.Ya, betul, memang yang berlatih tahan lapar nantinya akan lebih baik pengendalian dirinya.
bukan statistik tentang kematian orang yg saya minta, melainkan statistik populasi buddhis di kutub.Untuk datanya, saya tidak punya. Boleh tahu apa relevansinya statistik Buddhis di kutub dengan atthasila?
Walaupun demikian, namun Sang Buddha mengajarkan batasan2 tertentu dalam meniru, bukan meniru secara keseluruhan, dalam hal makan, yaitu tidak makan di waktu yg salah.Makan secara tidak berlebihan bukan hanya dilakukan pada waktu uposatha dan kepada bhikkhu saja, namun ke umat awam juga demikian. Contohnya Donapakasutta di Samyutta Nikaya mengisahkan khotbah kepada Pasenadi yang kekenyangan makan waktu menghadap Buddha, dan Buddha menganjurkannya mengurangi porsi makannya.
okay, tapi saya tidak tertarik untuk membahas soal definisi buddhis itu, karena seperti yg anda katakan bahwa setiap orang punya definisi masing2, jadi biarlah tetap demikian.OK
bisa minta refnya? karena sepengetahuan saya, dalam hal makan ada dibagi 2 periode, yaitu periode yg benar dan periode yg salah, periode yg benar adalah dari matahari terbit hingga tengah hari sedangkan periode yg salah adalah dari tengah hari hingga matahari terbit.Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.
ini menarik tapi nantilah kita bahas setelah yg satu ini tuntas, gak asik kalo diskusinya loncat2.OK.
6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.
“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.
“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’” (MN 66 Laṭukikopama Sutta)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.
Tidak masalah. Itu adalah Udayi dengan kecenderungannya. Dalam konteks ini, jika saya di masa itu, akan mengerti bahwa yang dikatakan adalah dalam hal penahanan diri dan porsi wajar dalam makan.
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.
Ya, betul, memang yang berlatih tahan lapar nantinya akan lebih baik pengendalian dirinya.contoh kasus yg tidak tepat menurut saya, karena di sana Sang Buddha juga tidak mengatakan tentang melanggar atau tidak melanggar, dan lagi bisa saja pada saat sutta itu dibabarkan, Sang Buddha belum menetapkan aturan vinaya Pacitiya 37. apakah anda punya informasi kapan sutta ini dibabarka, apakah sesudah atau sebelum Pacitiya 37?
Dan sutta ini saya singgung untuk menunjukkan bahwa bhikkhu yang sudah seragam jadwalnya, kadang bisa kena 'sial' dan telat dalam makan siang, dan jika kasusnya seperti di perumpamaan sutta, dia bisa memilih antara makan walaupun waktunya sudah kurang sesuai, atau kelaparan dan berlatih lebih keras.
Untuk datanya, saya tidak punya. Boleh tahu apa relevansinya statistik Buddhis di kutub dengan atthasila?saya hanya ingin memastikan bahwa buddhis baik-baik mati karena menuruti sila secara verbatim. sangat tidak sopan jika saya meminta data statistik tentang buddhis baik2 yg mati secara langsung, jadi saya minta statistik populasi buddhis saja untuk saya pelajari sendiri bagian selanjutnya.
Makan secara tidak berlebihan bukan hanya dilakukan pada waktu uposatha dan kepada bhikkhu saja, namun ke umat awam juga demikian. Contohnya Donapakasutta di Samyutta Nikaya mengisahkan khotbah kepada Pasenadi yang kekenyangan makan waktu menghadap Buddha, dan Buddha menganjurkannya mengurangi porsi makannya.
OK
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.
hmm, ketika seseorang melatih athasila masing masing akan mempunyai perkembangan dan pemahaman sendiri sendiri.
pada awalnya tentu saja kita mengikuti seperti di katakan di paritta dan berkembang pemahaman dari trial and error, hingga masing masing mempunyai penafsiran sendiri.
Wa sendiri merasakan jatuh dari tempat tidur yang rendah tidak sakit di banding kalau tidur di tempat tinggi jatuh nya akan lebih sakit, tidak hanya tempat tidur tempat duduk yang tinggi juga berbahaya bila tidak hati hat naik dan turun dari bangku, wa pikir dan mengaitkan dengan gempa hingga kita bisa lari keluar rumah dengan cepat.
jd pada waktu yang tidak salah, kita tetap boleh makan berulang kalikah?Entahlah. Kalau dilihat secara literal, mau makan sebakul yah tidak apa, selama bukan di waktu yang salah.
pandangan makan satu kali sehari itu, didasarkan kepada kebiasaan Buddha kah?Buddha dan beberapa bhikkhu memang punya kebiasaan 'ekabhattika' itu.
contoh kasus yg tidak tepat menurut saya, karena di sana Sang Buddha juga tidak mengatakan tentang melanggar atau tidak melanggar, dan lagi bisa saja pada saat sutta itu dibabarkan, Sang Buddha belum menetapkan aturan vinaya Pacitiya 37. apakah anda punya informasi kapan sutta ini dibabarka, apakah sesudah atau sebelum Pacitiya 37?Menurut saya itu memang 'grey area'. Jika ada pelanggaran, seharusnya Buddha tidak menawarkan. Jika tidak ada pelanggaran, maka seharusnya si bhikkhu bisa makan tanpa takut 'tidak mewarisi dhamma'.
saya hanya ingin memastikan bahwa buddhis baik-baik mati karena menuruti sila secara verbatim. sangat tidak sopan jika saya meminta data statistik tentang buddhis baik2 yg mati secara langsung, jadi saya minta statistik populasi buddhis saja untuk saya pelajari sendiri bagian selanjutnya.Jika menuruti sila secara verbatim, maka 6 bulan ia tidak makan.
Juga dalam banyak sutta Sang Buddha memang mengajarkan makan secukupnya, tapi hal ini tidak dijadikan aturan wajib khususnya pada umat awam. kalau ada saya belum tau. melainkan yg menjadi aturan dalam atthasila adalah batasan waktunya.Memang demikian.
bukankah jelas, kala dan vikala adalah pembagian periode waktu yg benar dan yg salah, ketika suatu waktu makan diperbolehkan maka itu adalah kala, sedangkan ketika suatu waktu tidak diperbolehkan maka itu adalah vikala. kala dan vikala memang bukan satuan waktu, melainkan suatu sebutan yg definisinya ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri. ketika Sang Buddha mengubah definisi waktu yg benar dan yg salah, maka definisi baru itu otomatis merevisi definisi dari terminologi yg digunakan. Dan ketika suatu peraturan diamandemen, maka adalah peraturan yg terakhir yg berlaku dan menjadi acuan.Betul. Yang saya tunjukkan bukan apa yang terakhir berlaku, namun bahwa istilah 'vikala' itu adalah relatif, bukan merujuk ke kurun waktu tertentu secara mutlak. Nah, apa yang saya bahas di sini adalah latar belakang mengapa suatu waktu yang tadinya 'kala' menjadi 'vikala'.
Menurut saya itu memang 'grey area'. Jika ada pelanggaran, seharusnya Buddha tidak menawarkan. Jika tidak ada pelanggaran, maka seharusnya si bhikkhu bisa makan tanpa takut 'tidak mewarisi dhamma'.
Soal pacittiya 37, saya tidak tahu waktunya.
Jika menuruti sila secara verbatim, maka 6 bulan ia tidak makan.tidak sama, tikus tidak bisa masuk jhana atau nirodha samapatti, sedangkan bhikkhu masih ada peluang untuk itu, lagipula ada kemungkinan Sang Buddha akan mengamandemen vinaya itu seperti halnya pada kasus mandi
Jika 6 bulan ia tidak makan, maka akan mati.
-> Jika menuruti sila secara verbatim, maka akan modar.
Ini logikanya, tidak memerlukan statistik.
Sama juga seperti:
Jika tikus kelindes tronton, tikus akan gepeng.
Jika gepeng, maka mati.
-> Jika tikus kelindes tronton, maka akan mati.
Masa' perlu statistik tikus gepeng sih?
Memang demikian.
Nah, menurut anda sendiri, apa keuntungan makan sebelum tengah hari, dan apa bahaya makan setelah tengah hari?
Betul. Yang saya tunjukkan bukan apa yang terakhir berlaku, namun bahwa istilah 'vikala' itu adalah relatif, bukan merujuk ke kurun waktu tertentu secara mutlak. Nah, apa yang saya bahas di sini adalah latar belakang mengapa suatu waktu yang tadinya 'kala' menjadi 'vikala'.
jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.
boleh tau kenapa? apakah tidak bermanfaat ?tidak
tidak
tidak yang mana ini? tidak boleh tau atau tidak bermanfaat ?
tidak boleh, maka pertanyaan selanjutnya tidak perlu dijawab
Maksudnya saya donk?
Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih.
Misalnya untuk 'kursi', yang saya pahami adalah kursi pada jaman itu menandakan kedudukan seseorang. Jika berbagai kasta dan jabatan kumpul dalam satu tempat, maka masing-masing duduk di kursi yang tinggi rendahnya sesuai dengan statusnya. Misalnya dalam Brahmajalasutta disebutkan kursi berlapis kulit gajah atau kuda, ini sepertinya kursi khattiya karena gajah dan kuda adalah kendaraan para raja; kulit kijang, kalau tidak salah digunakan para brahmana. Hal lainnya adalah yang berhiaskan permata melambangkan seberapa besar kekayaan seseorang, atau hiasan kursi warna tertentu yang melambangkan status tertentu.
Jadi saya menyimpulkan bahwa sila ini adalah untuk meninggalkan kesombongan status seseorang dan merenungkan kerendah-hatian para Arahant yang paling mulia, namun puas dengan duduk dan berbaring di atas tempat butut yang seadanya. Kesombongan ini jelas berhubungan dengan noda-batin, bukan masalah pemilihan sentuhan bokong dengan kursi.
karena hal itu mungkin saja memang bukan pelanggaran, yg tidak bisa kita ketahui unless kita bisa memastikan mana lebih dulu sutta itu atau pacitiya 37.OK, berarti diabaikan saja dulu.
tidak sama, tikus tidak bisa masuk jhana atau nirodha samapatti, sedangkan bhikkhu masih ada peluang untuk itu, lagipula ada kemungkinan Sang Buddha akan mengamandemen vinaya itu seperti halnya pada kasus mandiJhana ato Nirodhasamapatti juga dikisahkan hanya selama tujuh hari, dan habis itu cari makan juga (dan dana dari memberi makanan bagi mereka yang baru bangun ini akan berbuah di kehidupan yang sama).
jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.:| Jadi gimana cari jawabannya donk?
tidak relatif, melainkan sudah pasti menurut definisi yg ditetapkan. latar belakang kala menjadi vikala adalah Sang Buddha mengamandemennya.Relatif bukan berarti sekarang bisa berubah-ubah sesuai keinginan, tapi maksudnya tidak mutlak dan kondisional. Berbeda dengan aturan-aturan yang langsung menyinggung noda batin seperti nafsu seksual atau kebencian, ini tidak situasional, kapanpun dengan kondisi apapun adalah salah.
oh ketahuan ya :P;D
padahal saya tidak mencantumkan nama dan marga lhoo..
jangan salah bang, jaman sekarang juga masih berlaku walau dengan cara dan material berbeda.Tentu saja objek-objek kesombongan itu masih ada, bahkan lebih variatif. Kalau sekarang ini, buat saya lebih masuk akal kalau ga boleh pake HP Vertu atau naik Jaguar, ketimbang ga boleh duduk di kursi wasit atau yang isi kapas.
apa mungkin kursi yang bermaterial empuk (kita tidak berbicara bahan kulit gajah, harimau, atau lainnya. pokoknya empuk wuenak tenan) dan tinggi cenderung nyaman dan nikmat makanya jadinya timbul kemalasan atau keinginan bermalas-malas?Menurut saya bukan masalah empuk, karena malas atau tidak ada di batin seseorang. Yang semangat dan tekad kuat, tidak akan bermalas-malasan walaupun duduknya di tempat empuk. Kalau yang malas, biarpun di tempat keras juga bisa tidur. Sama juga dengan soal makanan, masing-masing punya objek kemelekatannya sendiri, jadi ga dibatasi harus oncom, singkong, tempe, bumbunya harus tawar, asin, manis, dll.
Menurut saya bukan masalah empuk, karena malas atau tidak ada di batin seseorang. Yang semangat dan tekad kuat, tidak akan bermalas-malasan walaupun duduknya di tempat empuk. Kalau yang malas, biarpun di tempat keras juga bisa tidur. Sama juga dengan soal makanan, masing-masing punya objek kemelekatannya sendiri, jadi ga dibatasi harus oncom, singkong, tempe, bumbunya harus tawar, asin, manis, dll.
Kalau masalah kursi status, pada saat itu adalah nyata. Dan saya lihat, para bangsawan dan kasta tinggi paling sulit menjalankan sila ini di mana mereka harus duduk sama tinggi dengan para bawahan pada hari itu.
mungkin masalah kecenderungan? misal duduk di kursi empuk, cenderung lebih membuat terlena?IMO sih bukan, karena kalau soal empuk, kulit gajah ato kulit sapi sama aja, asal bukan kulit landak atau trenggiling. Selain itu, untuk meditasi juga kita perlu posisi yang nyaman supaya tidak terganggu dengan gangguan fisik waktu meditasi.
tanya : esensi dari latihan sila bokong vs kursi ini apa saja sih?Iya, menurut saya yah untuk melatih melepas kesombongan, tidak pakai status 'gue ini kelahiran mulia', 'gue ini bangsawan/pejabat', 'gue ini orang kaya', dll. Kesombongan ini juga bisa sangat menghalangi, seperti ada kisahnya dalam jataka, Bodhisatta jadi petapa hutan, tapi dalam sebuah Uposatha, timbul pikiran kesombongan dalam dirinya, "aku berkelahiran mulia". Pada saat itu ada Pacceka Buddha yang mengetahui pikiran 'sesat' Bodhisatta, dan terbang di udara di atas kepala Bodhisatta, mengibas2 debu dari kakinya ke kepala Bodhisatta. Saat itu baru disadari bahwa pandangan "kelahiran mulia" adalah sia-sia dalam pertapaan, meninggalkannya dan berhasil mengembangkan jhana dan kekuatan batin.
atau dari kata 'latihan' ini seharusnya menjadi pokok menjalankan sila ini, karena berulang2 dengan ketat dan ulet maka menjadi terlatih dan menjadi mampu mengikis noda batin yang abang maksud pada post sebelumnya?
(http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
Betul juga, kalau beda gitu bagaimana yah? Mungkin sudah miring gitu hitungannya tempat berbaring dan hitungannya dari kaki yang terpanjang?
H: 45 cm
Moulded cold foam with spring system. Upholstered in fabric or leather. Arm rests in birch, oak or upholstered in black leather. Support in chrome. The Quilt armchair is Eco labeled with the Nordic Swan. http://www.offecct.se/en/products/chairs/quilt
Terlepas dari bahannya, saya bingung kalau yang kursi seperti model ini, yang depannya tinggi belakangnya pendek, peraturannya jadi bagaimana jika bagian depan lebih tinggi dari yang ditentukan tapi belakang lebih rendah?
Kalau contoh di bawah ini ukuran depannya 41 cm.
(http://www.offecct.se/files/styles/square/public/products/queen-easy-chair-4.jpg)
(http://www.czechdentists.com/dental_chair_modern.jpg)
wa pikir untuk pemula tidak lah sampai se Extrem itu yang wajar dan natural perlahan lahan saja bila tidak terbiasa bisa menyakiti diri sendiri dari pada mendapat manfaatnya.Justru itu yang saya maksud. Kalau orang tidak tahu apa yang dimaksud dalam sila, apa yang dilatih, hanya mengikuti yang tertulis saja, praktiknya akan nyasar ke mana-mana. Belum lagi karena ketidak-tahuan, nanti setelah duduk, malah timbul penyesalan, "aduh, saya hari ini gagal" padahal dia ga tahu apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.
ada pengecualian untuk orang sakitJadi kalo sakit, boleh denger lagu?
lebay.com ::)Kenapa lebay? Masa' orang jalankan sila dibilang lebay sih?
Kenapa lebay? Masa' orang jalankan sila dibilang lebay sih?
Jadi kalo sakit, boleh denger lagu?
terlalu maksa, karena pengecualian itu disebutkan dalam kasus tempat duduk/tempat tidur, tapi bukannya membantah soal ini malah digiring ke lagu, apa hubungannya tempat duduk/tempat tidur dan sila 8 dengan lagu? diskusi model begini sungguh tidak produktif, i'm out.
Hais... serba tidak jelas. Katanya sesuai sutta-vinaya, tapi pake penambahan "pengecualian orang sakit". Begitu ditanya apakah pengecualian ini berlaku untuk sila tertentu atau semua sila tambahan atthasila, langsung ngambek.
Jadi Buddhis di sini sebenernya ada yang bisa jawab manfaat sila Atthasila ini atau tidak? Saya tidak perlu pendapat bocah seperti "ah, lebay", tapi minta penjelasan. Kalau tidak ada yang bisa jawab, FINE, kita tutup diskusinya.
Ini sedang drama apa beneran?
kayaknya benaran :o
tuduhan ngambek juga sangat childish. saya melihat kesan "orang yg biasanya benar tidak boleh salah" di sini, pertanyaan itu bisa anda tanyakan dengan benar pada post ini, tapi kenapa tidak pada post sebelumnya? dan pada post sebelumnya juga tidak ada tersurat atau tersirat ada pertanyaan itu, melainkan suatu sinisme terhadap pengecualian, anda sendiri bukannya tidak mengetahui adanya pengecualian itu. melainkan dengan sengaja menggiring opini ke arah setidaknya pada "orang yg biasanya benar tidak boleh salah".Saya tidak mengetahui adanya pengecualian itu dalam atthasila. Pengecualian untuk orang sakit hanya ada dalam vinaya dan yang pernah saya baca, bukan menyangkut duduk di tempat tinggi. Dan kalau tidak pakai emosi, seharusnya sih jawab saja secara normal bahwa "pengecualian tidak berlaku untuk dengar lagu, alasannya ..."
sebenarnya ini memang hak ada justru melihat dari judul thread ini, anda lah yg seharusnya memberikan jawaban sebagai "respon atas pertanyaan". jadi silakan kemukakan apakah bermanfaat atau tidak bermanfaat, dan karena diskusi juga sudah cukup panjang, mungkin tidak diperlukan lagi penjelasan2 yg pada intinya mengarah pada "orang yg biasanya benar tidak boleh salah"Nah, sekarang setelah tidak mampu memberikan penjelasan, menggiring opini dengan "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah"? Kalau diskusi begini sih, saya yang out saja deh.
Saya tidak mengetahui adanya pengecualian itu dalam atthasila. Pengecualian untuk orang sakit hanya ada dalam vinaya dan yang pernah saya baca, bukan menyangkut duduk di tempat tinggi. Dan kalau tidak pakai emosi, seharusnya sih jawab saja secara normal bahwa "pengecualian tidak berlaku untuk dengar lagu, alasannya ..."
Nah, sekarang setelah tidak mampu memberikan penjelasan, menggiring opini dengan "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah"? Kalau diskusi begini sih, saya yang out saja deh.
Silahkan praktik Atthasila dengan baik untuk semuanya. :)
kalau dijawab begitu, maka diskusi akan beralih pada topik baru tentang lagu, yg saya yakin anda juga sudah menyiapkan banyak materi sementara topik sebelumnya blm tuntas, ini yg saya tidak suka. jadi saya terpaksa pakai emosi, dan kebetulan saya dan juga sebagian besar penonton tidak keberatan jika saya emosi.Tidak, saya hanya mau tau apakah pengecualian berlaku pada sila kursi atau semua tambahan sila atthasila. (Kalau pancasila, saya tahu itu tidak ada pengecualian, kecuali minuman yang mengandung alkohol kalau digunakan sebagai obat.)
setidaknya kalimat "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah" tidak dibantah, terima kasih atas waktu dan tenaganya walaupun saya blm melihat jawaban akhir sebagai "respon atas pertanyaan"Pendapat pribadi orang tidak perlu saya klarifikasi. Orang mo bilang saya apa, yah terserah orang tersebut, jadi walaupun saya dituduh "tidak boleh salah", yah sah-sah saja. Tapi selama tidak ada argumennya, bagi saya itu hanya 'keluh kesah' saja.
Tidak, saya hanya mau tau apakah pengecualian berlaku pada sila kursi atau semua tambahan sila atthasila. (Kalau pancasila, saya tahu itu tidak ada pengecualian, kecuali minuman yang mengandung alkohol kalau digunakan sebagai obat.)
Pendapat pribadi orang tidak perlu saya klarifikasi. Orang mo bilang saya apa, yah terserah orang tersebut, jadi walaupun saya dituduh "tidak boleh salah", yah sah-sah saja. Tapi selama tidak ada argumennya, bagi saya itu hanya 'keluh kesah' saja.
Soal respon, sebetulnya thread ini dibuat karena dulu kalau ada orang lain ribut, satu thread di-lock dan saya tidak bisa lanjutkan diskusi dengan orang lain di thread sama, jadi saya buat thread tersendiri ini. Kemudian awalnya ada di board diskusi umum dan belakangan tidak cocok lagi karena topik bahasannya bebas, jadi dipindah ke jurnal pribadi.
Beberapa hari lalu saya ingin mencatat hal-hal yang menurut saya menarik, dan daripada membuat 2 thread di jurnal pribadi, maka saya sambung di sini saja, dan topik Atthasila adalah salah satu note tersebut. Jadi topik ini bukan respon atas pertanyaan seseorang, dan tidak perlu saya beri kesimpulan. Apalagi ini jurnal pribadi, pendapat pribadi, silahkan masing-masing orang memeluk pandangannya sendiri.
saya ragu memang itu yg dimaksudkan, karena jika memang demikian, seharusnya dengan pengalaman forum anda, pertanyaan itu tidak akan disampaikan dalam bentuk respon atas postingan yg menjadi jawaban bagi komentar sebelumnya.Jika itu dalam "scene", seharusnya anda beri tanda petik, atau bentuk percakapan yang ada pelakonnya (seperti "A:" dan "B:" di atas). Karena plain begitu, maka saya anggap penjelasan, dan saya pikir dengan pengalaman anda yang juga begitu lama di forum bisa mengerti tujuan statement pendek saya yang langsung itu adalah mempertanyakan pengecualian yang sebagian-sebagian. Juga awalnya 'kan anda berkutat pada sutta-vinaya, dan setahu saya, di sutta tidak ada pengecualian begitu.
A: (scene: pasien di suruh duduk di kursi pasien yg tinggi), kemudian pasien menjawab "tidak mau, karena saya lagi menjalankan atthasila.
B: ada pengecualian untuk orang sakit
A: apakah kalo sakit boleh dengar lagu? ---> terlihat nyata sekali maksud dari pertanyaan ini, dan itu tidak tampak sebagai "saya mau tau ..."
noted, sungguh ini baru saya ketahui, karena sebelumnya saya pikir thread ini adalah tempat di mana orang2 bertanya dan thread owner menjawab. mungkin karena judul thread ini yg tidak lazim jurnal pribadi.Memang tidak lazim karena awalnya memang bukan itu tujuannya.
Jika itu dalam "scene", seharusnya anda beri tanda petik, atau bentuk percakapan yang ada pelakonnya (seperti "A:" dan "B:" di atas). Karena plain begitu, maka saya anggap penjelasan, dan saya pikir dengan pengalaman anda yang juga begitu lama di forum bisa mengerti tujuan statement pendek saya yang langsung itu adalah mempertanyakan pengecualian yang sebagian-sebagian. Juga awalnya 'kan anda berkutat pada sutta-vinaya, dan setahu saya, di sutta tidak ada pengecualian begitu.
Tapi ya sudahlah, saya juga sudah tidak niat melanjutkan. Saya sarankan jika anda ingin meluruskan segalanya tentang atthasila, lebih baik buat di thread bernuansa Buddhis, bukan thread pribadi.
Memang tidak lazim karena awalnya memang bukan itu tujuannya.
terlalu maksa, karena pengecualian itu disebutkan dalam kasus tempat duduk/tempat tidur, tapi bukannya membantah soal ini malah digiring ke lagu, apa hubungannya tempat duduk/tempat tidur dan sila 8 dengan lagu? diskusi model begini sungguh tidak produktif, i'm out.
oh saya memang tidak tahu etika penulisan itu, saya hanya menuliskan spt apa yg saya ucapkan dengan tanda baca yg saya anggap perlu, lagipula itu hanya flash back dari diskusi yg sudah terjadi, bukan bermaksud untuk memulai diskusi baru. soal pengecualian dalam sutta-vinaya, tentu saja saya bersedia menunjukkan sumbernya jika diminta dengan cara yg benar, tapi saya sudah malas melanjutkan diskusi ini karena alasan yg pernah saya sebutkan di atas.
saya mohon maaf atas hal ini, saya sendiri tidak pernah berniat meluruskan apa pun apa lagi di thread forbidden spt ini, tapi karena banyak yg nimbrung saya pikir saya juga boleh bergabung ngobrol2. Maaf atas gangguan yg sudah saya timbilkan di sini. _/\_
padahal judul thread pasti yg pertama diketik tapi bisa bukan itu tujuan awalnya, anda memang penuh dengan keterbalik2an.
Jika itu dalam "scene", seharusnya anda beri tanda petik, atau bentuk percakapan yang ada pelakonnya (seperti "A:" dan "B:" di atas). Karena plain begitu, maka saya anggap penjelasan, dan saya pikir dengan pengalaman anda yang juga begitu lama di forum bisa mengerti tujuan statement pendek saya yang langsung itu adalah mempertanyakan pengecualian yang sebagian-sebagian. Juga awalnya 'kan anda berkutat pada sutta-vinaya, dan setahu saya, di sutta tidak ada pengecualian begitu.
Tapi ya sudahlah, saya juga sudah tidak niat melanjutkan. Saya sarankan jika anda ingin meluruskan segalanya tentang atthasila, lebih baik buat di thread bernuansa Buddhis, bukan thread pribadi.
Memang tidak lazim karena awalnya memang bukan itu tujuannya.
oh saya memang tidak tahu etika penulisan itu, saya hanya menuliskan spt apa yg saya ucapkan dengan tanda baca yg saya anggap perlu, lagipula itu hanya flash back dari diskusi yg sudah terjadi, bukan bermaksud untuk memulai diskusi baru.Bukan etika, sekadar menghindari salah-paham.
soal pengecualian dalam sutta-vinaya, tentu saja saya bersedia menunjukkan sumbernya jika diminta dengan cara yg benar, tapi saya sudah malas melanjutkan diskusi ini karena alasan yg pernah saya sebutkan di atas.Tidak masalah.
saya mohon maaf atas hal ini, saya sendiri tidak pernah berniat meluruskan apa pun apa lagi di thread forbidden spt ini, tapi karena banyak yg nimbrung saya pikir saya juga boleh bergabung ngobrol2. Maaf atas gangguan yg sudah saya timbilkan di sini. _/\_OK, sama-sama.
padahal judul thread pasti yg pertama diketik tapi bisa bukan itu tujuan awalnya, anda memang penuh dengan keterbalik2an.Maksudnya awal thread memang untuk merespon pertanyaan, namun karena perkembangan situasi, akhirnya jadi jurnal pribadi.
OH TIDAK BISA.... IMO, anda berdua wajib menuntaskan diskusi iniimo, topik diskusi seperti tidak akan pernah tuntas.
imo, topik diskusi seperti tidak akan pernah tuntas.
pembaca diminta untuk tidak malas dan mengambil kesimpulan sendiri...
OH BISA SAJA.... Saya hanya membuat catatan kok. :D
OH TIDAK BISA.... IMO, anda berdua wajib menuntaskan diskusi ini, byk pertanyaan-pertanyaan muncul sebab bro KK memulai "fakta" yang di anggap komentarnya sendiri dan dilanjutkan oleh Bro Indra yang menanggapi berdasarkan sutta vinaya.. kalau dihentikan, jadi gantung begini. juga tidak tau sebenarnya bagaimana ini? rupanya begitu banyak larangan dalam atthasila ??
OH BISA SAJA.... Saya hanya membuat catatan kok. :D
Hanya saja, mungkin kalian harus mulai memikirkan jawaban yang lebih baik, karena mungkin saja umat lain atau ilmuwan yang logis yang akan mempertanyakannya dan juga hal-hal lainnya.
tapi apa yang anda mulai tidak tampak seperti anda sedang membuat catatan, tapi lebih kepada pengumuman bahwa ada berbagai jenis macam kursi yang tidak boleh diduduki bagi seseorang yang sedang menjalankan atthasila. tentu saja hal ini mengundang pertanyaan atas pengumuman itu. yang berarti bahwa selama ini, orang yang tidak tahu bahwa ada jenis-jenis kursi, ketinggian kursi yang tidak blh diduduki selama atthasila, telah melanggar sila ke 8 tanpa diketahui. sehingga mendatangkan penyesalan terhadap diri orang tersebut. oleh karena itu, IMO, anda setidaknya bisa bertanggung jawab atas itu, dan menunjukkan bahwa itu bukanlah komentar pribadi anda atas yang anda baca :DSoal apakah tampak seperti catatan atau tidak, itu komentar pribadi masing-masing. Buat saya tampak seperti catatan kok. Kalau orang tidak tahu tentang jenis-jenis kursi yang dihindari itu, kenapa pula saya yang salah? Apa saya bertanggung-jawab atas pengetahuan orang lain? Sudah jadi kebiasaan Buddhis, "yang penting praktik tanpa perlu teori", jadi praktik saja lah, ngapain pusingin teori beginian.
maksudnya tidak malas bagaimana ya?banyak persoalan itu gak sesederhana hitam putih, melainkan kelabu. jadi kadang semuanya benar dilihat dari sudut pandang masing2. pembaca diminta tidak malas untuk berpikir sendiri dan mengambil sudut pandang yang disetujuinya...
mengambil kesimpulan sendiri? bagaimana kalau kesimpulan yg kita ambil malah salah dan tidak sesuai ? jd sesat donk ? ;D
Intinya, sila ke-6 itu adalah menghindari makan di waktu yang salah, dalam hal ini diartikan sebagai "setelah tengah hari".Senada dengan pendapat saya sebelumnya bahwa latar belakangnya adalah karena masalah keadaan budaya saat itu, bukan berhubungan dengan 'waktu keramat' untuk makan.
Kenapa disebut sebagai "waktu yang salah"? kalau saya baca di MN 66, malam hari disebut sebagai waktu yang salah bagi seorang bhikkhu yang mengembara untuk menerima dana makanan karena:
1. “Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur;
2. mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan,
3. mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan.
4. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’
dan yang terakhir (di sutta sebetulnya disebut pertama kali):Kalau merujuk ke sutta lain yang pernah saya baca, Buddha mengatakan bahwa dirinya makan sekali saja dan karena itu ia merasa badannya sehat. Jadi kalau saya pribadi, memang Buddha menganjurkan makan secukupnya hanya untuk kebutuhan, menghindari kerakusan, juga baik untuk kesehatan.
5. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.
yang warna ungu ini saya kurang paham. Mungkin maksudnya tentang kesederhanaan 'makan secukupnya'?
note: link MN 66: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.msg290598.html#msg290598,
__________________________Nah, ini dia memang sumber permasalahannya. Kita mengikuti Arahant tidak makan lewat tengah hari, dengan alasan apa? Apa manfaatnya bagi kita, perumah tangga? Atau memang hanya tiru-tiru saja?
Berdasarkan sutta itu, hal-hal yang menjadikan malam hari sebagai "waktu yang salah" (nomor 1-4), tidak berlaku bagi umat awam yang sebenarnya tidak mengembara mencari dana makanan.
Tapi IMHO, poin ke-lima yang menjadikan atthasila (tidak makan setelah tengah hari) berlaku bagi umat awam. CMIIW.
Tapi kalo seperti itu, memang jadinya lebih relatif sih. Kadar "secukupnya" bagi setiap orang itu beda-beda. Dan waktunya juga tidak harus sebelum tengah hari..
___________________________
Atau sila ke-6 adalah tentang "meniru para arahat" saja? Karena malam hari adalah waktu yang salah bagi Arahat yang notabene adalah bhikkhu yang mengembara mencari dana di malam hari. Jadi walaupun umat awam, tapi kita meniru para Arahat sehingga kita tidak makan di "waktu yang salah bagi para bhikkhu".
[...]
Nah, ini dia memang sumber permasalahannya. Kita mengikuti Arahant tidak makan lewat tengah hari, dengan alasan apa? Apa manfaatnya bagi kita, perumah tangga? Atau memang hanya tiru-tiru saja?
Intermezzo aja: Saya barusan kepikiran sesuatu. Anggap tengah hari jam 12, bhikkhu datang menerima dana pukul 11. Umat memberikan makanan kepada bhikkhu dulu, menunggu bhikkhu makan sampai tidak menambah lagi, lalu bhikkhu mengucapkan anumodana, kadang juga ditanya tentang dhamma. Setelah itu bhikkhu pergi, baru umatnya makan. Apa ga lewat jam 12 yah?
Ya, saya rasa tujuannya memang meniru arahat. Di link dari sumedho juga dikatakan begitu (dulu arahat berperilaku demikian, maka sekarang saya demikian).Kalo sis Dhammadinna sendiri, seandainya ditanya oleh orang lain apa keuntungan makan sebelum tengah hari bagi perkembangan batin, akan menjawab apa?
Berikut ini quote dari Brahmajala Sutta (Digha Nikaya) 1:
Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah.
Kalau HANYA berdasarkan kutipan itu, berarti waktu yang salah adalah di malam hari. Jadi kalau belum gelap, sebenarnya boleh...
Walaupun di catatan kakinya ada tulis:
‘Pada waktu yang salah’ artinya antara tengah hari dan fajar keesokan harinya.
Saya kurang tau, apakah ada referensi lain sebagai acuan catatan kaki tsb, sehingga siang hari setelah jam 12 juga adalah 'waktu yang salah'.
__________________
Note: link DN 1:
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_1:_Brahmajala_Sutta
Kalo sis Dhammadinna sendiri, seandainya ditanya oleh orang lain apa keuntungan makan sebelum tengah hari bagi perkembangan batin, akan menjawab apa?
wah sebetulnya saya agak malu menjawabnya.Thanks untuk jawaban & sharingnya. :)
Dulu saya pernah atthasila, dan setelah selesai mengucapkan sila ke-6 (sebelum lanjut sila ke-7), saya akan bilang begini: "di kantor makan siang jam 12, saya tidak mungkin makan sebelum jam 12, tapi setelah makan siang saya tidak makan lagi". Tapi kalau begini, tidak benar juga ya?
Keuntungannya? hmm.. khusus untuk sila ke-6 saja ya... saya belum begitu merasakannya.
biasanya kalau ada makanan enak, saya biasanya makan lagi walaupun sebenarnya sudah cukup.. tapi waktu atthasila, idealnya kan mengendalikan nafsu itu. Tapi yang sering terjadi, adalah saya tidak makan (walaupun lapar). Saya sering bingung batasan antara menyiksa diri dan teguh menjalani sila*.
Saya cenderung berpatokan ke "waktu keramat", walaupun saya tau itu kurang tepat. Tapi itulah yang terjadi. Intinya, saya tidak makan karena saya sudah mengucapkan 'janji', bukan karena tujuan yang lebih mulia. Ini bagi saya sih, semoga orang lain tidak.
________________________
*Saya pernah baca kisah tentang pelayannya Anathapindika yang meninggal karena bekerja tapi tidak makan (atthasila). CMIIW.
The sixth of the eight Precepts and ten Precepts is Vikala bhojana vermani sikkhapadam samadhiami, I take the precept not to eat at the wrong time. 'Wrong time' (vikala) has long been interpreted to mean after noon or midday, although I know of no place in the suttas where this is specifically stated. The overall purpose of this rule is clear enough – to encourage moderation in eating (Sn.707) and to keep drowsiness due to a full stomach at bay. But the part about not eating after midday is less clear. The origin story in the Vinaya explaining this rule is unconvincing and obviously a later invention. According to this story, a monk was standing at someone's door late at night. As the woman of the house approached the door a sudden flash of lightening illuminated him, frightening the woman half to death, and to prevent this from happening again the Buddha instituted the rule. The only justification the Buddha gives for this rule is that it is good for the health and he does not mention what the 'wrong time' is other than to say the 'evening' or 'night' (ratti). He said, 'I do not eat in the evening and thus I am free from illness and affliction and enjoy health, strength and ease' (M.I,473). But I can see not reason why eating only in the morning should be any more or less healthy than eating only in the afternoon.
I suspect that the rule has its origins in two things. That eating before noon was already a well-established convention amongst wandering ascetics and the Buddha simply asked his monks and nuns to follow this convention. And the reason why this convention evolved in the first place was probably because, then as now, Indian peasant women cooked all the day's food early in the morning and the main meal of the day was in the morning. In other words, the most convenient time to go for alms gathering (pindapata) was in the morning. Noon was probably used as the cut-off point for not eating because it could be known exactly. Its also pretty certain also that monks and nuns only eat one meal a day because, not doing hard physical labour, they did not need that much food. So it is important to understand that noon is not some magical time, after which consuming food becomes a moral failing. It is just a convenient, and at that time a practical, way of dividing the day.
http://sdhammika.blogspot.com/2009/04/commandments-and-precepts_30.html
Thanks untuk jawaban & sharingnya. :)
Tapi kalau kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami manfaatnya, hanya mengikuti apa yang tertulis saja, bukankah ini sifat yang dogmatis, sementara *KATANYA* Agama Buddha adalah agama logis dan menyandang semboyan "Ehipasyika"?
Tambahan lagi kalau tidak repot, bagaimana dengan sila 'kursi'? Apa yang dijalankan, dan mengapa?
Kalo pendapar Bhikkhu S. Dhammika tentang sila ke-6 ini:Nice one. Thanks. :)QuoteThe sixth of the eight Precepts and ten Precepts is Vikala bhojana vermani sikkhapadam samadhiami, I take the precept not to eat at the wrong time. 'Wrong time' (vikala) has long been interpreted to mean after noon or midday, although I know of no place in the suttas where this is specifically stated. The overall purpose of this rule is clear enough – to encourage moderation in eating (Sn.707) and to keep drowsiness due to a full stomach at bay. But the part about not eating after midday is less clear. The origin story in the Vinaya explaining this rule is unconvincing and obviously a later invention. According to this story, a monk was standing at someone's door late at night. As the woman of the house approached the door a sudden flash of lightening illuminated him, frightening the woman half to death, and to prevent this from happening again the Buddha instituted the rule. The only justification the Buddha gives for this rule is that it is good for the health and he does not mention what the 'wrong time' is other than to say the 'evening' or 'night' (ratti). He said, 'I do not eat in the evening and thus I am free from illness and affliction and enjoy health, strength and ease' (M.I,473). But I can see not reason why eating only in the morning should be any more or less healthy than eating only in the afternoon.
I suspect that the rule has its origins in two things. That eating before noon was already a well-established convention amongst wandering ascetics and the Buddha simply asked his monks and nuns to follow this convention. And the reason why this convention evolved in the first place was probably because, then as now, Indian peasant women cooked all the day's food early in the morning and the main meal of the day was in the morning. In other words, the most convenient time to go for alms gathering (pindapata) was in the morning. Noon was probably used as the cut-off point for not eating because it could be known exactly. Its also pretty certain also that monks and nuns only eat one meal a day because, not doing hard physical labour, they did not need that much food. So it is important to understand that noon is not some magical time, after which consuming food becomes a moral failing. It is just a convenient, and at that time a practical, way of dividing the day.
http://sdhammika.blogspot.com/2009/04/commandments-and-precepts_30.html
Just intermezzo ;D
Sebetulnya kita tau manfaatnya. Kita tau berdasarkan logika, dan mungkin dari apa yang pernah kita baca atau dengar. Misalnya, tidak makan setelah jam 12, kita meyakini, ini untuk mengurangi nafsu makan. Maka saya berjuang tidak makan setelah jam 12 pas. Dan saya menanti suatu Hadiah yang disebut “berkurangnya nafsu”.Ada alasan khusus mengapa harus sebelum jam 12? Misalnya seseorang bertekad mengurangi nafsu makan dan hanya makan sekali sehari, dalam porsi secukupnya, tapi orang ini Satpam shift malam yang jadwalnya berbeda dengan orang biasa (seperti contoh yang ada saya berikan sebelumnya), dan dia makan sekali, namun lewat tengah hari. Apakah latihan mengurangi nafsunya itu menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna karena jamnya berbeda?
Tapi saya tidak menikmati proses itu karena ada “keharusan” menepati janji. Lalu lama-kelamaan fokus saya lebih dominan ke ‘janji’ yang harus terpenuhi, atau hadiah yang saya harapkan.
NOTE: tapi bagi kalian yang bisa menikmati proses itu dan mendapatkan ‘hadiah’ yang kalian harapkan, silakan lanjutkan..
Selama ini saya tidak pernah pelajari detil kriteria kursi mewah, misalnya bahan atau ketinggiannya.Salah satu yang sangat menarik, bahkan warnanya pun dipermasalahkan. Kalau ada senderan kepala dan kaki yang warnanya merah, tidak boleh. Entah takut diseruduk banteng atau terkait partai tertentu, saya juga kurang paham.
Kalau tempat tidur, setau saya tidak tinggi. Kalau tidur di tempat tidur, biasanya lebih empuk dan tidur berasa lebih nikmat. Kalau di lantai tidak terlalu enak. Tapi kalau sudah terbiasa tidur di lantai, makin lama makin enak-enak saja sih rasanya.Setuju. Objek kenikmatan juga sepertinya tiap orang berbeda. Saya juga sudah terbiasa tidur di lantai, maka tidak merasa itu lebih tidak enak atau apa. Lagipula saya juga tidak ketemu pengaruhnya antara tinggi kaki ranjang dengan kenikmatan tidur.
Ada alasan khusus mengapa harus sebelum jam 12? Misalnya seseorang bertekad mengurangi nafsu makan dan hanya makan sekali sehari, dalam porsi secukupnya, tapi orang ini Satpam shift malam yang jadwalnya berbeda dengan orang biasa (seperti contoh yang ada saya berikan sebelumnya), dan dia makan sekali, namun lewat tengah hari. Apakah latihan mengurangi nafsunya itu menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna karena jamnya berbeda?
Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:
(http://www.subgenius.com/bigfist/fun/devivals/A-DAM2001/allphotos/13-SPIKE-CHAIR-TORTURE.JPG)
Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.OK.
Tentang sebelum jam 12, selama ini sih saya pikir, karena ditetapkan begitu ya sudah dijalani. Mungkin untuk melatih kedisiplinan (kalau tidak ditetapkan waktu yang pasti, orang bisa saja mengendorkan diri misalnya dia makan berkali-kali dengan alasan bahwa ia memang butuh). Eh tapi sebenarnya kalau ia serius, tidak mungkin juga seperti itu ya..Betul, jika orang memang serius dan tahu apa yang dilatih (yaitu pengendalian diri terhadap makanan), maka ia juga akan mengurangi makan walaupun belum tengah hari. Tapi kembali lagi kalau orang memahami sila itu sebagai 'waktu keramat', maka apa yang diperhatikan adalah waktunya. Yang rakus tetap rakus, tidak ada perubahan. Hanya saja rakusnya sekarang dialokasikan di waktu keramat.
Kalau umat awam, hal ini tidak terlalu kaku. Kita bisa memilih apa yang baik menurut diri kita sendiri. Tapi bagaimana dengan bhikkhu yang aturannya tidak boleh suka-suka?Ini juga sudah saya singgung, kalau umat awam jaman sekarang profesinya beraneka ragam, maka jam kegiatannya juga variatif. Kalau bhikkhu, semua seragam, dan seharusnya mengikuti aturan ini. Untuk umat awam juga kalau memang dipahami itu sebagai kedisiplinan dan memungkinkan dilakukan, tidak ada salahnya diikuti. Yang terpenting adalah pandangan benar saat melakukannya.
Apakah di vinaya ada tertulis tentang waktu makan ini? Ada disebutkan tentang 'afternoon' atau sebetulnya hanya 'wrong time' saja? atau ada disebutkan 'makan sekali saja dalam sehari'?"Waktu salah" ini dulu tidak ada. Ketika keluar larangan makan siang, maka makan siang jadi 'waktu salah'. Ketika keluar larangan makan malam, maka malam jadi 'waktu salah' juga. Jadi untuk bhikkhu, setelah keluar peraturan terakhir, memang sama saja antara "afternoon" dan "waktu salah".
Saya liat di access to insight, Pacittiya no.37,
Eating staple or non-staple food in the period from noon till the next dawn is a pācittiya offense.
lalu ada link yang bisa diklik, lalu ditulis:
37. Should any bhikkhu chew or consume staple or non-staple food at the wrong time, it is to be confessed.
tidak tau mana yang benar. Kalo patokannya di MN 66 atau DN 1, kata kuncinya hanya "makan sekali", "malam hari", "waktu yang salah".
Maksud saya, kalau di vinaya ditetapkannya hanya boleh 'before noon', berarti seorang bhikkhu memang harus makan sebelum jam 12, terlepas dari apakah itu tercipta karena budaya saat itu kah, atau alasan lainnya.
Tapi kalau tidak ada batasan waktu yang pasti, mungkin akan muncul definisi berbeda-beda tentang "waktu yang salah" sesuai budaya/lingkungan setempat dimana sekumpulan bhikkhu tertentu berdiam. Apakah ini tidak masalah?Entahlah. Saya juga sudah singgung contoh ekstrem kalau kehidupan di kutub, siang dan malam juga tidak seperti di daerah tropis. Beda tempat, beda pula ukuran waktunya.
apakah kerjanya karma akan berubah dgn perkembangannya tehnology ?Dunia maya atau nyata cuma beda media komunikasi saja. Kalau sudah interaksi dengan orang lain, tentu ada kesempatan untuk berbuat baik bagi orang lain. Misalnya orang di desa lagi kurang listrik mo bikin dari sumber alternatif, 'kan bisa nanya sama bro cumpol yang idenya kreatif. Nanti dijelaskan, lalu mereka berhasil bikin, perbuatan baik sudah terjadi.
apakah dunia maya (internet) juga merupakan ladang yg baik utk menanam karma baik ?
maksudnya :Perbuatan baik ga harus berupa materi, bisa berupa ide, penyebaran informasi, solusi, konsultasi, atau bahkan sekadar sharing juga bisa membantu orang lain.
1. bila kita memberikan segelas air minum pada orang lain, maka air minum kita
dirumahpun akan berkurang satu gelas.
2. tapi pada saat ini, kita menulis artikle bagus tentang buddhisme, dan di uploadIya, sama saja, fasilitas memang mempermudah dilakukannya perbuatan baik, juga buruk.
ke internet/server, dan tulisan kita (pdf) tsb dpt didownload oleh orang banyak
tanpa mengurangin sedikitpun yg kita tulis (tidak seperti buku, yg berkurang
kalao dibagikan).
3. dgn adanya teknology internet ini, pdf tsb dpt menjangkao begitu banyak orangSaya pikir kalo perbuatan ga tergantung seberapa merepotkannya untuk disebut baik, yang penting dari niat dan manfaat yang diberikan. Justru kalo dari ajaran Buddha memang tujuannya adalah berdana dengan bijak, dengan kadar merepotkan paling kecil, tapi bermanfaat paling besar.
tanpa banyak effort dari sipembuat lagi...