Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Mahayana

Avalokitesvara (Guanyin) benar-benar adalah Bodhisattva Buddhis!!

(1/32) > >>

GandalfTheElder:
Izinkan saya untuk membagi artikel mengenai Guanyin. Banyak yang bingung apakah Guanyin (Avalokitesvara) adalah Bodhisattva Buddhis atau Dewi agama Tao. Apalagi banyak juga sumber-sumber berbahasa Indonesia yang mengatakan bahwa Guanyin sebenarnya telah ada pada zaman Tiongkok purba, seperti:

Menurut jindeyuan.org disebutkan mengenai Avalokitesvara Bodhisattava (Guan Yin):

“Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.”

Atau

“Demikianlah seorang Dewi Welas Asih yang Asli Tiongkok 白衣大士 (Pek Ie Tai Su) menyatu dengan Avalokitesvara, jadilah Dewata Buddhis khas Tiongkok, bahkan ciri-ciri ke-India-annya hilang sama sekali.”
 
Bahkan di beberapa forum diskusi, banyak timbul pandangan bahwa Guanyin berasal dari agama Tao. Daloam buku-buku Widya Karya yang diterbitkan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) juga disebutkan:
“Agama Buddha (asli) di India pada hakekatnya tak “mengenal”nya, kalaulah ada penyebutan Avalokitesvara Bodhisattva itupun “gelar” yang diberikan pada Guanshiyin dengan nama itu (yang di India disandang oleh seorang Bodhisattva pria).”

Dan:
“Bila Guanshiyin dihubungkan dengan Shenming dari Miao Shan jelas pemujaannya pra-agama Buddha masuk ke Tiongkok, ditambah dengan pemuja penganut Dao (yang dengan Ru memang bergandeng), maka Guan Yin adalah Shan Ming orang Tiongkok (asli).”

Bahkan belakangan ini Ketua Umum MATAKIN (Budi S. Tanuwibowo) mengeluarkan pernyataan, “Kwan Im Po Sat (Bodhisattva Avalokitesvara) tidak jelas kuburannya / makamnya sehingga diragukan keberadaan dan kebenaran-Nya”

Dalam surat permohonan maafnya, Budi S. Tanuwibowo menggunakan istilah “Dewi Kwan Im”, bukan lagi “Kwan Im Po Sat”, dan berkata:
“Mengenai siapa Beliau, ada beberapa versi: apakah seorang Dewi, atau tokoh suci di jaman purba yang hidup ratusan tahun sebelum Nabi Kong Zi. Namun semua itu tidak mengurangi hormat yang tinggi kepada Beliau. Secara spirit Beliau menjadi lambang welas asih yang universal dan melintasi batas-batas agama. Ini menjadi keyakinan saya dan juga keyakinan banyak orang yang mengagumi dan menghormati Beliau.”

Banyaknya pernyataan-pernyataan tersebut menjadikan kebingungan, sehingga banyak orang yang meragukan Guanyin sebagai Bodhisattva Buddhis.

Menanggapi kebingungan tersebut maka saya akan menjawab satu persatu pokok permasalahan mengenai Guan Yin dengan berdasarkan penelitian para sejarawan.

 _/\_
The Siddha Wanderer

GandalfTheElder:
Masuknya Guanyin (Avalokitesvara) ke Tiongkok
Guan Yin (Avalokitesvara Bodhisattva) telah masuk ke Tiongkok pada akhir abad 1 M, pada zaman Dinasti Han. Guan Yin sudah ada di Tiongkok sejak diterjemahkannya Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan Lokaksema dan Kang Sengkai pada abad 2 M serta Sanghavarman pada tahun 252 M. Tahun 266 M dan 270 M, Dharmaraksa menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Karandavyuha Sutra yang merupakan dua sutra penting Avalokitesvara. Oleh karena itu, dapat dipastikan Guanyin Pusa adalah Bodhisattva Buddhis dan pemujaannya di Buddhis memang mengawali dan mempelopori segala bentuk pemujaan-Nya di berbagai agama dan kepercayaan di Tiongkok.

Berikut pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mengenai Guanyin.

Q:Avalokitesvara di India adalah pria dan Avalokitesvara di Tiongkok adalah wanita dan biasa disebut Guanyin. Guanyin wanita sebenarnya adalah Dewi agama Tao (Baiyi Dashi – Pek Ie Tai Su). Apakah benar demikian?
A: Ternyata tidak. H. Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini (berjubah putih) dan juga wujud Tionghoa dari Tara Putih (Sitatara), consort dari Avalokitesvara dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan. Ketika Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi Dewi Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu (Mandala Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Beliau juga dijadikan Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok, yang dikenal dengan nama Songzi Guanyin.

Namun akhir-akhir ini Rolf A Stein tidak setuju bahwa Pandaravasini dihubungkan dengan Tara Putih. Argumennya terdiri dari 2 poin: Baiyi Guanyin pertama kali diperkenalkan melalui teks Dharani Tantrik yang diterjemahkan pada abad ke-6 M daripada 8 M seperti yang disebutkan Maspero. Oleh karena itu, Baiyi Guanyin telah diperkenalkan lebih awal, sehingga tidak dibawa dari Tibet. Seperti dalam teks-teks Tantra yang membutuhkan visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarakan dengan jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin dalam teks tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan willow) dan tangan lainnya memegang vas. Rambut-Nya disanggul ke atas. Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi Guanyin. Teks-teks lainnya berkenaan dengan lukisan Baiyi Guanyin telah ada pada zaman Dinasti Song dan Tang, namun bentuknya yang benar-benar lengkap tidak disebutkan, oleh karena itu tidak diketahui sejauh mana perwujudan Baiyi Guanyin dalam sutra tersebut diikuti.

Argumen Stein yang kedua dan sangat penting adalah teks Tantra yang diterjemahkan pada masa Dinasti Tang yang berkenaan dengan Buddha wanita (Fomu), di mana Pandaravasini (Baiyi) ditampilkan bersama dengan Tara. Namun berbeda dengan yang belakangan. Baiyi (Pandaravasini) adalah Ibu dari keluarga Lotus yang kepalanya adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama “Kediaman Putih” (Baichu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Baiyi berbeda dengan “Ia Yang Bertubuh Putih” (Baishen), sebuah figure yang bersama-sama Tara, mengelilingi Amoghaphasa Avalokitesvara yang duduk di Gunung Potalaka. Di beberapa teks, Baiyi digambarakan duduk di atas teratai dengan memegang lasso di tangan kiri-Nya dan Prajnaparamita Sutra di tangan kanan-Nya yang diangkat, yang sanagt berbeda dengan pendeskripsian Baiyi yang lebih awal (memegang teratai dan vas). Dan membuat segalanya bertambah kompleks, dalam Mandala Rahim, “Kediaman Putih”, “Tubuh Putih’ dan “Tubuh Putih Maha Terang” (Daming Baishen) yang berada di pelataran Guanyin, semuang berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah symbol dari pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh karena itu para Bodhisattva wanita yang berada dalam pelataran Guanyin kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan Bodhisattva.

Jadi jelas bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini, prajnanya (aspek kebijaksanaan feminin) Amitabha. Awalnya, dia muncul dalam Garbhadhatu Mandala dengan jubah putih, duduk di atas teratai dan me-megang teratai kuncup ber-warna putih di tangan kirinya. Menurut Mahavairocana Sutra bab ke-5 dan 10, Pandaravasini itu berwarna putih (kadang-kadang merah muda) karena diaberdiam dalam Pikiran yang Cerah dan berdiam di atas teratai. Pandaravasini muncul dalam berbagai Sutra. Pandaravasini kemudian menjadi sumber dan pemimpin dari bagian Avalokitesvara dalam Mandala Garbhadhatu (Rahim) dan dipanggil dengan nama Guanyinmu (Ibu Avalokitesvara) sebagai bentuk aslinya.

Mahavairocana diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 724 M oleh Subhakarasimha. Bahkan mungkin teks Sansekerta Mahavairocana Sutra telah ada di Tiongkok sejak tahun 674 M yang dibawa oleh Wu Xing. Pada tahun 812 M, Silendrabodhi dan PalTseg menerjemahkan Mahavairocana Sutra dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tibet.

Ada teks yang disebut Baiyi Guanyin Jing atau Zhou (Sutra atau Mantra Pandaravasini Avalokitesvara). Sutra-sutra tersebut sangat pendek namun mencakup suatu mantra. Pelafalan dan pengingatan Sutra ini dianggap sangat manjur. Salah satu yang paling terkenal bernama Baiyi Guanyin (Dashi) Shenzhou (Mantra dari Pandaravasini Avalokitesvara atau Makhluk Agung). Sutra tersebut sudah digunakan sejak abad 11 M dan masih banyak dicetak dan disebarkan gratis pada zaman sekarang. Teks terkenal yang lain, yaitu Guanyin Shiju Jing (Sutra Guanyin 10 Kalimat), terkadang digabungkan dengan Baiyi Guanyin Shenzhou dan disebut sebagai Guanyin Mengshou (ditransmisikan melalui mimpi) Jing, Guanyin Baosheng (pelindung kehidupan) jing atau Guanyin Jiusheng (Menyelamatkan kehidupan) Jing. Teks-teks tersebut juga berasal; dari abad 11 M. kedua teks tersebut diduga ditansmisikan Baiyi Guanyin terhadap umatnya. Pelafalan sutra tersebut diyakini dapat membebaskan umat dari penderitaan, namun tidak spesifik pada pemberian anak.

Berkah pemberian anak, ada pada teks lain, dan memiliki berbagai macam nama, namun secara lebih meluas adalah Baiyi Dashi (atau Guanyin) Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Avalokitesvara Sutra). 35 kopi sutra ini terdapat dalam koleksi buku langka Perpustakaan Chinese Buddhist Cultural Artifacts, terletak di Vihara Fayuan di Beijing. Sutra tersebut dicetak sejak zaman Dinasti Ming, dengan yang paling awal tahun 1428 M dan mayoritas pada masa periode Wanli, sekitar 1600. Seperti teks-teks lainnya, teks ini juga dicetak dan disebarkan secara gratis oleh umat yang memohon mukjizat ataupun mereka yang ingin menyebarkan ajaran Guanyin. Jumlah yang disebarkan tergantung keadaan ekonomi sang penyumbang. Biasanya juga disertai kejadian-kejadian mukjizat yang dialami. Namun teks ini juga penting bagi para sejarawan.

Jadi jelas bahwa Guanyin Berjubah Putih (Baiyi Guanyin) adalah sepenuhnya bersifat Buddhis dan dari agama Buddha. Baiyi Guanyin (Pandaravasini) pada abad ke-6 M digambarkan tanpa menyebutkan gender. Penampakan Baiyi Guanyin di Tiongkok sendiri juga dimulai sekitar abad ke-6 M.

Akhirnya dalam Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan pada abad ke-8 M dengan jelas disebutkan bahwa Pandaravasini adalah “Ibu” Avalokitesvara. Tentu “Ibu” berarti menunjukkan bahwa Pandaravasini adalah seorang Bodhisattva wanita. Kata “Pandaravasini” sendiri berarti “Yang Berbaju Putih”.

 _/\_
The Siddha Wanderer

GandalfTheElder:
Q: Istilah “Guanyin” berasal dari mana? Bagaimana dengan Cihang Dashi?
A: Banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa Cihang Dashi adalah kisah yang sangat tua. Demikianlah kisah Cihang Dashi / Cihang Zhenren:

Ci Hang Dao Ren adalah Pendeta Penyelamat Pelayaran yang hidup pada masa Dinasti Yin-Shang dan salah satu dari 12 murid Yuan Shi Tian Zun, begitulah menurut kitab Fengshen Yanyi. Di novel Fengshen diceritakan bahwa Ci Hang Dao Ren membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya dalam menumbangkan Kaisar jahat bernama Zhou Wang. Ci Hang Zhen Ren digambarkan duduk di atas singa emas berkepala sembilan. hari rayanya ada tiga. yang pertama tanggal 19 bulan 2 Lunar (Ia berdoa agar para makhluk yg telah meninggal terbebas dari neraka dan berkah bagi yang masih hidup), tanggal 19 bulan 6 Lunar (Ia mengalahkan Ningbo Xianzi) dan tanggal 19 bulan 9 Lunar di mana Cihang mencapai keabadian (pencerahan).

Karena latar belakang kisah Cihang adalah Dinasti Yin-Shang yaitu ribuan tahun SM (Sebelum Masehi), maka banyak orang yang menganggap bahwa Ci Hang Da Shi telah ada sedari dulu di Tiongkok sebelum masuknya Guanyin ke Tiongkok. Dan Ci Hang Da Shi oleh banyak orang sering dianggap sebagai cikal bakal Guanyin wanita.

Namun apa benar kisah Cihang Dashi setua itu? Apabila dilihat lagi, maka jelas bahwa kisah Cihang Dashi sangatlah tidak tua. Kisah Cihang Dashi baru muncul pada kitab Li Dai Shen Xian Tong Jian yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1644 AD). Kalau memang kisah Cihang Dashi sudah sangat tua, mengapa kisah Cihang tidak diketemukan dalam Shen Xian Zhuan karya Ge Hong (283-343 AD)? Kisah Cihang Dashi juga ada dalam novel Fengshen Yanyi yang juga berasal dari Dinasti Ming. Maka dari itu dapat dipastikan bahwa kisah Cihang Dashi baru muncul pada masa Dinasti Ming. Bahkan kisah Cihang Dashi dalam Li Dai Shen Xian Tong Jianpun diragukan keakuratan sejarahnya.

Kisah Cihang Dashi juga muncul SETELAH / SESUDAH wujud wanita Guanyin menjadi terkenal di Tiongkok. Jadi TIDAK MUNGKIN bagi Cihang Dashi untuk MEMPENGARUHI Guanyin sehingga berwujud wanita. Bahkan kisah Miao Shan lebih awal daripada kisah Cihang Dashi.

Terjemahan ‘Guan Yin (觀音)”, “Ia yang mendengar suara” dunia, adalah subjek kontroversi yang panjang. Xuan Zang (602-604) mengetakan terjemahan tersebut keliru dan selama penerjemahan yang dilakukannya, Beliau menggunakan Guan Zi Zai (觀自在) dari Sansekerta Avalokitesvara (Avalokita-Isvara), “Tuan yang Melihat”. Cheng Kuan (738-839) menulis dalma komentarnya, ia menunjukkan bahwa dalam naskah original Sansekertanya sendiri terdapat dua nama yang berbeda, yang dilihat dari manuskrip tua yang ditemukan tahun 1927 di Sinkiang, Xinjiang, Tiongkok yang berasal dari abad ke-5 M. Di manuskrip tua tersebut nama Avalokitasvara (Guanyin) muncul sebanyak 5 kali, sehingga akhirnya Mironov menyimpulkan bahwa kata “Avalokitasvara” adalah bentuk aslinya namun akhirnya diganti dengan Avalokitesvara. Profesor Murray B Emeneau pun juga mengatakan bahwa “Avalokitasvara” berate “Ia Yang Mendengar Suara”. Bahkan murid Xuan zang yang terkenal yaitu Guizhi (窺基 632-82 M), menggunakan lagi kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Prajnaparamita Hrdaya Sutra.

Namun Xuanzang bukanlah yang pertama kali menerjemahkan dengan kata “Guan Zi Zai”. Semua penerjemah sebelum Xuanzang menggunakan kata “Guanyin”. Kumarajiva (344-413 M), yang dikritik oleh Xuanzang karena menggunakan kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Prajnaparamitahrdaya Sutra, ternyata Beliau (Kumarajiva) juga telah mengatakan bahwa “Guanshiyin” (觀世音) juga disebut Guanzizai (觀自在).

”Shi” dalam “Guanshiyin” sempat dihilangkan sehingga menjadi “Guanyin”. Hal ini karena pelarangan penggunaan nama (tabu) dengan menggunakan huruf “Shi” 世. Hal tersebut disebabkan karena Huruf “Shi” ada dalam  nama Li shimin 李世民 (nama Kaisar Taizong), sehingga tabu untuk dipergunakan. Namun akhirnya Kaisar Tang Gaozong membolehkan kembali penggunaan “Shi” untuk “Guanshiyin”.

Faktanya, kata terjemahan “Guanyin” muncul seawal-awalnya pada tahun 185 M yaitu pada terjemahan Sutra Perfect Splendor Samadhi  (成具光明定義經) oleh Zhiyao (支曜). Terjemahan “Guanshiyin” muncul paling awal pada terjemahan liturgi kebaktian yang diterjamahkan pada masa Dinasti Han Akhir (25-220 M).

Oleh karena itulah “Guanshiyin” adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta Avalokitesvara dan nama tersebut berasal dari agama Buddha.

 _/\_
The Siddha Wanderer

GandalfTheElder:
Q: Baiyi dashi adalah Dewi Taois. Apakah begitu?
A: Lagipula istilah Guanyin Dashi atau Baiyi Dashi sebenarnya adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. “Guanyin Dashi” berarti “Avalokitesvara Mahasattva” dan “Baiyi Dashi” (Pek Ie Tai Su) berarti “Pandaravasini Mahasattva. “Dashi” (大士) adalah terjemahan bahasa Tionghoa dari Sansekerta “Mahasattva” (Makhluk Agung). Jadi istilah “Guanyin Dashi” dan “Baiyi Dashi” sebenarnya adalah sebutan yang bersifat Buddhis.

Q: Dikatakan bahwa cabang pohon Yang-liu (Willow) yang dibawa Guan Yin adalah pengaruh Taoisme. Kaum Taoist punya kebiasaan menggunakan dahan Yang-liu untuk memercikkan air dalam upacara mengusir roh – roh jahat, dan menyembuhkan penyakit. Apakah benar bahwa dahan willow adalah pengaruh Taois?
A: Ternyata tidak. Dalam Dharani Sutra of Invoking Bodhisattva Guanshiyin to Subdue and Eliminate Harmful Poison (Qing Guanshiyin Pusa Fudu Tuoluoni Jing) yang diterjemahkan oleh Zhunanti dari Dinasti Jin Timur (317-420 M). Sutra ini menjadi perhatian oleh pendiri Tiantai Zhiyi dan master-master Tiantai lainnya dari Dinasti Song. Sutra ini dibuka dengan utusan kerajaan Vaisali yang datang kepada Sang Buddha dan meminta pertolongan atas musibah penyakit menular yang menimpa masyarakat Vaisali yang diakibatkan oleh Yaksha. Sang Buddha kemudian menuruh mereka untuk menghormat pada Avalokitesvara dengan mempersembahkan dahan willow dan air suci (amrta) yang dapat mensucikan dan menyembuhkan. Avalokitesvara kemudian muncul di depan Sang Buddha dan melafalkan sebuah Dharani. Ketika seseorang melafalkan nama Avalokitesvara tiga kali dan Dharani-nya, maka seseorang akan terbebas dari segala mara bahaya. Dharani tersebut juga dapat mengunci mulut berbagai binatang buas dan iblis sehingga mererka tidal lagi berbahaya. Selain itu Dharani tersebut dapat menyelamatkan seseorang dari kebakaran (hujan yang diturunkan oleh raja naga akan memadamkan api), menyelamatkan seseorang dari kelaparan dan hukuman mati serta dari para pencuri dan racun. Bagi para perempuan, Dharani tersebut dapat membantu ketika seseorang kesulitan melahirkan. Ketika seseorang dengan tulus melafalkan Dharani tersebut, maka ia akan terbebas dari segala karma buruknya dan tidak akan terjatuh ke dalam 4 alam apaya.
Jadi jelas bahwa botol amrta dan dahan willow yang dipegang oleh Avalokitesvara adalah murni Buddhis.

 _/\_
The Siddha Wanderer

GandalfTheElder:
Q: Guanyin wanita berasal dari Dewi-dewi Taois seperti Bixia Yuanjun, Mazu dan Wusheng Laomu. Benarkah demikian?
A: Pemujaan Bixia Yuanjun sendiri baru muncul pada tahun 1008 M (Culture & State in Chinese History: Conventions, Accommodations, and Critiques), demikian  juga Mazu yang lahir pada tahun 960 M, kisahnya baru ditulis pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M) yaitu dalam kitab Tianfei Xiansheng lu. Wusheng Laomu muncul pada masa Dinasti Ming yaitu dalam tulisan Luo Qing, orang Shandong yang hidup pada tahun 1443-1527 M serta sebuah teks yang muncul pada tahun 1212 M (Heterodoxy in Late Imperial China). Oleh orang-rang pada Dinasti Ming, Wusheng Laomu dianggap sebagai ibu dari Guanyin dan Xi Wangmu. (Carnival in China: A Reading of the Xingshi)
Sedangkan Guanyin dalam wujud wanita telah muncul di Tiongkok sejak diterjemahkannya Mahavairocana Sutra pada tahun 724 M, sekitar 300 tahun sebelum munculnya pemujaan terhadap Bixia Yuanjun, Mazu maupun Xi Wangmu. Dalam Mahavairocana Sutra disebutkan mengenai Pandaravasini sebagai “Ibu Avalokitesvara”, Tara dan Cundi sebagai “Ibu Wilayah Teratai”. Ketiga Bodhisattva wanita tersebut berada dalam bagian Avalokitesvara (Guanyin) dalam Mandala Garbhadhatu.

 “Wilayah teratai” adalah Dewan Keempat yang terdiri dari 21 bentuk Avalokitesvara dalam Garbhadhatu Mandala. Maka dari itu jelas sekali disebutkan dalam Mahavairocana Sutra bahwa Pandaravasini, Tara dan Cundi adalah perwujudan dari Avalokitesvara (Guanyin) sendiri dalam wujud wanita dan Ibu.

Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi Bixia Yuanjun, Mazu maupun Wusheng Laomu untuk dijadikan alasan perubahan gender Guanyin, karena sebenarnya Guanyin dalam wujud wanita telah ada sekitar 300 tahun sebelum kemunculan Dewi-dewi Taois tersebut atau bahkan lebih.

Mengutip dari karya Ven. Piyasilo Mahathera:
“Para pemeluk Tao mencoba lebih jauh dalam menyaingi Buddhadharma dengan menyerap tata cara peribadatan dan metoda meditasi Buddhis. Di abad ke-4 sudah terlihat pengaruh Buddhis yang jelas pada gaya penulisan kitab suci Taois dan pernyataan filosofis dari para guru besarnya. Di lain pihak mereka mendirikan masyarakat pertapa yang disebut kuan sebagai reaksi terhadap sistem Buddhis.
Salah satu perkembangan yang paling menarik adalah adopsi Guanyin lewat pemujaan setempat terhadap dewi Niang-niang. Di zaman dulu, ada dua bentuk dewi tersebut, dewi Cina Utara (Taishan Niangniang) dianggap sebagai pelindung gunung, dan yang selatan (Tianhou Niangniang) adalah pelindung laut.
Guanyin pemberi anak dari Saddharmapundarika Sutra mirip dengan Taishan Niangniang. Guanyin dari Avamtasaka Sutra, yang dikenal sebagai Nanhai Dashi (Guanyin LautSelatan), Cihang Dashi (Guanyin Karuna Batas Lautan), dan Putuo Dashi (Guanyin Pulau Putuo), mirip dengan Tianhou Niangniang. Akhirnya, kedua bentuk Niangniang itu melebur jadi satu dan sekarang ini kita bisa menemukan kuil Niangniang, Guanyin anak diapit oleh Niangniang Cahaya Mata (Yankuang Niangniang) di kanan dan Niangniang Cacar(Douzhen Niangniang) di kiri.”

Ket: Bixia Yuanjun tak lain adalah Taishan Niangniang yang disebutkan oleh Ven. Piyasilo Mahathera. Sedangkan Dewi Samudra Mazu adalah Tianhou Niangniang yang juga disebutkan Ven. Piyasilo Mahathera.

Dari tulisan Ven. Piyasilo Mahathera jelas sekali bahwa Songzi Guanyin (Guanyin pemberi anak) adalah berasal dari Saddharmapundarika Sutra dan Nanhai Guanyin (Guanyin Laut Selatan) berasal dari Avatamsaka Sutra. Taishan dan Tianhou niangniang hanya turut mempengaruhi Guanyin pada masa yang lebih kemudian, namun dasar dari perwujudan Songzi dan Nanhai Guanyin sebenarnya adalah Buddhis.

 _/\_
The Siddha Wanderer

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version