//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - thodi

Pages: [1]
1
Berikut ada informasi kegiatan AME di Semarang tgl 15-18 April 2013, pembicaranya adalah Bhante Ashin Kheminda yang sangat terampil menyajikan materi Abhidhamma melalui bahasa yang mudah dipahami  _/\_

Ini brosur yang saya dapat melalui internet untuk kegiatan tersebut :

BROSUR AME SEMARANG 15-18 APRIL 2013: ShowHide


Untuk pendaftaran di acara tersebut silahkan menghubungi ke CP yang ada di brosur tersebut..

Ini ada cuplikan video AME pada bulan September 2012 yang lalu


Semoga informasi ini bermanfaat  _/\_

2
Dance nya keren nih ;D ada yg punya video versi full nya?

Avalokiteśvara Bodhisattva Buddha With Thousand Hands 2009 Summer Deaflympics




~ China Disabled People's Performing Art Troupe, "Thousand-hand Guan Yin" Guan Yin is a Chinese goddess.Feeling music through speakers and guided by hand gestures, a troupe of deaf dancers in Beijing take steps to champion the rights of disabled people across the world ~

" Being deaf and mute, these disabled female performers endure pain and suffering in vigorous training, simply to deliver a message of love to mankind. "




sumber : youtube


3
 _/\_ Namo Buddhaya..

Ini ada buku komik yang menurut saya kisahnya sangat menarik.. tentang Buddha Dipankara dan Pertapa Sumedha (yang di kemudian hari menjadi Buddha Gotama)

Buku Komik Buddha Dipankara dan Pertapa Sumedha: ShowHide


[Book - Comic] "Buddha Dipankara dan Pertapa Sumedha"
- Cerita Bergambar, Terjemahan Indonesia -

Oleh: Ome Ratchaved


Sang BuddhaGotama ketika masih dalam kehidupan sebagai pertapa sumedha yang pada waktu itu beliau meramalkan bahwa, pertapa sumedha akan menjadi seorang Buddha pada jaman selanjutnya dengan memiliki nama Sri Sakyamuni Gotama.

Apakah ada yg sudah baca komiknya? grafiknya bagus ga ya  ;D saya pribadi baru baca kisah versi teksnya, versi komiknya belum baca  ;D


Ini kisah singkatnya yg dulu saya dapat lewat internet...


Sumpah Teratai (Pemuda Megha dan Seorang Gadis)
Dikutip dari buku Jalur Tua Awan Putih (Jilid 2), Bab 36 hal 66, karya Y.A.Thicht Nhat Hanh.


Putri Yasodhara mengundang Buddha, Kaludayi, Nagasamala dan ibu ratu untuk makan bersama di istananya. Setelah mereka selesai makan, dia lalu mengundang mereka untuk menemaninya pergi ke sebuah desa kecil miskin tempat ia bekerja dengan anak anak. Rahula juga bergabung dengan mereka. Yasodhara memandu mereka menuju pohon jambu air tua tempat Buddha mengalami meditasi pertama-Nya ketika masih kecil. Bhagava heran betapa kejadian itu serasa baru terjadi kemarin padahal dua puluh tujuh tahun sudah berlalu. Pohon itu tumbuh jauh lebih besar selama sekian puluh tahun.

Atas permintaan Yasodhara, banyak anak miskin berkumpul di sekitar pohon itu. Yasodhara memberitahukan Bhagava bahwa anak anak yang pernah dijumpai Beliau puluhan tahun silam sekarang sudah pada menikah dan punya keluarga masing-masing. Anak anak yang ada dibawah pohon berusia antara tujuh hingga dua belas tahun. Ketika melihat Buddha tiba mereka berhenti bermain lalu membentuk dua baris untuk Beliau berjalan ditengahnya. Sebelumnya Yasodhara sudah menunjukkan mereka cara menyalami Bhagava. Mereka menaruh sebuah kursi bambu khusus di bawah pohon untuk Bhagava dan menghamparkan tikar untuk alas duduk Ratu Gotami, YAsodhara, dan dua orang bhikkhu itu.

Buddha merasa bahagia duduk di sana. Beliau mengenang kembali hari hari yang pernah dilalui-Nya bersama anak anak miskin desa Uruvela. Beliau menceritakan kepada anak anak itu tentang Svasti, si gembala kerbau dan Sujata, gadis remaja yang memberi-Nya susu segar. Beliau membabarkan tentang menumbuhkembangkan hati yang penuh cinta kasih dengan cara memperdalam pengertian. Selain itu, Beliau juga menuturkan kepada mereka kisah tentang menyelamatkan seekor angsa dari sepupu laki laki-Nya yang memanah jatuh angsa itu. Anak anak mendengarkan semua uraian Bhagava dengan penuh ketertarikan.

Buddha mengisyaratkan RAhula untuk duduk dihadapan-Nya. Lalu beliau menceritakan anak anak itu sebuah kisah kehidupan lampau.

"Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda bernama Megha di kaki pegunungan himalaya. Dia adalah pemuda yang baik dan rajin. Kendati tak punya uang, dengan penuh keyakinan pergilah dia ke ibukota untuk belajar. Dia hanya berbekal sebatang tongkat untuk berjalan, sebuah topi, sekendi air, pakaian yang dikenakannya, serta sebuah mantel. Sepanjang perjalanan, ia berhenti dan bekerja di ladang untuk mendapatkan nasi dan terkadang uang. Sewaktu tiba di ibukota Divapati, dia sudah mengumpulkan uang setara lima ratus rupee."

"Ketika dia memasuki kota, tampaknya penduduk sedang mempersiapkan suatu perayaan penting. Ingin tahu perayaan apa, ia pun melihat ke sekeliling guna mencari orang untuk ditanyai. Pada saat itu, melintaslah seorang gadis cantik di hadapannya. Gadis itu sedang memegang sebuah karangan bunga teratai yang setengah mekar."

Megha bertanya kepadanya, "Numpang tanya dik, ada perayaan apakah hari ini?"

GAdis itu menjawab, "Engkau pasti orang asing di Divapati, kalau bukan, engkau pasti tahu hari ini Guru yang tercerahkan, Dipankara sudah datang. Beliau dikatakan bagaikan sebuah obor yang menerangi jalan bagi semua makhluk. Beliau adalah putra Raja Arcimat yang berkelana mencari Jalan Sejati dan telah menemukan-Nya. Jalan beliau menerangi seantero dunia sehingga masyarakat menyelenggarakan perayaan ini untuk menghormati beliau."

Megha sangat gembira mendengar kehadiran seorang Guru yang telah Tercerahkan. Ingin sekali ia mempersembahkan sesuatu untuk Guru itu dan memohon menjadi murid-Nya. Bertanyalah ia kepada gadis itu, "Seharga berapakah engkau beli bunga bunga teratai itu ?"

GAdis itu menatap Megha dan dengan mudah dapat melihat bahwa ia adalah seorang pemuda yang cerdas yang penuh perhatian. Gadis itu menjawab, "Aku hanya membeli lima tangkai itu saja. Dua tangkainya lagi aku petik dari kolam di rumahku sendiri."

Megha bertanya, "Berapa uang yang engkau keluarkan untuk lima tangkai itu ?"

"Lima ratus rupee."

Megha meminta untuk membeli lima tangkai teratai dengan lima ratus rupeenya untuk dipersembahkan ke Guru Dipankara. Tapi gadis itu menolak dengan berkata, "Aku membeli bunga untuk dipersembahkan kepada Beliau. Aku tidak bermaksud untuk menjualnya kepada orang lain."

Megha mencoba membujuknya. "Tetapi engkau kan masih bisa mempersembahkan dua tangkai yang engkau petik dari kolammu sendiri. Mohon ijinkanlah aku membeli lima tangkai. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk Guru. Sungguh satu kesempatan langka yang sangat berharga dapat menjumpai Guru sekaliber itu dalam kehidupan ini juga.Aku ingin menemui Beliau dan bahkan memohon untuk menjadi murid-Nya. Jika engkau mengijinkan aku membeli lima tangkai terataimu itu, aku akan sangat berterima kasih kepadamu untuk seluruh sisa hidupku."

Gadis itu menatap ke tanah dan tidak menjawab.
Megha membujuknya. "Jika engkau mengijinkan aku untuk membeli lima tangkai teratai itu, aku akan melakukan apa saja yang kau pinta."

GAdis itu tampak tersipu sipu malu. Lama dia tidak mengangkat pandangannya dari tanah. Akhirnya ia pun berkata, "Aku tidak tahu jodoh apa yang terjalin di antara kita dikehidupan lampau. Yang jelas, aku jelas jatuh cinta kepadamu pada pandangan pertama. Kujumpai banyak pemuda namun belum pernah hatiku bergetar seperti ini. Akan kuberikan teratai teratai ini kepadamu untuk dipersembahkan kepada Yang Tercerahkan, tapi hanya jika engkau berjanji kepadaku bahwa di dalam kehidupan ini dan kehidupan kehidupan kita selanjutnya, aku akan menjadi istrimu."

Dia mengucapkan kata kata tersebut dengan tergesa gesa sehingga setelah selesai hampir saja ia kehabisan nafas. Megha tak tahu apa yang harus dikatakannya. Setelah hening sejenak dia pun berkata, "Engkau sangat istimewa dan jujur sekali. Waktu melihatmu, aku pun merasakan sesuatu yang khusus dalam hatiku. Tapi aku mencari jalan menuju pembebasan. Jika menikah, tak akan bebas kutelusuri jalur itu saat kesempatan yang tepat menampakkan diri."

GAdis itu menjawab, "Berjanjilah bahwa aku akan menjadi istrimu dan aku bersumpah ketika tiba waktunya bagi dirimu untuk mencari jalurmu, aku tak akan mencegahmu pergi. Sebaliknya, aku akan melakukan segala yang kumampu untuk membantumu sepenuhnya mencapai pencerahanmu."

Dengan bahagia Megha menerima usulannya dan bersama berangkatlah mereka mencari Guru Dipankara. Massa begitu padat sehingga mereka hampir tidak dapat melihat Beliau di depan sana. Walaupun hanya dapat memandang wajah Beliau sekilas saja, tapi sudah cukup bagi Megha untuk mengetahui bahwa Beliau benar benar adalah Yang Tercerahkan. Megha merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bersumpah bahwa suatu hari dirinya pun akan mencapai pencerahan tersebut. Ingin sedekat mungkin ia menghampiri agar dapat mempersembahkan Guru Dipankara bunga teratai, tapi mustahil baginya untuk bergerak maju melalui lautan manusia.

Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia pun melemparkan bunga bunga itu ke arah Guru Dipankara. Secara ajaib sekali teratai-teratai itu mendarat tepat di tangan sang Guru. Megha begitu gembira melihat betapa ketulusan hatinya terbukti. Gadis itu meminta Megha untuk melemparkan bunganya ke arah sang Guru. Gua tangkai teratai itu juga mendarat di tangan sang Guru. Guru Dipankara berseru, meminta pihak yang mempersembahkan bunga teratai untuk menampakan diri. Massa membelah diri memberikan jalan untuk Megha dan gadis itu. Megha menggandeng tangan sang gadis.

Bersama mereka membungkuk hormat di hadapan Guru Dipankara. Sang Guru menatap Megha lalu berkata, "Aku memahami ketulusan hatimu, dapat kulihat engkau memiliki keteguhan hati yang besar untuk menelusuri jalur spiritual guna mencapai penerangan sempurna dan menyelamatkan semua makhluk. Berbahagialah, Suatu hari dalam kehidupan mendatang, engkau akan mencapai sumpahmu."

Setelah itu Guru Dipankara memandang gadis itu yang sedang berlutut di sisi Megha dan berkata kepadanya, "Engkau akan menjadi sahabat terdekat Megha dalam kehidupan ini maupun banyak kehidupan mendatang.Ingatlah untuk menepati janjimu. Engkau akan membantu suamimu merealisasikan sumpahnya."

MEgha dan gadis itu tersentuh mendalam sekali oleh kata kata Sang Guru. Mereka membaktikan diri untuk mempelajari jalur menuju pembebasan yang diajarkan oleh Yang Tercerahkan, Dipankara.

"Anak anak, dalam kehidupan ini dan banyak kehidupan selanjutnya. Megha dan gadis itu hidup sebagai suami istri. Sewaktu sang suami harus pergi guna menelusuri jalur spiritualnya, si istri membantunya dalam segala cara yang ia mampu. Tak pernah ia mencoba mencegahnya. Oleh sebab itu, dia merasakan syukur yang paling dalam kepada istrinya. Akhirnya, berhasillah ia merealisasikan sumpahnya dan menjadi manusia yang mencapai penerangan sempurna, seperti yang diramalkan Guru Dipankara di banyak kehidupan sebelumnya."

"Anak anak, uang dan kemasyhuran bukanlah yang terpenting dalam kehidupan. Uang dan kemasyhuran bisa hilang cepat sekali. Pengertian dan cinta kasih adalah hal yang terpenting dalam kehidupan. Jika kalian memiliki pengertian dan cinta kasih, kalian akan tahu kebahagiaan. Berkat pengertian dan cinta kasih masing-masing, Megha dan istrinya saling berbagi kebahagiaan di banyak kehidupan. Dengan pengertian dan kasih sayang, tiada yang tak bisa kalian selesaikan."

Yasodhara beranjali dan membungkuk hormat kepada Bhagava. Dia begitu tersentuh hingga menitikkan air mata. Ia tahu meskipun Bhagava menuturkan kisah itu kepada anak anak, tetapi sesungguhnya kisah itu secara khusus ditujukan kepada dirinya. Itu adalah cara Beliau menghaturkan terima kasih kepada dirinya. Ratu Gotami menatap Yasodhara. Dia pun paham mengapa Bhagava menceritakan kembali kisah ini.

Dia lalu meletakkan tangannya ke atas pundak menantunya dan berkata kepada anak-anak, "Tahukah kalian siapa Megha dalam kehidupan ini? Beliau adalah Buddha. Dalam kehidupan kali ini. Beliau menjadi orang yang mencapai penerangan sempurna. Dan tahukah kalian siapa istri Megha dalam kehidupan kali ini ? Dia tak lain tak bukan adalah Putri Yasodhara kalian. Berkat pengertiannya, Pangeran Siddharta bisa menelusuri jalurnya dan mencapai kebangkitan. Sudah sepantasnya kita menghaturkan terima kasih kepada Yasodhara.

Lama sudah anak anak mengasihi Yasodhara. Sekarang mereka berpaling ke arahnya lalu membungkuk hormat kepadanya untuk menyatakan seluruh kasih yang ada di dalam lubuk hati mereka. Buddha tersentuh secara mendalam. Setelah itu, Beliau bangkit berdiri dan dengan perlahan berjalan kembali ke vihara diikuti bhikkhu Kaludayi dan Nagasamala.

 _/\_

4
Namo Buddhaya  _/\_

Saya baru dapat info hari ini dan ingin share info pada teman-teman semuanya bahwa ada kesempatan berdana untuk percetakan ulang buku Buddha Gotama yang rencananya akan dicetak bulan April 2013 mendatang..

Ini brosur info bukunya yg  :

Buku Buddha Gotama: ShowHide


Info tambahan : Dhammanandavacanagroup yg akan mencetak ulang buku Buddha Gotama adalah penerbit buku The Secret Of Peta yg banyak dicari beberapa waktu yang lalu :)

Buku The Secret Of Peta: ShowHide


Semoga informasi buku Buddha Gotama yang akan dicetak ulang ini bermanfaat bagi semuanya  _/\_


5
KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA

Oleh Bhikkhu Uttamo


Bagian 1

Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan.

Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.

Sebagai contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah ‘telunjuk’ untuk salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ‘telunjuk’ pasti dengan mudah dapat diketemukan karena memang kata tersebut berasal dari Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.

Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘tuhan’ dalam berbagai upacara ritual, maka secara sembarangan, masyarakat telah ‘menuduh’ bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Padahal, dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci berbahasa Pali, konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi, seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan’ dalam Tipitaka, melainkan istilah ‘nibbana’. Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan berbagai konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan akhir mereka masing-masing.

Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran Sang Buddha mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu pertama, mendapatkan kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah meninggal dunia. Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia ataupun setelah ia meninggal nanti. Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diwujudkan di dunia ini setelah seseorang mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma. Apabila setelah mengenal Dhamma, seseorang semakin susah hidupnya, maka berarti Dhamma yang lebih dikenal sebagai Agama Buddha itu belum memberikan manfaat baginya. Kebahagiaan tahap pertama ini diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak, untuk empat kebutuhan pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal serta sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup’ yang dimaksudkan di sini tentu saja sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja kekurangan bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup’ ini diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki oleh para bhikkhu.

Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih daripada yang dimiliki bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut sebagai cukup. Kalaupun umat tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin saja hal ini berhubungan dengan kebutuhan yang berbeda atau bahkan ketamakan yang dimiliki.

Para bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Keperluan jubah seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan demikian, jika seorang bhikkhu mampu hidup menggunakan satu set jubah selama bertahun-tahun, maka seorang umat yang memiliki lebih dari satu set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari dalam seminggu, maka ia bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah memiliki banyak sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini lebih disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.
Demikian pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu ditopang dengan makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada umumnya, seorang bhikkhu hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Oleh karena itu, jika seorang umat sudah mampu menyediakan diri dan keluarganya makanan lebih dari dua kali sehari, sesungguhnya ia sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia masih merasa belum cukup ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka perasaan ini timbul sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.

Kebutuhan tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan tinggal di dalam goa ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila seorang umat telah mampu memiliki satu unit rumah walaupun sederhana, sebenarnya ia telah dapat disebut cukup. Berlebihan dalam penyediaan rumah bisa dikatakan sebagai tanda ketamakan. Akhirnya, kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan duniawi yang keempat setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, seorang bhikkhu sesuai dengan peraturan kebhikkhuan diperkenankan mempergunakan urine sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine’. Jadi, apabila seorang umat telah mampu membeli obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat disebut cukup. Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan sehingga cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu ketamakan.

Terkait dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup bahagia di dunia dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan, maka banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang Buddha tentang mencari nafkah, mempertahankan dan meningkatkan kekayaan maupun upaya membina hidup rumah tangga bahagia dan harmonis. Dengan melaksanakan uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para umat Buddha diharapkan mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk bekerja dan berumah tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan materi, bahkan berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin tetap bahagia.

Selanjutnya, tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup bahagia hidup di dunia adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah meninggal dunia ia terlahir di alam surga. Tujuan terlahir di alam surga ini menjadi tujuan kedua agar memberikan kesempatan para umat Buddha membuktikan terlebih dahulu manfaat Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan ini. Apabila memang benar ia telah memetik manfaat Buddha Dhamma dengan mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh keyakinan yang kuat dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih bersemangat melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini menjadi sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih sulit dilakukan semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam surga sering menjadi pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang diperoleh dari berbagai kitab suci yang ada dalam masyarakat. Disini Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti, bukan hanya sekedar janji.

Tidak adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas kelahiran di surga ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang pria terhadap gadis pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya telah terkenal di mana-mana. Setiap hari, banyak pemuda datang mengharapkannya sebagai istri. Mereka datang dengan membawa berbagai buah tangan sebagai penarik hati si gadis itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria yang melamar, gadis tersebut memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria yang diterima lamarannya ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis menjawab, “Nanti setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada gunanya. Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam ini dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang mendapatkan janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga setelah ia meninggal dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih dahulu, Buddha Dhamma memberikan kesempatan kepada mereka yang mau mempelajari dan melaksanakan Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi sebelum mereka membicarakan kebahagiaan surgawi.

Adapun kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan kebahagiaan duniawi dapat diperoleh para umat Buddha dengan mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi kepada mereka yang membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan kebajikan dengan membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu. Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi sangat penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup atau tamak terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh ketamakan tidak akan pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada mereka yang membutuhkannya. Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk berbagi dan terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dengan sering berbagi, maka umat pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan inilah yang akan menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di alam surga setelah kematiannya.

Akhirnya, karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian kebahagiaan duniawi dengan melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan kebahagiaan karena mampu berbagi, maka tahap ketiga sebagai tujuan hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun kehidupan yang selanjutnya. Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.

Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali).

Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah disebutkan di atas adalah merupakan salah satu unsur dari Ajaran Pokok Sang Buddha yang dikenal dengan Empat Kesunyataan Mulia. Seperti nama yang dipergunakan, Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari empat kondisi yang pasti dialami oleh semua mahluk hidup. Kesunyataan pertama menyebutkan kenyataan bahwa hidup berisikan ketidakpuasaan. Ketidakpuasan ini disebabkan karena keinginan untuk selalu bertemu dan berkumpul dengan mereka yang dicintai dan keinginan untuk tidak berjumpa dengan mereka yang tidak disukai. Kesunyataan kedua menganalisa bahwa ketidakpuasan tersebut disebabkan oleh keinginan. Semakin kuat keinginan, semakin kuat pula ketidakpuasan yang dialami. Sebaliknya, semakin lemah keinginan, semakin lemah pula ketidakpuasan yang timbul dalam batin seseorang. Kesunyataan ketiga memberikan penalaran bahwa terkendalinya keinginan akan menyebabkan hilangnya ketidakpuasan sehingga seseorang mencapai Nibbana. Dan, kesunyataan keempat memberikan cara atau satu jalan yang memiliki delapan unsur untuk mengendalikan keinginan serta melenyapkan ketidakpuasan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka masing-masing kesunyataan mulia ini akan sepintas dibahas secara umum.

Kesunyataan Mulia yang pertama menyebutkan bahwa hidup berisikan ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini muncul karena dalam kehidupan selalu terkondisi untuk berpisah dengan segala hal yang dicinta dan bertemu dengan segala hal yang tidak disuka. Maksud dari segala hal yang dicinta dan tidak disuka ini dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, pengertian tersebut dapat meliputi orang, benda, suasana dsb. Misalnya, seseorang pada mulanya bisa saja duduk bersila di lantai dengan nyaman, namun pada saat berikutnya ia mungkin merasakan kesemutan yang menyakitkan. Perasaan ini timbul karena ia telah berpisah dengan kondisi yang dicinta yaitu nyaman duduk bersila di lantai dan bertemu dengan kondisi yang tidak dicinta yaitu rasa sakit akibat kesemutan. Demikian pula dengan rasa tidak nyaman akibat lapar. Kondisi ini timbul akibat berpisah dengan yang dicinta yaitu rasa tidak lapar dan bertemu dengan kondisi yang tidak disuka yaitu rasa lapar. Jadi, kondisi bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka ini selalu muncul berbarengan bagaikan dua sisi tangan yang terlihat berbeda apabila dipandang dari dua arah. Namun, kedua perbedaan sudut pandang ini tetap saja melihat satu bagian yang sama yaitu telapak tangan.

Sang Buddha mengerti dengan jelas bahwa sumber ketidakpuasan yang dialami ini adalah dari keinginan yang tidak tercapai untuk selalu bertemu dengan yang dicinta dan tidak bertemu dengan yang tidak disuka. Oleh karena itu, Kesunyataan Mulia yang kedua menyebutkan bahwa keinginan adalah sumber ketidakpuasan. Semakin kuat keinginan seeorang untuk mempertahankan kondisi yang dicintai, maka semakin besar pula rasa ketidakpuasan yang ia alami. Demikian pula, semakin kuat penolakan terhadap pertemuan dengan kondisi yang tidak menyenangkan akan memperberat rasa ketidakpuasan yang timbul dalam batinnya. Dalam contoh di atas, semakin seseorang gelisah atas rasa kesemutan yang ia alami, maka semakin memuncak rasa ketidakpuasannya terhadap kondisi tubuhnya yang terbatas tersebut. Semakin seseorang menolak rasa lapar yang memang sudah timbul, semakin parah pula rasa lapar menyerangnya.

Oleh karena itu, pembabaran Sang Buddha selanjutnya adalah Kesunyataan Mulia yang ketiga bahwa ketidakpuasan dapat diatasi apabila keinginan dapat dikendalikan. Pengendalian keinginan ini dicapai dengan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berkesinambungan. Tidak ada kekekalan di alam semesta ini. Hanya ketidakkekalan itulah yang kekal. Dengan demikian, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketika seseorang bertemu dengan kondisi nyaman duduk bersila di lantai, maka seiring dengan berjalannya waktu, ia pun pasti akan bertemu dengan kondisi tidak nyaman duduk di lantai yaitu kesemutan. Demikian pula ketika ia merasa nyaman ‘bertemu’ dengan rasa tidak lapar, maka suatu saat sesuai dengan berjalannya waktu, ia pasti akan ‘bertemu’ dengan rasa lapar. Segala bentuk keinginan yang menimbulkan ketidakpuasan tersebut akan dapat diatasi apabila seseorang mampu memahami ketidakkekalan ini.

Bersambung ke bagian 2..

6
Berikut ini adalah sedikit kisah dan syair-syair dhamma baik yang berasal dari Dhammapada maupun sumber lainnya yang sangat berkesan bagi diri saya pada saat awal mula saya bertemu dan mulai mempelajari Buddha Dhamma.. semoga bermanfaat bagi semuanya  _/\_

Ayat-ayat Dhammapada :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidak-tahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum; demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

"Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya." Selama seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir.

Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.

Daripada seribu syair yang tak berguna, adalah lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.



Syair Dhamma

Baik sepatutnya dibalas baik, jahat jangan dibalas jahat bukan tiada pembalasan, hanya belum saatnya. Hukum Karma berlaku abadi.

Menaklukkan ribuan orang belum bisa disebut sebagai pemenang, tetapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yang disebut penakluk gemilang.

Jangan khawatir orang lain tidak mengerti dirimu, khawatirlah kalau kamu tidak mengerti orang lain.

Apa yang tidak ingin diperlakukan kepada anda jangan diperlakukan kepada orang lain.

Tubuh adalah pohon Bodhi, hati laksana cermin yang berbingkai, setiap saat rajin membersihkannya, jangan sampai dikotori debu

Bila melakukan kesalahan janganlah takut untuk memperbaikinya

Harta utama manusia adalah kesehatannya.

Hutang terbesar manusia adalah hutang budi.



Kisah Zen

Ada 4 pelajar Zen sedang berlatih meditasi bersama2 didalam sebuah gua dengan sebuah lilin saja. mereka berkomitmen untuk tidak berbicara dan bermeditasi selama beberapa minggu.

Pada suatu malam, angin bertiup dan api lilin mulai padam..

Pelajar pertama berkata "Astaga, lilinnya padam!"

Pelajar kedua berkata "Eh, kamu tak seharusnya berbicara."

Pelajar ketiga menyahuti "Bodoh kalian berdua !! kenapa kalian bicara !."

Tak lama kemudian pelajar terakhir sambil tetap menutup matanya berkata "Hanya aku saja yang tidak bicara"


Yang Putih Atau Yang Hitam?

Seorang gembala sedang menggembalakan dombanya.
Seorang yang lewat berkata, "Engkau mempunyai kawanan domba yang bagus.

Bolehkan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang domba-domba itu?"
"Tentu," kata gembala itu. Orang itu berkata, "Berapa jauh domba-dombamu berjalan setiap hari?"

"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih." "Ah,yang putih berjalan sekitar enam kilometer setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak rumput mereka makan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?" "Yang putih."
"Ah, yang putih makan sekitar empat pon rumput setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak bulu yang mereka hasilkan setiap tahun?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?" "Yang putih."
"Ah menurut perkiraan saya, yang putih menghasilkan sekitar enam pon bulu setiap tahun kalau
mereka dicukur."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

Orang yang bertanya menjadi penasaran. "Bolehkah saya bertanya, mengapa engkau mempunyai kebiasaan yang aneh,membedakan dombamu menjadi domba putih dan hitam setiap kali engkau menjawab pertanyaanku?"

Gembala itu menjawab, "Tentu saja. Yang putih adalah milik saya."

"Ooo, dan yang hitam?"
"Yang hitam juga," kata gembala itu.

Pikiran manusia membuat pemisahan-pemisahan yang bodoh, yang oleh Telah Sadar dilihat sebagai satu.


Jangan berbuat jahat, tambahkanlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran para Buddha

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya.....  _/\_



7
 _/\_ Namo Buddhaya..

Saya mempelajari Abhidhamma secara kebetulan pada saat browsing menemukan di youtube ada link channel video AME yang dibawakan materinya oleh Bhante Ashin Kheminda

Luar biasa.. saya sangat bersyukur materi Abhidhamma ini di upload sehingga bisa membawa manfaat untuk banyak orang.


Berikut ini link url video AME Hukum Kamma dan juga kursus AME selama 10 hari oleh Bhante Ashin Kheminda :




LINK CHANEL VIDEO LENGKAP

https://www.youtube.com/user/PJBI123/videos


Semoga bermanfaat untuk rekan-rekan dhamma semuanya..

 _/\_

Pages: [1]